TaniHub Amankan Pendanaan Seri A+ Senilai 285 Miliar Rupiah

TaniHub Group mengumumkan telah berhasil mengamankan pendanaan seri A+ senilai US$17 juta atau setara 285 miliar Rupiah. Ini merupakan kelanjutan dari putaran seri A yang sebelumnya diumumkan pada Mei 2019 lalu.

Pendanaan kali ini dipimpin oleh Openspace Ventures dan Intudo Ventures. Turut berpartisipasi di dalamnya UOB Venture Management, Vertex Ventures, BRI Ventures, Tenaya Capital dan Golden Gate Ventures. Dengan ini total pendanaan yang diraih TaniHub Group sejak tahun 2016 mencapai Rp462 miliar.

Modal tambahan yang diterima akan dimanfaatkan untuk memperkuat posisi bisnis dengan memperluas cakupan wilayah, baik untuk petani maupun pelanggan. Peningkatan operasional juga jadi fokus, seperti penerapan solusi automasi otomadi pusat pemrosesan dan pengemasan.

Co-founder & Presiden TaniHub Group Pamitra Wineka mengatakan, regenerasi sangat penting bagi pertanian Indonesia, mengingat mereka menjadi salah satu kontributor terbesar ekonomi negara. Petani perlu meningkatkan produktivtas dan pendapatan untuk membuat yakin generasi mudah bahwa pertanian merupakan sektor yang memiliki prospek cerah.

“Ekosistem TaniHub Group kami dirancang untuk membantu para petani mencapai mimpinya dan konsumen dapat menikmati produk pertanian dengan harga yang wajar. Ini akan memungkinkan ‘agriculture untuk semua orang’, yang merupakan tujuan utama kami,” jelas Pramitra.

Pihak TaniHub mengaku bahwa mereka telah berhasil mendapatkan peningkatan tiga kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Secara keseluruhan ada lebih dari 30.000 petani kecil yang bergabung dengan ekosistem mereka. Di dalam platform mereka juga terdapat 5.000 pelanggan bisnis yang terdiri dari UKM, hotel, restoran, katering, dan 115.000 pelanggan ritel.

Berdasarkan data Startup Report dari DSResearch, aplikasi TaniHub paling banyak diunduh untuk kategori agrotech dengan total unduhan lebih dari 100.000 pada tahun 2019. Mengalahkan Kecipir dan iGrow.  Sementara dari segi bisnis pengantaran produk hasil pertanian TaniHub berada di segmen yang sama dengan Sayurbox, Kecipir, etanee, Kedai Sayur, dan lainnya.

Mempunyai mimpi untuk hadir di seluruh Indonesia

Saat ini TaniHub sudah memiliki lima kantor cabang atau regional, yakni ada di Bogor, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Denpasar.  Yang paling baru TaniHub Group sedang melakukan finalisasi PPC (Prosessing and Packing Center) di Malang dengan luas bangunan 3.000 meter persegi.

Untuk solusi automasi, mereka akan memasang mesin yang bias memproses dan melakukan packing secara otomatis. Tujuannya untuk mengurangi sentuhan tangan manusia sehingga kualitas dan keamanan produk terjamin. Setelah Malang, rencananya juga akan ada PPC dan DC di kota-kota lainnya.

“TaniHub berfokus pada membangun infrastruktur dan rantai pasokan yang saat ini merupakan tantangan terbesar di sektor pertanian Indonesia. Kami berkomitmen untuk memperkuat kemitraan kami dengan mitra di area B2B, termasuk dengan UKM. Kami mengharapkan pertumbuhan lebih baik untuk tahun ini dan kami berharap bisa menjangkau semua kota di seluruh negeri pada tahun 2020.” jelas Co-founder & CEO TaniHub Group Ivan Arie Sustiawan.

Selain melayani penjualan hasil pertanian TaniHub Group juga memiliki layanan P2P lending, TaniFund. Layanan ini telah berhasil menyalurkan 100 miliar Rupiah pinjaman sejak beroperasi pada tahun 2017 silam.

Application Information Will Show Up Here

The Impact of Covid-19 Pandemic for Startup Business in Indonesia

The government appeal to working from home and recommend physical distancing related to the Covid-19, especially in Jakarta area, has an impact on three centaur startup in Indonesia, Blibli.com, Modalku, and TaniHub Group.

TaniHub Group’s CEO, Ivan Arie Sustiawan said the agriculture e-commerce service is getting customers’ increase up to 20,000. The rise has impacted 15%-20% of transaction orders.

Not only vegetables, fruits, and harvested goods, the high demand also applies to herbs and other ingredients to improve body immune.

In anticipating the increase, he said, TaniHub has applied some new terms regarding food sofety to protect the safety and health of employees, partners, and customers without affecting the service quality. The food safety initiative actually exists since the beginning of TaniHub Group.

Capex evaluation plan

On the other hand, due to the unstable situation, TaniHub will re-evaluate all the ongoing capex [capital expenditures] in 2020. He said the initiative is for TaniHub can focus more on the investment with a direct impact on product availability for the public.

“Therefore, we allocated capex to add up on items availability, infrastructure, and some more delivery fleets,” he told DailySocial.

The same phenomenon occurs at Blibli.com. The marketplace which was established in 2010 experienced a surge in transactions for certain products such as hand sanitizers, health products, and fresh food. In fact, after the government announced a call to work from home, its services experienced a significant jump in transactions in utilities, cooking oil, milk and baby food products.

“Since the first COVID-19 case occurred in China, Blibli has anticipated by compiling several business scenarios with consideration if this case goes to Indonesia,” Blibli.com CEO Kusumo Martanto told DailySocial.

One of the business scenarios includes determining the focus of the business and allocation of funds for business development in 2020. As he said, the call to conduct social distancing is considered to have an effect on how companies allocate marketing spend.

When it was intended for company activities under normal circumstances, this allocation will later be used according to the needs of the latest conditions in Indonesia.

“To date, Blibli has not revised our business targets for 2020,” he said.

Currently, he continued, Blibli is focused on adjusting operational services with the current situation. Some of the strategies are shipping without contact (contactless shipping) where Blibli Express Service (BES) couriers are required to use masks and gloves when sending goods. This procedure is applied to all Blibli logistics partners.

Moreover, they also maintain product availability by applying order limitation procedures at merchant partners. In order to comply with the government’s appeal, this strategy applied to avoid irresponsible parties to hoard goods.

The impact on loan distribution

Also, the WFH and social distancing issue have affected the P2P lending Modalku. The company said some borrowers submit for rescheduled payment. It was due to Modalku’s segment that targets SMEs which had a major impact on the current situation.

“However, we will discuss further to the borrowers for solution related to the sustainability of SMEs businesses,” Modalku’s Co-Founder and CEO, Reynold Wijaya told DailySocial.

The centaur startup is in the middle of the mitigation process, one is to adjust loan services both limit and tenor. Therefore, the more comprehensive selection on the existing potential borrowers.

The team also guarantee the “responsible lending” principal by making assessment towards borrower’s financial ability to pay off their debt.

“In terms of target revision, we’re still on internal discussing since we’re currently focused on supporting SMEs which business has been affected by Covid-19 issue,” he added.

Per March 2020, Modalku has channeled around 1,750,506 loans worth of Rp13.49 trillion. The bad credit (default) is around 1.31 percent.

Back to the equilibrium state

As Mark Ventura Liman Rahardja said as the VP of Investor Relations & Strategy of BRI Ventures, this situation will trigger imbalances between sectors. Some sectors will be affected by the spread of COVID-19, otherwise other sectors will gain profits.

According to his hypothesis, social distancing will automatically change the way people shop. Especially since the government urged people to work from home, public space has no longer crowded. The government also began to close some tourist areas.

“In this case, e-commerce services and online healthcare will rise. On the other hand, it’ll be very hard for OTA players due to travel bans. Fortunately, instead of having only one vertical, some players have other business verticals to put on compensation. Hopefully, one or two quarters, the situation will return to the equilibrium state,” he told DailySocial back then.

Previously, the giant VC company Sequoia Capital had warned that the spread of COVID-19 would have a turbulent effect on business and investment climate in the startup industry. Sequoia even referred to Covid-19 as “The Black Swan in 2020”.

Sequoia warned the entire startup ecosystem and its derivatives to rethink a number of aspects of its business throughout this year. Some of these important aspects are capital management and expenditure, fundraising, sales predictions, talent acquisition, increased productivity, and marketing strategies.

“Even though your business may not directly be affected by this pandemic, you need to anticipate for consumers’ changing spending habits,” Sequoia said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Di Masa Covid-19, Penggunaan Layanan Agritech Alami Lonjakan

Demi mencegah penyebaran wabah Covid-19 pemerintah menghimbau untuk masyarakat tetap di rumah. Ini berdampak bagi beberapa layanan digital, salah satunya adalah layanan pembelian hasil pertanian. Kepada DailySocial, Etanee, TaniHub, dan Kedai Sayur mengaku mengalami lonjakan, baik dari sisi transaksi maupun pengguna.

Pihak Etanee, melalui Co-Founder & COO Herry Nugraha, menceritakan bahwa peningkatan penggunaan aplikasi dan layanan mereka naik tajam. Terlebih sejak pemerintah menghimbau untuk masyarakat tetap di rumah. Gerak yang dibatasi ini mengubah pola masyarakat di beberapa wilayah cenderung berbelanja online. Kenaikan yang diterima Etanee hingga 3 kali lipat dibandingkan dengan kondisi normal, khususnya untuk produk buah, sayuran, daging ayam, dan beras.

“Ini efek pembatasan gerak dan aktivitas masyarakat yg menyebabkan konsumen beralih ke channel pembelian online. Bahan pangan dalam kondisi apapun akan dibutuhkan. Dalam kondisi wabah seperti saat ini, konsumen lebih memilih memasak sendiri di rumah dibanding membeli makanan siap santap (ready to eat),” jelas Herry.

Hal yang senada disampaikan VP of Corporate Services TaniHub Astri Purnamasari. Tidak hanya hasil pertanian, tanaman herbal dan produk-produk yang dipercaya bisa meningkatkan imun tubuh juga mengalami lonjakan sekitar 20%. Pengguna TaniHub juga tercatat mengalami pertumbuhan. Ada lebih dari 20.000 pengguna baru di masa Covid-19 ini.

Kedai Sayur juga mengalami hal serupa. Hanya saja bagi Kedai Sayur saat ini yang banyak terjadi adalah perubahan pola konsumen. Kebutuhan konsumen B2B, seperti hotel dan restoran mengalami penurunan. Di sisi lain permintaan konsumen rumahan atau individu melonjak.

“Barang-barang yang demand-nya tinggi seperti bawang, cabe, tomat, dan buncis. Tapi di antara itu semua paling tinggi adalah bawang bombay dan jahe, selalu out of stock. Untuk menanggapi permintaan customer yang tinggi untuk barang tersebut kami selalu stock barang lebih banyak dari biasanya. Kami ingin tetap bisa memenuhi kebutuhan pelanggan, apalagi dengan wabah Covid-19, kami harap bisa memberikan peran penting untuk pelanggan,” ujar CEO Kedai Sayur Adrian Hernanto.

Etanee, TaniHub, Kedai Sayur dan layanan sejenis yang beroperasi saat ini menjadi tumpuan masyarkat tempat mereka beroperasi untuk mendapatkan kebutuhan pangan mereka. Sebagian besar karena menghindari kerumunan di pasar. Bagi para petani dan peternak, platform ini adalah salah satu kanal penjualan yang bisa dimanfaatkan untuk mengoptimalkan penjualan barang.

Kebijakan dan antisipasi

Lonjakan pengguna sekaligus penyebaran virus yang semakin luas membuat perusahaan mengambil beberapa sikap dan kebijakan. TaniHub misalnya, selain memberlakukan kebijakan work from home bagi karyawan di kantor pusat dan sistem shift untuk karyawan yang berada di cabang dan distribution center karyawan juga diperiksa suhu tubuh dan meliburkan mereka yang sakit. Termasuk melakukan disinfeksi dan pembersihan di kantor pusat dan DC.

Selain itu Astri juga menambahkan, “Kami juga meniadakan same day delivery untuk sementara waktu. Hal ini kami lakukan untuk mengurangi adanya interaksi langsung antara orang per orang. Meski begitu, kami tetap melakukan proses pengantaran sesegera mungkin. Kami juga menambahkan pilihan pengantaran tanpa kontak langsung. Pesanan akan diletakkan di depan pintu dengan konfirmasi terlebih dahulu kepada pembeli, sehingga pembeli bisa mengambil pesanan setelah kurir kami meninggalkan rumah.”

Untuk Etanee, Herry menjelaskan, efek langsung yang dirasakan petani dan peternak adalah turunnya demand dari segmen hotel, restoran, dan swalayan. Sebaliknya, order dari marketplace digital mengalami lonjakan yang signifikan.

Semua transaksi konsumen via aplikasi akan langsung diantarkan melalui armada dan tim Etanee Delivery. Untuk memastikan kualitas layanannya terjaga Etanee merekrut armada dan kurir tambahan dari driver ojek online. Ini dilakukan untuk tetap membuat pelanggan Etanee bisa dilayani sekaligus memberikan tambahan penghasilan bagi driver yang lesu orderan.

Sementara itu, untuk Kedai Sayur, di tengah meningkatnya permintaan dari pengguna rumahan atau end user, mereka saat ini tengah berusaha mengembangkan aplikasi khusus. Mengingat selama ini pesanan selalu diambil ke Mitra (tukang sayur) yang bekerja sama dengan Kedai Sayur.

“Kita juga secepatnya akan launching aplikasi untuk end customer, sehingga para customer seperti ibu rumah tangga, para pekerja yang WFH dapat memenuhi kebutuhan pangan mereka dari rumah dengan mudah dan cepat. Sehingga kita mengikuti shifting demand yang terjadi karena wabah ini,” terang Adrian.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Imbas Pandemi Covid-19 Bagi Sejumlah Startup di Indonesia

Imbauan pemerintah untuk bekerja dari rumah dan menerapkan social distancing terkait penyebaran Covid-19, terutama di Jakarta, rupanya memberikan pengaruh bagi tiga startup centaur Indonesia, yakni Blibli.com, Modalku, dan TaniHub Group.

Disampaikan CEO TaniHub Group Ivan Arie Sustiawan, layanan e-commerce hasil pertanian ini mengalami peningkatan pengguna sehingga kini jumlahnya mencapai lebih dari 20.000. Kenaikan turut mendongkrak transaksi pemesanan sekitar 15-20 persen.

Tak hanya penjualan buah, sayur, dan hasil tani, permintaan tinggi juga terjadi pada produk tanaman herbal dan produk lain yang bermanfaat untuk meningkatkan imunitas tubuh.

Dalam mengantisipasi lonjakan permintaan ini, ujarnya, TaniHub menerapkan beberapa kebijakan baru terkait food sofety untuk melindungi keselamatan dan kesehatan karyawan, mitra, dan pelanggan tanpa mengurangi tingkat pelayanan. Prosedur food sofety ini sendiri sebetulnya sudah dijalankan sejak awal TaniHub Group berdiri.

Evaluasi rencana capex

Di sisi lain, karena ketidakpastian situasi sekarang, TaniHub mengevaluasi kembali seluruh rencana penggunaan modal (capex – capital expenditures) yang sedang maupun yang belum berjalan di 2020. Menurutnya, langkah ini diambil agar TaniHub bisa lebih fokus pada investasi yang memberikan dampak langsung terhadap ketersediaan produk kepada masyarakat.

“Jadi, kami mengalokasikan capex untuk menambah kapasitas persediaan barang, infrastuktur, serta menambah armada pengantaran kami,” tambahnya kepada DailySocial.

Fenomena sama terjadi pada Blibli.com. Markeplace yang berdiri di 2010 ini mengalami lonjakan transaksi untuk produk tertentu seperti hand sanitizer, produk kesehatan, dan makanan segar. Malahan, pasca pemerintah mengumumkan imbauan bekerja dari rumah, layanannya mengalami lonjakan transaksi yang signifikan pada produk utilities, minyak goreng, susu, dan makanan bayi.

“Sejak kasus COVID-19 pertama terjadi di Tiongkok, Blibli telah melakukan antisipasi dengan menyusun beberapa skenario bisnis dengan pertimbangan jika kasus ini masuk ke Indonesia,” ujar CEO Blibli.com Kusumo Martanto kepada DailySocial.

Salah satu skenario bisnis yang dimaksud mencakup penentuan fokus bisnis dan alokasi dana untuk pengembangan bisnis di 2020. Menurutnya, imbauan untuk melakukan social distancing dinilai bakal berpengaruh terhadap bagaimana perusahaan mengalokasikan marketing spending.

Jika awalnya diperuntukkan pada kegiatan perusahaan dengan situasi normal, alokasi ini nantinya akan digunakan sesuai kebutuhan kondisi terkini di Indonesia.

“Sejauh ini, Blibli tidak melakukan revisi target bisnis kami untuk tahun 2020,” ungkapnya.

Untuk saat ini, lanjutnya, Blibli fokus untuk menyesuaikan layanan operasional sesuai dengan kondisi saat ini. Beberapa strateginya adalah melakukan pengiriman tanpa kontak (contactless shipping) di mana kurir Blibli Express Service (BES) diwajibkan menggunakan masker dan sarung tangan pada saat mengirim barang. Prosedur ini diterapkan ke seluruh mitra logistik Blibli.

Kemudian, pihaknya juga berupaya untuk menjaga ketersediaan produk dengan melakukan prosedur pembatasan stok pada mitra merchant. Sesuai imbauan pemerintah, strategi ini dilakukan untuk menghindari para pihak tidak bertanggungjawab untuk menimbun barang.

Mulai berimbas ke penyaluran pinjaman

Di sisi lain, kebijakan WFH dan social distancing berimbas terhadap bisnis P2P lending milik Modalku. Menurut perusahaan, sejumlah peminjam mulai mengajukan rescheduling pembayaran utang. Imbas ini karena Modalku bermain di segmen UMKM yang cukup terpukul situasi sekarang.

“Namun, kami akan berdiskusi dengan para peminjam untuk menemukan solusi terkait untuk mendukung keberlangsungan perkembangan bisnis UMKM,” ungkap Co-Founder dan CEO Modalku Reynold Wijaya dalam pernyataannya kepada DailySocial.

Startup centaur ini tengah menyiapkan sejumlah langkah mitigasi, seperti melakukan penyesuaian dalam pemberian pinjaman, baik limit dan tenor pinjaman. Kemudian, melakukan seleksi lebih komprehensif terhadap calon peminjam maupun peminjam existing.

Pihaknya juga menjamin untuk tetap menerapkan prinsip “responsible lending”  dengan melakukan penilaian terhadap kemampuan finansial peminjam dalam melunasi pinjamannya.

“Soal revisi target, kami masih lakukan diskusi di internal mengingat saat ini kami masih fokus untuk mendukung UMKM yang bisnisnya terdampak oleh Covid-19,” tambahnya.

Per Maret 2020, Modalku telah menyalurkan sebanyak 1.750.506 jumlah pinjaman yang senilai Rp13,49 triliun. Tingkat gagal bayar (default) Modalku berkisar di angka 1,31 persen.

Kembali ke titik ekuilibrium

Menurut VP of Investor Relation & Strategy BRI Ventures Markus Liman Rahardja, situasi seperti ini bakal memicu terjadinya ketidakseimbangan antar sektor. Beberapa sektor akan terdampak penyebaran COVID-19, sebaliknya sektor lain bakal mendulang keuntungan.

Menurut hipotesisnya, social distancing otomatis akan mengubah cara orang berbelanja. Apalagi sejak pemerintah mengimbau masyarakat untuk bekerja dari rumah, ruang publik mulai sepi. Pemerintah juga mulai menutup kawasan wisata di sejumlah daerah.

“Dalam hal ini, layanan e-commerce dan online healthcare bakal naik. Di sisi lain, pemain OTA akan hit hard karena travel ban. Untungnya, beberapa player tidak main di satu vertikal, jadi vertikal bisnis lain bisa compensate. Hopefully, one or two quarter situasinya bakal kembali ke titik ekuilibrium,” jelasnya kepada DailySocial beberapa waktu lalu.

Sebelumnya, perusahaan VC raksasa Sequoia Capital telah memperingatkan bahwa penyebaran COVID-19 bakal memberikan efek turbulensi terhadap bisnis dan iklim investasi di industri startup dunia. Sequoia bahkan menyebut Covid-19 sebagai “The Black Swan di 2020”.

Sequoia memperingatkan seluruh ekosistem startup dan turunannya untuk memikirkan ulang sejumlah aspek bisnisnya di sepanjang tahun ini. Beberapa aspek penting ini adalah pengelolaan dan pengeluaran modal, penggalangan dana, prediksi penjualan, penambahan karyawan, peningkatan produktivitas, hingga strategi marketing.

“Meskipun mungkin bisnis Anda belum akan terdampak langsung dari kasus ini, Anda perlu mengantisipasi bahwa konsumen bisa saja mengubah spending habit mereka,” menurut Sequoia.

Meneropong Sepak Terjang Investor Tiongkok untuk Indonesia dan ASEAN

Tiongkok tidak hanya jadi negara ekonomi terkuat kedua di dunia, kini mereka juga menjadi pemimpin perlombaan inovasi teknologi di berbagai aspek lewat perusahaan-perusahaan internet raksasanya.

Padahal dulu negara Tirai Bambu ini dijuluki negara peniru karena menciptakan produk kloning perusahaan-perusahaan di negara Barat. Anggapan tersebut kini sudah kuno, malah trennya sekarang terbalik.

Dalam laporan yang dibuat South China Morning Post bertajuk China Internet Report 2019, contoh yang paling mudah adalah bagaimana Tiongkok mempelopori model super app. Keberhasilannya berhasil menarik pengembang lokal di negara lain untuk mengikuti, seperti Gojek, Line, Facebook, hingga Uber.

Tiongkok juga memimpin untuk social commerce dan video pendek. Pelopornya adalah ByteDance. Aplikasi kelolaannya, TikTok, berhasil menggeser Facebook di Amerika Serikat dengan jumlah unduhan tertinggi.

Penetrasi Tiongkok di Asia Tenggara

Menurut Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), di ASEAN dengan estimasi total populasi 651 juta, rata-rata pendapatan per kapita sekitar $4.600 pada 2018. Angka tersebut setara dengan pendapatan riil Tiongkok pada 2007, mewakili kesenjangan 11 tahun antara kedua negara.

Ada kondisi dan situasi yang membuat kebiasaan orang Indonesia dan negara ASEAN lainnya kurang lebih mirip dengan Tiongkok. Contoh terdekat adalah pertumbuhan penetrasi internet dan smartphone yang masif.

Profesor Nanyang Business Boh Wai Fong menjelaskan, Tiongkok sukses karena ekonomi digital yang dilahirkan lewat aplikasi untuk smartphone. Masyarakat Tiongkok bereaksi dengan sangat positif terhadap itu, misalnya menggunakan smartphone-nya untuk belanja online.

“Orang-orang [investor] mengharapkan tren yang sama berlaku di Asia Tenggara,” ucapnya dikutip dari South China Morning Post.

Laporan e-Conomy SEA 2019 menunjukkan 90% populasi di ASEAN menggunakan smartphone untuk belanja online. Padahal hampir satu dekade yang lalu, rasionya ada hanya satu dari lima orang yang bisa mengakses internet.

Diprediksi pula ekonomi digital akan tembus ke angka $300 miliar pada 2025. Artinya ASEAN adalah peluang pasar baru dengan pertumbuhan PDB yang kuat dan faktor makro yang tepat.

Pertimbangan tersebut menawarkan investor Tiongkok sebuah keyakinan baru bahwa mereka dapat membawa pengalaman dan model bisnis ala Tiongkok yang bisa direplikasi.

Daftar VC teraktif di ASEAN sepanjang Januari-Juli 2019 / DealStreetAsia
Daftar VC teraktif di ASEAN sepanjang Januari-Juli 2019 / DealStreetAsia

Dikutip dari Financial Times, nominal investasi dari VC Tiongkok di ASEAN naik lebih dari empat kali lipat menjadi $667 juta pada semester pertama tahun ini, dari sebelumnya $148 juta pada periode yang sama di 2018. Secara keseluruhan total investasi startup di ASEAN mencapai $3,4 miliar, naik 300 persen untuk periode yang sama.

Sebaliknya, investasi dari VC lokal untuk startup Tiongkok pada periode yang sama nominalnya jatuh hingga 60%, menjadi $9 miliar.

Dua VC terbesarnya, Qiming Ventures dan GGV Capital, telah membuat kantor perwakilan di Singapura. Keduanya merupakan investor awal untuk Alibaba, Xiaomi, dan Meituan-Dianping. Bila digabung keduanya sudah mengelola dana sebesar $10,2 miliar.

Larinya investor Tiongkok ke ASEAN, didukung oleh banyak faktor. Dari dalam negara itu sendiri, pertumbuhan ekonomi digitalnya melambat karena sudah mencapai titik dewasa.

Menurut Qiming Venture Partners, investasi di startup Tiongkok yang bergerak di telekomunikasi, media, dan teknologi sudah terlalu mahal harga sahamnya. Makanya mereka lari ke startup dengan segmen sejenis di ASEAN.

Dua perusahaan internet raksasa Tiongkok, Tencent dan Alibaba, sudah melakukannya secara tekun lewat aktivitas in-house M&A selama bertahun-tahun untuk mencetak unicorn berikutnya.

Lambang Alibaba Group / DailySocial
Lambang Alibaba Group / DailySocial

Pihak Tencent memaparkan portofolionya ada lebih dari 700 perusahaan. Sementara kompetitornya, Alibaba sekitar 350 perusahaan. Portofolio mereka yang terbukti menjadi unicorn Indonesia adalah Gojek dan Tokopedia.

“Jika Anda melihat orang Tiongkok, mereka tidak puas hanya menjadi orang nomor satu di sana. Alibaba dan Tencent, mereka semua berkembang (ke kawasan lain),” ujar Managing Partner Gobi Southeast Asia Kay-Mok Ku.

Di sisi lain, perusahaan unicorn di sana sedang dalam masa suram, investasi yang menarik senilai lebih dari $100 juta jauh lebih sedikit pada paruh pertama tahun ini. Penyebabnya karena valuasi dari IPO yang merosot dan sentimen pasar yang buruk.

Perlambatan ini dirasakan oleh perusahaan late stage dengan model bisnis yang terbukti, mencapai titik impas (break-even) dan bisa IPO. Investor khawatir ketika IPO, imbal hasil yang didapat tidak seperti yang diharapkan. Beberapa contohnya terjadi di Tiongkok.

Oleh karenanya, para investor tersebut jauh lebih hati-hati ketika ingin berinvestasi ke perusahaan baru.

Masuknya masa “Winter is Coming” ini tak lain karena dampak perang dagang antara Tiongkok dengan Amerika Serikat. Akhirnya memengaruhi investor untuk pesimis terhadap outlook perusahaan Tiongkok dan semakin meyakini untuk masuk ke negara yang aman investasi.

Asia Tenggara adalah pemberhentian pertama

Kay-Mok Ku melanjutkan, ada tiga jenis investor Tiongkok. Pertama, perusahaan raksasa teknologi yang sudah punya arm CVC sendiri. Kedua, perusahaan kapitalis ventura dengan mitra Asia Tenggara. Terakhir, mantan karyawan raksasa teknologi yang mendirikan VC mereka sendiri.

“Mereka semua melihat ‘gambaran lebih besar’ dan pindah ke pasar negara berkembang ‘adalah jalur terlogis’ untuk sekarang,” kata Ku.

Menurutnya, ASEAN adalah pemberhentian pertama karena investor akan menyasar negara potensial lainnya seperti Timur Tengah dan Afrika. Bahkan ke negara berkembang lainnya, India.

Ant Financial, misalnya, baru-baru ini membuka fund khusus sebesar $1 miliar untuk mendanai startup di ASEAN dan India.

Masuknya mereka ke ASEAN adalah bentuk mitigasi risiko. Di Tiongkok, startup yang dianggap mature, adalah e-commerce, ride hailing, dan p2p lending. Oleh karenanya, pola investasinya ketika masuk ke ASEAN kurang lebih akan mirip bahwa investor Tiongkok lebih tertarik pada segmen yang consumer oriented.

“Jika kamu memosisikan diri sebagai orang Tiongkok yang buat startup di ASEAN, ada model referensinya, lebih mudah (bagi investor Tiongkok) untuk memahaminya.”

Beda dengan preferensi startup yang dicari investor dari negara barat. Mereka lebih mencari startup yang fokus pada deep tech, inovasi rekayasa teknologi tinggi yang membutuhkan waktu riset dan pengembangan yang panjang.

Perbedaan preferensi ini, menandakan bahwa tidak persaingan langsung antara kedua investor tersebut. Bisa dikatakan, investor barat hanya kehilangan kesempatan emas saja.

Kemiripan Indonesia dengan Tiongkok

Kesamaan yang lekat antara Indonesia dengan Tiongkok adalah serumpun, sama-sama terletak di Asia. Kedekatan lokasi secara geografis, menjadi keuntungan terpenting buat Indonesia ketika dianugerahi sebagai 10 tahun lalunya Tiongkok. Tapi bisa bukan itu yang dipikirkan buat negara dengan ekonomi terbesar kedua tersebut.

Secara historis kedua negara punya hubungan diplomatik sejak awal terbentuknya Tiongkok. Sempat naik turun, tapi menguat sejak kepemimpinan Joko Widodo pada periode pertama hingga sekarang.

Sumber : Pixabay
Sumber : Pixabay

Arah pemerintahan Presiden Jokowi sedari awal adalah mengubah orientasi perekonomian ke arah digital, persis seperti apa yang dilakukan Tiongkok. Berbagai literatur yang memantapkan visi Jokowi semakin sering bermunculan. Investor Tiongkok pun ramai-ramai muncul dengan segudang pundi-pundi yang siap disalurkan buat startup.

Namun, menurut Financial Times, kedatangan mereka sedikit lebih telat karena investor lokal lebih dahulu catch up dengan prospek dalam negeri. Contohnya adalah Alpha JWC Ventures dengan Funding Societies (induk Modalku) dan OnlinePajak.

Pada 2015, saat kedua founder-nya masih sekolah di Harvard Business School, Alpha JWC mendanai Funding Societies pada tahap awal dengan nominal $1 juta. SoftBank baru masuk saat startup tersebut menggalang putaran Seri B. Kondisi yang sama juga terjadi untuk OnlinePajak yang akhirnya menarik Sequoia dan Warburg Pincus untuk berinvestasi.

Kondisi di atas kontras dengan yang terjadi di India. Di sana hampir tiap startup di-backing investor Amerika Serikat atau Tiongkok.

Jejak rekam investasi dari Tiongkok terbesar adalah lewat Alibaba yang berinvestasi ke Tokopedia pada 2017. Investasi itu mengantarkan Tokopedia sebagai unicorn, menyusul Gojek pada tahun yang sama.

Kemiripan lainnya juga bisa dilihat dari fase pergerakan startup pun juga mirip seperti yang diterangkan sebelumnya oleh Kay-Mok Ku. Tak heran, bila unicorn yang lahir di Indonesia berasal dari segmen yang paling familiar di mata investor Tiongkok.

Tren tahun depan melihat pola dari Tiongkok

Masih dikutip dari China Internet Report 2019, laporan ini juga menyoroti ambisi Tiongkok untuk memimpin jaringan teknologi 5G. Tercatat negara ini mengantongi paling banyak paten 5G, proyek percontohan 5G di 50 kota dengan populasi 167 juta.

Di samping itu, Tiongkok ingin menjadi negara terdepan untuk tiga sektor teknologi, fintech, AI, dan blockchain. Tren tersebut punya korelasi erat dengan kondisi di Indonesia.

Di sini, perkembangan fintech mulai menyebar ke vertikal berikutnya, tidak hanya terpaku di pembayaran dan lending saja. Mulai menyebar ke insurtech, wealth management, credit scoring, bahkan mulai menyeruak digital banking. Bisa dipastikan fintech tetap akan tetap menjadi topik menarik.

Sementara di Tiongkok, para incumbent, Alipay dan WeChat Pay, terus mengembangkan inovasinya dan memperluas kehadirannya di kancah internasional untuk melayani masyarakatnya saat melancong. Indonesia kebagian jatah konsentrasi, bank BUKU IV ramai-ramai gaet kedua pemain ini agar dapat melayani para turis Tiongkok.

Pun demikian untuk AI, perkembangan produk dari para pemain startupnya (seperti Qlue, Nodeflux, Kata.ai, Bahasa.ai, Snapcart) makin berkembang, berkolaborasi dengan lintas sektor industri. Fungsi AI kini makin disadari bahwa adopsi AI dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas manusia dalam menganalisis suatu arah bisnis dengan lebih baik lewat kolaborasi bersama mesin.

Sebagai selingan, Tiongkok bisa berkembang pesat karena kombinasi dari tiga faktor, yaitu populasi masyarakat ekonomi menengah ke atas yang berkembang pesat, kemampuan teknologi canggih, dan dukungan pemerintah yang kuat. Didukung pula dengan penetrasi internet dan smartphone yang tinggi.

Faktor di atas tidak sepenuhnya ada di Asia Tenggara, terutama Indonesia. Oleh karena itu, kembali ke premis awal: Tren di Tiongkok tidak bisa 100% direplikasi di Asia Tenggara. Alasannya singkat: ada perbedaan kebiasaan masyarakat.

Sumber : Pixabay
Sumber : Pixabay

Sama halnya ketika Uber atau perusahaan teknologi asal Amerika Serikat yang hendak masuk ke Tiongkok, tapi ujung-ujungnya harus menelan ludah karena banyak sisi yang sulit ditembus.

Mari tengok startup yang menyentuh unsur grassroot, yakni agritech, healthtech, dan edtech. Banyak yang meyakini ketiganya akan semakin bersinar sebab faktor pemicunya datang dari agenda pemerintah Indonesia itu sendiri yang ingin fokus ke sektor tersebut.

Pemilihan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Andi Taufan (CEO Amartha) dan Belva Devara (CEO Ruangguru) sebagai Staf Khusus Presiden, punya kaitan dengan itu semua.

Di agritech misalnya, membandingkan Tanihub dengan Meicai. Keduanya sama-sama menghubungkan petani dengan pembeli B2B, tapi kondisi di Indonesia masih berbeda saat dihadapi dengan transaksi pembayaran.

Petani di sini masih lebih suka menerima uang tunai untuk mengurangi waktu yang dihabiskan jika harus ke bank. Dalam suatu diskusi, Co-Founder dan Presiden TaniHub Pamitra Wineka mengamini bahwa kunci yang membuat Meicai bisa tumbuh karena sistem pembayaran digital yang efisien dan terintegrasi.

Dia percaya kondisi di Indonesia akan berubah ke depannya ketika ekosistem pembayaran digital sudah makin matang dan e-wallet sudah masuk ke pedesaan.

Indonesia masih tetap bergantung investor luar

Sumber : Pixabay
Sumber : Pixabay

Replikasi solusi di ranah grassroot antara Tiongkok dan Indonesia tidak sepenuhnya bisa dilakukan. Lalu pertanyaan berikutnya apakah investor Tiongkok masih punya ruang untuk membesarkan gurita bisnisnya? Tentu masih ada.

Indonesia mengalami kekurangan investasi dari dalam negeri. Pemerintah berupaya mendorong investor luar untuk masuk, makanya menempatkan tugas tersebut ke kementerian yang dipimpin Luhut Binsar Pandjaitan.

Tanggapan Pendiri Lippo Group Mochtar Riady terkait strategi bakar uang yang dilakukan Ovo menjadi sorotan yang menarik. Bagaimana persepsi bangun perusahaan cara lama masih begitu melekat di Indonesia.

Agar perusahaan dapat berjalan secara berkelanjutan itu memang harus punya fondasi yang kuat agar kuat ditahan berbagai goncangan. Namun, di era teknologi cara itu kurang sejalan, yang ditekankan dalam mindset yang baru adalah mengejar pertumbuhan, lalu profitabilitas.

Selama bakar duit dengan penuh perhitungan bagaimana outcome yang ingin didapat, tentu tidak akan jadi masalah untuk menuju profitibilitas. Investor luar dengan mindset yang terbuka, bisa membantu itu.

Kesalahan yang dilakukan SoftBank dan WeWork seharusnya jadi tamparan serius untuk tidak sembarang investasi saja. Terlebih, lesunya kondisi investasi dalam negeri di Tiongkok, sekaligus sebagai tambahan catatan agar tidak melakukan kesalahan yang sama.

Berbagai kondisi ini menjadi pertanda baik, buat Indonesia dan ASEAN karena akan lebih sedikit permainan momentum. Penilaian startup di sini akan lebih realistis dan founder akan lebih membumi dan fokus pada produk yang baik.

Peluang Startup Agritech Selesaikan Isu Manajemen Produk Pertanian

Sektor pertanian selalu menjadi perhatian besar di Indonesia, sebagai negara yang kerap mengklaim dirinya sebagai agraris. Kemunculan startup agritech relatif berhasil mengubah lanskap pertanian meskipun di dalamnya masih terdapat banyak sekali masalah belum terpecahkan.

Dalam #SelasaStartup minggu ketiga November 2019, menghadirkan VP of Product TaniHub Zakka Fauzan Muhammad. Ia mengemukakan seluk-beluk peluang dan tantangan agritech dari sudut pandang manajemen produk (product management).

Tantangan dan kesempatan

Sayur dan buah adalah sumber pangan penting yang menjadi salah satu komoditas utama TaniHub. Salah satu masalah besar menurut Zakka untuk komoditas ini adalah hasil panen dengan kualitas terbaik dari petani lokal masih terbilang sedikit. Diperkirakan hasil panen petani lokal yang memiliki grade A hanya sekitar 10-20%, grade B sekitar 20%, grade C sekitar 30-40%, dan sisanya grade D ke bawah.

“Petani kita ada kecenderungan lebih suka panennya dibeli semua dengan harga murah padahal grade A itu harganya bisa dua kali atau tiga kali lipat dari grade C,” ujar Zakka.

Salah satu penyebab kecilnya hasil panen berkualitas itu terkait pengairan dan pemupukan yang tidak merata. Zakka mengakui teknologi pertanian di sini masih jauh dari mapan sehingga ada kemungkinan pengairan dan pemupukan lahan pertanian tidak merata karena sifatnya yang masih manual.

Tantangan berikutnya, menurut Zakka, adalah memperkirakan angka permintaan konsumen dan hasil panen di sisi lain. Mencari titik temu antara supply dan demand ini adalah pekerjaan besar.

“Ini tantangan untuk product development. Caranya kita bisa lihat data beberapa tahun ke belakang agar bisa meminimalkan demand yang tidak terpenuhi dan supply yang berlebih,” ucapnya.

Zakka menambahkan tantangan lain yang tak kalah sulit adalah menghitung waktu pembusukan hasil panen. Faktor ini bisa berpengaruh besar terhadap distribusi.

Di sisi lain, mereka punya kesempatan mencari tahu waktu pembusukan paling akurat. Jika berhasil mereka bisa menentukan waktu penyimpanan dan pengiriman paling akurat agar produk yang dikirim tak akan lebih dari usia matangnya.

“Belum ada teknologi untuk mengukur kecepatan matang buah atau sayur,” pungkas Zakka.

Menurutnya, TaniHub saat ini memiliki sejumlah aplikasi dengan tujuan penggunaan berbeda. Aplikasi pertama untuk konsumen, yang kedua untuk petani, ketiga untuk tim internal, manajemen gudang, dan terakhir TaniFund.

TaniHub kini diklaim sudah merangkul sekitar 35 ribu petani dengan 800 SKU. Mayoritas produk yang mereka hasilkan antara lain buah, sayur, ikan, ayam, dan beras.

TaniHub Introduces a New Business Unit “TaniSupply”, Focused on Supply Chain

An agri-tech startup, TaniHub Group, introduces TaniSupply (PT Tani Supply Indonesia) focused on solving issues related to the supply chain. The firm was established in September, 19th 2019.

As a sidenote, TaniHub (e-commerce platform), TaniFund (p2p lending), and TaniSupply (supply chain) are operated under TaniHub Group. Each of them is working on different focuses with different regulators, yet one vision to accelerate a positive impact on the agriculture industry.

TaniSupply Director, Vincentius Sariyo explained the maneuver under its own entity will be more aggressive in order to develop supply chain business in agriculture. In fact, the license of TaniSupply stands under a different department with TaniFund (Financial) and TaniHub (Communication and Informatics).

In the warehouse, TaniSupply team makes purchasing from farmers. Next, the grading process for fruit and vegetables, measuring sweetness, quality control (QC), and quality assurance (QA). Lastly, a logistics team to ensure product quality until it’s safely delivered to the customers.

“We’re now in the middle, we have TaniHub upfront and TaniHub in the back for online distribution. TaniSupply will take care of purchasing from farmers, and the function of a chain, warehouse, last-mile delivery, quality control, and others,” Sariyo explained on Wed (11/20).

The current warehouses are installed with a certain-standard cooler to keep the product from deteriorating. Warehouses can also be used, in terms of rent, by other parties to store food products for a certain period of time.

Investment in storage machines such as blast freezers will also be prepared to complement market needs. He even mentioned that TaniSupply is applying for certification for ISO 22000 related to food safety and halal warehouses. It is also possible to export to neighboring countries.

As a result, plans are to be developed from TaniSupply in the future, not only for the ecosystem within the group but also for the sustainability of the overall agricultural ecosystem.

The distribution of the TaniSupply warehouse will be focused outside of Java for the more integrated agricultural ecosystem. This includes shortening the distribution chain from farmers before being distributed to consumers.

To date, the company has some warehouses or distribution centers located in four cities (Bogor, Bandung, Yogyakarta, and Surabaya) and some other locations.

TaniSupply is targeting more locations around Bali, Sulawesi, and Balikpapan. The latest one will be located in Cikarang for 10 thousand square meters.

“In 2021, we’re to open new locations in all over the cities throughout Indonesia.”

Last-year issues with the agriculture supply chain in Indonesia

TaniSupply Director Vincentius Sariyo / TaniHub Group
TaniSupply Director Vincentius Sariyo / TaniHub Group

Sariyo explained the first initiative in building TaniSupply is to create an end-to-end agriculture ecosystem. There are more issues on the field to be solved with technology.

Each business unit from TaniGroup has different issues with a red needle to improve the agriculture technology that is currently a mess.

All this time, there’s always been a mismatch in the composition of supply and demand in agriculture. It is due to the crops in different grades, not every off-taker (buyers, including middlemen) wants.

The rest of the low-rated crops forced to be sold way cheaper than the cost of goods sold (COGS). This is causing a loss for the farmers. Many more issues come from the old paradigm that imprisons local farmers, making it very difficult for them to grow.

TaniHub is said to cultivate 35 thousand farmers and agri-communities, providing 800 business certificates more or less. The majority of goods are fruits, vegetables, fish, chicken, eggs, and rice. Only, 90% of those are trading farmers or free trade.

“In order to fulfill the demand for TaniHub, 90% comes from trading farmers. Only 10% comes from TaniFund, so they [TaniFund] still have a lot of homework to do,” TaniHub’s VP of Corporate Services, Astri Purnamasari said.

The offline sales on TaniHub still leading with 80% than the offline service. Most of the offline consumers are supermarkets, Horeca, F&B industries, retails, and startups.

“Previously, TaniHub was directly focused on B2C through an application. As time goes on without scale-up, we finally switch to B2B.”

The company also distributes some private label to the offline partners. For example, SommerVille for fruit-only goods; VIS for fish products; Fowler for chicken, duck, and eggs; GoldFarm for organic vegetables; and Lentik for rice.

With TaniSupply, TaniHub Group is tightening its position as the end-to-end agri-tech service. To date, there is no agri-tech player to serve end-to-end service in the agricultural ecosystem.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

TaniHub Kenalkan Unit Bisnis Barunya “TaniSupply”, Khusus Tangani Rantai Pasokan

Startup agritech TaniHub Group memperkenalkan TaniSupply (PT Tani Supply Indonesia) yang bergerak khusus mengatasi isu di rantai pasokan. Perusahaan baru berdiri secara resmi pada 19 September 2019.

Sebagai catatan, TaniHub (platform e-commerce), TaniFund (p2p lending), dan TaniSupply (supply chain) bernaung di bawah agritech TaniHub Group. Ketiganya bergerak di bidang yang berbeda dengan regulator yang berbeda pula, namun dengan satu visi mempercepat dampak positif dalam pertanian.

Direktur TaniSupply Vincentius Sariyo menjelaskan, manuvernya di bawah entitas sendiri akan jauh lebih agresif dalam mengembangkan bisnis rantai pasokan pertanian. Pasalnya, izin usaha dari TaniSupply ini berdiri di bawah payung kementerian yang berbeda dengan TaniFund (OJK) dan TaniHub (Kemenkominfo).

Di gudang, tim TaniSupply melakukan proses pembelian dari petani. Lalu memroses grading buah dan sayur, mengukur tingkat kemanisan, melakukan quality control (QC), dan quality assurance (QC). Terakhir, ada tim logistik untuk mengunci kualitas produk yang sampai ke tangan pelanggan tetap terjaga.

“Kita ada di tengah-tengah, di depan ada TaniFund dan di belakang kita ada TaniHub untuk channel penjualan online-nya. TaniSupply akan mengurus pembelian dari petani, ada fungsi chain, gudang, last mile delivery, quality control, dan lainnya,” terang Sariyo, Rabu (20/11).

Saat ini gudang perusahaan diinstalasi dengan pendingin berstandar khusus untuk menjaga produk agar tidak mengalami penurunan kualitas. Gudang juga bisa dipakai, dalam artian sewa, oleh pihak lain untuk menyimpan produk makanan untuk jangka waktu tertentu.

Investasi mesin penyimpanan seperti blast freezer juga bakal disiapkan untuk melengkapi kebutuhan pasar. Bahkan dia menyebut TaniSupply sedang mengajukan sertifikasi untuk ISO 22000 terkait keamanan pangan dan gudang halal. Terbuka juga kemungkinan untuk ekspor ke negara tetangga.

Alhasil, banyak rencana yang bisa dikembangkan dari TaniSupply ke depannya, tidak hanya untuk ekosistem di dalam grup saja, juga buat keberlangsungan ekosistem pertanian secara keseluruhan.

Persebaran gudang TaniSupply akan difokuskan ke luar Jawa untuk perkuat ekosistem pertanian agar semakin terintegrasi. Termasuk di antaranya untuk persingkat rantai distribusi dari petani sebelum didistribusikan ke konsumen.

Saat ini perusahaan memiliki gudang atau distribution center yang terletak di empat kota (Bogor, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya), serta sejumlah titik distribusi di berbagai area.

Lokasi tambahan yang akan disasar TaniSupply di antaranya Bali, Sulawesi, dan Balikpapan. Gudang terbaru TaniSupply akan berada di Cikarang seluas 10 ribu meter persegi.

“Tahun 2021 kami targetkan hadir di seluruh kota di seluruh Indonesia.”

Isu lama soal rantai pasokan di pertanian Indonesia

Direktur TaniSupply Vincentius Sariyo / TaniHub Group
Direktur TaniSupply Vincentius Sariyo / TaniHub Group

Sariyo menjelaskan inisiasi mendirikan TaniSupply sebenarnya karena keinginan untuk membentuk ekosistem pertanian yang menyeluruh dari hulu ke hilir. Masih banyak isu di lapangan yang bisa diselesaikan dengan teknologi.

Masing-masing unit bisnis dari TaniGroup memiliki permasalahan berbeda dan punya benang merahnya, ingin memperbaiki ekosistem pertanian yang hingga kini belum tertata rapi.

Selama ini komposisi antara supply dan demand di pertanian selalu ada mismatch. Lantaran, hasil tani yang terbagi ke dalam beberapa grade, tidak semuanya mau diserap oleh off taker (pembeli, salah satunya tengkulak).

Hasil tani sisaan dengan grade rendah akhirnya terpaksa dijual jauh dari harga pokok penjualan (HPP). Kondisi ini tentunya membuat petani merugi. Masih banyak isu lainnya yang berkaitan dengan paradigma lama yang masih mengekang petani lokal, sehingga sulit untuk berkembang.

TaniHub terhitung telah membina sekitar 35 ribu petani dan kelompok tani, menyediakan sekitar 800 SKU. Mayoritas adalah buah-buahan, sayur, ikan, ayam, telur, dan beras. Hanya saja, 90% dari petani ini adalah petani trading atau jual lepas.

“Untuk memenuhi demand di TaniHub, 90% disuplai oleh petani trading. Baru 10% datang dari TaniFund, jadi PR-nya di TaniFund masih banyak,” tambah VP of Corporate Services TaniHub Astri Purnamasari.

Penjualan offline lewat TaniHub masih mendominasi sekitar 80%, ketimbang jalur online. Mayoritas konsumen di offline ini adalah supermarket, Horeca, industri F&B, peritel, hingga startup.

“Awalnya bisnis TaniHub itu, diarahkan ke B2C via aplikasi. Tapi seiring waktu tidak scale up, akhirnya kita switch ke B2B.”

Perusahaan mendistribusikan beberapa private label saat mendistribusikan ke mitra offline. Misalnya, SommerVille untuk brand khusus buah; VIS untuk produk ikan; Fowler untuk daging ayam, bebek, dan telur; GoldFarm untuk sayur organik; dan Lentik untuk beras.

Dengan kehadiran TaniSupply, TaniHub Group makin memantapkan diri sebagai layanan agritech end-to-end. Sejauh ini, kebanyakan pemain agritech belum ada yang bermain dari hulu ke hilir dalam ekosistem pertanian.

Application Information Will Show Up Here

TaniHub Fokus Menjadi “Supply Chain” Produk Pertanian Indonesia

Sejak didirikan tahun 2016 lalu, TaniHub yang bernaung di bawah startup agritech TaniGroup, sudah memiliki lebih dari 25.000 petani lokal di seluruh Indonesia dan mengoperasikan lima kantor cabang dan pusat distribusi regional di Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya.

Kepada media saat acara kunjungan ke gudang TaniHub Bogor beberapa waktu lalu, CEO TaniGroup Ivan Arie Sustiawan menyebutkan, fokus TaniHub saat ini adalah agar bisa menjadi platform agritech top of mind bagi kalangan korporasi maupun konsumen umum. Dilengkapi dengan gudang, teknologi dan jaringan petani di pulau Jawa, TaniHub ingin menjadi layanan supply chain terlengkap di Indonesia.

“Ke depannya kami berharap TaniHub bisa menjadi [layanan] supply chain terlengkap dengan teknologi dan aplikasi yang kami ciptakan untuk memudahkan petani hingga pelanggan untuk mengakses TaniHub. Bukan hanya berfungsi sebagai tools, aplikasi TaniHub kami ciptakan untuk memperkuat supply chain,” kata Ivan.

Rencana mendirikan packing house

Saat ini gudang TaniHub di Bogor diklaim menjadi salah satu gudang percontohan yang dinilai paling lengkap dan mewakili proses hingga teknologi yang dimiliki perusahaan. Semua produk yang dikirimkan dari berbagai wilayah di pulau Jawa, dikumpulkan di gudang TaniHub Bogor untuk kemudian dilakukan proses grading atau penentuan kelas dari buah hingga sayuran. Usai proses tersebut, produk akan dikemas dan dikirimkan ke pelanggan.

Ke depannya TaniHub juga berencana mendirikan packing house di sejumlah lokasi yang bisa memudahkan petani mengirimkan semua produk pertanian mereka secara langsung.

“Pembangunan packing house tersebut masih menjadi rencana kami selanjutnya. Kami melihat packing house bakal menjadi ‘the next best thing‘ untuk Tanihub dan juga para petani pada khususnya,” kata Ivan.

Disinggung apakah TaniHub bakal melakukan ekspansi ke pulau-pulau Indonesia yang lain, Ivan menyebutkan rencana tersebut ada, namun untuk saat ini TaniHub masih fokus di pulau Jawa dan Bali.

Pasca perolehan pendanaan Seri A bulan Mei 2019 lalu, sebesar $10 juta atau setara dengan 143 miliar Rupiah, TaniHub masih ingin fokus untuk mengakuisisi lebih banyak petani untuk bergabung sekaligus mengembangkan ekosistem agritech di Indonesia.

“Setelah fokus kami mulai bergeser kepada B2B pada tahun 2017 lalu, TaniHub telah melancarkan strategi yang cukup efektif dan berhasil mendapatkan product market fit. Untuk saat ini dan selanjutnya kami ingin meng-cater industri terkait dalam hal penyediaan supply chain produk pertanian di Indonesia hingga ekspor ke mancanegara,” kata Ivan.

Kolaborasi dengan IPB

Acara penandatanganan MOU IPB dan TaniGroup / Bhisma Adinaya-TaniGroup
Acara penandatanganan MOU IPB dan TaniGroup / Bhisma Adinaya-TaniGroup

TaniGroup juga menandatangani nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) dengan Institut Pertanian Bogor (IPB). Sebagai institusi pendidikan yang fokus ke segmen pertanian di Indonesia, TaniGroup melihat kolaborasi ini bisa membantu, tidak hanya untuk perusahaan, tapi juga mahasiswa pada khususnya.

TaniGroup melihat kolaborasi dengan institusi pendidikan penting dilakukan karena berbagai permasalahan di sektor pertanian Indonesia sangat mendesak untuk dipecahkan. Perusahaan dan IPB bersama-sama memiliki peran sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) di dunia pertanian Indonesia.

Kerja sama tersebut tidak terbatas pada bidang penelitian serta pengembangan data dan SDM yang bersifat mutual saja. Sebagai contoh, SDM yang ahli dalam pengelolaan tanah dan tanaman (agronomist) dapat berperan signifikan dalam memperbaiki kualitas hasil panen, sehingga para petani dapat memenuhi kebutuhan pasar yang terus meningkat.

“Saya harapkan ada hasil konkret dari kolaborasi ini yang selanjutnya bisa menghasilkan inovasi atau sesuatu yang positif yang bermanfaat, tidak hanya untuk TaniGroup namun juga IPB dan ekosistem agritech,” kata Ivan.

Application Information Will Show Up Here

TaniFund Telah Salurkan Dana Rp75 Miliar ke 2100 Petani

TaniFund, platform crowdfunding dan crowdlending yang membantu para petani untuk mendapatkan dana pinjaman untuk proyek budidaya pertanian, hingga saat ini telah menyalurkan dana lebih dari Rp75 miliar ke 2.100 petani dalam 83 proyek budidaya. TaniFund menargetkan penyaluran pinjaman hingga akhir 2019 bisa mencapai Rp100 miliar ke 5.000 petani. Saat ini TaniFund mengklaim telah memiliki jumlah lender yang cukup banyak berasal dari kalangan milenial.

Secara keseluruhan, jumlah petani yang bergabung di TaniFund saat ini sekitar 25 ribu dengan gudang dan cabang yang tersebar di lima kota, yaitu Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Ke depannya TaniFund juga sudah membuat sejumlah program untuk menjangkau petani di luar pulau Jawa.

Resmi hadir tahun 2017 lalu, TaniFund mengklaim hingga kini NPL tercatat cukup baik dan menjamin kepastian panen dari masing-masing petani di berbagai wilayah. TaniFund ini sudah resmi terdaftar dan diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ia juga menjadi anggota Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).

Disinggung apakah TaniFund memiliki rencana untuk menambah kemitraan dengan startup fintech P2P lainnya setelah Modalku, CEO TaniGroup Ivan Arie Sustiawan mengungkapkan, pihaknya belum memiliki niat untuk menambah jumlah mitra startup terkait dan masih menjalankan kerja sama strategis dengan Modalku.

“Kami belum memiliki rencana untuk menambah kemitraan selain dengan Modalku yang diresmikan sejak tahun 2017 lalu. Melalui TaniFund kami ingin membantu petani mendapatkan tambahan modal sekaligus memberikan peluang investasi untuk masyarakat,” kata Ivan.

Bantu petani tingkatkan kualitas panen

Egi Gunawan mitra TaniFund / Petani cabai di Bogor, Jawa Barat mitra TaniFund / Bhisma Adinaya-TaniGroup
Egi Gunawan, mitra TaniFund / Bhisma Adinaya (TaniGroup)

Meskipun sudah memberikan kontribusi terbesar kedua terhadap perekonomian Indonesia, banyak petani lokal belum dapat menikmati hasil yang adil atas jerih payah mereka. Sebagai negara agraris, tingkat kesejahteraan petani masih rendah karena berbagai permasalahan.

Untuk menyederhanakan rantai pasok, TaniHub hadir dengan teknologi yang diklaim mampu memotong proses tersebut dan meminimalisir jumlah ketergantungan pada middleman.

Sementara untuk memaksimalkan hasil panen dan kualitas dari produk petani, TaniFund lahir untuk menjawab kebutuhan petani untuk pendanaan usaha taninya.

“Kami menyadari bahwa kesejahteraan hidup petani hanya dapat ditingkatkan jika upaya perubahan dilakukan dari berbagai sisi dan tidak terbatas pada supply chain saja. Oleh karena itu, pada awal 2017, kami mendirikan TaniFund sebuah crowdfunding platform yang menyalurkan pendanaan dari lender kepada para borrower, dalam hal ini adalah petani,” kata Ivan.

Untuk memastikan hasil panen memiliki kualitas yang sempurna, di lapangan TaniFund menempatkan tim Field Specialist yang bertugas membimbing petani melalui aplikasi khusus untuk petani yang mudah diakses. Dengan bantuan teknologi tersebut, mitra petani TaniFund dapat lebih tertata dalam mengelola proyeknya.

Dalam proses kurasinya, tim Business Partner secara rutin merekap data mitra petani, memastikan petani tersebut memiliki sertifikasi tanah yang jelas dan bekerja dengan baik untuk bisa mengembalikan dana yang dipinjamkan lender kepada petani. Prosesnya pun cukup berlapis, mulai dari pengawasan, laporan secara real time lahan pertanian hingga edukasi kepada petani.

Salah satu petani yang sudah cukup lama menjadi mitra dari TaniFund adalah Egi Gunawan, petani milenial berusia 27 tahun yang kerap disapa dengan panggilan Kang Egi. Bersama kelompok taninya, Guna Tani, Kang Egi berhasil mengembangkan budidaya tomat TW dan cabai merah keriting lewat pembiayaan peer-to-peer lending (p2p) dari TaniFund.

“Setelah bergabung dengan TaniFund saya tidak dipusingkan lagi dengan fluktuasi harga dan bisa menjual produk hingga dengan mudah mengajukan pinjaman melalui TaniFund. Saat ini sudah dua kali proyek saya selesaikan di TaniFund,” kata Egi.

Application Information Will Show Up Here