Kemenkes Gandeng Google Kembangkan Gen AI untuk Inovasi Layanan Kesehatan

Dalam upaya mempercepat transformasi layanan kesehatan digital, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia berkolaborasi dengan Google Cloud untuk mengembangkan Kecerdasan Buatan Generatif (Gen AI). Kolaborasi ini bertujuan untuk menciptakan inovasi yang disesuaikan dengan kebutuhan layanan kesehatan di Indonesia.

Menurut Chief Digital Transformation Office Kementerian Kesehatan Setiaji, penggunaan Gen AI diharapkan dapat memudahkan akses informasi bagi masyarakat, memperbaiki sistem kerja para profesional kesehatan, dan mengoptimalkan ekosistem layanan kesehatan melalui penerapan teknologi yang bertanggung jawab.

“Kami mengutamakan keseimbangan antara inovasi dan etika dalam penggunaan AI untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi ini benar-benar membawa manfaat bagi kesejahteraan masyarakat,” ujar Setiaji.

Country Director Indonesia Google Cloud Fanly Tanto menambahkan, penggunaan Gen AI di sektor kesehatan memiliki potensi besar untuk memperbaiki kualitas diagnosis dan rencana perawatan yang lebih tepat.

“Kami berkomitmen untuk menyediakan solusi AI yang tidak hanya canggih tetapi juga aman dan terpercaya, menjamin perlindungan data pribadi pasien,” terang Fanly.

Kolaborasi ini adalah bagian dari upaya berkelanjutan Kemenkes dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia, sejalan dengan tujuan transformasi kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan implementasi Gen AI, diharapkan dapat tercipta layanan kesehatan yang lebih efisien dan inklusif bagi semua lapisan masyarakat.

Penyempurnaan ini menandai langkah maju Kemenkes dalam memanfaatkan teknologi canggih untuk mendukung kesehatan masyarakat, sekaligus membuka jalan bagi inovasi-inovasi baru yang akan terus memperkaya sektor kesehatan di Indonesia.

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

Kemenkes Umumkan Hasil “Regulatory Sandbox” pada 14 Platform Healthtech

Kementerian Kesehatan melalui unit Digital Transformation Office (DTO) mengumumkan sebanyak 14 platform layanan kesehatan yang telah melewati uji coba Regulatory Sandbox.

“Tadinya ada 15, tetapi 1 [platform] akan tutup akhir tahun ini,” ujar Setiaji, Chief DTO Kemenkes pada saat membuka Konferensi pers “Pemberian Rekomendasi Program Regulatory Sandbox”, Kamis (21/12).

Disampaikan Setiaji, ke-14 platform ini telah melewati berbagai proses, mulai dari live testing, simulasi, hingga pengecekan administrasi. Hasilnya pengujiannya dibagi dalam tiga kategori status, yaitu “Direkomendasikan”, “Direkomendasikan Bersyarat”, dan “Perbaikan”.

“Namun, tidak ada yang lolos kategori ‘Direkomendasikan’, hanya lolos bersyarat dan perlu perbaikan,” tambah Setiaji. Berikut daftar 14 platform yang telah melalui uji coba:

Sumber: DTO Kemenkes / Diolah kembali oleh DailySocial

Disampaikan pula, ke-6 platform dengan status Direkomendasikan Bersyarat, diberikan waktu 3 bulan sejak hari ini untuk melakukan penyesuaian pada layanannya. Mereka juga berhak memakai logo Kementerian Kesehatan dengan status “Dibina Kemenkes”, yang berarti masyarakat tidak perlu ragu lagi untuk mengakses layanan kesehatan lewat platform ini.

Sementara, ke-8 platform dengan status Perbaikan, diberikan waktu 6 bulan sejak hari ini untuk melakukan perbaikan pada layanannya. Mereka berhak memakai logo Kementerian Kesehatan dengan status “Diawasi Kemenkes”, yang berarti status ini akan dicabut apabila tidak ada perubahan selama periode waktu yang diberikan.

Dalam melakukan pengujian sandbox ini, Kemenkes menggunakan enam aspek uji yang terdiri dari:

  1. Fungsionalitas; menguji apakah fitur dapat berjalan dengan baik.
  2. Keamanan; mencakup praktik keamanan untuk perlindungan data.
  3. Privasi data; mencakup keamanan data pribadi hingga data medis.
  4. Uji spesifik klaster; tata kelola terkait fitur tertentu, seperti telemedis, peresepan, dan penyampaian informasi medis.
  5. Inklusivitas; menguji apakah inovasinya inklusif, tak hanya dari sisi teknologi (bandwith untuk akses layanan), fitur untuk disabilitas.
  6. Integrasi; kemampuan platform dan aplikasi untuk terintegrasi dengan Satu Sehat.

Setiaji mengungkap sebagian besar platform tersebut mendapat catatan minor terkait aspek inklusivitas untuk kalangan disabilitas. Misalnya, apakah aplikasinya memiliki fitur text-to-voice atau fitur untuk meningkatkan kontras warna layar untuk kaum tuna netra.

Dihubungi secara terpisah, Setiaji mengungkap bahwa masih ada 17 klaster lagi yang  pengujian sandbox-nya akan dibuka pada tahun depan. Misalnya, klaster industrial dan inovasi. “Pada umumnya, aspek pengujiannya tetap sama, akan disesuaikan dengan solusi pada klaster tersebut,” ujarnya lewat pesan singkat kepada DailySocial.id.

Chief DTO Ungkap Update Transformasi Digital Kesehatan

Dua tahun lalu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerbitkan peta jalan transformasi digital untuk memperbaiki carut-marut di industri kesehatan. Salah satunya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat.

Eksekusinya dilaksanakan oleh Digital Transformation Officer (DTO), divisi baru di lingkup Kemenkes dan dipimpin oleh Setiaji yang berpengalaman kuat di sektor teknologi dan birokrasi. Peta jalan ini memuat tiga fokus utama yang ditarget rampung pada 2024; integrasi dan pengembangan sistem data, sistem aplikasi pelayanan, dan ekosistem di teknologi kesehatan.

Bagaimana progres pelaksanaan peta jalan transformasi digital kesehatan di 2023? Berikut rangkuman wawancara DailySocial.id dengan Chief DTO Setiaji.

Progres: rekam medis hingga sistem AI

Di awal wawancara, Setiaji bicara soal standardisasi data sebagai tulang punggung seluruh ekosistem kesehatan. Mengapa demikian? Sejak lama, fasilitas kesehatan (faskes) beroperasi dengan format dan sistem yang dibangun sendiri-sendiri. Karena format dan sistemnya berbeda, sulit untuk mengawinkan dan mengolah data informasi kesehatan.

Di sepanjang 2022, DTO merealisasikan sejumlah inisiatif untuk memuluskan integrasi dan keterhubungan data mulai dari peluncuran platform Satu Sehat, kodefikasi kesehatan (contoh: kode obat, alat kesehatan), hingga aturan untuk penyelenggaraan Rekam Medis Elektronik (RME).

“Tahun lalu, kami fokus merampungkan standardisasi data dan melakukan integrasi, dimulai dari Jawa dan Bali. Karena kami buat platform, bukan membangun sistem di faskes, jadi kami bertemu dengan pihak terkait, untuk memperkenalkan standardisasi ini,” ungkapnya.

Ia juga mengungkap progres integrasi pada rekam medis. Dengan transisi PeduliLindungi ke platform Satu Sehat, masyarakat kini dapat mengakses data kesehatan mereka. Setiaji bilang, baru sekitar 500 faskes yang mengirimkan data secara real-time dari target awal 10.000 faskes yang siap diintegrasi.

Standardisasi data kesehatan / Diolah kembali oleh DailySocial

Tahun ini, DTO tengah mengimplementasi sistem analisis kesehatan berbasis AI serta bioteknologi, hingga perizinan pengembang healthtech. Setiaji mengungkap sejumlah tenaga data scientist telah bergabung untuk mengembangkan permodelan untuk membantu proses diagnosis atau screening test penyakit tertentu.

Kemudian, pihaknya juga tengah mengulas hasil regulatory sandbox untuk platform telemedis. Beberapa poin yang diamati adalah lisensi tenaga kesehatan, cakupan praktik, dan keamanan data. Dari 60 platform mendaftar, sebanyak 15 dipilih agar kebijakannya nanti dapat mewakili setiap kategori.

Pihaknya juga tengah meminta input dari venture capital (VC) yang kini banyak terlibat dalam pengembangan teknologi kesehatan terkait klusterisasi layanan/produk.

“Dari regulatory sandbox ini, kami juga akan lihat terkait lisensi penyedia layanan telemedis, misalnya apakah sebagai platform atau klinik virtual. Contoh lain, nakes punya Surat Izin Praktik (SIP) daerah, harusnya punya SIP nasional untuk bisa cover secara nasional juga.”

Setiaji menambahkan bahwa aturan teknikal mengenai teknologi kesehatan akan diatur lewat Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) atau Peraturan Direktorat Jenderal (Dirjen). Sementara, Peraturan Pemerintah (PP) akan mengatur dalam sekop besar. Ini akan memudahkan pengembangan inovasi kesehatan di masa depan, tanpa perlu mengubah PP lagi.

Perlu diketahui, Pemerintah tengah mematangkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dari UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Pasal 344 menyatakan bahwa teknologi kesehatan akan diatur di dalam PP.

Lebih lanjut, DTO juga tengah menyiapkan Health Tech Space yang akan menjadi hub untuk mempertemukan ekosistem kesehatan. Health Tech Space juga akan berfungsi sebagai ruang advokasi terhadap regulatory sandbox, akselerator, dan inkubator. Bagi pelaku startup, ruang ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ide maupun inovasi kesehatan.

Sumber: DTO Kemenkes

Tantangan: akses internet hingga SDM

Dalam pelaksanaannya, Setiaji mengaku ada sejumlah tantangan yang menyulitkan proses integrasi data kesehatan. Pertama, tidak meratanya akses internet. Dari total 10.000 puskesmas di Indonesia, sebanyak 745 tidak memiliki akses internet yang memadai. “Untuk menangani hal ini, pemerintah memfasilitasinya dengan internet satelit.”

Kedua, masih banyak faskes tidak memiliki sistem untuk mengimplementasikan rekam medis elektronik (RME). Pemerintah berupaya mendorong keterlibatan startup atau platform penyedia solusi terkait sehingga faskes tidak perlu membangun infrastruktur dari awal.

“Startup-startup ini menawarkan solusi dengan model berlangganan, ada juga paket gratis selama satu tahun. Kami pernah melakukan riset di mana ada satu RS menghabiskan Rp2 miliar untuk rekam medis berbasis kertas. Nah, kami coba arahkan agar beralih ke elektronik,” ungkapnya.

Ekosistem healthtech di Indonesia / DS/X Ventures

Terakhir adalah tantangan pada sumber daya manusia (SDM). Sejak tahun lalu, DTO dan pemangku kepentingan terkait aktif menggencarkan kegiatan edukasi terhadap 10.000 tenaga kesehatan (nakes) terkait literasi digital. Edukasi ini diperlukan untuk memahami transformasi digital sektor kesehatan.

Dengan waktu tersisa satu tahun ke depan, DTO berupaya mengakselerasi agenda transformasi ini. Paling tidak, tahun ini dapat terealisasi integrasi di 30.000 faskes hingga akhir 2023. Apabila tidak terpenuhi, ada sanksi yang dikenakan sebagaimana diatur dalam PMK No. 24 Tahun 2022. Sanksi ini dapat berupa sanksi tertulis atau sanksi administrasi (misal, akreditasi diturunkan).

“Kami berupaya speed up dengan memperbaiki model registrasinya. Data faskes kan sudah ada, kami buat verifikasinya secara otomatis. Kami juga memisahkan tim untuk go-to-market dan tim operasional untuk integrasi. Nah, integrasi ini juga sebetulnya tidak harus full mencapai level 6, jadi bertahap. Transformasi digital harus berbasis gerakan, tidak bisa dilakukan DTO sendiri.”

BGSi: enabler inovasi biogenomik

Agustus lalu, Kemenkes baru saja meluncurkan program inisiatif pertama Biomedical & Genome Science Initiative (BGSi) untuk mengembangkan metode pengobatan yang tepat bagi masyarakat. Keluarannya dapat menghasilkan produk diagnosis untuk pencegahan dan vaksin untuk perawatan penyakit.

Caranya adalah menggunakan teknologi pengumpulan informasi genetik (genom) dari manusia maupun patogen, seperti virus dan bakteri atau disebut Whole Genome Sequencing (WGS). “Targetnya dapat mengumpulkan 100 ribu sample pada 2025 untuk dipetakan data genomenya,” ujar Setiaji.

Setiaji mengungkap bahwa saat ini rancangan pelaksanaan BGSi tengah disiapkan, terutama rincian terkait biobank, bioregistry, dan ethical clearance. Targetnya, BGSi dapat menjadi enabler bagi ekosistem terkait untuk mempercepat inovasi biogenomik di Indonesia.

Selain alat sequencing, BGSi juga tengah mempersiapkan perangkat untuk menganalisis sample. Butuh perangkat komputasi tinggi karena sample membutuhkan data sangat besar, bisa sampai 300 GB per sample. Kami pernah coba pakai komputer biasa dan itu memakan waktu tiga hari. Dengan perangkat high computing, hanya 30 menit,” jelasnya.

Nantinya akan disiapkan juga portal hub yang dapat memfasilitasi sistem secara end-to-end, mulai dari data sequencing, transfer data untuk analisis, hingga pencocokan data sesuai rekam medis untuk mengetahui hasil genomik.

“Startup [di bidang genomik atau bioteknologi] juga nanti dapat mengirimkan sample kami. Ini memungkinkan mereka untuk menekan biaya R&D. Kami juga tengah menyusun revenue model dengan ekosistem terkait, mulai dari researcher, vendor, hingga startup.”

Perlu diketahui, program BGSi didukung oleh sejumlah investor dan kolaborator dalam dan luar negeri, termasuk The Global Fund, Panin Bank, Biofarma, dan East Ventures; serta melibatkan Illumina, BGI, Oxford Nanopore Technologies, dan Yayasan Satria Budi Dharma Setia.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Paparkan Potensi Genomik dan Pengembangannya di Indonesia

Perusahaan modal ventura yang berfokus pada sektor agnostik, East Ventures hari ini (16/2) meluncurkan white paper bertajuk “Genomics: Leapfrogging into the Indonesian healthcare future”. Bekerja sama dengan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia dan Redseer Strategy Consultant, laporan ini memaparkan pemahaman komprehensif tentang peran genomik dalam memperbaiki sistem kesehatan di Indonesia.

Sebagian besar penduduk Indonesia yang saat ini berusia muda, diperkirakan menua dengan cepat dan berpotensi membebani infrastruktur kesehatan. Dalam rangka memitigasi potensi krisis kesehatan, genomik dapat menjadi alternatif dalam memberikan perawatan preventif dan solusi pengobatan yang tepat.

Genomik umumnya diterapkan dalam bidang kedokteran dan bioteknologi yang mengarah pada berbagai perawatan, terapi, produk, dan teknologi baru. Seiring perkembangannya, genomik berpotensi mentransformasi ekosistem perawatan kesehatan di Indonesia.

Dalam pidatonya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa  saat ini industri kesehatan di Indonesia masih tertinggal dari negara lain, terutama dalam hal peningkatan layanan kesehatan dan harapan hidup.

“Di sinilah bidang genomik dan pengobatan presisi berperan menawarkan pendekatan transformatif untuk mendiagnosis dan merawat pasien dengan mempertimbangkan susunan genetik unik setiap individu. Kementerian Kesehatan melihat ini sebagai peluang bagus, dan telah merancang enam reformasi besar dalam dunia kesehatan, termasuk bioteknologi,” ujarnya di acara yang bertempat di Hotel Mulia, Jakarta.

Sementara, Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca dalam keynote-nya, menyampaikan bahwa perkembangan genomik di Indonesia masih berada di tahap yang sangat awal. Maka itu, butuh kerja sama seluruh stakeholder untuk mewujudkan peta jalan pengembangan sektor ini.

Ada empat pilar kunci untuk mengembangkan bidang genomik secara optimal antara lain infrastruktur, investasi, sumber daya manusia, serta regulasi. Pilar-pilar ini menjadi krusial untuk memastikan manfaat genomik dan pengobatan presisi dapat terealisasi, serta terwujudnya saluran investasi untuk mendukung pertumbuhan bidang ini.

Infrastruktur kesehatan Indonesia disebut masih tertinggal dari negara-negara sebayanya, begitu pula menurut standar WHO. Hal ini menyisakan ruang untuk perbaikan. Ditambah lagi dengan penyakit sistemik dan populasi yang akan mulai menua pada 2030, maka Indonesia perlu bersiap dari sekarang.

Dana kelolaan hingga program akselerasi

Selain berperan sebagai alternatif solusi untuk memperpanjang umur manusia, inovasi di bidang genomik diperkirakan berpotensi mendorong pertumbuhan nilai ekonomi mencapai $100 miliar. Willson, dalam sesi diskusi panel membahas teknologi genomik juga mengungkap rencana dana kelolaan East Ventures yang berfokus pada sektor ini.

Sejak awal, East Ventures meyakini potensi teknologi genomik dalam merevolusi sistem dan infrastruktur kesehatan Indonesia. Ketika investasi terkait genomik masih relatif baru, East Ventures telah menunjukkan kepercayaannya sejak 2018 lewat portofolio di bidang genome sequencing, yakni Nalagenetics dan Nusantics.

Namun, regulasi yang belum jelas dinilai menghambat perkembangan genomik di suatu negara. Chief Digital Transformation Office (DTO) Kemenkes Setiaji, mengungkap, pemerintah saat ini tengah mengembangkan regulasi terkait genomik dan bioteknologi. “Regulasi ini akan dikeluarkan pada saat teknologinya sudah masuk ke sandbox, kurang lebih 3-6 bulan setelah ini.”

East Ventures juga mengumumkan dukungannya bersama DTO Kemenkes melalui program inkubasi bagi startup dan inovator di bidang kesehatan bernama “Health Innovation Sprint Accelerator 2023 in collaboration with East Ventures”. Program ini bertujuan untuk memajukan kualitas kesehatan melalui inovasi di bidang healthtech dan biotech di Indonesia.

Ini merupakan program inkubasi untuk startup dan para inovator di bidang kesehatan. Program ini bertujuan meningkatkan kualitas kesehatan melalui inovasi sektor Health-Tech dan Bio-Tech di Indonesia. Calon peserta bisa mendaftarkan diri untuk mendapatkan kesempatan pitching ide dan produk inovasi mereka kepada Pemerintah, Industri kesehatan, serta akademisi.

Program ini memiliki dua fokus utama. Pertama, healthtech dengan kategori Electronic Medical Record System, Healthcare Provider Management System, Health Management Solution, dan Health Wellness. Kedua, biotech dengan kategori Information Technology for support in precision medicine, Integrated Laboratory Information and Management System, serta pengembangan produk berbasis pengurutan genom untuk industri kesehatan atau biotech.

Program inkubasi ini bersifat gratis dan menawarkan akses pada jaringan kolaborasi multidisiplin dan pendampingan dari mentor dan ahli berpengalaman di bidangnya. Selain mendapatkan token apresiasi, peserta berkesempatan untuk menjadi rekanan Kemenkes dalam mengembangkan ekosistem bioteknologi kesehatan.

Langkah Progresif Menuju Keterhubungan Informasi Data Kesehatan

Pandemi Covid-19 menjadi katalisator penting bagi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk mentransformasi industri kesehatan Indonesia. Bak kereta super cepat, Kemenkes merealisasikan sejumlah langkah yang sangat progresif di sepanjang satu tahun terakhir ini untuk mengawali transformasinya.

Sejak akhir 2021 hingga sekarang, agenda besar Kemenkes tercermin dari realisasi peluncuran (1) peta jalan transformasi digital, (2) regulatory sandbox, (3) platform Indonesia Healthcare System bernama “Satu Sehat”, dan—salah satu yang signifikan—(4) peraturan baru tentang penyelenggaraan Rekam Medis Elektronik (RME).

Poin nomor empat menjadi elemen krusial dalam memuluskan agenda transformasi industri kesehatan. Namun, secara keseluruhan, Kemenkes punya visi-misi jangka panjang yang dalam pelaksanaannya harus merangkul banyak pemangku kepentingan (stakeholder).

DailySocial telah mewawancarai sejumlah stakeholder untuk bicara sudut pandang mereka dari aspek industri, regulasi, dan teknologi sebagai enabler dalam menjawab berbagai persoalan di industri kesehatan yang selama ini identik sebagai high-regulated sector karena berkaitan dengan nyawa manusia dan punya kontrol besar terhadap data informasi kesehatan.

Lanskap dan tantangan

Mengutip sebuah studi, industri kesehatan di Indonesia dihadapkan pada sejumlah tantangan utama, seperti tuntutan untuk memperbaiki layanan medis, penyediaan akses informasi tepat waktu, dan tingginya biaya operasional.

Tenaga kesehatan (nakes) tak hanya dihadapkan pada tuntutan untuk memberikan kualitas layanan kepada pasien, tetapi juga beban administratif. Salah satunya adalah proses input data pasien masih dilakukan secara manual.

Di satu sisi, masyarakat khususnya kaum menengah ke bawah menganggap biaya berobat ke rumah sakit masih sangat mahal. Akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) di daerah masih minim apabila memperhitungkan faktor geografis di Indonesia.

Data BPS menyebut rata-rata biaya pengeluaran untuk kesehatan di Indonesia meningkat 8,9% menjadi Rp34.364 pada 2021. Secara proporsi, pengeluaran ini naik menjadi 2,72% dari tahun sebelumnya 2,57%. Sementara, Kemenkes mencatat pada 2020 rasio dokter hanya berkisar 0,38 per 1.000 populasi, sedangkan rasio tempat tidur di rumah sakit 1,2 per 1.000 populasi.

Maka itu, pandemi Covid-19 dinilai telah membuka mata para pemangku kepentingan untuk membenahi industri kesehatan. Pandemi memberi dorongan bahwa teknologi dapat menjadi enabler untuk mengatasi krisis dan mendemokratisasi layanan kesehatan dalam jangka panjang.

Sebetulnya, layanan kesehatan berbasis teknologi atau healthtech di Indonesia sudah ada sebelum pandemi. Kita mengenal Alodokter, Halodoc, Klikdokter, dan Klinik Pintar. Layanan yang ditawarkan mulai dari telekonsultasi, marketplace produk kesehatan, hingga digitalisasi ekosistem kesehatan.

Telekonsultasi menjadi salah satu layanan healthtech yang popularitasnya meroket kala pemerintah mengizinkan penggunaannya untuk urgensi penanganan Covid-19. Halodoc dan Alodokter bahkan sempat mencatatkan lonjakan trafik tinggi di awal pandemi.

Terlepas dari itu, masih banyak inovasi di bidang healthtech yang dapat dieksplorasi sehingga tak terbatas pada layanan telekonsultasi saja. Survei Statista memproyeksi nilai pasar digital health di Indonesia mencapai $1,98 miliar di 2022. Segmen terbesar diproyeksi berasal dari digital fitness dan well-being dengan total proyeksi pendapatan sebesar $1,14 miliar di 2022.

Standardisasi dan keterhubungan data

Peta jalan transformasi industri kesehatan memuat tiga agenda utama, yaitu integrasi dan pengembangan pada sistem data, aplikasi pelayanan, dan ekosistem di bidang teknologi kesehatan (healthtech). Sasarannya mencakup layanan kesehatan primer dan sekunder, ketahanan sistem kesehatan, sistem pembiayaan, hingga SDM. 

Dalam pelaksanaannya, Kemenkes membentuk divisi Digital Transformation Office (DTO), dipimpin oleh Setiaji yang telah memiliki pengalaman karir kuat di bidang IT dan birokrasi pemerintah. Setiaji akan menuntun penyelenggaraan transformasi digital di industri kesehatan selama empat tahun ke depan.

Pertanyaan selanjutnya, transformasi ini dimulai dari mana dulu?

Menurut Chief of DTO Setiaji, standardisasi dan keterhubungan data (interoperability) akan menjadi tulang punggung dalam mengintegrasikan seluruh layanan dan pemangku kepentingan di industri ini. Ini menjadi alasan utama DTO menempatkan standardisasi sebagai pondasi dasar transformasi. Tanpa standardisasi, keterhubungan data tidak akan tercapai.

“Maka itu, kami mendahulukan [transformasi] pada Rekam Medis Elektronik sebagai backbone. Salah satu tantangan besar selama ini adalah setiap rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain punya format data sendiri. Transformasi tidak bisa dilakukan jika standardisasi data tidak sama,” ujar Setiaji dalam wawancara dengan DailySocial.id beberapa waktu lalu.

Peta Jalan Transformasi Digital Kesehatan Indonesia 2021-2024 / Sumber: Kementerian Kesehatan

Yang selama ini terjadi, setiap fasyankes beroperasi dengan format dan sistem yang dibangun sendiri-sendiri. Setidaknya, saat ini ada 400 aplikasi di bidang kesehatan, 70 aplikasi puskesmas, dan 50 aplikasi rumah sakit. Karena format dan sistemnya berbeda, sulit untuk mengawinkan dan mengolah data informasi kesehatan.

Standardisasi menyeragamkan seluruh aspek data di industri kesehatan untuk menuju satu data Indonesia sehingga seluruh penyedia dan pengguna layanan kesehatan, baik pasien, fasilitas kesehatan, dan pemerintah dapat saling terhubung dan melakukan pertukaran data. Adapun, standardisasi ini dapat dimanfaatkan seluruh stakeholder terkait pada platform Indonesia Healthcare System (IHS).

Asosiasi Healthtech Indonesia (AHI) menanggapi keputusan yang diambil DTO sudah tepat untuk memprioritaskan standardisasi dan keterhubungan data sebagai langkah awal transformasi. Menurut Wakil Ketua AHI sekaligus Co-founder Zi.Care Jessy Abdurrahman, peta jalan transformasi tersebut juga telah mencerminkan concern dari para pelaku healthtech di Indonesia.

Menurutnya, industri kesehatan selama ini sangat eksklusif jika menyangkut informasi informasi data kesehatan. Maksudnya, fasyankes seolah memiliki kendali besar terhadap informasi data kesehatan. Padahal, Permenkes 269 Tahun 2008 jelas menyebutkan bahwa kepemilikan data ada pada pasien. Karena situasi ini, para pelaku startup sulit untuk melakukan disrupsi di sektor kesehatan.

“Saat itu, kami melihat tidak ada standardisasi pada rekam medis elektronik (RME) sehingga data tidak bisa ‘dikawinkan’ dan diolah menjadi apapun. Hal ini menjadi isu besar ketika Covid-19 terjadi, formatnya berbeda-beda, data tidak akurat, dan proses sampai ke RS menjadi lama karena birokrasi panjang. Peta jalan transformasi ini seharusnya menjadi titik terang bagi industri kesehatan,” ujar Jessy.

Tantangan, implementasi, dan regulasi

Untuk merealisasikan standardisasi ini, Kemenkes meluncurkan platform IHS yang akan dikenal sebagai “Satu Sehat” pada Juli 2022. Satu Sehat adalah Platform-as-a-Service (PaaS) yang akan menghubungkan antar-platform atau aplikasi milik seluruh pelaku industri kesehatan, baik RS vertikal, RS pemerintah, RS swasta, Puskesmas, Posyandu, laboratorium, klinik, hingga apotek. Satu Sehat juga akan terintegrasi pada aplikasi PeduliLindungi.

Kemudian, Kemenkes menerbitkan regulasi baru tentang penyelenggaraan Rekam Medis Elektronik (RME) pada fasyankes; tertuang dalam PMK No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis yang merupakan perubahan dan pemutakhiran dari peraturan sebelumnya PMK No. 269 Tahun 2008.

Kedua agenda di atas krusial dalam menciptakan satu data kesehatan nasional dan terpusat dalam satu platform. Beberapa contoh output-nya adalah menekan potensi duplikasi input data, menyelenggarakan RME, dan memudahkan proses rujukan. Satu Sehat telah diuji coba di 41 RS, 9 RS vertikal, dan 32 RSUD di DKI Jakarta, serta uji coba beta di 31 institusi kesehatan dan lab kesehatan.

Pada pemberitaan sebelumnya, peraturan penyelenggaraan RME memuat pasal-pasal terkait kepemilikan dan isi rekam medis pasien, keamanan dan perlindungan data pribadi, hingga pelepasan. Adapun, Kemenkes diberi kewenangan untuk mengolah data kesehatan milik pasien.

Dalam pasal 3, fasyankes wajib mengimplementasi RME, termasuk pada layanan telekonsultasi oleh fasyankes, dan wajib diintegrasikan ke platform Satu Sehat. Pemerintah memberikan masa transisi bagi seluruh fasyankes hingga akhir 2023.

Dalam pelaksanaannya, Setiaji menilai akan ada beberapa tantangan yang dihadapi mengingat masa transisi yang diberikan hanya satu tahun. Tantangan terbesar adalah mengimplementasi penyelenggaraan RME, terutama bagi fasyankes di daerah. Ia menyebut fasyankes di daerah belum melakukan digitalisasi karena tak punya anggaran.

Survei Kemenkes mencatat anggaran digitalisasi RS rata-rata tak sampai 3% dari total anggaran mereka. Faktor ini membuat transformasi digital belum menjadi prioritas. Selain itu, RS juga harus memiliki sistem informasi manajemen yang terintegrasi agar dapat berbagi informasi secara real-time.

Sebagai gambaran, setidaknya ada 22% dari 2.595 RS yang belum punya Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS). Kemudian, dari 2.291 RS yang memiliki SIMRS, implementasi RME di front office baru 24% dan 64% untuk back office. Dari 737 RS, sebanyak 359 belum menerapkan RME, 175 RS baru sebagian, dan 203 RS sudah. Saat ini, terdapat 10.260 Puskesmas, 11.347 klinik (pratama dan utama), 2.985 RS, 5.862 praktik mandiri, dan 1.400 laboratorium.

“Kami harus melakukan integrasi 8.000 aplikasi/platform/sistem dengan harapan digitalisasi tidak hanya terjadi pada sistem, tetapi juga tenaga kesehatan. Dokter juga ikut menginput. Dari 10 ribuan Puskesmas, baru 3.000 yang memiliki sistem. Nanti [fasyankes daerah] seperti Puskesmas akan mendapat anggaran khusus [untuk transformasi digital],” ujar Setiaji.

Untuk memudahkan transisi, penyelenggaraan RME pada fasyankes di daerah juga akan dilakukan secara bertahap mengingat kesiapan SDM, infrastruktur, dan budaya kerja berbeda dengan di perkotaan. DTO mengambil peran lebih dalam dengan melakukan edukasi digital dan uji coba integrasi platform Satu Sehat di fasyankes di berbagai kota.

Setidaknya sampai akhir tahun 2022 ini, Kemenkes menargetkan sekitar 12.000 fasyankes akan terintegrasi dengan platform Satu Sehat.

Mengawal transformasi

Lebih lanjut, Ketua Pengurus AHI dr. Gregorius Bimantoro menambahkan bahwa perlu ada kolaborasi pada lima pemangku kepentingan agar dapat merealisasikan peta jalan tersebut. Di antaranya dari (1) pemerintah, baik pusat dan daerah harus onboard, (2) pimpinan faskes primer dan sekunder, (3) mitra rekam medis dan IT rumah sakit, (4) startup dan developer, dan (5) nakes. Pihaknya berupaya menggandeng kampus/universitas untuk ikut dalam mendorong ekosistem healthtech.

“Kami belum pernah melihat roadmap yang salah satunya memprioritaskan ekosistem healthtech, jadi kami sangat senang dilibatkan dalam kolaborasi ini. Ini berarti pemerintah terbuka dengan [enabling] teknologi dalam mencapai ketahanan di bidang kesehatan. AHI berperan untuk membantu pengembangan ekosistem [healthtech] dengan DTO,” papar dr. Gregorius.

Sementara itu, Co-founder dan CEO Klinik Pintar Harya Bimo mengaku antusias dengan langkah pemerintah. Menurutnya, ini pertama kalinya Kemenkes dan pelaku healthtech memiliki cara berpikir yang sejalan. Ketika penggunaan layanan telekonsultasi diizinkan pada masa pandemi, banyak pihak menyadari perlunya RME untuk memperkaya historical data dari pasien. Sayangnya, saat itu peraturan tentang RME belum ada.

“Struktur roadmap ini bagus karena fokus utamanya dimulai dari keterhubungan data. Namun, roadmap ini harus dikawal bersama untuk memastikan standardisasi tersebut berjalan. Kita bertanggung jawab bagaimana pertukaran data kesehatan terjadi. Bagaimana dari sisi komersial, kami cari use caseDo and don’ts harus dijembatani,” jelas Bimo.

Diakuinya, apa yang dilakukan pemerintah sejauh ini juga sejalan dengan upaya Klinik Pintar untuk mencapai interoperabilitas. Standardisasi dan keterhubungan data memang seharusnya menjadi agenda utama sebelum bicara lebih jauh tentang demokratisasi layanan kesehatan, terutama pada grass root.

Jika melihat riwayat ke belakang, ia menilai tidak mudah bagi pengembang layanan digital untuk beroperasi tanpa produk hukum. Sebetulnya, bisa saja kedua hal tersebut berjalan paralel bagi keduanya. Namun, push back biasanya terjadi ketika ada disrupsi.

Ambil contoh, penggunaan layanan telekonsultasi diperbolehkan ketika pandemi. Pemerintah menerbitkan Surat Edaran (SE) untuk melegitimasi penggunaan layanan tersebut. Namun, SE kurang memiliki kekuatan untuk jangka panjang karena begitu pandemi selesai, telekonsultasi tak diperbolehkan lagi.

“Jadi DTO ibarat sebuah startup yang sedang membangun Minimum Viable Product. Ketika kita ingin menuju goal keterhubungan data, kita perlu membantu meski belum ada produk hukum.”

Kementerian Kesehatan Terbitkan Peraturan untuk Penyelenggaraan Rekam Medis Elektronik

Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan resmi menerbitkan peraturan baru untuk menyelenggarakan rekam medis elektronik (RME) pada fasilitas layanan kesehatan (fasyankes). Peraturan ini tertuang dalam PMK No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis yang merupakan perubahan dan pemutakhiran dari peraturan sebelumnya PMK No. 269 Tahun 2008.

Dalam konferensi pers pada Jumat (9/9), Chief Digital Transformation Office (DTO) Kemenkes Setiaji memaparkan sejumlah poin penting yang dimuat dalam peraturan RME ini. Di antaranya, penyelenggaraan RME meliputi delapan kegiatan yang dimulai dari registrasi pasien, pengisian informasi klinis, penyimpanan, hingga transfer rekam medis.

Selain itu, peraturan ini juga merincikan pasal-pasal yang berkaitan dengan kepemilikan dan isi rekam medis pasien, keamanan dan perlindungan data pribadi, hingga pelepasan. Adapun, Kemenkes diberi kewenangan untuk mengolah data kesehatan milik pasien.

Setiaji mengungkap regulasi ini akan memberikan dukungan signifikan terhadap peta jalan transformasi digital dan platform Satu Sehat yang tengah direalisasikan oleh pemerintah. Di samping itu, regulasi ini juga akan memberikan dukungan signifikan terhadap pengembangan inovasi healthtech.

Perlu dicatat, sebagaimana tertuang dalam pasal 3, fasyankes wajib mengimplementasi RME, termasuk pelayanan telemedicine oleh fasyankes. Kemudian, penyelenggaraan RME ini juga wajib diintegrasikan ke platform Satu Sehat. Pemerintah memberikan masa transisi bagi fasyankes hingga akhir 2023.

Lebih lanjut, Setiaji mengatakan bahwa penyelenggaraan RME pada fasyankes di daerah-daerah akan dilakukan secara bertahap mengingat kesiapan SDM, infrastruktur, dan budaya kerja berbeda dengan yang berada di perkotaan.

“Sebetulnya, [fasyankes] yang siap tidak hanya di kota, tapi ada juga yang di daerah dan sudah integrasi. Mereka hanya menunggu regulasi. Nah, untuk mengetahui fasyankes yang sudah siap atau tidak, kami akan mapping berdasarkan digital maturity index. Ini akan kami pakai untuk menerapkan kebijakan ini, mana yang lebih dulu mana yang perlu ditingkatkan,” jelasnya.

Ia juga telah berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memastikan infrastruktur internet dapat memadai bagi upaya transformasi ini.

Dari aspek perlindungan data, Setiaji menekankan hal ini menjadi aspek penting yang didorong, tak hanya di internal Kemenkes, tetapi juga sistem milik fasyankes. Ia berujar bahwa pihaknya tengah melakukan piloting di sebuah rumah sakit terkait panduan mengamankan data, termasuk rekam medis. Malahan, pihaknya berencana menggunakan teknologi blockchain untuk memberi perlindungan data lebih kuat.

“Nantinya rekam medis elektronik juga dapat diakses lewat aplikasi PeduliLindungi karena telah banyak digunakan masyarakat Indonesia. Ini sekaligus meneruskan komitmen pemerintah bahwa PeduliLindungi tidak hanya untuk Covid-19 saja,” tambahnya.

Peta jalan transformasi

Gerak pemerintah untuk merealisasikan transformasi ini sebetulnya baru dimulai tahun lalu ketika menerbitkan peta jalan (roadmap) transformasi dan digitalisasi sektor kesehatan Indonesia pada periode 2021-2024. Ada tiga agenda utama yang menjadi prioritas pemerintah, yaitu integrasi dan pengembangan pada sistem data, aplikasi pelayanan, dan ekosistem di bidang teknologi kesehatan (healthtech).

Setiaji yang ditunjuk untuk memimpin transformasi ini menuturkan bahwa rekam medis elektronik merupakan backbone dari seluruh transformasi yang akan dilakukan. Tanpa itu, fasyankes akan sulit untuk melakukan pertukaran data dan informasi kesehatan yang terintegrasi.

Apalagi, ia menyebut terdapat 400 aplikasi di bidang kesehatan, 70 aplikasi puskesmas, dan 50 aplikasi rumah sakit yang masing-masing punya format data yang berbeda-beda.

“Salah satu tantangan besar adalah setiap rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain punya format data masing-masing. Contoh variabel paling sederhana, format jenis kelamin ada yang sebut L/P, ada juga P/W. Nah, “P” ini maksudnya “Pria” atau “Perempuan”?” tutur Setiaji dalam wawancara dengan DailySocial.id beberapa waktu lalu.

Terbaru, pemerintah juga telah merilis Indonesia Health Services (IHS) pada pertengahan Juli 2022 yang akan menjadi pusat dari integrasi layanan kesehatan di Indonesia. IHS telah menyematkan spesifikasi dan mekanisme standar pada proses pertukaran informasi, baik bisnis, data, teknis, dan keamanan.

Application Information Will Show Up Here

Setiaji: Standardisasi Jadi “Backbone” Keterhubungan Data di Industri Kesehatan

Tahun lalu saat menduduki posisi Staf Ahli Menteri di bidang teknologi kesehatan, Setiaji mendapat amanat dari Menkes Budi Gunadi Sadikin untuk menangani pandemi dan menyukseskan program vaksinasi Covid-19 dengan teknologi, serta melakukan transformasi digital di industri kesehatan.

Ia dipercaya memimpin sebuah inisiatif besar–dan mungkin dapat dikatakan pertama kalinya di industri kesehatan–melalui Digital Transformation Office (DTO) untuk mengatasi rangkaian permasalahan sistemik di Tanah Air. Berbekal pengalaman kuat terdahulunya di ranah birokrasi dan teknologi, Setiaji mengawali eksekusinya dengan menyusun standardisasi data sebagai tulang punggung dari seluruh ekosistem kesehatan.

“Tentu fokus awal adalah bagaimana membereskan Covid-19 karena tantangannya setiap hari ada sekitar 400-500 orang meninggal. Bagi saya [menjadi Chief DTO] adalah tugas mulia untuk mengurangi tingkat kematian dan penyebaran Covid-19 dengan melibatkan teknologi,” ungkapnya.

Bagaimana persiapan awal Anda dalam memimpin DTO?

Jawab: Saat itu sistem, cara kerja, dan tim yang ada, belum mendukung. [Eksekusinya] tidak mungkin ditangani oleh tim internal karena ada keterbatasan SDM, kompetensi, skill set, dan pengalaman untuk menangani sistem besar. Visi dan misi sudah ada, tinggal bagaimana mengakselerasinya dengan tim yang lebih efektif dan tepat sasaran untuk tahu root cause-nya.

Saya bawa pengalaman saya ke DTO, menyederhanakan sistem aplikasi dan membentuk tim agar dapat bekerja lebih efektif. Saya sebelumnya sudah memiliki pengalaman–membentuk startup dalam lingkup pemerintahan–yaitu di Jakarta (Head of Jakarta Smart City) dan Jawa Barat (Head of ICT Digital Services). Nah, di level nasional belum ada.

Tim kami kemudian menyusun roadmap, mulai dari arahnya seperti apa dan bagaimana arsitekturnya. Tentu tantangan akan besar sekali karena kami menyusun roadmap sambil menangani Covid-19. Istilahnya ‘kami berlari sambil mengikat tali sepatu’.

Kami set up organisasi, struktur, dan talent. Kalau di daerah, [organisasi] ini menempel dengan Dinas Kominfo sebagai PT, lalu nanti ada tim govtech. Di Kementerian, istilahnya seperti Pusdatin (Pusat Data dan Teknologi Informasi). Kami pikirkan ini karena kalau levelnya direktorat terkait, eksekusi akan lebih lambat meski berada di bawah Kementerian.

Maka itu, kami dudukan posisi Pusdatin sebagai sekretariat yang akan menyokong berbagai keperluan administratif, seperti pajak dan korespondensi, dipimpin oleh Chief Digital Transformation Officer bersama staf ahli.

Setelah struktur organisasi terbentuk, kami rekrut key hire dulu untuk mengisi posisi C-Level, misalnya CTO, COO, dan CPO. Di awal kami rekrut tim inti, tetapi secara bertahap sambil merekrut tim-tim lain. Saat ini DTO ada 150 orang dan targetnya mencapai 260 orang.

Apakah ada perbedaan signifikan saat memimpin DTO dibanding pengalaman sebelumnya di sektor lain?

Jawab: Sebetulnya, [posisi] sekarang justru lebih spesifik dalam mengatasi problem. Di Jakarta Smart City ada layanan smart health yang terkait dengan Dinas Kesehatan. Kemudian, ada pula sistem penanganan Covid-19 yang saya siapkan di Jawa Barat. Jadi, saya tidak terlalu jetlag. Hanya saja, saya harus mempelajari dan memahami istilah kesehatan, misalnya soal pengukuran data dan proses input. Ini sangat complicated, tetapi saya bisa belajar mengenai end-to-end supply chain hingga rekam medis elektronik.

Pada saat pandemi, memang ruang-ruang regulasi bisa dikesampingkan [agar eksekusi penanganan Covid-19 bisa lebih cepat]. Misalnya, penggunaan telekonsultasi, regulasinya belum klop karena pemeriksaan harus dilakukan secara fisik dan butuh KTP. Justru pada penanganan Covid-19, kami menggabungkan beberapa ekosistem dan menghubungkan ke beberapa sektor agar aktivitas tetap berjalan.

Di DTO, saya bisa eksekusi langsung root cause-nya, sedangkan dulu eksekusinya dilakukan oleh dinas-dinas terkait. Contoh, kalau mau buat smart health, tidak bisa kalau belum bereskan root cause. Dalam konteks standardisasi data, tidak bisa ditransformasi jika data tidak sama. Saya beruntung karena bisa melakukan perubahan itu dengan posisi saat ini di level nasional.

Sulit mendisrupsi industri kesehatan karena tidak ada standardisasi data. Apa upaya DTO untuk mengatasi hal itu?

Jawab: Kami dihadapkan pada 400 aplikasi di bidang kesehatan, 70 aplikasi puskesmas, dan 50 aplikasi rumah sakit. Dulu kami pikir, tinggal connect saja supaya data-data ini bisa masuk ke data center. Setelah kami lihat, pelajari, dan eksplorasi dari studi kasus negara lain, ternyata pendekatan awal salah. Kenapa? Masing-masing direktorat bikin aplikasi untuk kejar pelaporan. Para nakes jadi punya beban tinggi karena harus menginput data berkali-kali.

Maka itu, kami mendahulukan [transformasi] pada rekam medis elektronik sebagai backbone. Salah satu tantangan besar adalah setiap rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain punya format data masing-masing. Contoh variabel paling sederhana, format jenis kelamin ada yang sebut L/P, ada juga P/W. Nah, “P” ini maksudnya “Pria” atau “Perempuan”?

Sumber: DTO Kementerian Kesehatan

Tak hanya rekam medis, kami standardisasi data pada obat-obatan hingga laboratorium. Kami akan keluarkan kamus standardisasi yang harus diacu oleh setiap fasilitas kesehatan. Jadi, begitu berobat ke rumah sakit, data langsung terhubung, ada nomor kesehatan nasional, rekam medis, informasi berobat di rumah sakit mana. Semua data ini terekam tanpa perlu input lagi. Ini menjadi semacam single identifier berisi informasi kesehatan masyarakat. Selain itu, rekam medis elektronik bisa terintegrasi di berbagai aplikasi dan perangkat elektronik, seperti wearable device.

Nakes juga diberikan semacam kodefikasi sehingga ketika ingin memberikan rujukan kepada pasien, prosesnya tidak lagi berjenjang, kelamaan. Dengan sistem yang kami bangun, nakes dapat tahu rekomendasi rujukan ke mana. Ini semua kami harap dapat meningkatkan kualitas kesehatan.

Aturan mengenai rekam medis elektronik sedang [disusun] dan turunannya di Kemenko Polhukam. Karena ini bentuknya Peraturan Menteri, [penyusunannya] harus disinkronisasikan dengan Kemenko Polhukam untuk memastikan aturannya tidak bertabarakan dengan aturan lain, dan dapat menunjang aturan mana saja. Kami harap aturan ini bisa terbit pada Juni ini.

Sejauh mana progress dari transformasi digital ini? Bagaimana pengujian regulatory sandbox untuk healthtech?

Jawab: Kami punya tiga agenda transformasi, yaitu data, aplikasi, dan ekosistem. Tahun lalu kami fokus menyiapkan arsitektur untuk Indonesia Health Services (IHS), sekarang kami sedang beta testing platformnya. Kurang lebih ada 91 institusi mendaftar, mulai dari asuransi, peneliti, klinik, hingga laboratorium.

Targetnya, kami bisa kick off platform IHS pada Juli mendatang. IHS dapat diintegrasikan ke fasilitas kesehatan yang sudah siap, tentunya mereka harus punya sistem dulu. Kalau rumah sakit masih menggunakan rekam medis berbasis kertas, tidak bisa [integrasi]. Kami targetkan integrasi IHS dapat mencapai 8000 fasilitas kesehatan, termasuk rumah sakit, puskesmas, dan klinik.

Sumber: DTO Kementerian Kesehatan

Banyak pemilik fasilitas kesehatan yang bertanya bagaimana proses integrasinya dan apa saja yang perlu disiapkan. Kami sedang edukasi supaya mereka paham standardisasi yang kami buat. Salah satunya, kami menggunakan format HL7 FHIR berbasis API sebagai standar terkini untuk melakukan pertukaran data dan informasi kesehatan.

Terkait regulatory sandbox, [pengujian] awal memang dibuka untuk telemedicine dulu karena kami ingin mulai dari yang paling sederhana. Ke depannya kami akan buka untuk lebih banyak penyakit dan layanan lain

Kami tidak punya pengalaman [membuat] ini sebelumnya karena belum pernah ada regulatory sandbox di industri kesehatan. Kami juga belajar dari negara lain, seperti Singapura dan Inggris, dan terus melakukan diskusi tentang bagaimana melakukan regulatory sandbox. Belum lagi ini bicara UU Perlindungan Data Pribadi. Makanya, pengujiannya harus hati-hati karena ini berkaitan dengan nyawa manusia, tidak bisa salah diagnosis.

Kami mendapat dukungan dari universitas dan para pakar. Untuk starting, kami bekerja sama dengan UGM untuk pengujian [regulatory sandbox] ini. Kami sedang selesaikan uji coba telemedicine pada penyakit Malaria.

Salah satu tantangan yang kami lihat, para inovator yang menyusun proposal [pengujian] menganggap bahwa regulatory sandbox adalah sesuatu untuk mewujudkan ide-idenya. Padahal, kami menguji produk yang sudah jadi dan secara langsung. Piloting di suatu tempat, lalu testing bersama. Di sini kami lakukan edukasi karena ini berbeda dengan accelerator. Kira-kira ada 25 proposal masuk, tapi hanya 20 yang siap uji. Selebihnya baru sekadar konsep atau prototype untuk penanganan Malaria, belum ada alatnya.

Adapun, lisensi [healthtech] akan dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan. Tapi, kami sedang pikirkan siapa yang operate ini. Di OJK, Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) yang mengoperasikan regulatory sandbox. Nah, bisa saja yang operasikan regulatory sandbox ini asosiasi healthtech atau asosiasi telemedicine. Kami akan lihat mana yang cocok.

Bagaimana pengembangan PeduliLindungi selanjutnya pasca-pandemi?

Jawab: Nantinya PeduliLindungi tidak hanya untuk Covid-19. Kami mulai dari vaksinasi anak, seperti polio atau campak. Sertifikasinya akan muncul di aplikasi. Nanti juga ada semacam buku kesehatan digital, misalnya bagi ibu dan anak atau pasien diabetes.

Penyakit kan ada banyak, kami akan buat PeduliLindungi lebih personalized sehingga tampilannya dapat disesuaikan dengan status kesehatan setiap pengguna. Ada juga fitur untuk pencegahan sakit. Kami akan kerja sama dengan berbagai pihak untuk mendorong gaya hidup masyarakat lebih sehat. 

Kami sudah siapkan timeline sampai 2022. Secara bertahap, kami akan tambahkan prioritas layanan kesehatannya supaya ini menjadi kebutuhan mereka setiap hari sebagaimana mereka memakai aplikasi PeduliLindungi di masa pandemi.

Bagaimana mengajak ekosistem kesehatan agar onboard dengan transformasi ini?

Jawab: Selama ini developer membuat aplikasi telemedicine sendiri, untuk rumah sakit atau klinik. Jadi mereka punya ekosistem masing-masing sehingga tidak bisa saling bertukar data. Kami mengembangkan platform, seperti halnya operating system (OS), di mana setiap pihak bisa mengembangkan solusi di sini. Maka itu, platform ini akan menjadi roof bagi setiap inovator sehingga lebih inklusif dalam memudahkan ekosistem berinteraksi satu sama lain.

Kami akan kaitkan [transformasi] ini dengan sistem akreditasi. Apabila [fasilitas kesehatan] tidak punya rekam medis elektronik, akreditasinya akan turun. Mirip dengan laboratorium untuk tes Covid-19, jika tidak terhubung dengan PeduliLindungi, bisa ditinggalkan. Fasilitas kesehatan yang terdaftar di sistem IHS akan punya nilai tambah.

Hal-hal ini untuk memastikan ekosistem tumbuh transparan dan saling terhubung. Kami akan dorong proses transisinya selama satu tahun.

Kemenkes Terbitkan Peta Jalan Transformasi Digital Kesehatan Indonesia 2024

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) resmi menerbitkan peta jalan (roadmap) yang tertuang dalam cetak biru (blueprint) transformasi dan digitalisasi sektor kesehatan Indonesia pada periode 2021-2024. Ada tiga agenda utama yang menjadi prioritas Kementerian, yaitu integrasi dan pengembangan pada sistem data, aplikasi pelayanan, dan ekosistem di bidang teknologi kesehatan (healthtech).

Pada peluncuran yang digelar secara offline dan online ini, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa transformasi sektor kesehatan Indonesia merupakan salah satu tugas besar yang diberikan oleh Presiden Joko Widodo. Maka itu, Kemenkes harus membangun platform yang menghubungkan berbagai data dan sistem di ekosistem kesehatan dalam satu kesatuan.

“Kami ingin melakukan transformasi yang fokus pada healthtech, mulai dari layanan primer dan sekunder, ketahanan sistem kesehatan, sistem pembiayaan, hingga SDM. Dengan begitu, transformasi ini tak cuma [menghasilkan] sesuatu yang sifatnya pelaporan ke pejabat tetapi menjadi sebuah pelayanan,” ujar Budi.

Ia menilai, sebagai pemilik posisi tertinggi di industri kesehatan, Kemenkes ingin memberikan kesempatan kepada startup dan inovator untuk menciptakan inovasi yang dapat dimanfaatkan oleh pemangku kepentingan (stakeholder), baik itu Rumah Sakit, farmasi, laboratorium, pemerintah, dan startup .

“Untuk membangun platform yang baik, perlu ada cetak biru ekosistem teknologi kesehatan. Krisis besar ekonomi dan kesehatan di dunia telah memberikan kesempatan untuk melakukan major reform,” tambahnya.

Situasi dan tantangan

Dalam kesempatan sama, Chief Digital Transformation Office Kementerian Kesehatan Setiaji mengatakan pandemi Covid-19 menjadi momentum yang tepat untuk bertransformasi karena memunculkan permasalahan sistemik yang perlu diperbaiki. Di antaranya adalah tantangan pada sistem data serta tidak seimbangnya rasio jumlah tenaga kesehatan dan kapasitas kamar dengan jumlah penduduk.

Saat ini, terdapat ratusan aplikasi yang pengelolaan datanya masih berbasis informasi individu. Di pemerintahan, ada lebih dari 400 aplikasi di bidang kesehatan, dan jumlah ini belum termasuk di tingkat daerah. Ini belum lagi bicara rekam medis milik 270 juta penduduk Indonesia yang belum sepenuhnya berbasis digital.

Sementara itu, Kementerian Kesehatan 2020 mencatat rasio dokter mencapai 03,8 per 1.000 populasi, sedangkan rasio tempat tidur RS berkisar 1,2 per 1.000 populasi di Indonesia.

“Kita telah melihat bagaimana pandemi Covid-19 berdampak signifikan pada berbagai hal, termasuk mengubah cara masyarakat berkonsultasi. Kami harus mulai transformasi ini dan fokus pada pengembangan platform serta pelaksanaan insiatif yang kolaboratif dengan para pemangku kepentingan. Kami harap bisa wujudkan Indonesia sehat dan membuat platform kesehatan terintegrasi,” paparnya.

Agenda prioritas

Peta jalan bertajuk “Strategi Transformasi Digital Kesehatan Indonesia 2024” memuat sejumlah kegiatan prioritas yang akan dilakukan secara bertahap dan melibatkan banyak pemangku kepentingan (stakeholder).

Ada tiga agenda utama transformasi yang fokus pada integrasi dan pengembangan, yaitu sistem data, sistem aplikasi pelayanan, dan ekosistem di teknologi kesehatan (healthtech)

Dari ketiganya, transformasi yang akan dilakukan di 2022 adalah mengembangkan sistem big data berbasis integrated electronic health record, platform sistem fasyankes terintegrasi, dan memperluas telemedicine dan implementasi regulatory sandbox.

Peta Jalan Transformasi Digital Kesehatan Indonesia 2021-2024 / Sumber: Kementerian Kesehatan

“Kemenkes telah meluncurkan sandbox regulatory sebagai inisiatif awal untuk mengakselerasi industri startup, termasuk memastikan keamanan seluruh platform yang dikembangkan oleh para inovator sesuai regulasi,” tuturnya.

Selain itu, Pemerintah juga akan menyiapkan platform Indonesia Health Services (IHS) yang menjadi payung ekosistem digital kesehatan terintegrasi masyarakat Indonesia. IHS akan menyediakan konektivitas data, analisis, dan layanan untuk mengintegrasikan berbagai aplikasi kesehatan di Indonesia.

Sesuai peruntukkannya, IHS akan dikembangkan dalam dua jenis aplikasi. Pertama, Partner Systems yang ditujukan bagi pelaku industri kesehatan, seperti RS, Puskesmas, klinik, dan laboratorium. Kedua, CitizenHealth atau platform terintegrasi yang menyimpan data kesehatan pribadi secara lengkap untuk seluruh masyarakat Indonesia.

Contoh penggunaannya, masyarakat dapat mengakses laporan kesehatan pribadi dan mendapatkan rekomendasi secara personal (electronic personal health record, pelayanan dan penggunaan obat, profil asuransi, tracing & testing) melalui CitizenHealth.

Setiaji juga menambahkan, Pemerintah juga berupaya me-nurture ekosistem healthtech di Indonesia melalui Health Tech Space. Wadah ini akan menghadirkan sejumlah program, yakni launchpad (inkubator), creative space, dan pusat bisnis (akselerator).

Membangun Jembatan Antara Pengembang dan Pemerintah

/ DailySocial

Menjamurnya para pengembang aplikasi digital di Indonesia saat ini tak lepas dari laju perkembangan teknologi yang begitu pesat. Sayangnya, dalam hal bekerja sama dengan pemerintah, mereka kerap merasakan hambatan yang tak jarang membuat enggan untuk berkolaborasi kembali. Dalam ajang Ideafest kemarin (7/8), CEO Layang-Layang Mobile Prasetyo Andy Wicaksono dan Kepala Unit Pelayanan Teknis Smart City Jakarta Setiaji bercerita tentang bagaimana bekerja sama dengan pemerintah di era digital ini.

Continue reading Membangun Jembatan Antara Pengembang dan Pemerintah

The Third Jakarta Great Online Sale is Officially On

Jakarta Great Online Sale (JGOS) 2015 is e-commerce players’ token of contribution to the industry’s development. Being held on the same date as the Festival Jakarta Great Sale (FGJS) to commemorate Jakarta’s 488th anniversary, the program is supported by the local government of DKI Jakarta who regards it as a collective attempt to materialize Jakarta Smart City. Continue reading The Third Jakarta Great Online Sale is Officially On