Accelerating Asia Menilai Masih Ada Kesenjangan di Ekosistem Startup Indonesia

Lanskap investasi dan ekosistem startup di Indonesia diprediksi terus bertumbuh di tahun mendatang. Namun Co-founder Enterprenuer in Resedince and Program Director Accelerating Asia Craig Dixon menilai kesenjangan masih terjadi pada ekosistem ini.

Sebagai akselerator yang fokus di Asia Tenggara, Dixon melihat ada dua kesenjangan, yakni pendanaan startup tahap awal (seed) dan investor. Dari sisi startup, masalah ini dialami mereka yang belum punya traction dan model bisnis yang scalable. Selain sulitnya mencari pendanaan, startup belum punya pengalaman untuk mengelola investasi.

“[Kalau] investor cari jutaan dolar, mereka tidak tahu cara menggunakannya secara efisien untuk membangun bisnis yang lebih besar. Ini yang kami fokuskan, ketika program selesai, mereka bisa lebih siap [mencari dana] ke VC, dan bisa bergerak lebih independen,” ujar Dixon di sela wawancara media di Jakarta.

Dari sisi investor, Dixon juga menilai Indonesia kekurangan investor yang cerdas. Menurutnya, investor yang berinvestasi di sini cenderung duduk diam dan menunggu hasil. Mereka tidak tahu cara berinvestasi dan lebih berkompetisi secara jumlah deal.

Maka itu, ujar Dixon, Accelerating Asia masuk untuk mengisi kesenjangan yang terjadi di ekosistem ini. Jika kesenjangan pendanaan diatasi lewat program akselerasi, ia juga menjalankan program workshop bagi investor.

“Kami sudah pernah menjalankan dan punya program workshop untuk angel investor. Kami coba edukasi both sides, yaitu startup dan investor. Kegiatan ini bakal bagus [jika] dijalankan di Indonesia,” paparnya.

Di samping itu, Dixon menilai program akselerasi independen yang dijalankannya memberinya keleluasaan dalam mendorong pertumbuhan startup. Menurutnya, program akselerasi yang disponsori pemerintah atau korporasi dinilai melemahkan posisi startup yang valuasinya belum seberapa.

Di Asia Tenggara tidak ada program independen karena kebanyakan disponsori oleh pemerintah atau korporasi yang memutuskan term investasinya. Kebanyakan akselerator kasih pendanaan $10 ribu-$25 ribu ke startup yang valuasinya belum tinggi,” tuturnya.

Penyebaran investasi dan model bisnis yang berbeda

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menelurkan sejumlah unicorn. Dixon menilai pencapaian ini menjadi sinyal baik bagi ekonomi digital di Indonesia. Pasalnya, ada kemungkinan mereka yang bekerja di unicorn sejak awal, keluar dari perusahaan dan membangun startup sendiri. Fenomena ini sudah banyak terjadi di Silicon Valley.

Di tahun-tahun mendatang, Dixon menantikan penyebaran investasi startup di Indonesia tak lagi terbatas pada unicorn atau startup dengan valuasi tinggi saja. Ia menyebutkan sebanyak triliunan dolar AS masuk ke Asia Tenggara, tetapi 80 persen masuk ke unicorn. Tidak meninggalkan sisa bagi startup-startup yang baru tumbuh.

Demikian juga model bisnis, ia berharap Indonesia dapat menelurkan startup dengan model yang berbeda dari yang sudah dijalankan oleh unicorn Indonesia, seperti Gojek dan Tokopedia.

“Di sisi lain, saya ingin lihat lebih banyak startup berkesempatan menghasilkan pendapatan dengan model bisnis berbeda, tidak seperti WeWork dan Uber. Memang uang masuk ke investor dan kelas menengah jadi kaya, tapi di mana nilai kreasi yang sesungguhnya?” Tutupnya.

Program akselerasi angkatan kedua dimulai

Accelerating Asia mengumumkan program akselerasi angkatan keduanya yang akan dimulai pada Januari 2020. Sama seperti program pendahulu, tahapan kedua ini akan fokus pada startup di tahap awal (early stage).

Dixon menyebutkan tidak ada sektor tertentu yang menjadi kriteria utama program ini. Akan tetapi, ia menyebutkan program akselerasi ini akan cenderung ke segmen B2B.

Hal ini karena ia, jaringan mentor, dan investor yang tergabung di dalamnya kebanyakan memiliki latar belakang dan pengalaman kerja di bidang B2B. “Ini semacam legacy makanya program yang kami buat juga kebanyakan fokus pada B2B,” ujarnya di sela Media Interview di Jakarta.

Accelerating Asia adalah akselerator independen berbasis di Singapura. Mereka baru saja meluluskan peserta program angkatan pertama yang telah menyelesaikan kegiatan akselerasi selama empat bulan. Dari ke-10 peserta, Datanest adalah satu-satunya dari Indonesia.

Adapun, pendaftaran program akselerasi angkatan kedua telah dibuka sejak pekan ini dan akan ditutup pada November mendatang.

“New Consumption” Jadi Hipotesis Baru Investasi East Ventures Tahun Ini

East Ventures, yang spesialis mendanai startup tahap awal, mengungkapkan segmen new consumption menjadi hipotesis terbaru yang bakal mewarnai tren investasi pada tahun ini. Di samping itu, startup yang bergerak di bidang gaya hidup, wellness, kesehatan, O2O integration, dan new retail menjadi perhatian perusahaan modal ventura yang berpusat di Singapura tersebut.

“Tiap tahun kita selalu datang dengan hipotesis yang berbeda, cukup tematik. Ada naratif tertentu di belakangnya. Apakah lifestyle atau entertainment sebenarnya [kita] enggak begitu particular vertical. Intinya sekarang GDP Indonesia sudah mulai naik, artinya ada kebutuhan tidak dasar lagi yang mulai dicari orang. Di semua negara berkembang pasti begitu [arahnya],” katanya Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Segmen ini, menurutnya, tidak akan bisa terjadi apabila mundur ke 10 tahun belakangan. Pada saat itu, ekosistem digital di Indonesia belum terbangun secara menyeluruh dan terintegrasi, baik dari sistem pembayaran, logistik, dan layanan e-commerce. Sekarang kondisinya sudah berbeda jauh dan membuatnya jadi lebih efisien.

Willson mencontohkan, Fitmee, salah satu lini usaha dari The Fit Company yang baru mendapat pendanaan dari East Ventures, adalah bentuk new consumption. Fitmee adalah brand baru tapi model bisnisnya tidak kuno karena tetap menjual mie instan, namun menggunakan bahan-bahan yang sehat.

Kasus yang sama juga terjadi untuk Fore Coffee, konsepnya tetap berjualan kopi tapi bisa dipesan secara online dan diantar oleh kurir instan. Sebagai catatan, Fore Coffee adalah proyek percobaan baru East Ventures, setelah Co-Hive dan Warung Pintar.

“Kita ada hipotesis kenapa orang harus ke Starbucks? [saat mau ngopi], kenapa harus nongkrong di sana? Gimana kalau kopi bisa diantar ke tempat mereka? Mungkin enggak? [kalau sekarang] ya mungkin, tapi mungkin enggak kalau ini terjadi di 10 tahun lalu? Ya enggak mungkin.”

Willson mengaku tahun ini East Ventures akan terus berinvestasi ke startup. Bahkan disebutkan dalam seminggu melakukan close deal dengan dua sampai tiga startup. Terkait dana investasinya, dia mengklaim East Ventures masih memiliki persediaan dari penggalangan sebelumnya.

East Ventures terakhir kali mengumpulkan fund sebesar US$30 juta pada akhir 2017. Dana tersebut difokuskan untuk berinvestasi di Indonesia, dengan nominal dari pendanaan tahap awal dan seri A. Secara rutin, perusahaan melakukan penggalangan dana dari para investornya tiap dua tahun sekali karena sangat aktif berinvestasi.

Membaca tren lewat hipotesis

Pada kesempatan terpisah, saat Willson menjadi pembicara dalam Indonesia PE-VC Summit 2019 pekan lalu, dia menyebut berbagai hipotesis sudah dibuat East Ventures sejak awal kehadirannya. Pada tahun pertama, East Ventures aktif berinvestasi ke platform e-commerce karena Indonesia belum memiliki ekosistemnya.

“Jika Anda sadari, dari perjalanan komputer mulai dari konsumer lalu sampai ke tahap enterprise. Sama seperti Indonesia, di mana kami mulai dari e-commerce. Di 2013, kami datang kembali dengan hipotesis baru yakni SME, kami pun banyak berinvestasi di sana.”

Berikutnya, hipotesis baru berdatangan yakni SaaS lalu O2O. Segmen baru ini dengan cepat dimasuki East Ventures sehingga terkesan ada di posisi terdepan dibandingkan VC lainnya. Willson menggambarkan sebagai VC yang fokus di pendanaan awal harus selalu ada di depan gelombang, timing memainkan peran yang begitu penting.

“Jika Anda berada di belakang gelombang, maka Anda hanya dapat melihat gelombang. Penting bagi orang-orang tahap awal untuk menangkap pergerakan sebelum menjadi tren.”

Saat ini East Ventures memiliki sekitar 140 portofolio, 20 startup di antaranya telah tutup. Willson menyebut rasio ini dianggap lebih baik daripada teori yang umum dipaparkan industri. Umumnya rasio dari 10 startup yang dapat bertahan itu hanya satu.

Di sisi East Ventures, rasionya dari 10 startup yang diinvestasikan hanya dua yang mati, delapan di antaranya masih tetap hidup. Ada juga yang sudah exit karena diakuisisi perusahaan lain, contohnya Cermati, Disdus, Kudo, dan Loket.

Diklaim 70% startup Indonesia yang meraih pendanaan Seri A mendapat pendanaan tahap awal dari East Ventures.

Tidak kontrol portofolio startup

Meski banyak porfolio yang dikelola East Ventures, Willson mengaku pihaknya tidak melakukan kontrol terhadap perusahaan tersebut. Mereka juga tidak memberikan mentoring seperti yang ditawarkan VC lain. Dia percaya apabila founder itu adalah seorang wirausahawan sejati, maka harus tahu dasar-dasar administrasi bisnis.

Apabila founder tersebut baru pertama kali merintis startup, maka mereka harus memiliki cepat dan terampil dalam berbagai hal. Hal ini selaras hipotesis lainnya yang dibuat East Ventures, bahwa founder harus bisa membedakan antara visi, strategi, dan taktis.

Founder harus bisa menyelaraskan visi dan bagaimana memberi solusi atas masalah besar. Berbicara tentang strategi, pihaknya hanya memberi nasihat, tapi tidak memberi saran sampai di tahap taktis.

“Jadi kami setuju bahwa Anda harus pergi [ambil keputusan] ke sana tapi apakah Anda belok kiri atau kanan itu terserah Anda. Kami akan mengajari Anda apa yang harus dihindari, bukan apa yang harus dilakukan.”

“Karena jika kami mengajari Anda apa yang harus dilakukan, Anda akan terbatas pada batas-batas yang saya ajari. Jika kami mengajarkan 10, Anda akan sampai di 9 atau 9,5 saja. Tapi jika kita mengajarinya untuk tidak melakukan kesalahan, maka Anda bisa terbang ke langit,” pungkasnya.

Mudahkan Pemesanan, Rework Coworking Space Merilis Aplikasi Mobile

Kehadiran coworking space telah memberikan pilihan baru kepada pelaku startup untuk beraktivitas. Tidak lagi mengandalkan gedung atau tempat khusus untuk ruang kerja, coworking space saat ini banyak digunakan oleh startup baru, pekerja media hingga profesional lainnya untuk bekerja. Salah satu coworking space yang baru saja diresmikan adalah Rework yang terletak di kawasan strategis Kuningan, Jakarta Selatan.

Kepada media hari Ini (24/04) CEO dan Founder Rework Vanessa Hendriadi Li mengungkapkan, coworking space telah dibuka untuk umum sejak bulan Maret 2017. Dalam peresmian hari ini Rework merilis aplikasi untuk pengguna dalam versi Android dan iOS. Rework adalah coworking space pertama yang meluncurkan aplikasi mobile di Indonesia.

“Alasan utama kami merilis aplikasi mobile adalah karena selama ini smartphone sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di Indonesia. Dengan memanfaatkan teknologi, aplikasi mobile coworking space Rework diharapkan bisa memudahkan proses pemesanan hingga pembayaran dalam satu aplikasi.”

Rework sendiri saat ini sudah memiliki dua cabang, yang terletak di Cityloft Sudirman dan yang terbaru di Setiabudi Building, Kuningan Jakarta. Untuk memudahkan pemesanan kedua lokasi tersebut terintegrasi dalam satu aplikasi. Paket berlangganan pun tersedia dalam 4 kategori, yaitu Rework Connect, Workflex, Workdesk dan Private Office. Harga yang ditawarkan juga cukup terjangkau, dan semua pembayaran bisa menggunakan kartu kredit dan pilihan pembayaran lainnya hanya dalam aplikasi.

“Dengan hadirnya Rework diharapkan bisa menjadi tempat untuk berkolaborasi, networking antara pelaku startup, entrepreneur dan pihak terkait lainnya,” kata Vanessa.

Kegiatan pemasaran mengandalkan kemitraan

Rework coworking space

Untuk kegiatan pemasaran selain kepada pelanggan yang ada, Rework juga mengandalkan kemitraan, di antaranya adalah dengan ISMAYA Group. Kerja sama ini memungkinkan untuk pebisnis menikmati gaya hidup bekerja sambil bermain (work and play).

“Dalam waktu dekat aplikasi Rework juga bisa dipakai untuk melakukan pemesanan workspace di berbagai lokasi ISMAYA di Indonesia,” kata Vanessa.

Terkait dengan investasi yang digelontorkan oleh Rework untuk pembangunan cabang Rework kedua di Jakarta serta peluncuran aplikasi Rework, Vanessa enggan untuk mengungkapkannya. Bisa dipastikan meskipun memiliki relasi dengan Convergence Ventures, uang yang diinvestasikan untuk Rework dan aplikasi mobile sepenuhnya berasal dari uang pribadi dan keluarga Vanessa selaku CEO Rework.

“Untuk ke depannya Rework bisa memberikan solusi untuk tidak sekedar tempat kerja yang nyaman dan tetap produktif, namun juga kepada akses teknologi untuk membangun ekosistem kondusif tumbuh bersama,” tutup Vanessa.

Application Information Will Show Up Here

Membangun Ekosistem Kewirausahaan Ala Silicon Valley

Salah satu agenda kunjungan besar Presiden bersama beberapa jajaran dan tokoh startup nasional ke Amerika Serikat beberapa waktu lalu ialah ingin belajar bagaimana menciptakan sebuah ekosistem kewirausahaan lokal, terutama yang bertumbuh mengikuti tren perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

Sebelum melanjutkan ke diskusi yang lebih mendalam, perlu dipahami lebih mendetil makna dari istilah “ekosistem kewirausahaan” yang banyak dirujuk dan ingin diaplikasikan di Indonesia. Menurut definisi di Wikipedia, ekosistem bisa diartikan sebagai “sebuah komunitas hidup yang behubungan dengan berbagai komponen tak hidup dalam lingkungan, berinteraksi sebagai sebuah sistem”.

Dari pengertian di atas maka dapat didefinisikan bahwa “ekosistem kewirausahaan” adalah bersatunya berbagai komponen, baik itu SDM (Sumber Daya Manusia), fasilitas, regulasi dan berbagai hal lainnya dalam membentuk sebuah kultur bisnis dan berjalan dalam sebuah sistem ekonomi bertumbuh.

Silicon Valley seringkali menjadi kiblat untuk sebuah sistem kewirausahaan terbaik di dunia. Dari berbagai catatan dan riset yang pernah dipublikasikan, tersaji beragam aspek yang membahas detil mengapa di Silicon Valley begitu berhasil untuk menumbuhkan kultur kewirausahaan.

Beberapa di antaranya menghubungkan pada kultur adopsi teknologi yang menguntungkan, sistem hukum dan perpajakan yang tidak memberatkan, peran serta Stanford University, hingga adanya sebuah budaya belajar dari sebuah kegagalan untuk membangun pada langkah berikutnya.

Ada sumber lain yang mengatakan bahwa keberhasilan Silicon Valley hadir dari pemikiran orang-orang seperti Frederick Terman, Geoges Doriot, Robert Noyce, Andy Grove atau Steve Jobs. Menariknya dari setiap tulisan yang ada menyimpulkan bahwa Silicon Valley tidak pernah bisa tereplikasi secara sempurna.

Sebuah cerita membuktikan kesimpulan tersebut. Kala itu Presiden Prancis Charles de Gaulle memiliki ambisi untuk mereplikasi Silicon Valley untuk membuat iklim kewirausahaan di negaranya. Tak tanggung-tanggung kala itu Charles juga meminta negara merekrut Frederick Terman, pendiri Silicon Valley yang juga dikenal sebagai “Bapak Silicon Valley”, yang kala itu telah pensiun menjadi profesor di Stanford University. Namun gagal dengan alasan sederhana, bahwa industri tidak memberikan dukungan yang sama seperti di Silicon Valley. Kawasan Dallas, Texas, juga mengalami kegagalan yang sama.

Tiga komponen yang mendorong kesuksesan Silicon Valley

Dari keadaan tersebut beberapa peneliti dari TheFamily mencoba menguak faktor apa saja yang sebenarnya menjadi dominasi atas bertumbuhnya sebuah ekosistem startup. Tim peneliti yang terdiri dari Steve Blank, Viviek Wadhwa, Paul Graham dan Brad Feld menemukan 3 titik penting yang melandasi sebuah ekosistem kewirausahaan, yaitu modal (capital), tahu caranya (know how), dan pemberontakan (rebellion) dalam artian adanya sebuah kontradiksi dari suatu gagasan yang telah didefinisikan sebelumnya. Ekosostem kewirausahaan melakukan kombinasi tiga faktor tersebut dengan tepat.

Kompnen ekosistem kewirausahaan

Ketiga komponen tersebut harus benar-benar bisa berbaur menjadi satu. Tanpa ketiganya ekosistem kewirausahaan tidak akan terbentuk dengan baik dan justru menciptakan sistem ekonomi berbeda. Kombinasi antara tiga komponen tersebut dibuktikan jelas di Silicon Valley.

Pada awalnya modal di Valley berasal dari Departemen Pertahanan Amerika Serikat, kemudian berkembang dari Venture Capital, hingga saat ini mencakup berbagai jenis investor. “Know-how” muncul tepatnya di tahun 1940-an berkat seorang insinyur mendesain microwave kemudian disusul oleh kehadiran riset dan produsen semikonduktor. Akhirnya “rebellion” muncul seiring dengan pematangan pola pikir, dimulai dari kemunculan aktivitas dari California hinga berbagai ilmuwan dan aktivis lain memunculkan ide untuk saling membenahi gagasan yang ada.

Lalu apakah komponen tersebut sudah siap semua di Indonesia

Jika melihat dari komposisi tiga komponen tersebut, antara capital, know-how dan rebellion, di Indonesia sudah mulai kuat di “capital”, masih banyak belajar di “know-how” dan mulai terbentuk “rebellion”.

Masih setengah-setengah untuk terciptanya sebuah ekosistem kewirausahaan yang kental, dan memang iya, bahwa ekosistem kewirausahaan belum begitu terasa matang di Indonesia. Namun ada sebuah tulisan keynote di Xtech dari Paul Graham yang sepertinya dapat menjadi acuan untuk mengarahkan Indonesia mampu mematangkan ekosistem kewirausahaan.

Berikut ini adalah beberapa komponen penting yang harus mulai menjadi perhatian secara singkat:

  • Kutu buku dan investor. Kutu buku diartikan dengan orang-orang yang begitu bersemangat untuk berinovasi dan bereksperimen. Dengan mempertemukan dengan investor yang tepat, inovasi dan risetnya dapat lebih terjamin keberlanjutannya.
  • Mengapa investor cenderung dari kalangan non-birokrasi yang disampaikan pada publikasi tersebut? Karena di sini benar-benar membutuhkan investor yang memiliki visi ke depan, dengan artian mereka harus paham betul bagaimana lingkungan kewirausahaan (khususnya teknologi) berproses.
  • Berbicara tentang ekosistem kewirausahaan tidak melulu berbicara tentang infrastruktur bangunan. Membangun spirit kewirausahaan menjadi fokus yang harus lebih diutamakan.
  • Universitas berperan penting menciptakan keluaran calon pengisi ekosistem kewirausahaan. Di sini pusat Research & Development juga mungkin untuk dipusatkan guna mengakselerasi keluaran pemuda berbakat.
  • Kepribadian diciptakan saat berproses di universitas.
  • Termasuk hadirnya “kutu buku” di atas, merupakan hasil keluaran dari pemrosesan di universitas atau sekolah.
  • Pemuda menjadi pendorong utama.
  • Setiap proses memerlukan waktu, dan setiap keputusan memerlukan momentum atau waktu yang tepat.
  • Menciptakan iklim persaingan yang sehat.

Mematangkan komponen ekosistem kewirausahaan nasional

Presiden Jokowi bercita-cita membawa Indonesia menjadi pasar pertumbuhan besar di Asia berikutnya, mendampingi Tiongkok dan India. Beberapa indikasi positif seperti dikucurkannya investasi besar untuk startup lokal menjadi salah satu yang membuat berbagai pihak optimis, tapi saat berbicara angka jika dibanding dengan Tiongkok dan India masih sangat jauh, bahkan jika dibanding dengan Singapura.

Tercatat investasi di Indonesia mencapai $61,9 juta per Oktober tahun ini, sementara itu di periode yang sama Tiongkok menarik modal $12,8 miliar dan India $2,7 miliar di periode yang sama. Masih sangat jauh.

Salah satu alasan yang masih menghambat ialah peraturan di Indonesia yang dianggap masih menyulitkan. Seperti yang diungkapkan investor yang berbasis Bangkok Adrian Vanzyl, yang juga mengelola Ardent Capital, peraturan yang dimaksud lebih kepada perijinan dan perpajakan.

Namun seiring dengan perjalanan waktu, pemerintah pun mulai memberikan kemudahan untuk hal tersebut. Melalui beberapa kebijakan ekonomi terbaru, izin investasi asing juga mulai diperlonggar dengan tetap mengedepankan unsur yang menguntungkan kebutuhan nasional.

Venture capital kini juga makin bertumbuh di Indonesia, siap berinvestasi untuk karya potensial anak bangsa, mulai dari penanam modal internasional ala Sequoia dan 500 Startups, hingga konglomerat lokal ala Lippo Group, Sinar Mas dan Bakrie Group. Kesadaran pebisnis individu untuk menjadi Angel Investor kini juga sudah mulai bertumbuh di Indonesia.

Membangun ekosistem teknologi seperti Silicon Valley membutuhkan waktu. Kendati menampilkan potensi yang baik, mempersiapkan berbagai komponen untuk menjadi lebih maksimal menjadi pilihan yang lebih bijak untuk memaksakan berdirinya sebuah inkubasi besar namun prematur.

Startup Jungkir Balik Sendirian dalam Ekosistem Buruk di Daerah (Bagian 2)

Startup daerah masih jungkir balik dalam ekosistem buruk / Shutterstock

Saya memahami kenapa penggiat startup di Jakarta menitikberatkan pembicaraan pada pendanaan atau investor. Secara teritori, market dan user di Jakarta sudah terbentuk, begitu pula dengan investornya yang sudah bermunculan, meskipun investor startup lebih didominasi investor luar. Untuk startup di daerah seperti saya, market dan investor itu belum terbentuk, apalagi regulator, walau dari segi ukuran user sangat prospektif.

Continue reading Startup Jungkir Balik Sendirian dalam Ekosistem Buruk di Daerah (Bagian 2)

Startup Jungkir Balik Sendirian dalam Ekosistem Buruk di Daerah (Bagian 1)

Startup di daerah jungkir balik tanpa dukung ekosistem yang baik / Flickr - Martin Fisch

Sebagai pendiri dan pemilik startup Social Lab (dulu bagian Discover Borneo) di Balikpapan, Kaltim, saya merasakan sendiri betapa beratnya membangun startup dalam ekosistem yang tidak mendukung. Pendanaan (funding) dan infrastruktur justru bukan masalah utama. Persoalan besarnya ada di mentor, promoter, network, inkubator, akselerator dan regulator. Investor justru belakangan. Faktor-faktor di atas saling terhubung secara mutual dalam sebuah ekosistem. Dan ekosistem inilah yang paling penting.

Continue reading Startup Jungkir Balik Sendirian dalam Ekosistem Buruk di Daerah (Bagian 1)

Compass Ajak Penggiat Startup di Indonesia Berpartisipasi dalam Survei Ekosistem Startup Global 2015

2015 Startup Ecosystem Report / Compass

Tiga tahun yang lalu, Compass yang berbasis di Silicon Valley membuat laporan tentang Ekosistem Startup  (Startup Ecosystem Report) 2012. Tahun ini mereka akan membuat laporan serupa dan mengajak penggiat startup di Indonesia, untuk pertama kalinya, berpartisipasi. Cukup meluangkan 10 menit untuk merepresentasikan kondisi ekosistem startup di Indonesia dengan mengakses http://startup-ecosystem.compass.co/.

Continue reading Compass Ajak Penggiat Startup di Indonesia Berpartisipasi dalam Survei Ekosistem Startup Global 2015

Sinergi Aplikasi dengan Facebook Timeline Bantu Ekosistem Startup Teknologi untuk Berkembang

Mark Zuckerberg dalam keynote-nya mengumumkan pembaruan terhadap Facebook yang ada sekarang di ajang F8 2011. F8 adalah ajang konferensi pengembang (developer conference) yang diadakan secara tahunan. Anda yang berminat melihat lengkap video keynote-nya dapat mengakses laman F8. Ada dua hal besar yang menarik untuk konsumen dan pengembang. Yang pertama adalah tampilan bernama Timeline, sementara yang kedua adalah sinergi status dan update Facebook dengan aplikasi yang berkoneksi melalui API.

Yang pertama adalah Timeline. Dengan Timeline, tampilan profil Anda akan muncul seperti open book. Cerita, foto, video, semuanya tertampil secara panjang ke bawah. Anda tidak lagi kesulitan untuk mencari momen penting dari teman Anda karena semuanya terpapar di laman profilnya. Tentunya buat kebanyakan orang, ini bakal menjadi issue terutama berkaitan soal privasi. Oleh karena itu sudah saatnya Anda berpikir dua kali saat meng-approve setiap friend request yang masuk karena mereka nantinya memiliki akses untuk melihat segala sesuatu yang tertampil di profil Anda ini.

Continue reading Sinergi Aplikasi dengan Facebook Timeline Bantu Ekosistem Startup Teknologi untuk Berkembang