Monk’s Hill Ventures: Transformasi “E-commerce 2.0” akan Terjadi di Indonesia Tahun Ini

Sepanjang tahun 2020, layanan e-commerce mengalami pertumbuhan yang signifikan. Aturan bekerja dan belajar di rumah, banyak mendorong masyarakat untuk melakukan aktivitas belanja secara online. Terkait tren bisnis e-commerce, dalam media briefing yang digelar oleh Monk’s Hill Ventures (MHV) hari ini (27/01) diungkapkan beberapa hal. Salah satunya, hasil pengamatan mereka menunjukkan bahwa di tahun 2021 layanan e-commerce akan mengalami transformasi lebih besar lagi, mereka menyebutkan “E-commerce 2.0”.

Transformasi layanan e-commerce 2.0

Di Indonesia saat ini sudah banyak penjual, meskipun skalanya kecil namun telah memanfaatkan berbagai layanan online marketplace seperti Shopee, Tokopedia, Bukalapak, dan lainnya untuk melakukan penjualan. Selain itu mereka juga mulai banyak mendapatkan traksi dengan memanfaatkan media sosial seperti Facebook, Instagram, dan channel lainnya. Cara tersebut sebenarnya bukanlah hal yang baru lagi. Kebanyakan penjual selalu melakukan engagement dengan pembeli mereka melalui media sosial.

“Yang berbeda saat ini adalah kebanyakan penjual dan pembeli bukan hanya fokus kepada produk tapi siapa yang menjual. Jadi brand equity penjual dan produk yang mereka miliki menjadi bagian dari pengalaman saat ini,” kata Managing Partner Monk’s Hill Ventures Kuo-Yi Lim.

Dalam hal ini dicontohkan olehnya, ketika pembeli berniat untuk melakukan pembelian di platform seperti Lazada atau Shopee, mereka akan ditawarkan langsung 20 lebih penjual dari masing-masing platform tersebut. Ke depannya akan mulai terlihat pergeseran pengalaman brand di berbagai channel dari sisi penjual.

Ninja Van (salah satu portofolio dari MHV) saat ini telah membantu lebih dari 100 ribu bisnis setiap bulannya. 30% kontribusi tersebut berasal dari para penjual UKM dari berbagai lokasi di Indonesia, mulai dari kota kecil hingga pelosok daerah,” kata Kuo-Yi Lim.

Untuk bisa mewujudkan hal tersebut tentunya dibutuhkan dukungan yang besar dari pihak terkait, mulai dari procurement, pembayaran, logistik dan lainnya. Penting untuk kemudian bisa membuat masing-masing penjual tampil lebih unggul, di antara makin sengitnya persaingan saat ini.

“MHV melihat hal tersebut bisa menjadi potensi, dengan mengadopsi cara tradisional memanfaatkan channel baru yang akan mendorong dinamika menarik di Indonesia dan negara lainnya.”

Pertumbuhan edutech dan healthtech

Hal menarik yang kemudian juga menjadi perhatian oleh MHV adalah, makin besarnya pertumbuhan layanan healthtech dan edtech secara global saat ini. Meskipun saat awal pandemi agak sulit bagi platform healthtech untuk bisa tetap relevan terkait dengan pandemi, namun memanfaatkan teknologi artifical inteligence ternyata mampu mempercepat pengumpulan informasi dan pengambilan keputusan para dokter dan rumah sakit untuk menyelamatkan nyawa pasien.

“Meskipun masih lamban adopsi teknologi rumah sakit dan sebagian besar dokter yang menjadi pengambil kebijakan tersebut, namun ketika mereka melihat teknologi bisa menyelamatkan hidup seseorang, diharapkan bisa mengubah mindset mereka. Dalam ruang lingkup digital saya melihat akan ada pertumbuhan yang berkelanjutan,” kata Kuo-Yi Lim.

Sementara dari sisi edtech, meskipun saat ini dengan pemerintah Amerika Serikat dan presiden barunya mulai memberlakukan kebijakan kembali ke sekolah untuk siswa, tentunya akan terlihat seperti apa perubahan ke depannya. Namun di sisi lain, dengan menggabungkan kegiatan belajar mengajar secara offline dan online, ternyata tetap bisa berjalan dan ke depannya akan menjadi the new normal untuk dunia pendidikan secara global.

“Ketika dulunya banyak pihak sekolah keberatan untuk mengadopsi teknologi untuk edukasi, dengan adanya pandemi menjadi pembuktian dan tentunya menjadi peringatan bagaimana jika nantinya terjadi lagi kondisi seperti ini. Ke depannya akan semakin banyak pengajar dan sekolah yang melihat, bahwa ada cara baru untuk mengajar dan belajar yaitu secara online. Meskipun akan ada penurunan dan penyesuaian, tapi tren ini ke depannya akan semakin berkembang,” kata Kuo-Yi Lim.

Tren investasi tahun 2021

Hal menarik yang kemudian diungkapkan oleh Partner Monk’s Hill Ventures Justin Nguyen adalah, sebelum pandemi berlangsung, pihaknya telah memberikan investasi kepada berbagai sektor. Mulai dari logistik, healthtech, dan lainnya. Sektor tersebut menurut Justin telah menjadi pilihan bagi MHV untuk kemudian dikembangkan dan tentunya diinvestasikan. Faktanya sektor tersebut selama pandemi ternyata memang mengalami akselerasi yang sangat baik.

“Sebagai principal dari investor yang kami lihat adalah, apakah hal yang mereka (pendiri startup) lakukan masuk akal. Saya melihat ketika menjalankan perusahaan masih sama saja sebelum atau saat pandemi.”

Meskipun ada penurunan investasi pada Q3 2020 lalu, namun jika dilihat dari makin besarnya minat investor asal Tiongkok hingga Amerika Serikat untuk bermain di kawasan Asia Tenggara, diprediksi oleh Justin tahun 2021 ini jumlah investasi dari berbagai investor akan makin banyak jumlahnya.

Kaleidoskop Ekosistem Startup Indonesia 2020

Perkembangan ekosistem startup Indonesia di tahun 2020 menjadi menarik untuk disimak. Meski kondisi pandemi, dinamika pendanaan justru makin kencang hampir sepanjang tahun. DailySocial mencoba merangkum berbagai aksi strategis yang dilakukan startup lokal yang dapat membantu kita  menyimpulkan apakah Covid-19 berdampak mengganggu pada pertumbuhan startup atau justru sebaliknya.

Pendanaan

Sepanjang tahun 2020, DailySocial mencatat ada 112 transaksi pendanaan oleh investor ke startup Indonesia, membukukan total dana mencapai lebih dari $3,3 miliar. Nominal tersebut didapat dari 50 transaksi pendanaan yang nominalnya diumumkan ke publik. $2,43 miliar di antaranya ditujukan untuk startup unicorn.

Ditinjau dari tahapannya, pendanaan tahap awal masih mendominasi dengan jumlah transaksi mencapai 47 kali. Untuk pendanaan awal, 11 transaksi dilakukan untuk startup dengan produk SaaS, kemudian masing-masing 5 transaksi untuk startup e-commerce dan edtech, serta masing-masing 4 transaksi untuk startup new retail dan online media.

Gambar 1

Untuk keseluruhan transaksi, tahun ini fintech dan SaaS jadi yang paling diminati. Di lanskap fintech, ada 5 pendanaan tahap awal (seed s/d Seri A), masing-masing 2 pendanaan di Seri B, Seri C, dan corporate round, serta 6 debt funding. Total dana yang dikumpulkan adalah $413,5 juta dari 12 transaksi yang disebutkan nominalnya. LinkAja menjadi salah satu pemain yang mendapatkan pendanaan terbesar tahun lalu dengan nilai $100 juta dari Grab, Telkomsel, BRI Ventures, Mandiri Capital Indonesia.

Gambar 2

Untuk SaaS, tahapan transaksi didominasi 11 seed funding, kemudian masing-masing 2 transaksi untuk Pra-Seri A, Seri A, dan Seri B. Dari 4 nilai transaksi yang dipublikasikan, lanskap ini berhasil mengumpulkan dana $18,8 juta.

Aksi korporasi

Selain menggalang dana, strategi lain yang dilakukan startup untuk meningkatkan bisnis adalah lewat konsolidasi. Tahun 2020 ada beberapa aksi korporasi yang direalisasikan dalam proses akuisisi. DailySocial mencatat ada 13 akuisisi startup yang terjadi, yaitu:

Startup Startup yang Diakuisisi
Farmaku DokterSehat
Waresix Trukita
Shipper Porter, Pakde
Afterpay EmpatKali
Fundastic Invisee
Dataxet Sonar
EMPG Lamudi Indonesia
IDN Media Demi Istri Production
Gojek Moka
Carro Jualo
Wahyoo Alamat.com
Oto.com Carvaganza
IATA (MNC Group) Anterin

Aksi korporasi yang juga menarik untuk disimak ialah IPO. Kendati beberapa startup gencar mengungkapkan rencananya untuk melantai di bursa, sepanjang 2020 ada dua IPO yang berhasil terealisasi, yakni oleh Pigijo (PGJO) dan Cashlez (CASH) melalui papan akselerasi. Per akhir tahun, Pigijo memiliki kapitalisasi pasar senilai 18,9 miliar Rupiah, sementara Cashlez 581 miliar Rupiah.

Startup kolaps

Terlepas dari banyak startup yang mendapatkan pendanaan baru tahun ini, tak sedikit juga yang harus menghentikan operasionalnya. Setidaknya ada 12 startup beroperasi di Indonesia yang harus mengakhiri bisnisnya tahun ini dengan berbagai latar belakang. Berikut ini daftarnya:

Startup Lanskap Bisnis
Eatsy Indonesia Online Reservation
QRIM Express Logistic
Hooq Online Media
Stoqo B2B Commerce
Airy Hospitality
Wowbid E-commerce
Freenternet Telecommunication
Sorabel E-commerce
Ciayo Online Media
Blanja E-commerce
Infokost Hospitality
Zomato Indonesia Online Reservation

Bagi beberapa startup, pembatasan sosial dan fisik yang dilakukan di masa pandemi berdampak sangat signifikan dalam menunjang unit ekonominya. Alih-alih menyerah, beberapa bangkit dengan melakukan penyesuaian model bisnis (pivot). Pertama ada Kedai Sayur yang memilih melakukan perubahan bisnis menjadi layanan pesan antar bahan makanan. Ada juga layanan marketplace penyedia jasa umrah PergiUmroh yang melakukan penyesuaian produk, tahun ini mereka merilis PergiBelanja.

Beberapa pemain besar juga lakukan penyesuaian strategi. Traveloka, ketika lockdown berjalan, mengoptimalkan layanan Xperience untuk memberikan opsi hiburan interaktif kepada pelanggannya secara daring. Begitu juga Loket. Anak perusahaan Gojek tersebut justru kini mantapkan diri jadi platform yang membantu masyarakat atau bisnis menghelat acara secara daring, seperti webinar atau konser online.

Masih dalam laju pertumbuhan

Membandingkan dengan apa yang terjadi di tahun 2019, sejauh ini kami menyimpulkan bahwa ekosistem startup di Indonesia masih on-track dalam laju pertumbuhan. Dinamika yang terjadi tentu menjadi bekal penting untuk ketahanan para pemain di dalamnya. Di sisi lain membuka kesempatan untuk lanskap bisnis tertentu berkembang, seperti healthtech, edtech, sampai dengan biotech.

Meningkatnya konsolidasi bisnis yang dilakukan pemain, dari skala kecil sampai besar juga menunjukkan tingkat kematangan di tengah fragmentasi pasar. Menjelang akhir tahun bahkan santer terdengar kabar merger antar-unicorn. Tentu ada dampak baik-buruknya. Yang jelas, setelah satu dekade berjalan, potensi tersebut semakin terlihat jelas. Potensi akan besarnya pangsa pasar digital di Indonesia.

Tahun 2021 tentu akan menjadi lebih menarik. Kita akan disuguhkan dengan upaya para startup merealisasikan misi-misinya – ada yang bertekad melantai ke bursa, memperluas ekspansi regional, hingga berambisi jadi unicorn. Tren baru di tengah masyarakat juga terbentuk, seperti minat berinvestasi, kesadaran hidup sehat, hingga makin terbiasa menggunakan layanan online untuk memenuhi berbagai kebutuhan hariannya.


DailySocial segera merilis Startup Report 2020, laporan komprehensif tentang perkembangan ekosistem digital dalam satu tahun terakhir dari berbagai perspektif, melibatkan stakeholder di berbagai lanskap bisnis. Daftarkan email Anda ke newsletter DailySocial untuk mendapatkan pembaruan informasi ini: https://dailysocial.id/subscribe.

Indonesian Startup Funding in Q2 2020, 32 Reported Transactions , Dominated by Early-Stages

In a general note, the Covid-19 pandemic has had a serious impact on the world’s economy, both on a micro and macro scale. Various business sectors have also been affected, including those involved in the digital startup ecosystem.

The current condition has formed a lot of hypothesis. Some observers said that this year it is projected to be quite difficult for startup founders, especially those who are currently fundraising. It turns out that the statistics are still in the favor of the founders, at least based on the data for the first and second quarters of this year.

During the first quarter of 2020 (Q1 2020) we noted, at least 20 startups were announced and/or confirmed to the public. We conclude this number as relatively normal compared to similar periods in 2019. Based on the 2019 Startup Report, there were 27 transactions announced to the public in Q1 2019. The sequence trend is still the same, dominated by the early stage and Series A.

The early hypothesis said that this agreement is a result that was developed from the previous year, therefore, it has yet become a benchmark for a complete picture of the investment climate in 2020.

Tight investment scene

During the second quarter of 2020 (Q2 2020 in April-June) this year, we recorded that there were 32 startup funding transactions announced or confirmed to the public. This acquisition is higher than in the same period last year, which was 24 transactions.

Some funding is the follow-on/closing of a round that has started from a previous time period (marked *). There is also a new round with more involvement in the future (marked **).

The following is a complete list of funding, sorted by time of announcement:

Startup Landscape Stage Investors
InfraDigital Edtech Series A AppWorks
Cinepoint Others Seed Funding Ideosource Entertainment
Jendela360 Proptech Seed Funding Beenext, Prasetia Dwidharma, Everhaus
Shipper Logistic Series A Prosus Ventures, Lightspeed, Floodgate, Y Combinator, Insignia Ventures, AC Ventures
Fabelio** E-commerce Series C AppWorks, Endeavor Catalyst, MDI Ventures, Aavishkaar Capital
Ula New Retail Seed Funding Sequoia India, Lightspeed India, SMDV, Quona Capital, Saison Capital, Alter Global, angel investor
Wallex Technologies Fintech Series A BAce Capital, SMDV, Skystar Capital
GoPlay Online Media Seed Funding ZWC Partners, Golden Gate Ventures, Openspace Ventures, Ideosource Entertainment, Redbage Pacific
Gojek Ride-Hailing Series F Facebook, PayPal
Job2GO Job Marketplace Seed Funding BANSEA
Bonza Big Data Seed Funding East Ventures
Delman Big Data Seed Funding Intudo Ventures, Prasetia Dwidharma, Qlue
Bobobox OTA Series A Horizons Ventures, Alpha JWC Ventures, Kakao Investments, Sequoia Surge, Mallorca Investment
KoinWorks Fintech Debt Funding Lendable
Pintek* Fintech Pre-Series A Accion Venture Lab,  Global Founders Capital
Dekoruma E-commerce Pre-Series C InterVest Star SEA Growth Fund 1, Foundamental, OCBC NISP Ventura, Skystar Ventures
Tokocrypto Others Seed Funding Binance
Kopi Kenangan New Retail Series B Sequoia India, B Capital, Horizons Ventures, Verlinvest, Kunlun, Sofina, Alpha JWC Ventures
KlikDaily New Retail Series A Global Founders Capital
GudangAda Logistic Series A Sequoia India, Alpha JWC Ventures, Wavemaker Partners
BukuKas SaaS Seed Funding Sequoia Surge, 500 Startups, Credit Saison, angel investor
Bahasa.ai* SaaS Pre-Series A East Ventures, DIVA, SMDV, Plug and Play Indonesia
Modalku Fintech Series C BRI Ventures dan sejumlah undisclosed investors
Eduka Edtech Seed Funding Init-6
Qoala Fintech Series A Centauri Fund,  Sequoia India, Flourish Ventures, Kookmin Bank Investments, Mirae Asset Venture Investment, Mirae Asset Sekuritas
KoinWorks Fintech Debt Funding Quona Capital, EV Growth, Saison Capital
Kargo Technologies Logistic Series A Tenaya Capital, Sequoia India, Intudo Ventures, Amatil X, Agaeti Convergence Ventures, Alter Global, Mirae Asset Venture Investment
Investree** Fintech Series C Mitsubishi UFJ Financial Group, BRI Ventures, SBI Holdings, 9F Fintech Holdings Group
Webtrace SaaS Seed Funding Prasetia Dwidharma, Astra Ventures
BukuWarung SaaS Seed Funding East Ventures
ProSpark Edtech Pre-Seed Agaeti Ventures, Prasetia Dwidharma, angel investor
TaniHub* Agritech Series A Openspace Ventures, Intudo Ventures, UOB Venture Management, Vertex Ventures, BRI Ventures, Tenaya Capital, Golden Gate Ventures

Based on the table, in terms of the investment stage, most of the secured funds are in the early-stages (12) and the Series A stage (9). While in terms of the business landscape, the scope is quite diverse, mostly for fintech startups.

Pendanaan Startup Indonesia Q2-2020 / DSResearch
Indonesian startup funding Q2-2020 / DSResearch

Startup ecosystem development

According to the Global Startup Ecosystem Report (GSER) published by Startup Genome, Jakarta ranks second out of 100 cities worldwide on the list of emerging startup ecosystems. The data used for the assessment is based on four main factors, such as performance, funding, market reach, and talents of each city.

Mumbai, which is ranked the first place, scored 10 in each of these factors. Jakarta scored almost the same number, only the talent metric got a score of 9.

Startup Genome also divides the ranking of each city based on the total value of the ecosystem and early-stage funding. Jakarta placed in the top position with an ecosystem value of $ 26.3 billion, followed by Guangzhou ($19.2 billion), and Kuala Lumpur ($15.3 billion).

Unfortunately, startup development is still centered in metropolitan cities like Jakarta. When the assessment is conducted nationally and averaging the performance of all cities, the ranking drops dramatically. For example, validated by StartupBlink in a report entitled The StartupBlink 2020 Global Ecosystem Report.

In 2020, Indonesia ranked 54th, down 13 levels compared to the previous year. In Southeast Asia, this position is only superior to Vietnam. Singapore is in the top position, which is ranked 16th.

This report highlights the contribution of several cities towards ecosystem development. In sequence, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Medan, and Semarang are cities wih the most significant growth in the startup ecosystem.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pendanaan Startup Indonesia di Q2 2020 Catat 32 Transaksi, Didominasi Tahap Awal

Secara kasat mata, pandemi Covid-19 telah memberikan dampak serius terhadap perekonomian di dunia, baik skala mikro ataupun makro. Berbagai sektor usaha ikut terkena imbasnya, tak terkecuali yang bernaung di ekosistem startup digital.

Kondisi tersebut memunculkan beragam hipotesis. Beberapa pengamat mengatakan, tahun ini diproyeksikan akan cukup berat bagi founder startup, khususnya yang tengah melakukan penggalangan dana alias fundraising. Ternyata statistik masih berpihak bagi para founder, setidaknya menurut data di kuartal pertama dan kedua tahun ini.

Sepanjang kuartal pertama tahun 2020 (Q1 2020) kami mencatat, setidaknya ada 20 pendanaan startup yang diumumkan dan/atau dikonfirmasi ke publik. Kami berkesimpulan, angka ini sebenarnya relatif normal jika membandingkan periode serupa di tahun 2019. Menurut catatan Startup Report 2019, terdapat 27 transaksi pendanaan yang diumumkan ke publik di Q1 2019. Tren pendanaannya masih sama, didominasi tahap awal dan Seri A.

Hipotesis awal menyebutkan kesepakatan ini adalah hasil yang telah dibina dari tahun sebelumnya, sehingga belum bisa menjadi patokan gambaran iklim investasi tahun 2020 secara utuh.

Iklim investasi masih kuat

Sepanjang kuartal kedua 2020 (Q2 2020 di bulan April-Juni) tahun ini, kami mencatat ada 32 transaksi pendanaan startup yang diumumkan atau dikonfirmasi ke publik. Perolehan ini lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu, yakni 24 transaksi.

Beberapa pendanaan merupakan kelanjutan/penutupan dari putaran yang sudah dimulai dari periode waktu sebelumnya (ditandai *). Ada juga yang merupakan pembukaan round baru yang akan masih bertambah partisipasinya di waktu mendatang (ditandai **).

Berikut selengkapnya daftar pendanaan tersebut diurutkan berdasarkan waktu pengumumannya:

Startup Lanskap Tahapan Investor
InfraDigital Edtech Series A AppWorks
Cinepoint Others Seed Funding Ideosource Entertainment
Jendela360 Proptech Seed Funding Beenext, Prasetia Dwidharma, Everhaus
Shipper Logistic Series A Prosus Ventures, Lightspeed, Floodgate, Y Combinator, Insignia Ventures, AC Ventures
Fabelio** E-commerce Series C AppWorks, Endeavor Catalyst, MDI Ventures, Aavishkaar Capital
Ula New Retail Seed Funding Sequoia India, Lightspeed India, SMDV, Quona Capital, Saison Capital, Alter Global, angel investor
Wallex Technologies Fintech Series A BAce Capital, SMDV, Skystar Capital
GoPlay Online Media Seed Funding ZWC Partners, Golden Gate Ventures, Openspace Ventures, Ideosource Entertainment, Redbage Pacific
Gojek Ride-Hailing Series F Facebook, PayPal
Job2GO Job Marketplace Seed Funding BANSEA
Bonza Big Data Seed Funding East Ventures
Delman Big Data Seed Funding Intudo Ventures, Prasetia Dwidharma, Qlue
Bobobox OTA Series A Horizons Ventures, Alpha JWC Ventures, Kakao Investments, Sequoia Surge, Mallorca Investment
KoinWorks Fintech Debt Funding Lendable
Pintek* Fintech Pre-Series A Accion Venture Lab,  Global Founders Capital
Dekoruma E-commerce Pre-Series C InterVest Star SEA Growth Fund 1, Foundamental, OCBC NISP Ventura, Skystar Ventures
Tokocrypto Others Seed Funding Binance
Kopi Kenangan New Retail Series B Sequoia India, B Capital, Horizons Ventures, Verlinvest, Kunlun, Sofina, Alpha JWC Ventures
KlikDaily New Retail Series A Global Founders Capital
GudangAda Logistic Series A Sequoia India, Alpha JWC Ventures, Wavemaker Partners
BukuKas SaaS Seed Funding Sequoia Surge, 500 Startups, Credit Saison, angel investor
Bahasa.ai* SaaS Pre-Series A East Ventures, DIVA, SMDV, Plug and Play Indonesia
Modalku Fintech Series C BRI Ventures dan sejumlah undisclosed investors
Eduka Edtech Seed Funding Init-6
Qoala Fintech Series A Centauri Fund,  Sequoia India, Flourish Ventures, Kookmin Bank Investments, Mirae Asset Venture Investment, Mirae Asset Sekuritas
KoinWorks Fintech Debt Funding Quona Capital, EV Growth, Saison Capital
Kargo Technologies Logistic Series A Tenaya Capital, Sequoia India, Intudo Ventures, Amatil X, Agaeti Convergence Ventures, Alter Global, Mirae Asset Venture Investment
Investree** Fintech Series C Mitsubishi UFJ Financial Group, BRI Ventures, SBI Holdings, 9F Fintech Holdings Group
Webtrace SaaS Seed Funding Prasetia Dwidharma, Astra Ventures
BukuWarung SaaS Seed Funding East Ventures
ProSpark Edtech Pre-Seed Agaeti Ventures, Prasetia Dwidharma, angel investor
TaniHub* Agritech Series A Openspace Ventures, Intudo Ventures, UOB Venture Management, Vertex Ventures, BRI Ventures, Tenaya Capital, Golden Gate Ventures

Berdasarkan tabel di atas, jika ditinjau dari tahapan investasinya, sebagian besar pendanaan yang dibukukan berada di tahap awal (12) dan tahap Seri A (9). Sementara ditinjau dari segi lanskap bisnis, cakupannya cukup beragam, terbanyak masih untuk startup fintech.

Pendanaan Startup Indonesia Q2-2020 / DSResearch
Pendanaan Startup Indonesia Q2-2020 / DSResearch

Perkembangan ekosistem startup

Menurut laporan Global Startup Ecosystem Report (GSER) yang dipublikasi Startup Genome, Jakarta menempati urutan kedua dari 100 kota di seluruh dunia di daftar emerging startup ecosystem. Data yang digunakan untuk penilaian berdasarkan empat faktor utama, yakni kinerja, pendanaan, jangkauan pasar, dan talenta tiap kota.

Mumbai, yang berada di peringkat pertama urutan ini, mencetak skor 10 di masing-masing faktor tersebut. Nilai yang hampir sama dicetak Jakarta, hanya metrik talenta mendapatkan skor 9.

Startup Genome juga membagi peringkat tiap kota berdasarkan nilai total ekosistem dan pendanaan tahap awal. Jakarta menempati posisi teratas dengan nilai ekosistem $26,3 miliar, disusul Guangzhou ($19,2 miliar), dan Kuala Lumpur ($15,3 miliar).

Sayangnya perkembangan startup memang masih terpusat di kota metropolitan seperti Jakarta. Ketika penilaian dilakukan dalam cakupan nasional dan mengambil rata-rata kinerja seluruh kota, peringkatnya menurun drastis. Misalnya yang divalidasi StartupBlink dalam laporan bertajuk The StartupBlink 2020 Global Ecosystem Report.

Tahun 2020, Indonesia menempati peringkat ke-54, turun 13 peringkat dibanding tahun sebelumnya. Di Asia Tenggara, posisi ini hanya unggul dari Vietnam. Singapura berada di posisi teratas, yaitu peringkat ke-16.

Laporan ini menyoroti kontribusi sejumlah kota terhadap perkembangan ekosistem. Secara berurutan Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Medan, dan Semarang menjadi yang kota-kota yang paling signifikan mendorong pertumbuhan ekosistem startup.

Laporan Startup Genome: Jakarta Peringkat Kedua dalam “Emerging Startup Ecosystem”

Jakarta menempati urutan kedua dari 100 kota di seluruh dunia dalam daftar “emerging startup ecosystem” menurut laporan tahunan Global Startup Ecosystem Report (GSER) yang dipublikasi Startup Genome.

Peringkat teratas ditempati oleh Mumbai. Setelah Jakarta, ada Zurich, Helsinki, dan Guangzhou. Peringkat Jakarta tertinggi dibandingkan negara tetangga lainnya di Asia Tenggara, seperti Kuala Lumpur (11), Manila (urutan 31-40), Bangkok (51-60), dan Ho Chi Minh City (71-80).

Startup Genome merilis daftar ekosistem kota-kota ini untuk pertama kalinya sebagai bagian dari laporan GSER dalam rangka menyoroti area metropolitan yang mendapatkan relevansi dan berdampak pada ekonomi dengan cara yang bermakna.

Dalam tiap laporannya, Startup Genome umumnya menampilkan posisi kota yang masuk dalam daftar global startup ecosystem. Nama-nama kota yang masuk dalam posisi teratas relatif masih sama. Misalnya, Silicon Valley, New York, London, Beijing, dan Boston masuk dalam urutan lima besar secara berurutan.

Startup Genome mencatat hampir dua kali lipat jumlah ekosistem yang dipelajari sejak 2019, menilai lebih dari 270 ekosistem di lebih dari 100 negara untuk peringkat 30 teratas secara global dan runner up.

Dalam menyusun peringkat, Startup Genome menggunakan metodologi yang fokus pada faktor-faktor yang lebih relevan dengan wilayah yang mulai mencapai investasi dan inovasi tingkat tinggi.

Secara keseluruhan, laporan ini menggabungkan sejumlah sumber data untuk menentukan peringkat ekosistem, termasuk data dari Crunchbase, Orb Intelligence, PitchBook, Dealroom, dan mitra lokal dari tiap wilayah.

Mereka juga mencampur data dari internal yang diambil dari wawancara bersama lebih dari 100 pakar, ditambah data dua tahun hasil survei yang mengambil lebih dari 10 ribu responden tiap tahun.

Sumber: Unsplash
Sumber: Unsplash

Startup Genome menggabungkan data untuk menghasilkan empat skor utama yang memeringkat kinerja, pendanaan, jangkauan pasar, dan talenta dari tiap kota dalam skala satu hingga 10.

Mumbai yang masuk ke peringkat pertama dari urutan ini, mencetak skor 10 pada masing-masing faktor tersebut. Sementara Jakarta, hanya talenta yang menempati skor 9 dibandingkan skor metrik lainnya yang menempati skor 10.

Bersamaan dengan peringkat ekosistem yang muncul, Startup Genome juga membagi peringkat dari tiap kota berdasarkan nilai total ekosistem dan pendanaan tahap awal. Jakarta masuk dalam posisi teratas dengan nilai ekosistem $26,3 miliar, disusul Guangzhou ($19,2 miliar), dan Kuala Lumpur ($15,3 miliar).

Pun untuk metrik pendanaan tahap awal, Jakarta menempati posisi teratas dengan sekitar $845,9 juta diinvestasikan untuk startup tahap awal berdasarkan estimasi dari 2017-2018. Posisi kedua ditempati oleh Barcelona dengan nilai investasi $472,7 juta.

Laporan Startup Genome hanya melihat ekosistem dari tiap kota yang menjadi ibu kota suatu negara. Jika merujuk pada laporan lainnya, seperti StartupBlink menyebutkan peringkat Indonesia merosot ke-54 dari tahun sebelumnya ke-41.

Jakarta masuk ke dalam urutan ke-41 dari seluruh kota di dunia yang peringkatnya merosot pula sebanyak dua peringkat. Wajar jika Jakarta masih menjadi kota terdepan dalam mendukung ekosistem startup, kota-kota lainnya masih mengejar karena butuh faktor pendukung.

Laporan lain yang disusun oleh East Ventures – Digital Competitiveness Index bisa menjadi acuan lain untuk mendorong ekosistem ekonomi digital masing-masing wilayah di Indonesia jadi lebih bersaing. Di sana juga menyebutkan Jakarta menjadi provinsi dengan indeks tertinggi (79,7), sementara Papua menempati urutan terakhir (17,7).

Pendukung ekosistem

Ketika ekosistem dari kota ini berkembang, semua perusahaan tahap awal saling bersaing secara global. Maka, dibutuhkan peranan penting dari ekosistem pendukung untuk memuluskan rencana ke depan.

Seluruh informasi tersebut bisa meniru dari para pemimpin ekosistem global agar masing-masing ekosistem bisa memperkuat di mana letak kekuatan mereka. Startup Genome merekomendasikan lima hal.

Mulai dari founder teknologi untuk penggerak pertama dan awal secara global atau regional. Contoh terdekatnya adalah Silicon Valley, Boston, dan Seattle. Kedua, hub bisnis global yang menjadi penggerak bisnis dan pusat keuangan global, contohnya adalah London, New York, dan Singapura.

Ketiga, pusat talenta R&D untuk produksi teknologi, contohnya adalah Tel Aviv dan Stockholm. Keempat, pasar besar yang dilindungi, misalnya Beijing, Shanghai, dan Jakarta. Terakhir, tempat kreatif kosmopolitan yang mengedepankan keterbukaan dan kualitas hidup, seperti di Berlin dan Melbourne.

Rekomendasi lainnya

Sumber: Unsplash
Sumber: Unsplash

Laporan Startup Genome dapat diarahkan untuk semua stakeholder dalam ekosistem startup, baik dari startup itu sendiri, para investor, dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Kondisi pandemi global tentunya menghantam perekonomian yang menjalar ke berbagai lini bisnis, termasuk startup.

Perusahaan teknologi global dengan ketersediaan banyak dana, bisa sukses untuk pivot saat pandemi, di sisi lain banyak startup lain yang sedang kesusahan. Pendanaan global dikatakan turun hingga 20% sejak Desember 2019.

Dari hasil surveinya, pada pertengahan tahun ini lebih dari 40% startup global berada dalam kondisi “zona merah” ketika berbicara soal ketersediaan dana segar. Artinya, mereka hanya ada beberapa bulan untuk bertahan hidup atau runway yang pendek.

Jika mereka tidak berhasil membalikkan kondisi, mereka terpaksa harus tutup. Begitupun untuk startup yang sudah mendapat pendanaan minimal Seri A atau ke atas, sepertiganya hanya punya runway sampai enam bulan. Kondisi untuk melakukan penggalangan pendanaan jadi jauh menantang.

Oleh karenanya, Startup Genome merekomendasikan perlunya kehadiran pemerintah untuk menginjeksi startup tersebut agar dapat beroperasi. Bahwasanya, startup diyakini dapat membantu proses pemulihan ekonomi, punya andil banyak untuk melipatgandakan nilai ekonomi di tiap industrinya, dan mampu menggiring ekonomi pasca krisis tetap kompetitif.

“Tanpa startup, teknologi, finansial, kesehatan, dan industri lainnya akan tetap stagnan. Siapa yang ingin hidup di dunia yang di mana sistem perbankan didominasi oleh beberapa pemain, sehingga bisnis dan konsumen tidak punya alternatif lain untuk mengelola uangnya,” tulis dalam laporan tersebut.

“Ketika startup berkembang dan menjadi pemain penting di industrinya, akan membawa nilai lebih dan martabat di dalam ekosistem kota di mana mereka beroperasi,” sambungnya.

Rekomendasi yang bisa diambil pemerintah, menurut Startup Genome adalah merancang pendanaan yang efektif. Pola ini sudah diterapkan di Inggris yang membuat Coronavirus Future Fund. Pendanaan ini spesifik menargetkan startup yang masih pra-revenue dan pra-profit yang mengandalkan penyertaan saham dan surat utang dari pemerintah dengan kisaran kebutuhan $150 ribu sampai $6 juta.

Atau melindungi talenta berbakat, misalnya yang dilakukan pemerintah Uni Emirat Arab yang memperpanjang visa untuk warga asing yang menetap tanpa tambahan biaya.

StartupBlink: Peringkat Indonesia Merosot di Ekosistem Startup Global 2020

Ekosistem startup di Indonesia Indonesia merosot ke-54 secara global menurut laporan termutakhir dari StartupBlink bertajuk “The StartupBlink 2020 Global Ecosystem Report”. Pada laporan sebelumnya, Indonesia masuk dalam urutan 50 besar, atau tepatnya ke-41.

Dibandingkan negara tetangga di Asia Tenggara, posisi Malaysia tergolong lebih unggul (48), Thailand (50), Filipina (53), dan Vietnam (59). Singapura ada di urutan tertinggi (16) di regional ini. Padahal secara kuantitas, Indonesia termasuk memiliki startup unicorn yang banyak di kawasan ini, per tahun 2020 totalnya sudah ada 6 startup yang terkonfirmasi menyandang status tersebut.

Tidak dipaparkan penyebab mengapa peringkat Indonesia turun. Didetailkan lebih dalam, Jakarta (41) menjadi kota terdepan di Indonesia dalam mendukung ekosistem startup. Namun posisi tersebut ternyata turun dua peringkat, sekaligus masuk dalam urutan ke-13 di Asia Tenggara.

Pada urutan kedua, ditempati oleh Bandung yang turun 86 peringkat dari posisi di tahun sebelumnya menjadi 389. Menariknya, muncul kota baru untuk pertama kalinya, yakni Yogyakarta (647), Medan (960), dan Semarang (982).

“Penting juga untuk disebut, Tangerang dan Surabaya [peringkat] meroket hingga ratusan sekarang ada di peringkat 515 dan 735 secara berurutan,” sebut laporan tersebut.

Kota-kota di Pulau Bali juga disebutkan berpotensi menjadi startup hub di Indonesia. Salah satu alasannya karena tingginya populasi pengusaha asing dan nomaden digital, namun jika didukung dengan infrastruktur internet yang cepat akan memungkinkan konektivitas yang jauh lebih andal.

“Distribusi yang baik dari delapan kota peringkat tertinggi ini memberikan kemenangan besar bagi Indonesia. Akan tetapi, dengan mempertimbangkan populasi dan ukuran negara, kota-kota lainnya dengan peringkat rendah perlu mempersempit kesenjangan dari ibukota Jakarta.”

Kualitas internet

Mendukung laporan StartupBlink, OpenSignal sebelumnya juga mengungkapkan temuan yang mirip. Dari laporan terakhir yang mereka publikasi, ditemukan kecepatan unduhan dan unggahan dari jaringan seluler di 44 kota besar di Indonesia mengalami pertumbuhan bagus, akan tetapi tidak merata.

Padahal, sambungan internet berkecepatan tinggi merupakan salah satu syarat untuk mewujudkan cita-cita ekonomi digital yang kuat.

Terkait pertumbuhan kecepatan unduhan, Kota Sorong (Papua Barat) dan Ambon (Maluku) menduduki urutan dua teratas. Peringkat ketiga ditempati Jayapura dengan peningkatan kecepatan sebesar 85% dibandingkan kota-kota lainnya. Ketiga kota ini memperoleh kecepatan unduhan hampir dua kali lipat kecepatan rata-rata nasional yang sebesar 9,8 Mbps.

Sementara itu terkait pertumbuhan kecepatan unggahan, kota Kupang (NTT) menduduki urutan pertama. Di sana, pengguna memperoleh 70% peningkatan kecepatan unggahan rata-rata sebesar 8,3 Mbps, hampir dua kali lipat dari rata-rata kecepatan nasional sebesar 4,5 Mbps.

Untuk provinsi-provinsi di Jawa tertinggal dibandingkan provinsi di pulau lainnya jika ditinjau dari persentase pertumbuhan; kendati kalau dibandingkan dari sisi kecepatan saat ini tidak kalah. Peringkat tertinggi diraih oleh Malang (15) dan Bandung (18). Jakarta menempati posisi ke-28 dengan kecepatan unduhan rata-rata 10,2 Mbps. Namun menduduki peringkat ke-32 di daftar kecepatan unggahan, dengan kecepatan rata-rata 4,8 Mbps.

Cimahi menjadi satu-satunya kota di urutan paling bawah daftar kecepatan unggahan dengan rata-rata 4,0 Mbps dan peringkat terakhir kecepatan unduhan dengan kecepatan 1,1 Mbps.

“Dengan semakin mudahnya penyediaan pengalaman jaringan seluler untuk para pengguna di wilayah perkotaan, cukup mengejutkan ketika pengguna di sepuluh dan enam kota masing-masing tidak memperoleh peningkatan kecepatan unduhan dan unggahan di atas rata-rata nasional. Kecepatannya hanya berhasil meningkat hingga 10% di bawah rata-rata nasional.”

HootSuite mencatat kecepatan internet di Indonesia rata-rata 20,1 Mbps dengan rata-rata di global 73,6 Mbps. Laporan ini dirilis pada awal tahun ini. Sementara, dari riset lainnya dari Seasia, mencatat kecepatan internet Indonesia menduduki peringkat ke-92 dari 207 negara dengan rata-rata kecepatan 6,65 Mbps. Sementara di global rata-ratanya adalah 11,03 Mbps. Laporan ini dipaparkan pada tahun lalu.

Sinkronisasi Regulasi Muluskan Demokratisasi Teknologi

PP Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) telah resmi berlaku sejak diundangkan pada 25 November 2019. Beleid ini terdiri dari 19 bank dan 82 pasal, menjelaskan pelaksanaan transaksi dari sisi pelaku usaha, konsumen hingga produk.

Banyak poin yang menarik jadi bahasan, salah satunya tertuang di pasal 15 yang intinya pelaku bisnis (dalam hal ini termasuk pedagang) wajib memiliki izin usaha dalam melakukan kegiatan PSME. Padahal menurut data Asosiasi E-commerce Indonesia 95% pelaku UKM masih berjualan di media sosial dan hanya 19% yang sudah menggunakan marketplace. Lantas, bagaimana praktik pengawasannya?

Aturannya memang baru dirancang akhir-akhir ini, sementara bisnis e-commerce mulai menggeliat tahun 2010. Sebelum melalui portal yang lebih terstruktur, model customer-to-customer (C2C) marketplace sudah berjalan melalui forum online seperti Kaskus FJB dan media sosial. Pada tahun 2005 Tokobagus didirikan dan makin populerkan mekanisme belanja online. Berbagai platform bermunculan, mulai dari Tokopedia (2009), Bukalapak (2011) dan lain-lain. Sementara aturannya serius diundangkan satu-dua tahun terakhir ini.

Masih banyak vertikal bisnis lain

Fintech juga jadi model bisnis digital yang mendapat perhatian khusus regulator di tengah kemunculan berbagai jenis aplikasi penunjang. Secara spesifik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bertindak mengayomi platform berbasis pinjaman, investasi dan asuransi. Sementara Bank Indonesia (BI) lebih fokus ke platform transaksi dan pembayaran.

Tahun 2016 OJK meresmikan POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, menjadi payung hukum utama layanan p2p lending yang secara kuantitas jadi dominan di sektor finansial digital. Melihat kondisi pasar yang ada, tahun 2018 BI memperbarui aturan soal e-money dalam PBI Nomor 20/6/PBI/2018, memperketat kriteria perusahaan penyelenggara platform.

Sayangnya fintech tidak sebatas aplikasi pembayaran atau pinjaman online. Lantas untuk menyiasati inovasi yang terus berlanjut di sektor keuangan, sekitar tahun 2017 mulai diperkenalkan “regulatory sandbox”, yakni ruang uji coba terbatas untuk produk atau layanan yang belum terakomodasi aturan.

Peresmian “OJK Infinity” sebagai pusat inovasi keuangan digital oleh OJK, Kominfo dan Bekraf
Peresmian “OJK Infinity” sebagai pusat inovasi keuangan digital oleh OJK, Kominfo dan Bekraf

Beralih ke vertikal lain ride-sharing, yakni skema C2C yang mengakomodasi jasa transportasi secara online. Di awal popularitasnya sekitar tahun 2015-2016, belum ada regulasi khusus yang menaungi. Bahkan karena dinilai “mengganggu” tatanan transportasi yang sudah mapan, banyak pihak vokal menyatakan penolakan.

Apadaya, membendung inovasi teknologi adalah keniscayaan, seiring pergeseran kebiasaan masyarakat yang semakin bergantung aplikasi digital. Negosiasi pun terus dilakukan, menghasilkan berbagai kesepakatan dan kerja sama.

Pemerintah akhirnya menelurkan regulasi untuk taksi online melalui Permenhub Nomor 118 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Angkutan Sewa Khusus. Di dalamnya mengatur batasan tarif, wilayah operasional hingga spesifikasi kendaraan yang digunakan. Bahkan untuk ojek online, pemerintah tempuh jalur diskresi. Pasalnya sepeda motor tidak termasuk dalam kategori kendaraan angkutan umum.

Apa yang disebut dengan disrupsi digital tidak berhenti di situ saja, berbagai platform baru bermunculan, menyerbu sektor-sektor penting lainnya.

Sinkronisasi regulasi

Dari perjalanan startup digital sepanjang satu dekade tersebut di atas ada dua pelajaran penting yang bisa diperhatikan. Pertama, regulasi selalu tertinggal beberapa langkah di belakang inovasi teknologi. Dan kedua, inovasi teknologi (di sektor publik) tanpa dipayungi regulasi yang tepat akan menimbulkan kegaduhan dan isu di kalangan masyarakat.

Melihat tren perkembangan sub-sektor bisnis digital yang begitu kencang, tampaknya regulasi tidak bisa berdiri secara standalone untuk mengatur kategori bisnis tertentu. Perlu adanya sinkronisasi antarlembaga pembuat aturan.

Sebagai contoh, saat mengatur tentang layanan kesehatan digital (healthtech), selain Permenkes mengenai telemedicine, perlu juga memperhatikan aturan Kominfo tentang transaksi elektronik, bahkan terkait tanda tangan digital.

Model “regulatory sandbox” mungkin  perlu diterapkan di setiap kementerian, untuk mengantisipasi lahirnya platform baru yang menghadirkan disrupsi proses bisnis tertentu. Karena pada dasarnya regulator juga membutuhkan waktu untuk mempelajari dan mengkaji mengenai beragam mekanisme baru sebelum benar-benar dibuat aturannya.

Sinkronisasi juga perlu diselenggarakan untuk mengakomodasi kebutuhan beragam pihak, dalam hal ini pelaku bisnis startup, pelaku bisnis konvensional, konsumen dan pemerintah. Langkah ekosistem membentuk asosiasi di tiap vertikal jadi upaya positif untuk membatu regulator dalam mengkaji setiap aturan yang berdampak pada bisnis terkait.

Efektivitasnya sudah terbukti, memungkinkan menyeimbangkan perspektif regulator dari sudut pandang industri. Sudah terbukti di banyak hal, misalnya Kemenkeu yang akhirnya membatalkan rencana aturan yang mewajibkan pedagang online memiliki NPWP, pasalnya menurut asosiasi e-commerce banyak yang pendapatannya masih di bawah PTKP. Pun demikian yang dilakukan AFPI untuk membantu OJK mengurus legalitas bisnis fintech lending.

Konferensi pers pasca pertemuan Menkeu dengan asosiasi bahas pajak e-commerce
Konferensi pers pasca pertemuan Menkeu dengan asosiasi bahas pajak e-commerce

Teknologi baru terus dilahirkan

Proyeksi kami, selanjutnya yang akan menjadi populer adalah startup di bidang pendidikan, kesehatan, pertanian dan pengembang teknologi kecerdasan buatan. Lantas sudah siapkah aturan-aturan yang bakal menaungi bisnis tersebut saat mulai masif digunakan pengguna?

Belum lagi saat berbicara teknologi secara spesifik yang berkembang saat ini. Blockchain misalnya, mekanisme ini mulai banyak digunakan untuk kebutuhan transaksi data dan aset digital. Namun saat blockchain benar-benar diaplikasikan ke dalam proses bisnis tertentu sudah siapkah payung hukumnya?

Contoh kasusnya, di tengah peastnya startup legaltech teknologi blockchain bisa diaplikasikan untuk memindahkan dokumen legal seperti surat atau sertifikat dari satu pihak ke pihak lagi tanpa terjadi duplikasi data. Lantas bagaimana jika terjadi kegagalan sistem yang mengakibatkan kerusakan dokumen? Atau terjadi penyalahgunaan yang disebabkan karena unsur nonteknis? Adanya aturan sebenarnya untuk melindungi dan memastikan proses bisnis berjalan sebagaimana mestinya.

The best regulation is less regulation

Mengutip istilah yang dipakai Rudiantara selaku Menkominfo periode sebelumnya saat membahas regulasi untuk ekosistem startup, “the best regulation is less regulation”.

Simplifikasi regulasi memang jadi upaya penting yang harus dilakukan pemerintah. Pasalnya dengan regulasi yang rumit juga akan menghambat perkembangan bisnis. Namun regulasi tetap penting dijadikan landasan untuk memastikan industri tetap berjalan secara sehat. Jadi kesimpulannya, ekosistem membutuhkan regulasi tepat sasaran dan tepat takaran.

Mendalami Peran Kemenristek Cetak Startup Baru dari Sisi Hulu

Di kabinet yang baru diumumkan beberapa waktu lalu, Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek)/Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) menegaskan perannya dalam mencetak lebih banyak startup baru di sisi hulu. Menteri Bambang Brodjonegoro mempromosikan berbagai program terkait hal tersebut saat berbicara di NextICorn 2019, pekan lalu.

Sebagai catatan, pengembangan ekosistem startup pada Kabinet Kerja, sebelumnya ditempatkan di Kemenkominfo dan Bekraf, yang sekarang dilebur ke Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Indonesia pernah memiliki Kemenparekraf saat pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono.

Tugas tersebut kini dibagi ke Kemenkominfo dan Kemenristek pada Kabinet Indonesia Maju. Menteri Bambang menegaskan pihaknya telah berdiskusi secara matang dengan Menteri Kemenkominfo Johnny G. Plate terkait pembagian kerja.

Bambang memastikan pengembangan startup berbasis teknologi yang tengah digalakkan tidak tumpang tindih dengan program Kemenkominfo, lantaran Kemenristek lebih fokus dalam pembangunan di sisi hulu.

Kemenristek punya direktorat khusus bernama Direktorat Perusahaan Perintis Berbasis Teknologi, bertugas untuk melahirkan sebanyak mungkin startup. Direktorat ini sebenarnya sudah ada sejak Mohamad Nasir (menteri sebelumnya) dan menjalankan program pengembangan startup.

Sayangnya, gaungnya kurang terdengar. Malah punya kesan bersaing dengan Kemenkominfo dengan program 1000 Startup Digital, sebab kurang lebih mirip antara satu sama lain. Bambang menegaskan bahwa ini tidak akan tumpang tindih.

“Kami lebih ke hulu, bertanggung jawab menciptakan sebanyak mungkin startup dan memastikan kontinuitas dari startup tersebut. Sementara Kemenkominfo akan lebih bertugas di hilir, bertanggung jawab untuk infrastrukturnya,” kata Bambang.

Dia menjelaskan direktorat tersebut telah memiliki program PPBT (Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi), startup terpilih akan menerima sejumlah insentif dan pembinaan. Program ini sudah dirintis sejak 2015.

Selain itu, Kemenristek/BRIN juga memiliki beberapa ‘Science Techno Park (STP)’ potensial yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Agar inovasi yang dihasilkan dapat dikomersialisasikan menjadi produk massal, startup binaan didukung dengan ketersediaan inkubasi bisnis yang terdapat di berbagai STP tersebut.

“Artinya startup yang sudah kita bina, kita jaga track record-nya agar menjadi ‘the next unicorn’, walaupun mungkin butuh waktu lama,” imbuhnya.

Program PBBT terbagi jadi tiga tahap. Pertama, CPPBT (Calon Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi) atau lebih dikenal pre-startup bertugas mencari startup berbasis teknologi yang siap untuk dikomersialkan.

Kedua, PBBT (Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi) atau startup yang merupakan program inkubasi. Terakhir, PLBT (Perusahaan Lanjutan Berbasis Teknologi) atau post-startup bertugas untuk pasca inkubasi dan pendanaan eksternal.

Tiga tahapan tersebut dimaksudkan untuk tetap menjaga seluruh startup binaan tetap on the track dan mature sebelum mereka bisa dibawa ke acara besar seperti Nexticorn.

“Kebanyakan pre-startup itu mahasiswa aktif, mereka adalah peserta potensial karena bibit-bibit entrepreneur.”

Pendanaan yang diberikan Kemenristek untuk startup binaan tergantung di mana tahapan mereka. Sumber dananya berasal dari APBN. Menurutnya, APBN Kemenristek untuk tahun 2020 sudah ditetapkan. Akan tetapi harus disisir kembali karena masih bercampur dengan Dikti.

Perlu diketahui, kini direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) kembali dipisah dari Kemenristek dan dilebur ke Kemendikbud yang pimpinan oleh Nadiem Makarim.

“Yang punya dana untuk pembinaan startup itu kami. Nanti kita rapikan lagi [APBN 2020], agar saya tahu persis berapa totalnya [pendanaan untuk startup].”

Fokus startup yang diincar adalah foodtech, transportasi, healthtech dan medtech, energi, ketahanan dan keamanan, material, advanced material, dan TIK. Tidak hanya fokus ke digital saja, tapi juga ke startup teknologi.

“Yang kita dorong jangan cuma [startup] digital saja, tapi teknologi lain juga berkembang, kita butuh dua hal itu. Karena kalau digital saja dan e-commerce-nya kuat, tapi nanti apa yang mau dijual di e-commerce?”

“Hal ini yang dikhawatirkan presiden, e-commerce akan membawa terlalu banyak impor di barang konsumsi. Kita harus isi barang konsumsi dengan startup di bidang industri yang berbasis teknologi,” sambung Bambang.

Dia menyebut, sejak 2015 hingga saat ini program PBBT telah membina 1.307 startup dan pre-startup, dengan rincian 558 pre startup dan 749 startup. Dari keseluruhannya, sebanyak 13 startup telah mencetak pendapatan Rp102 miliar dalam setahun dan mengantongi pendanaan Rp4,5 miliar.

Tantangan global pada tahun depan

Di satu sisi, upaya pemerintah dalam mencetak lebih banyak startup berbasis teknologi adalah salah satu bagian antisipasi dari perlambatan ekonomi global yang bakal menghantui pada tahun depan.

Negara maju seperti Amerika Serikat dan Tiongkok diramalkan akan menghadapi masa sulit untuk jangka waktu yang sedikit panjang. Awalnya ekonomi Tiongkok bisa tumbuh lebih dari 10%, tapi tidak untuk tahun depan.

Perlambatan global di Amerika Serikat dan Tiongkok akan menghantui negara lain karena punya pengaruh yang kuat dalam perekonomian. “Jadi prospeknya tidak bagus buat negara maju, tapi tidak buat negara berkembang, India dan Indonesia.”

“Indonesia punya pengalaman yang bagus dalam menghadapi resesi global. Kita berhasil mempertahankan pertumbuhan ekonomi di angka 4% pada krisis di 2008.”

Kuncinya untuk bisa bertahan dari perlambatan global adalah memperkuat ekonomi dalam negeri, dengan menambah jumlah techpreneur. Selama ini, menurut Bambang, Indonesia kekurangan techpreneur dan tidak bisa bergantung pada pemain existing.

“Jika ini tidak dilakukan, kita akan jadi negara yang ketinggalan untuk menjadi produser. Makanya saya sangat apresiasi program yang mendukung munculnya bisnis baru.”

Munculnya banyak bisnis baru di bidang teknologi, menurutnya, tidak akan membuat terjadinya pengangguran, melainkan pekerjaan yang hilang yang berganti ke pekerjaan baru. Hanya saja, orang yang kehilangan pekerjaan, sebelum berganti pekerjaan baru harus meningkatkan keahliannya.

Bagian ini akan diidentifikasi lebih lanjut oleh Kemenristek, pekerjaan apa saja yang berpotensi akan hilang dan muncul. “Nanti Kementerian Tenaga Kerja dan Kemendikbud harus menyiapkan pendidikan dan pelatihannya agar bisa langsung diganti pekerjaannya.”

Bambang berambisi pada lima tahun mendatang, Kemenristek secara umum dapat berpartisipasi dalam transformasi ekonomi. Ekonomi Indonesia harus mulai bergeser dari yang tadinya eficiency based and resources, menjadi innovation based economy.

Inovasi nantinya difokuskan pada tiga hal dalam transformasi ekonomi, yaitu teknologi tepat guna yang menolong banyak masyarakat, inovasi untuk hilirisasi dan nilai tambah, dan inovasi dalam konteks substitusi impor dengan meningkatkan TKDN.

Presiden Resmikan Pembangunan “Papua Youth Creative Hub” untuk Dongkrak Ekosistem Startup di Indonesia Timur

Denyut inovasi dan ekonomi kreatif terus didengungkan oleh pemerintah Indonesia. Terbaru, pemerintah meresmikan pembangunan pusat pengembangan kreativitas dan pengembangan bisnis startup di Papua yang diberi nama “Papua Youth Creative Hub”. Tempat ini nantinya diharapkan mampu menjadi pusat akselerasi dan inovasi bisnis pemuda setempat.

Presiden Joko Widodo dalam sambutannya berharap muncul unicorn dan decacorn baru dari wilayah Indonesia bagian timur, khususnya Papua.

“Kita harapkan muncul unicorn baru dari Indonesia bagian timur, khususnya tanah Papua. Akan muncul decacorn dari sini, sehingga kemajuan anak-anak muda yang ada di tanah Papua betul-betul terwadahi di dalam creative hub yang segera kita bangun ini,” terang Presiden dalam siaran pers resminya.

Papua Youth Creative Hub ini rencananya akan dibangun di atas tanah seluas 1,5 hektar yang berada di wilayah Kotaraja. Selain dibangun ruangan-ruangan belajar tentang bisnis, teknologi, dan dasar-dasar pengembangan startup; di sana juga akan dibangun asrama untuk menampung pemuda-pemuda yang berasal dari luar Papua.

Ke depan pusat pengembangan ini akan dikelola oleh perusahaan yang didirikan oleh 21 pemuda asal Papua, PT Papua Muda Inspiratif.

“Saya sebagai salah satu dari pemuda Papua yang selama ini bergelut dalam bidang bisnis startup merasa bahwa ini merupakan sebuah gerakan yang baik untuk mendorong lebih banyak lagi anak-anak Papua untuk dapat mengembangkan kreativitasnya melalui bisnis, atau pergerakan sosial,” ujar Direktur Utama PT Papua Muda Inspiratif Billy Mambrasar.

Billy cukup optimis dengan hadirnya Papua Youth Creative Hub ini. Ia bisa menargetkan akan ada kurang lebih 100 pemilik startup atau pergerakan sosial yang bisa memberikan kontribusi mempercepat pembangunan kesejahteraan masyarakat Papua.

Dikutip dari wawancara Billy dengan Metro TV, ia menjelaskan bahwa Papua Youth Creative Hub akan jadi sebuah wadah lengkap, baik inkubator maupun akselerator.

“Jadi Papua Youth Creative Hub ini akan menjadi kedua-duanya, akselerator dan inkubator. Akselerator untuk mereka yang sudah punya social movement atau teknologi atau startup tetapi mereka ingin kemudian mengembangkan jaringan dengan mentor-mentor kami. Inkubator buat mereka anak Papua yang ingin membangun tanah air tetapi kesulitan memiliki kemampuan atau kapabilitas kita ajak sampai idenya jadi produk,” terang Billy.

Harap-Harap Cemas Ekosistem Industri Kreatif dan Ekonomi Digital Pasca Pengumuman Kabinet Indonesia Maju

Kemarin (23/10) Presiden Joko Widodo telah memilih dan mengumumkan daftar menteri dan pejabat untuk kabinet barunya. Kendati selama masa kampanye jargon “ekonomi digital” disampaikan, namun daftar kementerian yang diumumkan cukup mengejutkan pelaku di ekosistem startup, sebagai salah satu ujung tombak dari ekonomi digital nasional.

Ada dua hal yang cukup mengganjal, pertama dileburnya Bekraf ke dalam Kemenpar, menjadi Kemenparekraf. Peleburan menjadi istilah untuk tidak menyebutnya sebagai peniadaan. Kendati dipimpin sosok yang digadang-gadang identik muda dan kreatif, namun ini mengindikasikan turunnya prioritas untuk pengembangan industri kreatif, termasuk startup digital. Bagaimana tidak, sejauh ini peran Bekraf cukup signifikan dirasakan para pelaku industri.

Program-programnya secara spesifik menyasar kebutuhan insan kreatif, terlihat dari susunan deputi yang ada, meliputi riset, permodalan, infrastruktur, pemasaran, hak kekayaan intelektual, dan hubungan antarlembaga. Sementara idealnya dengan potensi yang ada, pariwisata memang menjadi fokus tersendiri.

Ekonomi kreatif tidak bisa dipandang sebelah mata

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh BPS dan Bekraf pada tahun 2016, sektor ekonomi kreatif berkontribusi pada 7,35% GDP nasional, menyumbangkan nilai lebih dari 922 triliun rupiah. Secara kontinu, angka tersebut beranjak naik hingga diproyeksikan bertumbuh 4,13% hingga akhir tahun ini. Ekonomi kreatif telah menopang hampir 17 juta pekerja, dari berbagai bidang termasuk startup digital.

Data pertumbuhan ekonomi kreatif nasional / Bekraf
Data pertumbuhan ekonomi kreatif nasional / Bekraf

Mengacu pada sumber lain, misalnya hasil riset Google, Temasek, dan Bain & Company bertajuk “e-Conomy SEA 2019”, tahun ini ekonomi digital Indonesia telah mencapai $40 miliar dan diprediksi akan meningkat tajam hingga $133 miliar di tahun 2025 mendatang. Sektor e-commerce, ride-hailing, travel, dan media menjadi pendorong utamanya. Dengan angka tersebut, Indonesia menjadi yang terdepan di Asia Tenggara.

Hal-hal yang disayangkan

Selain Bekraf, pengayom industri digital nasional adalah Kemkominfo. Sejauh ini, Rudiantara cukup aktif melakukan advokasi pelaku startup, dengan target ambisius melahirkan unicorn baru. Untuk mendukung langkah tersebut, diperlukan berbagai upaya, termasuk mengakomodasi dengan kebijakan-kebijakan yang sesuai. Kini Johnny Gerald Plate terpilih menjadi Mekominfo. Nama tersebut tergolong sangat baru bagi sebagian besar pelaku industri kreatif dan digital – mungkin tidak demikian di politik. Ini menjadi poin kedua.

Langkah tangkas dibutuhkan untuk mengayomi ekosistem kreatif dan digital yang saat ini bertumbuh sangat cepat. Disrupsi yang dihadirkan sangat nyata mengubah cara-cara baru di masyarakat. Ekosistem bukan lagi di usia “early-stage”, sebaliknya sudah masuk ke “scale-up”, sehingga dibutuhkan rekam jejak yang relevan dari pemangku kebijakan yang menaunginya. Saat pengumuman menteri kemarin, Johnny didaulat presiden untuk mengurus hal berkaitan dengan keamanan siber, kedaulatan data, dan industri TIK domestik. Tugas yang sangat berat dan serius.

Hari Senin (22/10) lalu, kehadiran Nadiem Makarim ke istana cukup memberikan angin segar bagi industri. Banyak yang berharap pembentukan kementerian baru yang khusus menaungi ekonomi kreatif dan digital. Nyatanya, ia diposisikan pada Kementerian Pendidikan. Memang, SDM menjadi isu krusial yang harus direvolusi dengan pendekatan yang lebih berdampak. Namun rekam jejak Nadiem untuk menangani penyelarasan bisnis disruptif menjadi hal yang disayangkan untuk tidak dioptimalkan.

Berat untuk tidak pesimis

Startup digital telah melahirkan sektor fintech, mereka mampu memfasilitasi berbagai kalangan yang sebelumnya tidak tersentuk layanan perbankan pada produk-produk keuangan, dengan konektivitas teknologi. Startup digital telah melahirkan sektor ride-hailing dan online marketplace, membuka ribuan peluang bisnis sekaligus mentransformasi UKM melalui internet. Belum lagi berbicara soal sektor new retail, healthtech, edutech, dan lain-lain yang mulai memberikan dampak berarti bagi Indonesia.

Berat untuk memberikan pemakluman, kendati tahu bahwa ada kalkulasi politik yang harus dipertimbangkan Presiden.  Semoga ini bukan proses untuk mengorbankan industri kreatif dan digital untuk kepentingan-kepentingan yang dianggap lebih besar.