Tren dan Perkembangan Pemasaran Digital 2017 untuk Segmentasi B2C dan B2B

Digital marketing saat ini seakan sudah menjadi keharusan untuk dimasukkan dalam strategi bisnis. Penerapannya dapat berupa banyak hal dengan ragam bentuk, seiring dengan banyaknya kanal yang dapat dimanfaatkan. Di tahun 2017 ini konsep digital marketing nyatanya kian kuat pengaruhnya, berbanding lurus dengan akses digital yang makin disukai oleh masyarakat.

Dalam sebuah laporan bertajuk “Indonesia’s Digital and Content Marketing Report in 2017” yang dirilis GetCRAFT dikemukakan beberapa fakta menarik tentang tren pemasaran digital. Salah satu temuan yang masih melanjutkan tren sebelumnya, yakni tentang media sosial yang masih menjadi kanal paling efektif digunakan, terutama untuk B2C. Sedangkan untuk B2B pendekatan content marketing masih dinilai yang paling efektif.

Efektivitas pemasaran untuk segmentasi pasar B2B / GetCRAFT
Efektivitas pemasaran untuk segmentasi pasar B2B / GetCRAFT

Ada alasan mendasar mengapa B2C dan B2B memiliki kanal pendekatan yang berbeda. Media sosial sangat efektif digunakan untuk menyasar konsumen akhir untuk produk berbasis konsumen. Namun sangat berbeda dengan pangsa pasar B2B yang membutuhkan follow up kepada para pengambil keputusan di bisnis itu sendiri. Sementara media sosial tidak menjangkau spesifik di sana, kendati beberapa kanal seperti LinkedIn bisa digunakan.

Content marketing dinilai mampu menjangkau dengan baik pada segmentasi pengambil keputusan. Di level tersebut insight dibutuhkan untuk membuka ketertarikan terhadap sebuah produk atau layanan.

Tren tersebut di atas membawa perubahan besar pada pengeluaran budget pemasaran perusahaan. Riset mengungkapkan bahwa marketer setidaknya 31% dari total budget pada pendekatan digital. Sebagian besar (76%) merasakan peningkatan yang berarti dari strategi tersebut. Laporan juga mencatat rata-rata pengeluaran untuk digital marketing mencapai 1,9 juta per bulan.

Peningkatan sudah pasti, namun masih ada tantangan dalam implementasinya

Para marketer dalam menjajaki pemasaran digital juga bukan tanpa halangan. Tantangan terbesar saat ini pada keterbatasan budget dan kesenjangan kemampuan serta sumber daya pendukung. Pasalnya pemasaran digital sendiri juga masih terus mencari bentuknya. Skenarionya pun harus dinamis, menyesuaikan perilaku pengguna di lanskap internet.

Tantangan utama dalam pemasaran digital / GetCRAFT
Tantangan utama dalam pemasaran digital / GetCRAFT

Tantangan tersebut termasuk kejelasan proses dan tujuan kampanye digital marketing yang digalakkan. Tidak sedikit marketer yang masih terus mencoba mengendalikan proses kampanye digital dan mengelaborasikan secara lebih jelas dengan tujuan mereka. Kebutuhan tersebut terkait dengan pelaporan dan pengukuran efektivitas, masih banyak yang merasa tidak jelas membaca irisan yang ada. Ini berlaku baik untuk pemasaran digital di segmentasi B2C ataupun B2B.

Kesempatan besar yang dapat memberikan dampak pada pertumbuhan bisnis / GetCRAFT
Kesempatan besar yang dapat memberikan dampak pada pertumbuhan bisnis / GetCRAFT

Digital marketing ditargetkan untuk memberikan pengalaman baru kepada konsumen

Tujuan utama dari pemasaran modern adalah membawa calon konsumen potensial ke dalam pengalaman baru, yang akan membuat mereka nyaman dengan produk atau layanan yang ditawarkan. Menarik saja tidak cukup, karena target yang lebih riil untuk dicapai berkaitan dengan traksi. Di sini diperlukan edukasi mendalam terkait dengan produk, sehingga para marketer setuju bahwa poin puncak untuk peluang pertumbuhan ada di strategi memberikan pengalaman pengguna, salah satunya dengan menghasilkan brand awareness dan interaksi dengan audience.

Tentang pengukuran hasil pemasaran digital / GetCRAFT
Tentang pengukuran hasil pemasaran digital / GetCRAFT

Salah satu cara yang paling efektif ada di poin selanjutnya, yakni konten pemasaran dan mobile sebagai platform. Tidak hanya memamerkan produk secara sekilas, kekuatan konten pemasaran banyak ditargetkan untuk mampu membawa konsumen kepada objectives yang ingin disampaikan kepada konsumen itu sendiri, dari produk atau  layanan yang dikembangkan. Lalu mengapa mobile? Dalam riset yang sama disebutkan perbandingan yang begitu signifikan, pengguna komputer menjangkau 28% dari trafik website sedangkan dominasi 69% oleh perangkat bergerak, khususnya ponsel pintar. Ketiga hal tersebut berjalan beriringan menyatu dalam sebuah strategi pemasaran digital yang kuat.

Konten yang paling banyak diminati dalam pemasaran digital khususnya B2B / GetCRAFT
Konten yang paling banyak diminati dalam pemasaran digital khususnya B2B / GetCRAFT

Lalu berkaitan dengan konten sendiri, bayak pilihan yang dapat mendukung kegiatan pemasaran digital saat ini. Para marketer sepakat bahwa konten berupa artikel masih menjadi yang paling efektif, disusul dengan video, newsletter, infografis, hingga studi kasus.

Laporan DailySocial: eSports di Indonesia

Sudah beberapa tahun permainan video game komputer mulai dikelola sebagai olahraga kompetisi profesional. Beberapa atlet dan klub eSports pun telah muncul di Indonesia, berkompetisi dan berprestasi di tingkat mancanegara. eSports pun adalah salah satu aplikasi yang sangat membutuhkan koneksi Internet yang handal.

DailySocial bekerja sama dengan JakPat mengadakan survei untuk memetakan tanggapan masyarakat Indonesia terhadap fenomena eSports. Survei mendapatkan partisipasi dari 1041 responden dari antara pengguna smartphone se-Indonesia.

Beberapa temuan survei antara lain:

  • Sebanyak 76.55% responden setuju bahwa eSports memang layak diperlakukan sebagai olahraga ketangkasan profesional.
  • Sebanyak 64.55% responden mengaku sering bermain videogame, baik di PC, di TV console, di handheld console, maupun di mobile gadget
  • Sebanyak 53.70% responden pernah menyaksikan pertandingan eSports, baik siaran langsung maupun siaran rekaman.
  • Sebagian besar responden (87.90%) setuju bahwa prestasi atlet-atlet & tim-tim Indonesia di kancah internasional dapat meningkatkan kebanggaan nasional dan mengharumkan nama Indonesia.

Untuk detil laporan yang lebih lengkap, dapatkan laporan eSports in Indonesia Survey 2017 dari DailySocial.id.

Survei MOOC di Indonesia

MOOC (Massively Online Open Courses), juga dikenal sebagai Kelas Belajar Online, memanfaatkan jaringan Internet untuk memberikan kepada masyarakat sebuah cara untuk belajar jarak jauh (distance learning). Selain yang diadakan Universitas MIT dan Stanford di Amerika Serikat, dan juga oleh beberapa pihak swasta, beberapa startup lokal Indonesia pun melakukan pengadaan MOOC. Baik yang gratis pun berbayar.

DailySocial bekerja sama dengan JakPat mengadakan sebuah survey untuk mendapat gambaran tanggapan masyarakat Indonesia sejauh ini terhadap MOOC. Survei diadakan terhadap sejumlah 1023 responden yang disampel dari seluruh populasi Indonesia.

Beberapa temuan survei antara lain:

  • Sejumlah besar responden (56,11%) pernah mendengar istilah MOOC atau Kelas Belajar Online, namun sebagian besar juga (78.30%) belum pernah mencobanya
  • Di antara mereka yang pernah berpartisipasi dalam MOOC, bagian paling besar (57,5%) mempelajari sebuah bahasa asing.
  • Sejumlah besar responden juga menyambut baik ide bahan pelajaran alternatif yang belum disediakan di berbagai MOOC, seperti perpajakan untuk wiraswasta dan pekerja freelance (51.90%) dan kajian kesenian tradisional Indonesia (48.39%)

Untuk laporan hasil lengkap survei kami mengenai MOOC di Indonesia, unduh laporan “MOOC in Indonesia Report 2017” dari DailySocial.

TotallyAwesome: Anak-anak Kini Lebih Banyak Habiskan Waktu Berinternet Dibanding Menonton TV

Platform digital dan konten untuk anak-anak di kawasan Asia Tenggara TotallyAwesome mengeluarkan hasil penelitian tentang kebiasaan anak. Dari laporan tersebut ditemukan tren pada anak-anak di Asia Tenggara yang lebih banyak menggunakan internet dibandingkan dengan televisi.

Laporan hasil penelitian TotallyAwesome pada tahun 2016-2017 menunjukkan bahwa internet dinikmati anak-anak lebih lama 24 menit dibanding menonton televisi setiap harinya. Secara total ada 77% anak yang lebih memilih internet dibandingkan dengan televisi ketika harus memilih di antara dua media tersebut.

Salah satu temuan menarik hasil penelitian TotallyAwesome adalah bagaimana pengaruh anak-anak dalam penentuan keputusan orang tua untuk membeli barang. Dari data yang didapat, lebih dari setengah orang tua yang menerima survei mengaku bahwa mereka membeli barang yang diminta anak-anak sesaat setelah melihat iklan produk tersebut di media online.

“Seiring dengan konsumsi media mobile dan online yang semakin berkembang di kalangan anak-anak Asia Tenggara, menggali lebih dalam tentang bagaimana anak-anak menggunakan media serta bagaimana kebiasaan ini berubah sesuai usia dan tayangan di berbagai media, menjadi masukan yang penting bagi brand untuk strategi kampanye produk yang efektif,” terang CEO TotallyAwesome Quan Nguyen.

Dari segi perangkat, anak-anak lebih sering menggunakan smartphone dan televisi, dibandingkan perangkat lainnya. Anak-anak juga punya akses yang lebih mudah terhadap smartphone dibandingkan televisi.

Quan menjelaskan bahwa sekarang sudah waktunya untuk mempertimbangkan pengaruh anak-anak sebagai pengambil keputusan dalam sebuah keluarga terkait hal konsumsi barang. Brand juga juga perlu menyadari pentingnya menjangkau dan berinteraksi dengan anak-anak secara konsisten dalam bentuk digital. Semakin besar usia anak-anak, pengaruh ini semakin kuat. Dengan kata lain, di Asia Tenggara, media mobile memegang peranan yang semakin penting untuk bisa berinteraksi terhadap anak-anak.

“Data kami menunjukkan bahwa strategi marketing yang paling efektif adalah memanfaatkan pendekatan kepada konsumen dengan multi channel, seperti melalui media TV dan digital, serta memaksimalkan peluang untuk berinteraksi dengan strategi yang lebih efektif,” lanjut Quan.

Hasil Temuan Mastercard tentang Ketertarikan Perempuan Berkarier di Bidang STEM

Mastercard kembali merilis laporan keduanya bertajuk “Girls in Tech”, kali ini memfokuskan pada kepuasan para pekerja perempuan di bidang STEM (Sains, Teknologi, Teknik dan Matematika). Salah satu simpulan menarik disebutkan bahwa 72 persen dari pekerja di bidang STEM di Indonesia sangat puas dengan karier mereka saat ini. Sementara itu tingkat partisipasi anak-anak perempuan di Indonesia (usia 15-19 tahun) di bidang STEM merupakan kedua tertinggi di wilayah Asia Pasifik.

Hasil yang didapat dalam penelitian ini berdasarkan pada wawancara yang berlangsung pada bulan Desember 2016 dengan jumlah responden sebanyak 2.270 perempuan berusia 12-25 tahun di enam negara di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia.

Di antara first jobber yang lulus kuliah dengan gelar STEM, sebanyak 84 persen memperoleh pekerjaan pertama kurang dari enam bulan, sementara 60 persen dari para lulusan tersebut sangat puas dengan pilihan pekerjaan yang mereka miliki setelah lulus.

Selain itu banyak 63 persen dari perempuan muda yang disurvei mengungkapkan bahwa mereka cenderung untuk bertahan di bidang yang terkait dengan STEM dalam karier. Banyaknya kesempatan untuk belajar, bertumbuh dan maju, serta passion mereka terhadap bidang STEM merupakan faktor utama yang dipilih responden untuk tetap bertahan berkarier di bidang STEM.

Kondisi peminat STEM di kalangan perempuan Indonesia

Di Indonesia, mayoritas dari lulusan STEM bekerja di bidang yang sesuai dengan gelar mereka (84 persen bekerja di bidang STEM). Mereka mengatakan bahwa passion (50 persen) dan tantangan (47 persen) merupakan alasan utama untuk bekerja di bidang STEM. Pemikiran mereka ketika memutuskan untuk memilih sebuah pekerjaan ialah upah yang tinggi (82 persen), bekerja dengan orang-orang yang cerdas (82 persen), keamanan dalam bekerja (79 persen) serta kesesuaian pekerjaan dengan ketertarikan mereka (79 persen).

Sementara itu walaupun partisipasi anak-anak perempuan berusia 12-19 tahun di bidang STEM merupakan salah satu yang tertinggi di wilayah Asia Pasifik, namun dibandingkan dengan negara lainnya Indonesia menjadi negara yang paling mendekati untuk menutup adanya kesenjangan gender (gender gap).  Hanya 26% dari anak-anak perempuan di Indonesia (dibandingkan dengan 39% rata-rata di wilayah tersebut) yang menyatakan bahwa anak-anak perempuan lebih cenderung untuk tidak memilih mata pelajaran STEM ketika melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki.

Kekhawatiran dan harapan perempuan di dunia kerja berbasis teknologi

Di antara para remaja perempuan yang disurvei, 30 persen dari mereka yang berusia 17-19 tahun mengatakan bahwa mereka tidak akan memilih pekerjaan di bidang STEM walaupun mereka mempelajari mata pelajaran bidang tersebut. Sementara itu, anak-anak perempuan berusia 12-19 tahun mengatakan mereka akan terus memegang persepsi bahwa mata pelajaran STEM itu sulit (39 persen) dan karier STEM merupakan karier yang bias gender, dengan dua dari lima anak perempuan percaya hanya sedikit anak perempuan yang memilih mata pelajaran STEM dikarenakan adanya persepsi bahwa pekerjaan STEM didominasi oleh laki-laki.

Ketika ditanyakan mengenai hal yang dapat menarik perhatian anak perempuan untuk mengejar karier di bidang STEM, anak-anak perempuan berusia 17-19 tahun menyatakan bahwa beasiswa (38 persen), wanita yang telah berhasil di bidang STEM dan menjadi panutan mereka (34 persen) serta dukungan kuat dari sekolah dan institusi (32 persen) sebagai tiga motivasi utama mereka. First jobber di bidang STEM merasa bahwa paparan sebelumnya mengenai karier STEM melalui kesempatan bersosialisasi atau networking (43 persen), magang (36 persen) dan pameran untuk karier (35 persen) akan membantu untuk mempersiapkan diri mereka lebih baik dari kondisi mereka saat ini.

Tiga dalam lima first jobber yang disurvei menyatakan bahwa kesesuaian pekerjaan bagi wanita merupakan sebuah kriteria ketika mereka mencari pekerjaan, sementara 46 persen percaya bahwa pada organisasi mereka saat ini, para pria dibayar lebih banyak dibandingkan perempuan untuk posisi yang sama.

Di antara first jobber STEM yang mempertimbangkan untuk bekerja di bidang non-STEM, kekhawatiran terhadap kurangnya eksposur terhadap hal-hal komersial (36 persen), jam kerja yang panjang (36 persen) dan kesesuaian untuk jenis kelamin/gender (33 persen) merupakan alasan utama yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut.  42 persen dari first jobber STEM percaya bahwa kita butuh untuk mengubah persepsi masyarakat terhadap STEM agar dapat menarik generasi perempuan selanjutnya untuk mengejar karier di bidang STEM.

Laporan DailySocial: Survei Layanan On-Demand di Indonesia 2017

Layanan On-Demand berbasis Mobile Internet semakin meluas di Indonesia, baik secara cakupan layanan yang disediakan, maupun secara cakupan wilayah geografis yang dilayani. Bukan hanya layanan On-Demand transportasi seperti Go-Jek, Grab, ataupun Uber, tapi juga belanja supermarket seperti HappyFresh, dan kebersihan rumah seperti Seekmi.

DailySocial bekerja sama dengan JakPat Mobile Survey mengadakan survei singkat mengenai layanan On-Demand Services di Indonesia. Kuesioner diedarkan melalui aplikasi survey mobile JakPat terhadap sejumlah 1027 responden yang ditarik dari cakupan wilayah seluruh Indonesia.

Beberapa temuan survei antara lain:

  • Sebagian besar responden sudah pernah menyewa jasa ojek (71.08%) dan jasa transportasi mobil (63.10%) melalui layanan On-Demand; dan ini mencakup seluruh Indonesia
  • Sebagian besar transaksi masih melalui transaksi tunai/cash (69.30%)
  • Pembayaran e-money (Go-Pay, Grab Pay dst.) lebih populer daripada pembayaran menggunakan kartu kredit (28.14% dibanding 12.6%)
  • Sebagian besar responden setuju layanan On-Demand berdampak positif membuka lapangan pekerjaan baru (82.08%), dan hanya sebagian kecil responden (17.33%) yang khawatir layanan On-Demand mengganggu mata pencaharian sebagian masyarakat.

Untuk membaca laporan lengkap “On-Demand Services Survey in Indonesia 2017“, Anda dapat mengunduhnya secara gratis dalam bentuk PDF, setelah Anda terdaftar sebagai member DailySocial.

Mengukur Potensi dan Kemampuan Perempuan Mengadopsi Teknologi

Dari riset yang dilakukan Accenture bersama Femina, disebutkan saat ini sekitar 73% perempuan di Indonesia telah meninggalkan cara konvensional dalam bekerja dengan memanfaatkan teknologi. Riset tersebut dilakukan di kawasan Jabodetabek untuk perempuan yang berprofesi di industri media, e-commerce, telekomunikasi, PR, dan geo science technology, dengan dua kelompok usia, yaitu kelompok 1 (usia 20-30 tahun) dan kelompok 2 (usia 30-40 tahun). Survei dilakukan terhadap perempuan dan laki-laki di 29 negara dengan total 900 responden di tiap negara termasuk Indonesia.

Makin maraknya media sosial hingga layanan e-commerce yang memungkinkan perempuan untuk memulai usaha sendiri hanya mengandalkan teknologi. 80% perempuan di Indonesia kemudian memilih untuk bekerja sebagai wirausahawan atau pekerja lepas.

Country Manager Accenture Indonesia Neneng Goenadi mengungkapkan dari hasil survei tersebut dapat dilihat seperti apa perkembangan serta pengetahuan dari perempuan Indonesia dalam hal mengadopsi teknologi.

“Pegawai perempuan lebih mampu memanfaatkan peluang yang berguna untuk meningkatkan karier di era digital. Selain itu pegawai perempuan dianggap lebih mampu untuk menggunakan kemajuan teknologi digital untuk pekerjaan multi tasking.”

Kurang ambisius dan tidak memiliki rencana jangka panjang

Hal menarik yang juga disebutkan dalam survei tersebut adalah perempuan muda, dalam hal ini kalangan millennial, dianggap kurang cerdas untuk menentukan pilihan pendidikan terbaik untuk masa depan dengan persentase 27%. Hal yang membedakan dengan generasi muda pria sebanyak 40%.

Hal lain yang juga menjadi catatan adalah, kebanyakan pekerja muda kalangan perempuan biasanya memiliki pembimbing dibandingkan dengan rekan kerja pria di kantor.

“Perempuan juga dinilai tidak seambisius pegawai pria dalam mencapai posisi kepemimpinan senior. Perempuan menunjukkan ketergantungan lebih besar pada teknologi digital untuk mereka gunakan dalam kehidupan pribadi mereka dan untuk memajukan karier,” kata Neneng.

Dalam memanfaatkan teknologi digital, 71% perempuan Indonesia menggunakannya untuk mencari informasi seputar karier atau peluang baru. Selain itu teknologi juga kerap dilakukan oleh perempuan Indonesia untuk kolaborasi kerja memanfaatkan perangkat digital (skype call dan lainnya) dilakukan 46% perempuan di Indonesia.

Tiga akselerator kunci meningkatkan karier

Dalam paparan tersebut Accenture mengungkapkan tiga akselerator kunci untuk membantu perempuan meningkatkan karier. Di antaranya adalah (a) dengan menguasai teknologi, yaitu sejauh mana mereka mampu menggunakan teknologi digital untuk terkoneksi dengan pihak lain, belajar dan bekerja. Selanjutnya adalah (b) strategi dalam karier, kebutuhan bagi perempuan untuk memiliki cita-cita dan membuat pilihan yang tepat, dan pastinya mengelola karier lebih proaktif.

Yang terakhir adalah (c) peluang untuk mengakuisisi teknologi yang lebih besar dan kemampuan digital yang lebih kuat agar mampu bersaing dengan kalangan pria.

Laporan DailySocial: Pengenalan dan Ketertarikan Pasar Berinvestasi di Layanan P2P Lending

DailySocial bekerjasama dengan JakPat mengadakan riset mengenai layanan P2P Lending di Indonesia, dengan judul “Investor P2P Lending Survey 2017”. Survei dilakukan terhadap sampel populasi seluruh Indonesia secara acak, dengan jumlah responden 1020 sehingga secara agregat dapat menggambarkan keadaan pasar Indonesia secara keseluruhan.

Konsep layanan P2P Lending (Peer-to-Peer Lending) adalah sebuah bentuk layanan yang relatif baru, namun kini menghangat. Sejumlah badan usaha & aplikasi Internet dibentuk di Indonesia untuk mengaplikasikan layanan P2P Lending di pasar Indonesia. Sebagai bentuk layanan baru tentu dapat diduga belum banyak yang kenal, namun ternyata potensi antusiasme itu ada.

Beberapa temuan dari laporan kami:

  • 85.77% dari responden memang menabung, tapi sebagian besar yaitu 68.68% menabung dalam bentuk tabungan bank biasa
  • 85.47% dari responden belum pernah mendengar istilah “P2P Lending”, namun ada 4.15% yang sudah pernah berinvestasi dalam P2P Lending
  • 63.24% responden tertarik untuk mempelajari lebih lanjut mengenai “P2P Lending”

Bila ingin mengetahui lebih lanjut hasil riset “Investor P2P Lending Survey 2017”, Anda dapat mengunduhnya secara gratis setelah Anda terdaftar sebagai member DailySocial, melalui tautan berikut ini.

Bagaimana Ponsel Pintar Mengubah Paradigma Kehidupan Masyarakat Indonesia

Memiliki angka penetrasi yang sangat besar dan terus bertumbuh, pemanfaatan ponsel di Indonesia berhasil mengubah paradigma dalam kehidupan sehari-hari. Dalam laporan kuartal pertama bertajuk “Indonesia Mobile Habit 2017” oleh JakPat, ditemukan sebuah kesimpulan menarik.

Survei yang dilakukan kepada lebih dari 3500 pengguna ponsel di Indonesia ini mengemukakan sebuah fakta bahwa kebutuhan kepemilikan ponsel pintar sudah meningkat urgensinya. Sebanyak 81,19 persen responden menyatakan bahwa kepemilikan ponsel masuk dalam kategori “penting di bawah kebutuhan makan (91,68%), air (90,10%), tempat tinggal (85,19%) dan di atas kebutuhan pakaian (78,47%), kartu identitas (62,5%), kendaraan hingga dompet (57,21%). Bisa dikatakan, ponsel sudah berubah dari penempatan sebelumnya sebagai kebutuhan tersier menuju kebutuhan sekunder.

Peningkatan kebutuhan tersebut makin diperkuat dengan persentase aktivitas berikut ini. Banyak orang (45,84%) ketika bangun tidur hal pertama dicari adalah ponselnya.

Dalam keseharian, kapan seseorang pertama memeriksa ponselnya / Laporan Jakpat
Dalam keseharian, kapan seseorang pertama memeriksa ponselnya / Laporan Jakpat

Menjadi sebuah kewajaran ketika ponsel pintar berhasil memfasilitasi banyak aktivitas dalam keseharian. Tidak hanya untuk berkomunikasi, melainkan termasuk banyak hal lainnya. Mulai dari mencari informasi terkini, mendapatkan hiburan (musik, video, game dll), hingga menyelesaikan pekerjaannya.

Data berikutnya menunjukkan ragam aktivitas yang mendominasi kegiatan berponsel masyarakat di Indonesia. Kendati masih didominasi oleh aktivitas personal dan sifatnya hiburan, angka-angka yang menunjukkan persentase kegiatan “serius” mulai terlihat. Seperti untuk menjadi media belajar, menunjang pekerjaan, melakukan transaksi finansial, pemesanan hotel dan belanja. Mengapa dikatakan sebagai sebuah kegiatan serius, karena membutuhkan effort lebih –bahkan mengeluarkan biaya—untuk mengakses layanan-layanan tersebut. Simpulannya, kepercayaan pengguna meningkat dengan sebuah layanan berbasis aplikasi ponsel.

Aktivitas yang dilakukan masyarakat dengan ponsel pintarnya / Laporan Jakpat
Aktivitas yang dilakukan masyarakat dengan ponsel pintarnya / Laporan Jakpat

Aktivitas di atas umumnya dilakukan dengan rerata waktu antara 1,3 – 2,7 jam. Persentase terbesar penggunaan ponsel justru digunakan untuk bekerja (rata-rata 2,7 jam per hari), kemudian untuk berkomunikasi atau chatting (2,6 jam per hari), disusul aktivitas di media sosial, bermain game dan menonton film.

Peningkatan kebutuhan yang berimbas pada pengeluaran rutin

Bergesernya kebutuhan penggunaan ponsel di kalangan masyarakat salah satunya berimbas pada pengeluaran mereka untuk memenuhi aktivitas tersebut, yakni pembelian pulsa yang harus dilakukan untuk mengaktifkan paket data dan kebutuhan penunjang lainnya. Dari data yang didapatkan JakPat, sebagian besar masyarakat mengucurkan uang 50 – 100 ribu Rupiah untuk membeli pulsa tiap bulan.

Rata-rata pengeluaran bulanan pengguna ponsel di Indonesia / Laporan Jakpat
Rata-rata pengeluaran bulanan pengguna ponsel di Indonesia / Laporan Jakpat

Sedangkan untuk perangkat penunjang, merek populer di kalangan pengguna Indonesia masih didominasi Samsung (29,33%), Xiaomi (13,17%), Asus (11,11%), Lenovo (7,83%), Apple (6,09%), Oppo (5,18%) dan merek lainnya. Dipastikan kebutuhan untuk mengakses aplikasi modern dan layanan internet, menggeser penggunaan featured phone menjadi smartphone secara signifikan.

Selain data di atas, dalam laporan premium yang dirilis oleh Jakpat juga memberikan berbagai insights lain secara mendetil, termasuk tren pengguna membeli/berganti ponsel, pembagian berdasarkan kategori usia, hingga persentase layanan-layanan populer di kategori media sosial, musik, e-commerce hingga finansial.

Laporan premium ini bisa diperoleh secara lengkap dengan mengunjungi tautan berikut http://jakpat.net/report1.

Laporan DailySocial: Fasilitas Cicilan Tanpa Kartu Kredit untuk Belanja Online

Laporan terbaru DailySocial menyelidiki ketertarikan konsumen Indonesia terhadap fasilitas cicilan ketika belanja online. Seperti diketahui jumlah pengguna kartu kredit masih cukup kecil di Indonesia. Fasilitas kredit tanpa kartu kredit mulai disediakan beberapa layanan e-commerce bagi konsumen.

Survey dilaksanakan DailySocial bekerja sama dengan layanan mobile survey JakPat. Jumlah responden 1049, dipilih secara random dari pengguna mobile seluruh Indonesia.

Beberapa temuan survei:

  • Hanya 21% responden memiliki kartu kredit
  • Di antara responden yang berpreferensi untuk belanja online secara cicilan, lebih banyak yang lebih suka menggunakan fasilitas cicilan tanpa kartu kredit (27%) daripada fasilitas cicilan dengan kartu kredit (10%)
  • Faktor yang mendukung keputusan penggunaan belanja online menggunakan fasilitas cicilan tanpa kartu kredit: Mempermudah pengeluaran karena pembayarannya dalam jangka lebih panjang, kesulitan memperoleh kartu kredit, program loyalitas
  • Faktor kekhawatiran yang menahan responden untuk berbelanja online menggunakan fasilitas cicilan tanpa kartu kredit: faktor keamanan transaksi elektronik, risiko pengeluaran pribadi yang berlebihan, dan kebanyakan produk masih belum didukung fasilitas cicilan tanpa kartu kredit

Bila ingin mengetahui lebih jauh hasil riset “Kredit Tanpa Kartu Kredit”, Anda dapat mengaksesnya secara gratis setelah menjadi member DailySocial melalui tautan berikut ini.