Mengenal Kubernetes dan Manfaatnya Bantu Startup Lebih Lincah

Google pertama kali memperkenalkan istilah “Kubernetes” pada 2014 berdasarkan pengalamannya selama satu setengah dekade terakhir menjalankan berbagai workloads hasil kontribusi dari berbagai komunitas pengembang dalam ekosistem teknologinya.

Selepas pengembangan awal, Kubernetes pun kian populer di kalangan pengembang dunia. Hal itu tak lepas dari fitur yang diusungnya diklaim memiliki sejumlah keuntungan, di antaranya skalabilitas, portabilitas, deployment yang konsisten, dan separated automated operation and development.

Sejumlah keuntungan dari Kubernetes sejalan dengan semangat startup dan kalangan enterprise yang ingin mempercepat transformasi digitalnya. Terlebih sejak pandemi, banyak pihak yang merasakan dampak dari beralih ke digital. Dalam membahas ini lebih jauh, #SelasaStartup kali ini mengundang VP & Managing Director Southeast Asia SUSE Isabella Kusumawati untuk berbagi pandangannya.

VP and Managing Director Southeast Asia SUSE Isabella Kusumawati / SUSE
Kubernetes adalah sistem orkestrasi kontainer open source yang menyediakan kerangka kerja bagi developer untuk mengatur kontainer

SUSE itu sendiri adalah perusahaan perangkat lunak untuk enterprise yang memiliki solusi Kubernetes dinamai Rancher. Berikut hasil rangkumannya:

Apa itu Kubernetes dan Mengapa dibutuhkan?

Kubernetes adalah sistem orkestrasi kontainer open source yang menyediakan kerangka kerja bagi developer untuk mengatur kontainer ini. Kontainer adalah cara modern yang dilakukan oleh para developer untuk mengemas aplikasi software, sehingga bisa lebih mudah didistribusikan dengan cepat dan efektif. Namun kalau ada terlalu banyak kontainer, ini bisa menjadi sangat sulit untuk dikelola.

Untuk mengoptimalkan fungsi teknologi kontainer, umumnya pengembang memanfaatkan sebuah aplikasi khusus, salah satu yang belakangan sering direkomendasikan adalah Kubernetes. Selain itu, Kubernetes bersifat portabel karena dapat disesuaikan dan dapat memfasilitasi otomatisasi, penerapan, dan konfigurasi kontainer di seluruh kelompok host.

Kubernetes berdiri di atas platform Linux dan dirancang sedemikian rupa untuk mempermudah pengembang mengelola kontainer yang berisikan sekian aplikasi melalui proses yang singkat dan mudah.

“Dengan memasukkan aplikasi ke dalam kontainer dan menggunakan Kubernetes, Anda telah merancang sistem yang bisa support zero down time. Didukung dengan distribusi sistem yang secara otomatis dapat terintegrasi dengan solusi penyimpanan, rollout dan rollback yang sangat penting bagi IP,” terang Isabella.

Dengan menggunakan Kubernetes, para pengguna dapat memperoleh sejumlah keuntungan di antaranya skalabilitas, portabilitas, deployment yang konsisten, dan separated automated operation and development. Misalnya untuk skalabilitas, Kubernetes secara otomatis men-scale cluster berdasarkan kebutuhan pengguna.

Dalam skenario ini, ketika trafik berada di kontainer besar, aplikasi secara otomatis bisa melakukan load balancing traffic, sehingga distribusi trafik tetap bisa dijalankan dengan stabil. Dengan demikian, pengguna dapat menghemat biaya dan sumber tenaga.

Kemampuan ini tentunya sangat berguna untuk aplikasi yang trafiknya sering tidak bisa diprediksi. Perusahaan harus tetap online melayani pembelian tiket acara online misalnya, di mana konsumen membeli tiket 24 jam dalam sehari, tujuh hari seminggu dengan beban yang bervariasi setiap saat. Kendati, Anda tahu gambaran garis besar tentang beban dan trafik pengunjung, serta pola-pola waktunya. Namun, ada saat-saat di mana ada lonjakan yang bertambah secara eksponensial.

Kubernetes untuk semua tahapan perusahaan

Isabella menegaskan, meski terkesan Kubernetes sangat tepat untuk level enterprise karena sangat mendukung proses transformasi digital, namun sebenarnya dapat diaplikasikan oleh semua level perusahaan. “Apalagi startup yang sangat cost conscious, Kubernetes dapat membantu mereka dalam menekan ongkos pengembangan aplikasi.”

Dengan sifatnya yang open source, pengguna akan diuntungkan karena model berlangganannya pay-as-you-use dan dilengkapi monitor manager yang otomatis memberikan rekomendasi untuk scale up atau down.

Umumnya, Kubernetes banyak dipakai oleh perusahaan yang bergerak di teknologi atau yang punya trafik tinggi, seperti manufaktur, ritel, telekomunikasi, distribusi, healthcare, dan lain-lain. “Telko saat ini paling sibuk saat Covid-19 karena mereka harus terus memastikan bandwidth cukup, mengurangi down time, harus selalu up time.”

Sementara itu, bagi perusahaan besar yang ingin menggunakan Kubernetes adalah metode baru karena dapat mempercepat proses pengembangannya. Isabella mencontohkan, sebuah perusahaan hanya membutuhkan waktu maksimal 1,5 bulan dari rencana awal 10 bulan dalam membangun aplikasi.

“Karena dulu saat bangun aplikasi, harus bangun satu per satu ke dalam folder yang tidak beraturan. Dengan clustering, kita menciptakan cluster-cluster sesuai bidangnya masing-masing. Sehingga saat mau mulai baru, tidak perlu brainstorming sudah sampai mana.”

Untuk membantu implementasi Kubernetes lebih masif, SUSE membuat buku Kubernetes Management For Dummies, untuk mendapatkan bantuan dalam membangun lingkungan Kubernetes tingkat perusahaan. Dilengkapi pula dengan komunitas yang hadir di tiap negara, termasuk Indonesia yang mengadakan pertemuan rutin untuk berbagi tentang informasi terbaru dan meminta bantuan apabila menghadapi masalah teknis saat migrasi.

“Kami juga membuat buku panduan untuk mahasiswa Rancher University agar bisa mempelajari Kubernetes sedari awal.”

Panduan tersebut akan mempermudah saat pengguna migrasi, pasalnya banyak tantangan dalam prosesnya karena pengguna memaksakan versi mereka sendiri. Ada sejumlah panduan yang langkah-langkahnya harus diikuti, misalnya operating system terbaru. “Tapi masih banyak yang tidak percaya dan merasa yakin bisa melewati tahap tersebut tanpa kendala. Saat tidak sesuai dengan best practise akan ada kendala, tapi tergantung kompleksitas clustering yang ingin dibangun,”pungkasnya.

Gambar Header: Depositphotos.com

Mendalami Teknologi Kubernetes di #SelasaStartup: “Kubernetes 101: The connection between technology and agility”

Perkembangan teknologi semakin cepat. Termasuk datangnya teknologi baru bagi kalangan software developer (pengembang perangkat lunak) yang memudahkan mereka untuk merancang sebuah aplikasi melalui ‘containers’. Kontainer adalah cara modern yang dilakukan oleh para developer untuk mengemas aplikasi software, sehingga bisa lebih mudah didistribusikan dengan cepat dan efektif. Namun kalau ada terlalu banyak kontainer, ini bisa menjadi sangat sulit untuk dikelola. Untuk mengoptimalkan fungsi teknologi container, umumnya pengembang memanfaatkan sebuah aplikasi khusus, salah satu yang belakangan sering direkomendasikan adalah Kubernetes.

Sebagai sistem orkestrasi container open-source, Kubernetes menyediakan kerangka kerja bagi developer untuk mengatur kontainer ini. Jadi, Kubernetes merupakan platform portabel yang dapat disesuaikan dan dapat memfasilitasi otomatisasi, penerapan, dan konfigurasi kontainer di seluruh kelompok host. Kubernetes berdiri di atas platform Linux dan dirancang sedemikian rupa untuk mempermudah pengembang mengelola container yang berisikan sekian aplikasi melalui proses yang singkat dan mudah.

Pertama kali dikembangkan oleh Google pada 2014 silam, Kubernetes merupakan proyek open-source yang dibangun berdasarkan pengalaman Google selama satu setengah dekade terakhir menjalankan berbagai workloads hasil kontribusi dari berbagai komunitas pengembang dalam ekosistem Google. Selepas pengembangan awal, Kubernetes pun kian populer di kalangan pengembang dunia. Hal itu tak lepas dari fitur yang diusungnya diklaim memiliki sejumlah benefit, di antaranya; service discovery and load balancing, storage orchestration, automated rollouts and rollbacks, automatic bin packing, dan banyak fitur lainnya.

Melihat ekonomi digital saat ini, aplikasi penampung ini menjadi hal normal baru yang sering ditemukan untuk organisasi modern yang mengelola aplikasi. Komunitas juga melihat organisasi perusahaan besar mulai menggunakan Kubernetes yang dapat membantu mempercepat transformasi digital perusahaan mereka. Kubernetes sendiri menyediakan platform bagi pengguna, berapa pun ukuran organisasinya,dapat mengelola container-container ini menjadi lebih efisien, dengan sumber daya yang lebih sedikit, dan tidak memakan banyak waktu.

SUSE Rancher melansir, Kubernetes merupakan solusi kunci bagi perusahaan dalam upaya transformasi digital.  Kubernetes mempermudah perusahaan dalam merancang, memaketkan, dan menjalankan aplikasi. Dengan memasukkan aplikasi ke dalam container dan menggunakan Kubernetes, tim Developer dapat mengintegrasikan solusi penyimpanan, mengotomatiskan peluncuran dan rollback, dan bekerja di semua infrastruktur selama mereka menjalankan distribusi bersertifikat. Ini adalah cara yang efisien bagi tim TI untuk mengelola jumlah kontainer mereka yang terus bertambah saat mereka ingin mengubah infrastruktur mereka. Hal itu didukung dengan solusi teknologi Kubernetes yang dianggap mampu meningkatkan kelincahan dan efisiensi bagi tim pengembang software perusahaan.

Melihat perjalanan teknologi saat ini, aplikasi perusahaan menjadi lebih kompleks, dan tim Developer dan operasi membutuhkan alat untuk mengelola kerumitan itu. Kubernetes adalah alat itu – memungkinkan perusahaan untuk menerapkan, menskalakan, dan mengelola aplikasi dalam container di mana saja. Baca panduan ini, Kubernetes Management For Dummies, untuk mendapatkan bantuan dalam membangun lingkungan Kubernetes tingkat perusahaan

Keunggulan lain Kubernetes tentu sepertinya tak akan cukup dijabarkan dalam satu halaman artikel ini. Jika Anda tertarik untuk mendalami solusi Kubernetes lebih lanjut, DailySocial bersama dengan SUSE mengajak Anda untuk membahas Kubernetes lebih lanjut dalam seri #SelasaStartup yang bertemakan “Kubernetes 101: The connection between technology and agility”. Rencananya, bincang hangat virtual seputar Kubernetes ini akan dilangsungkan pada 20 April 2021 pukul 7 malam WIB di platform Zoom. Sebelum itu, Anda juga bisa download dan membaca Kubernetes Management For Dummies, untuk mendapatkan gambaran dalam membangun lingkungan Kubernetes tingkat perusahaan. 

Pastikan Anda tidak melewatkan kesempatan ini untuk belajar lebih dalam seputar Kubernetes 101 bersama kami di #SelasaStartup.

Besarnya Minat Pemodal Ventura Lokal hingga Asing Berinvestasi di Startup Indonesia

Dalam paparan riset yang dilakukan oleh Alpha JWC Ventures bersama Kearney terungkap, masih banyak pemodal ventura lokal hingga asing yang berencana untuk berinvestasi kepada startup Indonesia.

Dalam salah satu rangkaian webinar #StartupUntukNegeri yang diinisiasi Amazon Web Services dan DailySocial, Co-Founder & General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe mengatakan, saat ini masih tersedia dana simpanan para VC yang telah dibukukan sejak tahun 2020. Namun yang membedakan kegiatan investasi saat pandemi adalah, proses due diligence dan kurasi yang makin ketat.

“Investasi di sektor teknologi menggiurkan bagi investor, terbukti dengan jumlah yang terus bertambah bahkan hingga 2 kali lipat meskipun saat pandemi. Ke depannya saya melihat akan makin banyak venture capital yang lebih berhati-hati ketika ingin memberikan investasi kepada startup Indonesia.”

Ada beberapa alasan mengapa saat pandemi masih banyak permodal ventura yang kemudian menggelontorkan dana mereka kepada startup Indonesia. Mulai dari perkembangan makro ekonomi positif, meningkatnya kualitas startup dan founder, adopsi digital yang lebih cepat selama pandemi, hingga upaya pemerintah memajukan ekosistem di kota tier 2 dan 3 dan tentunya infrastruktur digital yang makin membaik.

“Kemajuan teknologi juga dibantu dengan penetrasi internet di tanah air serta kemampuan belanja serta pembagunan infrastruktur di Indonesia, menjadi faktor yang kemudian menarik untuk dilirik oleh para investor. Ke depannya saya melihat akan bertambah lagi pertumbuhan digital di ekonomi digital Indonesia,” kata Jefrey.

Ditambahkan olehnya, Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara yang memiliki potensi untuk menjadi raksasa di regional. Saat ini menjadi momen yang tepat bagi Indonesia untuk tumbuh, didukung dengan jumlah populasi yang besar, yang didominasi oleh usia produktif dan berbakat.

Edukasi dorong adopsi digital

Menurut Shirley Santoso selaku Partner & Presiden Direktur Kearney, meskipun saat ini pertumbuhan ekonomi digital masih terkonsentrasi di kota tier 1 seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, namun melihat potensi yang ada kota di tier 2 seperti Semarang, Makassar, dan Denpasar sudah mulai menunjukkan pertumbuhan yang baik. Demikian juga dengan kota-kota di tier 3 seperti Magelang, Prabumulih, dan lainnya. Yang menjadi tantangan tentunya adalah kemauan dan inisiatif dari mereka untuk mulai mengadopsi teknologi.

“Kebanyakan dari mereka masih belum bersedia untuk mengeluarkan biaya lebih untuk membeli paket data atau menggunakan smartphone. Mereka masih cukup nyaman menggunakan cara-cara tradisional.”

Untuk memicu lebih banyak lagi masyarakat di kota tier 2 dan 3 mengadopsi teknologi, kegiatan edukasi kemudian wajib untuk dilancarkan. Bukan hanya dari pemerintah, namun juga startup hingga perusahaan teknologi yang ingin meng-cater kebutuhan mereka.

“Dengan kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh kota-kota di tier 2 dan 3, memiliki potensi besar bagi mereka untuk menjadi kontributor inti bagi digital ekonomi di Indonesia ke depannya,” kata Shirley.

Terkait dengan bisnis UMKM, saat ini sudah mulai banyak yang memanfaatkan teknologi untuk membantu bisnis mereka tumbuh lebih baik lagi. Namun kebanyakan dari mereka masih cukup pasif mengurus bisnis, dan hanya terbatas di penjualan, pembukuan, sourcing dan pengaturan inventori. Hanya sedikit di antara mereka yang kemudan menggunakan teknologi secara menyeluruh.

“Mayoritas masih melakukan kegiatan usaha secara tradisional, namun demikian awareness mereka akan produk digital cukup tinggi. Untuk itu penting diberikan edukasi solusi digital yang bisa membantu mereka,” kata Jefrey.

Jefrey menyimpulkan, teknologi dapat mengubah secara positif bagi bisnis UMKM, namun dibutuhkan kegiatan yang lebih untuk mendorong pertumbuhan tersebut yaitu melalui edukasi. Untuk itu bagi startup dan perusahaan teknologi yang ingin menyasar kepada pelaku UMKM, harus ada penawaran yang jelas dan solusi yang benar-benar dibutuhkan pengguna.

Gambar Header: Depositphotos.com

5 Paparan Adopsi Digital di Industri Logistik Indonesia

Pandemi Covid-19 memaksa banyak pelaku bisnis di Indonesia untuk mengadopsi layanan digital, tak terkecuali industri logistik, baik di first mile, mid mile, maupun last mile. Dengan situasi saat ini, bagaimana upaya ekosistem digital dalam mendukung tren logistik ke depan?

Diskusi menarik di sesi #SelasaStartup bersama Co-Founder dan CEO Shipper Budi Handoko dan Startup Account Manager Amazon Web Services Nicolas Tjioe mencoba memahami upaya mempercepat laju industri logistik menuju digital selama pandemi dan pasca pandemi.

Tantangan pelaku logistik

Pasar logistik Indonesia diestimasi bernilai $221 miliar, di mana e-commerce menjadi salah satu pendorong pertumbuhan. Sementara, nilai industri e-commerce Indonesia di 2020 mencapai $40 miliar dan diprediksi meroket menjadi $88 miliar di 2025. Inipun baru kontribusi dari e-commerce saja yang diprediksi tumbuh 4-6 kali lipat.

Dengan melihat tren jasa logistik di Indonesia, pelaku startup logistik berupaya menjangkau cakupan rantai logistik di Indonesia mengingat kondisi geografis masih menjadi salah satu tantangan besar bagi pelaku bisnis.

Budi Handoko menilai bahwa saat ini pemerintah tengah menggenjot pembangunan infrastruktur dan akses internet di seluruh Indonesia. Para pelaku logistik di Indonesia juga mulai mengadopsi teknologi dan solusi berbasis digital dengan tujuan untuk memberikan kemudahaan akses kepada mitra dan konsumen.

“Salah satunya melalui solusi cloud yang dapat memudahkan mitra dan konsumen untuk mengakses produk kami. Dengan begitu, semua jarak dapat tereleminasi baik dari sisi infrastruktur utama maupun produknya,” ujar Budi.

Momentum pandemi dan hari raya

Ada insight menarik lainnya yang ditangkap Shipper dan AWS, yaitu tren logistik di masa pandemi dan hari raya Lebaran. Menurut Budi, pandemi memberikan blessing in disguise terhadap industri logistik secara keseluruhan, termasuk Shipper. Permintaan terhadap pengiriman makanan, barang, dan alat-alat kesehatan memicu kenaikan jasa logistik selama masa pembatasan sosial.

Selama situasi ini, Budi mengaku tidak mengembangkan inovasi baru karena Shipper sudah lebih dulu membangun infrastruktur dan teknologi sebelum pandemi, termasuk mempersiapkan strategi untuk menekan kemungkinan cost yang lebih besar. Dengan kesiapan tersebut, pihaknya mengaku dapat mengakomodasi lonjakan permintaan yang tinggi.

“Pandemi menjadi turning point bagi kami karena jasa logistik meningkat seiring banyaknya permintaan pengiriman dan penjual yang beralih ke alat-alat kesehatan. Teknologi yang kami bangun sebelumnya menjadi berguna di masa pandemi,” ujar Budi.

Dari sisi adopsi digital, Nicolas Tjioe mengakui bahwa pandemi memunculkan tantangan efisiensi bagi pelaku bisnis. Dari situasi ini, AWS turut berperan untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku logistik yang banyak berkutat dengan proses bisnis manual.

“Selama ini banyak bisnis logistik menggunakan invoicing secara manual. Untuk menyelesaikan hal itu, mereka sebetulnya tidak perlu bangun tim IT atau data karena bisa pakai solusi managed services dari AWS. Solusi ini bantu mendigitalkan data menjadi softcopy. Ada banyak managed services yang dapat membantu tim logistik fokus di business growth tanpa perlu urus operasional,” jelas Nicolas.

Demikian juga di momentum Lebaran yang dapat memicu peningkatan pengiriman sebesar 5-10 kali lipat. Solusi yang ditawarkan AWS masih relevan dengan momentum tersebut. Dalam pengalamannya membantu pelaku bisnis, Nicolas menyebutkan bahwa solusi autoscaling dapat memprediksi tren scalability. 

Artinya, setiap ada lonjakan trafik, solusi ini secara otomatis dapat membaca tren kebutuhan yang diperlukan pelaku logistik secara akurat. Dengan solusi ini, time to market menjadi lebih cepat dan customer experience terhadap pelanggan tidak terganggu.

Teknologi untuk logistik

Dari sisi teknologi, Budi juga berbagi tentang inovasi yang dikembangkan Shipper. Pertama, inovasi untuk segmen retail. Menurutnya, teknologi ini dapat membaca tren logistik di area tertentu dan membantu pelaku bisnis untuk menemukan jasa pengiriman logistik yang sesuai dengan kebutuhan, tetapi tetap terjangkau.

Kedua, teknologi untuk fasilitas pergudangan. Pihaknya mengembangkan solusi yang sekiranya dapat membantu pengiriman barang dari jarak jauh, Makassar ke Jakarta misalnya, dengan biaya yang lebih murah. Ketiga, mengembangkan teknologi forecast kepada merchant ketika stok barang di gudang sudah mulai menipis.

Mencari pendanaan dari investor

Di industri manapun, termasuk logistik, investor akan selalu memikirkan return of investment (ROI). Dalam kasus investor yang sudah berinvestasi di perusahaan logistik dan mendapatkan keuntungan, tentu ada kemungkinan besar investor akan tertarik berinvestasi kembali.

Namun, Budi menilai mencari investor jangan hanya terbatas di dalam negeri saja. Menurutnya, penting untuk mencari investor luar karena skala bisnis logistik tidak hanya di Indonesiaa, tetapi juga di global. Artinya, ketika ingin melakukan ekspansi ke luar, pelaku bisnis dapat memanfaatkan jaringan investor global yang dimiliki.

“Masuknya Shipper ke Y Combinator membuat kami menjadi dikenal oleh global. Kendati begitu, saat ini kami masih fokus di Indonesia karena negara kita luas sekali. Bahkan cakupan logistik di Indonesia mungkin masih seperti piramida, masih banyak di atas,” tambahnya.

Apabila mendapat investor yang baru masuk ke logistik, ia menyebut bahwa open communication menjadi kunci penting untuk menjalankan bisnis ke depan.

Memulai transformasi digital

Bagi pelaku logistik yang ingin memulai transformasi digital, saat ini sudah banyak layanan cloud yang mengakomodasi kebutuhan ini. Di AWS, Nicolas memberikan contoh tiga opsi program yang dapat dipertimbangkan oleh pelaku logistik untuk memulai adopsi digital.

Pertama, opsi founder portoflio atau ditujukan bagi pelaku bisnis yang baru membangun minimum viable product (MVP). Kedua, opsi VC portfolio atau ditujukan bagi pelaku bisnis yang sudah menerima pendanaan dari investor. Dan ketiga, program SaaS factory yang menawarkan solusi bagi pelaku bisnis yang sudah masuk ke tahapan diversifikasi produk.

“Efisiensi dan menaikkan daya saing adalah manfaat yang dapat diperoleh dari transformasi digital. Dalam konteks industri logistik, transformasi ini dapat mengurangi biaya dan membangun long-term growth. Yang ingin kami tekankan, tidak semua harus dibangun dari scratch karena AWS support dari sisi inovasi,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Adaptasi dan Peluang Pertumbuhan Bisnis Logistik di Tengah Pandemi

Bisnis logistik sempat mengalami masa surutnya di awal pandemi Covid-19 melanda tanah air. Ketidakpastian pada sektor transportasi dan pembatasan aktivitas sosial sempat menjadi penghalang untuk industri ini bisa bertumbuh pesat. Namun seiring waktu, para pemain mulai bisa beradaptasi dan menemukan peluang di tengah situasi pandemi.

Budi Handoko, selaku Co-Founder dan COO Shipper, startup pengembang platform agregator logistik, mengakui timnya cukup kewalahan menghadapi keterbatasan yang tercipta karna pandemi, yang juga dipengaruhi oleh pemangku kebijakan. Di samping itu juga harus menjaga kelangsungan bisnis tanpa melanggar peraturaan serta kesehatan para karyawan.

Di tengah tantangan yang terus bermunculan, berbagai inovasi diciptakan demi beradaptasi dan mencari peluang untuk bisa tetap bertumbuh di tengah kondisi “yang tidak pasti. Dalam sesi #SelasaStartup, Budi berbagi beberapa insights menarik tatkala pandemi menggangu bisnis logistik di Indonesia.

Mutualisme di tengah pandemi

Semakin berkembang industri e-commerce di suatu negara, akan berdampak juga bagi pertumbuhan bisnis logistik di negara tersebut. Dari sisi ritel, banyak sekali penjual tradisional yang beralih ke pangsa pasar “online” untuk beradaptasi dengan situasi pandemi. Kesuksesan e-commerce pun erat kaitannya dengan dukungan dari industri logistik.

Hubungan timbal-balik ini juga menciptakan lingkaran konsumen yang beririsan antara e-commerce dan logistik. Maka dari itu, ketika perilaku konsumen di e-commerce mengalami pergeseran, industri logistik pun juga akan mendapat “feeling” yang tidak jauh berbeda.

Budi mengungkapkan, tiga hal menarik yang ia temukan ketika mengamati perilaku konsumen di masa pandemi. Pertama, banyak penjualan di sektor tersier yang anjlok pada masa awal pandemi. Hal ini menciptakan animo penjualan alat kesehatan. Kedua, banyak para penjual online yang cenderung memilih untuk membatasi interaksi dengan kurir. Terakhir, banyak yang mulai melirik bisnis di food industry. Ketiga hal tersebut menciptakan peluang yang bisa dimanfaatkan oleh bisnis logistik tanah air.

Pengembangan SDM

Pertumbuhan yang pesat pada industri logistik akan  menciptakan kebutuhan yang semakin banyak akan talenta di bidang terkait. Pihak Shipper menyadari hal itu dan sudah menyiapkan inisiatif untuk mendukung pengembangan SDM logistik di Indonesia.

Terdapat tiga skenario yang ditawarkan, yaitu Shipper Trainee Program, pihaknya akan merekrut intern/fresh graduate yang akan diberi pelatihan mengenai industri logistik. Kedua, Shipper Academy, merupakan program beasiswa untuk pihak-piak yang tertarik di bidang logistik untuk diberi pelatihan selama 3 minggu mengenai teori dan praktik. Untuk hasil terbaik akan disertakan penawaran kerja di perusahaan. Terakhir, ada Shipper Hack, diperuntukkan bagi talenta IT yang tertarik bekerja di bidang logistik dan menciptakan inovasi terkait.

Selain itu, Shipper juga memaparkan rencana bisnisnya di 2021 yang ingin mengembangkan jaringan pergudangan dan first-mile atau proses penjemputan barang dari customer.

Pendanaan sektor logistik

Terkait investasi, sudah banyak investor yang melirik industri logistik dengan harapan bisa memecahkan masalah e-commerce. Tahun lalu, sudah ada beberapa nama yang mengumumkan perolehan pendanaan, termasuk Shipper, Logisly, dan Andalin. Budi berpendapat tahun ini akan tidak jauh berbeda melihat pertumbuhan industri logistik yang akan terus naik di tahun 2021.

Selain itu, Shipper merupakan alumni dari program akselerator Y Combinator yang berbasis di AS. Dalam diskusi ini, Budi turut membagikan beberapa tips untuk startup early-stage yang juga ingin ikut mengakselerasi pertumbuhan bisnisnya dengan mengikuti program seperti ini.

Sebelumnya, Budi menegaskan bahwa para penggiat startup dianjurkan untuk fokus terlebih dahulu dengan produknya, serta seberapa besar masalah yang ingin diselesaikan. Bahwa semua hal yang diperoleh dari program akselerator merupakan “ekstra” yang bisa mempercepat pertumbuhan bisnis, bukan semata-mata sebagai jalan keluar dan sebuah pencapaian.

Selain itu, proporsi saham, susunan perusahaan [founder & team member] serta potensi pasar juga menjadi salah satu yang sangat dipertimbangkan untuk bisa mengikuti program akselerator.

Terkait pendanaan, Shipper masih aktif berkomunikasi dengan investor hingga saat ini. Budi menegaskan bahwa menjalin relasi yang baik dengan investor tidak hanya ketika mencari pendanaan, karna tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan.

Menyelesaikan Isu Rantai Pasok, Agar Tak Sekadar Jadi Pemain E-grocery

Tidak dimungkiri pandemi membuat animo masyarakat terhadap platform digital meningkat, apalagi yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Alhasil pada awal pandemi, terjadi panic buying yang mengakibatkan kosongnya persediaan pasokan barang-barang di supermarket, pasar, hingga aplikasi e-grocery selama beberapa waktu.

Ibarat “blessing in disguise” akhirnya pemain e-grocery punya momentum untuk mengakuisisi sebanyak-banyaknya pengguna beralih ke aplikasi dengan beragam kenyamanan yang ditawarkan. Pertanyaan berikutnya yang mencuat adalah bagaimana “end game” dari pemain e-grocery?

Dalam menjawab pertanyaan tersebut, #SelasaStartup mengundang CFO Sayurbox Arif Zamani sebagai pembicara. Sayurbox selama ini dikenal salah satu pionir pemain e-grocery di Indonesia sejak 2017.

Masih terfokus ke kota besar

Arif menuturkan, secara umum kendati animo masyarakat terhadap layanan e-grocery meningkat, tapi ini baru terjadi di kota lapis pertama saja. Kondisi tersebut erat kaitannya dengan infrastruktur teknologi di kota tersebut yang sudah matang. Hal Ini tercermin dari kinerja Sayurbox yang saat ini masih terpusat di Jabodetabek, Surabaya, dan Bali.

“Kalau setting up ke kota yang belum ready, itu akan jadi investasi yang mahal karena harus bangun infrastruktur dari awal. Tentunya kita juga ada keinginan masuk ke kota lapis dua atau tiga, tapi harus fleksibel strateginya untuk menyesuaikan diri dengan pasarnya,” katanya.

Ada tiga tipe konsumen yang saat ini dilayani Sayurbox. Pertama, kelompok konservatif, solusi yang disediakan adalah menghadirkan agen, dropshipper, dan virtual assistant Safira yang dapat dipesan melalui pesan singkat WhatsApp. Target pasar di kelompok ini adalah ibu-ibu yang tidak dipungkiri dari segi usia yang sudah lanjut dan pemahamannya terhadap teknologi memang kurang.

Kedua, kelompok minimalis yang tipikal telah merencanakan menu makanan selama beberapa hari ke depan. Oleh karena itu, fasilitas yang ditawarkan Sayurbox adalah pengiriman overnight, barang akan sampai pada pagi hari setelah pemesanan.

Terakhir, untuk kelompok impulsif, disediakan pengiriman instan dan hadir di GrabMart,  pesanan akan sampai dalam kurun waktu 30 menit-90 menit. “Market di minimalis dan impulsif saja besar banget, jadi kita sebenarnya lebih fokus ke sana daripada konservatif.”

Perbaiki rantai pasok

Di balik kemudahan mengakses barang-barang segar, sebenarnya pangkal masalah yang ingin diselesaikan Sayurbox adalah mengenai rantai pasok yang masih menjadi isu di dunia pertanian. Arif menerangkan, Sayurbox saat ini memasok hasil tani langsung ke petani dengan sistem jual putus.

Untuk memastikan hukum supply dan demand terjaga, perusahaan secara periodik memantau tingkat pemesanan dengan menerapkan forecast untuk para petani. Juga, bekerja sama dengan pemain fintech lending AwanTunai untuk memberikan pembiayaan untuk para petani. Langkah tersebut sekaligus upaya meningkatkan kelas ekonomi petani menjadi bankable.

“Karena ada komitmen sistem jual beli, jadi petani yang bergabung di kami bisa melakukan planning agar mereka tetap bisa jual hasil panennya ke kami. Selama ini teknik panennya tidak beraturan, itulah yang menyebabkan terjadinya oversupply dan kelangkaan barang. Kami ingin bangun kapasitas itu agar pricing tetap stabil.”

Sebelum kapasitas tersebut sudah terbentuk dengan baik, saat ini Sayurbox memanfaatkan channel offline apabila terjadi oversupply, sekaligus mencegah sampah. Isu rantai pasok juga ini berkaitan dengan pengalaman konsumen saat berbelanja. Pencatatan stok dapat lebih aktual, sehingga semakin cepat notifikasi masuk, pengalaman berbelanja akan jauh lebih.

“Karena kami menangkap, konsumen yang sudah berbelanja lebih dari empat kali besar kemungkinan sudah masuk konsumen loyal, yang susah adalah memberikan pengalaman untuk konsumen pertama hingga pembelian ketiga,” tutupnya.

Foto header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here

Pentingnya Kolaborasi dan Sinergi antara Startup dan Korporasi

Tahun 2020 menjadi tahun yang menarik bagi dunia perbankan dan perusahaan teknologi di Indonesia. Besarnya transaksi keuangan digital hingga meningkatnya traksi jual-beli online, mendorong perbankan seperti CIMB Niaga dan raksasa e-commerce seperti Tokopedia menghadirkan layanan serta pilihan payment secara menyeluruh untuk mengembangkan bisnis mereka.

Untuk memaksimalkan potensi, sinergi antara perbankan dan startup menjadi esensial untuk mendorong adopsi digital dan inklusi keuangan di Indonesia.

Dalam sesi #SelasaStartup kali ini, DailySocial menghadirkan Payment & Fintech Business Head of Tokopedia Vira Widiyasari dan Branchless Banking Business Development Head of CIMB Niaga Lusiana Saleh, membahas pentingnya sinergi dan kolaborasi antara startup dan enterprise untuk pertumbuhan bisnis.

Pandemi dorong adopsi digital perbankan

Menurut Lusiana, pandemi secara langsung telah mengakselerasi transaksi melalui mobile banking saat nasabah melakukan pembayaran di layanan e-commerce, food delivery, dan lainnya. CIMB Niaga mencatat transaksi perbankan secara digital pertumbuhannya sangat luar biasa, hampir dua kali lipat jumlahnya. Selain itu sekitar 96% transaksi dilakukan melalui digital space, hanya 4% saja yang dilayani di cabang bank CIMB Niaga.

“Menurut saya digital adoption terutama setelah Covid-19 tahun 2020 semakin pesat. Jadi untuk platform fintech atau layanan e-commerce yang sebelumnya mengalami pertumbuhan tinggi, tahun 2020 pastinya menjadi lebih meningkat lagi jumlah pertumbuhannya,” kata Lusiana

Ditambahkan olehnya, saat ini yang menjadi fokus dari CIMB Niaga adalah untuk bisa masuk ke digital space dengan memberikan kemudahan kepada nasabah melakukan pembayaran di beberapa layanan e-commerce atau platform yang saat ini menjadi tren secara digital.

“Tercatat di Indonesia pertumbuhan transaksi fintech dalam beberapa tahun terakhir mencapai lebih dari 50%, terutama untuk lending dan payment. Kenapa lending penting karena Indonesia memiliki lanskap yang luas. Saya melihat pertumbuhan digital masih akan terus berkembang dan mobile banking masih mendominasi. Selain itu ke depannya akan semakin banyak tren M&A di antara startup,” kata Lusiana.

Tahun 2020 lalu menjadi wake up call bagi dunia perbankan dan tentunya semua bisnis secara keseluruhan. Untuk itu CIMB Niaga berupaya untuk terus mengadopsi semua perubahan teknologi, dengan tujuan untuk bisa memberikan layanan terbaik kepada nasabah.

Terkait dengan kemitraan, selama ini CIMB Niaga telah membuka semua peluang bagi startup hingga perusahaan teknologi ternama seperti Tokopedia untuk menjalin kolaborasi dengan mereka. Sebagai perbankan, CIMB Niaga memiliki layanan API, yang bisa dimanfaatkan bukan hanya layanan fintech, namun juga UKM dan perusahaan lainnya yang ingin memanfaatkan koneksi API CIMB Niaga.

“Semua proses tersebut terbilang mudah dan fleksibel. Namun kembali lagi sebagai perbankan kami wajib untuk mengikuti semua aturan yang ditetapkan oleh regulator. Meskipun semua proses tersebut bisa di kustomisasi, namun kita akan mengakomodir semua kebutuhan melihat aspek regulasi dan keamanan menyesuaikan OJK sebagai regulator kami,” kata Lusiana.

Tokopedia dan pentingnya memperluas kemitraan

Sementara itu sebagai perusahaan teknologi yang sudah menginjak usia 11 tahun, Tokopedia kerap melakukan transformasi dengan memberikan layanan yang dibutuhkan dan pilihan pembayaran yang beragam. Mulai dari pilihan cicilan yang dihadirkan berkat kerja sama dengan perbankan dan layanan finansial hingga fintech, e-wallet, asuransi dan lainnya, menjadi fokus Tokopedia demi mewujudkan visi mereka yaitu pemerataan ekonomi secara digital.

“Sebagai perusahaan teknologi di Indonesia, Tokopedia ingin menghadirkan berbagai inovasi keuangan digital untuk mendukung pemerataan finansial melalui teknologi,” kata Vira.

Untuk memperbesar ekosistem yang dimiliki, menjadi penting bagi Tokopedia untuk memperluas kolaborasi mereka dengan layanan finansial. Dalam hal ini mitra yang dinilai relevan untuk bergabung bersama Tokopedia, adalah mereka yang memiliki lisensi seperti reksa dana dan memiliki sertifikasi dan diawasi oleh OJK.

“Mitra perbankan juga sangat penting bagi Tokopedia untuk mendorong literasi dan inklusi finansial di Indonesia,” kata Vira.

Ditambahkan oleh Vira, kolaborasi dengan perbankan memungkinkan Tokopedia memberikan pilihan pembayaran penuh hingga cicilan untuk pembeli dan lebih dari 10 juta penjual yang terdaftar. Tokopedia berupaya untuk memiliki misi dan visi yang selaras dengan semua mitra, sesuai dengan DNA dari Tokopedia yaitu fokus kepada pelanggan.

“Kolaborasi yang dilakukan bisa memberikan solusi pain point customer yang dimiliki. Sebelumnya kami melakukan riset dengan harapan bisa membuat solusi positif  mutual dan beneficial, bukan cuma untuk mitra dan Tokopedia tapi juga untuk pelanggan juga,” kata Vira.

Sumber Gambar: Depositphotos.com

4 Catatan Menarik Seputar Menentukan Strategi untuk Penetrasi Pasar

Ada banyak inovasi yang dapat dikembangkan untuk mendigitalisasi UMKM atau pemilik usaha kecil di Indonesia. Dengan inovasi ini, mereka punya kesempatan untuk mengembangkan bisnisnya. Jalan masuknya bisa melalui layanan keuangan hingga pembukuan.

Hal ini juga seperti yang dilakukan BukuWarung melalui inovasi layanan SaaS pembukuan untuk kalangan UMKM. Apa saja pengalaman BukuWarung dalam melakukan penetrasi ke pasar hingga menetapkan strategi yang tepat?

Simak paparan menarik yang dibagikan Head of Growth/Funding Team of BukuWarung Mario Nicolas selengkapnya di sesi #SelasaStartup.

Cari masalah dan validasi di lapangan

Berkaca pada pengalamannya di BukuWarung, Mario menegaskan pentingnya menemukan masalah dan memvalidasinya di lapangan. Pada konteks ini, ia menilai pelaku usaha warung di Indonesia terbiasa menggunakan cara konvensional dalam mencatat pembukuan usahanya, misalnya buku dan kertas.

Terlebih lagi, masih banyak pemilik warung yang belum sepenuhnya dapat membedakan konsep keuangan pribadi, keluarga dalam mengelola bisnis. Menurutnya, kebanyakan dari mereka masih mencampur-campur keuangan ini menjadi satu.

“Ketika kami memulai BukuWarung di pertengahan 2019, saat itu belum banyak yang fokus ke segmen warung. Kalaupun ada, kebanyakan [membidik segmen] di kota-kota. Nah, kami validasi ke Jawa dan menemukan masih banyak yang pakai kertas dan buku,” ungkap Mario.

Malahan, lanjutnya, banyak pemilik warung melakukan pembukuan hanya untuk mencatat utang, itupun hanya nominalnya saja. Bahkan, sebanyak 90% dari yang disurvei BukuWarung, tidak mencatat data pengutang, seperti nama dan nomor telepon.

“Dari sini, kami dapat beberapa problem, lalu kami buat aplikasi dan minta ke orang sama yang kami survei untuk mencobanya. Kami pun dapat banyak feedback. Jadi, always come with a problem dan validasi ke lapangan. Pelaku usaha ini jadi punya outlet terhadap masalah yang mereka hadapi,” tuturnya.

Kenali user untuk tentukan strategi

Ketika bicara fase awal startup berdiri, segala macam strategi pasti dicoba untuk mencapai target bisnis. Ada yang berhasil dan ada yang gagal. Kendati begitu, ia menggarisbawahi bahwa semua strategi yang sukses, tidak berarti berlaku untuk semua kategori bisnis.

Ambil contoh, banyak startup yang menggunakan influencer untuk memperkenalkan produk atau layanan, tetapi tidak berarti strategi ini fits untuk vertikal bisnis lain. Startup dapat melakukan eksperimen untuk mencari tahu growth channel yang tepat.

“Maka itu, kenali dulu siapa user kita dan coba memahami sampai ke core level. Biasanya, any kind of tech, [strategi] yang paling laku itu word of mouth. Jadi, coba saja strategi satu-satu, lihat result-nya, then move on,” tambahnya.

Mengambil pelajaran dari upaya akuisisi pelanggan

Sekali lagi, Mario menekankan pentingnya melakukan validasi atas teori yang dibangun dan coba bereksperimen untuk mencari tahu. Ini merupakan salah satu pelajaran penting yang dialami Mario dalam menentukan strategi akuisisi pelanggan.

“Apapun yang kita pernah pelajari itu semuanya salah. Kami pernah berasumsi bahwa [target pengguna] kami tidak paham aplikasi, ternyata kami salah. Makanya, kami selalu validasi dan mencari cara kecil-kecilan untuk membuktikannya, seperti survei yang bisa menghasilkan data berharga,” kata Mario.

Tak kalah penting adalah membangun koneksi dengan pengguna untuk memahami apa yang sebetulnya diinginkan. Dari feedback yang diterima, startup dapat mengembangkan user experience terbaik kepada pengguna. Menurutnya, ini jauh lebih penting dibandingkan membangun basis pengguna dengan memberikan promo terus-menerus.

Kompetisi mendorong edukasi lebih cepat

Strategi diperlukan untuk membangun basis pengguna, meningkatkan bisnis, dan mempertahankan posisinya di persaingan pasar. Bagi Mario, kompetisi merupakan aspek yang baik untuk membantu edukasi pasar lebih cepat. Semakin banyak pemain, semakin bagus untuk mendorong penetrasi produk atau layanan.

“Jika hanya ada satu pemain, mungkin butuh bertahun-tahun untuk mengedukasi layanan kami. Lagipula, banyaknya pemain akan mendorong lebih banyak inovasi. Contoh, kami hadirkan inovasi pembayaran digital. Kalau sekadar aplikasi pembukuan saja, impact-nya kurang. Dengan inovasi ini, kami bisa kasih impact besar,” tuturnya.

BukuWarung sejak akhir tahun lalu menghadirkan pembayaran digital dan mengklaim telah menguasai 95% pangsa pasar pembayaran digital di aplikasi pembukuan di Indonesia.

Revolusi Konsep “Ride Sharing” sebagai Alternatif Jasa Transportasi

Konsep ride sharing sering kali disamakan dengan layanan ride hailing. Kendati memiliki tujuan yang sama, sejatinya dua konsep ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Ride hailing berorientasi pada permintaan penumpang yang membutuhkan kendaraan; sementara ride sharing lebih fokus kepada pemilik kendaraan yang memiliki slot kosong untuk berbagi perjalanan.

Salah satu startup yang fokus menggarap segmen ride sharing adalah Tebengan. Co-Founder & CEO Tebengan Will Widjaja pertama kali terpapar konsep ini ketika ia menghadiri sebuah konferensi di Aarhus, Denmark pada tahun 2014. Sempat berkenalan dengan beberapa orang lokal, ketika ia hendak kembali ke Copenhagen menggunakan kereta, mereka menawarkan untuk menggunakan sebuah aplikasi ride sharing yang ternyata sudah lumrah di sana.

“Saat itu saya berpikir, dengan harga lebih murah, tempat lebih nyaman, dan ada teman ngobrol, mengapa tidak coba dikembangkan saja. Inilah yang menjadi inspirasi saya untuk membuat Tebengan di Indonesia,” tambah Will.

Fokus bisnis

Dalam perjalanannya, startup ride sharing yang akan menginjak tahun ke-4 di bulan Maret 2021 ini juga sempat mengalami fase model bisnis yang berubah-ubah. Untuk mencapai product market-fit perusahaan memulai dari iterasi pengemudi untuk membuat trayek rutin, lalu menyediakan sistem offer agar mereka juga bisa menawarkan layanan ke penumpang.

Will juga turut mengungkapkan, “Tantangan terbesar kami adalah bagaimana mengkoordinasi 2 user yang punya alamat berbeda tujuan berbeda dan jam berbeda untuk bisa saling koordinasi, fitur seperti apa yang harus kita hadirkan untuk memfasilitasi hal itu.”

Selain itu, kesabaran pemilik kendaraan dan penumpang juga masih menjadi alasan rentan terjadinya keluhan di aplikasi yang sudah diunduh lebih dari 10 ribu pengguna ini. Kepercayaan juga menjadi salah satu faktor esensial untuk keberlangsungan bisnis. Beberapa fitur seperti verifikasi SIM, KTP, juga komunitas untuk wadah berdiskusi turut dikembangkan demi membangun kepercayaan antar pemilik kendaraan dan penumpang.

Mengenai potensi ride sharing di Indonesia, konsep ini sendiri sebenarnya sudah menjadi budaya di Indonesia. Dalam segmen ini, ada beberapa pemain yang juga menawarkan layanan serupa seperti Noompang dan Nebengers.

Ketika disinggung mengenai diferensiasi, Will mengungkapkan, “Value proposition yang ingin kami bawa di sini adalah pengalaman berkendara yang nyaman dan menyenangkan. Harapan kami adalah dengan kesederhanaan yang ditawarkan melalui aplikasi tebengan ini bisa memudahkan user untuk mencari teman nebeng atau relasi baru dengan objektif yang sesuai.”

Di tengah pandemi, layanan yang sempat juga menekankan bahwa ekosistem di Tebengan selalu dianjurkan untuk mematuhi protokol yang berlaku, baik pada jumlah penumpang di dalam kendaraan juga protokol kesehatan lainnya yang diatur pemerintah.

Dari sisi harga, platform ini tidak bertugas mematok angka, tetapi memberi rekomendasi yang sesuai. Namun, semua kembali lagi pada keputusan pemilik kendaraan. Saat ini tebengan masih fokus melayani pengguna di area Jabodetabek dan sudah mulai mengembangkan cakupan antar kota/provinsi.

“Fokus kita masih di Jabodetabek, sekarang lagi membangun sistem komunitas di mana bisa membuat grup diskusi antar penumpang dan pemilik kendaraan. Saat ini kami mau fokus di area yang minim angkutan umum dengan membuka trayek baru yang tidak ada di transportasi umum,” jelas Will.

Sebagai informasi, Tebengan adalah salah satu peserta di program akselerator DSLaunchpad yang diadakan oleh DailySocial bekerja sama dengan Amazon Web Services.

Gambar Header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here

Mendalami Peluang dan Tantangan Menjalankan Konsep “Sharing Economy”

Kehadiran Airbnb dan Uber yang membawa konsep sharing economy mampu menginspirasi banyak orang di dunia untuk mereduplikasinya ke industri yang lain. Begitu pula di Indonesia, startup yang kini sudah menyandang status unicorn mayoritas menjalankan konsep ini sebagai basis bisnisnya.

Seperti apa peluang dan tantangannya bagi startup baru yang tertarik dengan ke konsep ini? Dalam menjawab pertanyaan ini, #SelasaStartup edisi kali ini mengundang Co-Founder dan CEO Titipku Henri Suhardja. Titipku adalah startup asal Yogyakarta yang menyediakan jasa personal shopper yang bisa membelanjakan kebutuhan konsumen di area mereka.

Model bisnis Titipku

Henri menjelaskan, konsep bisnis Titipku cukup sederhana. Konsumen dihubungkan dengan personal shopper untuk membelanjakan kebutuhan sehari-hari dari toko sekitar konsumen. Konsep ini berbeda dengan situs marketplace yang di dalamnya juga menyediakan penjual yang menjajakan produk tersier.

“Bahkan kami lebih spesifik. Di Indonesia ada puluhan juta UKM konvensional yang belum gabung ke online karena mereka sulit untuk proses registrasi, menggunakan aplikasinya, dan sebagainya.”

Karena Titipku hanya bermain di produk kebutuhan sehari-hari, kelebihan inilah yang menjadi pembeda antara perusahaan dengan unicorn seperti Grab atau Gojek. Kendati permodalan Titipku tidak sebesar kedua perusahaan tersebut, tapi perusahaan mampu terus ekspansi dari 2017 hingga sekarang.

Ekspansi Titipku terbilang lebih sistematis dan tidak asal tembak. Perusahaan menargetkan dalam satu minggu dapat masuk ke satu kecamatan. Sebelum memilih lokasi tersebut, perusahaan membandingkan tingkat penawaran dan permintaan masing-masing kabupaten di dalam satu kota.

“Kami menjalankan ekspansi dengan cara beda dengan unicorn karena kami harus lebih bijak. Di satu kabupaten, kami riset titik mana yang paling potensial yang kami masuki.”

Model bisnis ini sebenarnya tidak langsung muncul begitu saja. Lewat proses pembelajaran, akhirnya menemukan product market fit tepat pada awal tahun kemarin sebelum pandemi. Awalnya Titipku masih memakai validasi dengan konsep nasional, seperti marketplace pada umumnya.

Tapi ketika awal tahun kemarin, menerapkan konsep hyperlocal untuk menjangkau usaha mikro yang menjual produk sehari-hari karena ingin menyasar warga sekitar. Ia mengaku sangat beruntung dengan keputusan tersebut karena Titipku menjadi startup yang meraup berkah dari pandemi. Pasalnya, dengan konsep ini secara psikologis, konsumen tentu lebih suka belanja di toko di sekitarnya karena sudah mengenalnya. “Bila ini [model bisnis] belum diganti, pasti kita akan kesulitan [berkembang].”

Diklaim pendapatan perusahaan mampu menutupi variable cost-nya, dikembangkan kembali untuk mendukung perkembangan perusahaan. Sepanjang tahun lalu, Titipku mampu menambah 31 ribu pedagang yang masuk ke Titipku. Hal ini tercapai berkat kinerja dari sekitar 7 ribu ‘penjelajah’ (istilah untuk pengguna aplikasi yang mengunggah informasi UKM yang ditemui).

Titipku juga telah membentuk 47 pasar digital yang berisi 1219 pedagang di dalamnya. Ke-47 pasar digital tersebut adalah pasar tradisional yang tersebar di Jabodetabek, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali. Selain itu, perusahaan mencatat pertumbuhan omzet lebih dari 700% yang didukung peningkatan transaksi per bulan rata-rata mencapai 80%.

Ambil pendekatan sesuai budaya

Titipku sejauh ini baru beroperasi di dua lokasi, Yogyakarta, dan sebagian Jakarta (Jakarta Barat dan Jakarta Utara). Menariknya, cerita di balik ekspansi ke Jakarta terjadi karena ketidaksengajaan. Henri menceritakan, ia berada di Jakarta Barat ketika pemerintah memutuskan PSBB pada pertama kali di Maret 2020.

“Rekan saya, Ong Tek Tjan kebetulan tinggal di Kelapa Gading. Jadi kami berdiskusi lagi untuk masuk ke pasar. Saya sendiri yang menjelajah Pasar Tomang Barat, padahal awalnya tidak tahu daerah sama sekali. Akhirnya, Juni 2020 mulai growing dan satu per satu rekrut tim lapangan, akhirnya buka kantor cabang di sini.”

Penetrasi internet di Yogyakarta dengan Jakarta cukup berbeda. Pedagang di Jakarta sudah familiar dengan aplikasi di smartphone dan cara transfer, sehingga tidak perlu edukasi yang masif. Sementara, di Yogyakarta tidak demikian, namun keingintahuan masyarakatnya sangat tinggi terhadap sesuatu yang baru.

Dari sini, perusahaan belajar untuk menyesuaikan strategi pemasarannya. Di Jakarta, perusahaan memilih untuk pemasaran dengan kanal digital untuk menciptakan transaksi baru. Sementara, di Yogyakarta masih ada proses turun ke lapangan untuk menemui langsung konsumen.

Apalagi, saat perusahaan berusaha mendapatkan 100 pengguna awalnya, tidak langsung membuat aplikasi. Melainkan mendatangi langsung pedagang dan konsumen untuk mencari tahu titik masalahnya, ketimbang ujug-ujug langsung membuat aplikasi.

“Kita lakukan semuanya bertahap, mulai pakai brosur, hanya pakai media sosial, kontak WhatsApp, dan telepon. Setelah dapat 100 konsumen, kita jadi tahu profile konsumen seperti apa agar strategi berikutnya dapat tepat sasaran.”

Application Information Will Show Up Here