Lanskap E-commerce di Indonesia dari Perspektif Konsumen

Laporan terbaru eIQ bertajuk “Uncovering the Value of Indonesia’s Top Online Platforms” mencoba menggambarkan kondisi terkini dari lanskap e-commerce dan online marketplace di Indonesia. Mengawali laporannya, ecommerceIQ mendaftar 6 platform teratas, didasarkan pada tingkat frekuensi kunjungan dan peringkat aplikasi di Play Store.

Gambar 1

Memvalidasi popularitas keenam pemain di atas, survei menanyakan kepada 1240 responden penikmat online shopping seputar beberapa faktor penilaian terhadap platform belanja online, mulai dari reputasi, perbandingan harga, hingga layanan logistik.

Gambar 2

Dari temuan tersebut maka dapat dipetakan pola-pola yang menjadi karakteristik masing-masing penyedia layanan.

(1) Kategori C2C dan B2C semakin melebur

Daftar 6 pemain teratas kebetulan memiliki porsi yang imbang antara kategori C2C (Consumer-to-Consumer): Bukalapak, Shopee, Tokopedia; dan B2C (Business-to-Consumer): Blibli, Jd.id, Lazada. Dari penilaian reputasi, masing-masing memiliki angka yang cukup berimbang, Blibli dan Tokopedia mendapati angka tertinggi. Penilaian terhadap reputasi umumnya didasarkan pada kepercayaan konsumen yang terbentuk dari beberapa faktor, di antaranya jaminan produk, kualitas layanan, hingga efektivitas sistem yang disajikan.

JD.id dan Shopee adalah pemain yang paling baru, keduanya memiliki cara berbeda untuk berbaur dalam persaingan dengan top-players yang ada. Shopee misalnya, dengan nilai investasi besar yang didapat dari perusahaan induk –Sea (dulunya Garena)—mereka memanjakan konsumen dengan beragam diskon produk. Dari tabel penilaian di atas, Shopee memiliki peringkat teratas dalam urusan produk murah dan biaya pengiriman gratis. Sedangkan JD.id menguatkan brand dengan jaminan produk jualannya asli.

Meleburnya kategori C2B dan B2C juga ditengarai hadirnya “Official Store” di online marketplace –sebagai contoh brand tertentu memiliki tempat khusus di Bukalapak untuk menjual produk dari distributor resminya. Implikasinya justru menguatkan SKU produk yang dimiliki C2C, hal tersebut sekaligus tervalidasi dalam penilaian kelengkapan produk dengan persentase tertinggi didapat oleh Tokopedia.

Namun demikian salah satu keuntungan yang dapat dioptimalkan oleh para pemain B2C ialah seputar pengalaman pelanggan. Beberapa aspek yang mulai dieksplorasi misalnya menekankan pada kualitas produk, peningkatan layanan logistik –misalnya Lazada mengakomodasi layanan eLogistics secara mandiri atau bekerja sama dengan layanan on-demand untuk one-day-delivery, opsi pembayaran yang lebih beragam –memungkinkan adanya mekanisme seperti cash-on-delivery.

Gambar 3

(2) Produk elektronik dan fesyen menjadi komoditas utama

Persentase tertinggi yang dihimpun dari responden survei menyatakan produk elektronik dan fesyen menjadi komoditas yang paling banyak. Dua kategori produk tersebut hampir merata kuat di platform e-commerce yang ada di Indonesia. Menyusul namun belum begitu signifikan ialah bahan kebutuhan sehari-hari.

Gambar 4

Untuk kategori fesyen, Shopee menjadi pemimpin. Yang menarik justru di kategori elektronik, layanan B2C lebih tinggi persentasenya –dalam hal ini Bukalapak dan Tokopedia. Sebelumnya banyak yang mengasumsikan secara kasat mata bahwa untuk pembelian barang-barang elektronik tendensi orang akan memilih produk B2C untuk jaminan kualitas. Blibli dan JD.id idealnya dapat mengeksplorasi lebih mendalam untuk kategori kebutuhan sehari-hari. Tren pembelian produk tersebut meningkat melalui e-commerce lantaran dukungan berbagai faktor, termasuk yang paling signifikan ialah logistik.

Tak kalah penting soal rata-rata pengeluaran untuk berbelanja secara online. Sebagian besar responden menjawab di angka Rp100.000 hingga Rp500.000. Mengindikasikan persentase terbesar komoditas produk yang paling sering dibeli dengan rentang harga tersebut –sehingga jika dihubungkan dengan data sebelumnya kategori fesyen paling masuk akal menjadi komoditas terbesar e-commerce di Indonesia saat ini.

Gambar 5

(3) Logistik masih menjadi isu utama efektivitas e-commerce

Terdapat beberapa hal yang dikeluhkan oleh responden saat menggunakan platform e-commerce. Pertama soal waktu pengiriman yang sering kali lama. Sebenarnya untuk proses pengiriman tidak sepenuhnya dikontrol oleh penyedia platform e-commerce, melainkan pihak ketiga yang dipilih konsumen. Hanya saja mau tidak mau logistik memang menjadi salah satu dari bagian sistem terpenting dari jual beli online. Isu lain cukup merata, hanya saja ada permasalahan tentang pengalaman pengguna untuk platform Bukalapak dan permasalahan harga barang yang terlampau mahal di Blibli –dengan persentase tertinggi.

Gambar 6

Kematangan dalam menggunakan layanan belanja online justru terlihat pada data di atas. Proses pembayaran tidak lagi menjadi isu yang signifikan di setiap platform yang ada. Persentase terbesar masih berada pada opsi transfer bank. Namun yang menarik opsi COD cukup mencolok untuk JD.id dan Lazada, lantaran keduanya memang memberikan opsi tersebut.

Gambar 7

(4) Tren penggunaan e-commerce berdasarkan gender

Beda jenis kelamin umumnya akan memiliki kecenderungan yang berbeda. Hal tersebut turut ditunjukkan pada opsi yang diberikan responden dalam pemilihan layanan e-commerce. Grafik di bawah ini menggambarkan perbandingan untuk peminat di masing-masing platform berdasarkan gender.

Gambar 8

Data di atas tentu didukung dengan ulasan selanjutnya, yakni soal kebutuhan yang banyak dicari. Shopee lebih banyak digunakan oleh pengguna perempuan, hal tersebut berkorelasi dengan kategori produk yang banyak dicari perempuan ialah seputar kecantikan. Sementara untuk produk kebutuhan sehari-hari pengguna laki-laki yang lebih banyak memiliki kecenderungan untuk melakukan pembelian secara online.

Grafik kategori di atas cukup relevan dengan pengalaman belanja yang diharapkan. Contohnya otomotif, didominasi oleh konsumen perempuan, pasalnya konsumen laki-laki memiliki kecenderungan lebih suka memanjakan diri  dengan produk otomotif secara langsung di bengkel, dan sebagainya.

Informasi lebih lanjut tentang cara mendapat laporan lengkapnya bisa diperoleh di sini:



Disclosure: artikel ini adalah hasil kemitraan DailySocial dan eIQ

IMD Rilis Peringkat Kompetisi Digital Global, Indonesia Berada di Urutan Bawah

IMD World Digital Competitiveness Rankings kembali dirilis, mengungkapkan penilaian negara-negara di dunia dari berbagai perspektif, kaitannya dengan adopsi teknologi untuk peningkatan ekonomi dan efisiensi di berbagai bidang. Amerika Serikat, Hong Kong, dan Singapura berada di peringkat teratas. Sayangnya Indonesia justru berada di peringkat 62, termasuk yang paling buruk di kawasan ini. Salah satu tantangan yang dikemukakan ialah pengembangan pekerja berketerampilan tinggi yang belum banyak mencukupi.

Gambar 1

Ketersediaan talenta berkompetensi menjadi faktor penting, karena memberikan pengaruh kapasitas dalam pengembangan dan integrasi teknologi di berbagai sektor. Termasuk untuk kesiapan negara secara umum menghadapi masa depan persaingan bisnis. Peringkat IMD juga menelisik tentang sejauh mana transformasi teknologi dapat beradaptasi dengan lingkungan di suatu negara. Seberapa jauh transformasi tersebut menyediakan efektivitas bagi para pengambil keputusan di sektor publik maupun privat.

Mengamati performa Indonesia

Lebih detail, IMD membagi penilaian ke beberapa hal, pertama soal pengetahuan. Di Indonesia dari tahun ke tahun tercatat selalu berada di atas ranking 40, sub-faktor utama yang paling menghambat ialah pelatihan dan pendidikan. Secara khusus DailySocial pernah melakukan wawancara kepada kalangan pendidik soal kualitas pendidikan dan gap dengan kebutuhan industri. Memang, soal relevansi masih menjadi pekerjaan rumah bagi para pendidik. Teknologi berkembang dinamis, sementara adopsinya dalam kurikulum memerlukan waktu lebih untuk penyesuaian.

Untuk pendidikan ranking terbaik Indonesia berada di kategori “Employee training”, hal ini menyiratkan tren peningkatan kapabilitas profesional diri yang dilakukan kebanyakan saat sudah bekerja. Misanya dengan mengikuti sertifikasi tertentu berkaitan dengan teknologi yang digunakan dalam pengembangan.

Gambar 2

Faktor teknologi juga memberikan skor yang tidak bagus. Peringkat baik ada di faktor kapital, terkait bagaimana produk teknologi disebarkan ke pasar terkait. Namun demikian dari sisi regulasi dan kerangka kerja teknologinya tidak cukup baik.

Gambar 3

Kesiapan adopsi teknologi untuk masa depan bisnis juga memiliki skor ranking yang tidak cukup memuaskan. Salah satu hal yang cukup signifikan dan disorot ialah implementasi big data dan analyitcs, karena beberapa korporasi di sini sudah mulai mengarah ke sana untuk mendapatkan keuntungan lebih. Divisi data makin diperkuat untuk membantu keputusan bisnis. Namun di luar itu perlu banyak peningkatan. Terlebih relasi kemitraan sektor publik-privat juga tergolong tidak terlalu buruk ranking-nya.

Gambar 4

Tujuan dari riset ini secara umum untuk menilai sejauh mana suatu negara mengadopsi dan mengeksplorasi teknologi digital mengarah ke transformasi dalam praktik regulasi, model bisnis, dan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Selain itu teknologi juga dinilai dapat memberikan kesempatan bagi perusahaan lokal untuk menemukan peluang yang lebih baik di masa mendatang.

Faktor pengetahuan mengacu pada infrastruktur tidak berwujud yang menjadi fondasi utama transformasi digital melalui penemuan, pemahaman, pembelajaran teknologi baru. Faktor teknologi menilai konteks keseluruhan sejauh mana pengembangan teknologi bergerak. Dan faktor kesiapan masa depan menilai tingkat adopsi oleh berbagai komponen yang menjalankan proses bisnis di suatu negara.

Laporan DailySocial: Survei Transisi Konsumen Uber Pasca Akuisisi

Pada tanggal 26 Maret 2018 lalu, Grab secara resmi mengumumkan akuisisinya terhadap unit bisnis Uber di Asia Tenggara. Kabar tersebut disampaikan langsung oleh Co-Founder & Group CEO Grab Anthony Tan. Inisiatif tersebut diakukan untuk memperkuat visi layanan Grab di Asia Tenggara, untuk menciptakan layanan transportasi hemat biaya.

Kini seluruh layanan Uber telah berhenti beroperasi di Asia Tenggara, tak terkecuali di Indonesia. Lantas memunculkan pertanyaan, bagaimana dengan basis konsumen yang sudah dimiliki Uber? Ke mana mereka bertransisi, mengingat layanan on-demand sudah menjadi kebutuhan banyak orang? Apa yang mereka harapkan dari layanan on-demand baru yang digunakan?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, DailySocial bekerja sama dengan JakPat Mobile Survey Platform melakukan survei terhadap pengguna Uber dari berbagai kota wilayah operasional Uber di Indonesia.

Dari survei tersebut ada beberapa temuan menarik, di antaranya:

  • Sebanyak 54,53% responden mengaku berpindah ke layanan Grab, sedangkan 44,71% berpindah ke layanan GO-JEK.
  • Biaya yang lebih murah menjadi salah satu pertimbangan utama responden saat beralih ke layanan on-demand
  • Isu yang kerap dialami pengguna saat dulu menggunakan Uber adalah mitra pengemudi yang kadang sulit ditemui.
  • Sebanyak 77,94% responden mengharapkan layanan Uber kembali beroperasi di Indonesia seperti sedia kala.

Selain empat poin di atas, ada beberapa temuan lain yang berhasil dirangkup dalam survei. Termasuk mengetahui layanan apa yang paling mudah ditemui di sekitar tempat tinggal responden, hal apa yang menjemukan dari layanan Uber, hingga faktor yang mempengaruhi mereka dalam memilih sebuah layanan on-demand.

Laporan selengkapnya dapat diunduh gratis melalui tautan berikut ini “Uber Consumer Transition Survey 2018”.

Riset ValuePenguin: Indonesia Kurang Ramah untuk Bangun Startup

Meski Indonesia digadang-gadang pemerintah akan menjadi negara ekonomi digital terbesar se-Asia Tenggara pada 2020 mendatang, namun menurut riset yang dipaparkan lembaga ValuePenguin, Indonesia saat ini dinilai sebagai negara yang kurang ramah se-Asia Pasifik untuk mendirikan startup.

Pernyataannya tersebut dilandasi beberapa hal, ValuePenguin melakukan benchmarking ke 12 negara di kawasan Asia Pasifik dengan membuat 18 indikator perekonomian, seperti pertumbuhan PDB, biaya hidup, pajak, akses dan biaya pembiayaan. Kemudian mengklasifikasikan ke dalam empat kategori, yakni kesehatan ekonomi, biaya melakukan bisnis, iklim bisnis dan kualitas angkatan kerja.

Dari 12 negara yang diteliti, Indonesia menempati posisi empat besar terbawah. Setelah Indonesia, diikuti oleh negara lainnya Thailand, Filipina, dan Vietnam. Sementara posisi teratas ditempati secara berurutan oleh Singapura, Hong Kong, Jepang, Taiwan, dan Malaysia. Kemudian diikuti, Korea Selatan, Tiongkok, dan India.

Metodologi penelitian

Dalam menghitung composite index untuk masing-masing kategori di tiap negara, ValuePenguin melihat dari kompilasi data yang dikumpulkan dari berbagai referensi. Untuk kesehatan ekonomi, dilihat dari PDB per kapita, tingkat pengangguran, dan proporsi orang dewasa dengan rekening bank.

Sedangkan untuk biaya bisnis dilihat dari pertimbangan terkait operasi bisnis, biaya pinjaman kredit, tarif pajak, dan biaya upah. Adapun composite index untuk iklim bisnis merangkum beberapa faktor, mulai dari kepercayaan bisnis terhadap institusi publik, pengembangan teknologi dan ketersediaan dana.

Kualitas tenaga kerja juga turut diperhatikan, meski metrik ini terlihat subjektif. Namun tingkat pendidikan dapat memberi proxy untuk kekuatan tenaga kerja.

“Dalam studi ini kami mempertimbangkan tingkat pencapaian pendudukan menengah dan tersier. Singapura, Korea, dan Jepang memiliki populasi dewasa yang sangat terdidik. Ini menjadi pertanda baik bagi para pemula yang ingin memulai usaha di negara-negara tersebut,” terang laporan ValuePenguin dalam keterangan resmi yang diterima DailySocial.

Hasil riset untuk Indonesia

Dari keseluruhan klasifikasi, kesehatan ekonomi Indonesia menempati posisi ke 10, biaya melakukan bisnis di posisi ke-3, iklim bisnis di posisi ke-9, dan kualitas angkatan kerja di posisi ke-8. Hal demikian terjadi karena rendahnya tingkat PDB per kapita sebesar US3.750, tingkat pengangguran yang tinggi (5,5%), dan suku bunga yang tinggi (kupon obligasi pemerintah untuk 10 tahun sebesar 6,4%).

“Ditambah lagi, Indonesia bisa menjadi tempat yang sulit untuk startup teknologi karena hanya 25,4% penduduknya yang memiliki akses ke internet.”

Kendati demikian, Indonesia tetap menjadi prospek yang baik untuk pengembangan startup teknologi karena faktor-faktor pendukung seperti rendahnya tarif pajak untuk perusahaan lokal (pengurangan pajak 50% untuk pendapatan kena pajak Rp50 miliar). Ditambah biaya hidup yang lebih rendah dibandingkan negara Asia Pasifik lainnya dan harapan gaji yang lebih rendah untuk lulusan baru-baru ini.

Perbandingan dengan Singapura

ValuePenguin menerangkan Singapura dinilai oleh Bank Dunia sebagai negara terbaik kedua melakukan bisnis secara global. Negara kecil tersebut adalah negara kaya dengan PDB per kapita sebesar US$52.962, tingkat pengangguran rendah (2,15%), dan akses internet yang baik (81%).

Kendati dinobatkan juga sebagai negara dengan biaya hidup tertinggi dan negara yang mahal untuk menjalankan bisnis, akan tetapi pemerintah Singapura memberikan insentif pajak untuk para pemula mencakup 75% dari jumlah S$100 ribu yang pertama dan 50% dari S$100 ribu untuk tahun berikutnya dari total wajib pajak sebesar 17% dari total pendapatan. Tentu saja, insentif ini membuat Singapura secara signifikan lebih murah untuk memulai bisnis.

Di sisi lain, Singapura juga didukung oleh tingkat pendidikan tertinggi di Asia (42% orang dewasa yang bekerja memiliki pendidikan pasca sekolah menengah ke atas). Salah satu startup yang lahir dari Singapura dan menjadi contoh sukses adalah Garena (kini bernama Sea).

Tren Perkembangan “Mobile Payment” di Indonesia

MDI Ventures  dan Mandiri Sekuritas merilis sebuah laporan bertajuk “Mobile Payments in Indonesia: Race to Big Data Domination”. Di dalamnya dijabarkan gambaran terkini lanskap mobile payment di Indonesia, dilengkapi dengan studi kasus kesuksesan adopsinya. Mengawali laporan, diceritakan tentang awal pertumbuhan layanan mobile payment di Indonesia. Persisnya pada tahun 2007 dimulai oleh Telkomsel merilis layanan T-Cash, lalu disusul Indosat, dan XL Axiata.

Tahun 2012 layanan mobile payment mulai beragam, industri perbankan dan pengembang aplikasi mulai masuk di dalamnya.

Mobile Payments in Indonesia - Race to Big Data Dominaton / MDI Ventures
Mobile Payments in Indonesia – Race to Big Data Dominaton / MDI Ventures

Data menarik justru hadir dari penetrasi pengguna yang ada saat ini. Dua layanan dengan pengguna tertinggi (sekitar 10 juta pengguna) ialah GO-PAY dan TCash, dua layanan dengan tahun kelahiran paling awal dan akhir. Layanan lain yang mulai mendapatkan pertumbuhan pengguna signifikan adalah PayPro dan OVO. Jika mengamati lebih dalam mengapa para pemain tersebut memiliki pengguna yang banyak karena cakupan layanan yang lebih luas.

Mobile Payments in Indonesia - Race to Big Data Dominaton / MDI Ventures
Mobile Payments in Indonesia – Race to Big Data Dominaton / MDI Ventures

Melalui aplikasi GO-JEK, konsumen kini bisa melakukan berbagai aktivitas, mulai transportasi hingga memesan makanan. Dengan valuasi yang diperkirakan mencapai $5 miliar, berbagai kegiatan promo dan perluasan terus digencarkan. Terakhir dikabarkan GO-JEK tengah bersiap ekspansi ke pasar regional. Pun demikian dengan TCash yang ingin menjadi platform agnostik yang terlepas dari bayang-bayang Telkomsel.

Dukungan perangkat untuk bergerak ke arah fintech

Sebagai bagian solusi yang coba diakomodasi industri fintech, layanan mobile payment akan menjadi salah satu faktor yang berpengaruh, secara khusus pada vertikal fintech dan secara umum pada lanskap keuangan. Hal ini didasari dengan sebuah statistik yang menunjukkan bahwa pertumbuhan smartphone sudah melampaui kepemilikan akun bank oleh masyarakat. Sementara jika melihat kondisi di Indonesia, sistem keuangan inklusi yang justru dapat diterapkan secara menyeluruh.

Mobile Payments in Indonesia - Race to Big Data Dominaton / MDI Ventures
Mobile Payments in Indonesia – Race to Big Data Dominaton / MDI Ventures

Tantangan yang sejak dulu ada ialah mengedukasi masyarakat sebagai nasabah untuk mengoptimalkan jasa keuangan berbasis perbankan. Namun dengan pendekatan berbasis aplikasi tampaknya mampu menjadikan masyarakat teredukasi secara sendirinya. Apa yang ditawarkan aplikasi adalah pengalaman pengguna secara spesifik untuk menyelesaikan masalah tertentu. Misalnya yang dilakukan GO-PAY untuk jasa layanan transportasi. Mobile payment disuguhkan menyatu dengan layanan utama mereka.

Mobile Payments in Indonesia - Race to Big Data Dominaton / MDI Ventures
Mobile Payments in Indonesia – Race to Big Data Dominaton / MDI Ventures

Bagaimana teknologi berperan membangun ekosistem

Teknologi juga berpengaruh terhadap penerimaan pengguna terhadap layanan mobile payment. Ini berkaitan dengan cara seperti apa yang coba disuguhkan oleh pemilik platform dalam bertransaksi. Kebutuhannya cukup unik, sehingga bisa disimpulkan bahwa teknologi tertentu tidak serta-merta cocok digunakan untuk semua layanan. Dari yang ada saat ini, rata-rata mobile payment memanfaatkan tiga platform untuk pembayaran, yakni QR Code, NFC (Near-Field Communication), dan OTP (One-Time Password).

Mobile Payments in Indonesia - Race to Big Data Dominaton / MDI Ventures
Mobile Payments in Indonesia – Race to Big Data Dominaton / MDI Ventures

Kulturnya sendiri saat ini masih terbangun. Misalnya bagaimana layanan mobile payment digunakan untuk melakukan pembelian pulsa melalui verifikasi berbasis OTP, bagaimana layanan digunakan untuk melakukan pembelian di merchant melalui NFC yang dihubungkan dengan sistem EDC, atau bagaimana transaksi antar pengguna bisa dilakukan secara cepat dengan membidik QR Code yang di-generate oleh aplikasi.

Banyak hal yang masih dapat diterka seputar penerimaan masyarakat terhadap layanan mobile payment. Dari sudut pandang inovator, pola penggunaannya kini sudah mulai terpetakan dengan baik.

Laporan DailySocial: Survei Layanan Streaming Musik 2018

Layanan berbasis aplikasi makin banyak diminati oleh pengguna smartphone di Indonesia. Tak terkecuali untuk penggunaan layanan streaming musik, baik yang gratis ataupun berbayar. Untuk mengetahui sejauh mana penerimaan dan pola kebiasaan masyarakat Indonesia terhadap layanan streaming musik, DailySocial melakukan survei ini.

Survei dilaksanakan bekerja sama dengan JakPat Mobile Survey Platform. Pada survei ini, sebanyak 1955 responden dari berbagai wilayah di Indonesia dilibatkan. Beberapa temuan menari dalam survei antara lain:

  • 85% responden menyatakan mendengarkan streaming musik online secara reguler dalam enam bulan terakhir.
  • 52% responden berlangganan layanan streaming musik berbayar.
  • Layanan streaming musik berbayar paling digunakan yaitu JOOX, yang digunakan oleh 70,37% responden.
  • 56,12% responden mengaku menggunakan layanan streaming musik karena mendapatkan akses gratis dari penyedia jasa internet/layanan telepon seluler mereka.

Untuk selengkapnya, silakan unduh laporan Online Streaming Music Survey 2018 secara gratis.

MKM Partners Prediksikan Perusahaan Teknologi yang Mampu Capai Valuasi $1 Triliun

Industri teknologi dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir berkembang pesat. Nama-nama seperti Apple, Google, Amazon hingga Alibaba mulai dikenal khalayak ramai. Jangkauan produk atau layanan mereka mulai menyebar ke banyak wilayah, menjelma menjadi perusahaan raksasa.

MKM Partners dalam sebuah laporan memprediksi bahwa dalam tiga tahun ke depan setidaknya akan ada perusahaan teknologi yang valuasinya mencapai $1 triliun. Nama-nama seperti Apple, Alphabet, Amazon, Facebook, Tencent dan Alibaba menjadi kandidat yang diprediksikan akan mencapai valuasi tersebut berdasarkan beberapa pertimbangan yang dihimpun tim MKM Partner.

Sejauh ini dari data yang dihimpun oleh MKM Partners Apple menjadi salah satu yang paling dekat dengan valuasi $1 triliun. Perusahaan yang cukup sukses dengan iPhone dan Macbook tersebut saat ini diperkirakan memiliki valuasi sebesar $750 miliar. Antusiasme terhadap produk baru Apple seperti iPhone 8 hingga iPhone X dinilai menjadi salah satu yang akan mempengaruhi pertumbuhan ke depannya. Per 2019 diprediksikan Apple akan menyentuh angka valuasi $1 triliun.

Selanjutnya Alphabet, perusahaan induk dari Google juga diprediksi akan sampai pada valuasi $1 triliun dalam tiga tahun ke depan. Google yang masih menjadi mesin pencari paling populer ditambah dengan produk lainnya seperti Youtube, Gmail, hingga Android juga dikenal baik di masyarakat menjadi salah satu hal mempengaruhi. Pertumbuhan Google dalam tiga tahun terakhir, ditambah dengan revenue Youtube yang terus tumbuh bisa menjadi faktor Google dalam mencapai $1 triliun.

Daftar selanjutnya adalah Facebook. Media sosial populer di dunia ini akan berhasil mendapatkan valuasi $1 triliun dalam dua sampai tiga tahun ke depan jika mampu mempertahankan atau bahkan meningkatkan peningkatan pertumbuhan dari tahun ke tahun. Dari prediksi MKM Facebook akan mendapatkan peningkatan 30% pertumbuhan untuk tahun 2018.

Bisnis monetisasi pesan instan dan fitur-fitur baru yang disematkan ke dalam Facebook akan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan. Sebagai layanan media sosial Facebook dari tahun ke tahun melakukan inovasi dan strategi yang agresif. Akuisisi terhadap WhatsApp dan Instagram bisa jadi kunci pertumbuhan dari Facebook untuk tahun-tahun berikutnya.

Tak ketinggalan yang masuk daftar adalah Amazon. Perusahaan yang punya banyak sekali layanan populer ini berpeluang mendapatkan valuasi $1 triliun ditinjau dari pertumbuhannya beberapa tahun belakangan. Dari data MKM Partners dalam satu tahun terakhir penjualan Amazon mengalami peningkatan. Beberapa layanan Amazon seperti AWS dan layanan penjualan mengalami lonjakan. Salah satu faktor yang dinilai bisa mempercepat peningkatan valuasi adalah ekspansi ke pangsa pasar baru. Seperti yang baru-baru ini dilakukan Amazon yang mulai masuk ke pasar Asia Tenggara.

Dari data yang dikeluarkan MKM data yang cukup menarik adalah masuknya Tencent dan Alibaba. Dua perusahaan asal Tiongkok ini memang tengah “bersinar”, terutama di regional Asia. Alibaba dan Tencent sama-sama memiliki portofolio produk yang cukup beragam dan populer. Selain itu keduanya juga menjadi investor yang cukup aktif untuk pasar Asia Tenggara di mana disebut-sebut memiliki potensi yang cukup bagus untuk ekonomi digital. Capaian Tencent dan Alibaba bisa sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan pasar dan akuisisi terhadap layanan mereka yang banyak tersebar.

Mencermati Popularitas Situs dan Aplikasi Job Listing

Sejak internet sudah mulai banyak digunakan di tanah air, tepatnya sekitar awal tahun 2000-an, sudah banyak pencari kerja yang memanfaatkan situs job listing lokal hingga asing untuk menemukan tempat berkarier. Hal tersebut membuktikan bahwa pencarian lowongan pekerjaan secara online sudah mulai banyak dipilih oleh pengguna.

Di tahun 2017 ini, teknologi sudah semakin advance, demikian juga dengan pilihan dan alternatif untuk mencari lowongan pekerjaan. Bukan hanya situs job listing, namun aplikasi hingga media sosial, sudah menjadi pilihan tersebut.

DailySocial bersama dengan Jakpat meluncurkan hasil survei yang melibatkan 994 responden yang kebanyakan adalah kalangan millennial terkait dengan kebiasaan penggunaan situs dan aplikasi favorit pencarian pekerjaan secara online.

Situs job listing populer

Pertama yang patut dicermati adalah hingga kini situs job listing yang sudah eksis sejak awal tahun 2000-an seperti Jobstreet (60.00%), Karir (44.06%) hingga JobsDB (37.22%) masih menjadi tiga pilihan paling popular pencari kerja untuk menemukan lowongan yang sesuai. Sementara situs job listing yang terbilang baru hadir mulai dilirik oleh sebagian pencari kerja. Di antaranya adalah, KerjaDulu (10.87%), Karirpad (9.05%), Jofom (5.94%) hingga Jora dan Creasi (5.33%).

Selain memanfaatkan situs job listing, banyak juga pencari kerja yang menemukan lowongan pekerjaan melalui situs berita seperti DailySocial (21.63%) hingga Kompas Karier (31.09%). Hal tersebut membuktikan, informasi lowongan yang relevan di masing-masing situs berita tersebut, mulai dijadikan pilihan oleh pencari pekerjaan.

Untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat, banyak juga responden (74.65%) yang menyebutkan melihat langsung lowongan yang tersedia melalui situs resmi perusahaan yang diincar.

Pencarian melalui media sosial dan online chat

Hal menarik lainnya adalah kehadiran LinkedIn yang telah memberikan alternatif baru bagi pencari kerja, atau mereka yang sekedar “melihat” lowongan pekerjaan yang diinginkan, meskipun masih memiliki pekerjaan. Namun demikian tidak terlalu banyak orang mencari pekerjaan secara khusus melalui LinkedIn hanya sekitar (30.28%) responden menyebutkan mereka mencari pekerjaan melalui Linkedin.

Pilihan lainnya yang digunakan oleh responden adalah online chat group seperti WhatsApp (52.11%), Telegram (13.58%), Facebook Groups (44.47%), Line Groups (30.89%). Sementara sisanya (29.07%) mengaku tidak pernah memanfaatkan online chat group untuk mencari pekerjaan.

Kesempatan untuk job listing di sektor informal

Di lain sisi, hasil temuan survei menyebutkan bahwa kebanyakan pencari kerja untuk pekerjaan formal yang banyak menggunakan teknologi saat mencari pekerjaan. Sementara untuk pencari kerja di sektor informal sebanyak (60.66%) masih belum banyak yang memanfaatkan situs hingga aplikasi job listing.

Hal tersebut yang kemudian patut dicermati oleh startup seperti Sejasa (23.34%), Tukang.com (22.94%) hingga Findtukang (10.56%) untuk lebih agresif lagi melakukan kegiatan pemasaran menyasar pencari kerja di sektor informal.

Unduh laporan hasil survei selengkapnya: Job Recruitment Sites & Services Survey 2017

Survei SWA & Accenture: Perusahaan B2C Lebih Siap Lakukan Transformasi Digital

Majalah SWA dan perusahaan konsultasi Accenture mengumumkan hasil survei sementara mengenai pemetaan tingkat kedewasaan bertransformasi digital di berbagai sektor industri di Indonesia.

General Manager Business Digest SWA R. Purnadi menuturkan survei ini sebenarnya masih terus bergulir dan belum mencapai kesimpulan akhir. Hasil sementara menunjukkan tingkat kedewasaan lebih baik diserap oleh industri yang bergerak di B2C, yakni perbankan, teknologi informasi, telekomunikasi, dan asuransi.

“Kita mau lihat tingkat pemahaman dan penerapan teknologi digital di berbagai sektor industri. Sebab tingkat pemahamannya itu bisa berbeda-beda. Mungkin ada yang anggap digital itu terkait proses bisnis internal, tapi sebenarnya bisa lebih dari itu,” terangnya dalam Digital Summit Indonesia 2017, Rabu (8/11).

Industri pendidikan dan media menempati posisi di tengah-tengah. Sementara, sektor yang paling lambat menyerap digital dan berada di posisi akhir adalah industri yang bergerak di B2B berbasis komoditas yaitu, manufaktur, transportasi, dan minyak & gas.

Rentang waktu survei dilakukan mulai dari September 2017-Desember 2017. Jumlah responden yang terkumpul sebanyak 54 orang. Mereka berasal industri pendidikan 24%, telekomunikasi 20%, manufaktur 17%, perbankan 9%, media 7%, IT 5%, asuransi 6%, transportasi 6%, dan migas 6%.

Responden yang diambil berasal dari kalangan eksekutif C-level ke atas dengan latar belakang perusahaan skala menengah hingga atas. Metode yang dilakukan adalah kuantitatif dengan menyebar survei secara online. Untuk penilaian kematangan menggunakan indeks dengan rentang angka dari 0 sampai 5.

Secara rerata, dari sembilan industri yang disurvei tingkat kedewasaannya terhadap transformasi digital mencapai 3,91. Ada empat indeks poin transformasi digital yang disoroti, yaitu digital strategy dengan nilai keseluruhan 3,95, digital consumer 3,86, digital enterprise 3,98, dan digital operation 3,98.

Namun bila disoroti lebih dalam untuk masing-masing poin ada yang menarik. Digital strategy sangat diperhatikan oleh industri perbankan, teknologi, dan telekomunikasi. Indeksnya secara rerata untuk ketiga industri ini ada di kisaran 4,00 sampai 4,5.

Untuk digital customer, tidak hanya didominasi oleh tiga sektor unggulan, tapi juga ada industri pendidikan. Digital enterprise menjadi daerah yang sangat disoroti oleh industri media. Sedangkan digital operation sangat diperhatikan oleh industri perbankan.

Purnadi menyimpulkan industri dengan penetrasi teknologi yang tinggi seperti teknologi dan telekomunikasi memang wajar bila adopsi digitalnya sudah cukup matang. Namun bagi perbankan dan asuransi pertimbangan transformasi digital sangat tinggi karena ini berkaitan dengan keamanan data nasabah.

Inilah yang menyebabkan indeks digital consumer dalam dua industri ini cukup tinggi, perbankan 4,18 dan asuransi 3,83. Sedangkan untuk industri dengan evolusi pemanfaatan teknologi yang kurang, seperti manufaktur, transportasi, dan migas cenderung belum begitu memerhatikan transformasi digital.

Dari empat poin digital yang disoroti, sambung Purnadi, digital enterprise dan digital operation menjadi poin yang paling banyak diperhatikan oleh seluruh industri dibandingkan digital costumer. Dengan kata lain, perhatian pemimpin perusahaan dalam transformasi digital sangat dipengaruhi untuk kebutuhan internal perusahaan.

Mengatasi tantangan transformasi digital

Managing Director Technology Consulting Accenture Leonard Nugroho Tjiptoadikusumo menambahkan ada sembilan tantangan yang dihadapi setiap perusahaan saat mengadopsi teknologi digital. Namun keseluruhan masalah tersebut bisa diatasi dengan solusi yang bisa diterapkan.

Poin masalah mulai dari kelimpahan data, migrasi data ke sistem yang berbeda, membaca data, budaya perusahaan yang kaku, memisahkan digital, dan keamanan.

“Ambil contoh untuk kelimpahan data (data noise), banyak yang belum mengerti bagaimana validasinya. Padahal sebenarnya bisa di-over cut dengan data analytics dan media sosial bagaimana membuat data jadi lebih menarik,” kata Leonard.

Untuk solusi yang bisa dipakai dalam mengatasi masalah, sambung Leonard, perusahaan dapat memanfaatkan media sosial, analisis, aplikasi, mobilitas, cloud/IoT, dan server. Keseluruhan solusi ini menjadi enabler bagi kesembilan masalah tersebut.

Menurutnya, tidak semua sektor menerima dampak digitalisasi yang sama. Ada tiga elemen sebagai tolak ukur untuk menganalisis dampak dari digitalisasi, yakni defend, differentiate, dan distrupt. Ketiganya membantu perusahaan menentukan ruang lingkup, kedalaman dan luas dari setiap bidang proyek diagnostik.

“Dengan mengombinasikan ketiga elemen tersebut, kemungkinan akan menghasilkan terobosan baru buat perusahaan agar tetap sejalan dengan perkembangan zaman,” pungkas Leonard.

Penerimaan Masyarakat Terhadap Layanan Virtual Berbayar dan Pembayaran Digital

Seiring dengan peningkatan pengguna internet untuk mengakses berbagai layanan virtual membuat banyak bisnis digital mulai mengadopsi cara virtual dalam proses pembayaran. Pertanyaan besarnya tentu apakah masyarakat Indonesia sebagai konsumen sudah terbiasa atau setidaknya mau untuk menggunakan model pembayaran virtual. Isu klasik masih seputar kepercayaan pengguna pada mata uang digital. Namun untuk membuktikan anggapan tersebut, DailySocial mencoba melakukan survei bekerja sama dengan JakPat untuk mengetahui pemahaman pengguna smartphone di Indonesia terhadap barang dan cara pembayaran virtual.

Survei ini melibatkan 1051 responden dari seluruh wilayah Indonesia yang menggunakan smartphone untuk aktivitas sehari-hari. Dari jawaban responden didapatkan beberapa temuan, pertama seputar layanan virtual yang paling umum digunakan. Sebanyak 45,39% dari responden mengaku pernah melakukan pembelian atau pembayaran untuk Google Play Store, kendati persentasenya juga nyaris berimbang dengan yang tidak pernah melakukan pembelian sama sekali, yakni 42,15%. Menarik, pasalnya untuk pembayaran sendiri sebenarnya sudah banyak opsi yang bisa dipilih, mulai dari potong pulsa, voucher, ataupun transfer bank manual.

Gambar 1

Lalu survei juga mencoba mendalami tentang pemahaman masyarakat tentang barang virtual. Dalam survei tersebut diberikan beberapa opsi pilihan, rata-rata mendefinisikan sebagai sebuah layanan yang diakses melalui internet atau berbentuk digital. Persentase lain juga menunjukkan, bahwa apa yang disebut dengan barang virtual rata-rata diketahui mulai dari layanan games dan apps yang biasa digunakan.

Gambar 2

Penetrasi internet dan penggunaan smartphone sendiri selalu digadang-gadang menjadi landasan mendasar untuk improvisasi layanan digital. Salah satunya peluncuran model transaksi virtual yang diusung oleh berbagai jenis layanan online, yang paling banyak oleh layanan on-demand dan e-commerce. Fungsionalitasnya secara sederhana ialah menampung jumlah kredit uang tertentu ke layanan dompet digital yang dimiliki pengusung layanan. Banyak keuntungannya bagi bisnis, salah satunya loyalitas pengguna.

Saat ini sudah ada beberapa layanan dengan tipikalnya masing-masing. Dari yang ada, GO-PAY menjadi yang paling banyak digunakan, disusul oleh voucher Google Play dan TokoCash. Sayangnya karena ada isu seputar lisensi e-money, beberapa layanan dihentikan sementara, termasuk TokoCash, GrabPay, dan BukaDompet. Karena jika layanan tersebut sudah memutar transaksi di atas 1 miliar rupiah, maka harus memiliki perizinan dari BI.

GAMBAR 3

Lalu bagaimana dengan kecenderungan masyarakat saat ini berkaitan dengan layanan pembayaran. Masih dari responden yang sama, sebagian besar masih menempatkan metode tunai atau cash pada peringkat pertama, disusul menggunakan ATM atau kartu debit. E-money, kartu kredit dan virtual currency masih ada di prioritas yang terakhir.

Gambar 4

Angka ini tentu masih akan fluktuatif, mengingat ada banyak inovasi yang terus digencarkan oleh pengusung layanan –termasuk menawarkan kelebihan lebih dan keuntungan lainnya, seperti program reward.

Selain empat temuan di atas, masih ada banyak lagi hasil survei mengenai penerimaan masyarakat terhadap barang dan pembayaran virtual. Laporan selengkapnya dapat diunduh secara gratis di Virtual Goods and Digital Goods Survei 2017.