Zenius Receives Follow on Funding from MDI Ventures

Zenius edtech startup today (7/3) announced follow on funding from MDI Ventures with an undisclosed amount. In total, Zenius is said to have raised over $40 million (more than 576 billion Rupiah) from its investors. Past investors (Northstar Group, Alpha JWC Ventures, Openspace Ventures) and new investor (Beacon Venture Capital as a venture capital company owned by Kasikorn Bank Thailand) also joined the round.

It is not clear whether this fresh money will classified into a new round or continue the Pre-Series B round last year.

In an official statement, Zenius’ CEO, Rohan Monga said this funding will support the company’s further development and expansion of the learning ecosystem Zenius will be focused on improving personalized learning experiences by increasing students’ learning motivation.

“Through our latest acquisition network, Primagama, we will expand reach to increase the impact we have in education. We strongly believe that a hybrid learning model, which is a combination of offline and online, will provide the best results for students,” Monga said.

He said, backed by strategic investors such as MDI Ventures, the company is capable to expand its network of partnerships and service distribution to have a bigger and deeper impact on Indonesian education.

“Zenius has a proven track record of making an educational impact in Indonesia. Was founded in 2004, Zenius has now developed a comprehensive learning ecosystem,” MDI Ventures’ CEO, Donald Wihardja said.

Since 2004, Zenius has helped more than 1.5 million alumni to get into their state/dream university. Last year, seven out of 10 Zenius’ premium users passed the Computer-Based Written Examination (UTBK), while Zenius’ income increased fourfold, one of which was due to “Live Class” feature.

Following the Primagama acquisition, Zenius completed its learning ecosystem by collaborating with Disney for the elementary school segment, as well as developing ZenPro, a platform for the professional or lifelong learning segment.

“Zenius is a collaborative player. We are confident to realize our mission in creating a smarter, brighter, and cooler Indonesia’s young generation through collaboration, partnership, and synergy with various stakeholders, such as MDI, with the same vision, advancing education in Indonesia,” Rohan said.

Market competition and value proposition

Indonesia’s edtech sector is rapidly growing, especially since the pandemic. There are two players currently dominating the market, Ruangguru and Zenius, with nearly similar sub-product variants.

Zenius always highlight one thing, it is on the material side. Instead of inviting students to just memorize, Zenius emphasized on understanding fundamental concepts and critical thinking through various case studies.

Apart from Zenius and Ruangguru, several edtech platforms also creating maneuvers. Most recently, CoLearn has just secured 244 billion Series A funding. The app focuses on math and science subjects, helping students solve their homework independently. Also, there are Pahamify, Squline, and others.

Primagama’s presence in Zenius’ line of business has the potential to strengthen its value proposition if it truly succeeds in wrapping up a hybrid learning experience – this could also be the first in Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Zenius Terima Pendanaan Lanjutan dari MDI Ventures

Startup edtech Zenius hari ini (7/3) mengumumkan perolehan pendanaan dari MDI Ventures dengan nominal dirahasiakan. Secara total Zenius disebutkan telah mengumpulkan lebih dari $40 juta (lebih dari 576 miliar Rupiah) dari jajaran investornya. Investor terdahulu (Northstar Group, Alpha JWC Ventures, Openspace Ventures) dan investor baru (Beacon Venture Capital sebagai perusahaan modal ventura milik  Kasikorn Bank Thailand) turut bergabung dalam putaran tersebut.

Tidak dijelaskan pendanaan segar ini masuk ke dalam putaran baru atau melanjutkan putaran Pra-Seri B yang sudah diumumkan pada tahun lalu.

Dalam keterangan resmi, CEO Zenius Rohan Monga mengatakan, pendanaan ini akan mendukung pengembangan lebih lanjut dan perluasan ekosistem pembelajaran di Zenius. Pihaknya akan terus fokus pada peningkatan pengalaman belajar yang dipersonalisasi dengan meningkatan motivasi belajar siswa.

“Melalui jaringan baru yang kami peroleh dari Primagama, kami akan memperluas jangkauan kami untuk meningkatkan dampak yang kami miliki dalam dunia pendidikan. Kami sangat percaya bahwa model pembelajaran hybrid, yaitu gabungan antara offline dan online, akan memberikan hasil terbaik bagi siswa,” kata Monga.

Menurutnya, dengan dukungan investor strategis seperti MDI Ventures, perusahaan mampu memperluas jaringan kemitraan dan distribusi layanan untuk memberikan dampak yang lebih besar dan lebih dalam bagi pendidikan Indonesia.

“Zenius memiliki rekam jejak yang telah terbukti dalam memberikan dampak bagi pendidikan di Indonesia. Sejak didirikan pada 2004, Zenius kini telah mengembangkan ekosistem pembelajaran yang komprehensif,” kata CEO MDI Ventures Donald Wihardja.

Sejak didirikan pada tahun 2004, Zenius telah membantu lebih dari 1,5 juta alumni untuk masuk ke universitas negeri/impian mereka. Tahun lalu, tujuh dari 10 pengguna premium Zenius berhasil lolos Ujian Tertulis Berbasis Komputer (UTBK), sementara pendapatan Zenius meningkat empat kali lipat, salah satunya ditopang oleh “Live Class”.

Setelah akuisisi Primagama, Zenius juga melengkapi ekosistem pembelajarannya dengan berkolaborasi dengan Disney untuk segmen sekolah dasar, serta mengembangkan ZenPro, sebuah platform untuk segmen pembelajaran profesional atau seumur hidup.

“Zenius adalah pemain yang kolaboratif. Kami yakin dapat mewujudkan misi kami untuk merangkai Indonesia yang lebih cerdas, cerah, dan asik melalui kolaborasi, kemitraan, dan sinergi dengan berbagai pemangku kepentingan, seperti MDI yang memiliki visi yang sama, yaitu memajukan pendidikan di Indonesia,” kata Rohan.

Kompetisi pasar dan proposisi nilai

Sektor edtech di Indonesia cukup berkembang pesat, apalagi sejak pandemi. Dua pemain yang saat ini mendominasi adalah Ruangguru dan Zenius, dengan varian sub-produk yang dimiliki keduanya juga nyaris memiliki kesamaan.

Satu hal yang selalu digaungkan Zenius adalah di sisi materi. Alih-alih mengajak peserta didik hanya menghafal, materi di Zenius mengedepankan pada pemahaman konsep fundamental dan cara berpikir kritis melalui berbagai studi kasus.

Di luar Zenius dan Ruangguru, sejumlah platform edtech juga terus bermanuver. Yang terbaru CoLearn baru saja membukukan pendanaan Seri A senilai 244 miliar Rupiah. Aplikasinya fokus pada pembelajaran matematika dan sains, membantu para siswa menyelesaikan berbagai PR secara mandiri. Di luar itu masih ada Pahamify, Squline, dan lain-lain.

Hadirnya Primagama di jajaran lini bisnis Zenius berpotensi menguatkan proposisi nilai jika benar-benar berhasil membungkus pengalaman belajar hibrida – ini juga bisa menjadi yang pertama di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Zenius Gandeng Disney Menghadirkan Materi Pembelajaran Interaktif untuk Siswa SD

Pekan lalu, startup edtech Zenius resmi mengumumkan kolaborasinya dengan perusahaan hiburan dan media Disney untuk menghadirkan konten pembelajaran interaktif berbasis digital bagi siswa sekolah dasar (SD). Lewat kolaborasi ini, pengguna ZeniusLand dapat mengakses berbagai konten eksklusif dari Disney, Pixar, termasuk konten original Tiga Sekawan dari Zenius.

Disampaikan dalam acara virtualnya, Co-founder Zenius Wisnu Subekti mengatakan bahwa salah satu tantangan besar pada sistem pendidikan di Indonesia adalah siswa SD kurang menguasai hal-hal yang bersifat fundamental. Situasi tersebut dibiarkan menumpuk hingga mereka mencapai jenjang kuliah.

Lemahnya fundamental ini bisa jadi karena sejumlah faktor. Misalnya, kurikulum yang diajarkan tidak sesuai dengan kemampuan siswa. Alhasil, kegiatan mengajar tetap berjalan, tetapi kemampuan siswa tidak meningkat.

“Kami harap metode ini dapat membangun critical thinking siswa SD. Jadi, mereka tidak hanya menghafal saja, tetapi mampu menerapkannya dalam lingkup keseharian, ada learning transfer yang terjadi. Konsep pembelajaran ini dapat efektif dan meningkatkan pemahaman anak karena menggabungkan cerita berbalut visual dan pelajaran,” tutur Wisnu.

ZeniusLand menyediakan materi interaktif yang terdiri dari video pembelajaran, latihan, dan aktivitas berbasis permainan akan mendorong anak-anak untuk mengeksplorasi misi-misi menarik yang ada. Anak-anak juga diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi konten belajar yang diinginkan.

Mereka mengolah dan menghadirkan ribuan konten pembelajaran menarik bersama Disney. Saat ini, ZeniusLand memiliki 334 video (Disney dan Zenius Original Series), lebih dari 1.000 soal dan konsep pembelajaran, dan lebih dari 100 karakter dari 43 film/seri Disney. Adapun, web series Tiga Sekawan yang merupakan bagian dari konten pembelajaran ZeniusLand, dapat diakses secara gratis di akun YouTube.

Untuk mengakses beragam konten kolaboratif ini, ZeniusLand memasang biaya berlangganan sebesar Rp600 ribu per tahun akademik. Untuk periode 17 Februari hingga 3 Maret 2022, pengguna dapat berlangganan sebesar Rp300 ribu.

Konten pembelajaran ZeniusLand dapat diakses melalui aplikasi ZeniusLand yang kini sudah tersedia untuk Android dan iOS, dan dapat diakses dengan harga spesial sebesar Rp300.000 selama periode flash sale mulai dari 17 Februari hingga 3 Maret 2022 mendatang.

Segmen pasar baru

Dihubungi secara terpisah CEO Zenius Rohan Monga turut menambahkan, gabungan antara pedagogi Zenius ragam konten Disney dapat menanamkan kecintaan belajar anak-anak sejak dini. Hal ini dapat membantu mengembangkan keterampilan berpikir fundamental dan kritis anak sehingga dapat memahami konsep dan materi melalui pembelajaran kontekstual.

ZeniusLand juga dilengkapi dengan fitur yang membantu para orang tua untuk dapat lebih mengenal potensi bidang yang dikuasai oleh anaknya dengan mengacu pada laporan pembelajaran anak secara berkala yang diolah secara menarik dan mudah dipahami.

“Semuanya didesain untuk membangun motivasi diri dan membantu siswa belajar sesuai dengan kecepatan mereka masing-masing. Ke depannya, kami akan terus mengeksplorasi dan mengembangkan banyak inovasi lain yang menjawab kebutuhan belajar anak secara tepat guna,” ujarnya.

Dalam jangka panjang, Rohan menyebut bahwa Zenius ingin menjadi life- learning platform di mana platform ini dapat digunakan kalangan anak muda hingga lebih tua sebagai strategi untuk meningkatkan skalabilitas bisnisnya. Kolaborasinya dengan Disney menjadi salah satu inisiatif strategis yang diharapkan dapat berlanjut untuk jangka panjang, terutama dalam menyediakan konten pembelajaran interaktif bagi anak muda.

Life-learning platform menjadi adjacency expansion ke segmen pengguna yang belum pernah kami tawarkan sebelumnya. Maka itu, kami pikir hybrid learning yang kami incar (konteks akuisisi Primagama) bisa fit into keduanya. We will deliver for elementary schools in the coming years and we can offer hybrid learning for this new segment,” tambahnya.

Zenius Mengonfirmasi Akuisisinya Terhadap Primagama

Startup edtech Zenius akhirnya resmi mengonfirmasi akuisisi penyedia layanan bimbingan belajar (bimbel) Primagama melalui penandatanganan perjanjian pada awal 2022. Melalui aksi korporasi ini, Zenius akan mengintegrasikan Primagama ke dalam platformnya agar dapat menghadirkan model pembelajaran baru berbasis online dan offline (hybrid).

Dalam wawancara eksklusif kepada DailySocial.id, CEO Zenius Rohan Monga mengatakan keputusannya mengakuisisi Primagama didasari oleh permintaan para orang tua terhadap layanan bimbel offline setelah anaknya menggunakan layanan belajar livestreaming. Sejalan dengan meningkatnya kualitas layanan livestreaming dan pengalaman siswa, para orang tua justru menginginkan Zenius dapat memiliki kurikulum sendiri.

“Karena ada permintaan dari segmen pengguna layanan livestreaming terhadap solusi/produk offline, kami merasa ada gap di learning platform. Jika kami bisa bangun sistem pembelajaran hybrid, cara ini dapat menjadi pendekatan belajar yang komprehensif, terutama bagi mereka yang ingin belajar secara offline dan online. Ini salah alasan utama karena ada permintaan pasar atau customer-led decision untuk mengakuisisi Primagama,” tuturnya.

Bahkan selama masa pandemi Covid-19, ia mencatat pertumbuhan bisnis sekitar 20% dari total basis penggunanya menggunakan layanan livestreaming ini. Kemudian, layanan ini disebut berkontribusi sebesar 50% ke pendapatan Zenius.

Di samping itu, Zenius mengamati bagaimana pandemi berdampak signifikan terhadap bisnis lembaga bimbel di Indonesia akibat pemberlakuan belajar di rumah, terutama di 2020. Karena situasi ini, valuasi perusahaan bimbel menjadi lebih ‘affordable’. Kendati begitu, Rohan mengamati industri bimbel di Indonesia mulai bangkit kembali di 2021. Ia menilai ini menjadi waktu yang tepat untuk mengintegrasikan Primagama ke platform Zenius.

“Kami melihat offline learning mulai shifting ke hybrid learning meskipun pandemi belum usai. Kami meyakini fase selanjutnya di industri edtech setelah afterschool learning segment akan didorong oleh hybrid learning. Ini menjadi fokus kami di tahun selanjutnya di mana kami akan deliver pengalaman belajar hybrid dengan mengintegrasikan jaringan bimbel Primagama ke platform Zenius,” kata Rohan.

Pandemi juga telah membawa perubahan signifikan terhadap orang tua, tak hanya akselerasi adopsi teknologi antara guru dan siswa. Karena ada learning loss akibat kebijakan belajar di rumah, situasi ini meningkatkan kecemasan orang tua terhadap pencapaian akademis anak mereka.

“Orang tua dapat mengamati langsung kualitas delivery dari guru ketika anak belajar saat pandemi. Mereka jadi punya opini lebih tentang kualitas pendidikan dan refine ekspektasi mereka ke pengalaman belajar yang lebih baik bagi anak.”

Scale-up hingga integrasi

Alasan lain Zenius mencaplok Primagama di antaranya adalah hubungan baik yang telah dibangun oleh para founder dengan pemilik Primagama. “Kurikulum, cara mengajar, dan pedagogy mereka sangat align dengan Zenius. Ini menjadi pondasi dari akuisisi ini,” ujar Rohan.

Selain itu, model bisnis franchise Primagama dianggap cocok untuk meningkatkan skala bisnis Zenius selanjutnya. Zenius dikenal sebagai salah satu platform pelopor layanan bimbel di Indonesia. Platform yang didirikan oleh Sabda PS dan Medy Suharta ini telah diakses lebih dari 20 juta pengguna di sepanjan tahun ajaran 2019/2020. Adapun, Zenius menyediakan sekitar 100 ribu video pembelajaran dan latihan soal yang bisa diakses secara gratis.

Akuisisi ini membuka kesempatan bagi Zenius untuk mengambil kue pasar baru, terutama siswa yang selama ini belajar secara offline. Rohan menyebut Zenius memiliki konten pre-recorded untuk belajar mandiri yang dinilai dapat menjadi konten komplementer dengan apa yang dipelajari siswa secara offline.

“Kami akan mencari cara untuk membawa value tersebut ke siswa Primagama, kami harap dapat melakukan integrasi kurikulum Primagama dan Zenius selanjutnya. Kami ingin membawa seamless experience bagi tutor Zenius dan Primagama dalam menghadirkan pengalaman belajar yang bagus kepada siswa,” paparnya.

Di samping itu, Primagama dinilai punya posisi yang kuat sebagai top of mind penyedia bimbel, terutama di kalangan orang tua. Sejak berdiri di 1982, Primagama diyakini telah membangun keahlian yang kuat dalam membangun metode pembelajaran secara offline dan cara mengajar bagi para siswa.

Saat ini Primagama mengoperasikan 300 cabang, lebih dari 3.000 pengajar, dan lebih dari 30.000 siswa per tahnnya dari seluruh jenjang (SD, SMP, SMA) di berbagai provinsi di Indonesia. Kualitas Primagama dalam membantu siswa menghadapi ujian masuk perguruan tinggi juga disebut telah teruji.

We would have to evolve this blended curriculum. Apakah ini dari Zenius maupun Primagama, kami akan terus meningkatkan kualitas kurikulum agar bisa deliver the best learning outcome di Indonesia. Kami akan konsolidasikan all of the tech experience through Zenius platform,” tambahnya.

Application Information Will Show Up Here

Zenius Announces Pre Series B Funding; Revenue Boost Supported by “Live Class”

Zenius edtech startup today (05/1) announced the pre-series B funding round with an undisclosed amount. Alpha JWC Ventures and Openspace Ventures joined the list of new investors, participated also in this round the previous investors, Northstar, Kinesys, and BeeNext.

The fund is to be focused on platform development, amidst increasing market demand. Previously, Zenius has announced series A funding worth $20 million in February 2020.

In addition, the online learning platform claimed strong growth throughout 2020. In fact, per second semester last year, income has increased by 70% compared to the same period in 2019. Zenius provided loads of free learning content during the first half of 2020, to support the learning from home initiative in the midst of the Covid-19 pandemic.

In June 2020, along with rebranding and app updates, Zenius started adopting a freemium business model. Nearly 50% of Zenius’ revenue comes from the Live Class feature. Since its launch in March 2020, user growth is said to increase by 10 times with a retention rate of 90%.

Currently, Zenius receive an average rating of 4.9 (out of 5) for its classes, with attendance reaching 400 students, and breaking records with 10,000 users in one 60-minute math session.

Based on SimilarWeb data, the Zenius.net site gets an average of 3-4 million visits every month. On the Android platform, the application has been downloaded by more than one million users.

“Recently, we launched the Automated Doubt-Solving feature through our application and WhatsApp. This feature will provide a solution to students using only the camera on their cell phone. The system will then recommend a video and practice questions to explain the process behind the solution and allow students to actively apply it in a given set of practice questions. This will create a more immersive learning experience that contributes to students’ critical thinking and the ability to solve difficult problems and future concepts,” Zenius’ CEO Rohan Monga said.

“For more than a decade, they have made a track record of demonstrating successful learning outcomes and reinventing their core business as new mediums emerge. We believe this track record will be a key differentiating factor in the rapidly evolving education landscape, and we expect that the new funding round will drive Zenius’ growth even further,” Openspace Ventures’ Director Ian Sikora said.

Edtech in Indonesia

According to data summarized in the Edtech Report 2020 by DSResearch, there are currently some fast-growing education startup business models in Southeast Asia. Zenius alone is in the “Learner Support, Tutoring, & Test Preparation” category with several other players – including those from/already operating in Indonesia such as Ruangguru, Pahamify, and CoLearn.

Edtech in SEA

Since 2012, various types of edtech services have slowly but surely continued to emerge in Indonesia. Referring to the report above, there are dozens of local edtech startups that still running – in fact, each held a different value proposition. The market share is quite substantial, as for players like Zenius or Ruangguru that focused on K-12 students (elementary-high school level), there are more than 50 million students each year throughout Indonesia.

This opportunity has made several foreign players lining up to enter the Indonesian market. As of 2020, at least 6 foreign players have succeeded in planting a business in Indonesia – including having representative offices and local teams.

 

Foreign Edtech Players in Indonesia

The local edtech market continues to grow, not only serving students, various edtech startups are starting to target professionals and business customers. Recently, there as been some new models, one of which is related to fintech which focuses on education loans.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Zenius Umumkan Pendanaan Pra-Seri B; Pendapatan Naik Ditopang Layanan “Live Class”

Startup edtech Zenius hari ini (05/1) mengumumkan telah mendapatkan putaran pendanaan pra-seri B dengan nilai yang tidak diungkapkan. Alpha JWC Ventures dan Openspace Ventures masuk ke jajaran investor baru, investor sebelumnya yakni Northstar, Kinesys, dan BeeNext juga turut andil di putaran ini.

Dana akan difokuskan untuk pengembangan platform, di tengah permintaan pasar yang terus berkembang. Sebelumnya Zenius secara resmi mengumumkan pendanaan seri A pada Februari 2020 lalu senilai $20 juta.

Turut disampaikan, sepanjang 2020 platform pembelajaran online tersebut mengklaim pertumbuhan kuat. Bahkan, pendapatan per semester kedua tahun lalu naik 70% dibandingkan periode yang sama di 2019. Zenius sempat menggratiskan sebagian besar konten pembelajaran sepanjang paruh pertama 2020, guna mendukung inisiatif belajar dari rumah di tengah pandemi Covid-19.

Pada Juni 2020, bersamaan dengan rebranding dan pembaruan aplikasi, Zenius mulai mengadopsi model bisnis freemium. Hampir 50% sumber pendapatan Zenius berasal dari fitur Live Class. Sejak diluncurkan pada Maret 2020, jumlah pengguna diklaim telah naik 10 kali lipat dengan tingkat retensi mencapai 90%.

Saat ini, kelas-kelas di Zenius rata-rata menerima rating 4,9 (dari 5), dengan jumlah kehadiran mencapai 400 siswa, dan sempat memecahkan rekor dengan 10 ribu pengguna dalam satu sesi matematika selama 60 menit.

Berdasarkan data SimilarWeb, rata-rata situs Zenius.net mendapat 3-4 juta kunjungan setiap bulannya. Di platform Android, aplikasi sudah diunduh lebih dari satu juta pengguna.

“Baru-baru ini kami meluncurkan fitur Automated Doubt-Solving melalui aplikasi kami dan WhatsApp. Fitur ini akan memberikan solusi kepada siswa hanya dengan menggunakan kamera di ponsel mereka. Sistem kemudian akan merekomendasikan video dan pertanyaan latihan untuk menjelaskan proses di balik solusi tersebut dan memungkinkan siswa secara aktif menerapkannya dalam rangkaian pertanyaan latihan yang diberikan. Hal ini akan menciptakan pengalaman belajar lebih mendalam yang berkontribusi pada pemikiran kritis siswa dan kemampuan untuk memecahkan masalah yang sulit dan konsep masa depan”, kata CEO Zenius Rohan Monga.

“Selama lebih dari satu dekade, mereka telah menunjukkan rekam jejak dengan memperlihatkan hasil pembelajaran yang terbukti berhasil dan menciptakan kembali core business-nya seiring dengan munculnya medium-medium baru. Kami percaya rekam jejak tersebut akan menjadi faktor pembeda utama dalam lanskap pendidikan yang berkembang pesat, dan kami berharap putaran baru pendanaan ini akan mendorong pertumbuhan Zenius lebih jauh,” sambut Direktur Openspace Ventures Ian Sikora.

Edtech di Indonesia

Menurut data yang dirangkum dalam Edtech Report 2020 oleh DSResearch, saat ini ada beberapa model bisnis startup pendidikan yang berkembang pesat di Asia Tenggara. Zenius sendiri berada di kategori “Learner Support, Tutoring, & Test Preparation” bersama beberapa pemain lainnya – termasuk yang dari/telah beroperasi di Indonesia seperti Ruangguru, Pahamify, dan CoLearn.

Edtech in SEA

Sejak tahun 2012, perlahan tapi pasti, berbagai jenis layanan edtech terus bermunculan di Indonesia. Merujuk pada laporan di atas, saat ini ada puluhan startup edtech lokal yang masih beroperasi – tentu masing-masing memiliki value proposition berbeda. Pangsa pasarnya memang sangat besar, katakanlah untuk pemain seperti Zenius atau Ruangguru yang menyasar pelajar K-12 (setingkat SD-SMA), setiap tahunnya ada lebih dari 50 juta siswa/i yang tersebar di seluruh Indonesia.

Potensi tersebut membuat beberapa pemain asing pun berbondong-bondong melakukan ekspansi ke Indonesia. Per tahun 2020, setidaknya sudah ada 6 pemain luar yang berhasil membangun basis bisnis di Indonesia – termasuk memiliki kantor perwakilan dan tim lokal.

Foreign Edtech Players in Indonesia

Pasar edtech lokal pun terus berkembang, tidak hanya melayani pelajar, berbagai startup edtech juga mulai menyasar kalangan profesional dan pelanggan bisnis. Beberapa model baru juga dilahirkan beberapa tahun terakhir, salah satunya terkait fintech yang fokus pada pinjaman pendidikan.

Application Information Will Show Up Here

Zenius akan Terus Gratiskan Konten, Dua Produk Baru Diluncurkan untuk Topang Model Bisnis

Zenius mulai memperlihatkan keseriusannya bertransformasi sebagai platform edtech unggulan di tanah air sejak Rohan Monga bergabung sebagai CEO. Setelah pengumuman pendanaan seri A pada Februari kemarin, kini Zenius melakukan rebranding dengan mengubah logo dan menambah produk-produk baru.

Jika sebelumnya logo mereka didominasi dengan warna kuning-hitam, logo baru lebih dipenuhi dengan warna ungu dengan desain yang lebih sederhana. Mereka menyebut logo baru ini menandai Zenius sudah kian matang dan hidup di tengah-tengah masyarakat.

Gratis selamanya

Namun di antara pengumuman rebranding itu, ada penegasan yang penting yang keluar dari mulut Co-Founder & Chief Eduacation Officer Sabda PS. Dalam konferensi pers virtual, Sabda memastikan bahwa akses gratis mereka akan terus dipertahankan untuk selamanya. Konten gratis itu meliputi video konsep, latihan soal, serta jawabannya.

“Itu termasuk sebagian besar dari konten kita. Makanya target 30 juta pelajar yang punya akses internet seharusnya enggak ada masalah untuk mengakses Zenius,” ucap Sabda.

CEO Rohan Monga menambahkan, ada sekitar 80.000 konten video pembelajaran yang bisa diakses gratis. Menurut Rohan hal itu penting untuk memberikan kesempatan pelajar di nusantara untuk mengenyam konten pembelajaran yang berkualitas. “Karena kita ingin mengakselerasi high quality learning,” imbuh Rohan.

Zenius menggebrak skema edtech karena berani menggratiskan layanan mereka pada Desember 2019. Jika saat pengumuman penggratisan akses itu Zenius masih belum menyebut bagaimana monetisasinya, kini jawabannya sudah ada.

Produk baru

Rohan menjelaskan, ada dua produk baru mereka yakni Zenius Ultima dan Zenius Optima. Kedua produk ini memperkenalkan fitur interaksi langsung. Melalui fitur tersebut, pelajar bisa melakukan tanya jawab atau diskusi secara real-time dengan tutor senior Zenius baik untuk sekadar bimbingan belajar atau untuk persiapan ujian.

“Kita ingin pastikan edukasi berkualitas untuk segmen murid yang suka dengan interactive learning,” ujar Rohan.

Dalam paparan kemarin, Zenius mengklaim sudah memiliki 15,7 juta pengguna yang tersebar di 300 kota dan kabupaten. Tiga bulan terakhir Sabda menyebut aplikasi mereka sudah diunduh tiga juga kali. Selain faktor konten gratis, kondisi pandemi yang mengharuskan kegiatan belajar mengajar dilakukan di rumah juga berpengaruh.

Beroperasi sejak 2004, Zenius merupakan salah satu pionir edtech di Indonesia. Mereka dulu lebih dikenal berkat produk kepingan CD/DVD yang memuat konten-konten pembelajaran. Keberadaannya makin dikenal publik luas ketika bisa diakses lewat situs web dan aplikasi mobile.

Hampir 16 tahun unjuk gigi di Indonesia, Zenius sudah mengantongi pendanaan seri A senilai US$20 juta atau setara Rp260 miliar saat diumumkan Februari kemarin. Northstar Group, Kinesys Group, dan BeeNext berpartisipasi dalam pendanaan tersebut. Melihat agresivitasnya belakangan ini, bukan tidak mungkin Zenius mulai melirik pasar baru di luar Indonesia. Namun Rohan Monga langsung menampik kemungkinan tersebut.

“Ada banyak yang masih harus kita kerjakan dan fokuskan di Indonesia,” pungkas Rohan.

Application Information Will Show Up Here

“Home Learning” Jadi Era Pembelajaran Platform Edukasi Online di Indonesia

Keputusan pemerintah menutup seluruh sekolah dan universitas di Indonesia memaksa kita mengadopsi solusi education technology (edtech) sebagai opsi alternatif kegiatan belajar-mengajar (KBM) yang selama ini biasa dilakukan secara offline.

Sayangnya, urgensi untuk memanfaatkan edtech justru terjadi di situasi yang tidak menyenangkan. Bagi stakeholder terkait, tentu ini adalah “pekerjaan rumah” yang berat mengingat belum ada konsep yang ideal untuk mengukur efektivitas KBM secara online.

Apalagi, membayangkan lemahnya akses internet di Indonesia menjadi salah satu penanda bahwa KBM di Indonesia belum sepenuhnya siap untuk bertransisi ke online.

Bagi Kristin Lynn Sainani, seorang profesor epidemiologi dan kesehatan populasi di Universitas Stanford yang telah menerapkan belajar online sejak 2013, transisi ini tidak bakal berjalan dengan mulus kalau tujuan utamanya hanya sekadar ingin menyelesaikan kelas dengan cepat.

Lalu, bagaimana startup edtech di Indonesia merespons transisi KBM ini dengan solusi teknologi?

Lonjakan trafik dan pengguna secara signifikan

Sebulan pasca-pemberlakuan home learning, platform edtech di Tanah Air mengalami lonjakan trafik layanan dan jumlah pengguna secara drastis. Hal ini masuk akal mengingat di situasi saat ini, platform edtech menjadi salah satu solusi satu-satunya untuk mengakomodasi KBM para siswa.

Data yang dihimpun DailySocial mencatat platform Kelase mengalami kenaikan trafik signifikan kurang dari seminggu dengan peak sampai sepuluh kali lipat, dan jumlah pengguna mencuat hingga 33 persen. Sementara Quipper mencatat kenaikan trafik hingga 30 kali lipat selama seminggu terakhir pasca pemberlakuan home learning di 16 Maret. Sebanyak 128 ribu tugas diberikan oleh 10.000 guru aktif di 10.000 sekolah, serta lebih dari 121 ribu siswa aktif telah menjawab pertanyaan dari 69 juta pertanyaan di platfom Quipper.

Data lain yang diterbitkan Telkomsel mencatat kenaikan trafik broadband sebesar 16 persen. Kenaikan ini didominasi peningkatan pengguna platform e-learning seperti Ruangguru, aplikasi yang tergabung dalam Paket Ilmupedia, situs e-learning Kampus, dan Google Classroom, yang meroket hingga 5404 persen.

Operator Tri Indonesia juga mengungkap aplikasi e-learning menjadi salah satu layanan digital paling diminati dalam sepekan terakhir. Dibandingkan pekan-pekan sebelumnya, trafik layanan Zenius di jaringan Tri naik 73 persen, diikuti Ruangguru (78%), Quipper (196%), dan Edmodo (841%).

Data di atas menandakan tingginya traction dan antusiasme masyarakat Indonesia terhadap pembelajaran online. Tinggal selanjutnya penyedia platform perlu memastikan ketersediaan kapasitas yang cukup untuk memastikan kestabilan layanan dan kenyamanan belajar.

Founder dan Direktur Kelase Winastwan Gora mengungkap pihaknya berupaya mengoptimalkan kapasitas layanannya. Malahan, pihaknya mendapat dukungan dari penyedia cloud dari Amazon Web Service (AWS) untuk mengoptimasi arsitektur dan meningkatkan kapasitas server.

“AWS memberikan kredit tambahan untuk server sampai akhir tahun dikarenakan situasi COVID-19 ini,” paparnya kepada DailySocial.

Sementara CEO Zenius Rohan Monga menyebutkan saat ini akan tetap fokus untuk memberikan kemudahan belajar mandiri di rumah. Ia mengungkap telah menyiapkan tim khusus yang berperan untuk menjaga kestabilan layanan di masa pandemi ini.

“IT team kami selalu bekerja keras sepanjang hari demi memastikan agar peningkatan trafik ini tidak membebani kinerja platform kami,” ungkap Monga kepada DailySocial.

Pandemi picu pengembangan fitur baru

Di awal pemberlakuan home-learning, sejumlah platform edtech berlomba-lomba memunculkan inisiatif baru, mulai dari berkolaborasi dengan operator seluler, menyediakan paket layanan gratis, hingga mengembangkan fitur baru untuk memperkuat kualitas layanannya.

Pada dasarnya, pengembangan fitur baru ini semata didorong karena adanya urgensi terhadap pemberlakuan home-learning. Dengan semangat agile, para platform edtech berupaya untuk membantu siswa, guru, dan orang tua menyesuaikan diri dengan cepat.

Ruangguru memulai inisiatif ini melalui kolaborasinya dengan Telkomsel untuk menggratiskan layanan selama 30 hari dengan kuota 30GB. Kelase juga membuat program serupa, baik kelas online gratis di blajar.kelase.id dan versi pro gratis selama tiga bulan bagi lembaga yang memerlukan.

Berikutnya platform Zenius menggandeng beberapa operator untuk menghadirkan paket data gratis untuk mengakses ke sebanyak 80.000 konten pembelajaran. “Bahkan, layanan Zenius juga kini dapat diakses menggunakan aplikasi Gojek,” tambah Rohan.

Dari informasi yang dihimpun, platform Zenius, Kelase, dan Quipper mengembangkan fitur baru yang digarap untuk mengantisipasi kelanjutan home learning dalam beberapa bulan ke depan.

Platform Zenius meluncurkan fitur Live Class, tiga hari setelah pemberlakuan home learning. Fitur ini memungkinkan siswa untuk mengikuti sesi belajar secara secara live melalui aplikasi, website, dan akun YouTube Zenius dengan topik tertentu yang disediakan tutor Zenius. Para siswa juga dapat berinteraksi dengan memberikan pertanyaan melalui live chat. 

Selain Live Class, Zenius juga menyediakan fitur rencana belajar harian (Daily Study Plan) sebagai panduan bagi guru dan orang tua siswa untuk membimbing siswa yang melaksanakan belajar mandiri di rumah.

Senada dengan Zenius, platform Kelase juga meluncurkan fitur baru versi Beta untuk mengakomodasi komunikasi dua arah. Misalnya, peserta tak hanya mendengar dan melihat presenter tetapi juga melakukan presentasi dan tanya jawab dengan audio video. Fitur Kelase Live Lecture dijanjikan meluncur secara penuh dalam beberapa hari ke depan.

“Kami masih terus berbenah didampingi tim solution architect AWS untuk mengantisipasi lonjakan trafik tinggi dengan kehadiran fitur baru ini,” ungkap pria yang karib disapa Gora ini.

Untuk memberikan kemudahan penggunaan, Quipper mengembangkan fitur pengindeks transkripsi suara yang dapat mempermudah siswa untuk melakukan pencarian berdasarkan kata kunci, topik, atau materi tertentu yang muncul atau disebutkan di dalam video.

Business Development Manager Quipper Ruth Ayu Hapsari menjelaskan bahwa fitur ini juga mampu mendeteksi kata kunci berdasarkan kata-kata yang diucapkan oleh guru dalam video dan history belajar siswa di akun Quipper.

“Kami juga menghadirkan layanan Masterclass yang dapat membantu siswa untuk berdiskusi langsung dengan pengajar terkait mata pelajaran, PR, termasuk berkonsultasi mengenai rencana belajar,” tuturnya.

Tantangan transisi pembelajaran online

Sebetulnya, keputusan pemerintah untuk menjalankan home learning ibarat tugas dadakan yang perlu dikebut dalam semalam. Tentu keputusan hal ini akan menimbulkan tantangan beruntut bagi orangtua, siswa, dan guru. Pasalnya, selama ini sistem pendidikan Indonesia belum melihat pembelajaran online sebagai opsi setara dengan pembelajaran tatap muka.

Transisi akan semakin sulit manakala literasi terhadap digital di Indonesia masih rendah. Belum tentu kalangan orangtua, siswa, dan guru paham betul bagaimana menggunakannya. Namun, sisi positifnya, kondisi ini akan memaksa mereka untuk belajar menggunakan aplikasi dan layanan digital lain.

Selain itu, akses internet di Indonesia belum tersebar secara merata, terutama di daerah pedalaman. Kuota internet masih menjadi barang mahal bagi sekian banyak orang. Jadi, jangan harap bicara kegiatan belajar-mengajar dapat berjalan seamless.

Bagi Kelase dan Quipper, keterbatasan internet menjadi salah satu tantangan besar untuk memuluskan transisi ini. Menurutnya, keterbatasan kuota menghambat siswa pengguna untuk dapat mengikuti layanan yang butuh bandwith besar, seperti sesi perkuliahan live.

Tantangan lain yang tak kalah penting adalah sebagian besar guru yang menggunakan Kelase dan Quipper masih kesulitan dalam merancang Learning Management System (LMS). Hal ini membuat sejumlah fitur dalam kelas online belum dapat dimanfaatkan dengan baik.

Tantangan tersebut pada akhirnya dapat menjadi pembelajaran penting yang mendorong startup untuk mengembangkan solusi. Untuk menjawab kesulitan kuota internet, Kelase mengembangkan layanan Live Lecture yang dinilai hemat bandwidth.

Pihaknya juga menyediakan panduan singkat dan melakukan sesi pendampingan khusus terhadap guru dan orangtua secara online untuk mengoptimalkan penggunaan Kelase selama pemberlakuan home learning. “Karena hal ini juga, kami sedang mengejar timeline untuk pengembangan fitur baru lainnya, yakni Dual Presenter di Kelase Live Lecture,” ungkap Gora.

Senada dengan di atas, Ruth mengungkap bahwa pihaknya terus melakukan edukasi dan pelatihan untuk membantu guru-guru di sejumlah wilayah di Indonesia beradaptasi dalam menggunakan aplikasi belajar online.

Tak hanya melalui pengembangan fitur dan edukasi, pihaknya juga melakukan kolaborasi dengan operator telekomunikasi untuk memberikan kuota internet gratis. Kolaborasi ini dilakukan untuk menjawab keluhan orang tua terhadap semakin meningkatnya kebutuhan akses internet dari yang biasanya.

“Tentu kami juga berharap pemerintah untuk memaksimalkan sarana dan prasarana terhadap koneksi jaringan di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), khususnya untuk sektor pendidikan,” ujar Ruth.

Jika melihat kondisi di atas, tampaknya butuh waktu panjang bagi ekosistem pendidikan di Indonesia untuk beradaptasi. Sebagaimana pernah disebutkan, situasi pandemi ini bakal menjadi test case dan ajang pembuktian startup edtech, apakah layanan edukasi online siap menjadi platform primer di Indonesia.

Zenius Plans Business Growth, to Rocus on Tech Development and Content Production

The huge market potential in the edtech sector in Indonesia has encouraged Zenius to accelerate business growth in order to acquire more students while raising positive retention.

Zenius’ CEO Rohan Monga told DailySocial, after receiving US$20 million Series A funding (around 260 billion Rupiah), the company plans to develop technology, increase the variety of content, as well as recruit talent to strengthen the team. Aside from Northstar Group, Kinesys Group and BeeNext also participated in this round.

“The power of online learning platform positioned is the ability to analyze and diagnose each student based on collected data. Using a personal approach, it is expected to provide students with improved abilities. In order to create technology, it requires a very large cost.

The company also plans to launch massive marketing activities. Regarding marketing activities, Rohan said it will be similar to other players, all online and offline activities will be carried out as authentic. Zenius’ engineer team are based in Indonesia and India, with the objective to build technology that supports business processes.

Zenius focus as an edtech platform

zenius

Prior to the CEO position, Rohan Monga was a former Gojek’s COO and contributed to establishing first Indonesia’s decacorn at the early stage. He also the angel investor for Zenius’ seed funding. The sharp vision and mission of Zenius’ Co-Founder, Sabda PS who currently serves as Chief Educational Officer at Zenius, is one reason Monga is digging into the edtech sector in Indonesia.

“I am very enthusiastic about Sabda’s vision and Zenius team to present an even better online learning platform. This is in line with my experience mission in the technology era and my passion for social impact,” Monga said.

Was founded in 2004, Zenius claims to have formulated a learning approach using technology that prioritizes conceptual understanding and thinking model. The basic competency is to form a deep understanding of scientific concepts, not just a matter of remembering and memorizing.

Therefore, students should ideally have a good mindset after learning and be able to adapt and find solutions to the current problems they’re facing. The thinking ability is quite essential for future generations to adapt, collaborate and compete.

“I am very happy and glad for Monga to join Zenius. Monga, with his character that is focused on solutions and has deep insight and extraordinary experience in his field, is the most appropriate person for this role. I hope to encourage Zenius’ growth to continue improving the education sector in Indonesia,” said Sabda.

Zenius offers several types of products, the core business is Zenius.net, an online learning website contains more than 80 thousand leaning videos and hundreds of thousands of practice question

Zenius has several types of products, with the main product being Zenius.net, an online learning website that contains more than 80 thousand learning videos and hundreds of thousands of practice questions for elementary and high school levels that have been adapted to the national curriculum. Throughout 2019, the site has been accessed by more than 12.8 million users. Zenius has also launched mobile applications on Google Play and the App Store.

“I predict within the next 2-3 years there will be more and more edtech startups in Indonesia to bring new innovations around the online learning platform with diverse skills material to formal education as we have,” Rohan said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Strategi Pertumbuhan Bisnis Zenius, Fokus Kembangkan Teknologi dan Produksi Konten

Besarnya potensi pasar sektor teknologi pendidikan di Indonesia menjadi salah satu alasan mengapa Zenius awal tahun ini ingin mempercepat proses pengembangan bisnis, agar bisa merangkul lebih banyak siswa sekaligus mendapatkan retention positif.

Kepada DailySocial CEO Zenius Rohan Monga mengatakan, usai mendapatkan pendanaan seri A sebesar US$20 juta (sekitar 260 Miliar Rupiah), perusahaan berencana mengembangkan teknologi, meningkatkan variasi konten, sekaligus merekrut talenta untuk memperkuat tim. Selain Northstar Group, investor lain yang turut berpartisipasi dalam pendanaan adalah Kinesys Group dan BeeNext.

“Kekuatan dari online learning platform adalah kemampuan untuk melakukan analisis dan diagnosis masing-masing siswa berdasarkan data yang masuk. Dengan pendekatan personalisasi, diharapkan bisa meningkatkan kemampuan siswa untuk lebih baik lagi. Untuk bisa menciptakan teknologi tersebut tentunya dibutuhkan biaya yang sangat besar.”

Perusahaan juga berencana untuk melancarkan kegiatan pemasaran yang masif. Disinggung apakah kegiatan pemasaran akan serupa dengan pemain lainnya, Rohan menyebutkan semua kegiatan online dan offline akan dilakukan secara autentik. Zenius juga telah memiliki tim engineer berbasis di Indonesia dan India, berfungsi untuk membangun teknologi yang menyokong proses bisnis.

Fokus Zenius sebagai platform edtech

Sebelum menjabat sebagai CEO, Rohan Monga pernah menempati posisi COO Gojek dan turut membantu membangun decacorn pertama Indonesia tersebut di fase awal. Ia juga menjadi angel investor untuk pendanaan tahap awal Zenius. Ketajaman visi dan misi yang dimiliki oleh Co-Founder Zenius Sabda PS yang saat ini menjabat sebagai Chief Eductaional Officer di Zenius, menjadi alasan Rohan tertarik menyelami sektor edtech di Indonesia.

“Saya sangat antusias dengan pandangan yang dimiliki oleh Sabda dan tim Zenius untuk menghadirkan online learning platform lebih baik lagi. Hal tersebut sejalan dengan misi pengalaman saya di dunia teknologi dan passion saya terhadap social impact,” kata Rohan.

Berdiri sejak 2004, Zenius mengklaim telah merumuskan pendekatan belajar dengan teknologi yang mengutamakan pemahaman konseptual dan pembentukan daya nalar. Kompetensi dasar yang ingin dibentuk adalah pemahaman mendalam mengenai konsep keilmuan, bukan hanya soal mengingat dan menghafal.

Sehingga setelah belajar pembelajar idealnya dapat memiliki pola pikir yang baik dan mampu beradaptasi serta mencari solusi dari masalah yang dihadapi. Kemampuan berpikir ini juga yang nantinya dibutuhkan oleh generasi masa depan untuk beradaptasi, berkolaborasi dan bersaing.

“Saya sangat senang dan turut mengucapkan selamat atas bergabungnya Rohan ke Zenius. Rohan dengan karakternya yang fokus pada solusi serta memiliki wawasan mendalam dan pengalaman yang luar biasa di bidangnya adalah orang yang paling tepat untuk peran ini. Saya berharap dapat terus mendorong pertumbuhan Zenius untuk terus memajukan dunia pendidikan di Indonesia,” kata Sabda.

Zenius memiliki beberapa jenis produk, dengan produk utama berupa Zenius.net, sebuah situs web pembelajaran online yang memuat lebih dari 80 ribu video pembelajaran dan ratusan ribu latihan soal untuk jenjang SD-SMA yang telah disesuaikan dengan kurikulum nasional. Sepanjang tahun 2019, situs tersebut telah diakses oleh lebih dari 12,8 juta pengguna. Zenius juga telah meluncurkan aplikasi mobile di Google Play dan App Store.

“Saya prediksi dalam waktu 2-3 tahun ke depan akan makin banyak lagi startup edtech di Indonesia yang menghadirkan inovasi baru seputar online learning platform dengan materi skill yang beragam hingga formal education seperti yang kami miliki,” kata Rohan.

Application Information Will Show Up Here