OJK Siapkan Aturan untuk Platform Agregasi Finansial

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi menyosialisasikan Rancangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (RPOJK) mengenai Penyelenggara Agregasi Jasa Keuangan (PAJK). Aturan ini dirancang untuk memperkuat pengawasan terhadap layanan agregasi jasa keuangan yang semakin berkembang seiring dengan meningkatnya penggunaan teknologi dalam sektor keuangan.

Rancangan aturan tersebut akan mengatur kegiatan penyelenggara agregasi dalam memastikan layanan yang aman, bertanggung jawab, dan melindungi konsumen.

RPOJK ini bertujuan untuk memberikan kerangka regulasi yang jelas bagi para pelaku industri yang berperan dalam menyediakan platform pembanding dan distribusi produk keuangan, serta memperkuat pengawasan terhadap perlindungan data konsumen. Menurut OJK, dengan hadirnya aturan ini, layanan agregasi dapat berjalan optimal, meningkatkan efisiensi transaksi, serta memperluas inklusi keuangan di Indonesia.

Sebelumnya untuk layanan agregasi finansial diatur dalam regulatory sandbox OJK atau Inovasi Keuangan Digital. Per Maret 2024, ada 36 pemain digital yang masuk ke dalam sandbox tersebut, di antaranya CekAja, Cermati, Paper.id, Oy!, Alumak, BRIIX, dan beberapa lainnya.

Keamanan dan perlindungan konsumen

Salah satu sorotan utama dari rancangan peraturan ini adalah penguatan perlindungan konsumen, terutama dalam hal keamanan data pribadi dan transaksi keuangan. PAJK diharuskan mematuhi ketentuan keamanan siber dan perlindungan data sesuai standar internasional seperti ISO 27001. OJK menekankan pentingnya keamanan sistem elektronik yang digunakan PAJK, terutama dalam menjaga kerahasiaan dan keamanan data konsumen.

Menurut OJK, PAJK memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan bahwa informasi produk keuangan yang disajikan kepada masyarakat akurat dan transparan. Di samping itu, mereka juga harus menjaga keandalan sistem informasi dan perlindungan data konsumen.

Selain itu, layanan agregasi jasa keuangan yang diatur dalam RPOJK ini diharapkan dapat mendukung upaya pemerintah dalam memperluas inklusi keuangan. PAJK berperan penting dalam membantu masyarakat membandingkan dan memilih produk keuangan yang sesuai dengan kebutuhan dan profil mereka. Dengan memanfaatkan platform digital, konsumen akan semakin mudah mengakses informasi tentang produk-produk keuangan seperti kredit, tabungan, hingga asuransi, tanpa harus mengunjungi lembaga keuangan secara langsung.

Aturan perizinan dan sanksi tegas

RPOJK ini juga mengatur perizinan bagi penyelenggara PAJK, di mana setiap pihak yang ingin menjalankan layanan agregasi wajib memperoleh izin usaha dari OJK. Selain itu, penyelenggara diwajibkan berbadan hukum perseroan terbatas dengan modal disetor minimal Rp2,5 miliar.

Dalam hal penegakan aturan, OJK menetapkan sanksi tegas bagi PAJK yang melanggar ketentuan. Sanksi yang dapat diberikan antara lain peringatan tertulis, denda hingga Rp1 miliar, penghentian kegiatan, hingga pencabutan izin usaha.

PAJK diharuskan bekerja sama dengan lembaga jasa keuangan (LJK) yang telah terdaftar dan memiliki izin dari OJK. Kerja sama ini dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mencakup tanggung jawab masing-masing pihak, termasuk mekanisme penanganan pengaduan dan pertukaran data konsumen yang aman.

Selain itu, dalam menjalankan kegiatan agregasi, PAJK diwajibkan untuk secara transparan menyampaikan kepada konsumen bahwa produk keuangan yang ditawarkan bukan milik PAJK, melainkan dari lembaga keuangan mitra. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya misinformasi yang dapat merugikan konsumen.

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

OJK Cabut Izin Usaha Fintech Lending TaniFund

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi mencabut izin usaha PT TaniFund Madani Indonesia akibat gagal memenuhi ketentuan ekuitas minimum dan tidak mengimplementasikan rekomendasi pengawasan dari otoritas. Keputusan ini diambil berdasarkan Surat Keputusan Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-19/D.06/2024 tanggal 3 Mei 2024.

Kepala Departemen Literasi Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK Aman Santosa, menyatakan bahwa pencabutan izin ini merupakan langkah tegas OJK dalam memastikan kepatuhan regulasi di industri fintech.

“Pencabutan ini dilakukan setelah berbagai upaya pengawasan dan sanksi administratif yang kami berikan, namun TaniFund tetap tidak dapat menyelesaikan permasalahannya,” ujar Aman.

TaniFund, yang sebelumnya beroperasi di sektor pinjaman online untuk pertanian, mengalami peningkatan kredit macet yang signifikan. Menurut data dari OJK, tingkat kredit bermasalah di TaniFund mencapai 63,93%, jauh di atas ambang batas yang ditolelir.

Selain itu, TaniFund juga terlibat dalam beberapa kasus hukum terkait gagal bayar kepada para investor, yang menambah kompleksitas permasalahan yang dihadapi.

“TaniFund harus segera menghentikan kegiatan usahanya dan melakukan likuidasi untuk memenuhi kewajiban kepada para pihak terkait,” tambah Aman.

Dalam rangka memberikan perlindungan kepada para investor dan pengguna, OJK juga telah melimpahkan kasus pidana terkait TaniFund kepada aparat penegak hukum untuk diproses lebih lanjut. Keputusan ini diharapkan akan menjadi pelajaran bagi industri fintech lainnya untuk lebih memperhatikan kepatuhan dan manajemen risiko dalam operasional mereka.

Dengan dicabutnya izin TaniFund, OJK berharap dapat memulihkan kepercayaan publik terhadap industri fintech lending di Indonesia dan mempromosikan pertumbuhan yang sehat serta bertanggung jawab di sektor keuangan digital.

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

OJK Terbitkan Aturan Baru untuk Awasi Pelaku Fintech dan Kripto

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja menerbitkan Peraturan OJK Nomor 3 Tahun 2024 (POJK 3/2024) tentang Penyelenggaraan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK) yang memuat beberapa pasal pokok, yakni Regulatory Sandbox dan aset keuangan digital.

Aturan ini dibuat berdasarkan amanat dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Melalui POJK 3/2024, pemerintah berupaya menciptakan ekosistem fintech yang terintegrasi dengan pendekatan berbasis aktivitas. Tujuannya untuk mendukung inovasi yang memastikan pelindungan konsumen dan mitigasi risiko.

DailySocial.id merangkum beberapa pasal pokok POJK /2024, di dalamnya terdapat penyempurnaan mekanisme Regulatory Sandbox atau fasilitas untuk menguji dan mengembangkan inovasi teknologi keuangan. Penyempurnaan ini meliputi sejumlah aspek, seperti penambahan kriteria kelayakan, persyaratan pengujian, hingga kebijakan keluar (exit policy).

Pasal 50 Ayat 1 menetapkan bahwa penyelenggara inovasi keuangan digital yang sedang dalam proses permohonan dan peserta yang masih dalam pelaksanaan Regulatory Sandbox seperti diatur dalam POJK 13/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital diberikan status:

  • Direkomendasikan dengan kewajiban melakukan pendaftaran atau izin usaha kepada OJK.
  • Direkomendasikan tanpa kewajiban melakukan pendaftaran atau izin usaha kepada OJK.
  • Tidak direkomendasikan, paling lambat enam bulan sejak berlakunya POJK 3/2024.

Kemudian, aset keuangan digital juga diatur dalam Pasal 2 POJK 3/2024 sebagaimana juga telah diatur dalam Pasal 6 UU P2SK. Adapun, ruang lingkup ITSK yang diatur dalam Pasal 2 meliputi:

  • Penyelesaian transaksi surat berharga.
  • Penghimpunan modal.
  • Pengelolaan investasi.
  • Pengelolaan risiko.
  • Penghimpunan dan/atau penyaluran dana.
  • Pendukung pasar.
  • Aktivitas terkait aset keuangan digital, termasuk aset kripto.

“POJK 3/2024 juga menetapkan kewajiban untuk memperoleh status izin bagi penyelenggara, meningkatkan koordinasi antarpengawas dalam pengaturan dan pengawasan, serta meningkatkan literasi keuangan dan pelindungan konsumen,” demikian tertulis dalam pernyataan resmi OJK beberapa waktu lalu.

Seperti diketahui, transisi pengawasan aset kripto dari Bappebti ke OJK diberikan masa waktu peralihan selama 2 tahun. Sementara, Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengawal transisi ini akan disusun dalam 6 bulan ke depan dengan mengacu pada beberapa langkah, termasuk mekanisme pengalihan.

Secara keseluruhan, Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) mencatat terdapat 336 perusahaan fintech terdaftar di Indonesia. Sementara, Bappebti mencatat ada 33 Calon Pedagang Fisik Aset Kripto (CPFAK) yang terdaftar dan teregulasi.

Kemenkes Umumkan Hasil “Regulatory Sandbox” pada 14 Platform Healthtech

Kementerian Kesehatan melalui unit Digital Transformation Office (DTO) mengumumkan sebanyak 14 platform layanan kesehatan yang telah melewati uji coba Regulatory Sandbox.

“Tadinya ada 15, tetapi 1 [platform] akan tutup akhir tahun ini,” ujar Setiaji, Chief DTO Kemenkes pada saat membuka Konferensi pers “Pemberian Rekomendasi Program Regulatory Sandbox”, Kamis (21/12).

Disampaikan Setiaji, ke-14 platform ini telah melewati berbagai proses, mulai dari live testing, simulasi, hingga pengecekan administrasi. Hasilnya pengujiannya dibagi dalam tiga kategori status, yaitu “Direkomendasikan”, “Direkomendasikan Bersyarat”, dan “Perbaikan”.

“Namun, tidak ada yang lolos kategori ‘Direkomendasikan’, hanya lolos bersyarat dan perlu perbaikan,” tambah Setiaji. Berikut daftar 14 platform yang telah melalui uji coba:

Sumber: DTO Kemenkes / Diolah kembali oleh DailySocial

Disampaikan pula, ke-6 platform dengan status Direkomendasikan Bersyarat, diberikan waktu 3 bulan sejak hari ini untuk melakukan penyesuaian pada layanannya. Mereka juga berhak memakai logo Kementerian Kesehatan dengan status “Dibina Kemenkes”, yang berarti masyarakat tidak perlu ragu lagi untuk mengakses layanan kesehatan lewat platform ini.

Sementara, ke-8 platform dengan status Perbaikan, diberikan waktu 6 bulan sejak hari ini untuk melakukan perbaikan pada layanannya. Mereka berhak memakai logo Kementerian Kesehatan dengan status “Diawasi Kemenkes”, yang berarti status ini akan dicabut apabila tidak ada perubahan selama periode waktu yang diberikan.

Dalam melakukan pengujian sandbox ini, Kemenkes menggunakan enam aspek uji yang terdiri dari:

  1. Fungsionalitas; menguji apakah fitur dapat berjalan dengan baik.
  2. Keamanan; mencakup praktik keamanan untuk perlindungan data.
  3. Privasi data; mencakup keamanan data pribadi hingga data medis.
  4. Uji spesifik klaster; tata kelola terkait fitur tertentu, seperti telemedis, peresepan, dan penyampaian informasi medis.
  5. Inklusivitas; menguji apakah inovasinya inklusif, tak hanya dari sisi teknologi (bandwith untuk akses layanan), fitur untuk disabilitas.
  6. Integrasi; kemampuan platform dan aplikasi untuk terintegrasi dengan Satu Sehat.

Setiaji mengungkap sebagian besar platform tersebut mendapat catatan minor terkait aspek inklusivitas untuk kalangan disabilitas. Misalnya, apakah aplikasinya memiliki fitur text-to-voice atau fitur untuk meningkatkan kontras warna layar untuk kaum tuna netra.

Dihubungi secara terpisah, Setiaji mengungkap bahwa masih ada 17 klaster lagi yang  pengujian sandbox-nya akan dibuka pada tahun depan. Misalnya, klaster industrial dan inovasi. “Pada umumnya, aspek pengujiannya tetap sama, akan disesuaikan dengan solusi pada klaster tersebut,” ujarnya lewat pesan singkat kepada DailySocial.id.

Bappebti Tutup Pendaftaran Calon Pedagang Fisik Kripto

Bappebti mengumumkan penghentian penerbitan izin pendaftaran calon pedagang fisik aset kripto per 15 Agustus 2022. Pengumuman ini tertuang dalam Surat Edaran Nomor 208/BAPPEBTI/SE/08/2022.

Dalam surat tersebut, Bappebti beralasan langkah tersebut diambil karena pihaknya ingin mewujudkan kegiatan perdagangan pasar fisik aset kripto yang transparan, efektif, dan efisien dalam suasana persaingan yang sehat guna melindungi kepentingan semua pihak dalam perdagangan pasar fisik aset kripto.

“Serta, untuk meningkatkan efektifitas pengawasan Bappebti kepada calon Pedagang Fisik Aset Kripto dalam melakukan kegiatan perdagangan pasar fisik Aset Kripto maka perlu melakukan penghentian penerbitan tanda daftar sebagai calon Pedagang Fisik Aset Kripto,” ucap Plt. Kepala Bappebti Didid Noordiatmoko.

Menurut Didid, penghentian penerbitan tanda terdaftar ini berlaku bagi pelaku aset fisik kripto yang bermaksud mengajukan izin berupa tanda daftar sebagai calon pedagang fisik aset kripto. “Penerbitan perizinan pendaftaran sebagai calon Pedagang Fisik Aset Kripto dihentikan dan Bappebti tidak menerima pengajuan permohonan sebagai calon Pedagang Fisik Aset Kripto.”

Ia juga menyebutkan surat edaran ini dapat diubah sewaktu-waktu dan ketentuan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Seperti diketahui, Bappebti menerbitkan peraturan terkait penyelenggaraan perdagangan pasar fisik aset kripto yang tertuang dalam Peraturan Bappebti Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perdagangan Pasar Fisik di Bursa Berjangka. Dalam beleid yang ditetapkan pada 29 Oktober 2021 tersebut, ada delapan syarat yang ditetapkan bagi pedagang fisik aset kripto yang diatur oleh Bappebti.

Di antaranya, calon pedagang juga harus memenuhi persyaratan lainnya, seperti model minimal paling sedikit Rp80 miliar, mempertahankan ekuitas paling sedikit sebesar 80% dari modal yang disetor, dan punya sistem dan/atau sarana perdagangan online yang dipergunakan untuk memfasilitasi penyelenggaraan perdagangan kripto yang terhubung dengan bursa berjangka dan lembaga kliring berjangka.

Pasca beleid diterbitkan, saat ini Bappebti telah memberikan izin kepada 24 perusahaan. Mereka adalah:

1 PT Tumbuh Bersama Nano Nanovest
2 PT Kagum Teknologi Indonesia Ajaib
3 PT Aset Digital Berkat Tokocrypto
4 PT Aset Digital Indonesia Incrypto
5 PT Bumi Santosa Cemerlang Pluang
6 PT Cipta Koin Digital Koinku.id
7 PT Coinbit Digital Indonesia Coinbit.id
8 PT Galad Koin Indonesia Galad.id
9 PT Gudang Kripto Indonesia GudangKripto.id
10 PT Indodax Nasional Indonesia Indodax
11 PT Indonesia Digital Exchange Digital Exchange
12 PT Kripto Maksima Koin Kripto Maksima
13 PT Luno Indonesia LTD Luno
14 PT Mitra Kripto Sukses Kripto Sukses
15 PT Pantheras Teknologi Internasional Pantheras
16 PT Pedagang Aset Kripto Pedagang Aset Kripto
17 PT Pintu Kemana Saja Pintu
18 PT Rekeningku Dotcom Indonesia Rekeningku
19 PT Tiga Inti Utama Triv
20 PT Triniti Investama Berkat Bitocto
21 PT Upbit Exchange Indonesia Upbit
22 PT Utama Aset Digital Indonesia Bittime
23 PT Ventura Koin Nusantara Vonix
24 PT Zipmex Exchange Indonesia Zipmex

Investasi kripto dikenal dengan volatilitasnya, meskipun begitu investor kripto di Indonesia jumlahnya terus bertumbuh. Data dari Bappebti menunjukkan, jumlah investor kripto hingga Juni 2022 mencapai 15,1 juta dengan nilai transaksi mencapai Rp212 triliun.

Beleid penetapan daftar aset kripto

Sebelumnya, Bappebti juga menetapkan daftar aset kripto terbaru yang dapat diperdagangkan di pasar fisik aset kripto. Hal ini tertuan dalam Perba Nomor 11 Tahun 2022. Dalam regulasi teranyar itu, Bappebti menetapkan 383 jenis aset kripto yang dapat diperdagangkan dan calon pedagang fisik aset kripto wajib menyesuaikan diri dengan daftar tersebut. Peraturan baru ini sekaligus mencabut Peraturan Bappebti Nomor 7 Tahun 2020.

Angka tersebut meningkat signifikan dari 229 aset kripto yang sebelumnya boleh diperdagangkan. Toko Token (TKO) menjadi salah satu project kripto lokal yang masuk dalam daftar baru Bappebti dan diperbolehkan memperdagangkannya secara resmi.

Di luar daftar, aset digital harus di-delisting namun calon pedagang wajib menyelesaikan transaksi tanpa merugikan pelanggan. Delisting ini ditetapkan berdasarkan metode penilaian Analytical Hierarchy Process (AHP).

Penyesuaian aturan ini dilakukan atas dasar kebutuhan dan perkembangan blockchain secara global. Terlebih, pertumbuhan data pelanggan dan volume transaksinya terus meningkat.

Dijelaskan lebih jauh, Perba ini mengadopsi pendekatan positive list yang bertujuan untuk memperkecil risiko perdagangan aset kripto. Misalnya, aset kritpo yang tidak memiliki kejelasan whitepaper atau yang memiliki tujuan ilegal seperti pencucian uang dan sebagainya.

Didid menjelaskan, Perba itu mengatur tata cara, persyaratan, serta mekanisme penambahan dan pengurangan jenis aset kripto yang diperdagangkan. “Dengan mempertimbangkan prinsip umum untuk aset kripto yang dapat diperdagangkan, seperti berbasis distributed ledger technology dan lulus hasil penilaian dengan metode AHP,” kata Didid.

Selain itu, mempertimbangkan nilai kapitalisasi pasar aset kripto, risiko, manfaat ekonominya, serta apakah telah masuk dalam transaksi bursa aset kripto besar dunia. Perba ini juga mendorong efisiensi tata cara pengusulan aset kripto yang diperdagangkan selama Bursa Berjangka Aset Kripto belum terbentuk.

Secara terpisah dalam pernyataan resmi, CEO Tokocrypto Pang Xue Kai menyambut baik atas terbitnya Perba teranyar ini. Dalam proses menentukan masa depan dari proyek blockchain yang layak untuk terdaftar di Tokocrypto harus melalui proses uji tuntas yang sangat ketat.

“Tokocrypto memiliki proses seleksi dan kelayakan yang sangat ketat dalam listing koin maupun token kripto. Kami memiliki Assessment Scorecard dan Due Diligence Checklist yang cukup komprehensif untuk mengevaluasi kelayakan Token yang mendaftar dalam exchange kami,” kata Kai.

OJK Larang Platform Wealthtech Lokal Promosi Produk Investasi Saham Luar Negeri

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan pelarangan untuk perusahaan di bidang pasar modal melakukan pemasaran, promosi, atau iklan terhadap produk dan layanan jasa keuangan, selain yang telah diberikan izinnya oleh OJK termasuk efek yang diterbitkan di luar negeri (offshore products).

Larangan tersebut dimaksudkan untuk melindungi konsumen dan mencegah kesalahpahaman informasi yang diterima masyarakat terkait produk jasa keuangan yang ditawarkan. Larangan ini keluar setelah regulator mencermati perkembangan pemasaran, promosi, dan iklan terkait produk dan layanan yang menggunakan super app oleh satu grup usaha.

OJK menemukan banyak super apps yang memuat penawaran produk investasi berupa efek (saham, obligasi) yang diterbitkan oleh entitas di luar negeri yang berada di luar kewenangan pengawasan OJK.

Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen menegaskan bahwa pemasaran atas efek luar negeri di Indonesia sampai saat ini belum diperkenankan, mengingat produk ini bukanlah produk yang berizin dari OJK sehingga punya risiko yang cukup besar bagi masyarakat.

Produk investasi yang diawasi oleh OJK adalah efek yang diterbitkan oleh entitas yang berbadan hukum di Indonesia dan telah dinyatakan efektif oleh OJK untuk ditawarkan kepada publik. “Sementara produk investasi lainnya, seperti efek yang diterbitkan oleh entitas di luar negeri, crypto assets, emas bukan produk yang diberi izin dan diawasi oleh OJK,” kata Hoesen dalam keterangan resmi.

Lebih lanjut, regulator telah melakukan pembinaan dan mengambil langkah tegas bagi perusahaan yang melanggar ketentuan dalam praktik pemasaran, promosi, atau iklan produk dan layanannya dengan meminta untuk:

  1. Segera menghentikan layanan atau penawaran produk di luar izin dan pengawasan OJK melalui super apps yang mencantumkan logo OJK atau pernyataan bahwa produk dan perusahaan tersebut telah berizin dan diawasi oleh OJK.
  2. Melakukan pemisahan penggunaan aplikasi, platform, dan situs web terhadap produk dan layanan yang bukan di bawah pengawasan OJK dengan produk dan layanan yang berizin di bawah pengawasan OJK.

Sebelumnya OJK telah menerbitkan POJK Nomor 6 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan yang memuat ketentuan mengenai norma dan tata cara bagi pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) dalam melakukan pemasaran, promosi, dan iklan terkait produk dan layanan kepada masyarakat.

Poin-poin tersebut di antaranya memuat soal penggunaan istilah, frasa, dan/atau kalimat yang sederhana dalam Bahasa Indonesia dan mudah dimengerti konsumen, menyediakan informasi mengenai produk yang jelas, akurat, mudah diakses, dan tidak berpotensi menyesatkan konsumen, dan lain sebagainya.

Aplikasi wealthtech

Seperti diketahui, aktivitas investasi di Indonesia diawasi oleh dua lembaga yang berbeda, yakni OJK dan Bappebti. OJK hanya mengawasi aktivitas transaksi saham dan reksa dana. Di luar itu, ada di ranah Bappbeti. Sementara, di sisi lain, langkah pelarangan yang diambil OJK ini berimbas pada solusi yang ditawarkan oleh sejumlah pemain wealthtech.

Belakangan, para pemain makin aktif menambahkan lebih dari satu kelas aset di dalam platformnya, tujuannya untuk memudahkan pengguna dalam mendiversifikasi aset dan merangkul lebih banyak pengguna. Dalam kategori ini, Pluang dan Ajaib masuk ke dalam benak karena memiliki lebih dari satu kelas aset dan diawasi tidak saja OJK, juga Bappebti.

Pada awal berdiri dengan brand EmasDigi, Pluang menyediakan produk investasi emas. Lalu terus menambah portofolionya, mulai dari indeks futures (micro e-mini S&P 500, micro e-mini NASDAQ 1000), saham AS (CFD), aset kripto, dan reksa dana. Dibandingkan peers-nya, Pluang cukup eksploratif dan berani memperkenalkan kelas aset karena berambisi ingin merangkul semua pengguna yang datang dari beragam profil risiko.

Seluruh produk yang ada di Pluang sendiri sebenarnya sudah berlisensi dari berbagai regulator yang menaunginya, ada Bappebti dan OJK. Dalam praktiknya, produk investasi index futures dan CFD di Pluang dikelola oleh PG Berjangka dengan lisensi dari Bappebti dan dijamin 100% oleh JFX (Jakarta Futures Exchange) dan KBI (Kliring Berjangka Indonesia). Sementara untuk kegiatan investasi aset kripto, difasilitasi oleh PT. Bumi Santosa Cemerlang (BSC) selaku pedagang aset kripto, dan investasi emas bekerja sama dengan PT Pluang Emas Sejahtera.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Ajaib, meski tidak seeksploratif Pluang. Kini Ajaib memiliki tiga kelas aset, yakni saham lokal, aset kripto, dan reksa dana. Seluruh produk tersebut juga sudah memiliki lisensi masing-masing dan semua produk hadir dalam satu aplikasi.

Karena lintas regulator, OJK mengkhawatirkan praktik pemasaran dengan bahasa yang keliru bisa membuat ricuh di ranah konsumen. Dikhawatirkan masyarakat awam mengira semua produk investasi ada di bawah pengawasan OJK.

POJK Baru Meredefinisi BUKU, Perlebar Peluang Perbankan Kecil Jadi Bank Digital

Setelah dinanti-nanti, OJK mengeluarkan tiga aturan baru untuk mendukung industri perbankan lebih efisien, berdaya saing, dan adaptif terhadap kebutuhan masyarakat.

Tiga POJK itu adalah POJK No.12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum, POJK No.13/POJK.03/2021 tentang Penyelenggaraan Produk Bank Umum, dan POJK No.14/POJK.03/2021 tentang Perubahan POJK No.34/POJK.03/2018 tentang Penilaian Kembali Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, ketiga POJK ini diterbitkan untuk menyesuaikan kebutuhan seiring dinamika global, perubahan lanskap, dan ekosistem perbankan. [..] sehingga diperlukan penerapan pola pengaturan berbasis prinsip (principle based) agar peraturan lebih fleksibel (agile) dan mengantisipasi perubahan ke depan (forward looking) serta menjadi acuan yang menjaga kesinambungan operasi industri,” ucapnya dalam keterangan resmi, Kamis (19/8).

POJK Bank Umum mempertegas pengertian bank digital, yakni bank yang saat ini telah melakukan digitalisasi produk dan layanan (incumbent), ataupun melalui pendirian bank baru yang langsung berstatus bank digital menyeluruh (full digital banking).

“Namun tidak mendikotomikan antara bank yang telah memiliki layanan digital,bank digital hasil transformasi dari bank incumbent, ataupun bank digital yang terbentuk melalui pendirian bank baru (full digital bank). Bagaimanapun bank tetaplah bank, bank is bank,” ucap Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana.

Dengan kata lain, sesuai dengan Undang-Undang mengenai perbankan yang berlaku saat ini, tetap dikenal dua jenis bank, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Regulator tidak mendefinisikan bank digital sebagai suatu bank jenis baru.

Dia melanjutkan, POJK Bank Umum dan POJK Penyelenggaraan Produk Bank Umum pada dasarnya bukan memberikan beban baru pada industri perbankan nasional, melainkan memberikan landasan lebih baik dalam menjalankan bisnis, terutama di tengah pandemi Covid-19.

POJK 12 tentang Bank Umum

Dalam POJK 12 ini lebih menitikberatkan pada:

  1. Persyaratan pendirian bank baru dan aspek operasional. Hal tersebut mencakup pada penyederhanaan dan percepatan perizinan pendirian bank, jaringan kantor, pengaturan proses bisnis termasuk layanan digital ataupun pendirian bank digital.
  2. Mendorong perbankan, khususnya bank berbadan hukum Indonesia, untuk saling bersinergi dalam rangka peningkatan efisiensi dan perluasan layanan.
  3. Mendorong kelompok usaha bank (KUB) lewat konsolidasi menjadi pilihan menguntungkan bagi bank, termasuk bank yang belum memenuhi modal inti minimum Rp3 triliun.
  4. Penguatan aturan dengan meningkatkan persyaratan modal menjadi sebesar Rp10 triliun untuk pendirian bank baru, baik dengan model bisnis bank tradisional, maupun pendirian bank yang digital sepenuhnya.
  5. Meredefinisi pengelompokan bank berdasarkan modal inti (KBMI), tidak lagi menggunakan BUKU (bank umum kegiatan usaha).
Pengelompokan Modal Inti
KBMI 1 ≤ Rp6 triliun
KBMI 2 Rp6 triliun s/d  ≤ Rp14 triliun
KBMI 3 Rp14 triliun s/d ≤ Rp70 triliun
KBMI 4 ≥ Rp70 triliun
Bank Digital Wajib punya minimum satu kantor pusat
Pendirian bank Modal disetor minimum Rp10 triliun
Penyesuaian ketentuan setelah pemberlakuan KBMI
BUKU 1 dapat disetarakan dengan KBMI 1
BUKU 2 dapat disetarakan dengan KBMI 2
BUKU 3 dapat disetarakan dengan KBMI 2 atau KBMI 3
BUKU 4 dapat disetarakan dengan KBMI 3 atau KBMI 4

Redefinisi ini tidak memengaruhi kinerja perbankan existing karena tidak mengurangi cakupan kegiatan usaha. Justru bagi bank kecil, KBMI ini menjadi pemulus rencana mereka yang ingin menjadi bank digital. Di aturan sebelumnya dalam BUKU 1, mereka tidak diperbolehkan masuk ke ranah digital. Asalkan mereka tetap menyesuaikan permodalan minimal Rp3 triliun untuk bank digital hasil konversi.

POJK 13 tentang Penyelenggaraan Produk Bank Umum

Adapun untuk POJK ini menitikberatkan pada:

  1. Penguatan dalam perizinan dan penyelenggaraan produk bank dari semula menggunakan pendekatan modal inti (capital-based approval) menjadi pendekatan berbasis risiko (risk-based approval).
  2. Memberikan ruang kepada bank untuk lebih inovatif dalam menerbitkan produk dan layanan digital tanpa mengabaikan aspek prudensial.
  3. Mengatur mulai dari perencanaan, penyelenggaraan, hingga penghentian produk bank.
  4. Mempercepat proses perizinan produk bank, baik melalui penyederhanaan klasifikasi produk (dasar dan lanjutan) serta termasuk penyelenggaraannya antara lain melalui piloting review dan instant approval, untuk menciptakan level playing of field yang sama dalam industri perbankan.

Sebelumnya, OJK mencatat ada tujuh bank dalam proses go-digital yakni Bank BCA Digital, BRI Agroniaga, Bank Neo Commerce, Bank Capital, Bank Harda Internasional, Bank QNB Indonesia, dan KEB HanaBank. Selain itu, ada lima bank yang mengaku sudah menjadi bank digital. Mereka adalah Bank Jago, Jenius dari Bank BTPN, Wokee dari Bank Bukopin, Digibank dari Bank DBS, dan TMRW dari Bank UOB.

Gambar Header: Depositphotos.com

OJK Mencabut Status Tercatat 18 Platform Fintech dari Daftar Inovasi Keuangan Digital

Otortias Jasa Keuangan (OJK) secara resmi mengumumkan pencabutan status atas Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital (IKD) kepada 18 perusahaan digital. Aksi ini dilakukan sejak Juli 2020 hingga Juni 2021.

Beberapa nama yang statusnya dicabut di antaranya PropertiLord yang sebelumnya terdaftar di IKD sebagai property investment management; DuitPintar, ALAMI dari klaster aggregator; Ponsel Duit dari financial planner; hingga GoBear dari aggregator [diketahui bisnis GoBear di Indonesia memang sudah dihentikan].

Ada tiga landasan otoritas dalam mencabut status tersebut. Pertama, ada perubahan model bisnis, proses bisnis, kelembagaan, dan operasional IKD yang dimiliki perusahaan terkait. Kedua, penyelenggara mengembalikan surat penetapan atas status tercatat yang dimiliki. Dan ketiga, penyelenggara melakukan pelanggaran ketentuan peraturan.

Sebelumnya diketahui, IKD tercantum dalam beleid POJK No. 13/POJK.02/2018. Di dalamnya berisi pemain digital yang sedang dalam proses penelitian dan pendalaman model bisnis melalui mekanisme regulatory sandbox. Apabila proses penelitian telah selesai, Penyelenggara IKD dimungkinkan untuk melanjutkan ke proses pendaftaran dan perizinan yang akan diatur kemudian.

Inovasi layanan fintech memang cukup pesat dalam 10 tahun terakhir, ragam layanan diluncurkan untuk memfasilitasi kemudahan transaksi keuangan. Sayangnya, belum semua jenis bisnis terakomodasi regulasi. Untuk mengimbangi laju teknologi yang cepat, mekanisme regulatory sandbox dihadirkan, baik oleh OJK maupun Bank Indonesia sebagai perwakilan pemerintah yang bertugas menaungi industri keuangan.

Berdasarkan pemetaan layanan dalam Fintech Report 2020, saat ini ada banyak lebih dari 20 jenis layanan finansial yang model bisnisnya tercatat oleh regulator. Di klaster IKD sendiri, ada 16 model bisnis yang diamati sejak Agustus 2020, termasuk di dalamnya insurtech dan regtech.

Klaster model bisnis fintech di Indonesia

Hadirnya otoritas dalam industri fintech tentu penting, salah satu fungsi yang paling signifikan ialah meneggakan aturan untuk melindungi konsumen itu sendiri. Di sisi lain, industri fintech memeng sangat diperlukan di Indonesia, untuk memfasilitasi kalangan undeserverd dan unbankable yang jumlahnya masih cukup signifikan – sembari memberikan pemahaman yang lebih baik tentang literasi keuangan.

Perkembangan Beleid yang Memayungi Ekosistem Fintech Indonesia

Survei Nasional Literasi Keuangan ketiga yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2019 menunjukkan indeks literasi keuangan mencapai 38,03% dan indeks inklusi keuangan 76,19%. Lantas jika dibandingkan dalam tiga tahun terakhir, ada peningkatan 8,33% untuk literasi atau pemahaman masyarakat tentang layanan keuangan; serta peningkatan 8,39% terkait akses masyarakat terhadap produk dan layanan jasa keuangan.

Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Tirta Segara mengakui, peningkatan tersebut adalah hasil kerja keras bersama antar berbagai pihak, meliputi pemerintah, otoritas, industri, dan komponen lainnya. Tak terkecuali inovasi, khususnya di bidang teknologi, berbagai aplikasi keuangan yang telah meluncur beberapa tahun terakhir nyata-nyata memberikan dampak yang sangat terasa bagi masyarakat untuk melakukan berbagai transaksi: menyimpan, mengirim, hingga menginvestasikan uang mereka.

Terkait digitalisasi layanan keuangan, peran otoritas jelas dominan. Industri ini memang diregulasi secara ketat. Sesuai yang diamanatkan UU No. 21 Tahun 2011, pemerintah membentuk OJK dengan tujuan mengatur dan mengawasi berbagai kegiatan di sektor jasa keuangan. Sejauh ini berbagai jenis layanan teknologi finansial (fintech) terus diakomodasi dalam ruang lingkup aturan OJK.

Dimulai dari fintech lending

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 77 Tahun 2016 menjadi salah satu ujung tombak perkembangan fintech di Indonesia. Beleid tersebut mengatur layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi. Sejak diterbitkan, hingga kini tercatat 158 pemain p2p lending yang terdaftar di otoritas, 33 pemain lainnya sudah mendapatkan status berizin. Banyaknya pemain yang terjun di sektor ini tidak terlepas dari besarnya minat masyarakat dalam mendapatkan alternatif kredit dari lembaga nonbank.

Seperti diketahui, akses layanan finansial dari perbankan belum bisa sepenuhnya dinikmati oleh semua elemen masyarakat. Misalnya terkait kredit, di lingkungan perbankan variabel skoring yang digunakan meliputi aspek-aspek yang mengakomodasi kalangan tertentu saja, misalnya terkait pekerjaan, pendapatan bersih, status pendidikan, dll. Sementara pinjaman mikro yang datang dari fintech variabelnya lebih sederhana, misalnya menggunakan catatan tagihan listrik, histori belanja di e-commerce dll.

Dari 158 pemain yang ada, bentuknya memang berbeda-beda. Ada yang memberikan pinjaman ke personal seperti UangTeman dan KreditPintar, ada yang fokus memberikan pinjaman modal kepada pemilik warung seperti AwanTunai, ada yang memberikan modal usaha dengan sistem berkelompok seperti Amartha, ada yang memberikan pinjaman untuk pembelian di layanan e-commerce seperti Akulaku, dan masih banyak lagi.

Dalam POJK terkait fintech lending, berbagai hal diatur secara jelas. Termasuk tentang bentuk badan hukum usaha yang mengisyaratkan harus berupa perseroan terbatas atau koperasi. Kemudian terkait modal usaha, pertukaran data, pusat data dll. Spesifikasi teknis tersebut sangat diperlukan, agar pemain terdaftar/berizin memiliki diferensiasi yang signifikan dengan pemain-pemain ilegal. Tidak dimungkiri, platform ilegal menjadi salah satu celah dari sistem keuangan berbasis teknologi informasi.

Terkait penindakan pemain ilegal, OJK bersama 13 kementerian dan lembaga negara lainnya membentuk Satgas Waspada Investasi (SWI). Sejak tahun 2018 hingga Oktober 2020, SWI telah menghentikan sebanyak 2923 fintech lending ilegal. Sepanjang tahun ini 206 pemain ilegal dibekukan. Langkah ini penting mengingat banyak kalangan masyarakat, termasuk UKM, yang terdampak pandemi. Meminjam dana modal ke fintech menjadi opsi yang banyak dipilih. Sehingga ekosistemnya perlu dijaga dan diawasi secara ketat.

Pembaruan aturan

Aturan mengenai fintech lending rencananya segera diperbarui. Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Tris Yulianta menyebutkan, pembaruan tersebut nantinya akan mengikuti rancangan UU Perlindungan Data Pribadi yang tengah disusun oleh DPR. Jika ditelaah lebih dalam, aspek perlindungan data dan privasi memang layak dijadikan urgensi dalam POJK, pasalnya proses bisnis dan operasional layanan fintech memang erat dengan pengumpulan dan pengelolaan data.

Hal lain yang mungkin akan dituangkan dalam pembaruan beleid adalah untuk mendorong pelayanan platform lebih menyeluruh, tidak hanya terpusat di Jawa. Selain itu, beberapa komponen teknis juga akan ditambahkan, misalnya terkait penggunaan tanda tangan digital. Pihak OJK masih terus berkomunikasi dengan asosiasi dan pelaku ekosistem, dalam berbagai diskusi dan kesempatan, pematangan aturan masih terus dilakukan.

Dari perspektif publik, memang cukup layak jika otoritas memperketat aturan – setidaknya menambah syarat bagi pemain untuk mendapatkan status terdaftar atau berizin. Hal ini untuk membatasi laju pertambahan pemain baru yang saat ini jumlahnya sudah sangat banyak. Di samping itu, penguatan aspek teknis terkait keamanan sistem, proses pinjaman/pengembalian/buka, hingga integrasi layanan juga perlu  menjadi perhatian untuk menciptakan perspektif yang lebih baik terkait layanan fintech.

Terbuka dengan inovasi digital

OJK juga merilis surat edaran No. 21 Tahun 2019, spesifik mengakomodasi berbagai inovasi fintech yang terus bermunculan (di luar lending). Di dalamnya mengatur beberapa hal, tentang inovasi keuangan digital (IKD) dan regulatory sandbox. Regulatory sandbox adalah mekanisme pengujian yang dilakukan oleh OJK untuk menilai keandalan proses bisnis, model bisnis, instrumen keuangan, dan tata kelola penyelenggara. Sementara IKD adalah aktivitas pembaruan proses bisnis, model bisnis, dan instrumen keuangan yang memberikan nilai tambah baru di sektor jasa keuangan dengan melibatkan ekosistem digital.

Proses di dalamnya meliputi penetapan prototipe berdasarkan kesepakatan forum panel, dilanjutkan dengan kegiatan evaluasi dan eksperimen. Prosesnya paling lama dilakukan satu tahun, atau dapat ditambah enam bulan jika masih dirasa kurang. Sejauh ini aturan tersebut berhasil merangkul inovasi keuangan digital di berbagai klaster, meliputi: aggregator (36 pemain), blockchain (1), claim service handling (1), credit scoring (13), e-KYC (4), financial planner (7), financing agent (7), funding agent (1), insurance broker marketplace (1), insurtech (2), online distress solution (1), project financing (5), property investment management (2), regtech (1), tax & accounting (3), dan verification non-CDD (4).

Lahirnya model bisnis baru sebenarnya juga didorong oleh peningkatan layanan dari pemain legasi. Ambil contoh e-KYC, platform mereka memungkinkan pemain digital seperti fintech lending untuk secara mudah melakukan verifikasi data diri. Atau credit scoring yang menyajikan algoritma sistem pengambil keputusan untuk membantu fintech lending memastikan kelayakan kredit didasarkan pada data-data tertentu yang didapat dari perangkat pengguna. Sehingga tidak menutup kemungkinan, tiap tahun posisi IKD akan terus bertambah dengan inovasi-inovasi baru lainnya.

Pemain lainnya yang mulai dipayungi OJK adalah equity crowdfunding. Didasarkan pada POJK No. 37 Tahun 2018 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi. Hingga tahun ini baru tiga pemain yang mendapatkan izin, yakni Santara, Bizhare, dan Crowddana.

Saran dan masukan

Kendati bertumbuh, literasi finansial di Indonesia belum bisa dikatakan tinggi. Masih banyak PR yang harus diselesaikan bersama. Sebenarnya dalam POJK fintech, aspek edukasi dan perlindungan pengguna sudah disinggung pada bab ke-7. Meskipun demikian, masih perlu penekanan dan petunjuk yang jelas terkait edukasi seperti apa yang wajib disampaikan oleh penyelenggara kepada calon nasabahnya. Pembaruan aturan bisa menjadi kesempatan untuk memperkuat aspek ini.

Cukup sangsi jika kemudahan yang diberikan fintech dapat tepat sasaran – dalam artian memberikan manfaat yang sebenar-benarnya kepada nasabah. Tanpa pemahaman yang baik tentang layanan keuangan, tidak menutup kemungkinan nasabah fintech akan “terjebak” karena tidak memahami bagaimana sistem bekerja. Mungkin beberapa kali kita mendengar tentang pengguna fintech yang meminjam di banyak layanan untuk “gali-tutup lubang”. Model edukasi sudah selayaknya untuk meminimalisir hal tersebut.

Poin berikutnya terkait dengan kolaborasi antar pemain – baik fintech maupun non-fintech. Pangsa pasar yang masih besar, ditambah dengan persaingan perebutan kue bisnis yang makin ketat, membuat para pemain memikirkan strategi sinergi. Aturan perlu ditegakkan untuk mengantisipasi implikasi buruk sebagai langkah preventif, misalnya menghindari monopoli yang justru tidak menyehatkan ekosistem.

Berikutnya adalah kelonggaran untuk melakukan ekspansi layanan. Jelas pasar Indonesia masih cukup besar untuk digarap, sehingga ekspansi yang dimaksud masih di kancah domestik. Jawa dan pulau-pulau lainnya memiliki kondisi yang sangat berbeda, secara kultur maupun infrastruktur. Sementara pemerataan penting untuk dilakukan demi memperluas akses keuangan. Bukankah target utama mereka (unbankable) justru banyak di luar Jawa.

Dari data OJK, saat ini 147 penyelenggara masih terpusat di Jabodetabek dan hanya 3 pemain yang memiliki basis di luar Jawa. Hingga September 2020, akumulasi penyaluran pinjaman fintech lending, sebanyak Rp110 triliun, masih di seputar Jawa, sementara di luar Jawa hanya Rp18 triliun.