Cerita DapurGo, Startup Katering Online di Yogyakarta

Transformasi digital di era pandemi seperti sekarang ini adalah sebuah kewajiban. Teknologi, selain bisa memudahkan juga bisa mengangkat daya saing sebuah bisnis. DapurGo adalah salah satu yang membuktikannya.

Bermula sebagai bisnis katering “konvensional” pada tahun 2018, DapurGo mulai menerapkan teknologi digital untuk pemesanannya. Implementasi tersebut membuat DapurGo kini mampu mengirimkan 2500 kotak makan siang dan malam setiap harinya untuk melayani pelanggan di wilayah Yogyakarta.

DapurGo adalah startup yang digagas oleh Pirli Wahyu dan Eka Setyawati. Dengan pendanaan awal yang didapatkan dari beberapa investor mereka mulai melakukan peningkatan pengalaman pengguna dan penetrasi pasar agar bisa mendapatkan lebih banyak pengguna.

“Kami sadar saat ini sudah banyak kompetitor sehingga peta persaingan di Industri ini cukup ketat. Namun yang membedakan kami dengan yang lainnya adalah affordability dan quality. Karena kami mencoba memberikan makanan terbaik dengna harga yang tetap ekonomis kepada kalangan mahasiswa dan karyawan kantoran. Kami juga berupaya memberikan customer experience yang baik, dengan memilih membangun dapur dan memiliki kuasa penuh terhadap kualitas makanan yang disajikan,” terang Eka.

Sejak pertama berdiri hingga sekarang, DapurGo beroperasi di wilayah Provinsi Yogyakarta dengan pelanggan yang datang dari kalangan mahasiswa, pekerja kantoran, hingga penghuni indekos. Mereka juga memiliki dapur independen yang berada di daerah Godean, Sleman, dan Yogyakarta.

Digitalisasi untuk mudahkan pengguna

Implementasi teknologi di DapurGo paling terlihat dari sisi kehadiran situs web mereka. Di sana dipaparkan informasi seputar menu, customer service, hingga informasi mengenai promo-promo yang sedang berlaku.

Melayani lebih dari 2000 pengguna DapurGo mengandalkan pilihan menu yang berganti setiap minggunya. Sehingga pelanggan yang mengambil pilihan berlangganan tidak bosan dan tetap mendapatkan makanan yang berkualitas. Untuk saat ini, sebagai bisnis katering DapurGo akan berbagi “kue” dengan bisnis makanan lain yang mulai memanfaatkan teknologi dengan mengandalkan layanan pesan antar dari layanan seperti GoFood maupun GrabFood.

DapurGo sendiri memilih menggunakan pengantaran pribadi untuk lebih melakukan efisiensi. Sehingga makanan yang di antar bisa tepat waktu (untuk makan siang dan makan malam) dan kualitas makanan yang diantarkan tetap terjaga.

Sebelumnya, di Yogyakarta untuk pasar katering online atau layanan pesan antar juga ada makandiantar.com. Waktu itu (medio 2014-2015) karena pasar dianggap masih sepi, mereka memutuskan untuk “boyongan” ke Jakarta dengan nama Kulina, dan hingga sekarang masih eksis sebagai salah satu layanan katering online. Selain itu sempat ada nama-nama seperti owl-kitchen (layanan sudah tidak bisa diakses) dan PesanSaja (berubah menjadi layanan COD untuk oleh-oleh).

Pasar makanan dulu dan sekarang tentu berbeda. Budaya yang ditumbuhkan oleh GoFood dan GrabFood tidak bisa dimungkiri menjadi salah satu faktornya. Masyarakat sekarang jadi lebih percaya dan beberapa nyaman dengan membeli makanan via online. Belum lagi integrasi dengan berbagai macam pilihan pembayaran tentu menjadi salah keunggulan dalam bertransaksi.

“Tantangan yang kami hadapi saat ini ialah lokasi dapur kami yang berada di lokasi pemukiman serta agak sedikit jauh dari perkotaan, sehingga setiap harinya kami perlu menghitung dan memprediksi waktu tempuh kurir tiba di lokasi pengantaran tepat waktu agar makanan yang disajikan tetap fresh sehingga enak untuk disantap. Selebihnya masih relatif sama seperti halnya perusahaan rintisan lainnya dalam menjalankan bisnisnya,” lanjut Eka.

Kini dengan pengalamannya dan apa yang telah dicapai selama ini DapurGo berencana untuk melakukan penggalangan dana baru untuk bisa mendukung rencana mereka melakukan penambahan dapur baru di titik strategis di Yogyakarta dan ekspansi ke pasar baru seperti Jakarta, Banten, dan sekitarnya.

Platform Logistik Prahu-Hub Mudahkan Pengiriman Barang Antar Pulau

Masih besarnya biaya pengiriman dalam negeri menjadi salah satu alasan mengapa platform digital logistik Prahu-Hub didirikan. Berdiri sejak tahun 2017, mereka hadir sebagai marketplace yang didesain untuk membantu masyarakat Indonesia yang ingin mengirim barang menggunakan kontainer.

Kepada DailySocial Founder Prahu-Hub Benny Sukamto mengungkapkan, saat ini untuk biaya pengiriman dalam negeri biayanya cukup besar dan lebih sulit dibandingkan pengiriman barang ke luar negeri. Tingginya biaya logistik tentunya akan berpengaruh terhadap melemahnya kekuatan dagang dalam negeri dan meningkatkan ketergantungan kepada luar negeri.

“Prahu-Hub hadir sebagai marketplace yang mempertemukan pengirim barang domestik antar pulau (shipper) dan penyedia jasa pengiriman (ekspedisi, pelayaran, dan trucking). Dari pemesanan yang terjadi di marketplace kami, akan dikenakan biaya administrasi yang dibebankan kepada partner kami, dalam hal ini adalah penyedia jasa pengiriman,” kata Benny.

Secara khusus Prahu-Hub memfokuskan hanya kepada pengiriman domestik antar pulau saja. Hal ini yang membedakan layanan Prahu-Hub dari layanan logistik lainnya.

Saat ini Prahu-hub telah memiliki lebih dari 400 pengirim barang yang telah menggunakan layanan, dan setiap minggu situs web telah dikunjungi 1500 calon pengirim barang. Layanan Prahu-Hub mencakup dari Sabang sampai Merauke. Prahu-Hub juga telah melayani lebih dari 900 pengguna yang telah menggunakan platform sebagai jasa pengiriman barang kepercayaan mereka.

Untuk mempercepat pertumbuhan bisnis, perusahaan belum memiliki rencana untuk melancarkan kegiatan penggalangan dana. Namun Prahu-Hub tidak menutup kemungkinan jika adanya investor yang tepat untuk bergabung bersama membangun bisnis Prahu-Hub.

“Untuk penggalangan dana, kami belum merencanakan secara spesifik. Tetapi kami membuka komunikasi dengan investor yang share our view and want to grow together,” kata Benny.

Pandemi dan Alibaba Netpreneur

Founder Prahu-Hub Benny Sukamto
Founder Prahu-Hub Benny Sukamto

Disinggung seperti apa pertumbuhan bisnis Prahu-Hub saat pandemi, Benny menegaskan logistik adalah salah satu sektor yang dapat bertahan di masa pandemi ini. Tetapi ketersediaan barang dan kebutuhan barang memang mengalami penurunan di luar pulau, tidak hanya di pulau Jawa selama masa pandemi ini. Sehingga banyak sedikit akan berpengaruh pada volume pengiriman antar pulau.

Tahun 2019 lalu Prahu-Hub terpilih menjadi Alibaba Netpreneur dari Indonesia. Banyak pengalaman kemudian yang didapatkan oleh Prahu-Hub, startup yang didirikan oleh Benny Sukamto, setelah sepuluh tahun tinggal dan bekerja di Amerika Serikat di bidang software intelegensi bisnis, Benny kembali ke Indonesia dan mengembangkan bisnis logistiknya.

“Dengan mengikuti Netpreneur training class #1 dari Indonesia di kantor pusat Alibaba, saya mendapatkan banyak pengalaman memulai suatu startup dan mentransformasi perusahaan “brick and mortar” into digital company to survive in the long run,” kata Benny.

KitaBeli Optimis Model “Team Buying” Bisa Diterima di Tengah Kematangan Pasar E-commerce

Berdasarkan laporan yang dibuat Econsultancy bersama Magento dan Hootsuite pada bulan Oktober 2019 berjudul “The State of Social Commerce in Southeast Asia”, industri social commerce diproyeksikan akan bertumbuh signifikan. Dengan lebih dari 350 juta pengguna internet di Asia Tenggara dan 90% masyarakat terhubung ke internet menggunakan smartphone, peluang untuk bertransaksi sangatlah besar.

Pandemi juga menjadi pemancing positif kepada startup yang menyasar social commerce. Besarnya demand dilengkapi dengan penggunaan media sosial hingga model pembelian secara bersama (team buying), menjadi sangat ideal bagi startup yang menyasar social commerce untuk tumbuh secara positif. Salah satu startup yang mencoba untuk menghadirkan layanan tersebut adalah KitaBeli.

Fokus kepada konsep “team buying”

KitaBeli didirikan oleh Prateek Chaturvedi, Ivana Tjandra, Subhash Bishnoi, dan Gopal Singh Rathore pada Maret 2020. Platform tersebut memfasilitasi pembelian barang kebutuhan pokok, FMCG, dan produk kebutuhan rumah tangga lain—secara berkelompok (team buying). Pengguna aplikasi KitaBeli mengundang kenalannya untuk membentuk grup, kemudian membeli produk bersama dengan potongan harga.

“Memperhatikan bahwa platform lain tidak fokus pada berbagi dan aspek sosial pembelian, kami memutuskan untuk memulai KitaBeli dan memungkinkan pengguna Indonesia untuk melakukan hal ini dengan lebih baik secara online,” kata Co-founder KitaBeli Prateek Chaturvedi.

Pendekatan yang langsung ke pelanggan akhir (direct-to-consumer) membuat KitaBeli berbeda dengan pemain social commerce lain di Indonesia. Pengguna langsung memesan barang di aplikasi, bukan melalui agen atau reseller. Cara ini membuat KitaBeli mampu membangun loyalitas pelanggan dan model bisnis yang lebih menguntungkan. Di platform lain kebanyakan pengguna diharuskan untuk berbicara dengan pemasok, mengonfirmasi stok, dan lainnya. Proses tersebut dapat memakan waktu berjam-jam.

“Kami juga melakukan pengiriman cepat. Semua pesanan dikirim dalam 2 hari dengan biaya yang sangat rendah. Dengan konsep berbagi dan mengajak teman Anda untuk bergabung dengan aplikasi, pengguna kami mendapatkan lebih banyak diskon. Mereka juga bisa melihat apa yang dibeli temannya, dan bergabung dengan grup teman tersebut, untuk mendapatkan harga yang lebih murah,” kata Prateek.

KitaBeli kini telah beroperasi di area Jabodetabek, dengan jumlah pelanggan yang tumbuh dengan pesat. Model pembelian berkelompok mendorong pengguna untuk mengajak kenalannya untuk bergabung dan mengunduh aplikasi KitaBeli. Selain itu, nilai transaksi per pengguna di aplikasi KitaBeli terus tumbuh setiap bulan.

“Pengguna KitaBeli suka dengan fitur sosial KitaBeli. Mereka juga puas dengan kecepatan pengiriman barang, 95% dari pesanan diantar dalam 2 hari. Dari Jakarta, kami berencana untuk segera memperluas layanan ke kota-kota lain, termasuk kota tier 2-4,” kata Co-founder KitaBeli Ivana Tjandra.

Pendanaan tahapan awal

Akir bulan Agustus 2020, KitaBeli mengumumkan pendanaan tahapan awal dengan nilai yang tidak dipublikasikan. Dalam putaran yang dipimpin oleh East Ventures, AC Ventures bergabung ronde pendanaan tersebut dengan partisipasi dari beberapa angel investor. Selain memperluas area layanan ke kota tier 2-4, penerapan teknologi dengan mengembangkan produk menjadi rencana dari perusahaan selanjutnya.

“Kami berfokus untuk menciptakan pengalaman pengguna yang luar biasa, dan meningkatkan loyalitas pengguna. Pengguna kami sangat menyukai aplikasi ini. Setiap bulan mereka membeli lebih banyak dari kami, dan sangat sering membeli. Ini lebih penting bagi kami sekarang daripada jumlah pengguna,” kata Prateek.

Tim KitaBeli berbasis di India dan Indonesia, terdiri dari tim teknologi di Bengaluru serta tim operasional dan tim pemasaran di Jakarta. Sebelum mendirikan KitaBeli, Prateek adalah founder Getfocus.in, perusahaan SaaS penyedia solusi pemasaran B2B asal India yang diakuisisi Moka pada 2018. Adapun, Ivana berpengalaman mengembangkan bisnis dan vertikal baru untuk Bridestory dan Handy.

“KitaBeli memperkenalkan team buying ke salah satu pasar ecommerce dengan pertumbuhan paling pesat. Kami antusias untuk bermitra dengan Prateek dan Ivana, membawa cara berbelanja baru ini ke konsumen Indonesia,” kata Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

“Pengalaman ini mendorong pembelian barang kebutuhan pokok harian dengan frekuensi tinggi. Prateek dan Ivana adalah entrepreneur yang berpengalaman dan visioner dengan keahlian operasional di pasar lokal. Mereka ada di posisi terbaik untuk membangun cerita teknologi consumer selanjutnya di Indonesia,” kata Managing Partner AC Ventures Adrian Li.

Application Information Will Show Up Here

Jago Coffee Presents A New Breakthrough in the Coffee Industry With “Mobile Cafe Chain” Concept

Coffee has now become a lifestyle for Indonesian people, not just a drink to keep you awake. Even though this segment has diverse players, there are still some gaps to be explored, as what Jago Coffee‘s working on.

The startup was founded by Yoshua Tanu (CEO) and Christopher Laurence Oentojo (CTO). Yoshua alone is a barista and business owner of the St. Ali coffee and Common Grounds Coffee Roastery, while Christopher was ex-Gojek’s VP of Product.

Yoshua told DailySocial, the reason behind the mobile coffee chain concept is actually to bring coffee closer to consumers without having to visit a coffee shop or wait for online order. He said, online courier makes it easier for people to order coffee, however, the high-quality coffee might be at stake on the way.

“We want to offer high-quality coffee freshly made by personal baristas who come directly to consumers. With a cheaper price, we use high-quality ingredients, direct trading from local coffee farmers, we use Arabica coffee, fresh milk, and no canned products,” he explained, Thursday (13/8).

Jago coffee order is a whole digital experience through the application and connected to Gopay digital wallet for payment. The application will directly connect the closest Jago partner device from the consumer’s location.

Partners will go to the location and prepare orders on the spot and deliver them, therefore, consumers don’t have to visit the cafe. Some menu is available at IDR 18 thousand, from “So So Good” or iced coffee with milk, “Tanah Airku” a.k.a a brew of cold coffee with a little cinnamon, “Something Fresh” or hot black coffee, and “Something Fruity” filled with hot black coffee with a fruity taste.

UI/UX Aplikasi Jago Coffee / Jago Coffee
Jago Coffee App UI/UX / Jago Coffee

Empowering micro business

Another mission Yoshua aims to deliver is to empower micro-entrepreneurs to own their own businesses by becoming Jago partners. They are trained to be professional baristas as well as business owners.

Before going to the field, the partners will be trained for two weeks to learn soft skills to hard skills to serve consumers, how to brew coffee, and practice riding the bicycle itself. The reason is, Jago uses electric bikes for partner vehicles to meet consumers.

For every bicycle unit, partners can sell up to 125 cups with a distance of up to 35 km. This bike comes from a partnership between the company and an electric bicycle developer.

“We created this partnership program based on aspirations coming from the barista association members that they want to have their own shop. However, it will be difficult if there is no ‘name’ for marketing. Then, we introduce them to micro business owners.”

In addition, he wants to promote “cart” micro-entrepreneurs as the perception that they come from the lower economic circles. He said, they are quite confident that Jago’s coffee products are of high quality and are connected to technology.

Yoshua said partners who want to join are free of charge. They will get a starter kit to start a business worth IDR 4 million, consisting of a set of manual brewing tools (electric kettle, V60 plastic dripper, range server, digital scale, and paper filter); bicycle helmet; sling bag; microfiber cloth and plas chamois; and jackets.

All starter kits will be proprietary with an installment scheme of 12 months. Meanwhile, electric bikes will be lent as long as they’re listed as Jago’s partner. Jago will provide coffee beverage products for sale by partners and the company will get a fee for each successful sale.

“Currently we have 14 Jago partners with a radius of 8 km from Kuningan, Jakarta which can reach Pondok Indah, the North area, to Monas.”

Plans and challenges

Jago Coffee offers quite a “fresh” concept from what most coffee shop players offer. They generally rely on physical assets to bring them closer to consumers and open online stores or applications for online courier delivery. Meanwhile, Jago chose the mobile outlet concept to make it easier to reach consumers.

“We can sell at low prices because we don’t have overhead costs, labor costs because the partner is the owner and operator. They are self-employed.”

Yoshua said, since this is quite new, the company’s challenge is to educate consumers, even though the products are delivered by “modern carts” but the quality of the coffee is fresh and of high quality. Also supported by digital applications for the backbone.

The company plans to continue adding partners with targeting five people per month. He did not want it to be very aggressive to maintain the amount of supply and demand. The menu development will not be limited to coffee variations, but will spread to foods, such as snacks.

As an entity, Jago Coffee has received an undisclosed amount of investment from Common Grounds, a company where Yoshua leads. It creates the possibility of external funding next year.

“It is just an investment, Common Grounds as an investor, each entity stands alone,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bawa Terobosan Baru di Bisnis Kopi Kekinian, Jago Coffee Terapkan Konsep “Mobile Cafe Chain”

Minum kopi bagi orang Indonesia kini sudah menjadi gaya hidup, bukan lagi sekadar minuman penghilang kantuk. Meski pemain di segmen ini sudah beragam, masih ada celah yang bisa dikembangkan, seperti yang kini diupayakan oleh Jago Coffee.

Startup ini didirikan oleh Yoshua Tanu (CEO) dan Christopher Laurence Oentojo (CTO). Yoshua sendiri merupakan barista dan pemilik usaha dari kafe kopi St. Ali dan Common Grounds Coffee Roastery, sementara Christopher sebelumnya bekerja di Gojek sebagai VP of Product.

Kepada DailySocial, Yoshua menceritakan bahwa alasan di balik konsep mobile coffee chain sebenarnya keinginan untuk mendekatkan kopi kepada konsumen tanpa harus datang ke gerai kopi atau menunggu dari pesanan kurir online. Kurir online menurutnya memang memudahkan orang untuk memesan kopi, tapi ada yang harus dikorbankan, yakni turunnya kualitas rasa kopi.

“Kami ingin menawarkan kopi berkualitas tinggi freshly made oleh barista pribadi yang datang langsung ke konsumen. Harga kopi kami meski lebih murah, tapi menggunakan bahan-bahan berkualitas tinggi, direct trading dari petani kopi lokal, kami pakai kopi arabika, susu segar, dan tidak ada produk dari kaleng,” terangnya, Kamis (13/8).

Pemesanan kopi Jago dilakukan sepenuhnya secara digital melalui aplikasinya dan sudah terhubung dengan uang elektronik Gopay untuk pembayarannya. Aplikasi akan menghubungkan langsung ke perangkat mitra Jago terdekat dari lokasi konsumen.

Mitra akan mendatangi lokasi dan menyiapkan pesanan di tempat dan mengantarkannya, sehingga konsumen tidak perlu pergi ke kafe. Menu kopi yang bisa dinikmati seharga Rp18 ribu, dengan pilihan mulai dari “So So Good” atau es kopi susu, “Tanah Airku” yang merupakan seduhan kopi dingin dengan sedikit kayu manis, “Something Fresh” atau kopi hitam panas, dan “Something Fruity” yang isinya adalah kopi hitam panas dengan rasa buah.

UI/UX Aplikasi Jago Coffee / Jago Coffee
UI/UX Aplikasi Jago Coffee / Jago Coffee

Berdayakan pengusaha mikro

Misi lainnya yang ingin Yoshua salurkan adalah memberdayakan pengusaha mikro untuk memiliki bisnis sendiri dengan menjadi mitra Jago. Mereka dilatih menjadi barista profesional sekaligus pemilik bisnis.

Sebelum terjun ke lapangan, mitra tersebut akan dilatih selama dua minggu untuk mempelajari kemampuan soft skill hingga hard skill untuk melayani konsumen, cara menyeduh kopi, hingga berlatih menaiki sepeda itu sendiri. Pasalnya, Jago memanfaatkan sepeda elektrik untuk kendaraan mitra menemui konsumennya.

Setiap satu unit sepeda, mitra dapat menjual hingga 125 cup dengan jarak tempuh hingga 35 km. Sepeda ini adalah hasil kemitraan perusahaan dengan pengembang sepeda elektrik.

“Program kemitraan ini kami buat karena ada aspirasi yang datang dari anggota asosiasi barista bahwa mereka ingin punya kedai sendiri. Tapi itu akan susah kalau belum ada ‘nama’ untuk marketing-nya. Jadi kami perkenalkan mereka sebagai micro business owner.”

Di tambah, ia ingin memajukan pengusaha mikro “gerobakan” dari persepsi datang dari kalangan ekonomi bawah. Menurutnya, mereka sekarang memiliki kepercayaan tinggi bahwa produk kopi yang dijual Jago punya kualitas tinggi dan sudah terhubung dengan teknologi.

Yoshua mengungkapkan mitra yang ingin bergabung tidak dikenakan biaya. Mereka akan mendapat starter kit untuk memulai usaha senilai Rp4 juta yang terdiri dari satu set alat manual brewing (electric kettle, V60 plastic dripper, range server, digital scale, dan paper filter); helm sepeda; sling bag; lap mikrofiber dan plas chamois; dan jaket.

Seluruh starter kit akan menjadi hak milik dengan skema cicilan selama 12 bulan. Sementara sepeda elektrik akan dipinjamkan selama menjadi mitra Jago. Jago akan menyediakan produk minuman kopi untuk dijual mitra dan perusahaan akan mendapat fee dari setiap penjualan yang berhasil.

“Saat ini kita ada 14 mitra Jago dengan radius 8 km dari Kuningan, Jakarta yang bisa jangkau ke Pondok Indah, daerah Utara, hingga Monas.”

Rencana dan tantangan Jago

Konsep yang ditawarkan Jago Coffee bisa dibilang segar dari apa yang ditawarkan pemain kedai kopi kebanyakan. Umumnya mereka mengandalkan aset fisik untuk mendekatkan mereka dengan konsumen dan membuka toko online atau aplikasi untuk pengiriman dengan kurir online. Sementara Jago memilih konsep gerai mobile agar dapat lebih mudah jemput bola.

“Kita bisa jual harga rendah karena kita enggak ada overhead cost, labor cost karena mitra itu owner sekaligus operator. Mereka sendiri yang meng-operate.”

Yoshua menuturkan karena ini masih baru maka tantangan perusahaan adalah mengedukasi kepada konsumen, meski produk diantarkan dengan “gerobak modern” tapi kualitas kopi yang disajikan fresh dan berkualitas tinggi. Juga dibantu aplikasi digital untuk backbone-nya.

Perusahaan berencana untuk terus menambah mitra dengan target tambahan lima orang per bulannya. Ia tidak ingin penambahan terlalu agresif untuk menjaga jumlah supply dan demand. Untuk pengembangan menu nantinya tidak akan terbatas di variasi kopi saja, tapi akan menyebar ke makanan, seperti snack.

Secara entitas, Jago Coffee telah menerima investasi dengan nilai dirahasiakan dari Common Grounds, perusahaan yang Yoshua pimpin sendiri. Ia membuka kemungkinan untuk melakukan pendanaan eksternal pada tahun depan.

“Bentuknya sebagai investasi saja, Common Grounds sebagai investornya, masing-masing entitas berdiri sendiri,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

IUIGA E-commerce to Arrive in Indonesia, Bags Funding from Konimex Group

The Singapore-based e-commerce platform, selling various personal and household items, IUIGA has officially launched in Indonesia. This expansion is undergone after successfully securing funding from Konimex Group with undisclosed details.

The business model is, they work together with manufacturers of manufacturing designs, then do branding and sell their products online.

The IUIGA team said this concept was implemented in order to produce quality products at affordable prices. “IUIGA works closely with factories to produce quality products which will be labeled with IUIGA goods.”

“IUIGA collaborates with more than 400 ODM (Original Design Manufacturer) factories [..] Unlike Contract Manufacturers, ODM is a factory with the capability and license in product design and development,” IUIGA Indonesia’s Managing Director William Firman explained.

With a focus on the supply of goods from ODM, IUIGA considers not to have a product development team for product design and development are carried out by factories.

“The existence of an integrated technology and information system allows consumers to experience the first online-to-offline experience in Indonesia that prioritizes self-service technology and information transparency, therefore, every consumer can understand the value obtained from every price paid for an IUIGA product,” William added.

Quality and price transparency as leading features

Although Indonesian e-commerce is one of the rapid-growing industries, the competition is quite tight. In response to this, IUIGA comes with some differentiation, such as converting distribution channels to direct-to-consumer.

With the change in distribution channels, IUIGA claims to be able to cut prices for goods. For example, previously on the market, it could reach 8 to 15 times the production price, now it is only 1.6 to 2 times.

“At IUIGA, we allow consumers to know the cost component of each IUIGA product through the transparent pricing feature. The transparent pricing feature contains information on production costs, profits, and traditional retail price comparisons of each IUIGA product,” William explained.

In Indonesia, IUIGA offers 11 product categories, from home living to personal care. Apart from being accessible through the website and mobile application, IUIGA will also open a physical store to enhance the user experience.

“We will deliver from our warehouse in Jakarta. In addition, we have collaborated with several delivery services to reach IUIGA customers throughout Indonesia. Our delivery providers are divided into instant, same day, next day, and regular,” he explained.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Dapat Pendanaan dari Konimex Group, Platform E-commerce IUIGA Masuk Indonesia

Platform e-commerce asal Singapura yang menjual berbagai barang pribadi dan perlengkapan rumah IUIGA meresmikan kehadirannya di Indonesia. Ekspansi ini ditempuh setelah berhasil mengamankan pendanaan dari Konimex Group dengan detail yang tidak disebutkan.

Konsep bisnisnya, mereka bekerja sama dengan produsen desain manufaktur, kemudian melakukan branding dan menjualkan produk-produk mereka secara online.

Tim IUIGA menyampaikan konsep bisnis ini diterapkan demi menghasilkan produk berkualitas dengan harga yang terjangkau. “IUIGA bekerja sama dengan pabrik-pabrik untuk menghasilkan produk berkualitas yang kemudian dilabeli dengan barang IUIGA.”

“IUIGA bekerja sama dengan lebih dari 400 pabrik ODM (Original Design Manufacturer) [..] Berbeda dengan Contract Manufacturer, ODM merupakan pabrik yang memiliki kapabilitas dan lisensi dalam desain dan pengembangan produk,” jelas Managing Director IUIGA Indonesia William Firman.

Dengan fokus pada pasokan barang dari ODM, IUIGA merasa tidak perlu memiliki tim product development karena desain dan pengembangan produk dilakukan oleh pabrik.

“Adanya sistem teknologi dan informasi yang terintegrasi membuat konsumen dapat merasakan pengalaman online-to-offline pertama di Indonesia yang mengedepankan teknologi self-services dan transparansi informasi, sehingga setiap konsumen dapat memahami value yang didapatkan dari setiap harga yang dibayarkan untuk sebuah produk IUIGA,” imbuh William.

Kualitas dan transparansi harga menjadi unggulan

Kendatie-commerce di Indonesia menjadi salah satu industri yang berkembang cukup pesat, persaingan di dalamnya pun cukup ketat. Menyadari hal itu IUIGA membawa sejumlah keahlian mereka, seperti mengubah jalur distribusi menjadi direct-to-consumer.

Dengan perubahan jalur distribusi tersebut, IUIGA mengklaim mampu memangkas harga barang. Misalnya, yang semula di pasaran bisa mencapai 8 hingga 15 kali dari harga produksi, kini menjadi 1,6 hingga 2 kali saja.

“Di IUIGA kami memungkinkan konsumen untuk dapat mengetahui komponen biaya dari setiap produk IUIGA melalui fitur transparent pricing. Fitur transparent pricing memuat informasi biaya produksi, profit, dan komparasi harga tradisional ritel dari setiap produk IUIGA”, terang William.

Di Indonesia IUIGA menawarkan 11 kategori produk, mulai dari home living hingga personal care. Selain bisa diakses melalui website dan aplikasi mobile IUIGA juga akan membuka toko fisik untuk meningkatkan pengalaman pengguna.

“Kami akan melakukan pengiriman melalu gudang kami di Jakarta. Selain itu kami sudah bekerja sama dengan beberapa delivery provider untuk menjangkau pelanggan IUIGA di seluruh Indonesia. Untuk delivery provider yang kami miliki terbagi menjadi instant, same day, next day, dan reguler,” jelas William.

Application Information Will Show Up Here

Modular Kembangkan Platform Acara Online Menggunakan Augmented Reality

Pandemi Covid-19 memaksa hampir semua konser musik ditunda, dibatalkan, atau dialihkan ke panggung virtual. Belum lama ini, Menteri Kesehatan telah mengeluarkan anjuran tentang protokol kesehatan bagi masyarakat di tempat dan fasilitas umum, namun pengalaman yang ditawarkan sangatlah terbatas. Untuk mengisi keterbatasan ini, Modular dikembangkan sebagai inovasi online event berbasis augmented reality (AR).

Ide pembuatan Modular muncul dari CEO Modular Hendra Araji yang mendapat inspirasi setelah melihat beberapa referensi penggunaan teknologi AR di luar negeri.

“Kami melihat ini peluang di mana sudah banyak ide-ide kreatif implementasi AR di industri hiburan di luar negeri. Kami ingin mengajak user untuk bisa menikmati pengalaman berinteraksi dengan musisi atau karya dengan cara yang baru, di mana pun.” tambahnya.

Penerapan augmented reality

Modular menggunakan teknologi AR untuk memungkinkan pengguna menambahkan objek virtual ke dunia nyata. Pemanfaatan teknologi AR sendiri masih terhitung jarang di Indonesia. Pihaknya mengaku, aplikasi ini diciptakan sebagai bentuk adaptasi akan perubahan kondisi dunia saat ini dan sebagai gerbang pemasukan baru bagi industri musik.

Dalam prosesnya, untuk setiap musisi atau seniman lain yang melakukan pertunjukkan di Modular, sebelumnya mereka akan melakukan shooting untuk kemudian ditambahkan ke 3D stage yang sudah didesain. Nantinya artis dan 3D stage itu bisa muncul dan dilihat dengan cara user mengarahkan gawai mereka sampai muncul marker penanda di dalam aplikasi Modular.

Dari sisi pengguna, setelah mengunduh dan menginstal aplikasi Modular, mereka bisa memilih menonton konser musisi yang diinginkan beserta lagunya. Setelah itu, akan muncul tampilan menggunakan kamera belakang dan akan diminta untuk menempatkan 3D Stage yang sudah dibuat. Lalu, akan terlihat musisi beserta 3D stage-nya. Fitur ini juga dilengkapi dengan kapabilitas untuk merekam layar dan langsung berbagi ke media sosial.

Aplikasi Modular sendiri sudah diluncurkan sejak bulan Maret 2020. Namun, saat ini pengguna aplikasi Modular masih terbatas untuk perangkat flagship di platform iOS dan Android.

Erdy Suryadarma selaku Creative Product Manager Modular turut menyampaikan, “Terkait hal ini, kami terus melakukan edukasi kepada user kami terkait keterbatasan perangkat yang ada agar tidak terjadi miskomunikasi di kalangan user.”

Model bisnis dan rencana ke depan

Dalam hal model bisnis, Modular sendiri memiliki beberapa skema. Selain ticket management fee untuk konser berbayar, pihaknya juga menawarkan skema sponsorship untuk rekanan yang mau melakukan brand placement pada acara yang digelar dalam platform Modular.

Dalam beberapa bulan ke depan, Modular berinisiatif untuk menyelenggarakan konser sendiri termasuk manajemen tiket, juga manajemen konten. Terkait bentuk online event, pihaknya mengakui mulai terbuka dengan opsi lain, tidak hanya konser musik saja.

Mengenai pendanaan, Erdy mengungkapkan, “Saat ini kami masih bootstraping, tapi sedang membuka kesempatan untuk seed funding.”

Application Information Will Show Up Here

Startup Marketplace Bahan Pangan TokoWahab Pilih Tumbuh secara Organik

Mendirikan startup, mengumpulkan pendanaan sekian seri, lalu mengembangkan bisnis seluas mungkin merupakan template kesuksesan mayoritas startup di mana pun. Namun jalan itu bukan pilihan bagi William Sunito bersama startupnya TokoWahab.

William adalah generasi ketiga di keluarganya yang memiliki bisnis distribusi di bidang pastri dan bakeri sejak 1957. Sepulangnya dari sekolah di Amerika Serikat pada 2015, William mengembangkan bisnis keluarga tersebut menjadi sebuah marketplace bernama TokoWahab yang menyediakan segala kebutuhan UKM di bidang pastri dan bakeri.

Sebelum marketplace tersebut berdiri, William mengaku bisnis keluarganya hanya memasok untuk pabrik dan perusahaan waralaba bakeri/pastri yang tersebar di pusat-pusat perbelanjaan. Namun dari riset yang ia temukan, William mendapati 70% total bisnis bakeri dan pastri justru berasal dari UKM. Setelah mengetahui itu, ia memberanikan diri meluncurkan TokoWahab.

“Hingga saat ini ada lebih dari 20 official brand nasional dan internasional di platform kita,” ucap William.

Memilih pertumbuhan organik

Pria yang belum lama menerima predikat “30 Before 30” dari Forbes itu menyebut potensi pasar bakeri dan pastri sekitar $2-3 miliar atau sekitar Rp30 triliun hingga Rp45 triliun. Namun yang membuatnya lebih optimis adalah pertumbuhannya yang ia sebut masih di kisaran 12%-13%, lebih tinggi dibanding pertumbuhan nilai jenis pangan lain.

Bahkan di saat pandemi begini, William mengaku bisnis kue masih menjadi selera publik. Pembatasan sosial berskala besar pada pertengahan Maret 2020 memang sempat membikin seret usaha, namun keadaan disebut membaik sejak Mei ketika musim libur idulfitri. Bahkan dua bulan terakhir William mengatakan animo masyarakat terhadap produk pastri & bakeri justru menguat berkaca dari kian populernya sejumlah jenis roti belakangan ini.

Dengan asumsi ingin berkembang lebih cepat, mencari tambahan permodalan ke modal ventura atau entitas serupa seharusnya menjadi pilihan yang lazim. Namun tidak bagi William. Ia mengaku sejauh ini sudah ada beberapa VC yang tertarik menaruh uangnya di TokoWahab. Namun untuk menjaga perusahaan tumbuh secara organik dan keberlanjutan yang lebih terjamin, William mengaku belum butuh melakukan pengumpulan dana.

“Kita masih prefer pertumbuhan yang sustain karena kita masih bisa grow dari profit kita. Kita juga belum memikirkan growth yang signifikan, so far organik aja,” imbuhnya.

TokoWahab memakai model bisnis B2B. Mereka menyeleksi sendiri dengan ketat produk-produk dari pemasok berkualitas dan memiliki lisensi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Dari sekian jenis produk yang ada di marketplace itu, William menyebut produk keju, coklat, dan mentega sebagai primadona. Penjualan ketiga jenis itu bisa mencapai 50% total penjualan mereka.

Adapun keuntungan TokoWahab berasal dari selisih harga produk dan biaya bantuan pemasaran untuk merek-merek yang bekerja sama. Dari keduanya, William mengaku saat ini perusahaan terus tumbuh tanpa uang dari modal ventura mana pun.

Target besar

William mendirikan TokoWahab salah satunya karena berniat membantu menginspirasi UKM di bidang terkait. Namun secara perusahaan, ia bertekad menjadikan TokoWahab sebagai marketplace nomor wahid di bidang pastri dan bakeri di Indonesia.

William mengklaim pihaknya sudah menjadi pilihan bagi sekitar 4000 UKM. Dalam kurun beberapa tahun ke depan ia menargetkan TokoWahab dapat melipatgandakan angka tersebut. Jika hal itu tercapai, William cukup yakin perusahaannya mungkin tak akan pernah melakukan pendanaan.

“Dalam satu-dua tahun kita menargetkan menembus 10 ribu UMKM belanja di kita,” pungkas William.

Guna mencapai target tersebut, TokoWahab membuat sejumlah strategi dan penyesuaian. Terlebih di masa pandemi ini, bisnis makanan dan minuman mengalami masa-masa sulitnya. Ribuan restoran tutup dan platform penyuplai pun mengalami kesulitan hingga berhenti beroperasi. Menangkap rasa bosan masyarakat yang terus-menerus di rumah, William memilih menggencarkan pemasaran tentang cara membuat berbagai jenis kue serta tips & trik untuk membuka usaha.

Cara itu ia klaim membantu mereka melewati periode sulit di Maret dan April lalu. “Bahkan penjualan kita di Juni naik signifikan hingga dua kali lipat dibandingkan tahun lalu.”

Aplikasi STRONGBEE Mudahkan Pencarian dan Pemesanan Fasilitas Olahraga

Berawal dari kegemarannya berolahraga, Farah Suraputra kemudian menginisiasi STRONGBEE. Tujuannya untuk memfasilitasi orang yang hobi berolahraga dengan informasi komprehensif terkait fasilitas olahraga dan kebugaran. Menurutnya kondisi saat ini informasi tersebut belum tersebar merata. Kebanyakan masih bergantung pada word-of-mouth dan search engine, sehingga terkadang jadi kurang terstruktur dan kredibel.

“Dengan alasan itulah saya bersama dengan Co-Founder Rian Bastian mengembangkan STRONGBEE, untuk membantu para pecinta olahraga menemukan fasilitas sports, fitness, dan wellness sesuai dengan lokasi [terdekat]. Pengguna pun dapat melihat dan memberikan penilaian untuk membantu pengguna lain dalam menentukan fasilitas,” kata Farah.

Secara model bisnis, STRONGBEE menerapkan pendekatan B2B dan B2C. Direalisasikan dengan model kemitraan dengan penyedia fasilitas (mengenakan komisi) dan layanan berlangganan di aplikasi.

Hingga saat ini STRONGBEE telah memiliki sekitar 5 ribu pengguna aktif setiap bulannya. Mereka juga telah menjangkau 200 studio, gym, dan lapangan; serta merangkul 300 pelatih olahraga profesional.

“Mitra STRONGBEE kini masih terkonsentrasi di Jakarta, namun kami juga memiliki mitra di Bandung, Malang, dan Bali. Kami berencana terus menyebarluaskan layanan ke seluruh Indonesia,” kata Farah.

Berbeda dengan platform lainnya seperti ClassPass, R FitnessR Fitness, Doogether dan FitCo, STRONGBEE mengklaim tidak hanya menawarkan kelas-kelas fitness, namun juga pelatih pribadi, lapangan olahraga, mengakomodasi acara, serta fisioterapi.

Untuk pilihan berlangganan, mereka juga menyediakan kelas-kelas berbentuk single visit dan subscription, dengan harapan memberi kesempatan untuk mereka yang ingin mencoba kelas baru maupun yang ingin berlangganan.

STRONGBEE Wallet

Untuk pilihan pembayaran, STRONGBEE menawarkan pilihan yang cukup beragam. Mulai dari pembayaran tunai, kartu kredit, GoPay, virtual account, transfer bank, hingga melalui STRONGBEE Wallet.

Disinggung seperti apa cara kerja dompet digital STRONGBEE tersebut, Farah menyebutkan ketika pengguna telah melakukan pendaftaran berlangganan bisa melakukan proses top up sesuai dengan metode pembayaran yang disediakan platform. Nantinya nilai berlangganan atau subscription tersebut akan di konversi menjadi dana di dompet STRONGBEE.

“Untuk dompet milik kami saat ini belum terdaftar di Bank Indonesia, karena fungsi dari dompet itu sendiri untuk setiap dana yang diisikan hanya bisa dipakai untuk booking atau pemesanan saja. Sehingga setiap transaksi akan jadi lebih mudah, lebih ringkas, dan instant dibandingkan pembayaran menggunakan payment method lainnya. Pengguna pun bisa menikmati tambahan dana senilai 40% dari nilai yang dibayarkan,” kata Farah.

Tahun ini ada beberapa target yang ingin dicapai oleh perusahaan, di antaranya adalah melakukan penggalangan dana. STRONGBEE juga berencana untuk segera meluncurkan SaaS untuk mitra yang dapat mempermudah manajemen bisnis baik dalam mengolah pemesanan maupun informasi layanan mitra.

“Saat pandemi ini kami juga telah meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hidup sehat. Kami dengan senang hati memfasilitasi kebutuhan tersebut baik dengan menyediakan kelas olahraga online maupun menyebarkan informasi terkait melalui blog dan juga media sosial kami,” tutup Farah.

Application Information Will Show Up Here