Serba-Serbi Menentukan Metrik pada Startup

Metrik menjadi sebuah standar bagi pelaku startup dalam mengukur pencapaian bisnisnya. Tentu saja, startup wajib memiliki metrik agar dapat memahami bisnis yang mereka jalankan dan menentukan strategi bisnis ke depan.

Dalam webinar bertajuk “Measurements & Metrics“, CEO GoPlay Edy Sulistyo berbagi perspektif dan pengalaman menariknya dalam menggeluti bisnis konten on-demand di Indonesia. Edy yang sudah lama berkarir di dunia media entertainment ini mengungkap serba-serbi metrik di dunia startup.

Selengkapnya, simak rangkuman menarik yang dipaparkan Edy pada rangkaian sesi program akselerator ActCelerate yang diselenggarakan oleh MCash, SiCepat, dan DailySocial.id ini.

Menentukan metrik

Metrik “Bintang Utara” atau acap disebut “North Star” banyak digunakan oleh pelaku startup sebagai patokan bagi perusahaan untuk mencapai target bisnisnya. Ibaratnya one single metric.

Setiap vertikal bisnis startup punya metrik berbeda, tidak ada satu pun yang sama. Misalnya, bisnis e-commerce bisa jadi berpatokan pada Money Transaction User (MTU) atau Daily Transaction User (DTU). 

Pada kategori bisnis lain, bisa juga metriknya mengacu pada Monthly Active User (MAU) dan Daily Active User (DAU), atau DAU to MAU ratio untuk mengukur stickiness setiap pengguna. Semua itu kembali lagi tergantung pada jenis produk, bisnis, maupun visi-misi yang ditentukan startup. 

Lalu, kapan waktu yang tepat untuk menentukan metrik? Tentu saja sejak awal membangun bisnis. Ini menjadi penting untuk mengetahui tujuan apa yang ingin dicapai. Jika ingin mencapai suatu target, caranya dapat diterjemahkan melalui metrik. 

Metrik yang dicari investor

Edy memetakan tiga kategori metrik besar yang diincar investor. Pertama, metrik berbasis transaksi. Investor melihat pentingnya metrik berbasis transaksi untuk melihat seberapa sustainable sebuah bisnis, apakah dapat menghasilkan pendapatan atau EBITDA positif. 

Kedua, ada investor yang menyukai metrik berbasis MTU dan DTU. Umumnya, metrik ini digunakan pada produk dengan model berlangganan (subscription). Dengan metrik ini, investor dapat mengetahui seberapa banyak pengguna yang menggunakan layanan per hari atau bulannya.

Ketiga, DAU to MAU ratio. Bagi investor, metrik ini sangat penting karena dapat menunjukkan kualitas sebuah produk. “Ini menjadi honest metric tetapi sebetulnya sulit dijalankan. Biasanya, metrik ini wajib bagi startup yang sudah masuk tahapan seri E ke atas,” paparnya.

Ambil contoh, DAU sebuah layanan media entertainment berada di angka Rp100 ribu. Artinya, setiap harinya pengguna menghabiskan Rp100 ribu untuk konten. Apabila dikalikan selama 30 hari, kita akan mengantongi 3 juta unique user. Biarpun kelihatannya banyak, bagi Edy ini tidak menunjukkan hasil yang bagus karena tidak ada stickiness pengguna.

“Kalau ingin mencapai, misalnya, DAU to MAU ratio 20%, kita harus membuat 87% pengguna kembali lagi untuk spend besoknya. No amount of money yang bisa mengorkestrasikan itu. [Untuk mencapai ini] kita harus purely punya product-market fit,” tambahnya. 

Memitigasi kegagalan metrik

Setiap orang/divisi di perusahaan harus saling onboard dengan apa yang mereka kerjakan dan capai. Edy menilai, terlalu banyak metrik yang ingin dikejar akan menyulitkan startup dalam mencapai visi dan misinya. Apalagi kalau masing-masing divisi mengejar metrik yang berbeda. 

“Harus ada satu metrik yang matter the most. Memang semua metrik itu penting, tetapi tidak mungkin semua harus dicapai seluruhnya. Di kasus kami, biasanya kami adakan daily stand-up untuk saling mengetahui metrik apa yang ingin dikejar. Kan kalau berbeda jadi ketahuan. Selama semua tahu apa yang sedang dilakukan, ini dapat memitigasi kemungkinan gagal [sebuah metrik],” jelas Edy.

Tapi, ada pula kasus startup mengganti metriknya. Misalnya, startup beralih ke metrik ads-based karena MTU dianggap sudah tidak relevan dengan bisnisnya. Kemudian, berganti lagi ke DAU. Dengan catatan, semua ini dapat berubah tergantung pertumbuhan perusahaan, tahapan, dan arah bisnisnya di masa depan.

Menarik investor dengan metrik

Eddy menilai, melakukan comparable business menjadi salah satu strategi penting ketika mencari investor. Tujuannya adalah mengetahui posisi bisnis kita di industri, apakah ada yang jauh lebih besar dari bisnis yang kita jalankan, dan apakah ada kompetitor yang sampai ke jalur IPO.

“Jika tujuannya sampai ke IPO, mencari informasi soal kompetitor bisa membantu kita untuk menentukan valuasi. Misalnya, kompetitor kita melantai ke bursa. Kalau valuasi kompetitor dinilai dari sepuluh kali price to earning ratio, di sini kita dapat memperkirakan pendapatan atau valuasi bisnis kita,” ucapnya. 

Tak harus mencari studi kasus di perusahaan yang IPO, pelaku startup juga bisa menilik ke perusahaan private. Pembandingnya dapat dilihat dari sejumlah metrik, seperti GMV atau jumlah klien mereka.

Tapi perlu diteliti juga. Apabila kontribusi klien mencapai 50%, ini dapat menjadi red flag karena apabila kliennya berhenti, perusahaan dapat berpotensi kehilangan 50% pendapatannya. Bisa jadi ini pertanda bahwa bisnisnya belum product-market fit.

Jangan merekayasa metrik

Menurut Edy, ada saja pelaku startup yang merekayasa metrik demi meningkatkan valuasi atau memperoleh pendanaan dari investor. Baginya, hal ini tidak patut ditiru karena akan berbalik ke startup itu sendiri.

“Jangan sampai kita sengaja membuat metrik bohongan. Ketika mereka berhasil mengantongi valuasi dan pendanaan dengan nilai lebih besar, di sini your nightmare starts. Mendapat pendanaan bukan berarti selesai, justru semakin besar money yang diperoleh, semakin besar pula bebannya. Apalagi kalau raise money dengan valuasi di inflated number,” ungkapnya.

Edy mengatakan, startup punya runway terbatas dari pendanaan yang diterima sehingga kemungkinan besar mereka harus cari pendanaan baru lagi mengingat investor tidak suka dengan pertumbuhan bisnis yang lambat. Dari sini, masalah akan mulai muncul karena startup mau tak mau harus kembali merekayasa metriknya demi mencapai metrik yang lebih besar. Dengan kata lain, metrik bohongan ini tidak akan pernah ada habisnya.

Tantangan Membangun Komunitas dalam “Social Commerce”

Komunitas menjadi sebuah elemen penting dalam membangun dan menjalankan bisnis. Layaknya supporting system, sebuah komunitas merupakan tempat untuk orang-orang dengan pemikiran yang sama berkumpul dan menjalin relasi.

Dalam dunia bisnis, utamanya online, komunitas dapat memberikan pengaruh besar karena bisa menambah koneksi, berbagi wawasan, meningkatkan kepercayaan diri dalam berbisnis, dan tentunya memperluas jangkauan pasar. Hal ini berlaku pada berbagai jenis layanan atau bisnis, tidak terkecuali social commerce.

Sebagai layanan yang mengandalkan interaksi sosial untuk menjangkau pasar, tentunya komunitas menjadi salah satu ujung tombak bisnis social commerce. Hal ini turut diamini oleh Co-Founder & COO Meyer Food Athalia Permatasari dan Co-Founder Evermos Ilham Taufiq yang mengisi sesi diskusi #SelasaStartup di hari Selasa (24/8) lalu.

Dalam diskusi ini, para Co-Founder berbagi pengalaman mengenai peran komunitas dalam keberlangsungan bisnisnya. Selain itu, mereka juga turut mengungkapkan betapa pandemi memiliki efek samping yang luar biasa terhadap para partner/agen maupun perusahaan. Berikut beberapa poin yang dapat diambil dari acara #SelasaStartup yang bekerja sama dengan Endeavor Indonesia dengan topik Scale up 101: Building the Community.

Sesi #SelasaStartup bersama Meyer Food, Evermos, dan Endeavor

Menumbuhkan rasa percaya dan dampak positif

Bertahun-tahun telah berlalu sejak e-commerce berkembang di seluruh Indonesia, tetapi masih ada saja masyarakat yang masih belum mau berbelanja menggunakan platform daring. Mereka lebih memilih untuk datang ke tempat dan menilai secara langsung produk-produk yang ingin mereka beli. Ada beberapa alasan, salah satunya adalah rasa tidak percaya.

Ilham mengaku bahwa salah satu alasan Evermos dibentuk adalah untuk menjangkau konsumen yang masih enggan berbelanja disebabkan kurangnya rasa percaya terhadap platform-platform online. Lalu mereka mencoba masuk ke pasar yang lebih konvensional dengan perpanjangan tangan reseller. Dengan begitu, rasa percaya akan mulai tumbuh seiring konsumen menikmati pengalaman berbelanja yang lebih modern.

Sedikit berbeda dengan layanan Meyer Food yang dilatarbelakangi oleh keluarga salah satu Co-Founder Renny Lim yang merupakan pemilik bisnis supplier daging ayam. Perusahaan memiliki jajaran Co-Founder para wanita, salah satu misi mereka adalah untuk memberdayakan ibu rumah tangga yang juga punya keinginan untuk mandiri secara finansial agar bisa memanfaatkan waktu luang untuk menjadi reseller daging ayam.

Co-Founder & COO Meyer Food Athalia Permatasari turut mengungkapkan,”Kita percaya wanita bisa jadi penopang ekonomi di masa yang akan datang. Jadi, kita fokus untuk menciptakan cerita sukses yang lain, bukan semata-mata mendapat penghasilan. Kami ingin platform ini benar-benar bisa berdampak bagi orang banyak.”

Athalia juga mengungkapkan, “Selama dua tahun terakhir, hal yang sangat rewarding bagi Meyer Food adalah ketika bisnis yang dijalankan ibu rumah tangga yang pada awalnya tidak disetujui suami, bisa memberi hasil yang luar biasa hingga akhirnya meraih pendapatan berkali lipat lalu ikut didukung oleh suaminya.”

Evermos sebagai social commerce yang fokus pada nilai-nilai syariah turut mengungkapkan strateginya untuk bisa menjadi bisnis yang berdampak dengan 2R, yaitu Rupiah dan Ruhiyah. Ilham mengaku bahwa ia tidak hanya fokus dengan hal-hal pragmatis, namun ingin lebih serius untuk bisa mencapai inklusivitas. “Kalau sekedar aspek uang, kita semua tau dunia startup seperti apa,” tambahnya.

Menemukan rekanan yang memiliki integritas

Dalam sebuah komunitas, meskipun memiliki satu kesamaan, tentunya ada berbagai macam karakter individu. Ada yang benar-benar sepenuh hati ingin berperan membangun komunitas, ada yang hanya ikut-ikutan atau berpartisipasi hanya jika ada waktu luang. Tidak ada yang salah, namun ketika masuk ke ranah bisnis, hal ini menjadi tantangan tersendiri.

Dalam menjalankan bisnisnya, Meyer Food menerapkan kemitraan dengan sistem sharing profit untuk setiap item yang dijual. Sebagai partner/mitra bertanggung jawab sebagai distribution point serta menerima pembayaran COD. Tantangan muncul ketika ada partner yang tidak bisa mengelola pengeluaran dengan baik sehingga uang hasil penjualan terpakai untuk hal-hal lain.

Belajar dari pengalaman, Meyer Food kemudian memperketat proses kurasi bagi para mitra. Athalia mengungkapkan bahwa timnya ingin memiliki partner yang bukan hanya sekadar mau berjualan tetapi juga memiliki integritas serta komitmen jangka panjang dalam menjalani bisnis. Saat ini, layanan telah memfasilitasi sebanyak 100 mitra di area Jabodetabek. Mungkin bukan angka yang besar namun timnya memastikan bahwa mereka adalah mitra yang berkualitas.

Sementara di Evermos, pada awalnya layanan yang ditawarkan sepenuhnya gratis. Namun setelah beberapa lama, akhirnya mereka menerapkan proses kurasi dengan metode berbayar untuk melihat keseriusan mitra untuk berjualan. Namun selama pandemi, dua opsi ini tersedia agar tidak mempersulit mitra untuk berjualan.

Ketika membangun sebuah komunitas, sering kali kita memulai dari inner circle atau lingkungan terdekat. Di Meyer Food, pelanggan pertama mereka adalah salah seorang tetangga dari Athalia. Timnya mengaku ada banyak sekali pertimbangan dan kekhawatiran untuk bisnis ini bisa berjalan. Namun, seiring berjalannya waktu dan berkembangnya komunitas, maka satu per satu tantangan bisa dihadapi.

Mempertahankan keterikatan yang kuat

Jalannya sebuah komunitas juga bergantung dengan komunikasi serta interaksi yang baik antar sesama anggotanya. Ketika pandemi Covid-19 melanda, ada banyak pembatasan sosial yang terjadi di masyarakat. Hal ini sedikit banyak berpengaruh dengan keberlangsungan komunitas, dan juga bisnis.

Ketika sebuah bisnis telah memiliki engagement atau keterikatan yang kuat ke sebuah komunitas, maka komunitas tersebut bisa menjadi sumber umpan balik yang terpercaya. Evermos, sebagai social commerce mengaku sering terjun ke lapangan serta berinteraksi secara langsung untuk membangun keterikatan yang kuat dengan para reseller.

Menurut Ilham, banyak partner yang sedang terdampak dari sisi psikologi. “Dalam hal engagement kita harus bisa mengerti kebutuhan partner, termasuk menjadi tempat curhat mereka. Di situ kita belajar lagi untuk bisa jadi pendengar yang lebih baik dan mencoba mengerti kondisi partner. Ada baiknya untuk mendahulukan empati. Ini menjadi salah satu poin penting bagaimana membuat mereka nyaman dan loyal,” tambahnya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Bagaimana Payment Gateway Bantu Bisnis Lokal Bertahan

Pandemi yang masih berlangsung, ditambah dengan penerapan aturan PPKM, membuat seluruh lini bisnis harus lebih sigap meresponsnya dengan menyusun strategi agar dapat bertahan lebih lama. Memanfaatkan layanan digital pun menjadi jawaban termutlak yang perlu diambil pelaku bisnis.

Bagi korporasi, migrasi ke digital bukanlah hal yang sulit karena sudah memiliki sumber daya yang dapat membantu prosesnya lebih cepat. Beda halnya buat UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi negara, dengan segala keterbatasannya merekalah yang paling membutuhkan bantuan solusi teknologi.

Salah satu aspek penting yang dibutuhkan untuk bisnis dapat bertahan adalah memanfaatkan payment gateway. Midtrans adalah salah satu pemain di sektor ini yang ingin berbagi rangkaian inovasi solusi pembayaran yang mereka kembangkan semenjak pandemi.

Berkaitan dengan itu, sesi #SelasaStartup kali ini mengundang Head of Marketing Midtrans Rezki J. Warni dan Chief of Business & Operational Gramedia Digital George M. Souisa sebagai pembicaranya. Berikut rangkumannya:

Adaptif terhadap kebutuhan pasar

Rezki menyadari bahwa tantangan terbesar untuk transformasi digital adalah mengubah kebiasaan. Pandemi memaksa semua pihak, baik itu perusahaan maupun konsumen, untuk mengadopsi produk digital.

“Tantangan bagi pelaku bisnis adalah harus manuver dengan cepat, namun tetap efisien dari sisi development dan hemat pengeluaran. Kita lihat ada potensi yang bisa dilakukan Midtrans untuk bantu itu,” ucapnya.

Satu inovasi yang dirilis Midtrans sejak pandemi adalah Payment Link. Ini adalah link sederhana yang bisa pelaku bisnis buat melalui web dashboard atau aplikasi mobile, lalu dibagikan kepada para pelanggan melalui kanal apa pun, termasuk WhatsApp, media sosial, SMS, juga email. Payment Link menyediakan 24 pilihan metode pembayaran, mulai dari kartu debit, kartu kredit, e-money, virtual account, dan direct debit.

Tia, panggilan akrab Rezki, melanjutkan bahwa Payment Link merupakan solusi untuk semua skala bisnis karena cara penggunaannya yang sangat simpel. Buat skala UMKM, layanan tersebut merupakan solusi yang tepat karena tidak membutuhkan upaya ekstra untuk pengembangannya, apalagi mereka yang tidak memiliki tim IT.

“Keinginan kita adalah membuat ekosistem yang inklusif untuk semua orang karena teknologi itu enggak bisa dinikmati oleh segelintir saja, seharunya memudahkan pelaku bisnis dan ujung-ujungnya konsumen [yang menikmatinya].”

Kini, pengguna Payment Link naik sebanyak 105% sepanjang Juni 2020-Juni 2021. Dalam periode yang sama, transaksi juga meningkat hingga 20%. Tiga kategori merchant yang banyak menggunakan fitur ini adalah ritel, groceries, dan fesyen, yang mayoritas dari mereka memiliki gerai fisik.

Perkembangan inovasi baru tentunya perlu dibarengi dengan edukasi secara rutin. Tia menjelaskan dalam grup Gojek telah melakukan banyak inisiasi edukasi agar semakin banyak pelaku usaha yang ter-update dengan perkembangan terkini.

Salah satu yang saat ini masih dilakukan adalah Kamus (Akademi Mitra Usaha by Gojek) yang dijadikan sebagai wadah komunitas dan komunikasi. Di dalamnya terdapat sejumlah inisiatif, seperti Komunitas Partner GoFood, A Cup of Moka, Bincang Biznis, dan Temu Midtrans. Masing-masing dari mereka memiliki target pengguna yang berbeda-beda.

Dampak penerapan solusi pembayaran digital

Chief of Business & Operational Gramedia Digital George M. Souisa mengatakan, Gramedia Digital dirintis sejak 2015 untuk menjawab tantangan di dunia percetakan yang semakin dihadapkan dengan dunia digital. Pandemi menjadi pembuktian bahwa akselerasi digital adalah hal yang mutlak dan perlu digalakkan untuk strategi ke depannya.

“Karena kita sudah siap sejak empat tahun lalu [mendirikan Gramedia Digital], kita selalu mencoba menyesuaikan diri dengan perkembangan digital dan selalu adaptif agar tetap relevan,” kata Alvin, panggilan akrab dari George.

Gramedia Digital adalah salah satu pengguna solusi payment gateway dari Midtrans. Alvin mengaku banyak peningkatan bisnis yang turut dirasakan. Misalnya, perusahaan tidak perlu mengecek satu per satu setiap pembayaran yang masuk, dari sisi konsumen pun jadi lebih leluasa memilih opsi pembayaran yang sudah tersedia di Midtrans.

“Secara operasional, sudah tidak butuh karyawan khusus untuk menangani pembayaran lewat kanal digital. Setidaknya butuh satu tenaga admin untuk membuat invoice dan sebagainya.”

Di Gramedia Digital metode pembayaran yang paling populer adalah transfer bank. Kondisi tersebut berbeda dengan pembelian e-book, lebih populer e-money. Bila ditelusuri secara mendalam, perbedaan ini didasari oleh target konsumen yang berbeda antara pembeli di Gramedia Digital dan e-book. Pembeli e-book cenderung berasal dari generasi muda.

Tak hanya solusi gerbang pembayaran dari Midtrans, Gramedia Digital juga memanfaatkan solusi Selly yang juga ditenagai dengan Midtrans untuk kebutuhan solusi pembayaran di gerai Gramedia. Alvin mengaku Selly telah digunakan untuk di tujuh gerai Gramedia, ke depannya akan diperluas ke lebih banyak gerai Gramedia.

Selly adalah layanan spesifik di bawah ekosistem Gojek untuk UMKM mengelola logistik, operasional, hingga pembayaran dalam smartphone. Selly diperuntukkan buat social seller yang banyak memanfaatkan WhatsApp sebagai kanal penjualannya.

Alvin mengaku dengan penerapan teknologi pembayaran digital, mampu mengerek penjualan di Gramedia Digital sebesar 80% secara year on year. Pada tahun ini, perusahaan sedang mengembangkan platformnya untuk menjadi marketplace.

“Kita sedang mempersiapkan diri lebih jauh ke depannya, dibantu dengan pemain payment gateway untuk mempermudah bisnis kita dengan memanfaatkan teknologi. Kita sedang develop untuk menjadi marketplace pada tahun ini,” pungkasnya.

Justika Ungkapkan Potensi Pertumbuhan Legaltech Selama Pandemi

Ada beberapa catatan menarik yang dibagikan oleh Co-Founder dan CEO Justika Melvin Sumapung dalam sesi #SelasaStartup DailySocial.id bertajuk “The Potential of Legaltech in Indonesia”. Pertama, ia melihat pandemi telah mendorong lebih banyak masyarakat untuk melek terhadap persoalan hukum.

Selain itu konsultasi legal secara online juga semakin meningkat permintaannya. Topik yang banyak dicari adalah persoalan hukum dan regulasi yang bersinggungan dengan tren platform pinjaman online. Banyaknya kasus pinjol bodong saat ini di kalangan masyarakat menjadi perhatian tersendiri bagi mereka untuk mencari tahu dan tentunya lebih berhati-hati lagi dalam hal pemilihan platform finansial yang tepat.

Pemahaman legal

Justika’s CEO and Co-founder, Melvin Sumapung with CTO dan Co-founder, Husein / Justika

Meskipun secara traksi sebelum sepopuler platform lain seperti telemedis, namun kanal konsultasi legal berbasis teknologi dinilai memiliki tren yang menjanjikan. Sebagai platform yang menyediakan layanan tersebut Justika mencatat, kebanyakan persoalan hukum atau konsultasi yang banyak ditanyakan kepada mereka adalah persoalan keluarga. Mulai dari waris, perceraian, dan lainnya.

Saat ini, Justika fokus pada tiga bidang hukum yang sering dihadapi masyarakat, yakni hukum keluarga, hukum yang melibatkan UMKM, dan hukum properti. Perusahaan berencana untuk memperluas dan memberikan akses layanan hukum lainnya yang dibutuhkan masyarakat.

Sebagai platform yang menjembatani advokat dengan pengguna, mereka juga ingin memudahkan proses tersebut dengan biaya terjangkau. salah satu caranya adalah memberikan opsi layanan yang bisa dipilih di platform. Hal ini menurut mereka cukup efektif untuk menghindari legal action yang melibatkan pengacara.

“Kebanyakan jika sudah melibatkan pengacara dan semua berjalan secara offline, akan menghabiskan waktu dan biaya yang sangat besar. Memanfaatkan platform seperti Justika, semua persoalan bisa di mediasi secara kekeluargaan,” kata Melvin.

Untuk memberikan informasi yang lebih akurat seputar waris, Justika telah menjalin kerja sama strategis dengan platform CariUstadz guna meluncurkan Kalkulator Waris Islam. Diharapkan Kalkulator Waris Islam menjadi sebuah solusi bagi masyarakat yang mengalami kesulitan dalam hal perhitungan harta waris dan pendampingan dalam pembagian harta waris tersebut sesuai dengan hukum Islam.

Teknologi juga telah memudahkan Justika untuk menghubungkan advokat yang relevan dengan pengguna. Menerapkan Natural language processing (NLP), pertanyaan yang sudah disaring sejak awal, kemudian bisa menentukan kebutuhan pengguna dengan advokat yang tepat. Dalam proses kurasi ini, Justika mengklaim melakukan monitor langsung.

Pandemi dan pertumbuhan platform legaltech

Selama pandemi tercatat ada beberapa persoalan hukum lain yang kemudian banyak ditanyakan oleh pengguna Justika. Di antaranya adalah persoalan ketenagakerjaan. Mulai dari proses untuk merumahkan pegawai, kontrak kerja, hingga memberikan adjustment yang tepat untuk gaji pegawai.

Selain persoalan ketenagakerjaan, mereka juga banyak menerima permintaan dan pertanyaan seputar utang piutang usaha, kredit macet, persoalan keterlambatan pembayaran klien dan masih banyak lagi. Persoalan ini mulai banyak muncul saat pandemi.

Dalam Global Legal Tech Report yang disusun Australian Legal Technology Association dan Alpha Creates, pandemi COVID-19 adalah tantangan teratas bagi perusahaan legaltech di seluruh dunia.

Meskipun masih banyak yang dilakukan secara konvensional, namun jasa hukum berbasis teknologi hingga saat ini sudah makin banyak jumlahnya. Pandemi secara langsung telah membantu platform seperti Justika untuk bisa mempercepat pertumbuhan bisnis, menawarkan jasa hukum hingga konsultasi secara digital.

Bulan Juni lalu Justika telah mengantongi pendanaan tahap awal dengan nominal dirahasiakan yang dipimpin oleh East Ventures, dengan partisipasi dari Skystar Capital.

“Salah satu cara yang kemudian secara agresif kami terus lakukan adalah edukasi. Apakah itu dalam bentuk konten, webinar dan masih banyak lagi,” kata Melvin.

Gambar Header: Depositphotos.com

The Essentials of Crypto as a Digital Asset

Before the Bitcoin price went public, Lawrence Samantha, who currently serves as Founder & CEO of a cryptocurrency investment platform called “Nobi”, was already interested in studying this digital asset based on blockchain technology. With a programming background, he began to explore the various types of digital currencies until he finally believed that crypto was the most perfect digital asset.

However, behind the perfection of crypto assets, there are many things one must learned in order to understand the whole process. Although crypto assets in Indonesia are currently limited to commodities, there are already several platforms that offer easy ways to profit from various types of crypto assets, one of which is Nobi.

In addition, Lawrence also said some other reasons to encourage people to invest in crypto assets. The decentralized technology on top of the blockchain platform allows users to monitor movements and carry out transactions without intermediaries, in other words, this technology offers a more transparent system. In terms of price, one of crypto’s many variants, Bitcoin, is referred to as the asset with the highest increase over the last 10 years.

Several facts mentioned above will sound tempting to some people. However, with all the advantages it has to offer, it is important to learn the whole practice of crypto as a digital asset.

Risk profile and high volatility

With the high level of security offered, crypto assets are also known to be highly volatile, meaning the price can go up rather quickly and then suddenly drop as well. Then, the question arises, are crypto assets suitable for the market in Indonesia?

Quoting from Coindesk, “Crypto markets are volatile because there’s no central authority to stop them from being so. Crypto asset prices, therefore, can be assumed to represent investor sentiment more fairly. This hints at what a “pure” market could look like.”

Lawrence also said that Indonesia is actually quite behind in terms of crypto assets with only 2% understanding rate, while there are more than 10% of people who have used this product in the United States. Regarding high risk, Lawrence emphasized, “All investments will have high risk if we’re not willing to learn.”

Crypto’s variants

The Ministry of Trade (Kemendag) recorded that crypto asset investors as of May 2021 have reached 6.5 million people with a transaction value of IDR 370 trillion. It has exceeded the number of capital market investors on the Indonesia Stock Exchange. This proves the high interest of Indonesian people to invest in crypto assets.

There are more than 3,000 types of crypto assets circulating around the world, and there will be more in the future. Recently, CoFTRA published a list of 229 crypto assets allowed to use for trading in Indonesia. Some of the popular types are include Ethereum, Dogecoin, Ripple, Stellar and the most used is Bitcoin. There are only 21 million bitcoins worldwide.

Among the many crypto assets with high volatility in circulation, it turns out that there is a category of stablecoin. Quoting from Coinbase, Stablecoins is a digital currency that are pegged to a “stable” reserve asset such as the US dollar or gold. Stablecoins are designed to reduce the volatility associated with non-pegged cryptocurrencies such as Bitcoin.

Continuous lesson

When we started something, there are always some must-followed learning processes. It is similar to when the internet’s first penetration in Indonesia, not everyone understands how to use it. However, as time goes by and the benefits are getting real, people are increasingly interested in learning further.

It is not much different with crypto assets, which are also referred to as investment alternatives in this digital era. In terms of technology, there have been a lot of innovations that have emerged in the last ten years in the cryptocurrency industry. More derivative products are delivered from crypto as digital assets. This shows that the more people who are involved in this industry, the more innovation will be present.

As someone who has studied crypto assets from the beginning, Lawrence advised that everyone who wants to get into crypto asset investing must be willing to learn. Understand the most fundamental in investing and its products [crypto assets]. Recognize its nature and continue to monitor its movements. That goes with the saying that represents if you don’t know it, how would you love it.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Gambar Header: Depositphotos.com

Pentingnya Mempelajari Seluk Beluk Kripto sebagai Aset Digital

Sebelum harga Bitcoin mengudara di publik, Lawrence Samantha, yang saat ini menjabat sebagai Founder & CEO di sebuah platform investasi cryptocurrency bernama “Nobi”, sudah mulai tertarik mempelajari aset digital yang berbasis teknologi blockchain ini. Berlatar belakang seorang programmer, ia mulai mengeksplorasi ragam jenis mata uang digital ini hingga akhirnya meyakini bahwa kripto merupakan aset digital yang paling sempurna.

Namun dibalik kesempurnaan aset kripto, ada banyak hal yang harus dipelajari hingga bisa paham seluk beluk penggunaannya. Meskipun saat ini aset kripto di Indonesia terbatas sebagai komoditas, sudah ada beberapa platform yang menawarkan cara mudah mendapatkan keuntungan dari berbagai jenis aset kripto, salah satunya Nobi.

Selain itu, Lawrence juga mengungkap beberapa alasan lain untuk mendorong masyarakat berinvestasi pada aset kripto. Teknologi desentralisasi di atas platform blockchain memungkinkan pengguna untuk memantau pergerakan dan melakukan transaksi tanpa perantara, dengan kata lain teknologi ini menawarkan sistem yang lebih transparan. Dari segi harga, salah satu jenis aset kripto yaitu Bitcoin disebut sebagai aset dengan peningkatan paling tinggi selama 10 tahun terakhir.

Tentunya beberapa fakta di atas terdengar menggiurkan bagi sejumlah orang. Namun, dengan segala keuntungan yang ditawarkan, penting sekali untuk mempelajari seluk beluk kripto sebagai aset digital.

Profil risiko dan volatilitas tinggi

Dengan keamanan tingkat tinggi yang ditawarkan, aset kripto juga dikenal memiliki volatilitas tinggi, berarti harganya bisa naik tinggi dengan cepat lalu tiba-tiba turun dengan cepat juga. Lalu muncul pertanyaan, apakah aset kripto cocok dengan pasar di Indonesia?

Mengutip dari Coindesk, “Pasar Crypto mudah berubah karena sistem desentralisasi yang menyebabkan ketiadaan otoritas pusat untuk menghentikannya. Oleh karena itu, harga aset kripto dapat dianggap mewakili sentimen investor secara lebih adil. Hal ini mengisyaratkan pasar yang murni”.

Lawrence turut menyampaikan bahwa Indonesia sebenarnya cukup ketinggalan dalam hal aset kripto dengan persentase pemahaman hanya sekitar 2%, sementara di Amerika Serikat terdapat lebih dari 10% masyarakat yang sudah menggunakan produk ini. Terkait risiko tinggi, Lawrence menegaskan, “Semua investasi akan memiliki risiko tinggi kalau tidak ada keinginan untuk belajar.”

Ragam jenis aset kripto

Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat investor aset kripto hingga Mei 2021 sudah tembus ke angka 6,5 juta orang dengan nilai transaksi Rp370 triliun. Besaran angka tersebut sudah melebihi jumlah investor pasar modal di Bursa Efek Indonesia. Hal ini membuktikan tingginya minat investasi masyarakat Indonesia terhadap aset kripto.

Terdapat lebih dari 3,000 jenis aset kripto yang beredar di seluruh dunia, dan akan semakin banyak ke depannya. Belum lama ini Bappebti menerbitkan daftar 229 aset kripto yang dapat diperdagangkan di Indonesia. Beberapa jenis yang sering digunakan antara lain Ethereum, Dogecoin, Ripple, Stellar dan yang paling popular Bitcoin. Bitcoin sendiri hanya ada sejumlah 21 juta di seluruh dunia.

Di antara sekian banyak aset kripto dengan volatilitas tinggi yang beredar, ternyata ada yang berkategori stablecoin. Dilansir dari Coinbase, Stablecoin merupakan mata uang digital yang dipatok dengan aset cadangan yang “stabil” seperti dolar AS atau emas. Stablecoin dirancang untuk mengurangi volatilitas yang terkait dengan mata uang kripto yang tidak dipatok seperti Bitcoin.

Proses belajar yang terus berlangsung

Ketika memulai sesuatu, selalu ada proses pembelajaran yang harus dijalani. Tidak jauh berbeda ketika internet pertama kali masuk ke Indonesia, tidak semua orang mengerti cara menggunakannya. Namun seiring waktu berjalan serta manfaatnya semakin terasa, orang pun semakin berminat untuk mempelajari lebih jauh.

Begitu pula dengan aset kripto, yang juga disebut sebagai alternatif investasi di era digital ini. Dari sisi teknologi, ada banyak sekali inovasi yang muncul dalam sepuluh tahun terakhir dalam dunia cryptocurrency. Semakin banyak produk turunan dari kripto sebagai aset digital. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak orang yang berkecimpung dalam industri ini, akan semakin banyak inovasi yang hadir.

Sebagai seorang yang mempelajari aset kripto sejak awal, Lawrence berpesan agar setiap orang yang ingin terjun ke dalam investasi aset kripto harus mau belajar. Pahami hal yang paling fundamental dalam investasi dan produknya [aset kripto]. Kenali sifatnya serta terus pantau pergerakannya. Seperti pepatah mengatakan, tak kenal maka tak sayang.

Gambar Header: Depositphotos.com

Observing BukuKas Strategies for Fundraising

The MSME’s digitization is a big topic that has been widely discussed throughout this pandemic, as this sector is considered most affected and in urgent need of digital solutions to survive. At the same time, a great potential lies in this sector. Therefore, in the past year, new players have emerged and succeeded in attracting investors to channel their funds.

One of the startups with an exponential growth is BukuKas. Within two years, the startup which focuses on developing applications for financial records for MSMEs, has successfully closed a series B funding round of $50 million (more than 727 million Rupiah). This is quite a large nominal for series B funding which usually starts from $30 million to $60 million.

What really makes this MSME financial recording business so sexy in the eyes of investors? And how can BukuKas’ growth hacking strategy close the Series B round within just two years? Regarding this matter, #SelasaStartup invited the Co-Founder and CEO of BukuKas Krishnan Menon.

Product market fit first

BukuKas product is actually very simple, financial records for MSMEs. However, in order to get into today’s products, companies have to do research many times, observe trends in the industry and ask user’s feedback. In the first three months of BukuKas, the company invested a lot in product market fit.

After all, product market fit is a neverending process as there will always new innovations. Therefore, it takes passionate people for early team, having deep experience in the industry, and directing all available energy to achieve a good product.

“Because creating a product that is easy to use is not an easy process. It can be proven from our application usage in the industry as we see what the market needs,” Menon said.

The initial team was built with solidity and dedication. Menon suggested giving them company shares, therfore, they have a sense of ownership instead of just paying them, especially if the company can’t provide high salary.

This condition is to overcome the retention of quality employees, especially the supply of quality talent is limited. “Give them sense of company ownership, that’s our way of getting good employees at the seed stage.”

Create an interactive pitch deck

Making a deck is a bit tricky because it has to summarize information about the company, business plan, and potential market. Menon recommends decks should be no longer than 15 pages to keep the duration short. If it’s possible, always prioritize graphics with a minimum text to make it more interactive.

“The basic mistake of founders is making textbook-like decks. Aim for minimal text, maximizing graphics and no more than 15 slides.”

He also suggested to create company’s deck that can be compared with other similar companies, therefore, investors won’t have to read all the pages. This method is proven to reduce time and attract more investors.

In addition, to practice smooth presentation, before going to a VC with larger funds, it’s better to get into an angel investor first. Menon thought angel investors is a good start because they generally provide a lot of useful advice for founders.

“They can also provide new connections to founders, making it suitable for founders with minimal connections to broaden network.”

Fundraising starts now

Menon continued that fundraising needs to start now, because this pandemic is proving that digital is the future way of working. Therefore, founders should have a nominal projection for 18 months runway. The fund must have a clear and detailed business plan.

The assumption that the early-stage investors investing in founders, according to Menon, is completely true. That anyone could actually make the same product. The difference is how to take the opportunity by offering a solution, whether real or not.

“We have no specific strategy to get the seed investment. We’re just being ourselves, being honest, and mission driven.”

Menon believes that large capital will double up the probability of a company to become a market leader. However, he did not agree on capital being the main factor. In fact, there are many other thingsthat can be of support.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Menengok Strategi Penggalangan Dana ala BukuKas

Digitalisasi UMKM adalah topik besar yang banyak dibahas sepanjang pandemi, karena sektor inilah yang paling terdampak dan paling membutuhkan solusi digital agar tetap bertahan. Di saat yang bersamaan, potensi besar tersimpan di sektor ini. Makanya dalam setahun belakangan, banyak pemain baru bermunculan dan sukses menarik para investor untuk menyuntikkan dananya.

Salah satu startup dengan pertumbuhan eksponensial belakangan ini adalah BukuKas. Dalam waktu dua tahun startup yang fokus pada aplikasi pengembang pencatatan finansial untuk UMKM ini, sukses menutup putaran pendanaan seri B senilai $50 juta (lebih dari 727 juta miliar Rupiah). Nominal ini cukup besar untuk pendanaan seri B yang biasanya dimulai dari rentang $30 juta sampai $60 juta.

Apa yang sebenarnya membuat bisnis pencatatan finansial untuk UMKM ini begitu terlihat seksi di mata investor? Lalu bagaimana strategi growth hacking BukuKas bisa menutup putaran Seri B dalam waktu dua tahun saja? Untuk membahas ini, #SelasaStartup mengundang Co-Founder dan CEO BukuKas Krishnan Menon.

Selalu utamakan product market fit

Produk BukuKas sebenarnya sangat simpel yakni pencatatan finansial untuk UMKM. Namun untuk mencapai di produk sekarang, perusahaan harus berkali-kali melakukan riset, melihat tren di industri dan bertanya ke pengguna. Pada tiga bulan pertama BukuKas, perusahaan banyak menaruh investasi di product market fit.

Toh, product market fit itu selalu berproses tidak pernah berhenti karena inovasi selalu ada yang baru. Maka dari itu, dibutuhkan tim awal dengan obsesi tinggi, punya pengalaman yang mendalam soal industri, dan mengarahkan seluruh energi yang ada untuk mencapai produk yang baik.

“Sebab untuk menciptakan produk yang mudah digunakan itu tidak mudah prosesnya. Bisa dibuktikan dari usage aplikasi kami di industri seperti apa karena kita melihat apa yang dibutuhkan market,” ucap Menon.

Tim awal tersebut, dibangun dengan solid dan berdedikasi tinggi. Menon menyarankan untuk memberikan mereka saham perusahaan agar punya rasa memiliki, sehingga tidak sekadar menggaji saja apalagi kalau perusahaan belum bisa menggaji mereka dengan nilai tinggi.

Kondisi tersebut untuk mengatasi retensi karyawan yang berkualitas, terlebih supply talenta berkualitas itu terbatas. “Buat mereka juga memiliki perusahaan, itulah cara kami untuk mendapatkan karyawan bagus di tahap seed.”

Buat pitch deck yang interaktif

Membuat deck adalah pekerjaan yang sedikit tricky karena harus merangkum informasi tentang perusahaan, rencana bisnis, dan potensi pasar. Menon merekomendasikan deck tidak boleh lebih dari 15 halaman untuk tetap menjaga durasi tetap singkat. Diusahakan pula selalu mengutamakan grafis dengan minimal teks agar lebih interaktif.

“Kesalahan dasar yang biasa dilakukan founder adalah membuat deck seperti buku teks. Usahakan minimal teks, maksimalkan grafis dan tidak lebih dari 15 slides.”

Ia juga menyarankan untuk membuat isi deck perusahaan dapat dikomparasi dengan perusahaan lain yang sejenis sehingga investor tidak perlu membaca semua halaman. Cara ini terbukti bisa mengurangi waktu dan membuat orang jadi lebih tertarik dengan perusahaan Anda.

Tak hanya itu, untuk melatih kelancaran presentasi, sebelum menuju VC dengan dana yang lebih besar, ada baiknya untuk masuk ke angel investor terlebih dulu. Menon melihat angel investor adalah permulaan yang tepat untuk berlatih karena umumnya mereka akan memberikan banyak masukan yang berguna untuk para founder.

“Mereka juga bisa memberikan koneksi baru kepada founder, sehingga cocok untuk founder yang minim koneksi dalam membuka lebih banyak koneksi.”

Lakukan pendanaan dari sekarang

Menon melanjutkan saat ini adalah momen yang tepat untuk melakukan fundraising karena pandemi ini membuktikan bahwa cara kerja digital adalah masa depan. Oleh karena itu, founder harus membuat proyeksi nominal pendanaan yang dibutuhkan untuk runway 18 bulan ke depan. Dana tersebut harus memiliki rencana bisnis yang jelas dan rinci.

Anggapan bahwa pada tahap awal investor itu berinvestasi pada founder, menurut Menon, itu sepenuhnya benar. Bahwa siapa pun sebenarnya bisa membuat produk yang sama. Pembedanya adalah bagaimana mengambil kesempatan tersebut dengan menawarkan solusinya apakah nyata atau tidak.

“Tidak ada strategi spesifik yang kami lakukan saat mendapat investasi awal. Kami hanya menjadi diri sendiri, jujur, dan tetap mission driven.”

Menon percaya kapital yang besar akan membuat probabilitas suatu perusahaan menjadi pemimpin pasar jadi lebih besar. Namun, ia menampik bahwa kapital bukanlah faktor utama. Sebab ada banyak hal lain yang mendukung kesempatan tersebut.

Berbagi Pelajaran dan Pengalaman Menarik dari Program Inkubator Startup DSLaunchpad

Selalu ada pengalaman menarik yang diperoleh para peserta program inkubasi startup. Tak hanya pelajaran berharga bagi pengembangan bisnis, pelaku startup juga dipertemukan dengan berbagai orang hebat di bidangnya. Salah satunya melalui DSLaunchpad, program inkubator yang diselenggarakan oleh DailySocial.id.

Pada sesi #SelasaStartup kali ini, kami berbincang dengan Head of Marketing GoPlay Rizki Suluh Adi dan Co-founder Sertiva Saga Iqranegara yang masing-masing pernah berpartisipasi sebagai mentor dan peserta di DSLaunchpad 1.0. Simak selengkapnya, sejumlah pengalaman menarik yang dibagikan keduanya berikut ini.

Mengambil langkah pertama

Secara umum, Rizki menilai salah satu tantangan utama yang dihadapi pelaku startup adalah bagaimana mengambil langkah pertama untuk memvalidasi ide. Istilahnya adalah sanity check. Menurutnya, sanity check dilakukan untuk memastikan ide yang diambil dapat berguna atau tidak, dapat dikembangkan atau tidak, atau apakah sudah pernah digunakan orang lain atau tidak.

Sanity check menjadi aspek yang krusial mengingat peserta program inkubasi ini datang dengan idealisme masing-masing. Mereka bahkan tak hanya diikuti oleh pelaku startup yang sudah memiliki perusahaan, tetapi ada juga yang datang hanya dengan ide matang, tetapi masih ingin melakukan brainstorming.

Berbagi pada pengalamannya tahun lalu, ungkap Rizki, para mentor menambahkan satu aspek sanity check lagi, yaitu mengembangkan ide bisnis dengan mempertimbangkan pandemi Covid-19.

“Mengapa sanity check perlu? Banyak startup yang datang dengan mimpi the romance of startup. Misalnya, ingin menjadi startup unicorn, atau startup yang punya growth, dan bisa burning money. Namun, dunia ini mulai berubah, ada masalah baru dan orang-orang menjadi selektif,” ungkap Rizki.

Dengan menambahkan satu aspek baru, startup kini tak lagi hanya fokus untuk bertumbuh, tetapi bagaimana fokus untuk mencapai garis tersebut. Pandemi Covid-19 juga mengakselerasi kebutuhan yang sebelumnya dianggap belum waktunya dikembangkan. “Salah satu keunggulan startup dibanding lainnya adalah speed. Co-founder bisa kasih keputusan dengan cepat untuk mengakselerasi kebutuhan,” tambahnya.

Mempertemukan dengan koneksi baru

Rizki melanjutkan, program inkubator turut membantu mempertemukan pelaku startup dengan jaringan investor dan klien potensial. Dari pengalaman sebelumnya pada batch pertama, ia memperkenalkan grup peserta yang ia mentori dengan para investor dan klien B2B. Dengan catatan, peserta yang dipertemukan dengan investor ini adalah mereka yang sudah memiliki ide tervalidasi.

“Kita tidak bisa membangun semua sendiri. Maka itu penting punya ide yang tervalidasi, mempertajam masalah, dan mencoba apakah orang mau membayar produk yang kita buat. Selain itu, penting juga untuk bisa mengeksekusi ide. Orang bisa punya banyak ide, tetapi yang bisa mengeksekusinya itu yang bisa survive,” paparnya.

Mengembangkan startup dari luar Jakarta

Menurut data internal DailySocial.id, sebanyak 73% peserta DSLaunchpad berasal dari luar Jakarta. Dalam kaitannya dengan industri startup, sering kali ada anggapan sulit membangun startup dari luar Jakarta karena keterbatasan akses untuk mengembangkan bisnisnya. Contoh, akses pasar dan permodalan. Maka itu, program inkubator dirasa menjadi salah satu medium penting untuk memperoleh akses tersebut.

Saga mengakui bahwa ada satu titik di mana startup mau tak mau harus ke Jakarta untuk mencari mitra strategis dan mengembangkan pasar dengan strategi tertentu. Akan tetapi, ia menilai hal tersebut bukan selalu menjadi faktor penentu kesuksesan. Sekadar diketahui, Sertiva berasal dari Yogyakarta yang bergabung menjadi peserta DSLaunchpad angkatan pertama.

“Mendirikan startup bisa itu dari mana saja. Toh para startup unicorn saja pada akhirnya membangun tim di luar Jakarta,” ucapnya.

Merealisasikan kebutuhan lebih cepat

Ada pengalaman menarik lainnya yang dialami Saga saat menjadi peserta. Sejak akhir 2019 hingga awal pandemi Covid-19, Saga bersama timnya sempat melakukan pivot layanan sertifikat digitalnya. Sebut saja dari produk A ke B.

Ketika ia bergabung menjadi peserta DSLaunchpad, ia mengaku bertemu kenalannya yang kebetulan menjadi mentor di program tersebut. Yang menariknya lagi, mentor ini ternyata berminat menggunakan produk awal Sertiva sebelum di-pivot.

“Mentor kami hampir saja membeli layanan serupa Sertiva dari luar negeri yang harganya mahal. Setelah bicara soal kebutuhan mereka, kami akhirnya memutuskan untuk kembali ke produk awal. Intinya, pandemi ini seperti mesin waktu, di mana sesuatu yang bakal terjadi dalam 2-3 tahun ke depan, justru terealisasi lebih cepat. Di sisi lain, kami juga tak hanya dapat mentor, tetapi juga customer di program ini,” tuturnya.

Mentoring virtual tetap efektif

Terlepas dari kegiatan yang dilakukan secara virtual, Rizki menyebut ada banyak kesempatan dan pelajaran baru yang diperoleh di program inkubator DSLaunchpad. Para mentor juga diberikan keleluasaan untuk meracik kegiatan mentoring sesuai dengan preferensinya masing-masing.

Hal ini juga turut diamini oleh Saga yang menjadi alumni angkatan pertama. Menurut pengalamannya, para mentor yang disediakan tak cuma berbekal teori saja, tetapi juga pengalamannya dalam mengembangkan bisnis startup.

“Memang ada sedikit perbedaan dalam mengikuti program inkubator offline dan online. Tapi, kami lihat semua berjalan lancar dan tetap efektif. Bahkan, permintaan kami untuk tukar mentor yang sudah di-assign juga diperbolehkan karena kami pikir sebelumnya kurang pas dengan produk yang kami buat,” kata Saga.

Tantangan dan Peluang “Decentralization Finance” di Indonesia

DeFi atau decentralization finance sedang menjadi tren yang menarik di antara banyak variasi inovasi kripto. Salah satu yang mengakomodasi kehadiran DeFi adalah platform TokoCrypto. Untuk membahasnya secara mendalam, DailySocial menghadirkan COO TokoCrypto Teguh Kurniawan Harmanda yang akrab disapa Manda, dalam sesi #SelasaStartup.

Dalam paparannya, Manda menjelaskan bahwa DeFi merupakan salah satu kategori jenis token aset kripto yang beredar di dunia. Hasil transformasi dari industri finansial dengan tujuan untuk bisa memberikan layanan terbuka dan transparan kepada masyarakat tanpa perantara (permissionless).

DeFi umumnya berjalan dengan smart contract di atas platform Ethereum (ETH), salah satu aset kripto terpopuler selain Bitcoin (BTC). Smart contract tersebut memungkinkan DeFi berjalan secara otomatis tanpa kehadiran middleman atau pihak ketiga. Smart contract sendiri adalah bahasa pemrograman. Inilah pembeda utama DeFi dengan institusi keuangan tradisional seperti perbankan yakni disintermediasi.

Ekosistem kripto di Indonesia

Saat ini, perdagangan aset kripto di Indonesia terbilang cukup besar dan berkembang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa pemain yang juga sudah mendapatkan izin beroperasi dari Bappebti termasuk TokoCrypto, Indodax, Pluang, Pintu, dan beberapa lainnya.

Terkait regulasi, Manda mengungkapkan bahwa aturan DeFi di Indonesia yang baku itu belum ada, sementara terkait industri kripto regulasi yang diatur hanya sebatas perdagangan atau aset kripto sebagai komoditas. Sebagai sebuah instrumen baru yang bersinggungan dengan industri finance, wacana terus digulirkan untuk aturan bisa segera ditetapkan.

Meski belum bisa mencakup seluruh aspek yang melibatkan aset kripto, regulasi ini diharapkan menjadi titik awal ekosistem yang lebih terarah serta pedoman bagi para pemain dalam industri ini. Di samping itu, BPS juga telah mengeluarkan KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) khusus tentang “Aktivitas Pengembangan Teknologi Blockchain”, hal ini menunjukkan proyeksi yang cerah bagi masa depan aset kripto di Indonesia.

Di akhir tahun 2020, telah dibentuk sebuah asosiasi khusus bernama ASPAKRINDO (Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia) yang menaungi hampir seluruh pedagang aset kripto di Indonesia serta Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (ICDX) dan Indonesia Clearing House (ICH). Lembaga nonprofit ini bertujuan untuk mengedukasi masyarakat terkait aset kripto serta berperan sebagai jembatan untuk berdiskusi dengan regulator.

Tantangan dan peluang

Selain transparansi, DeFi juga menawarkan keunggulan dari sisi jangkauan. Ada banyak masyarakat Indonesia yang masih unbankable, jangankan pengalaman merasakan fasilitas keuangan, akses terhadap sistem perbankan saja masih terbatas. Bersifat tanpa perantara, aset kripto ini bisa dimanfaatkan oleh siapa saja yang memiliki akses internet dalam jaringan global.

Pemanfaatan aset kripto ini termasuk sebagai collateral atau jaminan pinjaman, tentunya dalam platform DeFi yang terdaftar. Terakhir, dari segi biaya, DeFi dinilai sangat efektif dan efisien untuk para borrower atau peminjam.

Dari segi keamanan, DeFi memang diciptakan dengan sistem keamanan mumpuni serta tanpa perantara. Hal ini menjadi suatu keunggulan namun juga risiko tersendiri bagi penggunanya. Pasalnya, setiap kelalaian akan sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu.

Perihal edukasi, DeFi memang membutuhkan pemahaman lebih dalam dari centralized-based crypto, karena segala seluk beluknya akan diurus secara personal. Dalam proses adopsinya, Manda turut mengungkapkan bahwa disrupsi tidak terjadi secara drastis, semuanya akan menempuh proses yang sering kali akan tidak nyaman di awal. Menjelang regulasi ditetapkan, TokoCrypto terus melakukan edukasi berikut implementasi dalam platformnya.

“Saat ini, mayoritas pengguna DeFi adalah mereka yang sudah lebih dulu terjun ke dunia aset kripto dan paham betul mengenai seluk beluk industri ini,” tambahnya.

Dalam implementasinya, teknologi DeFi bukan diciptakan untuk menggantikan bank sebagai lembaga finansial, namun sebagai alternatif dari fungsi bank yang semakin tergerus teknologi. DeFi menawarkan sistem yang efektif dan efisien sebagai transformasi antara industri finansial tradisional dan teknologi.

“Lima tahun ke depan, seiring dengan adopsi yang semakin masif serta semakin banyak orang yang merasakan manfaatnya, DeFi akan menjadi sesuatu yang umum di masyarakat,” pungkas Manda.