Pendanaan Startup Tak Hanya Soal Valuasi

Selama ini valuasi menjadi acuan utama para pemodal ventura dalam berinvestasi pada sebuah perusahaan. Metrik ini menentukan nilai sebuah perusahaan dan seberapa besar potensi bisnisnya. Salah satu terminologi yang erat dikaitkan dengan valuasi adalah unicorn, disematkan pada perusahaan dengan nilai valuasi di atas $1 miliar. Meskipun demikian, apakah valuasi menjadi satu-satunya ukuran pertumbuhan bisnis sebuah startup?

Industri VC atau Venture Capital sendiri masih tergolong muda di Indonesia dan baru mulai aktif dalam satu dekade terakhir. Masing-masing VC punya penilaian tersendiri dalam menentukan portfolio. Valuasi menjadi hal yang sangat penting bagi model bisnis ini untuk memproyeksikan rasio pengembalian (rate of return) investasi mereka. Hal ini yang juga membuat para investor berani mengasah nilai valuasi setinggi-tingginya demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Di akhir tahun 2019 lalu, kita sempat dikejutkan dengan isu beberapa startup unicorn, seperti WeWork, Uber, dan OYO yang mengalami permasalahan bisnis. Siapa sangka jika perusahaan dengan valuasi tinggi dan didukung investor besar bisa tersandung masalah finansial. Ternyata valuasi saja tidak bisa menjamin keberlangsungan bisnis sebuah perusahaan.

Berbagai isu mengenai valuasi startup membuat para penyuntik dana ketar-ketir. Faktanya startup tak hanya tentang valuasi. Terdapat sejumlah faktor yang membentuk sebuah perusahaan sampai pada tahapannya saat ini.

Fundamental value

Sebelum masuk ke ranah valuasi, terdapat peran esensial yang ada dalam perusahaan itu sendiri, yaitu founder. Sebelum menyuntik dana ke perusahaan, investor harus terlebih dulu menanam kepercayaan pada founder. Ketika keduanya sudah align, barulah bisa masuk ke pembicaraan mengenai valuasi.

Peran seorang Founder, yang kerap merangkap CEO bisa diibaratkan sebagai seorang nahkoda yang bertugas menentukan arah perusahaan, namun tanpa kapasitas yang mumpuni bisa menenggelamkan kapal yang telah dibangun sedemikian rupa.

Iklim bisnis yang positif di Indonesia juga turut mengambil peran dalam perkembangan industri startup. Lima unicorn menjadi bukti serta menunjukkan pasar yang semakin mature. 

Co-founder dan Direktur Tokopedia Leontinus Alpha Edison mengatakan, “Founder dalam satu dekade terakhir harusnya memiliki kualitas yang lebih baik, didukung dengan penetrasi internet dan mobile yang sudah terbangun, serta akses pada pendanaan yang lebih mudah.”

Tahapan pendanaan

Dalam praktiknya ada beberapa tahapan dalam pertumbuhan bisnis startup. hal ini turut mempengaruhi investasi dan valuasi perusahaan. Masing-masing pemodal ventura memiliki fokus tersendiri. Ada yang lebih fokus ke early stage, yang lain memilih bermain aman dengan investasi pada later stage.

Kepada DailySocial, Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, “Setiap tahapan startup memiliki metrik yang berbeda. Di tahap awal kami akan memantau adopsi pengguna, selanjutnya akan lebih fokus pada unit ekonomi. Tidak ada aturan tunggal yang bisa berlaku untuk semua.”

Di sisi lain, dengan banyaknya jenis modal ventura yang ada, masing-masing punya strategi tersendiri dalam mengisi portfolio. Salah satunya dari Corporate Venture Capital (CVC), yang lebih fokus pada strategi dan potensi pemanfaatan aset.

CEO Telkomsel Mitra Inovasi (TMI), dana kelolaan milik Telkomsel, Andi Kristianto mengatakan, “Sebagai modal ventura korporasi, kami lebih fokus pada later stage. Dengan aset yang begitu banyak, kami berharap investasi ini bisa disalurkan pada semua vertikal startup yang relevan dengan core business kami.”

Strategi Investor

Menanggapi isu WeWork dan Uber, Willson tidak melihat kasus ini berdampak signifikan dengan kondisi di tanah air. Sebagai pemodal ventura, ia memandang memang ada nilai-nilai yang harus dipegang teguh agar kelak tidak tersandung persoalan seperti ini.

“Kami memahami bahwa disiplin finansial itu penting dan kami hanya akan memberikan valuasi yang fair kepada model bisnis, inovasi, serta penciptaan nilai yang baik,” tambah Willson.

Menurut pemaparan CEO DailySocial Rama Mamuaya, data menunjukkan adanya penurunan jumlah startup yang menerima pendanaan. “Tidak lagi menyuntik dana sedikit-sedikit di beberapa perusahaan, tetapi invest ke sebuah perusahaan dalam jumlah besar,” ujarnya.

Hal ini bisa berarti para investor semakin selektif dalam berinvestasi. Untuk pendanaan dalam jumlah besar tentu saja tidak cukup hanya melihat valuasi. Dibutuhkan metrik lain untuk bisa mendapatkan kepercayaan dari sisi investor, salah satunya adalah founder yang berkualitas.

“Tidak hanya financial gain, tapi juga fundamental value,” ujar Andi.

Dalam kasus WeWork dan Uber, ketika valuasi sudah terlanjur (terlalu) tinggi, ada beberapa strategi yang bisa jadi solusi. Mengganti CEO bisa jadi adalah solusi yang paling memungkinkan, tapi solusinya bisa berbeda terkait model bisnis masing-masing perusahaan.

Modal ventura adalah bisnis yang sarat risiko. Dengan berbagai isu negatif terkait investasi, wajar jika para investor sangat berhati-hati dalam menggelontorkan dana. Permainan valuasi tetap harus diimbangi dengan struktur organisasi dan ekosistem yang mumpuni.

Indonesia’s Standard Calculation Method for Startup Valuation to be Available in Mid-December

Indonesia Stock Exchange (IDX) states the standard calculation method for startup valuation will soon be available, precisely on December 15th, 2017. A guide for valuation calculation is expected to increase startup enthusiasm on finding fresh money through IPO in IDX.

For this standard, IDX coordinates with Indonesia Chartered Accountants (IAI), Statement of Financial Accounting Standards (SFAS) draft-maker. SFAS is a manual book for accountant containing guidelines for archiving, arranging, consulting, and presenting financial reporting.

SFAS is compiled and legalized by official financial institution.

“IAI will launch the SFAS on how to capitalize startup’s assets. If it’s working, this could be huge. They can go public. SFAS will be launched on December 15th, 2017,” Tito Sulistio, IDX’s President Director, said in Investor Forum 2017, Thursday, (11/23).

According to Sulistio, Indonesia’s startup valuation method is not standardized. In Indonesia, business based on ideas is classified as intangible assets, unable to be converted into number as company valuation.

This intangible assets can be larger than initial funding. After this specific standard available for public, he hopes startup owner will be more enthusiast (on IPO) because intangible assets can be capitalized as part of company valuation.

Nonetheless, it won’t be a guarantee, if this SFAS has been applied, that startup’s IPO can be fully absorbed by public. The decision is made by the market.

“However, I cannot guarantee whether [the stake] can be fully absorbed by public. I gave it to the market mechanism.”

Sulistio also conveyed, one of BEI’s efforts to encourage startup to do IPO easily by creating IDX Incubator program. This program is not only focus on startup development products, but also from business aspects to investor relation. Participants will be taught on necessary things to be prepared for the IPO.

Two startups managed to become a public company this year, namely Kioson and M Cash. The company went into the market with its own effort, not because of IDX Incubator program.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Menghitung Valuasi Startup dan Kaitannya dengan Perusahaan Tradisional

Topik ini merupakan hal yang sering ditanyakan oleh berbagai pihak. Banyak yang menyebutkan bahwa valuasi perusahaan startup itu “ajaib”. Bagaimana mungkin startup yang merugi besar memiliki valuasi yang gila-gilaan? Pada tulisan ini saya mencoba untuk menjabarkan hal-hal yang biasanya digunakan dalam menghitung valuasi startup, serta bagaimana hal tersebut memiliki dasar yang sama dengan menghitung valuasi perusahaan pada umumnya.

Apa itu startup?

Banyak pihak mendefinisikan startup, namun satu definisi yang saya cukup sukai adalah bisnis yang mencoba memecahkan suatu problem dengan solusi yang belum terbukti keberhasilan/skalabilitasnya. Belum berhasil atau belum scalable di sini dapat bermakna belum digunakan oleh banyak pihak (early/seed stage) atau sudah mulai digunakan oleh banyak pihak namun belum sustainable secara bisnis (growth stage).

Baik early/seed maupun growth stage, pada umumnya startup tersebut belum memperoleh keuntungan. Beberapa di antaranya sudah memperoleh pendapatan namun belum sampai memperoleh keuntungan.

Lantas mengapa investor mau mendanai startup yang masih merugi? Jawabannya adalah prospek masa depan, yakni investor menganalisis bahwa startup tersebut akan berkembang dari sisi ukuran maupun pendapatan sehingga di kemudian hari startup tersebut akan menjadi perusahaan besar — dan menguntungkan.

Hal ini digambarkan dengan grafik yang disebut kurva J yang tampak seperti di bawah.

Kurva J
Kurva J

Kurva ini menggambarkan posisi keuangan/kas perusahaan relatif dari titik awal sebelum perusahaan tersebut berdiri. Di awal (titik X), startup berada di bawah titik nol karena startup mengeluarkan modal awal untuk membangun perusahaan. Selanjutnya (antara titik X dan titik Y), startup mulai berjalan namun belum menghasilkan penghasilan. Dengan demikian, keuangan perusahaan akan terus berkurang/turun.

Pada akhirnya, startup mencapai BEP di titik Y, sehingga keuangan perusahaan tidak turun lagi. Jika setelah itu startup mencapai keuntungan, maka keuangan perusahaan akan naik dari titik Y. Titik Y ini dapat dianggap sebagai total investasi sebenarnya yang dibutuhkan oleh startup tersebut.

Apabila ini terus berlanjut, maka keuangan perusahaan akan terus naik hingga di atas titik nol (titik Z), dan setelah itu, keuangan akan perusahaan tumbuh secara eksponensial.

Tentu saja, kurva di atas adalah gambaran secara ideal. Pada kenyataannya, kondisi startup berbeda-beda. Ada yang berhasil mencapai kondisi seperti di atas, ada juga yang gagal (tidak berhasil naik dari titik Y). Keberhasilan suatu startup terletak pada kemampuannya untuk memperoleh keuntungan (naik dari titik Y) namun tetap tumbuh pesat secara ukuran.

Matriks untuk menghitung valuasi startup

Karena kondisi merugi, tentu sulit mengukur valuasi perusahaan berdasarkan laba/rugi (disebut dengan istilah price earning ratio atau PER). Oleh karena itu, biasanya investor akan menilai dari top line startup, yakni Gross Merchandise Value (GMV) atau nilai total transaksi.

Sebagai contoh, pada startup e-commerce, GMV menandakan jumlah transaksi melalui sistem pembayaran startup tersebut. Sementara itu, pada startup transportasi online, GMV menandakan total nilai tumpangan (ride) melalui startup tersebut.

Berapa faktor pengali (multiple) yang digunakan untuk menghitung valuasi berdasarkan GMV? Hal ini akan sangat beragam berdasarkan beberapa faktor, di antaranya:

  • Industri (semakin besar potensi industri, semakin besar multiple)
  • Pertumbuhan (semakin cepat pertumbuhan startup tersebut, semakin besar multiple)

Kaitan dengan perusahaan tradisional

Nah, bagaimana kaitan antara valuasi startup berdasarkan GMV dengan valuasi perusahaan pada umumnya? Jawabannya terletak pada IRR/ROI yang diharapkan oleh investor. Meskipun saat ini startup belum memperoleh keuntungan, namun investor berharap di masa yang akan datang startup akan untung sehingga menghasilkan return bagi investor.

Sebagai contoh, mari kita lihat tabel di bawah ini.

Perbandingan GMV dan keuntungan dua perusahaan
Perbandingan GMV dan keuntungan dua perusahaan

Pada umumnya, pertumbuhan startup mengalami pola seperti pada tabel Company 1. Tentu saja, ini merupakan penyederhanaan, tetapi pada intinya, startup memiliki pertumbuhan yang pesat, dan seiring dengan pertumbuhan tersebut, startup memperkuat model bisnis sehingga pada akhirnya dapat memperoleh keuntungan.

Sementara itu, perusahaan tradisional mengalami pola seperti pada tabel Company 2. Dapat dilihat ciri perusahaan tradisional yang memperoleh keuntungan sejak awal namun memiliki pertumbuhan yang tidak secepat startup.

Selanjutnya, mari kita anggap kedua perusahaan tersebut berada pada industri dan pasar yang sama sehingga kita gunakan PER yang sama, sebagai contoh 10. Dengan demikian, pada tahun 2021 kedua perusahaan ini memiliki valuasi yang sama yaitu 20 juta * 10 = 200 juta dolar.

Nah, apabila kita gunakan tingkat suku bunga 10% dan perhitungan present value, maka valuasi company 1 pada tahun 2017 adalah 136.6 juta dolar (dihitung dari 200/(1+10%)⁴). Apabila kita bandingkan dengan GMV company 1, maka kurang lebih ini setara dengan 1.4x GMV.

Di sinilah kita dapat melihat bahwa menilai startup dari GMV memang memiliki dasar finansial, bukan sesuatu yang mengawang-awang atau ajaib, asalkan startup tersebut diproyeksikan untuk memperoleh keuntungan (besar) di kemudian hari.

Apabila valuasi company 1 pada tahun 2017 ternyata sebesar 1x GMV atau 100 juta dolar, maka dengan asumsi proyeksi ini tercapai, startup ini menghasilkan IRR sebesar rata-rata 19% (dihitung dari (200/100)^(1/4) -1) bagi investor.

Apakah startup yang mengalami pertumbuhan pesat berarti pada akhirnya akan selalu memperoleh keuntungan? Belum tentu! Salah satu contoh paling fenomenal pada saat ini adalah Uber, yang masih diperdebatkan oleh banyak pihak apakah akan mungkin memperoleh keuntungan. Sampai artikel ini ditulis, Uber masih merugi, tepatnya rugi 645 juta dolar. Apakah ini berarti Uber gagal? Belum tentu juga, karena mungkin saja ia akan memperoleh keuntungan dalam beberapa waktu ke depan.

Kuncinya, seperti beberapa kali saya kemukakan sebelumnya, adalah startup harus tumbuh dari sisi ukuran dan juga dari sisi pendapatan. Startup harus mampu memperlihatkan pertumbuhan pendapatan yang lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan top line startup tersebut. Sebagai contoh, Facebook merugi di awal berdirinya hingga tahun 2008 sebelum akhirnya memperoleh keuntungan sejak tahun 2009 hingga sekarang.

Pergeseran matriks top line ke pendapatan atau keuntungan

Fakta bahwa investor menjadikan GMV sebagai tolok ukur dalam menjadikan banyak startup berusaha untuk mengejar GMV dengan cara apa pun termasuk dengan cara yang berkesan kurang masuk akal. Termasuk di dalam hal ini misalnya mensubsidi transaksi (sehingga alih-alih memperoleh keuntungan dari tiap transaksi, startup justru memperoleh kerugian dari tiap transaksinya). Bahkan, ada startup yang berusaha untuk membuat transaksi palsu untuk meningkatkan GMV.

Hal-hal tersebut di atas saat ini cenderung dipandang kurang sustainable oleh investor sehingga selain melihat GMV, investor juga biasanya meminta data-data lain seperti:

  • Breakdown GMV (untuk melihat potensi seberapa besar kemungkinan transaksi palsu di atas)
  • Pendapatan dan keuntungan
  • Jumlah pelanggan baru dan berulang

Meskipun pada akhirnya biasanya GMV tetap dijadikan ukuran, namun hal-hal di atas akan dijadikan pertimbangan terhadap multiple. Dua startup dengan GMV yang mirip, namun startup yang satu memiliki GMV yang sehat besar kemungkinan memiliki multiple yang lebih tinggi dibandingkan dengan startup lain yang memiliki GMV yang sebagian didorong oleh transaksi palsu.

Pada akhirnya, valuasi bisnis adalah kesepakatan antara pembeli/investor dengan penjual/pemilik bisnis, yang berarti bahwa sepanjang terjadi kesepakatan, maka itulah valuasi bisnis yang bersangkutan.

Hal ini sama seperti menghitung harga tanah/rumah — apakah ada rumus untuk menghitungnya? Tidak ada. Harga tanah/rumah tersebut diestimasi berdasarkan harga pasaran tanah/rumah di lokasi sekitarnya, kondisi bangunan, dan semacamnya. Pada akhirnya apabila terjadi transaksi, maka itulah harga rumah/tanah tersebut. Hal ini juga berlaku pada startup.


Disclosure: Tulisan ini dibuat Co-Founder and CFO Bukalapak Fajrin Rasyid dan dipublikasi ulang atas seizin penulis. Artikel aslinya bisa dilihat di sini.

Fajrin dapat dihubungi melalui akun LinkedIn atau Twitter-nya.

Mendapat Pendanaan Tidak Menjamin Kelangsungan Hidup Startup

Membangun sebuah bisnis startup tidak akan selalu berjalan mulus, meskipun sudah mendapat pendanaan besar dari investor. Pada awal tahun ini saja sudah banyak sekali bisnis startup gagal karena kurang memahami dampak bagi perusahaan baru, padahal kondisinya sudah mendapatkan investasi yang cukup baik. Idealnya pendanaan seharusnya menjadi bahan bakar yang baik untuk membuat startup mendekatkan diri pada keuntungan bisnis.

Melihat penyebab kegagalan yang dialami startup, rupanya menjadi momen berharga bagi kalangan pebisnis digital yang sedang berjuang untuk belajar darinya. Beberapa faktor berikut mungkin dapat dijadikan pertimbangan sekaligus pembelajaran bagi startup yang tengah merintis bisnisnya.

Pelayanan dan fasilitas yang buruk

Pelayanan yang maksimal dan fasilitas yang memanjakan pengguna akan menghadirkan bisnis pada traksi pelanggan yang signifikan. Inovasi juga menjadi kunci, karena kebutuhan pengguna digital trennya sangat dinamis. Terkait dengan bagaimana startup mampu menyuguhkan fasilitas yang baik, ada cerita tentang startup bernama Auctionata.

Auctionata menyajikan layanan streaming online sejak tahun 2012, lalu bisnisnya terhenti di Februari 2017 setelah sebelumnya berhasil mengumpulkan pendanaan hingga $95 juta. Sebelum perusahaan tutup, Actionata resmi bergabung dengan perusahaan lelang  Paddle8.

Kegagalan yang dialami Actionata dengan pelayanan live streaming itu terjadi karena faktor sistem yang lambat. Meskipun di era digital saat itu membutuhkan layanan online, Actionata tidak mampu menyelamatkan perusahaan dari persaingan terhadap penawaran lebih baik dengan jangkauan luas.

Konten yang tidak menguntungkan pengguna

Media sosial menjadi salah satu tren masa kini, sehingga banyak produk berusaha untuk menggunakan pendekatan ala media sosial dalam produknya.

Namun, siapa sangka pada jejaring sosial terkemuka Yik Yak yang sempat populer akhirnya menutup layanannya pada Mei 2017. Alasanya sungguh pilu, karena diketahui adanya para siber yang muncul membuat konten-konten menjijikan dan tak masuk akal mengakhiri aktivitas layanan Yik Yak setahun terakhir.

Padahal sejak berdiri 2013 lalu, Yik Yak sudah meraih pendanaan hingga $73,4 juta dan memiliki valuasi $400 juta di tahun 2014. Dengan terus menerus diteror perusak siber, Yik Yak pun tidak mampu menyelamatkan kondisi modal mereka.

Pengelolaan yang buruk

Sebagai marketplace yang memiliki gagasan ideal, semestinya dibantu dengan tenaga pengelola yang baik supaya kondisi startup berjalan baik. Bukan hal yang mustahil bila pemasaran sebagai ujung tombak mencari konsumen dapat mempertahankan pasar. Begitu juga dengan sistem pengelolaan yang menjadi landasan startup tetap berdiri.

Pemahaman ini rupanya tidak memberikan respon terhadap startup rintisan yang tutup pada Febuari 2017, Beepi. Perusahaan yang bergerak di bidang layanan jual beli mobil bekas.

Awal mula merintis startup marketplace, Beepi telah mendapatkan valuasi tertinggi $560 juta dari beberapa pendanaan yang diterima melalui 35 investornya. Eksekusi Beepi sudah mencerminkan kekuatan yang solid, sehingga layanan dukungan konsumen menjadi kunci keberhasilan penjualannya.

Namun, siapa sangka perusahaan harus dikelola sangat buruk dengan cara menghamburkan uang sebesar $7 juta/bulan ketika mencapai titik puncaknya. Alhasil, dari 300 pegawai yang ada, hanya 100 pegawai Beepi bertolak ke fair.com setelah dijual.

Mengenal Valuasi Startup dan Istilah “Unicorn”

Semenjak makin banyak startup Indonesia yang berhasil mendapat pendanaan dengan nilai yang sangat fantastis, istilah valuasi startup kencang didiskusikan oleh masyarakat. Lalu sebenarnya apa itu valuasi dan bagaimana cara melakukan kalkukasi untuk menentukan valuasi sebuah startup?

Singkatnya valuasi merupakan nilai dari suatu startup. Karena umumnya startup itu masih tergolong semi-enterprise, biasanya nilai valuasinya ditentukan berdasarkan peretujuan antara founder dengan investor. Tidak ada perhitungan yang saklek untuk menentukan valuasi.

Umumnya investor memiliki benchmark internal dan prosedur penghitungan valuasi, mulai dilihat dari kapabilitas founder/co-founder, produk yang dipasarkan, traksi pengguna hingga potensi produk tersebut ke depan.

Di sisi lain valuasi juga memerlukan pembuktian. Ketika ada yang bertanya “berapa nilai perusahaan tertentu?”, jawabannya harus merefleksikan komponen apa saja yang mampu dijadikan daftar dalam penentuan nilai tersebut. Menariknya startup di Indonesia sendiri memiliki proses yang unik, jadi antara satu dengan yang lainnya kadang memiliki pendekatan yang berbeda dalam melakukan perhitungan valuasi. Jumlah modal yang ditanamkan, jumlah investor, kekuatan produk dan kredibilitas founder terlibat besar di dalamnya.

Perhitungan valuasi paling mudah bisa dicontohkan dengan perhitungan modal awal dan suntikan dana investor. Misal sebuah startup memiliki nilai awal Rp 10 miliar, kemudian sebuah venture capital menambahkan pendanaan Rp 10 miliar, berarti valuasi startup menjadi Rp 20 miliar dengan kepemilikan saham 50% milik venture capital tersebut. Biasanya perhitungan ini akan berjalan jika startup memang sudah mapan berdiri dan apa yang diproduksi sudah jelas.

Namun pada praktiknya tak semudah itu untuk menghitung capaian valuasi. Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan:

“Untuk menentukan nilai valuasi dari sebuah startup sangat sulit sebenarnya. Dari sisi founder pasti merasa yang mereka kerjakan itu harganya tinggi sekali. Sementara dari investor, kita melihat kalau kita masuk di valuasi sekarang, di valuasi berapa kita bisa exit. Jadi valuasi pada saat investasi itu ditentukan nilai tengah dari ekspektasi investor dan founder.”

Willson menambahkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi valuasi startup sendiri adalah growth rate, setidaknya dengan persentase 30% MoM (Month-on-Month).

Perhitungan valuasi startup

Untuk menentukan nilai valuasi sendiri, satu startup dengan startup lainnya memang memiliki pendekatan yang berbeda-beda. Ada beberapa hal yang mungkin mempengaruhi nilai valuasi startup. Pertama adalah nilai yang ditentukan oleh pasar (umumnya diwakili oleh investor). Misalnya jika investor mengatakan bahwa startup X bernilai $5 juta, maka itulah nilai yang layak. Namun kadang founder merasa nilainya harus lebih tinggi, misalnya ternyata ada aset atau kekuatan dari talenta bisnis yang dihitung bernilai lebih, namun jika startup tidak bisa mengumpulkan uang dari aset itu senilai penilaian valuasi tadi, maka startup memang harus menerima penilaian pasar.

Startup sebenarnya juga punya hak untuk menentukan nilainya sendiri. Hal yang mungkin ditunjukkan untuk menyanggah nilai valuasi yang dinilai terlalu rendah bisa menggunakan perbandingan dan proyeksi keuangan. Perbandingan biasanya dilakukan dengan cara menilai kapabilitas dan laju perkembangan startup yang bermain di sektor sama di pangsa pasar yang sama. Bagaimana jangkauan produk, traksi pengguna hingga varian produk yang ada di dalamnya akan menjadi bagian penting dalam komparasi tersebut.

Yang kedua adalah proyeksi keuangan. Tak mudah memang melakukan memastikan angkanya, namun tren dan traksi pengguna yang ada dari waktu sebelumnya seharusnya dapat dijadikan acuan, terlebih untuk produk digital, maka proyeksi tersebut akan lebih mudah dianalisis juga didasarkan dengan upaya pemasaran yang akan dibubuhkan.

Cara yang paling mudah untuk menunjukkan valuasi tak lain adalah dengan menunjukkan profit bisnis. Menunjukkan kepada semua orang bahwa bisnis yang dijalankan mampu memberikan keuntungan yang fantastis. Ini pun menjadi tantangan untuk startup, karena rata-rata di fase awal fokus bisnis memang akan condong kepada akuisisi pengguna dan perluasan pangsa pasar. Untuk itu biasanya akan muncul pertanyaan-pertanyaan yang mengacu pada berapa tahun yang diperlukan sehingga bisnis bisa menguntungkan? Membandingkan berapa banyak perusahaan sejenis dan perbandingannya dalam mencapai profit?

Pada dasarnya penentuan valuasi startup memang menjadi sebuah proses seni. Seperti pada sebuah lukisan, penilaian kadang didasarkan poin-poin yang sulit dikalkulasikan secara matematis.

Mengapa bisa mencapai level unicorn?

Setelah mengenal tentang valuasi, umumnya orang akan berdiskusi tentang unicorn, sebuah “gelar” yang diberikan kepada startup yang memiliki valuasi lebih dari $1 miliar. Di Indonesia sendiri memang belum banyak startup unicorn. Salah satu yang sering digadang-gadang adalah Tokopedia, Traveloka, dan Go-Jek. Pada putaran pendanaan terakhir, Go-Jek berhasil membekukan valuasi $1,3 miliar.

Lalu muncul pertanyaan, mengapa valuasi Go-Jek bisa mencapai angka tersebut? Apa saja yang mempengaruhinya? Untuk menjelaskan tentang hal tersebut, kami mencoba berdiskusi dengan CEO MDI Ventures Nicko Widjaja.

Nicko banyak menjelaskan tentang dinamika bisnis di pangsa pasar on-demand dan persaingan di sektor itu sendiri. Spesifik tentang pembahasan Go-Jek dan gelar unicorn-nya, Nicko juga menyampaikan bagaimana pandangan pasar dari kaca mata investor sehingga memberikan kepercayaan meningkatkan valuasi Go-Jek itu sendiri.

“Dengan Grab memperoleh pendanaan Seri F $600 juta (di waktu yang hampir sama dengan pendanaan Go-Jek), Go-Jek bersaing di pasar (on-demand lokal) yang belum jelas siapa pemimpin pasarnya. Saat ini penilaian didorong oleh market value. Didi memiliki valuasi $36 miliar, Uber $70 miliar, dan terakhir Uber Cina diakuisisi oleh Didi.”

Ia melanjutkan bahwa pada saat yang sama semua venture capital pendukung berinvestasi untuk mencari “killer” untuk pangsa pasar di wilayah tersebut. Nilai unik Go-Jek sebagai masa depan bisnisnya adalah revolusi layanan pembayaran dengan Go-Pay. Mereka tidak mematokkan diri sebagai pemain di sektor transportasi, tapi sebagai sebuah platform yang memberikan berbagai jasa layanan untuk kebutuhan sehari-hari melalui sistem on-demand.

“Menjadi investor di pasar berkembang di Asia Tenggara, berarti bahwa kita berinvestasi dalam ekosistem dan infrastruktur. Go-Jek telah memainkan peran penting dalam membangun ekosistem dan infrastruktur mereka untuk [membudayakan] masyarakat melek digital,” ujar Nicko.

Valuasi Sebuah Startup di Mata Investor Saat Tahap Pendanaan Awal

Mengenai pandangan VC terhadap valuasi di tahap awal pendanaan / Shutterstock

Patut dipertanyakan sebenarnya seberapa pentingkah valuasi startup bagi VC (Venture Capital) saat memberikan pendanaan awal bagi startup. Partner Notation Capital Nicholas Chirls mencoba menggambarkan bagaimana VC memandang pentingnya valuasi di pendanaan awal dan pendekatan negosiasi yang dilakukan perusahaan investasinya

Continue reading Valuasi Sebuah Startup di Mata Investor Saat Tahap Pendanaan Awal