Laporan DailySocial: Survei E-Money di Indonesia 2017

Baru-baru ini pemerintah RI mencanangkan bahwa seluruh transaksi jalan tol harus dilakukan menggunakan kartu uang elektronik per akhir bulan Oktober. Ini adalah titik terbaru perjalanan sosialisasi penggunaan uang elektronik dalam bentuk kartu di Indonesia.

Seementara itu, untuk uang elektronik berbasis server, perkembangan Go-Pay dari Go-Jek hingga bisa dibilang sangat pesat. Bisa dibilang Go-Pay menjadi “dompet kedua” konsumen karena bisa bisa digunakan untuk berbagai layanan.

Survei E-Money bertujuan melihat bagaimana keadaan penggunaan e-money oleh konsumen Indonesia. Survei dilaksanakan DailySocial.id bekerja sama dengan JakPat Mobile Survey Platform, menjaring jawaban dari 1059 responden yang disampel secara proporsional dari populasi pengguna smartphone se-Indonesia. Beberapa temuan survei antara lain:

  • Dua merek kartu uang elektronik terpopuler adalah Mandiri e-Money (33.14%) dan BCA Flazz (26.25%)
  • 56.80% responden baru memiliki kartu uang elektronik selama satu tahun atau kurang
  • 73.79% dari responden menyisihkan Rp250.000 atau kurang per bulannya, untuk transaksi uang elektronik
  • 42.43% responden merasa uang elektronik telah membantu mereka lebih mengendalikan pengeluaran mereka

Laporan selengkapnya bisa diunduh di halaman riset “E-Money Survey 2017”.

Video on Demand dan Penerimaannya oleh Masyarakat Indonesia

Ponsel pintar berhasil mengubah banyak hal, tidak hanya terkait aktivitas keseharian, juga pada preferensi seseorang dalam menikmati konten. Semuanya kini menjadi serba on demand, yang mengisyaratkan sebuah fleksibilitas dan penyesuaian kebutuhan berdasarkan kriteria tertentu, pun demikian dengan layanan konten. Salah satu yang mulai populer saat ini adalah video on demand (VoD).

Layanan VoD sederhananya sebuah sistem penyampaian konten video online, versi premium dengan mekanisme pembayaran berlangganan atau berdasarkan apa yang ingin dilihat. Trennya saat ini hampir semua layanan VoD di Indonesia menjalin kerja sama khusus dengan perusahaan telekomunikasi, dijajakan sebagai keuntungan/bonus atas paket berlangganan internet yang telah dibayar setiap bulannya. Lantas, apakah VoD ini diminati oleh masyarakat Indonesia secara umum?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, DailySocial bekerja sama dengan JakPat mengadakan sebuah survei terhadap 1037 pengguna ponsel pintar di berbagai wilayah di Indonesia. Sebagian besar responden sudah memahami apa itu layanan VoD, paling banyak (51,21%) mendefinisikan sebagai konten video yang ditonton melalui medium internet, sebagiannya lagi (49,66%) mendefinisikan sebagai konten video yang dibayar berdasarkan judul apa yang dipilih.

Layanan VoD populer di Indonesia

Di Indonesia saat ini sudah ada beberapa layanan VoD, rata-rata yang memiliki persentase besar sebarannya dibarengkan dengan paket data sebuah provider, misal HOOQ dan Viu bersama Telkomsel, iflix bersama Indosat Ooredoo. Berikut untuk persentase daftar layanan VoD berbayar yang paling populer berdasarkan masukan dari responden survei:

Hasil Survei VoD 1

Dan berikut ini adalah persentase hasil survei untuk penggunaan layanan VoD yang dapat dinikmati secara gratis di internet:

Hasil Survei VoD 2

Dari survei juga mengungkapkan sebuah data, bahwa sebagian besar responden (sekitar 70%) menyadari benefit layanan VoD yang mereka dapatkan dari hasil berlangganan paket data seluler ataupun pemasangan layanan tv kabel atau sejenisnya. Dari situ mereka memutuskan untuk memanfaatkan layanan tersebut. Dan keberadaan model VoD ternyata cukup mempengaruhi kebiasaan responden dalam menyaksikan konten video. Sebagian besar kini lebih suka melalui perangkat ponsel dan komputer.

Hasil Survei VoD 3

Apakah pengguna VoD di Indonesia bersedia untuk membayar?

Kendati layanan seperti YouTube sudah menjadi bagian dari konsumsi harian pengguna ponsel pintar, lantas apakah mereka bersedia untuk membayar layanan VoD untuk konten-konten premium? Berbicara rentang harga, sebanyak 54,32% responden mengharapkan harga jual konten tidak melebihi dari Rp25.000, lalu di rentang Rp25.000 – Rp50.000 ada sekitar 28,90% responden yang merasa masih mau untuk membayar. Sedangkan untuk harga di atas itu hanya persentase minoritas responden yang bersedia membayar.

Hal tersebut dikarenakan memang lebih banyak pengguna yang lebih suka menonton layanan VoD gratis, pun demikian saat dibandingkan dengan alternatif kanal video lainnya.

Hasil Survei VoD 4

Dari sini dapat disimpulkan, bahwa pendekatan yang dilakukan oleh pemilik layanan VoD dengan menggandeng dan membundel paket video dengan paket internet operator seluler menjadi langkah yang tepat. Pendekatan ke pengguna memang harus dilakukan secara bertahap, dengan mengenalkan seberapa eksklusif konten yang ada di VoD misalnya, sembari membuat ketertarikan semakin meningkat.

Di atas adalah beberapa cuplikan dari Video on Demand Survey 2017 yang telah dilakukan oleh DailySocial. Untuk mengunduh survei lengkap, dapat mengunjungi tautan berikut ini: klik di sini. Simak juga pembaruan berita tentang penyedia layanan VoD Indonesia di sini.

Gambaran Umum Program Akselerator Startup Global 2016

Gust, platform penghubung pengusaha dengan investor, baru-baru ini merilis hasil penelitiannya seputar lanskap akselerasi global dalam “Global Accelerator Report 2016”. Ada beberapa fakta yang dipaparkan dalam laporan ini, salah satunya total nilai investasi yang mencapai lebih dari $206 juta kepada 11305 startup melalui 579 program akselerator di 68 negara.

Dalam riset ini, Gust melakukan survei terhadap 1456 organisasi, dengan 579 di antaranya adalah akselerator yang memenuhi standar seperti definisi oleh Miller and Bound (2011). Temuan Gust juga mengemukakan bahwa ada kenaikan jumlah startup secara global di tahun 2016, tepatnya meningkat 27,9 persen dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan dipimpin oleh kawasan Eropa dengan jumlah startup tertinggi.

Kategori Financial Technology (Fintech), Internet of Things (IoT), Big Data Analysis, dan Software as a Service (SaaS) masih menjadi yang paling populer baik dalam program akselerator ataupun investasi startup. Trennya bahkan masih sangat kental sampai tahun 2017 ini. Tercatat juga 178 startup yang berhasil exit selama tahun 2016 lalu.

Gambar 1 - ABC

Akselerator di wilayah Asia Pasifik

Untuk wilayah Asia Pasifik, Gust mencatat total investasi mencapai lebih dari $15,5 juta, diinvestasi kepada 1368 startup dari 76 program akselerator. MaGIC Global Accelerator Program menjadi salah satu yang paling produktif berinvestasi di wilayah ini. Sayangnya dalam laporan kali ini tidak ada highlight spesifik tentang kondisi di Indonesia atau Asia Tenggara.

[Baca juga: Daftar Program Inkubator dan Akselerator Startup Indonesia]

Terkait program akselerator ada sebuah data menarik, yakni tentang keterlibatan akselerator dalam kepemilikan ekuitas startup. Sebanyak 59,4 persen akselerator mengambil ekuitas di startup, namun hanya 32,7 persen yang berniat menghasilkan pendapatan dari sana. Sementara 90,4 persen akselerator berencana menghasilkan uang melalui sumber pendapatan alternatif.

Gambar 2 - ABC

Di tahun 2016, model akselerasi startup juga terus berkembang. Empat tren utama dapat diidentifikasi dalam survei ini di antaranya hubungan akselerator dan korporasi yang kian terjalin, vertikalisasi segmen bisnis, fokus ekspansi, dan peleburan garis batas antara elemen pendukung startup.

Berikut adalah 10 program akselerator paling aktif di tahun 2016 lalu menurut catatan Gust. Hanya satu yang berlokasi di Asia Tenggara, yaitu MaGIC (Malaysia) yang mengakselerasi 140 startup melalui program Global Accelerator Program (GAP) sepanjang tahun 2016.

Gambar 3 - ABC

Pandangan Pengguna Bitcoin di Indonesia (Update)

Bitcoin banyak diperbincangkan akhir-akhir ini. Menjadi salah satu alat transaksi digital yang cukup revolusioner. Beberapa kini bahkan memanfaatkannya sebagai investasi, di tengah nilainya yang begitu fluktuatif—cenderung terus meningkat. Baru-baru ini, Luno (sebelumnya dikenal dengan nama BitX) sebagai penyedia platform jual, beli, kirim, terima, dan simpan Bitcoin di Indonesia, merilis sebuah haris survei tentang pandangan masyarakat Indonesia terhadap penggunaan Bitcoin.

Pertama ialah terkait dengan kepercayaan atas penggunaan Bitcoin. Sebagai instrumen investasi kepercayaan masyarakat cenderung mulai lebih percaya dengan mata uang digital ini. Dari 10 ribu responden survei, 47,9 persen di antaranya mengaku percaya Bitcoin efektif dan menjanjikan untuk dijadikan sebagai investasi. Pun demikian dengan pemanfaatan Bitcoin sebagai alat pembayaran, sebanyak 44,2 persen dari responden percaya untuk melakukan transaksi melalui Bitcoin, 36,2 persen masih ragu-ragu, dan sisanya 19,6 persen masih belum sepenuhnya percaya.

Gambar 1

Dalam survei juga diajukan pertanyaan terkait pilihan antara investasi emas atau Bitcoin. Sebanyak 46,6 persen dari responden lebih memilih berinvestasi pada Bitcoin, sebanyak 12,9 persen lebih percaya emas, dan sisanya netral. Angka yang cukup menarik, menunjukkan literasi digital yang mulai matang dan kebutuhan akan investasi yang lebih mudah dipantau, dikontrol dan didapatkan.

“Popularitas Bitcoin meroket dalam satu tahun terakhir baik dalam konteks global maupun di Indonesia. Kini kita dapat melihat banyak pemberitaan positif di media, seperti berita ketika Jepang melegalkan Bitcoin sebagai mata uang, negara-negara dan regulator yang mulai membahas mengenai aturan yang sesuai untuk industri Bitcoin, serta pertumbuhan industri Bitcoin secara keseluruhan – total nilai aset mata uang digital secara global telah tumbuh dari $20 miliar pada awal tahun 2017 menjadi sekitar $150 miliar sekarang,” ujar Claristy, Country Analyst Luno

Claristy melanjutkan, “Di Indonesia khususnya, kita melihat tingginya antusiasme terhadap Bitcoin. Selalu ada pelanggan baru yang daftar setiap hari untuk membeli Bitcoin setelah membaca tentang Bitcoin di media dan mendengar dari teman-teman mereka. Tentunya ada tantangan seperti edukasi, regulasi, dan sebagainya, namun sejauh ini trennya mengarah ke arah positif.”

Selanjutnya terkait dengan mengapa sebagian dari masyarakat mulai mempertimbangkan untuk membeli Bitcoin. Dari survei disebutkan, bahwa alasan finansial cenderung lebih dominan, yakni seputar kebutuhan investasi dan spekulasi kenaikan harga. Terkait dengan layanan yang menjembatani pengguna untuk bertransaksi dengan Bitcoin sendiri di Indonesia sudah cukup beragam. Selain dukungan Luno, layanan digital wallet seperti Doku juga telah memudahkan akses transfer pembelian Bitcoin.

Bahkan baru-baru ini dikabarkan bahwa perusahaan di jaringan konglomerasi Tahir di Indonesia tengah bersiap untuk menerima transaksi dengan Bitcoin di lini bisnisnya. Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan terhadap Bitcoin semakin meningkat.

Gambar 2

Bicoin sendiri bukan satu-satunya cryptocurrency yang saat ini bisa digunakan, ada beberapa sistem lain yang juga menyajikan produk sejenis. Namun dari hasil survei dikemukakan bahwa Bitcoin tetap yang paling populer di antara lainnya. Hal ini sejalan dengan keyakinan responden, 47,9 persen meyakini di akhir tahun nanti nilai konversi Bitcoin dapat mencapai 60 juta.

Gambar 3

“Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh komunitas dan industri Bitcoin di Indonesia adalah tidak adanya regulasi yang jelas. Seperti yang Anda lihat di survei yang kami lakukan, lebih dari 88% responden akan membeli lebih banyak Bitcoin jika pemerintah (dalam konteks ini, Bank Indonesia) membuat regulasi penggunaan Bitcoin di Indonesia. Tapi seperti halnya industri baru, hal ini lumrah terjadi. Regulator harus berhati-hati dalam membuat keputusan, dan kami selalu terbuka untuk bekerja sama dan berdiskusi mengenai industri Bitcoin secara menyeluruh,” pungkas Claristy.

––

Disclaimer: Tulisan ini hanya bersifat informatif, sehingga segala pilihan investasi yang diambil setelah membaca tulisan ini berada di luar tanggung jawab penulis.

Jika Anda tertarik untuk investasi Bitcoin, Anda dapat membaca artikel tiga cara mudah beli Bitcoin. Namun, pastikan Anda telah membaca dan memahami risiko Bitcoin sebelum melakukan investasi tersebut.

Update: Penambahan pernyataan tanggapan dari Luno seputar tren dan tantangan adopsi Bitcoin saat ini.

Aplikasi “Budget Hotel” dan Penerimaan Konsumen di Indonesia

Budget hotel tergolong tren baru dalam industri travel, menawarkan layanan penginapan sesuai kebutuhan konsumen. Karakteristiknya pengguna dapat memilih jenis layanan yang dibutuhkan saat menginap –jika layanan hotel umum secara otomatis menyajikan full-services—sehingga cenderung memberikan lebih banyak penghematan di sisi konsumen.

Mengikuti tren digital, budget hotel juga ditawarkan oleh OTA (Online Travel Agency), bahkan sudah ada beberapa pemain spesifik yang hadir di Indonesia, sebut saja Airy Rooms, NIDA Rooms, RedDoorz, hingga ZEN Rooms.

Untuk mengetahui popularitas dan pandangan konsumen di Indonesia terhadap budget hotel, DailySocial bekerja sama dengan JakPat melakukan survei kepada pengguna smartphone di Indonesia untuk mengetahui ketertarikannya terhadap layanan tersebut. Sekurangnya ada 1005 responden yang mengikuti survei tersebut.

Tesis kami diawali dengan mengetahui kecenderungan pengguna ketika hendak menyewa sebuah tempat penginapan, sebanyak 65.77% telah memanfaatkan aplikasi atau layanan web agregasi, 41% mendatangi langsung hotel untuk menyewa, 18,81% melalui telepon, dan 17,31% melalui agen travel (offline).

Kecenderungan orang menggunakan layanan budget hotel

Porsinya sudah jelas, ada separuh lebih dari responden yang telah memanfaatkan layanan digital untuk memesan tempat penginapan. Lalu tentang penggunaan aplikasi budget hotel responden mengaku telah mengenal beberapa nama pemain, di antaranya ZEN Rooms, RedDoorz, NIDA Rooms, dan Tinggal.

Budget Hotel Survey 1

Habit pemesanan langsung tetap dilakukan konsumen tatkala memesan budget hotel. Cukup masuk akal, karena pada umumnya orang memilih jenis penginapan tersebut lantaran membutuhkan efisiensi biaya atau hanya butuh sekedar menginap –umumnya dilakukan oleh pelancong, atau istilah kekiniannya backpackers. Selain penghematan dari sisi biaya, ternyata alasan lain orang-orang menggunakan budget hotel adalah efisiensi waktu.

Budget Hotel Survey 2

Dasar pemilihan budget hotel untuk menginap

Bagi pengguna budget hotel sendiri, ada beberapa kriteria yang ditentukan dalam memilih sebuah tempat. Faktor harga menjadi dominan, disusul jarak dengan destinasi terdekat. Berkaitan dengan faktor lain seperti tingkatan bintang suatu hotel dan fasilitas justru tidak terlalu menjadi perhatian. Konsiderasi ini bisa ditarik menjadi sebuah pola tentang konsumen budget hotel, yaitu hemat dan mudah dijangkau.

Budget Hotel Survey 3

Terkait dengan temuan lain seputar karakteristik konsumen budget hotel di Indonesia, bisa diunduh selengkapnya dalam laporan bertajuk “Budget Hotels Apps in Indonesia Survey 2017”. Temukan juga kabar terbaru tentang ekspansi, pendanaan, dan pergerakan baru pemain OTA di sektor budget hotel di Indonesia.

Layanan Belajar Online Masih Belum Signifikan Diminati Masyarakat Indonesia

Massively Online Open Courses (MOOC) merupakan salah satu dari transformasi teknologi dalam pendidikan. Namun tampaknya model belajar melalui medium internet tersebut belum banyak diminati oleh masyarakat di Indonesia. Untuk memahaminya lebih dalam, secara khusus DailySocial bekerja sama dengan JakPat mengadakan survei kepada 1023 pengguna smartphone mengenai pendapatnya tentang penggunaan layanan MOOC.

Dari total responden, 51,11 persen di antaranya sudah mengetahui tentang MOOC, sisanya tidak mengetahui sama sekali. Dari total yang mengetahui pun, mayoritas (79,77 persen) belum pernah mencoba menggunakan layanan tersebut untuk alternatif belajar. Dari seluruh layanan MOOC yang ada, yang paling populer menurut responden Duolingo, OpenCourseware, Coursera, dan Khan Academy.

Untuk pengguna MOOC, responden di Indonesia paling banyak menggunakan untuk belajar materi bahasa asing dan teknologi informasi. Kendati beberapa bahasan lain seperti bisnis, sains hingga pelajaran sekolah juga ada yang menggunakan. Di Indonesia sendiri, beberapa penyedia MOOC yang banyak digunakan di antaranya BangsaCerdas, IndonesiaX dan portal belajar Kelase.

Gambar 1 Survei MOOC DailySocial

Alasan yang cukup signifikan mengapa masyarakat Indonesia tidak hobi menggunakan internet untuk mengakses MOOC pertama ialah karena tidak ada waktu (45,94 persen), kemudian kendala koneksi internet (32,94 persen) dan harga layanan yang dinilai mahal (27,66 persen). Kendati demikian sebenarnya layanan MOOC disediakan untuk mengakomodasi pengguna dengan mobilitas tinggi, sehingga lebih fleksibel untuk mengakses bahan belajar yang interaktif dengan berbagai perangkat yang dimiliki. Tak sedikit juga yang menawarkan materi belajar gratis di portalnya.

Disajikan dalam mode digital, MOOC memang menawarkan ragam varian bentuk materi belajar yang disampaikan. Mulai dari berbentuk modul, kuis, materi interaktif hingga video. Namun responden menilai bahwa video lebih mudah dimengerti. Mayoritas (53,37 persen) responden setuju bahwa salah satu keuntungan dari MOOC karena konten video tersebut, sehingga dinilai penting oleh responden bagi penyedia MOOC menghadirkan konten berjenis multimedia tersebut.

MOOC juga kerap dikaitkan dengan salah satu evolusi dari e-learning sehingga tak sedikit yang menggunakan sebagai alternatif belajar untuk materi sekolah. Terkait dengan implementasinya untuk mendukung pembelajaran formal, bisa dikatakan bahwa pemanfaatannya belum optimal. Karena ada yang menganggap bahwa hasilnya sangat efisien, namun ada pula yang menganggap tidak efisien.

Gambar 2 Survei MOOC DailySocial

Beberapa sekolah dan universitas di luar negeri secara serius memanfaatkan model MOOC untuk pembelajaran, beberapa di antaranya bahkan secara penuh menggunakan layanan terkait untuk pembelajaran. Tren e-learning di Indonesia sendiri sebenarnya bisa dikatakan masih berada dalam masa transisi, saat ini justru kalangan bisnis yang terpantau tertarik untuk mengeksplorasi manfaatnya untuk pengembangan SDM di lingkungannya. Sedangkan untuk kalangan konsumer memang belum terlihat signifikan. Mungkin masih banyak faktor yang perlu dibenahi dan disesuaikan, terutama terkait infrastruktur dan kultur.

Lebih lengkap tentang temuan survei seputar MOOC, termasuk daftar penyedia MOOC lokal dan internasional mana yang lebih disukai, dapat diunduh gratis melalui laporan survei berjudul: “MOOC in Indonesia Survey 2017”. Simak juga pemberitaan tentang perkembangan startup di bidang pendidikan yang dirangkum dalam kolom edtech DailySocial.

Melihat Tren E-Learning sebagai Komoditas Bisnis

E-learning bukan sebuah hal yang baru. Saat ini varian platform belajar itu sudah begitu banyak, pun demikian dengan startup atau perusahaan yang mencoba membisniskanya. Penetrasinya yang tidak se-booming teknologi lainnya –misalnya e-commerce ataupun layanan online lainnya—membuat banyak yang mengira bahwa platform ini kurang “sexy” untuk dijadikan sebagai sebuah revenue stream.

Menurut hasil penelitian dari elearningindusry.com, negara dengan tingkat pertumbuhan adopsi e-learning adalah India (55%), disusuk Tiongkok (52%), Malaysia (41%), dan Romania (28%). Indonesia sendiri berada di urutan ke 8 dengan pertumbuhan sebesar 25% setiap tahunnya. Angka ini lebih besar dari rata-rata Asia Tenggara sebesar 17,3%.

2

Terdapat sebuah pergeseran unik dari bisnis di sektor pendidikan ini, e-learning mulai mengarah ke kalangan B2B (Business-to-Business). Sebagai contoh, instansi publik di Amerika Serikat 77% memanfaatkan e-learning untuk program pelatihan korporasi demi meningkatkan keterampilan pekerjanya. Di sisi industri, pangsa pasar online corporate training meningkat 13% per tahun.

[Baca juga: Riset DailySocial tentang Pengguna Kursus Online di Indonesia]

Perusahaan dari skala kecil, menengah, hingga besar mulai memandang pentingnya dan keuntungan dari adanya e-learning. Menurut data dan statistik dari The 2014 Training Industry Report, sebesar 29% perusahaan secara global  baik kecil, menengah, dan besar berminat membeli perangkat lunak dan jasa e-learning. Selain itu, sebesar 41% perusahaan berminat untuk membeli jasa Learning Management System (LMS).

Di Indonesia sendiri bisnis e-learning mulai berkembang. Berbagai bentuk layanan disuguhkan. Salah satunya yang menyediakan berupa SaaS adalah Squline. Pihaknya menyediakan jasa pendidikan bahasa asing secara online berbasis Learning Management System (LMS) dengan memanfaatkan teknologi seperti video call, materi dan tugas-tugas online, penjadwalan belajar, evaluasi dari pengajar serta laporan belajar untuk murid.

Menanggapi dengan tren e-learning yang sekilas tampak “loyo”, CEO Squline Tomy Yunus mengungkapkan:

“Kami melihat dan menganalisis data serta statistik yang ada terkait bisnis e-learning di Indonesia secara seksama dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan laporan, survei, dan penelitian telah menunjukkan bahwa industri e-learning tidak melambat. Faktanya semakin banyak individu, perusahaan dan institusi beralih ke e-learning karena mereka menyadari keefektifan dan kenyamanannya.”

[Baca juga: Startup Pendidikan Squline Fokus Tambah Pengguna Korporasi]

Terkait dengan model B2B yang kini berkembang di sektor ini, Tommy turut menceritakan, “Untuk bisnis, kami telah bekerja sama dengan beberapa perusahaan besar di Indonesia seperti asuransi, migas, retail, institusi pendidikan dan pelatihan, hingga BUMN. Oleh karena itu, kami menargetkan perluasan pasar business to business (B2B) sebesar 13% per tahun sesuai dengan tren pasar e-learning untuk perusahaan secara global.”

5

Dari testimoni pengguna Squline sendiri, sistem belajar secara online dianggap sebagai cara efektif bagi murid-murid. Hal ini juga didukung berdasarkan data bahwa belajar melalui e-learning membutuhkan waktu 40-60% lebih sedikit dibandingkan sistem belajar offline. Selain itu, dengan metode e-learning peserta menjadi lebih efektif belajar dengan menguasai hampir 5x lebih banyak materi dibandingkan dengan kelas offline dengan durasi waktu belajar yang sama.

Perangkat VR dan AR Belum Populer di Indonesia, Namun Masyarakat Antusias Menyambutnya

Produk berbasis Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR) saat ini sudah sangat mudah ditemui. Mulai yang dibungkus dalam sebuah permainan digital, hingga digunakan oleh brand untuk menghasilkan konten yang menarik.

OmniVR, Octagon, Digital Happiness, AR&Co. dan sebagainya menjadi pemain lokal yang turut meramaikan pasar tersebut. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai popularitas VR dan AR di kalangan masyarakat Indonesia, DailySocial bekerja sama dengan JakPat melakukan sebuah survei melibatkan 1013 responden pengguna ponsel pintar di Indonesia.

Pemahaman tentang VR dan AR sudah cukup beragam, khususnya saat diminta untuk membedakan di antara keduanya. Sebanyak 9,08% dari responden masih menganggap VR dan AR adalah dua hal yang sama, sedangkan 44,32% masih kurang yakin terhadap konsep keduanya. Terkait perbandingan di antara VR dan AR, responden lebih memahami lebih dalam tentang VR (61,20%) dibanding dengan AR (42,65%).

Terkait dengan perangkat, beberapa tipe perangkat VR dan AR sudah pernah digunakan oleh responden. Yang paling banyak digunakan adalah Samsung Gear VR. Persentasenya pun masih separo responden yang pernah menggunakan. Pun demikian hanya 40,67% dari responden yang pernah memasang aplikasi berbasis VR atau AR di ponsel pintarnya.

Riset tentang popularitas VR dan AR di Indonesia

Salah satu isu dari penggunaan perangkat berbasis VR adalah motion sickness atau rasa pusing yang diakibatkan dari gerakan objek virtual dalam aplikasi. Dari responden yang pernah mencoba perangkat VR, persentasenya hampir sama antara yang merasa pusing dan tidak merasa pusing saat menggunakan perangkat tersebut.

Tidak hanya para pengembang yang percaya bahwa VR dan AR akan memiliki masa depan cerah untuk diimplementasikan dalam banyak hal. Responden survei pun lebih banyak yang menganggap bahwa ke depan perangkat tersebut akan bermanfaat untuk menunjang kebutuhan profesional, hiburan hingga pendidikan. Salah satu yang sudah bisa dicicipi saat ini (walau baru 15,60% responden yang mencoba) adalah untuk virtual shopping.

Riset tentang popularitas VR dan AR di Indonesia

Secara umum survei ini menyimpulkan bahwa cakupan penggunaan VR dan AR belum begitu luas di Indonesia, banyak alasan yang menjadikan pengguna belum sempat mencobanya. Namun demikian, responden terlihat antusias menyambut inovasi berbasis VR dan AR untuk berbagai kepentingan. Hal ini menyiratkan, bahwa pangsa pasar untuk inovasi VR masih sangat memungkinkan untuk berkembang dan inovator di bidang ini dapat terus memacu pengembangan produknya.

Dalam survei tersebut, juga diperlihatkan berbagai data tentang pengalaman pengguna menggunakan perangkat VR/AR, sektor yang paling ditunggu untuk kehadiran VR/AR, dan lain sebagainya. Versi lengkap dari survei tersebut dapat diunduh secara gratis di sini.

Riset Nielsen Tunjukkan Pergeseran Penikmat Media ke Ranah Online

Sebuah data hasil riset dari Nielsen Company yang dirilis paruh pertama tahun 2017 menunjukkan beberapa tren menarik dalam industri digital dan media. Total sampel yang diikutsertakan dalam riset kali ini sebanyak 1107 dengan dominasi responden di usia antara 16-34 tahun dari 11 kota besar di Indonesia, mewakili sekurangnya 54,8 juta penduduk.

Bab pertama temuan survei membahas tentang penetrasi media. Tercatat bahwa TV masih berada di peringkat pertama dengan 96 persen responden masih menikmatinya, disusul oleh media berjenis static outdoor (53 persen), kemudian internet (44 persen – setara dengan 24,2 juta penikmat), radio (37 persen), koran (7 persen), dan majalah (3 persen). Penetrasi internet menjadi yang cukup signifikan, meningkat 26 persen sejak lima tahun silam.

Demografi menjadi salah satu hal menarik dalam media, hal ini menjadi kebutuhan bagi para brand untuk menargetkan pangsa pasar yang tepat. Dari konsumsi media didasarkan pada generasi tersaji sebuah grafik menarik berikut. Millennials dan generasi X yang kini menjadi pangsa pasar mayoritas brand terpantau lebih menyukai media internet dan bioskop dalam aktivitas mendapatkan konten.

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Kemudian jika menilik proposisi media berdasarkan Social-Economic Class (SEC), terdapat temuan masyarakat kelas 1 (berpenghasilan di atas rata-rata) mendominasi penggunaan TV berlangganan. Sedangkan untuk kelas menengah masih mengisi semua porsi, dengan persentase tertinggi ada pada TV konvensional, internet dan majalah.

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Perangkat tablet kurang dinikmati pengguna di Indonesia

Internet menjadi saluran media paling bertumbuh, hal tersebut tak lain dipengaruhi karena aksesiblitas yang makin terjangkau. Mengenai alat akses sendiri, dari hasil survei Nielsen terungkap bahwa ponsel pintar masih berada pada di tingkat teratas, pun demikian dengan pertumbuhannya. Persentase menarik lainnya justru penetrasi perangkat tablet kian menurut. Pada grafik di bawah membandingkan antara penggunaan perangkat di tahun 2015 (ungu tua) dan tahun 2017 (ungu muda).

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Menjadi sebuah temuan menarik, pasalnya justru angka yang masih besar berada pada perangkat laptop dan PC. Faktor kenyamanan dinilai menjadi yang paling mempengaruhi mengapa tablet pada akhirnya kurang diterima di kalangan masyarakat yang menjadi responden.

Tentang penetrasi konten video internet

Tentang media hiburan juga bergeser, kendati sambungan TV masih memiliki porsi tertinggi, ada peningkatan yang cukup signifikan untuk konten video internet. Dalam grafik di bawah ini, varian konten video internet persentasenya tersaji pada grafik batang berwarna kuning. Frekuensinya aksesnya cukup beragam, sedangkan kategori usia menjadi salah satu yang mempengaruhi.

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Sedangkan untuk kanal video populer, YouTube masih mendominasi di pasar. Pun saat dibandingkan dengan penyedia konten viral lokal. Persentasenya berselisih sangat jauh. Tentu dapat dipahami, bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi angka tersebut. Selain dari kuantitas dan kategori video yang tersedia, kemudahan fitur pada kanal platform juga menjadi salah satu faktor keberpihakan pengguna dengan portal video milik Google tersebut.

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Nielsen juga mencoba menelisik lebih dalam terhadap persentase masyarakat yang belum menikmati konten berbasis internet. Terdapat tiga alasan fundamental, yakni terkait dengan ketersediaan infrastruktur, pengetahuan teknologi yang rendah, serta kenyamanan dengan konten yang telah disediakan oleh TV konvensional.

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Efektivitas media internet dengan kebutuhan pemasaran produk

Dalam risetnya Nielsen juga menanyakan apakah ketika responden melihat sebuah tayangan brand di konten yang ia temui internet mereka akan mencari tahu lebih lanjut. Selain responden berusia 50 tahun ke atas, kebanyakan dari responden (lebih dari 60 persen) mengaku selalu berminat mencari tahu lebih lanjut. Karena pada umumnya iklan yang ia lihat di media online mengerucut kepada produk atau brand yang cocok untuk mereka. Hal tersebut tentunya berpengaruh pada digital advertising yang kian maju, mampu menargetkan secara spesifik kepada demografi pengguna yang diincarnya.

Ada beberapa jenis tindakan yang coba dipetakan ketika pengguna mencari tahu lebih lanjut tentang produk yang mereka temui di konten online. Mulai dari menilik lapak online yang diinformasikan, melakukan pembelian secara langsung, menghubungi penyaji brand terkait, atau membeli secara online. Persentase tertinggi ialah melakukan pembelian secara online.

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Sehingga dapat menjadi sebuah simpulan bahwa akses media online tidak terpaku pada sebuah platform media saja, namun sifatnya kait-mengait satu dengan yang lainnya. Misalnya antara media online dengan iklan digital, antara iklan digital dan toko online, dan lain sebagainya.

Konsumen Indonesia Belum Banyak Mengetahui Layanan Fintech Lending

Fintech (Financial Technology) menjadi salah satu kategori yang sangat berkembang di lanskap startup tanah air. Bahkan sejak setahun terakhir, fintech digadang-gadang menjadi salah satu inovasi yang akan menghadirkan disruption dalam industri keuangan secara umum. Menilik lebih dalam pada sektor fintech itu sendiri, salah satu sub-kategori populer adalah platform lending. Yakni menjadi medium untuk pengguna dapat mengajukan peminjaman sekaligus memfasilitasi dana untuk dipinjamkan kepada seseorang.

Secara khusus DailySocial bekerja sama dengan JakPat mengadakan survei terhadap 1016 pengguna ponsel pintar di Indonesia untuk mengetahui sejauh apa mereka mengetahui tentang layanan fintech, khususnya tentang layanan lending yang saat ini gencar dihadirkan oleh inovator startup digital Indonesia. Dari total responden, baru sebanyak 30,91% yang mengetahui atau pernah mendengar tentang istilah fintech. Sedangkan 92,62 persen sudah terbiasa dengan istilah lending, credit dan loan.

Kendati demikian, di kalangan masyarakat masih banyak alasan yang menjadikan mereka enggan untuk mengajukan pinjaman, baik melalui perbankan ataupun institusi keuangan lainnya. Alasan tertinggi karena merasa tidak nyaman dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak memiliki hutang (72,31%). Dan beberapa alasan lain turut diungkapkan oleh responden seperti tidak sedang membutuhkan hingga prinsip personal.

Menariknya dari yang sudah pernah mengajukan pinjaman, persentase paling besar digunakan untuk kebutuhan bisnis, disusul peringkat nomor dua untuk pembelian kendaraan bermotor.

Survei DailySocial tentang layanan lending di Indonesia
Survei DailySocial tentang layanan lending di Indonesia

Tanggapan masyarakat soal hadirnya layanan fintech

Persentase dari masyarakat yang mengetahui layanan fintech dapat dibilang masih kecil. Terlebih 100% dari responden adalah pengguna aktif ponsel pintar. Hal ini turut menjadi pemicu kecilnya pengguna layanan pada sub kategori. Misal saja untuk persentase responden yang mengetahui layanan peminjaman secara online melalui ponsel atau website, hanya 25,59% dari responden yang mengetahuinya. Dan hanya 6,50% dari responden yang pernah mengajukan peminjaman melalui platform tersebut.

Survei DailySocial tentang layanan lending di Indonesia 2

Pun demikian dengan persentase responden yang mengetahui tentang kesempatan untuk berinvestasi dalam platform lending berbasis web ataupun aplikasi. Hanya 20,67% dari responden yang mengetahui layanan tersebut. Dan hanya 6% yang pernah mencoba untuk menjadi investor yang meminjamkan dananya kepada untuk orang lain melalui platform online.

Dalam survei tersebut DailySocial juga menanyakan tentang ketertarikan peminjaman untuk kebutuhan bisnis ataupun konsumsi. Hingga faktor apa saja yang akhirnya menentukan masyarakat untuk mengajukan peminjaman, termasuk perbandingannya antara meminjam melalui layanan online ataupun institusi keuangan yang didatangi secara fisik. Untuk selengkapnya tentang laporan “Fintech Lending in Indonesia – Consumer Awareness 2017” dapat diunduh secara gratis.

Simak juga kabar terkini tentang perkembangan startup lending di Indonesia.