Good Doctor Perkuat Posisi Sebagai Penyedia Ekosistem Kesehatan Holistik di Asia Tenggara

Tahun ini menandai tiga tahun Good Doctor melayani masyarakat Indonesia. Sejak beroperasi di 2019, Good Doctor menyebut telah mencatatkan berbagai pencapaian signifikan, yakni 14,2 juta pengguna dengan pertumbuhan hingga 40 kali lipat di Indonesia.

Selain itu, Good Doctor telah bermitra dengan lebih dari 45 perusahaan asuransi, 500 mitra korporasi dan jaringan administrator pihak ketiga (TPA) utama, lebih dari 1.000 rumah sakit dan laboratorium, serta 2.500 apotek di seluruh Indonesia. Pesatnya jaringan kemitraan Good Doctor di Indonesia disebut telah mendorong pertumbuhan bisnis secara tahunan hingga 864%.

Menurut Managing Director Good Doctor Technology Indonesia Danu Wicaksana, pihaknya juga sedang menjajaki kemitraan Health-as-a-Service, yakni salah satu agenda yang tengah mereka siapkan. “Kami tidak hanya ingin menawarkan solusi saja, tapi menciptakan ekosistem dari berbagai stakeholder, baik itu pemerintah, laboratorium, dan klinik,” ujarnya kepada DailySocial.

Good Doctor Technology (GDT) merupakan perusahaan patungan antara Ping An Healthcare and Technology (sebelumnya bernama Ping An Good Doctor), Grab, dan SoftBank. Awalnya, Good Doctor hadir di Indonesia sebagai fitur bernama GrabHealth yang di-embed ke dalam aplikasi Grab pada 2019. Kemudian, layanan ini resmi menjadi aplikasi terpisah pada Maret 2021. Saat ini, Good Doctor telah hadir di Indonesia dan Thailand dengan operasi regional berbasis di Singapura.

Dalam sesi wawancara eksklusif dengan DailySocial, Regional CEO Good Doctor Technology Melvin Vu menyebutkan tengah mempersiapkan diri untuk menjadi penyedia telehealth dengan ekosistem holistik di Asia Tenggara. Momentum akselerasi digital dimanfaatkan penuh untuk mengembangkan berbagai layanan kesehatan sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan lebih luas.

Bagaimana langkah dan strategi Good Doctor selanjutnya?

B2B dan Health-as-a-Service

Berdasarkan data Dukcapil per akhir 2021, jumlah tenaga kesehatan (nakes) di Indonesia tercatat sebanyak 567.910 orang atau 0,21% dari total penduduk yang mencapai 273,87 juta jiwa. Sementara, pengeluaran kesehatan melalui platform digital di Indonesia diprediksi sebesar $973 juta (sekitar Rp14,4 triliun) di 2023.

Dengan sebaran dokter yang tidak merata, Melvin menilai telehealth dapat mengatasi tantangan bagi pasar seperti Indonesia yang memiliki populasi dan kondisi geografis luas. Ia juga meyakini telehealth dapat menyeimbangkan ekosistem kesehatan di Indonesia.

Agar tetap terdepan di sektor telehealth, Good Doctor memiliki dua strategi utama. Pertama, menjangkau lebih banyak orang dengan memperluas layanan ke segmen B2B. Kedua, menawarkan solusi Health-as-a-Service (HaaS) dengan memanfaatkan dukungan kuat pada teknologi, ekosistem, hingga mitra yang dimiliki Good Doctor.

Leverage teknologi dan lokalisasi

Di industri kesehatan, termasuk virtual health, ada banyak yang dapat dieskplorasi dengan teknologi. Melvin menilai Good Doctor punya posisi kuat untuk mengeksekusinya berkat teknologi dan pengalaman yang dibangun oleh induk usaha selama tujuh tahun terakhir. Misalnya, implementasi AI untuk membantu para dokter di Indonesia memahami gejala, memberi diagnosis, dan membuat resep obat bagi pasiennya.

Selain itu, ungkap Melvin, Good Doctor juga memiliki nilai tambah lain karena memiliki dokter in-house yang ekspertisnya dapat dimanfaatkan untuk melakukan quality control layanan. Salah satunya adalah mengembangkan clinical pathway. Sekadar informasi, clinical pathway merupakan sebuah pedoman yang digunakan untuk melakukan tindakan klinis berbasis bukti pada fasilitas layanan kesehatan. Setiap penyakit punya pedoman berbeda.

Umumnya, kebutuhan layanan kesehatan hampir sama di semua negara di kawasan Asia Tenggara. Dalam kasus ini, Good Doctor membawa solusi yang ada di Thailand, kemudian dikustomisasi untuk pasar Indonesia.

“Kami beruntung Ping An telah lama di bidang ini sehingga kami dapat leverage teknologinya yang sudah terbukti di Tiongkok. Menjadi pemain regional juga membuat kami dapat memahami isu healthcare di pasar berbeda, learning each other. Dengan teknologi kami, everything is conceived on how we deliver healthcare virtually,” tuturnya.

Kendati demikian, Melvin juga menyoroti pentingnya untuk terintegrasi dengan berbagai stakeholder. Kolaborasi akan memampukan Good Doctor untuk menghadirkan berbagai layanan dan menciptakan ekosistem kesehatan holistik di masa depan, baik melalui rumah sakit, klinik, perusahaan, maupun platform digital.

Leveraging technology is one thing, but it is important that we customize to localize. Kami dapat memiliki berbagai sudut pandang ketika melakukan integrasi layanan. Dan ini memungkinkan kami untuk membuat kesalahan minim karena setiap integrasi, setiap platform itu berbeda. Jadi kami bisa integrasi dengan cepat. We can deliver a better customer journey to our clients,” jelasnya.

Transisi ke endemi

Menjawab langkah Good Doctor menyambut endemi, Melvin menilai telemedicine atau layanan kesehatan virtual lainnya akan tetap memainkan peran signifikan. Menurutnya, layanan bagi perawatan sakit (sick care) akan selalu ada, tetapi layanan pencegahan (preventive care) juga tak kalah penting.

“Kami ingin [Good Doctor] transcend layanan sick care ke preventive care agar menjaga orang tetap sehat. Kami juga ingin membantu mengontrol dan menangani penyakit kronis. Produk dan layanan terkait yang akan dikembangkan, juga memungkinkan agar dapat terhubung ke perangkat IoT. Good Doctor punya posisi kuat untuk melakukannya karena kami punya teknologi dan memahami cara deliver produk,” ujarnya.

Langkah selanjutnya, Melvin memastikan bahwa pihaknya akan menjajaki ekspansi baru sambil fokus menggarap pasar existing di Singapura, Thailand, dan Indonesia.

Upaya KlikDokter Memperkuat Posisinya di Pasar Healthtech Indonesia

KlikDokter menunjukkan geliat untuk kembali memperkuat posisinya di pasar healthtech Indonesia. Salah satunya ditandai dengan penunjukan Hendra Tjong sebagai CEO KlikDokter sejak September 2021. Sekadar informasi, Hendra sebelumnya dikenal sebagai Co-founder dan CEO KliknClean.

Dalam kesempatan wawancara dengan DailySocial.id, Hendra mengungkap beberapa gebrakan baru yang akan dilakukan oleh platform milik raksasa farmasi Kalbe Farma ini. Terlebih melihat kondisi bahwa pandemi Covid-19 mulai melandai di Indonesia.

Sekilas mengenai KlikDokter, awalnya berdiri di 2008 sebagai portal seputar informasi kesehatan. Pada 2016, mereka berupaya menjangkau pasar yang lebih luas dengan meluncurkan aplikasi mobile. Beberapa layanan yang ditawarkan adalah telekonsultasi dan pengiriman produk farmasi.

Bagaimana KlikDokter melihat fase pasca-pandemi dan apa saja rencananya tahun ini?

Langkah selanjutnya pasca-pandemi

Menurut prediksi WHO, fase akut pandemi Covid-19 di dunia bakal berakhir di 2022. Sementara, Satgas Covid-19 menyebut Indonesia sedang menuju fase transisi dari pandemi ke endemi. Lalu, apa artinya bagi platform healthtech apabila layanan yang berkaitan dengan Covid-19 mulai tak lagi relevan di masa depan?

Hendra mengakui bahwa pandemi memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengedukasi layanan telekonsultasi kepada masyarakat. Platform healthtech juga mendapat sumber pemasukan baru dari tes Covid-19 (antigen dan PCR) dan pembelian obat/suplemen. Asal tahu saja, telekonsultasi merupakan layanan healthtech yang paling tinggi adopsinya di Indonesia.

Kendati begitu, ia tidak ingin platform healthtech hanya relevan bagi orang sakit. Justru layanan healthtech dapat ditingkatkan relevansinya lewat preventive care. Apalagi pandemi telah membuka mata bagi sebagian orang untuk berolahraga, makan bergizi, dan minum vitamin. “Kesehatan bukan cuma soal [menangani orang sakit] saja. Orang sehat justru lebih banyak,” ujarnya.

Di samping itu, ia menyoroti bahwa telekonsultasi dapat dieksplorasi lebih dalam untuk meningkatkan pengalaman penggunaannya. Saat ini, layanan telekonsultasi masih bersifat dasar. Komunikasi antara dokter dan pasien kebanyakan melalui live chat. Di masa depan, ia berharap telekonsultasi di Indonesia dapat menggunakan video call, BPJS dapat digunakan untuk mengkover biaya telekonsultasi, dan rekam medis dapat tersedia di aplikasi.

“Apabila hal tersebut bisa terealisasi, platform healthtech dapat membuat analisis bagi pasien, misalnya rekomendasi obat. Tapi tentu ini semua harus di-backup dengan data. Kami harap ada rekam medis berbasis elektronik juga nantinya,” tambahnya.

Modernisasi teknologi dan kolaborasi

Dari paparan di atas, Hendra mengungkap sejumlah rencana yang sedang disiapkan. Tak banyak yang dapat dibagikan, tetapi saat ini pihaknya tengah fokus melakukan modernisasi teknologi pada platform KlikDokter dan Hallobumil secara menyeluruh. Lewat modernisasi ini, pihaknya berupaya meningkatkan pengalaman penggunaan dan menghadirkan fitur baru kepada masyarakat.

“Kami akui platform kami kurang user-friendly. Makanya, saat ini kami sedang memperbaiki teknologi dan operasional KlikDokter dan Hallobumil, baik front-end maupun back-end. Kami juga sedang redevelop fitur untuk diagnosis dan preventive care. Kami ingin jangkau lebih luas pasarnya, dari yang muda sampai tua. Targetnya, kami relaunch aplikasi dengan tampilan baru pada Agustus ini,” ungkap Hendra.

KlikDokter awalnya berdiri sebagai portal informasi kesehatan di 2008

Adapun, ia menyebut mayoritas teknologi dikembangkan sendiri oleh KlikDokter. Di luar itu, pihaknya juga membuka ruang kolaborasi dengan mitra eksternal untuk memperluas jangkauan layanannya.

Beberapa di antaranya adalah kemitraan dengan marketplace Shopee yang baru saja diumumkan. Shopee akan berperan sebagai front-end channel layanan telekonsultasi dan pengiriman obat/suplemen dari apotek rekanan KlikDokter. Selain itu, KlikDokter juga sudah bekerja sama dengan platform asuransi We+ untuk layanan serupa. 

“Kami terbuka untuk [mencari] pendanaan eksternal. Sebetulnya, kami sedang fundraising tapi masih confidential. Kami tidak ingin hanya di bawah naungan Kalbe saja. Kami ingin punya lebih banyak partner, baik dalam maupun luar, yang cocok dengan visi-misi KlikDokter. Hopefully, ini dapat membuka akses ke ekosistem lain/baru di luar dari yang kami punya. Kami juga rencana ekspansi ke luar negeri,” ungkapnya.

Berdasarkan laporan keuangan Kalbe di 2021, KlikDokter telah menghubungkan pengguna ke 15.000 dokter terdaftar, 800 klinik dan rumah sakit, serta 2.000 apotek di seluruh Indonesia. Total kunjungan mencapai 10 juta per April 2022 mengacu peringkat di situs Similarweb.

Memanfaatkan aset milik Kalbe

Hendra menyebut bahwa saat ini mayoritas akses dan transaksi KlikDokter justru datang dari mobile browser. Itupun belum seluruhnya berpotensi memberikan pendapatan ke bisnisnya. Menurutnya, hal ini memperkuat anggapan bahwa belum banyak yang tahu keterlibatan KlikDokter dengan Kalbe.

Padahal, ujarnya, Kalbe memiliki pengalaman, data, dan ekosistem kuat di industri kesehatan Indonesia. Kalbe juga memiliki jangkauan distribusi produk yang luas yang mana dapat dimanfaatkan KlikDokter untuk mengakomodasi kebutuhan medis/obat di daerah.

Hal ini dinilai akan menjadi competitive advantage KlikDokter untuk bersaing dengan pemain sejenis di masa depan yang dinilai masih berpusat pada masyarakat di kota-kota besar. Saat ini, Kalbe punya 11 titik distribusi di Indonesia dan akan ditingkatkan menjadi 40 titik.

Sebagai informasi, KlikDokter melalui PT Medika Komunika Teknologi berada di bawah naungan PT Kalbe Farma Tbk (IDX: KLBF). Tadinya, KlikDokter merupakan perusahaan patungan (joint venture) yang didirikan oleh anak usaha Kalbe, PT Karsa Lintas Buwana (PT KLB) bersama PT Kreatif Media Karya (KMK), anak usaha konglomerasi media PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (IDX: EMTK). Namun, KMK melepas seluruh sahamnya ke KLB sehingga kini KlikDokter dimiliki sepenuhnya oleh Kalbe.

“Selain modernisasi teknologi dan operasional, strategi kami selanjutnya adalah memanfaatkan ekosistem Kalbe seoptimal mungkin agar dapat bersaing dengan kompetitor. Kami fokus menghadirkan layanan/produk di semua segmen, dari bayi sampai orang tua. Kami ingin menjadi perusahaan berbasis data yang dapat di-leverage di ekosistem kesehatan di Indonesia.” Tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Doctor Anywhere Ramaikan Pangsa Pasar Healthtech di Indonesia

Setelah hadir di sejumlah negara Asia Tenggara, startup healthtech asal Singapura Doctor Anywhere (DA) akan segera masuk ke Indonesia. Beberapa waktu lalu, DA mengumumkan telah menunjuk Felix Ignatius Tanumihardja sebagai General Manager di Indonesia.

Felix akan bertanggung jawab untuk mendorong strategi go-to-market dan peluncuran produk DA di Indonesia. Kendati begitu, belum ada informasi lebih lanjut mengenai ekspansi DA ke Indonesia dalam waktu dekat. “I’m very excited to launch our business in Indonesia,” demikian disampaikan Felix dalam laman resmi DA di LinkedIn.

Sebagai informasi, Felix tercatat telah lama menjejakkan karier di industri digital dan teknologi. Sebelum ini, ia bekerja sebagai Regional General Manager Grab dan dipercaya untuk mengelola lini bisnis GrabFod dan GrabMart.

Ia juga pernah menjadi Area Manager di platform OTA Expedia Group, dan menghabiskan 12 tahun di bidang product management di sejumlah perusahaan teknologi besar, yakni Lenovo, Samsung, Dell, dan Hewlett-Packard (HP).

Ekspansi regional

Didirikan oleh Lim Wai Mun di 2016, Doctor Anywhere merupakan startup asal Singapura yang menyediakan sejumlah layanan kesehatan, mulai dari telekonsultasi, Covid-19, homecare, dan wellness (marketplace).

Berdasarkan data terakhir, DA telah beroperasi di Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Fillipina. DA juga telah membangun tech hub untuk regional yang berbasis di Bangalore (India) dan Ho Chi Minh City (Vietnam).

Adapun, rencana ekspansi DA lebih luas telah digaungkan Founder dan CEO Doctor Anywhere Lim Wai Mun pasca-perolehan pendanaan seri C sebesar $65,7 juta pada 2021. Ia berujar, DA punya misi untuk menjadi penyedia healthcare berbasis teknologi dan omnichannel terbesar di Asia Tenggara.

Sejak meluncur di 2017, DA mencatat pertumbuhan eksponensial dengan 1,5 juta pengguna di Asia Tenggara. Pandemi Covid-19 menjadi salah satu katalis terhadap pertumbuhan pesat layanan telekonsultasinya. Saat ini, DA telah bermitra dengan 2.800 dokter dan tenaga kesehatan di Asia Tenggara.

“Kami akan menggunakan pendanaan untuk meningkatkan kapabilitas digital kami dan kemampuan kami dalam menyediakan kualitas layanan healthcare secara seamless kepada pengguna kami di Asia Tenggara,” tambahnya.

Potensi healthtech

Indonesia termasuk salah satu pasar yang memiliki tantangan besar di sektor kesehatan, di antaranya karena faktor geografi, mahalnya biaya, hingga ketidakseimbangan rasio jumlah tenaga kesehatan dan kapasitas kamar dengan jumlah penduduk.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan di 2020, rasio dokter mencapai 03,8 per 1.000 populasi, sedangkan rasio tempat tidur RS berkisar 1,2 per 1.000 populasi di Indonesia.

Maka itu, layanan telekonsultasi dinilai memberikan kontribusi besar terhadap penanganan kesehatan masyarakat selama pandemi Covid-19. Telekonsultasi juga menjadi layanan healthtech yang paling tinggi adopsinya di Indonesia. Beberapa platform penyedia telekonsultasi di Indonesia di antaranya adalah Alodokter, Halodoc, dan KlikDokter.

Potensi adopsinya juga masih sejalan dengan meningkatnya penetrasi internet di Indonesia di luar kota-kota tier 1.  Mengacu e-Conomy SEA Report 2021, ada sebanyak 21 juta pengguna digital baru sejak awal pandemi hingga pertengahan 2021, di mana 72% di antaranya berasal dari kota non-metropolitan.

Adapun, Health Investor Asia memproyeksikan total spending kesehatan masyarakat di enam Asia Tenggara (Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Thailand) mencapai $740 miliar di 205 atau naik dari $420 miliar di 2017.

Application Information Will Show Up Here

CantikID Kembangkan Solusi “Telebeauty”, Bangun Ekosistem Layanan Kecantikan di Aplikasi

Tren beautytech di Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Tidak dapat dimungkiri, keterlibatan teknologi digital menjadi salah satu bagian dari perubahan tren itu sendiri. Namun, tingginya kebutuhan masyarakat terhadap produk kecantikan saat ini rupanya tak sejalan dengan akses informasi yang tepat untuk memenuhi kebutuhan konsumen tersebut.

Salah satu platform yang fokus mengembangkan solusi untuk industri kecantikan adalah CantikID. Platform ini disebut sebagai yang pertama mereplikasi konsep telemedis dalam industri kecantikan atau disebut juga ‘telebeuty’. Telebeauty yang disebut dalam platform ini merupakan layanan yang menghubungkan klinik kecantikan dan perawatan dengan pelanggan melalui konsultasi online.

DailySocial.id berdiskusi dengan Founder & CEO CantikID Yunus Sapang. Ia mengungkapkan bahwa setelah melakukan penelitian di beberapa kota di seluruh Indonesia, ternyata banyak wanita yang membeli produk berdasarkan rekomendasi tanpa bertanya kepada ahlinya, sehingga menimbulkan masalah pada kulit. Banyak konsumen merasa biaya konsultasi dan perawatan kulit sangat tinggi, maka dari itu, mereka hanya mengandalkan ulasan-ulasan dari internet yang masih dipertanyakan validasinya.

Selain itu, pandemi COVID-19 juga turut berimbas pada usaha kecantikan di tanah air. Salah satunya adalah dengan adanya pembatasan sosial sehingga banyak klinik yang tutup, sedangkan biaya operasional mereka terus berjalan. Untuk alasan itu juga, CantikID pun hadir memberikan solusi bagi pengusaha-pengusaha di bidang kecantikan, terutama owner klinik sehingga mereka tetap bisa berjalan.

“Kami juga melihat bahwa banyak sekali salon, barbershop, di mana mereka juga mengalami masalah yang sama dengan klinik-klinik kecantikan. Sehingga kami membuat integrasi mulai dari konsultasi, produk, dan booking. Nantinya pada saat customer masuk ke platform kami, mereka bisa melihat, memilih, layanan apa yang akan dipakai,” paparnya.

CantikID mencoba mengembangkan solusi untuk mengatasi berbagai tantangan yang ada di industry kecantikan. Platform ini menawarkan fitur yang memudahkan konsumen untuk membuat reservasi ke berbagai pilihan tempat perawatan kecantikan, seperti spa, hair stylist, make-up artist, dan lainnya serta akan terhubung langsung dengan dokter dan ahli kecantikan untuk menuntaskan segala masalah kulit yang dialaminya.

Usai melakukan konsultasi dengan ahli, pelanggan juga dapat langsung memesan produk kecantikan dan perawatan hasil konsultasi (resep & nonresep) juga untuk pembelian langsung (tanpa konsultasi) lewat CantikID.

Dalam platform ini, pengguna bisa menjadwalkan konsultasi dengan 161 pilihan dokter dan beauty advisor dari 96 klinik kecantikan yang sudah terdaftar. Selain itu, CantikID juga telah bekerja sama dengan 61 salon serta memiliki setidaknya 304 SKU produk yang bisa dibeli melalui aplikasi.

Hingga saat ini, layanan CantikID disebut sudah menjangkau 60 kota, 70%-nya di pulau Jawa. Selanjutnya, Yunus mengungkapkan, berdasarkan survey pada kustomer, timnya memutuskan akan membawa layanan ini untuk segera hadir menjadi solusi bagi kota tier 2 dan 3.

Beautytech di Indonesia

Dibanding banyak segmen, kecantikan bisa dibilang pasar yang cukup menjanjikan di masa depan. Berdasarkan data yang dihimpun, rata-rata wanita Indonesia memang memiliki pola beli yang tinggi dalam usahanya menunjang penampilan. Laporan Euromonitor menunjukkan nilai pasar kecantikan di Indonesia sempat ditaksir bakal mencapai $8,46 miliar di 2022, naik dari estimasi nilai di 2019 yang sebesar $6,03 miliar.

Perusahaan investasi besar dan pemodal ventura (VC) kini menjajaki peluang di sektor teknologi kecantikan Indonesia, sesuatu yang sebelumnya dianggap sebagai ceruk, ruang perempuan. Startup teknologi kecantikan menawarkan produk mereka secara online kepada audiens Indonesia, pasar yang berkembang dengan semakin banyak populasi yang sadar akan kecantikan, meningkatkan potensi penjualan.

Beberapa contoh e-commerce yang mengkhususkan dirinya di bidang kecantikan seperti Sociolla, Kay Collection, BerryBenka, Zalora, dan masih banyak lainnya. Selain itu, akses terhadap platform teknologi dan digital di Indonesia turut berkontribusi terhadap kelahiran brand kecantikan baru dalam negeri. Beberapa di antaranya, seperti Rose All Day dan Base, menggunakan pendekatan Direct-To-Consumer (DTC) untuk menjangkau konsumen.

Pasar kecantikan dan perawatan pribadi di Indonesia sedang menikmati lonjakan pertumbuhan yang luar biasa, dengan pendapatan saat ini diperkirakan mencapai 101 triliun Rupiah. Pasar mengharapkan pertumbuhan berkelanjutan sekitar 6,6% CAGR per tahun hingga 2023, dengan hampir 7% dari total pendapatan berasal dari penjualan online pada tahun 2021.

Application Information Will Show Up Here

Prixa Gandeng AdMedika untuk Perluas Ekosistem Layanan Kesehatan di Segmen B2B

Startup healthtech Prixa resmi menggandeng AdMedika untuk memperluas ekosistem layanan kesehatan di segmen B2B. Melalui kemitraan ini, AdMedika dapat memanfaatkan kapabilitas yang dimiliki oleh Prixa untuk menghadirkan layanan kepada kliennya, mulai dari telekonsultasi, pharmacy delivery, hingga on-demand lab secara end-to-end.

“Kolaborasi ini mengombinasikan kekuatan kedua pihak untuk capture segmen pasar yang tidak memiliki asuransi, terutama rawat jalan. Ini menjadi stepping stone kami untuk sinergi selanjutnya. Kami dapat saling leverage untuk membantu streamline di ekosistem kesehatan. Masih banyak pasar yang belum terjamah teknologi yang bisa kami tap in,” ujar Co-founder dan CEO Prixa James Roring dalam konferensi pers virtual.

Untuk tahap awal, kemitraan ini mencakup layanan telekonsultasi dan resep elektronik bagi pengguna AdMedika. Pengguna AdMedika kini dapat mengakses layanan Prixa di aplikasi MyAdMedika.

Adapun, sinergi Prixa dan AdMedika sepenuhnya menggunakan pendekatan digital dengan memanfaatkan API sehingga dapat memotong proses administrasi yang selama ini manual. Adapun, ini disebut kolaborasi pertama dari portofolio MDI Ventures antara startup healthtech dan perusahaan third party administrator (TPA).

CEO AdMedika Dwi Sulistiani menambahkan bahwa kolaborasi ini sejalan dengan upaya perusahaan untuk mempercepat ekosistem kesehatan digital. “Kami ‘dijodohkan’ oleh MDI Ventures untuk bersinergi. Nantinya, ecosystem hub ada di AdMedika dan teknologi dari Prixa. Kemudian, pengembangannya nanti tidak hanya di telekonsultasi, tetapi bisa juga data. Data dari AI ini akan kami maksimalkan untuk memperkuat pelayanan, kami bisa suggest data ini ke pemerintah atau stakeholder terkait,” tambahnya.

Sebagai informasi, Prixa merupakan penyedia layanan kesehatan berbasis web yang mengklaim sebagai platform pertama dengan AI-based diagnosis engine di Indonesia. Prixa menawarkan berbagai macam layanan kesehatan, yakni telekonsultasi, pharmacy delivery, rujukan ke RS dan klinik, serta laboratorium.

Sementara itu, AdMedika adalah perusahaan TPA di bidang solusi kesehatan. Portofolio utama layanannya adalah Health Claim Management Services, Provider Management Services, dan Health Digital Services. Perusahaan telah melayani 5,1 juta pengguna dari 145 klien dari sektor asuransi pribadi, korporasi, dan BUMN dengan lebih dari 5.200 jaringan terhubung. AdMedika berada di bawah naungan PT Multimedia Nusantara (TelkomMetra) yang merupakan anak usaha Telkom.

Layanan kesehatan di B2B

Prixa memiliki misi untuk menjadi digital entry point di industri kesehatan Indonesia. Saat ini, platform Prixa didukung oleh lebih dari 100 informasi penyakit, lebih dari 400 point of delivery farmasi, dan 300 fasilitas lab. Mereka juga telah menghubungkan lebih dari 10 juta pemegang polis pribadi dengan akses telekonsultasi.

Di Indonesia, rata-rata industri healthtech masih didominasi oleh layanan telekonsultasi untuk B2C. Layanan ini tumbuh signifikan sejak 2020 karena masyarakat mengurangi kunjungan fisik selama masa pandemi.

Namun, kemunculan startup healthtech di B2B dan B2G dinilai dapat membantu mempercepat digitaliasi di industri kesehatan. Selain Prixa, startup lain yang bermain di segmen B2B adalah Klinik Pintar. Startup ini berfokus menjadi penyedia clinic chain di Indonesia yang dianggap dapat menyentuh grass roots, segmen yang dianggap kesulitan mendapat akses ke layanan kesehatan.

Sebelumnya, Kementerian Kesehatan 2020 mencatat rasio dokter mencapai 03,8 per 1.000 populasi, sedangkan rasio tempat tidur RS berkisar 1,2 per 1.000 populasi di Indonesia.

East Venture Leads Series A Funding for the Healthtech Startup “Smarter Health”

Smarter Health announced a series A funding worth of S$ 5.15 million (approximately 54 billion Rupiah) led by East Ventures. The fresh moeny will be used for product development and market expansion in Southeast Asia. Also participated in this round some strategic investors, such as Orbit Malaysia, Citrine Capital, HMI Group, and EMTEK.

The Smarter Health platform facilitates secure exchange of data between insurance companies, healthcare providers and patients. This enables the use of data to guide patient decision making, and increases the accuracy and speed of claims. Future developments will drive greater operational efficiency, effectiveness, and enhance customer security.

After the promising traction in Singapore, Malaysia, Indonesia, Smarter Health is looking to further enhance and expand its market and series of solutions.

“We are excited to partner with East Ventures and other strategic investors to realize our vision of being an ‘Easy to Access, Affordable and Accountable’ healthcare service. We look forward to collaborating with more insurance companies, healthcare providers, and doctors to achieve this vision,” Smarter Health’s CEO Liaw Yit Ming said in an official statement, Monday (3/1).

East Ventures’ Co-Founder & Managing Partner, Willson Cuaca added, “The Covid-19 pandemic has forced insurance companies and healthcare providers to reconsider and restructure their operations strategies by accelerating digital transformation. Smarter Health is here to make healthcare more accessible, affordable and accountable by providing an AI-operable platform.

“We are excited to support Smarter Health in resolving inefficiencies in the health care process between stakeholders in the health ecosystem,” Willson added.

One of Smarter Health’s solutions in Indonesia is the Second Medical Opinion service, which allows patients to get a complete overview of their medical condition from a collaborative network of specialist doctors carefully curated by Smarther Health.

These specialist doctors come from Singapore and have different medical specialties and disciplines. They practice in major private hospitals such as Elizabeth Novena Hospital, Mount Elizabeth Hospital, Gleneagles Hospital and others for a flat rate of S$250.

Indonesian patients will be scheduled for a 20-minute teleconsultation session and receive a written medical report from the selected specialist within five working days after the consultation session.

Digital transformation for health industry is currently on the spot

The Ministry of Health publishes a roadmap contained in the blueprint of the Indonesian health sector transformation and digitization for 2021-2024. There are three priority agendas for the Ministry, integration and development of data systems, service applications, and ecosystems in the field of health technology (healthtech).

Apart from the right momentum due to the Covid-19 pandemic, the roadmapis haunted by a number of big challenges. It includes the data system and the unbalanced ratio of the number of health workers and room capacity to the total population.

Currently, there are hundreds of applications which data management still based on individual information. In the government, there are more than 400 applications in the health sector, and this number does not include the regional level. This is yet to mention the medical records of 270 million Indonesians, which are yet to be fully digital.

Meanwhile, the current Ministry of Health noted that the ratio of doctors reached 03.8 per 1,000 population, while the ratio of hospital beds was around 1.2 per 1,000 population in Indonesia.

“We have seen how the Covid-19 pandemic has had a significant impact on various things, including changing the way people consult. We must start this transformation and focus on developing platforms and implementing collaborative initiatives with stakeholders. We expect to create a healthy Indonesia and create integrated health platforms,” the Chief Digital Transformation Office of the Ministry of Health, Setiaji said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

East Ventures Pimpin Pendanaan Seri A Startup Healthtech “Smarter Health”

Smarter Health mengumumkan telah memperoleh pendanaan seri A senilai S$ 5,15 juta (sekitar 54 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh East Ventures. Dana segar akan dimanfaatkan untuk pengembangan produk dan perluasan pasar di Asia Tenggara. Putaran ini turut diikuti oleh jajaran investor strategis lainnya, seperti Orbit Malaysia, Citrine Capital, HMI Group, dan EMTEK.

Platform Smarter Health memfasilitasi pertukaran data yang aman antara perusahaan asuransi, penyedia layanan kesehatan, dan pasien. Hal ini memungkinkan penggunaan data untuk memandu pengambilan keputusan bagi pasien, serta meningkatkan akurasi dan kecepatan pemrosesan klaim. Perkembangan masa depan akan mendorong efisiensi operasional yang lebih besar, efektif, dan meningkatkan pengamanan pelanggan.

Setelah mencapai traksi yang menjanjikan di Singapura, Malaysia, Indonesia, Smarter Health ingin lebih meningkatkan dan memperluas pasar dan rangkaian solusi.

“Kami sangat senang dapat bermitra dengan East Ventures dan investor strategis lainnya untuk mewujudkan visi kami menjadi layanan kesehatan ‘Mudah diakses, Terjangkau, dan Akuntabel’. Kami berharap dapat berkolaborasi dengan lebih banyak perusahaan asuransi, penyedia layanan kesehatan, dan dokter untuk mencapai visi ini,” kata CEO Smarter Health Liaw Yit Ming dalam keterangan resmi, Senin (3/1).

Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menambahkan, pandemi Covid-19 telah memaksa perusahaan asuransi dan penyedia layanan kesehatan untuk mempertimbangkan dan menyusun ulang strategi operasi mereka dengan mempercepat transformasi digital. Smarter Health hadir untuk membuat kesehatan dapat diakses, terjangkau, dan akuntabel dengan menyediakan platform yang dapat dioperasikan dengan AI.

“Kami sangat antusias untuk mendukung Smarter Health dalam menyelesaikan inefisiensi proses pelayanan kesehatan antara pemangku kepentingan di ekosistem kesehatan,” ucap Willson.

Salah satu solusi Smarter Health yang bisa diakses di Indonesia adalah layanan Pendapat Medis Kedua (Second Medical Opinion), yang memungkinkan pasien mendapatkan tinjauan lengkap tentang kondisi medis mereka dari jaringan kolaboratif dokter spesialis yang dikuratori oleh Smarther Health dengan cermat.

Para dokter spesialis ini berasal dari Singapura dan memiliki spesialisasi dan disiplin ilmu medis berbeda-beda. Mereka berpraktik di rumah sakit swasta utama seperti Rumah Sakit Elizabeth Novena, Rumah Sakit Mount Elizabeth, Rumah Sakit Gleneagles, dan lainnya dengan biaya tetap sebesar S$250.

Pasien Indonesia akan dijadwalkan untuk sesi telekonsultasi selama 20 menit dan menerima laporan medis tertulis dari dokter spesialis terpilih dalam waktu lima hari kerja setelah sesi konsultasi.

Transformasi digital industri kesehatan tengah jadi perhatian

Kementerian Kesehatan menerbitkan peta jalan yang tertuang dalam cetak biru (blueprint) transformasi dan digitalisasi sektor kesehatan Indonesia pada periode 2021-2024. Ada tiga agenda utama yang menjadi prioritas Kementerian, yaitu integrasi dan pengembangan pada sistem data, aplikasi pelayanan, dan ekosistem di bidang teknologi kesehatan (healthtech).

Alasan peluncuran roadmap ini, selain mendapat momentum yang tepat karena pandemi Covid-19, dihantui oleh sejumlah tantangan besar. Di antaranya, tantangan pada sistem data serta tidak seimbangnya rasio jumlah tenaga kesehatan dan kapasitas kamar dengan jumlah penduduk.

Saat ini, terdapat ratusan aplikasi Saat ini, terdapat ratusan aplikasi yang pengelolaan datanya masih berbasis informasi individu. Di pemerintahan, ada lebih dari 400 aplikasi di bidang kesehatan, dan jumlah ini belum termasuk di tingkat daerah. Ini belum lagi bicara rekam medis milik 270 juta penduduk Indonesia yang belum sepenuhnya berbasis digital.

Sementara itu, Kementerian Kesehatan 2020 mencatat rasio dokter mencapai 03,8 per 1.000 populasi, sedangkan rasio tempat tidur RS berkisar 1,2 per 1.000 populasi di Indonesia.

“Kita telah melihat bagaimana pandemi Covid-19 berdampak signifikan pada berbagai hal, termasuk mengubah cara masyarakat berkonsultasi. Kami harus mulai transformasi ini dan fokus pada pengembangan platform serta pelaksanaan insiatif yang kolaboratif dengan para pemangku kepentingan. Kami harap bisa wujudkan Indonesia sehat dan membuat platform kesehatan terintegrasi,” papar Chief Digital Transformation Office Kementerian Kesehatan Setiaji.

Halodoc Aspires to Simplify Healthcare Through Platform

Who would have thought, health digital solutions will be rapidly growing during the Covid-19 pandemic. Halodoc’s vision and mission since five years ago becomes a proof that ‘healthtech is here to stay in Indonesia’. In the meantime, they learned a lot from the pandemic and how to react in order to making further impact to the country.

Halodoc’s Co-founder & CEO, Jonathan Sudharta shared many things about the startup he started from scratch through a limited media discussion that took place at his residence in Cilandak, South Jakarta some time ago.

“At that time [in early days] we were proud to have 4 thousand doctors, we acquired 100 thousand users in the first month, but the application rating was 1.9. At first, we thought that having thousands of doctors was a good thing. Eventually, we re-examined and gained insight that we need a proper product to solves the right pain point. And in the process of solving it, we need to combine products, operations, and technology,” Jonathan started the discussion.

He continued, “We discover small things that we weren’t had in mind previously, but to be focused on the right problem is not the solution, in fact. We have a mantra, ‘don’t fall in love with a solution, but fall in love with the right pain’. At that point, we started to do an experiment, where we only provide five most active doctors to answer user complaints. [..] The changing strategy boost up our rating to 4.”

Understanding ‘passion pain’, he called it that way, has had many implications for Halodoc’s entire product approach, especially during the pandemic. The drive thru test solution for Covid-19 tests and vaccines is one of the company’s realizations from this approach and is still operating.

“In short, we have helped more than 630 thousand people for the drive thru vaccine, this might be just a small number compared to the Indonesian population. However, as a private company, we are one of the biggest. Our mission is to simplify healthcare that is not just about business.”

In addition to people flocking to use telemedical services, in terms of supply, doctors also show their interest. It was stated when the Covid-19 broke out, there were more than 500 doctors per week going onboard with Halodoc app. To date, Halodoc has facilitated more than 20 thousand doctors.

From the beginning, Halodoc has positioned itself as a telemedical startup with a teleconsultation solution, guaranteeing 15 seconds of immediate response by doctors and a drug purchase service at pharmacies with 15 minutes guarantee to your home. Both services are company’s main monetization source with a commission earned from each transaction.

Jonathan claims that both services have balanced contribution, capable to drive the company to a profitable position. However, he is still trying to increase the transaction volume of the two main channels, therefore, Halodoc can become a sustainable company in the future.

“We’re not lying, we’re still looking for ways to make it sustainable. There is a saying in the digital world ‘if you can’t build 10x experience, don’t expect to sell your service’. Nevertheless, when you reach that point, prove that you have a product market fit, where people will pay for your services.”

Although he didn’t clearly stated the Halodoc’s total user, Jonathan mentioned that as many as 30% were in Greater Jakarta, of which Jakarta dominating with 20%. Then, the rest are from outside Jabodetabek and 50% of them are outside Java Island.

Bidanku App

Jonathan also mentioned another interesting news, the story of how he was able to attract the couple Bill Gates and Melinda Gates to invest in Halodoc. Long story short, Jonathan was chosen as one of the delegates for the training program held by the philanthropic foundation several years earlier, it was not until 2019, they officially invest in Halodoc.

On one occasion, all participants had the opportunity to have lunch with Bill Gates. Jonathan appeared in different clothes with the requirements given by the committee at the time. He managed to attract Bill Gates’ attention and did a pitch which essentially proposed how his philanthropic foundation can help the Indonesian people.

“At that time, I basically pitched to initiate cooperation instead of funding. However, they turned out to have a different approach to solving health issues that require digital technology, it is what finally encouraged them to invest in Halodoc.”

The realization of this investment is the Bidanku app. Its purpose is purely social, offering free service for remote areas. Midwives are Halodoc’s extension to enter remote areas, the population of midwives in Indonesia is currently around 240 thousand people.

Halodoc wants to work on how midwives can treat patients with better birth rate output, lower mortality rates, and so on. This application focuses on solving administrative problems that previously required midwives to devote at least two hours a day to take care.

In addition, this application can manage patient data and digital cards, access to patient visit which automatically summarized in digital Puskesmas reports, and send visit reminders to WhatsApp, also monitor practice recaps to manage & develop practices. “The midwives who before and after using the application, the number of visits doubled because before the application there were many whose schedules were not managed.”

He continued, “Halodoc is not a whole ‘meat’, there are many humanitarian factors that we do. This is part of the sociopreneur, there is a part of the entrepreneur who must be sustainable. Hence, don’t forget our call to help others.”

Future plans

Healthtech is a nascent industry that born post the pandemic. The product was validated in time of the pandemic. In this case, Jonathan is not really consider many healthtech players providing similar solutions as competitor. Instead, he discovers that in the world of health, the more solutions presented, the more people will have access to health care.

Halodoc becomes one of the healthtech startups which is also a member of the Indonesian Telemedicine Alliance (ATENSI) along with 30 other companies. This association was only established late last year, in the midst of a pandemic.It involves other companies include Alodokter, Good Doctor, Klikdokter, Homecare24, and many more.

“In the healthcare world, we should not see other players as competitors, instead, it is to spur us to grow better.”

The company’s next plan after this pandemic is to focus on preventive actions. It is visible from some features in the application included in the Health Support category, such as the health insurance package with Astra Insurance, diabetes risk, menstrual calendar, BMI calculator, pregnancy calendar, heart risk, medication reminders, and donations.

“We aim for Halodoc to be able to keep patients healthy. We look after them with features, such as brief test for diabetes as we try to keep them healthy and be a part of people’s health,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Menjadi Superapp Gaya Hidup, Kini Traveloka Punya Fitur Telemedis hingga Investasi

Traveloka kini telah berubah menjadi superapp yang memfokuskan pada pemenuhan gaya hidup. Sesuai dengan jargon yang digunakan, superapp identik dengan sebuah aplikasi yang menggabungkan berbagai jenis layanan dalam satu platform. Selain mengembangkan sendiri, biasanya mereka juga melakukan kemitraan strategis dengan startup atau perusahaan lain.

Hadir sebagai layanan online travel agency, varian produk Traveloka kini diperluas dengan kehadiran berbagai kategori baru. Teranyar, mereka masuk juga di bidang healthtech dengan menghadirkan sejumlah layanan, termasuk telemedis alias jasa konsultasi dokter secara virtual. Untuk layanan ini, mereka memiliki entitas bisnis tersendiri yang bernaung di PT Nawanusa Medika Teknologi.

Fitur telemedis merupakan satu dari beberapa layanan yang terdapat pada menu “Health” di aplikasi Traveloka. Selain itu ada layanan medical check-up, perawatan gigi, dan fasilitas kesehatan lainnya – sebagian besar Traveloka berperan sebagai perantara untuk registrasi pasien, booking, dan pembayaran.

Tampilan laman awal fitur telemedis Traveloka
Tampilan laman awal fitur telemedis Traveloka

Selain kesehatan, layanan baru bermunculan di kategori finansial. Teranyar, mereka kini miliki layanan investasi emas, bekerja sama dengan Pegadaian. Selain itu, fitur marketplace asuransi (insurtech) di dalamnya juga terus diperluas dengan menjangkau lebih banyak produk. Lagi-lagi, dasarnya adalah ambisi mereka untuk menjadi aplikasi super yang memenuhi tuntutan gaya hidup masyarakat masa kini.

Strategi bertahan di tengah pandemi

Berbagai pembatasan yang dilakukan di banyak negara untuk menghentikan persebaran Covid-19 tentu berdampak langsung pada industri akomodasi dan transportasi, tak terkecuali OTA. Menurut data, di tahun 2020 terjadi penurunan nilai pasar hingga 20%. Tahun 2019 bisnis OTA berhasil membukukan nilai $744,7 miliar, sementara di tahun 2020 menurun jadi $595,8 miliar.

Pun demikian di Indonesia, PPKM yang digencarkan pemerintah membatasi penggunaan berbagai transportasi publik, seperti kereta, pesawat, dan lain-lain. Bahkan ada larangan untuk melakukan tradisi mudik – sampai memangkas hari libur untuk mengurangi mobilitas masyarakat. Sementara momen-momen tersebut biasanya menjadi “panen raya” bagi penyedia platform OTA.

“Tidak dapat dipungkiri bahwa Traveloka sangat terpengaruh dengan pandemi Covid-19. Bisnis kami berada di titik terendah yang belum pernah terjadi sejak kami pertama kali berdiri. Namun, kami selalu percaya bahwa Traveloka akan bangkit kembali dengan adanya penyesuaian strategi bisnis secara cepat,” ujar Co-founder & CEO Ferry Unardi ketika mengumumkan perolehan pendanaan baru $250 juta atau setara 3,6 triliun Rupiah pada Juli 2020 lalu.

Bertahan melalui aktivitas dan finansial

Tahun lalu, ketika kegiatan perjalanan harus dibatasi Traveloka memilih untuk mengoptimalkan fitur Xperience yang berada di aplikasi. Mereka menyajikan berbagai aktivitas online, mulai dari tur virtual, workshop, hingga kelas online. Beberapa waktu kemudian, mereka mantap masuki bisnis food delivery dengan TravelokaEats – bermodal direktori lokasi makan yang ada di basis datanya, kemudian diperkuat dengan merekrut mitra-mitra untuk pemesanan dan pengantaran. Selain itu, mereka juga sudah memiliki infrastruktur mendasar lainnya, yakni: fintech.

“Upaya lain yang kami lakukan adalah untuk menemukan cara baru agar bisa memberikan layanan kepada pengguna menyesuaikan perubahan customer saat ini. Salah satunya adalah ekspansi layanan lokal dan layanan fintech,” kata President Traveloka Caesar Indra dalam sebuah kesempatan.

Untuk layanan fintech, saat ini Traveloka tengah gencar dengan produk paylater mereka. Selain di ekosistem aplikasi milik sendiri, produk pembayaran tersebut kini mulai diaplikasikan ke platform lain seperti e-commerce. Selain itu, beberapa fitur seperti Instant Debit dan Co-Brand Credit Card juga menjadi andalan – dinilai lebih cocok untuk menunjang gaya hidup kekinian. Sementara untuk uang elektronik mereka memilih bermitra dengan UANGKU milik PT Smartfren Telecom Tbk.

Ekosistem layanan

Per hari ini (30/11), setidaknya ada 46 fitur layanan yang bisa diakses melalui aplikasi Traveloka. Jika dikelompokkan lebih lanjut, saat ini Traveloka mengakomodasi beberapa kategori layanan, meliputi transportasi, akomodasi, perlengkapan, aktivitas, pembayaran, tagihan, asuransi, investasi, makanan, dan lain-lain. Kendati demikian, nuansa yang dihadirkan dalam aplikasi memang masih menonjolkan sebagai sebuah OTA – fitur-fitur baru di luar travel dan akomodasi belum terlalu ditonjolkan.

Ekosistem layanan di aplikasi Traveloka / DailySocial.id
Ekosistem layanan di aplikasi Traveloka / DailySocial.id

Peluasan ekosistem layanan ini jelas menjadi bagian dari strategi agar Traveloka tetap bisa mendapatkan traksi maksimal, karena pada dasarnya pandemi belum sepenuhnya hilang. Terlebih beberapa aksi strategis akan digalakkan, salah satunya mengenai rencana go-public.

Sebelumnya berhembus kabar Traveloka akan membuat kesepakatan dengan Bridgetown Holdings Ltd. untuk SPAC. Namun baru-baru ini, tersiar informasi bahwa dewan direksi Traveloka memutuskan untuk tidak melanjutkan langkah tersebut. Alasannya kurang lebih sama dengan MNC, karena antusiasme SPAC telah berkurang seiring tingginya frekuensi di pasar. Perusahaan kemungkinan akan menjajaki proses IPO tradisional, tetap di bursa AS, menurut sumber Bloomberg.

Di sisi lain, Traveloka juga menggencarkan investasinya ke startup lain – yang dinilai akan memiliki potensi untuk bersinerginya. Tercatat sepanjang 2021 mereka telah berinvestasi ke Member.id, Sirclo, dan PouchNATION.

Menjadi lifestyle superapp memang pilihan yang cukup relevan, karena secara fundamental sebagai OTA ekosistem layanan yang sudah ada ditujukan [salah satunya] untuk pemenuhan gaya hidup. Maka tugas selanjutnya adalah memperluas cakupan fitur agar mampu menghadirkan pelayanan secara menyeluruh.

Application Information Will Show Up Here

Mengulik Asa Halodoc Sederhanakan Kesehatan Melalui Platform

Siapa sangka, solusi digital untuk kesehatan merebak pesat saat pandemi Covid-19. Visi dan misi yang digagas Halodoc sejak lima tahun lalu menjadi pembuktian bahwa ‘healthtech is here to stay in Indonesia’. Di saat yang sama, mereka juga belajar banyak dari pandemi dan bagaimana bereaksi dalam memberikan dampak lebih jauh buat Tanah Air.

Co-founder & CEO Halodoc Jonathan Sudharta menceritakan banyak hal mengenai startup yang ia rintis sejak awal ini di rumah kediamannya di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.

“Saat itu [saat baru beroperasi] kita bangga-bangganya punya 4 ribu dokter, di bulan pertama kita punya 100 ribu user, tapi rating aplikasinya 1,9. Awalnya kita anggap punya ribuan dokter itu bagus. Akhirnya kita berbenah dan mendapat insight bahwa kita perlu proper product that solving the right pain. Dan dalam proses solving pain, kita perlu gabungkan produk, operasional, dan teknologi,” ujar Jonathan memulai perbincangan.

Ia melanjutkan, “Kita menemukan hal-hal kecil yang sebelumnya tidak terpikirkan, ternyata fokus on the right problem is not the solution. Mantra kita adalah ‘don’t falling in love with solution, tapi falling in love with the right pain’. Dari situ kita mulai eksperimen untuk hanya mengaktifkan lima dokter yang selalu aktif buat menjawab keluhan pengguna. [..] Dengan perubahan itu rating naik jadi ke 4.”

Upaya memahami ‘passion pain’, istilah yang ia sebut, membawa banyak dampak bagi keseluruhan pendekatan produk di Halodoc, terutama saat pandemi. Solusi tes drive thru untuk tes Covid-19 dan vaksin adalah salah satu realisasi perusahaan yang diambil dari pendekatan tersebut dan masih beroperasi hingga saat ini.

“Sekilas kami sudah bantu lebih dari 630 ribu orang untuk vaksin drive thru, mungkin ini tidak seberapa dibanding populasi di Indonesia. Tapi secara private, kita salah satu yang terbesar. Misi kami adalah simplifikasi layanan kesehatan yang enggak hanya bicara tentang bisnis saja.”

Tak hanya masyarakat yang berbondong-bondong menggunakan layanan telemedis, dari sisi suplai para dokter juga turut menunjukkan ketertarikannya. Disebutkan saat Covid-19 pertama kali merebak, terdapat lebih dari 500 dokter per minggu yang onboard ke dalam aplikasi Halodoc. Hingga kini, Halodoc memiliki lebih dari 20 ribu dokter.

Sedari awal, Halodoc menempatkan diri sebagai startup telemedis yang memiliki solusi telekonsultasi dengan jaminan 15 detik langsung direspons oleh dokter dan layanan pembelian obat di apotek dengan jaminan 15 menit sampai di rumah. Kedua layanan tersebut menjadi sumber monetisasi perusahaan karena ada komisi yang didapat dari setiap transaksinya.

Jonathan mengklaim kontribusi dari keduanya cukup imbang porsinya, mampu membuat perusahaan masuk dalam posisi yang sudah cetak untung. Akan tetapi, ia masih berusaha untuk meningkatkan volume transaksi dari kedua kanal tersebut agar Halodoc dapat menjadi perusahaan yang berkelanjutan ke depannya.

“Kita enggak bohong masih mencari cara buat sustain. Ada pepatah di dunia digital ‘kalau enggak bisa bangun 10x experience, jangan harap kamu jual service kamu’. Tapi kalau sudah sampai di titik itu, buktikan kalau sudah punya product market fit, di mana orang mau bayar service kamu.”

Meski tidak disebutkan jumlah pengguna Halodoc, Jonathan merinci bahwa sebanyak 30% berada di Jabodetabek, dari angka tersebut pengguna dari Jakarta hampir mendominasi sekitar 20%. Kemudian, sisanya dari luar Jabodetabek dan 50% di dalamnya berada di luar Pulau Jawa.

Aplikasi Bidanku

Hal menarik lainnya yang disampaikan Jonathan dalam kesempatan tersebut adalah cerita bagaimana ia mampu menarik pasangan Bill Gates dan Melinda Gates untuk berinvestasi di Halodoc. Singkat ceritanya, Jonathan terpilih sebagai salah satu delegasi untuk program pelatihan yang diadakan oleh yayasan filantropi tersebut beberapa tahun pada beberapa tahun sebelumnya, hingga akhirnya resmi suntik Halodoc pada 2019.

Dalam salah satu kesempatan, seluruh peserta mendapat kesempatan untuk makan siang bersama Bill Gates. Jonathan tampil dengan pakaian yang berbeda dengan persyaratan yang waktu diberikan panitia. Ia berhasil menarik perhatian Bill Gates dan melakukan pitching yang intinya mengajukan bagaimana yayasan filantropinya dapat membantu masyarakat Indonesia.

“Waktu itu saya langsung pitching yang intinya ingin mengajak kerja sama, bukan untuk funding. Tapi dari mereka akhirnya ada pendekatan yang berbeda untuk menyelesaikan isu kesehatan dibutuhkan teknologi digital, keputusan inilah yang membuat akhirnya mereka berinvestasi ke Halodoc.”

Bentuk realisasi dari investasi tersebut adalah aplikasi Bidanku. Aplikasi ini murni untuk sosial, bersifat gratis diperuntukkan buat para bidang di daerah terpencil. Bidan menjadi perpanjangan tangan Halodoc untuk masuk ke daerah terpencil, populasi bidan di Indonesia saat ini sekitar 240 ribu orang.

Halodoc ingin menyelesaikan bagaimana bidan bisa menangani pasien lebih baik dengan output angka kelahiran lebih baik, tingkat kematian rendah, dan sebagainya. Aplikasi ini fokus menyelesaikan masalah administrasi yang sebelumnya para bidan harus melowongkan waktu setidaknya dua jam setiap harinya untuk mengurusnya.

Tak hanya itu, aplikasi ini dapat mengelola data dan kartu digital pasien, akses riwayat kunjungan pasien dengan terangkum otomatis dalam laporan Puskesmas digital, dan mengirim pengingat kunjungan ke WhatsApp, dan cek rekap praktik untuk kelola & kembangkan praktik. “Para bidan yang sebelum dan setelah pakai aplikasi, jumlah kunjungan naik dua kali lipat karena sebelum ada app banyak yang jadwalnya tidak terkontrol.”

Ia melanjutkan, “Halodoc enggak semuanya penuh ‘daging’, banyak faktor kemanusiaan yang kami kerjakan. Ini bagian dari sociopreneur, ada bagian entrepreneur yang harus sustain. Tapi enggak lupa dengan panggilan kita untuk bantu orang lain.”

Rencana berikutnya

Healthtech merupakan industri yang baru lahir semenjak pandemi. Produknya benar-benar baru tervalidasi ketika pandemi. Untuk itu, banyaknya pemain healthtech yang menyajikan solusi serupa, tidak dianggap sebagai kompetitor oleh Jonathan. Ia justru melihat bahwa di dunia kesehatan semakin banyak solusi maka akan semakin banyak orang yang bisa mendapat akses kesehatan.

Halodoc termasuk ke dalam salah satu startup healthtech yang tergabung dalam Aliansi Telemedik Indonesia (ATENSI) bersama dengan 30 perusahaan lainnya. Asosiasi ini baru berdiri akhir tahun lalu, di tengah-tengah pandemi. Perusahaan lainnya ada Alodokter, Good Doctor, Klikdokter, Homecare24, dan masih banyak lagi.

“Di dunia kesehatan kita enggak boleh melihat pemain lain sebagai kompetitor, justru memacu kita buat tumbuh lebih baik.”

Rencana berikutnya perusahaan setelah pembelajaran dari pandemi ini adalah fokus pada tindakan preventif. Hal tersebut dapat terlihat dari sejumlah fitur di aplikasi yang masuk ke dalam kolom Penunjang Kesehatan, seperti fitur paket asuransi kesehatan bersama Asuransi Astra, risiko diabetes, kalender menstruasi, kalkulator BMI, kalender kehamilan, risiko jantung, pengingat obat, hingga donasi.

“Kami berharap Halodoc bisa menjaga pasien tetap sehat. Kami menjaga mereka dengan fitur-fitur, seperti tes singkat risiko diabetes karena kami berusaha untuk menjaga mereka sehat dan menjadi bagian dalam sehatnya orang-orang,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here