Startup Edtech Schoters: Pandemi Percepat Akselerasi, Pasar Makin Matang

Salah satu sektor startup yang mengalami pertumbuhan saat pandemi adalah platform edtech. Bukan hanya di Indonesia, namun secara global platform yang menggabungkan edukasi, teknologi dan bisnis mampu menarik perhatian target pengguna hingga investor.

Dalam sesi #SelasaStartup kali ini, DailySocial mengundang Founder & CEO Schoters Radyum Ikono, untuk berbagi suka duka dan harapan sebagai penggiat startup yang menyasar sektor edtech di Indonesia saat ini dan ke depannya.

Pandemi percepat akselerasi

Saat Schoters baru didirikan sekitar tahun 2018, banyak tantangan yang dihadapi. Mulai dari edukasi hingga pemasaran dan cara tepat untuk memperkenalkan produk dan layanan yang dihadirkan kepada target pengguna.

Schoters adalah platform yang membantu siswa lulusan SMA/K dan profesional yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di luar negeri. Impian sang pendiri adalah, agar lebih banyak lagi siswa Indonesia yang merasakan pengalaman berharga saat melanjutkan studi di luar negeri.

“Ketika pandemi bulan Maret 2020 lalu secara langsung memaksa banyak pengguna untuk mengadopsi kegiatan belajar-mengajar secara online. Termasuk di dalamnya produk dan layanan yang ditawarkan oleh Schoters.”

Terkait dengan makin banyaknya platform serupa yang mulai muncul ke permukaan, ternyata tidak menjadi kendala bagi platform seperti Schoters untuk terus tumbuh. Hal tersebut menurut Radyum justru menjadi tanda yang positif, meskipun persaingan harus lebih sengit lagi.

“Saya melihat dengan makin banyaknya platform baru yang bermunculan bisa menjadi pertanda bahwa pasar sudah mulai matang dan teknologi yang kami tawarkan ternyata memang sangat relevan saat ini. Ke depannya kami melihat akan menjadi signal yang baik bagi platform edtech untuk terus tumbuh, untuk bisa menciptakan ekosistem yang lebih baik lagi.”

Radyum menambahkan, makin banyaknya pemain serupa yang mencoba menyasar sektor edutech juga bisa memberikan ruang lebih dan kesempatan kepada para investor untuk memberikan investasi. Karena pada akhirnya, meskipun sifatnya tidak recurring seperti layanan e-commerce, namun dengan strategi yang tepat dan penggunaan yang sangat relevan saat ini, bisa menjadikan platform edtech menarik untuk dijajaki.

Edukasi, teknologi, dan bisnis

Sebagai lulusan terbaik DSLaunchpad tahun 2020, Schoters merasakan benar pentingnya menciptakan relasi yang baik antara pemain startup edtech lainnya. Sebagai startup yang bukan hanya berupaya untuk mencari profit, platform seperti Schoters juga memiliki misi sosial, untuk bisa mempermudah proses belajar dan edukasi kepada masyarakat luas secara online.

Jika dulunya proses ini hanya terbatas kepada offline saja, namun startup seperti Ruangguru telah membuktikan bahwa edukasi disandingkan dengan teknologi dan bisnis bisa tetap tumbuh dan berjalan dengan baik.

“Tentunya saya memberikan apresiasi kepada Belva Syah Devara pendiri Ruangguru. Karena dengan platform yang mereka tawarkan mampu menjadikan startup edtech lebih mainstream dan diterima dengan baik oleh pasar. Kesuksesan mereka yang kemudian menjadi inspirasi saya untuk mendirikan Schoters,”kata Radyum

Impian Radyum untuk Schoters adalah, agar bisa menjadi platform end-to-end yang kemudian bisa membantu siswa untuk mewujudkan impian mereka studi di luar negeri. Hal tersebut tentunya akan dihadirkan oleh Schoters melalui berbagai produk dan pilihan layanan hingga teknologi yang memudahkan semua proses.

“Sepanjang 1 sampai 2 tahun terakhir saya melihat perkembangan startup edtech makin baik di Indonesia. mengikuti apa yang sudah terjadi di negara lain, saya melihat ke depannya platform edtech makin pesat pertumbuhannya di Indonesia,” kata Radyum.

Application Information Will Show Up Here

Exploring Monetizing Opportunities in E-commerce Companies

E-commerce companies considered tend to burn money for the highest GMV as a metric. Above all, in principle, companies of any kind is required to make a profit. This is where the business development team took part to look for profitable business opportunities.

Regarding this topic, #SelasaStartup invited Blibli Histeria’s Vice President of Business Development & Project Lead, Cindy Kalensang as the speaker. Cindy is to discuss further on various business development tasks, their relation to finding business opportunities for e-commerce services, and how they are implemented in Blibli.

VP Of BizDev Blibli Cindy R Kalensang / Blibli
Blibli’S VP Of BizDev Cindy R Kalensang / Blibli

Generating business model

Cindy explained the basic task of business development is to develop a business for better growth, by exploring new business partnerships and so on. Therefore, he worked with various teams from Blibli’s other divisions for coordination.

In developing new business models, the business development team identifies underserved consumer needs in order to provide the right solution, called product market fit. “Product market fit is the one that needs to be iterated because consumers are looking for value, not only originality.”

Blibli started operating in 2011 using the B2C business model, as they wanted to guarantee the authenticity of goods to consumers. Therefore, Blibli collaborates with lots of brand partners. In this business, Blibli is taking a commission as a way of monetization.

The company has warehouses located at some spots throughout Indonesia to support its business model, especially to speed up delivery to consumers. Over time, the situation has changed, as a result, Blibli has developed other business models for B2B2C.

“Therefore, the process is to buy goods in large quantities, then store them and distribute them to our warehouse. Then, for B2B2C, revenue comes from margins, while B2C is from commissions,” he explained.

From the current business model, the problem remains for all e-commerce companies, it’s the uneven distribution process. This is because the majority of producers and distributors are located in Java. Eventually, the decision is final to open a new business model, it is C2C which all parties can participate in solving the problem.

“We open C2C, it opens for sellers, but we still curate [the onboarding process] and don’t let them sell fake[not original] items.”

Implementing new business model

Cindy continued, the competition of e-commerce services in Indonesia has gotten supper tight. It is visible through the number of e-commerce companies that adopted the “burning money” strategy by advertising on television for the sake of new consumer acquisitions.

“Actually, we are not only here to sprint but stay for the marathon. Blibli stands to be sustainable. That’s why we must remain loyal to our unique value proposition. The money-burning promo is normal because we want to acquire consumers, the most important thing is that the ongoing delivery value that stated Blibli’s difference from other players.”

Blibli’s business model continues to develop, from pure B2C, now B2B2C and entering C2C. Cindy said, the company continues to be adaptive to the situation. Blibli is also trying a new business model that is a subscription.

This is already running for the BlibliMart grocery service. Cindy explained that the subscription model is quite attractive and considered the key to success for Spotify. Initially, in enjoying music, people were accustomed to buying cassettes or CDs in physical form. Then, Apple comes and offers digital purchases per song.

“Spotify sees that people are saturated with music. In the end, they are offered streaming songs for free, but there are advertisements. They share profit with advertisers. Then they innovate with the subscription model. This is the model we are currently exploring. Amazon is successful with this model, offering one year of free shipping. ”

Cindy thought the trial subscription model at BlibliMart is quite on-point because it will be easier for consumers to buy certain needs at a much cheaper price. “Instead of buying when it’s sold out, it’s better to arrange the purchase. Goods are sent every two weeks. That is our value proposition by making a budget, therefore, spending is more efficient,” she concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
header: Depositphotos.com

Melihat Bagaimana Pelaku Edtech Mencuri Perhatian di Masa Pandemi

Platform edtech sudah hadir di Indonesia sejak beberapa tahun lalu. Namun, gaungnya mulai meroket secara signifikan di kalangan ekosistem pendidikan di tahun ini. Hal ini terjadi usai pemerintah merumahkan kegiatan belajar mengajar untuk menekan penyebaran Covid-19.

Apa kata salah satu pelaku edtech menanggapi popularitas layanannya di masa pandemi ini? Simak bincang-bincang menarik selengkapnya dari Co-founder & CEO Cakap Tomy Yunus di sesi #SelasaStartup berikut ini:

Perjuangan pelaku edtech terbayar di 2020

Tomy menilai bahwa industri pendidikan dan penunjangnya di Indonesia berkembang pesat selama beberapa tahun terakhir. Memang ketika ia memulai untuk terjun ke bisnis edtech, tak sedikit hambatan yang dialami. Salah satunya adalah ketersediaan infrastruktur internet.

Menurutnya, beberapa tahun lalu internet masih terbilang mahal. Penetrasi 4G masih rendah. Dapat dikatakan pasarnya belum siap bagi pelaku edtech untuk masuk. Namun ia meyakini bahwa kebutuhan pendidikan bakal terus meningkat dan pemerataan internet hanyalah masalah waktu saja.

Di sisi lain, menurut Tomy kualitas pendidikan masyarakat Indonesia masih jauh dibandingkan negara maju, seperti Tiongkok. Akan tetapi, ia melihat tren spending-nya meningkat. Dari sejumlah riset yang ia kutip, pasar pendidikan Indonesia naik 10 persen setiap tahun dan menjadi salah satu yang tertinggi di dunia.

Faktor-faktor ini yang membuat Cakap dan pelaku edtech lainnya bertahan. Perkembangan penetrasi internet menjadi memungkinkan bagi masyarakat di luar Pulau Jawa untuk mengemban pendidikan tanpa perlu ke kota-kota besar. Artinya, iklimnya sudah jauh lebih positif dibandingkan dulu.

“Selama pandemi, para pelaku edtech diuntungkan. Tetapi, ini adalah buah perjuangan kami selama mengembangkan produk [edtech]. Itu semua terbayar di 2020 karena kami diberi kesempatan untuk berbuat lebih banyak. Pendidikan itu industri paling tricky dan tough karena investasinya jangka panjang, bisa sampai 5 tahun, demikian juga teknologi,” jelas Tomy.

Willingness segmen milenial meningkat

Jika dibandingkan dengan Tiongkok, perbedaan paling mendasar pada kebutuhan pendidikan adalah consumer spending. Diakui Tomy, spending Indonesia terhadap pendidikan masih kalah jauh. Di Tiongkok. orang-orang bisa menyisihkan 20-30 persen untuk meningkatkan skill. 

“Saya tidak setuju kalau orang Indonesia tidak suka belajar. Mungkin lebih kepada aspek affordability-nya yang belum seperti negara maju. Tetapi, kami melihat ada tren peningkatan, terutama di bidang specific skill yang ada kaitannya dengan pendapatan,” ungkap Tomy.

Menurutnya, segmen milenial sudah mulai sadar pentingnya investasi pada skill untuk menunjang kariernya di masa depan. Artinya, spending tidak dihabiskan untuk produk consumer, seperti elektronik.

“Sebetulnya solusi untuk mengatasi affordability itu adalah dari produknya. Layanan kami kini tak cuma one-to-one, ada juga yang one-to-many. Di sini kami memberdayakan teknologi agar produk lebih scalable dan bisa affordable. Selebihnya, kami harap internet akan semakin merata karena bagaimanapun juga spending bukan cuma di paket, tetapi juga kuota internet,” paparnya.

Komitmen pelaku edtech lokal memenangkan pasar

Menurut Tomy, pasar edtech di Indonesia masih terbilang early dan vertikalnya pun cukup berjauhan antara satu sama lain, seperti segmen siswa SD hingga perkuliahan atau khusus karyawan.

Karena pemainnya belum banyak, ungkapnya, pasarnya mulai banyak dilirik oleh pelaku edtech asing. Wajar mengingat Indonesia merupakan pasar terbesar di Asia Tenggara.

“Pasarnya belum crowded, tetapi ini dalam artian positif. Saya melihat teman-teman edtech lokal sangat berkomitmen. Makanya, saya meyakini bahwa pelaku edtech lokal yang bakal mengambil benefit paling besar. Kita paling mengerti pasar dan regulasi di Indonesia, bahkan bisa masuk ke segmen retail, corporate, dan governance. Kita lihat apakah [edtech asing] bisa memenangkan pasar Indonesia,” tuturnya.

Pandemi membuka peluang baru

Tak hanya sekolah saja yang terdampak dari pandemi, tetapi juga lembaga kurus/pelatihan dan bimbingan belajar (bimbel). Ketika pemerintah memberlakukan PSBB, sebanyak 80 persen sekolah harus ditutup. Hal ini berdampak pada lembaga bimbel di luar sekolah karena harus tetap beroperasi.

Menurut Tomy, kegiatan seminar dan pelatihan bagi mahasiswa ataupun karyawan yang selama ini digelar secara offline pun juga mau tak mau harus dilakukan secara digital. Namun, ia menilai situasi di atas membuka peluang untuk mengembangkan layanan edtech baru. Terlebih, platform yang ia kembangkan saat ini masih fokus pada pembelajaran bahasa.

“Karena kami melihat ada demand besar, kami memberanikan diri untuk cater market tersebut. Tentu ada sedikit adjusment untuk main ke segmen non- language. Tapi ini peluang baru meski saat ini kami baru fokus di beberapa layanan, seperti marketing dan yang berkaitan dengan ICT,” ucap Tomy.

Momentum emas test case platform edtech

Bagi Tomy, tahun 2020 memberikan kesempatan emas untuk membuktikan bahwa layanan edtech dapat menyelesaikan masalah sesungguhnya yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Menurutnya, pelaku edtech tidak melihat situasi ini sebagai tantangan, melainkan test case dari solusi yang dikembangkan.

Selain membuka peluang untuk masuk ke segmen baru, pandemi juga melahirkan berkolaborasi oleh stakeholder di berbagai ekosistem, tak hanya pendidikan. Pada kasus Cakap, pihaknya bahkan bekerja sama dengan industri pariwisata untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris.

“Kami dikasih battlefield untuk membuktikan produk kami. Di tahun-tahun sebelumnya, mungkin kesempatannya belum ada dan ini sebetulnya yang ditunggu-tunggu oleh pelaku edtech. Tentu ada peningkatan signifikan pada trafik dan pengguna, tapi kami selalu melihat room improvement mengingat pandemi masih akan berlangsung ke depan,” ujarnya.

Application Information Will Show Up Here

Mendiskusikan Kondisi dan Peluang Startup di Bidang Otomotif Selepas Pandemi

Industri penjualan produk otomotif juga menjadi area bisnis yang mulai banyak digarap pemain digital – baik oleh startup dari dalam atau luar negeri. Diskusi tentang sektor tersebut menjadi menarik, terlebih tahun ini para pemain diharapkan dengan pandemi dan dampak setelahnya, termasuk resesi.

Untuk membahas topik tersebut, di sesi #SelasaStartup minggu pertama bulan Desember 2020, DailySocial mengundang Delly Nugraha selaku General Manager Carsome Indonesia.

Carsome Group sendiri, awal bulan ini baru mengumumkan perolehan pendanaan seri D senilai $30 juta atau setara 424 miliar Rupiah. Investor yang terlibat meliputi Asia Partners, Burda Principal Investments, dan Ondine Capital. Selain penguatan operasional, termasuk di Indonesia, mereka juga akan melakukan perluasan model bisnis ke ranah C2B2C.

Perkembangan pasar

Sesi #SelasaStartup dengan Delly Nugraha dari Carsome
Sesi #SelasaStartup dengan Delly Nugraha dari Carsome

Dalam pemaparannya Delly mengatakan, pasar mobil bekas masih sangat besar di tanah air. Bahkan tiga negara (Indonesia, Malaysia, dan Thailand) memberikan sumbangsih 80% terhadap unit ekonomi di industri tersebut di Asia Tenggara. Studi terbaru Momentum Works mengatakan bahwa total nilai transaksi mobil bekas mencapai $600 juta di wilayah tersebut.

Tidak dimungkiri, pandemi sempat memberikan dampak penurunan. Menurut data yang dimiliki Delly, sejak dimulai PSBB sekitar bulan April secara transaksional transaksi di industri turun derastis. Tidak hanya pada penjualan mobil saja, bahkan juga di aspek pendukungnya, seperti penjualan bahan bakar. Namun sejak Agustus 2020, secara perlahan dan konsisten mulai kembali normal.

“Dari data Gakindo, sekarang kondisinya sudah kembali baik. Jika April lalu jumlah mobil terjual sekitar 7 ribuan unit, per Oktober ini sudah sampai 49 ribuan lagi. Ada optimisme di industri, market sudah mulai rebound,” ujar Delly.

Ia juga memaparkan, dari data Google Trend akhir-akhir ini, kata kunci pencarian mobil bekas di Indonesia juga mulai meningkat. Artinya memang ketertarikan untuk membeli atau menjual di kalangan masyarakat. Di YouTube pun, ulasan mengenai mobil bekas juga dikatakan mendapatkan traksi yang lebih tinggi – asumsinya orang yang akan beli/jual mobil bekas melihat review terlebih dulu.

“Kalau lihat hasil riset McKinsey, setelah pandemi ini perilaku konsumen di Indonesia berubah. Yang tadinya mereka rutin pakai kendaraan umum, kini mempertimbangkan untuk menggunakan mobil pribadi untuk mengurangi kontak langsung dengan keramaian. Ini jadi peluang tersendiri untuk pemain industri seperti Carsome,” imbuhnya.

Platform penjualan mobil bekas

Carsome sendiri saat ini hadir membantu masyarakat yang ingin menjual mobil bekas. Pengguna bisa mengakses layanan lewat situs; kemudian tim akan melakukan pengecekan secara detail dari aspek mesin, interior, eksterior, dll. Dari hasil penilaian, mobil akan diberikan harga kemudian ditawarkan kepada mitra dealer yang tergabung di Carsome untuk mendapatkan penawaran terbaik.

Pain point yang ingin diselesaikan, biasanya ketika menjual mobil secara manual, pengguna sulit mendapatkan pembeli yang tepat – kalaupun dijual langsung ke pemasok, tak sedikit yang mematok harga kurang bersaing, disebabkan karena kurangnya transparansi.

“Untuk itu layanan Carsome memastikan proses penjualan mobil dilakukan secara mudah, cepat, dan transparan. Untuk penguji, kami juga ada aplikasi, di dalamnya terdapat checklist detail bagian-bagian yang harus diperiksa. Pun untuk mitra dealer, aplikasi memungkinkan mereka untuk memberikan penawaran harga mobil secara cepat dan bisa memberitahukan secara langsung melalui sistem ke pengguna,” jelas Delly.

Selama pandemi ini, ternyata juga tidak sedikit yang mempertimbangkan untuk menjual mobilnya, mengurangi aset depresiasi yang dimiliki. “Misalnya tadinya dalam satu rumah ada 3 mobil untuk masing-masing anggota keluarga, karena adanya PSBB, WFH, dll sekarang aktivitas keluar rumah jadi berkurang, jadi banyak yang menjual mobilnya. Di sisi lain, yang belum punya juga mulai banyak mencari mobil bekas untuk keperluannya. Supply demand-nya terjembatani dengan baik,” lanjut Delly.

Di Indonesia sendiri, pasar jual-beli mobil memang perlu disikapi secara unik. Banyak faktor yang menyebabkan kondisi pasar di tiap daerah berbeda-beda. Delly menyebutkan ada empat hal mendasar yang mempengaruhi. Pertama adalah letak geografis, ini berpengaruh pada distribusi produk. Karena stok di perkotaan dan di daerah pasti berbeda – terlebih saat berbicara produk mobil baru.

Faktor kedua, terkait daya beli. Spesifikasi ini perlu dipahami dengan baik, sehingga para pemain industri dapat menyuguhkan varian produk yang terjangkau di pasar tertentu. Ini juga berhubungan dengan faktor selanjutnya, yakni harga. Kadang produk dengan merek dan kondisi yang mirip dapat di jual dengan harga berbeda di daerah yang berbeda. Contohnya, kalau dari Jakarta orang berasumsi mobilnya berisiko kena banjir dan penggunaannya sangat tinggi karena sering terjebak macet. Terakhir, faktor dasar hukum ekonomi, yakni supply-demand. Tentu akan banyak berpengaruh pada kondisi pasar mobil bekas di suatu daerah.

“Karena kultur kami startup, maka menjadi lebih fleksibel untuk berinovasi di berbagai sisi, baik di internal maupun eksternal. Jadi bisa menyesuaikan apa yang benar-benar dibutuhkan oleh pengguna. Termasuk terkait rencana pemanfaatan dana, kami secara gesit akan memulai model bisnis baru tahun depan di Indonesia. Harapannya akan banyak masyarakat yang terbantu,” tutupnya.

Gambar header: Depositphotos.com

Webinar #SelasaStartup How Edtech Startups Steal a Spotlight in the Pandemic

Webinar #SelasaStartup merupakan acara mingguan yang diadakan setiap hari Selasa dengan menampilkan tech founder dan pelaku industri untuk dapat memberikan insight kepada komunitas teknologi DailySocial.id. Selama pandemi covid-19, webinar #SelasaStartup diadakan secara online melalui youtube channel DailySocial.id secara live.

Pada sesi webinar #SelasaStartup kali ini DailySocial.id mengundang Tomy Yunus, Co-Founder & CEO Cakap dengan mengusung tema How Edtech Startups Steal a Spotlight in the Pandemic.

Cakap adalah sebuah perusahaan startup pengembang aplikasi edukasi teknologi asal Indonesia yang berfokus kepada pendidikan dua arah secara daring.

Webinar Selasa Startup
Tomy Yunus, Co-Founder & CEO of Cakap

Webinar ini akan membahas mengenai bagaimana kondisi pandemi dapat mendorong startup edtech untuk semakin berkilau, terutama yang menyediakan berbagai pelatihan untuk meningkatkan skill dan kemampuan penggunanya. Akan dibahas pula mengenai perubahan perilaku pengguna layanan edtech secara umum sejak pandemi berlangsung dan masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, serta perubahan strategi seperti apa yang dilakukan Cakap untuk dapat mempertahankan bisnisnya.

Daftar segera di loket.com/event/dsxck

Button

Menggali Peluang Monetisasi di Perusahaan E-commerce

Perusahaan e-commerce identik dengan kesan gemar bakar duit untuk mencetak GMV setinggi-tingginya sebagai metrik. Jauh dari itu, pada khitahnya perusahaan apa pun itu bisnisnya dituntut untuk menghasilkan keuntungan. Di sinilah tugas business development mencari peluang-peluang bisnis apa saja yang bisa dihasilkan.

Dalam membahas topik ini, #SelasaStartup mengundang Vice President of Business Development & Project Lead Blibli Histeria Cindy Kalensang sebagai pembicara. Cindy akan membahas lebih lanjut mengenai apa saja tugas business development, kaitannya dalam mencari peluang bisnis untuk layanan e-commerce, dan bagaimana implementasinya di Blibli.

VP Of BizDev Blibli Cindy R Kalensang / Blibli
VP Of BizDev Blibli Cindy R Kalensang / Blibli

Mengembangkan model bisnis

Cindy menerangkan, tugas dasar dari seorang business development adalah mengembangkan bisnis agar lebih baik pertumbuhannya, dengan cara eksplorasi kerja sama bisnis baru dengan partner dan sebagainya. Oleh karena itu, ia bekerja dengan berbagai tim Blibli dari divisi lain untuk koordinasinya.

Dalam mengembangkan model bisnis baru, tim business development mengidentifikasi underserved consumer needs agar dapat memberikan solusi yang tepat, disebut product market fit. “Product market fit inilah yang harus diiterasi sebab konsumen itu looking for value, enggak cuma orisinalitas.”

Pada awal Blibli beroperasi pada 2011 menggunakan model bisnis B2C, karena ingin menjamin keaslian barang sampai ke tangan konsumen. Untuk itu, Blibli banyak bekerja sama dengan brand partner. Dalam menjalankan bisnis ini, cara Blibli monetisasi adalah mengambil komisi.

Perusahaan memiliki pergudangan yang tersebar di berbagai titik di Indonesia untuk mendukung model bisnisnya tersebut, terlebih agar barang cepat sampai ke konsumen. Seiring berjalannya waktu, kondisi semakin berkembang alhasil Blilli mengembangkan model bisnis lainnya ke B2B2C.

“Jadi prosesnya kita beli barang dalam jumlah banyak, lalu taruh dan didistribusikan ke warehouse kita. Jadi kalau B2B2C itu revenue-nya dari margin, sementara B2C itu dari komisi,” terangnya.

Dari model bisnis yang sekarang, masih menyisakan masalah yang dihadapi oleh semua perusahaan e-commerce yakni proses distribusi yang tidak merata. Lantaran, produsen dan distributor itu mayoritas terletak di Pulau Jawa. Akhirnya diputuskan untuk membuka model bisnis baru, yakni C2C agar semua pihak bisa berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah tersebut.

“Kita buka C2C, open untuk seller, tapi tetap kita kurasi [proses onbording] jangan sampai mereka jual barang yang enggak ori.”

Mengaplikasikan model bisnis baru

Cindy melanjutkan, persaingan layanan e-commerce saat ini di Indonesia sudah sengit. Bisa dilihat dari berapa banyak perusahaan e-commerce yang mengambil strategi “bakar duit” dengan beriklan di televisi demi akuisisi konsumen baru.

“Sebenarnya kita hadir enggak hanya untuk sprint tapi marathon, Blibli berdiri untuk tetap sustain. Makanya kita harus tetap setia dengan unique value proposition. Promo bakar-bakar duit itu normal karena kita mau acquire konsumen, yang terpenting adalah proses delivery value berjalan bahwa Blibli itu berbeda dengan pemain lainnya.”

Model bisnis Blibli kini terus berkembang, dari awalnya murni B2C, kini sudah B2B2C dan sudah menyentuh C2C. Menurut Cindy, perusahaan terus adaptif dengan perusahaan. Salah satu model bisnis baru yang sedang dicoba oleh Blibli adalah berlangganan (subscription).

Ini sudah berjalan untuk layanan grocery BlibliMart. Cindy menjelaskan model bisnis berlangganan sangat menarik dan menjadi kunci sukses di Spotify. Awalnya dalam menikmati musik orang dibiasakan untuk membeli kaset atau CD yang berbentuk fisik. Lalu masuk Apple yang menawarkan pembelian digital per lagu.

“Spotify lihat orang punya masa jenuh dengan musik, akhirnya ditawarkan streaming lagu secara gratis, namun ada iklan. Mereka profit sharing dengan pengiklan. Lalu mereka berinovasi dengan model subscription. Ini model yang sedang kita explore, Amazon sukses dengan model ini, menawarkan free shipping selama satu tahun.”

Menurut Cindy, percobaan model berlangganan di BlibliMart cukup tepat karena memudahkan konsumen untuk membeli kebutuhan yang sudah pasti dengan harga yang jauh lebih murah. “Daripada belinya pas sudah habis, lebih baik sudah diatur pembeliannya. Barang dikirim setiap dua minggu sekali. Itu value proposition kita dengan membuat budget sehingga pengeluaran lebih hemat,” pungkasnya.

Gambar header: Depositphotos.com

Observing the Potential of Co-Living Business in the Digital Era

The well-established ecosystem of boarding house [further mentioned by kost-kostan] sector or what is recently known as co-living, has become an opportunity for startups like RoomME. This platform, which specifically caters for homestay owners and seekers, tries to boost the company’s acceleration by providing further education and introduction to technology and the use of applications to make it easier for homestay owners and seekers.

In this #Selasastartup edition, DailySocial presents RoomME Co-Founder & COO Winoto Hartanto.

Kost-kostan business transformation

The concept of kost-kostan has always been very familiar to the people of Indonesia. By prioritizing a family culture and a close relationship between the owner and the seeker, makes this business never subside and they are always glimpsed by the house owners. Seeing this potential, RoomME founders tried to find opportunities that could then be explored to target this sector.

“For a long time, this business was known as kost-kostan. However, nowadays when many investors come and to simplify a more general term, co-living has been introduced, but it does not leave the essence of the business,” Winoto said.

Many insights were later found by Winoto along with other colleagues when he then started building RoomME. Starting from quite a lot of feedback from the boarding house owner to the ability of technology to make it easier for both parties. This then differentiates a platform like RoomME from other similar platforms.

“Since the beginning, we have focused on providing services to boarding owners as well as boarding house seekers, in contrast to other platforms, which are mostly marketplaces,” Winoto said.

Pandemic drives acceleration

About the pandemic hindered the growth of RoomME’s business, Winoto emphasized that at the beginning of the pandemic, it had experienced problems. However, the pandemic has also created creativity among the management and RoomME team to move faster.

Among those are accelerating the digital and educational process for owners and seekers. Education is a powerful way that is claimed to be able to accelerate awareness and digital adoption of RoomME’s target market.

“Using the application, we strive to provide information and convenience to boarding owners to manage their boarding business. Meanwhile, for boarding seekers, using the application gives them the flexibility to search for boarding houses anywhere and anytime,” Winoto said.

In particular, RoomME offers two service options to boarding owners, those who want to have the freedom to manage their boarding business and services that make it easier for homestay owners when they want to jump right into managing their business.

“To date, with the education we have launched, we have not encountered any obstacles. From various groups, young and old alike, have adopted RoomME technology very well,” Winoto added.

In the future, RoomME sees that the future of the co-living business in Indonesia is very bright, as seen from the stable interest of boarding house seekers and a large number of house owners in Greater Jakarta. Expansion to reach a wider market is also the next for RoomME’s plan.

“Last year we were present in Jabodetabek. Next year we plan to expand to Bandung and Yogyakarta. In the future RoomME wants to be a platform that unites industries that are still very fragmented,” Winoto said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Menyimak Potensi Bisnis Co-Living di Era Digital

Sudah mapannya ekosistem yang ditawarkan oleh sektor indekos atau yang sekarang dikenal dengan istilah co-living, menjadi peluang yang kemudian diincar oleh startup seperti RoomME. Platform yang secara khusus meng-cater pemilik dan pencari indekos ini, mencoba untuk mempercepat akselerasi perusahaan dengan melakukan edukasi dan pengenalan lebih jauh tentang teknologi dan penggunaan aplikasi untuk mempermudah pemilik dan pencari indekos.

Dalam edisi #Selasastartup kali, DailySocial menghadirkan Co-Founder & COO RoomME Winoto Hartanto.

Transformasi bisnis kos-kosan

Sejak dulu konsep indekos sudah sangat familiar oleh masyarakat Indonesia. Dengan mengedepankan kultur kekeluargaan dan relasi yang dekat antara pemilik dengan pencari, menjadikan bisnis ini tidak pernah surut dan selalu dilirik oleh mereka pemilik indekos. Melihat potensi tersebut kemudian para pendiri RoomME mencoba untuk mencari peluang yang kemudian bisa dijajaki untuk menyasar sektor ini.

“Sejak dulu bisnis ini memang dikenal dengan nama kost-kostan. Namun saat ini ketika banyak investor yang masuk dan untuk mempermudah istilah yang lebih umum, co-living kemudian mulai diperkenalkan, namun tidak meninggalkan esensi dari bisnis itu,” kata Winoto.

Banyak insight yang kemudian ditemukan oleh Winoto bersama dengan rekan lainnya ketika kemudian mulai membangun RoomME. Mulai dari feedback yang cukup banyak dari pemilik indekos hingga kemampuan teknologi untuk mempermudah kedua belah pihak. Hal tersebut yang kemudian membedakan platform seperti RoomME dengan platform serupa lainnya.

“Sejak awal kami fokus memberikan layanan kepada pemilik indekos juga pencari indekos, berbeda dengan platform lainnya yang kebanyakan adalah marketplace saja,” kata Winoto.

Pandemi percepat akselerasi

Disinggung apakah pandemi menghambat pertumbuhan bisnis RoomME, Winoto menegaskan saat awal pandemi memang sempat mengalami kendala. Namun di sisi lain pandemi juga menciptakan kreativitas di antara manajemen dan tim RoomME untuk bergerak lebih cepat.

Di antaranya adalah mengakselerasi digital dan proses edukasi kepada pemilik dan pencari. Edukasi merupakan cara ampuh yang diklaim mampu mempercepat awareness dan adopsi digital kepada target pasar dari RoomME.

“Memanfaatkan aplikasi kami berupaya untuk memberikan informasi dan kemudahan kepada pemilik indekos untuk mengelola bisnis kost mereka. Sementara untuk pencari kost, memanfaatkan aplikasi memberikan mereka fleksibilitas pencarian kost di mana saja dan kapan saja,” kata Winoto.

Secara khusus RoomME menawarkan dua pilihan layanan kepada pemilik indekos, yaitu bagi mereka yang ingin memiliki kebebasan mengelola bisnis indekos mereka dan layanan yang memudahkan pemilik indekos ketika ingin terjun langsung mengelola bisnis mereka.

“Sejauh ini dengan edukasi yang kami lancarkan kami tidak menemui kendala. Dari berbagai kalangan tua maupun muda, telah mengadopsi teknologi RoomME dengan sangat baik,” kata Winoto.

Ke depannya RoomME melihat masa depan bisnis co-living di Indonesia sangat cerah, dilihat dari stabilnya minat di kalangan pencari indekos dan jumlah yang cukup besar mereka pemilik indekos di Jabodetabek. Ekspansi untuk menjangkau pasar yang lebih luas juga menjadi rencana RoomME selanjutnya.

“Tahun lalu kami sudah hadir di Jabodetabek, tahun depan kami berencana untuk melakukan ekspansi ke Bandung dan Yogyakarta. Ke depannya RoomME ingin menjadi platform yang menyatukan industri yang hingga kini masih sangat fragmented,” kata Winoto.

Understanding Fintech Challenges and Opportunities amid Recession

The impact of the Covid-19 pandemic has finally brought Indonesia officially into a row of countries experiencing a recession. The Central Bureau of Statistics (BPS) recorded a growth of minus 3.49 percent Gross Domestic Product (GDP) on an annual basis (Year-on-Year/YoY).

This condition claims an alert for all the business sectors in Indonesia, considering that not a few have been affected by Covid-19. Business people, large to small, have struggled to survive this situation over the past few months.

How do fintech players run business in times of recession? See in full the interesting explanation from CCO Payments of OVO Jaygan Fu Ponnudurai and Chief Risk of Asetku Jimmi Adhe Kharisma in the following #SelasaStartup session.

Trend for consumer behavior and business impact

Pandemic triggers changes in consumer behavior in transactions. This trend applies worldwide, including in Indonesia. For OVO and Asetku, shifting from offline to online has a positive and negative impact on their business.

Based on company data, Jaygan admitted that there was a significant increase in food ordering (Grab Food) and online shopping (Tokopedia). Because of this shift, consumers tend to be promo-centric and cost-centric.

“We do see a decline, but it’s not as bad as we thought. We are trying to reach [the target] that we have corrected. Currently, we see that people are getting used to [transacting online] during the pandemic,” he said.

Meanwhile, Asetku, who plays in P2P lending, admitted that he experienced an increase in Non-Performing Loans (NPL) as a result of business difficulties during the PSBB period. As of September 2020, the company noted that the NPL of My Assets increased to 8.27% from the average NPL before the pandemic of 1% -2%.

Jimmi even saw an increase in the number of lenders rather than borrowers on his platform. According to him, this happened due to several factors, such as changes in consumer behavior in shopping, a decline in the JCI, tightening borrower criteria, and government initiatives to restructure debt.

“We see that the demand for borrowers has increased, so we have tightened the criteria. In addition, consumer loans have also increased because of the shifting behavior. Consumers often shop online,” he said.

Mitigation act

With the current situation, business players have started to secure the business and keep the runway long by mitigating both in terms of cost efficiency and re-evaluating their future strategies.

Both Jaygan and Jimmi claim to be efficient in their business by cutting unnecessary costs. In the Asetku case, his party took mitigation steps according to the government’s initiative to restructure.

However, according to Jimmi, one thing that should be underlined is to continue to observe trends in existing consumer behavior. According to him, it is important to understand this so that the company can continue to channel and maybe even increase loans to existing borrowers.

Meanwhile, Jaygan assessed the importance of understanding consumers to maintain the relevance of his services in the future. His party even evaluated a number of collaborations with several partners because they became irrelevant during a pandemic, for example with malls.

“This is all about optimizing what we spend, the difficult thing is to grow revenue lines and stay relevant to our consumers, especially when the promo period ends. That’s why we build risk mitigation, it takes time being customer centric,” he said.

Opportunities for SMEs to drive cashless

On the other hand, the pandemic is recognized as a momentum to accelerate a cashless society, especially since there are still many people in Indonesia who depend on cash. One of the most highlighted segments of MSME players is considered to be the most affected by the pandemic.

For Jaygan, this situation is an opportunity to encourage the penetration of QRIS features throughout Indonesia through the MSME segment, such as merchants in the market. According to company data, there are OVO merchant partners from this segment that are affected.

“Before the pandemic, we acquired MSMEs in Indonesia, for example with Pujasera. Because many were affected by the pandemic, we tried to convert merchants from offline to online with Tokopedia and Grab so that their business would continue,” he said. Now he sees an increasing trend of additional users outside Java who have been identified as being cash centric.

Meanwhile, as mentioned earlier, said Jimmi, his party continues to strive to accommodate loans to the MSME segment, especially for merchants selling on e-commerce platforms that are partners.

“The SMEs loan is not large, around Rp. 5-15 million. With KYC, algorithms, and mitigation measures, we are trying to accommodate their loans because this segment is untouched by banks, ”he explained.

Recession: Challenge or Opportunity?

Personally, Jaygan considered that a recession due to a prolonged pandemic has become a kind of reality check in running a business. He learned to think carefully before executing something.

According to him, this could be a good implication or not in the future.
“If there was no reality check, we would have just spent, not necessarily we could come up with new products or think about new market segments,” said Jaygan.

Meanwhile, Jimmi did not see this recession as a brutal challenge for fintech players, but a learning moment to be able to sustain a business. Moreover, he said, Indonesia was not the first to face this situation. Indonesia experienced economic crises in 1998 and 2008.

“The definition of economy is very broad, of course this situation can be an opportunity to learn because we have experienced crises before,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Memahami Tantangan dan Peluang Pelaku Fintech di Masa Resesi

Imbas pandemi Covid-19 akhirnya membawa Indonesia resmi masuk dalam deretan negara yang mengalami resesi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) minus 3,49 persen secara tahunan (Year-on-Year/YoY).

Kondisi ini otomatis menjadi red alert bagi sektor bisnis di Indonesia, mengingat tak sedikit yang terdampak dari Covid-19. Para pelaku bisnis berskala besar hingga kecil berupaya keras untuk bisa bertahan dari situasi ini selama beberapa bulan terakhir.

Bagaimana pelaku fintech menjalankan bisnis di situasi resesi? Simak selengkapnya paparan menarik dari CCO Payments of OVO Jaygan Fu Ponnudurai dan Chief Risk of Asetku Jimmi Adhe Kharisma pada sesi #SelasaStartup berikut ini.

Tren perilaku konsumen dan dampak bisnis

Pandemi memicu perubahan perilaku konsumen dalam bertransaksi. Tren ini terjadi di dunia, termasuk di Indonesia. Bagi OVO dan Asetku, shifting dari offline ke online memberikan dampak positif dan negatif terhadap bisnis mereka.

Berdasarkan data perusahaan, Jaygan mengaku ada peningkatan transaksi secara signifikan pada pemesanan makanan (Grab Food) dan belanja online (Tokopedia). Karena pergeseran ini, konsumen jadi cenderung menjadi promo-centric dan cost-centric.

We do see a decline, tapi belum separah yang kami kira. Kami lagi berupaya mencapai [target] yang sudah kami koreksi. Saat ini kami lihat orang-orang sudah mulai terbiasa [bertransaksi online] selama pandemi,” ujarnya.

Sementara Asetku yang bermain di P2P lending mengaku mengalami peningkatan Non Performing Loan (NPL) sebagai akibat dari kesulitan bisnis selama masa PSBB. Per September 2020, perusahaan mencatat NPL Asetku naik sampai 8,27% dari NPL rerata sebelum pandemi 1%-2%.

Jimmi bahkan melihat terjadinya peningkatan jumlah lender ketimbang borrower di platformnya. Menurutnya, hal ini terjadi karena beberapa faktor, seperti perubahan perilaku konsumen dalam berbelanja, penurunan IHSG, pengetatan kriteria peminjam, dan inisiatif pemerintah untuk melakukan restrukturisasi utang.

“Kami melihat demand borrower naik, maka itu kami perketat kriterianya. Selain itu, pinjaman konsumtif juga naik karena ada shifting behaviour. Konsumen jadi sering berbelanja online,” ungkapnya.

Melakukan langkah mitigasi

Dengan situasi saat ini, pelaku bisnis sudah mulai mengamankan bisnis dan menjaga runway tetap panjang dengan melakukan mitigasi, baik dari sisi efisiensi biaya hingga mengevaluasi kembali strateginya ke depan.

Baik Jaygan dan Jimmi mengaku melakukan efisiensi di bisnisnya dengan memangkas biaya yang tidak perlu. Pada kasus Asetku, pihaknya melakukan langkah mitigasi sesuai inisiatif pemerintah untuk melakukan restrukturisasi.

Namun, menurut Jimmi, salah satu yang patut digaris bawahi adalah terus mengamati tren perilaku konsumen existing. Menurutnya, penting untuk memahami hal tersebut agar perusahaan tetap bisa menyalurkan bahkan mungkin menaikkan pinjaman kepada borrower existing.

Sementara Jaygan menilai pentingnya memahami konsumen untuk menjaga relevansi layanannya di masa depan. Pihaknya bahkan mengevaluasi sejumlah kolaborasi dengan beberapa mitra karena menjadi tidak relevan selama pandemi, misalnya dengan mal.

“Ini semua tentang optimalisasi what we spend, yang sulit adalah grow revenue line dan stay relevant to our consumer, apalagi ketika masa promo berakhir. Makanya kami build risk mitigation, it takes time being customer centric,” ujarnya.

Peluang bagi UMKM dorong cashless

Di sisi lain, pandemi diakui menjadi momentum untuk mengakselerasi cashless society, apalagi saat ini masih banyak masyarakat di Indonesia yang bergantung pada uang tunai. Salah satu yang paling banyak disoroti adalah segmen pelaku UMKM yang dinilai paling terdampak dari pandemi.

Bagi Jaygan, situasi ini menjadi peluang untuk mendorong penetrasi fitur QRIS di seluruh Indonesia melalui segmen UMKM, seperti merchant di pasar. Menurut data perusahaan, ada mitra merchant OVO dari segmen tersebut yang terdampak.

“Sebelum pandemi, kami memang acquire UMKM di Indonesia, misalnya dengan Pujasera. Karena banyak yang terdampak dari pandemi, kami coba convert merchant dari offline ke online dengan Tokopedia dan Grab supaya bisnis mereka tetap lanjut,” tuturnya. Kini ia melihat ada tren peningkatan penambahan pengguna di luar Jawa yang selama ini diidentifikasikan masih cash centric.

Sementara sebagaimana disebutkan di awal, ungkap Jimmi, pihaknya terus berupaya untuk mengakomodasi pinjaman kepada segmen UMKM, terutama pada merchant yang berjualan di platform e-commerce yang menjadi mitranya.

“Pinjaman UMKM itu tidak besar berkisar Rp5-15 juta. Dengan KYC, algoritma, dan langkah mitigasi, kami coba mengakomodasi pinjaman mereka karena segmen ini kan tidak tersentuh bank,” jelasnya.

Resesi: tantangan atau peluang?

Secara personal, Jaygan menilai bahwa resesi akibat pandemi berkepanjangan menjadi semacam reality check dalam menjalankan bisnis. Ia mendapat pembelajaran untuk berpikir matang sebelum mengeksekusi sesuatu.

Menurutnya, ini dapat menjadi implikasi baik atau tidak di masa depan.
“Kalau tidak ada reality check, kami pasti spending begitu saja, belum tentu kami bisa come up dengan produk baru atau memikirkan segmen pasar baru,” tutur Jaygan.

Sementara Jimmi tidak melihat resesi ini sebagai tantangan brutal bagi pelaku fintech, melainkan momen pembelajaran untuk bisa mempertahankan bisnis. Terlebih, ungkapnya, Indonesia bukan baru sekali menghadapi situasi ini. Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi di 1998 dan 2008.

“Definisi ekonomi itu sangat luas, tentu situasi ini dapat menjadi peluang untuk belajar karena kita pernah mengalami krisis sebelumnya.” Tambahnya.