Pandangan Investor tentang Kesenjangan Pendanaan Awal di Industri Startup Indonesia

Popularitas bisnis digital di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan membawa berkah bagi para investor. Pada 2018, Menristekdikti Mohamad Nasir sempat menyebutkan terdapat 956 startup di Indonesia dalam empat tahun terakhir.

Meroketnya industri startup turut mendorong iklim investasi. Startup bergerak cepat dalam mengembangkan inovasi yang memicu Venture Capital (VC) untuk berinvestasi dengan harapan return besar dan boom, industri VC tumbuh subur di Indonesia. Deal investasi semakin banyak, cuan ikut meningkat.

Sampai saat ini, ada banyak VC yang aktif memberikan pendanaan di Indonesia. Fokusnya beragam, mulai dari fokus pada pendanaan tahap awal (early stage) hingga penggalangan dana putaran akhir (later stage), seperti yang diterima Gojek dan Tokopedia.

Tidak ada yang menyangka model bisnis yang dijalankan keduanya berhasil merebut pasar di Tanah Air. Keduanya kini memiliki kesamaan, yakni sama-sama mengantongi valuasi tinggi yang mengantarkannya pada status unicorn dan memperoleh investasi yang terbilang sebagai pendanaan terbesar di Indonesia untuk saat ini.

Tahun lalu Tokopedia memperoleh pendanaan yang dipimpin Softbank dan Alibaba senilai $1,1 miliar atau setara Rp16 triliun. Sementara, Gojek dikabarkan bakal mendapatkan pendanaan seri F senilai $3 miliar dalam waktu dekat. Sebuah angka fantastis yang tidak pernah terpikirkan ketika keduanya merintis bisnis.

Semakin ke sini, ekosistem startup semakin terbentuk. Hal ini memicu sejumlah VC mulai aktif berinvestasi di Indonesia, termasuk kemunculan VC baru, seperti Venturra Discovery. Ekosistem startup kita juga banyak dimotori oleh kehadiran program inkubator dan akselerator.

Bukan berarti iklim investasi sepi-sepi saja pada masa-masa awal ekosistem startup terbangun. Co-founder dan CEO DailySocial Rama Mamuaya mengungkap, investasi startup pada 2014 ke belakang sangat aktif.

Ia mencontohkan e-commerce fashion wanita Berrybenka mendapat pendanaan seri B senilai $5 juta dari TransCosmos dan Gree Ventures. Angka $5 juta terbilang sangat besar untuk ukuran industri yang baru berkembang saat itu. Jika bicara kondisi sekarang, investasi $5 juta sudah sangat mungkin diperoleh startup sebagai pendanaan tahap awal.

Ada sejumlah faktor mengapa para investor kini mulai mengucurkan pendanaan seed dalam jumlah besar. Bisa jadi karena industri yang semakin matang hingga berubahnya mindset investor dalam berinvestasi di industri startup.

Meningkatnya nilai pendanaan seed dan perubahan mindset investor

Fenomena kesenjangan (gap) pada pendanaan tahap awal (pre-seed, seed, dan seri A) sebetulnya tidak mampir begitu saja. Pasar Amerika Serikat (AS) yang merupakan kiblat industri digital dunia juga sempat mengalaminya. Mengingat pasar digital AS dimulai sejak era 1999, tren pendanaan tahap awal VC di AS baru booming pada 2006.

Seperti dikutip dari artikel “Why Has Seed Investing Declined? And What Does This Mean for the Future?”, pendanaan tahap awal di AS sempat mengalami kemerosotan. Hal ini bukan disebabkan oleh kemauan VC untuk berinvestasi dalam jumlah kecil, melainkan perkembangan teknologi yang membuat biaya untuk meluncurkan dan mengembangkan produk startup semakin murah.

Bagaimana di Indonesia? Fenomena gap ini disebut mulai terjadi sejak dua-tiga tahun belakangan. Ada yang menyebutkan gap pendanaan tahap awal membuat para VC kini berinvestasi dalam jumlah kecil dengan nilai berkisar $100 ribu-$500 ribu. Ada juga yang mengatakan bahwa sesungguhnya gap ini paling dirasakan pada pendanaan seri A.

Saat ini, belum ada data yang dapat menunjukkan tren penurunan nilai pendanaan seed selama tiga-empat tahun terakhir. Hal ini karena sejumlah kesepakatan memang sengaja tidak umumkan agar startup dapat fokus untuk membangun produk dan terhindar dari publisitas pasar. Alhasil data yang tersedia saat ini hanya menampilkan jumlah deal untuk pendanaan seed dalam tiga tahun terakhir.

Namun, dari segi jumlah deal, pertumbuhan pendanaan tahap awal tidak terlalu signifikan. Startup Report DailySocial mencatat jumlah pendanaan seed (tidak termasuk pre-seed) mengalami naik-turun, antara lain 28 deal (2016) lalu naik menjadi 32 deal (2017), dan turun drastis ke 21 deal (2018). Sementara, pendanaan seri A mengalami penurunan drastis sebanyak 19 deal (2018) dari 29 deal (2017).

Investasi startup tahap awal dan series A di Indonesia
Jumlah deal pendanaan startup tahap awal dan series A di Indonesia

Berdasarkan wawancara DailySocial dengan sejumlah VC di Indonesia, beberapa di antaranya mengakui adanya gap tersebut. Head of Investment MDI Ventures Aldi Adrian Hartanto menilai stage wise untuk pendanaan seed mulai menjadi masalah karena perolehan dana investasi yang dikelola VC semakin meningkat.

Sebagai contoh saja, dalam dua tahun terakhir, ada beberapa startup yang telah memperoleh penggalangan dana tahap awal dengan nilai besar. Contohnya, Ajaib mendapat suntikan dana sebesar $2,1 juta (Rp29,6 miliar). Adalagi platform agregator logistik Shipper yang menerima investasi awal $5 juta (Rp70,1 miliar).

Nah, karena tren ini, Aldi menilai tidak masuk akal apabila VC memberikan investasi dalam jumlah kecil lagi. Alih-alih menahan pendanaan seed, industri VC justru meningkatkan besaran investasinya. Kondisi ini juga membuat sejumlah VC beralih fokus pada startup di growth round karena pengalamannya terbukti dan risikonya kecil.

“Karena banyak kekosongan [investasi] di seed, kondisi ini akhirnya memaksa startup yang masih berada di tahap itu untuk sekalian saja menggalang dana dalam nilai yang lebih besar,” ungkap Aldi beberapa waktu lalu.

Nilai pendanaan seed yang diumumkan dalam 5 tahun terakhir
Deretan pendanaan seed yang diumumkan dalam 5 tahun terakhir

Fenomena ini berkebalikan dengan kondisi di 2014 ke belakang di mana saat itu belum ada sektor bisnis yang menunjukkan dominasinya. Pertumbuhan industri baru berkembang dan startup masih mencari model bisnis yang tepat. Masuk akal jika investor belum berani berinvestasi di later stage karena berisiko gagal.

Seiring berjalan waktu, industri startup di Tanah Air semakin matang. Dominasi mulai ditunjukkan oleh keberhasilan sejumlah pelaku startup dalam menjalankan bisnis e-commerce, ride-hailing, dan online travel. Seleksi alam pun terjadi di mana ada banyak startup yang gagal dan investor memilih jalur exit lewat merger dan akuisisi.

Kini, investor mengalami perubahan mindset di mana startup yang ingin menggalang pendanaan awal harus memiliki rencana traction dan monetisasi yang jelas. Dengan kata lain, investor semakin selektif dalam berinvestasi.

Menurutnya, perusahaan VC kini cenderung konservatif. Hipotesisnya tak lagi sebatas pada visi dan misi para founder, tetapi termasuk bagaimana startup memiliki rencana monetisasi yang jelas dalam beberapa tahun ke depan, cara untuk scale up untuk pengembangan bisnis, dan tidak hanya fokus dalam mencari pendanaan saja.

Ia menilai akan sangat berbahaya bagi investor apabila menaruh uang di awal dalam nilai besar pada sebuah startup hanya bermodalkan produk, tanpa tahu rencana monetisasi untuk menuju profitabilitas.

Sebagaimana kita tahu, pendanaan tahap awal atau biasa disebut seed mengacu pada penanaman modal di awal untuk mendukung bisnis sebuah startup sampai dapat menghasilkan uang sendiri atau sampai penggalangan dana berikutnya. Startup tahap awal biasanya belum memiliki traction.

Partner Venturra Discovery Raditya Pramana juga menilai bahwa tidak tepat apabila startup menggalang investasi besar di awal dengan traction yang nihil. Menurutnya ada banyak yang harus dilakukan startup untuk mencapai sebuah valuasi.

“Di Indonesia, pendanaan seed $1 juta itu normal, kan valuasi jadi naik. Pasar makin kompetitif, semakin banyak orang ingin menaruh uang dalam jumlah besar. Yang utama itu orang mau mengambil uang dalam jumlah besar dengan valuasi besar,” ujarnya.

Pria yang karib disapa Adit ini menilai gap pendanaan tahap awal mulai berangsur mengecil sejalan dengan kemunculan VC baru yang fokus untuk mengisi kekosongan pendanaan seed di Indonesia.

Dampaknya bagi industri VC dan startup

Mindset investor tetap mengacu pada cuan. Memberikan investasi awal dalam jumlah besar tentu berisiko. Tetapi ada keuntungan yang dapat dirasakan bagi investor dan startup. Kami mencatat beberapa poin penting dari para VC terkait dampaknya bagi ekosistem startup di Indonesia.

Partner Alpha JWC Erika Dianasari menilai berkurangnya pendanaan VC pada seed justru membuka pintu bagi angel investor untuk berinvestasi di Indonesia. Di sisi lain, tren pendanaan awal yang lebih besar justru dapat memperkuat fondasi para founder startup untuk lebih giat dalam membangun bisnisnya.

“Hal lain menjadi poin penting, seleksi alam akan terjadi antara pemain berkualitas dan bisnis yang solid. Ketika investor lihat potensi besar startup, kenapa tidak kita investasi lebih? Dengan begitu tim dapat fokus membangun milestone sambil membebaskan founder dari distraksi lain,” jelasnya kepada DailySocial.

Sementara menurut Aldi, tren pendanaan tahap awal dengan nilai besar memberikan nilai tambah bagi startup untuk memiliki kesempatan meraih pertumbuhan awal lebih cepat dari sebelumnya. Dengan pendanaan ini, startup dapat memaksimalkan pengembangan produk demi menggaet traction dan mempercepat pencapaian valuasi.

Soal pencapaian valuasi memang tidak bisa kita bandingkan pada lima tahun ke belakang. Startup masih kesulitan untuk membuahkan traction karena sejumlah faktor, seperti ekosistem digital di Indonesia yang belum matang, infrastruktur yang masih minim, hingga rendahnya awareness masyarakat terhadap layanan digital kala itu.

“Startup dapat berkembang menjadi lebih cepat karena mereka didukung oleh pendanaan yang besar. Hal ini tentu bagus [bagi industri startup], tetapi bisa berdampak buruk karena dapat menciptakan gelembung [ekonomi]. Ini sebaiknya dihindari agar [pendanaan] seed bisa balance lagi,” ucap Aldi.

Sementara itu, Adit menilai tingginya penggalangan dana untuk seed dapat mendorong industri VC. Menurutnya, semakin tinggi investasi yang dikucurkan, akan semakin besar juga fee yang dikantongi VC. Artinya, keuntungan ini dapat dimanfatkan perusahaan untuk melakukan ekspansi tim, serta membangun kapabilitas dan defensibilitas sebuah VC.

Ia mencontohkan, penggalangan dana sebesar $10 juta dan $100 juta tentu akan berbeda pengelolaannya, demikian juga fee yang diterima. Bayangkan jika VC mendapat dua persen fee atau $2 juta per tahun dari $100 juta, tentu ini lebih menguntungkan bagi pengembangan bisnis VC.

“Sebagai investor, kalau beli barang karena kualitas bagus tapi untung kecil buat apa? Nah, kalau saya bayar mahal sekarang [investasi di seed], tidak apa deh karena valuasinya bakal besar,” papar Adit.

Di sisi lain, Adit memprediksi tren pendanaan seed dalam ticket size yang lebih besar akan terus berlanjut sampai terjadi market correction yang masif. Menurutnya, jika market correction di pasar saham terjadi, hal ini akan berdampak pada valuasi startup yang didanainya dan membuat private market seperti VC ikut jatuh.

Dari paparan di atas, kita dapat sepakat bahwa pendanaan tahap awal di Indonesia masih cukup aktif meskipun tidak tumbuh secara signifikan. Bahwasannya juga, VC sudah mengubah mindset berinvestasi sejalan dengan perkembangan industri dan lanskap bisnis digital di Indonesia.

Peluang investasi di Indonesia menjadi tak terbatas mengingat VC tak lagi menyuntik pendanaan pada startup yang mengembangkan produk murni teknologi. Kini, VC juga sudah mulai masuk ke startup tech enabler dengan model bisnis konvensional, seperti coffee chain dan warung tradisional.

Meminjam sebuah istilah, tren “pendanaan seed masa kini adalah seri A di masa lalu, dan pre-seed adalah seed lama” di Indonesia sebetulnya kini telah dimulai.

Marsya Nabila berkontribusi dalam pembuatan artikel in-depth ini.

Induk Usaha Tanamduit Terima Investasi Tahap Awal 45 Miliar Rupiah

Mercanto Digital Asia, induk usaha platform reksa dana Tanamduit, menerima investasi tahap awal sekitar Rp44,7 miliar (US$3 juta) dari RDN Kapital, sebuah perusahaan modal ventura lokal yang terafiliasi dengan Minna Padi Group.

Dana segar tersebut sepenuhnya akan dipakai untuk mengembangkan produk Tanamduit, merekrut talenta baru di bidang IT dan marketing, dan melancarkan sejumlah inisiatif kegiatan marketing.

“Kita masih punya banyak kesempatan memperluas market share dan membantu pergerakan ekonomi Indonesia. Untuk itu, Tanamduit harus terus berekspansi. Penambahan modal akan membantu kita mewujudkan tujuan tersebut,” ujar CEO Mercanto Digital Asia Indra Suryawan, Selasa (4/9).

Tanamduit akan mengembangkan produk baru yang akan menyasar nasabah korporat, selain nasabah ritel. Nantinya nasabah korporat bisa mendapatkan keuntungan yang lebih dari menempatkan dananya di reksa dana, ketimbang di giro karena imbal hasilnya yang jauh lebih tinggi. Basis layanannya akan lebih ke arah situs desktop, berbeda dengan nasabah ritel yang lebih ditekankan ke aplikasi mobile.

Perusahaan juga akan perluas channel distribusi reksa dengan layanan e-commerce, namun belum banyak informasi yang bisa disampaikan oleh Indra. Dia hanya menuturkan pengumuman kerja sama antara keduanya baru akan diresmikan pada bulan depan.

“Tanamduit itu seperti wealth management. Tapi beda dengan wealth management yang ada di bank, kalau kami ingin buat orang jadi kaya. Makanya butuh kerja sama dengan banyak mitra untuk mewujudkan hal tersebut.”

Kinerja Tanamduit

Sejak berdiri pada tahun lalu, Tanamduit kini memiliki sekitar 8 ribu nasabah ritel dengan total dana kelolaan sekitar Rp20 miliar. Total manajer investasi yang telah bermitra di Tanamduit ada delapan perusahaan, di antaranya Bahana TCW Investment Management, Bahana Prosperindo Aset Manajemen, BNP Paribas Investment Partners, dan Mandiri Manajemen Investasi.

Dari delapan MI yang bermitra, terdapat sekitar 30 produk investasi reksa dana yang bisa dipilih nasabah. Kebanyakan didominasi jenis pasar uang, kemudian disusul saham.

“Karena sasaran kita adalah nasabah pemula, maka banyak produk reksa dana yang dihadirkan adalah pasar uang, lebih stabil dan cocok untuk mulai berkenalan dengan dunia pasar modal,” tambah Direktur Pengembangan Bisnis Tanamduit Muhammad Hanif.

Dia melanjutkan Tanamduit tidak ingin sembarang dalam menghadirkan produk reksa dana di dalam platform-nya. Untuk itu pihaknya memilih untuk selektif, biasanya produk yang ada di Tanamduit dipilih berdasarkan kinerja, umur produk, dan jenisnya apakah baru atau tidak.

Sampai akhir tahun ini diharapkan bakal ada penambahan dua MI baru yang hadir dalam Tanamduit sehingga nantinya akan ada 10 MI yang bergabung dalam platform.

“Kita tidak mau banyak-banyak bekerja sama dengan MI, mau diseleksi saja. Tujuannya agar nasabah tidak bingung.”

Hingga akhir 2018 ini, dari seluruh inisiatif yang bakal dilakukan Tanamduit, diharapkan dapat mendongkrak kinerja perusahaan secara keseluruhan. Untuk jumlah nasabah ditargetkan dapat menjadi 40 ribu orang, dengan dana kelolaan sebesar Rp100 miliar.

Tanamduit sebelumnya telah merilis aplikasi versi Android pada Februari 2018, menyusul kemudian versi iOS pada Juli 2018. Versi Android diklaim telah diunduh 6 ribu kali, sementara iOS sebanyak 2 ribu kali.

Application Information Will Show Up Here

Seed Adalah MMO Simulasi Berskala Masif yang Meleburkan Elemen Sejumlah Sub-Genre Strategi

Selama beberapa tahun terakhir, sebuah startup bernama Improbable berhasil mencuri perhatian industri gaming, terutama di mata developer indie yang tertarik mengembangkan game MMO (massively multiplayer online), dan bahkan Google sekalipun. Platform yang mereka kembangkan, SpatialOS, dirancang supaya developer bisa berfokus pada komponen utama game-nya, dan tidak usah memusingkan elemen online-nya.

Hingga kini memang belum banyak game yang memanfaatkannya, dan beberapa malah masih dalam tahap pengembangan awal (pre-alpha). Seperti salah satunya game berjudul Seed garapan Klang Games berikut ini. Yang unik dari Seed adalah peleburan elemen-elemen dari banyak genre sekaligus, mulai dari RTS, 4X, simulasi sampai survival.

Seed by Klang Games

Dalam Seed, tugas pemain pada dasarnya adalah mengendalikan sejumlah karakter yang tengah berusaha membangun ulang peradaban di suatu planet asing usai meninggalkan Bumi. Kira-kira seperti The Sims, tapi jauh lebih kompleks, apalagi karena Seed merupakan sebuah game MMO.

Berkat platform rancangan Improbable, ribuan pemain Seed (dengan sejumlah karakternya masing-masing) dapat bertemu dan berkolaborasi dalam misi kolonisasi atas planet tersebut. Interaksi antar pemain yang berujung pada pengambilan keputusan demi keputusan bakal berdampak langsung pada kesehatan ekonomi di planet tersebut.

Seed by Klang Games

Filosofi community-driven ini pasti bakal mengingatkan kita pada EVE Online, dan ternyata sejumlah pentolan Klang Games memang punya pengalaman dalam pengerjaan EVE. Pada akhirnya, skenario endgame Seed bisa sangat beragam tergantung bagaimana pemain berinteraksi satu sama lain dalam upaya kolonisasinya.

Video teaser Seed yang ada di bawah masih berstatus pre-alpha, akan tetapi kita bisa mendapatkan gambaran terkait skala masifnya yang dipadukan dengan dunia yang persistent. Seed belum punya jadwal rilis, akan tetapi pengembangnya semestinya bakal bekerja lebih keras mewujudkannya usai mendapat suntikan dana investasi segar sebesar $8,95 juta belum lama ini.

Via: TechCrunch.

EA Ciptakan ‘Self-Learning’ AI yang Bisa Bermain Battlefield 1 Tanpa Campur Tangan Gamer

Dalam game-game shooter, kecedasan buatan telah lama dimanfaatkan sebagai pengganti peran manusia. Walaupun pengembangannya dilakukan sejak dulu, terobosan teknologi ‘bot‘ terbesar muncul di era Counter-Strike. Saat itu, RealBot menggebrak industri karena kemampuannya mempelajari kondisi peta secara dinamis seiring bermain, dan tak cuma sekadar mengikuti waypoint.

Kira-kira 16 tahun sesudah momen itu, giliran Electronic Arts yang mencoba membuat revolusi. Lewat sebuah video, tim EA Search for Extraordinary Experiences Division mempresentasikan sistem kecerdasan buatan yang mampu belajar sendiri. AI tersebut diimplementasikan dalam permainan Battlefield 1 kreasi tim EA DICE. Hasil eksperimennya terbilang sangat mengagumkan karena ‘para agen’ artificial intelligent mampu bermain game secara begitu natural.

Karakter-karakter yang Anda lihat dalam video ini dikendalikan oleh satu neural network yang dilatih dari nol buat bermain Battlefield 1 melalui metode trial and error. Untuk memudahkan agen-agen tersebut belajar, SEED menyebar pasokan amunisi dan health. Pelan-pelan, AI dapat belajar mengumpulkan kedua jenis item ini ketika dibutuhkan. Kemampuannya itu juga mendorong kecerdasan buatan untuk fokus pada objektif.

Tentu saja AI ciptaan SEED masih jauh dari kata sempurna. Para agen memang sangat cekatan dalam bergerak, membidik dan menembak, tetapi tak jarang mereka jadi kebingungan – seperti berjalan berputar-putar dengan musuh di sampingnya.

“Masih ada banyak hal yang perlu dipelajari kecerdasan buatan ini, namun kami merasa percaya diri bahwa machine learning akan merevolusi ranah pengembangan game serta pengalaman menikmati permainan video dalam beberapa tahun ke depan,” kata sang narator.

Magnus Nordin selaku Technical Director SEED menjelaskan bahwa selain melakukan riset akademis, AI tersebut dikembangkan untuk mencoba menerka seperti apa teknologi gaming di masa yang akan datang. Target mereka tidak muluk-muluk, hanya berupaya memprediksi situasi tiga hingga lima tahun lagi.

Untuk melakukannya, tim SEED membangun purwarupa yang betul-betul bisa bekerja, dengan memanfaatkan kombinasi dari teknologi-tekologi ‘emerging‘ seperti AI, machine learning, VR ataupun AR, serta melalui penciptaan dunia-dunia virtual.

Yang saya bayangkan dari kreasi SEED ini adalah, bisa jadi dalam waktu dekat, para agen AI dapat dimanfaatkan untuk menghidupkan kembali peristiwa atau konflik bersejarah (seperti Ludendorff Offensive, Battle of Fao Fortress atau Battle of Vittorio Veneto) demi mempelajari taktik yang digunakan para panglima saat itu, dan menilik hal apa saja yang mungkin bisa mengubah hasil pertempuran secara signifikan.

Sumber: EA.com.

#SelasaStartup Episode 1, Menyelami Lingkup Pendanaan Seri A

Berbicara soal membangun bisnis startup jelas tidak bisa lepas dari urusan pendanaan. Lingkup perusahaan teknologi sangat akrab dengan beberapa fase bisnis perihal urusan pendanaan; fase seed, Seri A, Seri B, Seri C, dan seri-seri berikutnya hingga saham perusahaan siap dijual di pasar saham, atau tahap IPO (Initial Public Offering).

Sebelum terlalu jauh mengenal ronde-ronde dalam pendanaan tersebut, mereka yang berencana mendirikan startup, maupun yang telah mengenyam aliran dana di fase seed, umumnya punya satu pertanyaan sama: bagaimana kita mendapatkan pendanaan untuk tahap Seri A?

“Saat product dan market sudah fit, barulah waktunya pendanaan seri A,” terang Co-Founder dan CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra dalam event #SelasaStartup.

#SelasaStartup adalah acara bulanan yang membahas seputar industri teknologi dari perspektif, yang mencakup di antaranya seperti startup, investasi, pendanaan, inovasi teknologi, dan sejenisnya, dan diselenggarakan oleh DailySocial.

Pada Selasa (21/03) malam kemarin, #SelasaStartup memulai edisi perdananya menyoal satu topik yang menjadi buah bibir bagi tengah mencari sumber dana untuk bisnis teknologi rintisannya. Andi mengisi sharing session ditemani Wiku Baskoro, Co-Founder dan Editor-in-Chief DailySocial.

Andi, yang baru saja menerima dana segar tahap Seri A dari sebuah venture capital milik Bank BUMN bersama Amartha, menceritakan pengalamannya mengembangkan produk sampai teknis menyusun proposal ke investor.

“Ungkapan ‘we are here to change the world’ itu bukan hal yang ambisius,” ujar Andi, menyentil sedikit tentang dorongan dalam berinovasi.

Inovasi inilah yang kemudian berkaitan erat dengan bagaimana perspektif pemodal kala memutuskan untuk berinvestasi di sebuah startup. Berdasarkan apa yang dirasakannya, Andi menjelaskan bagaimana harapan investor yang ingin startup yang didanainya menjadi the next big things di Indonesia.

“Enggak perlu jadi the next Facebook di dunia deh, paling enggak jadi the next Facebook di regional.”

Memulai dengan bootstrapping maupun pendanaan dari angel investor menjadi keuntungan tersendiri bagi Andi. “Waktu seed itu masih leluasa untuk trial-error ke produk,” ujarnya.

Semakin besar skala perusahaan, semakin tinggi pula tanggung jawab yang mesti diemban. Menginjak tahapan Seri A, ruang untuk “coba-coba”sedikit menyempit dan valuasi bisnis pun kemudian menjadi satu pekerjaan rumah sendiri.

Pertanyaan yang muncul mengenai valuasi adalah tentang memulainya. “Bagaimana menghitung valuasi? Ceritakan saja dengan jujur apa yang menjadi strength dan weakness,” terang Andi.

“Di Indonesia itu lebih generik penentuan valuasinya. Bukan jumlah user berapa banyak, tapi produknya fit ke market enggak?”

Dibutuhkan nilai tambah produk untuk memenangkan hati investor dan mendapat valuasi yang tepat. Andi merasa Amartha telah melakukan hal itu dan ia sepenuhnya sadar bahwa investor berupaya mengeruk untung sebesar-besarnya di tengah peer-to-peer lending platform-nya yang dekat dengan kegiatan sosial.

“Bisnis dan sosial bukan hal yang harus dipisahkan dan harusnya bisa paralel. Amartha melihat bahwa para UKM ini bukan memposisikan tangan di bawah, tapi mereka mencari mitra kerja. Makin ke sini orang mulai berpikir bukan how much product you can make, tapi how much value you can bring to community,” jelas Andi.

Indonesian Government Makes It Even Harder For Startups To Raise Seed Funding From Foreign Investors

Lately I’ve been paying attention to the latest hostile move by government towards seed investment from foreign companies in Indonesia. If you try to raise money for your startup with less than $250,000 in capital, from foreign investors, you’re going to have a bad time. Although there’s no specific regulation that binds this, it seems that this shadow regulation has been taken into effect for the past few months.

Continue reading Indonesian Government Makes It Even Harder For Startups To Raise Seed Funding From Foreign Investors