Central Capital Ventura Melihat Peluang Besar pada “Embedded Finance”

Corporate Venture Capital (CVC) menjadi salah satu strategi perusahaan untuk tetap relevan di tengah perkembangan teknologi digital saat ini; sekaligus dijadikan kendaraan agar bisa bersinergi dengan ekosistem startup yang tengah berkembang pesat di Indonesia. Dari beberapa perusahaan yang telah menginisiasi CVC, Bank Central Asia (BCA) menjadi salah satunya melalui PT Central Capital Ventura (CCV).

Sejak berdiri tahun 2017, CCV fokus pada pendanaan tahap awal di vertikal bisnis fintech. Mereka mengemban misi untuk menciptakan kolaborasi antara BCA dengan portofolionya. “Saat membangun portofolio, kami melihat peluang pada embedded finance, di mana dapat menyematkan layanan finansial ke sektor logistik, kesehatan, perdagangan, dan banyak lagi. Dengan demikian embedded finance menjadi sektor baru yang kami jajaki,” ujar Investment Associate CCV Eric Hendrickus.

Dikembangkan oleh fintech, konsep embedded finance memungkinkan berbagai layanan konsumer untuk memiliki kapabilitas finansial seperti pembayaran, pinjaman, atau asuransi. Mereka tidak perlu melakukan pengembangan dari nol, cukup mengintegrasikan layanan yang ada ke dalam backend aplikasi.

Seperti diketahui, sektor fintech diregulasi ketat oleh otoritas, dalam proses pengembangan sebuah layanan harus memiliki perizinan dan memenuhi kriteria tertentu. Menggunakan layanan siap pakai dapat menjadi solusi agar para pengembang aplikasi fokus di model bisnis utamanya — di samping mengembangkan solusi fintech membutuhkan investasi yang besar.

Hipotesis investasi

Turut disampaikan, hingga saat ini dana kelolaan (fund) di CCV hanya berasal dari induk perusahaan [99,9%+ sahamnya dimiliki BCA, sianya BCA Finance]. Berdasarkan laporan keuangan per 2020 yang disampaikan pada April 2021 lalu, secara kumulatif mereka telah menggelontorkan investasi Rp157,7 miliar kepada 17 startup. Teranyar di tahun ini, CCV berpartisipasi dalam putaran pendanaan startup pengembang platform e-KYC Verihubs dan layanan transfer Oy! Indonesia.

Kemudian untuk kriteria yang ditetapkan dalam memutuskan untuk investasi, selain potensi sinergi dengan perusahaan induk, CCV biasanya melihat beberapa variabel. “Kami selalu berhati-hati setiap kali kami melakukan investasi. Ada banyak variabel yang harus diperhatikan, tetapi yang utama adalah: pendiri yang hebat, model bisnis yang sehat & berkelanjutan, pertumbuhan, dan pasar yang besar,” imbuh Eric.

Jika melihat jajaran portofolio CCV, memang tidak semua murni bermain di ranah fintech. Sebut saja pengembang game Agate, startup B2B supply chain Sinbad, platform biometrik Element, dan beberapa lainnya. Eric pun menjelaskan, “Meskipun perusahaan yang Anda sebutkan mungkin bukan startup fintech murni, mereka dapat berperan dalam mendukung layanan keuangan. Misalnya biometrik untuk KYC, gamifikasi untuk pelanggan perbankan, dan lain-lain. Selain itu, kami menyukai mereka sebagai bisnis dan melihat peluang kerja sama dengan BCA.”

Di masa pandemi, ia mengatakan tidak banyak yang berubah dari hipotesis investasi CCV. Bedanya, kini mereka berusaha mencari startup dan sektor mana yang akan menjadi pemenang pasar setelah pandemi. Sepanjang 2021, CCV telah berinvestasi ke 4 startup baru dan melakukan beberapa investasi lanjutan ke portofolio sebelumnya.

“Bahkan sebelum pandemi, kami sudah sangat berhati-hati dalam melakukan investasi […] Dengan adanya pandemi, kami tetap berpegang pada kriteria yang sama, menekankan pada model bisnis yang berkelanjutan,” jelas Eric.

Pandangan mengenai ekosistem startup

Ekosistem startup Indonesia yang ada saat ini dinilai CCV berhasil membuktikan ketangguhannya. Sejak 2017 berkecimpung, mereka melihat tren pertumbuhan eksponensial. Banyak model bisnis baru muncul, memecahkan berbagai permasalahan spesifik di masyarakat. Dalam rentang 5 sampai 10 tahun ke depan, CCV cukup optimis, pertumbuhan yang ada tidak akan melambat. Karena faktanya, pandemi justru mempercepat digitalisasi dan mendorong kemunculan startup baru.

“Kami telah melihat banyak pendiri generasi kedua dan mantan karyawan unicorn memulai perusahaan mereka sendiri. Dari perspektif investor, kami juga melihat investor global semakin tertarik pada startup Indonesia. Selain itu, seiring dengan semakin matangnya ekosistem, ada jalan ‘exit’ melalui M&A serta IPO,” jelas Eric.

“Tren pertumbuhan ini jelas merupakan pertanda baik bagi ekosistem startup Indonesia karena kami bercita-cita menjadi hub teknologi global,” tutupnya.

Selain berinvestasi, CCV juga aktif membantu induk perusahaannya melakukan program edukasi dan akselerasi startup melalui SYNRGY. Verihubs sendiri, yang baru diinvestasi oleh CCV juga merupakan jebolan dari program tersebut. Di luar itu, mereka juga terus meningkatkan proposisi nilainya sebagai CVC, dengan membuka jaringan, menghubungkan dan akses ke ekosistem yang dimiliki BCA untuk para portofolionya.

Saat ini, selain CCV, di Indonesia juga ada beberapa CVC lainnya. Berikut daftarnya:

Menilik Perkembangan Ekosistem Startup Indonesia Melalui Gelombang Baru Unicorn

Tidak dimungkiri, semenjak pandemi justru kucuran investasi banyak diberikan para investor kepada startup semakin subur hingga melahirkan potensi unicorn generasi baru dari Indonesia. Xendit menjadi startup selanjutnya dari vertikal fintech yang telah resmi menyabet status unicorn pada 15 September kemarin.

Ada sejumlah startup yang sudah mencapai centaur tahap akhir [valuasi di atas $500 juta], seperti Akulaku, Ruangguru, SiCepat, Kopi Kenangan, serta Ajaib yang diramalkan akan segera menyusul Xendit. Fenomena ini menarik karena bisa semakin banyaknya unicorn berdampak pada ekosistem startup yang jauh lebih kompetitif.

Untuk membahas hal ini, #SelasaStartup mengundang Founder & Managing Partners AC Ventures Adrian Li sebagai pembicara. AC Ventures merupakan salah satu investor awal Xendit. Ia banyak berbagi terkait kondisi pendanaan hingga impresi awal bagaimana dirinya bertemu dengan CEO Xendit Moses Lo. Berikut rangkumannya:

Faktor pendukung ekosistem startup

Dibandingkan kondisi saat AC Ventures pertama kali berinvestasi di Indonesia pada 2014, saat ini kondisi untuk merintis startup jauh lebih mudah. Infrastruktur, penetrasi smartphone, logistik, hardware sudah jauh lebih maju daripada sebelumnya. Di samping itu, generasi awal unicorn lahirkan bibit entrepreneur baru yang menjadi bekal bagus untuk mencetak unicorn berikutnya.

Adrian menuturkan, ekosistem yang berhasil dibentuk oleh generasi awal unicorn Indonesia sebelum era pandemi, memicu lahirnya entrepreneur baru yang berani untuk merintis startupnya sendiri. Berbagai bekal pengalaman yang mereka bawa dari kantor lama ke startupnya bisa dipastikan memiliki kualitas baik dan pemecahan solusi yang lebih tepat guna.

“Selain itu, kami sendiri juga sudah membangun jaringan dengan berbagai entrepreneur dari jauh-jauh hari. Setiap tingkatan kebutuhan founder, kami memiliki fund masing-masing,” kata Adrian.

Dari faktor-faktor tersebut membuat level disrupsi startup jauh lebih signifikan daripada sebelumnya. Indonesia pun dianggap sebagai pasar yang cukup besar untuk mencetak unicorn lebih banyak dari saat ini. Dari hitungan kasar saja, Indonesia sudah berhasil mencetak delapan unicorn, setidaknya, dari total 2 ribu startup yang ada saat ini.

“Dari awal kita berinvestasi di 2014, kita hanya berharap suatu saat nanti ada perusahaan bernilai $1 miliar yang akan muncul, tapi tidak mengantisipasi bakal ada decacorn lahir di Indonesia. Jadi ke depannya jangan heran kalau dalam lima tahun lagi akan ada lebih banyak perusahaan bernilai miliaran dolar lahir dari sini.”

Suplai pendanaan tahap awal masih kurang

Meski sudah didukung dengan banyak faktor pendukung, sambung Adrian, Indonesia sebenarnya masih kekurangan investor tahap awal. Jumlahnya pun perlu ditingkatkan setidaknya antara tiga sampai lima kali lipat dari jumlah VC tahap awal yang ada saat ini.

Di Tiongkok sendiri ada ribuan VC yang fokus berinvestasi tahap awal yang akhirnya mampu memproduksi ribuan unicorn pada beberapa tahun kemudian. “Jadi kita butuh lebih banyak backup dari banyak perusahaan lokal, jadi enggak harus mengandalkan investor dari luar saja.”

Bagi AC Ventures sendiri, mendanai startup pada tahap awal memang memiliki risiko gagal yang tinggi. Dengan berbagai pengukuran metriks, AC Ventures selalu memasang mindset dan mencari tahu apakah perusahaan yang akan didanai ini bisa bernilai jutaan dolar di kemudian hari.

Hal tersebut juga terjadi saat Adrian bertemu dengan Moses Lo (Co-founder Xendit). Ia menuturkan apa yang dilakukan Xendit pada awal berdiri dengan saat ini sangat jauh berbeda. Awalnya Xendit ingin permudah pembayaran dengan adanya split bill dan transfer uang jauh lebih mudah, kini menjadi perusahaan payment gateway yang fokus pada kemudahan untuk konsumen bisnis.

“Xendit sejak awal memiliki tim yang begitu solid, banyak credit yang saya berikan pada tahap awal itu untuk timnya karena ini bukan perjalanan yang mudah, membuat payment gateway dengan proses yang sangat user friendly.”

Prediksi unicorn berikutnya

Sesuai dengan prediksi Adrian sebelumnya, bahwa akan ada banyak cikal bakal unicorn yang datang dari berbagai vertikal startup dalam beberapa tahun mendatang. Dari berbagai faktor tersebut, dia meramalkan setidaknya dalam lima hingga 10 tahun mendatang akan ada banyak perusahaan bernilai $2 miliar hingga $3 miliar datang dari Indonesia.

Ia mencontohkan, vertikal fintech yang luas akan menjadi penerus unicorn berikutnya, setelah Xendit dan OVO. “Lending akan menjadi area lainnya yang menarik untuk menciptakan unicorn berikutnya, seperti Kredivo dan Akulaku. Pun juga digital bank yang akan agregate seluruh layanan keuangan digital.”

Startup logistik juga akan menyumbang sebagai generasi unicorn berikutnya, mengingat industri e-commerce yang tengah menggeliat sepanjang pandemi. Terlebih itu, industri e-commerce adalah penyumbang utama ekonomi digital di Indonesia menurut berbagai riset.

“Kalau healthtech dan edtech ini memang adalah market yang besar, tapi masih didominasi oleh bisnis tradisional. Ini old business jadi sulit untuk mengubah kebiasaan. Meski adopsi keduanya meningkat pesat selama pandemi, tetap saja akan butuh waktu yang lama [untuk mendominasi market].”

Kendati Adrian memprediksi tiap industri akan menyumbang unicorn, bukan berarti akan menjadikan startup  tersebut memonopoli pasar. Pasalnya, di industri startup teknologi menganut pasar oligopoli. Artinya, ada sejumlah pemain besar yang mendominasi pasar.

“Ada yang monopoli, ada juga yang multiplayer. Contohnya, di industri e-commerce ada Tokopedia, Shopee, Bukalapak yang unggul. Apalagi di fintech ada banyak vertikal yang muncul sebagai unicorn karena besarnya kesempatan dan keunikan di masing-masing produk sebagai value proposition-nya,” tutup dia.

Donald Wihardja: Dari Konsultan Bisnis hingga Peran Nyata Membangun Ekosistem Investasi Teknologi di Indonesia

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Donald Wihardja memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun dalam menerapkan teknologi untuk berbagai industri, dari telco hingga perbankan hingga web startup, sebagai manajer, penasihat, konsultan, manajer investasi, dan wirausahawan di Indonesia. Dirinya percaya untuk bisa membangun ekosistem investasi teknologi, seseorang harus memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam melakukan bisnis teknologi.

Beliau sempat memulai perjalanan dengan salah langkah. Ia meninggalkan Silicon Valley pada tahun 1995 dengan keyakinan bahwa Indonesia siap untuk mengalami ledakan teknologi, yang akhirnya ia tersadar bahwa perjalanan masih panjang untuk mencapai tahap seperti sekarang ini. Namun, ia telah mengambil keputusan dan masuk ke industri teknologi di Indonesia.

Donald memiliki keahlian di bidang data warehouse atau yang sekarang kita kenal dengan big data. Ia mampu menggunakan data untuk melacak kinerja bisnis dan membuat keputusan strategis yang cerdas. Ia juga belajar bagaimana menggunakan teknologi untuk mengubah bisnis. Itulah awal perjalanan karirnya yang melenceng dari latar belakang ilmu komputer teknik elektro menjadi konsultan bisnis melebihi konsultan teknologi dalam hal pemrograman.

Ia memasuki industri investasi melalui perusahaan Private Equity (PE) dan mendapatkan cukup ilmu untuk akhirnya berhenti dan memulai Venture Capital (VC), Convergence, bersama Adrian Li. Selama lima tahun menjadi partner VC, ia menemukan peluang untuk menyalurkan gaya investasinya. Melalui MDI Venture, usahanya tidak hanya bertumpu pada penggandaan uang perusahaan tetapi juga menciptakan peluang sinergi bisnis di bawah Telkom Group.

DailySocial berkesempatan mewawancarai Donald yang saat itu sedang cuti dan sedang berada di Amerika Serikat untuk membahas ekosistem investasi teknologi di Indonesia. Ia berbagai banyak insight tentang cara menciptakan lingkungan yang lebih baik di industri teknologi negara kita dalam cuplikan paragraf di bawah.

Ia percaya dalam merekayasa ekosistem investasi teknologi, seseorang harus memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam melakukan bisnis

Anda memiliki lebih dari 20 tahun pengalaman dalam penerapan teknologi di berbagai industri. Seperti apa awal mulanya?

Saya memulai perjalanan dengan salah langkah. Saya meninggalkan tanah Amerika pada tahun 1995 dengan keyakinan bahwa Indonesia siap untuk mengalami ledakan teknologi, yang terjadi di AS sekitar waktu itu. Saya tidak pernah berpikir harus menunggu selama 20 tahun dan ikut ambil bagian dalam pembangunannya. Namun, saya selalu percaya Indonesia akan menjadi hub teknologi berikutnya dan berada di jalurnya meskipun dengan realisasi yang tidak cepat.

Faktanya, dibutuhkan seratus tahun bagi Silicon Valley untuk mencapai posisinya sekarang. Pengusaha asli Silicon Valley atau Modal Ventura berinvestasi dalam Model-T. Mobil tanpa custom build atau produksi massal dapat membuat usaha yang sukses seratus tahun kemudian. Bankir mulai berinvestasi dalam usaha teknologi dan menciptakan kisah sukses. Semakin banyak penggiat teknologo menjadi kaya dan akhirnya mengambil bagian dalam industri investasi.

Masalah terbesar dalam dunia teknologi adalah risiko teknologi. Apakah ini nyata? Apakah ini hanya ilusi? Apakah Anda siap atau tidak? Berinvestasi adalah tentang mengenal perbedaan antara mengetahui informasi pribadi dan informasi publik. Semakin banyak Anda tahu, semakin kecil risiko investasinya. Hal ini sebenarnya cukup sederhana. Jika Anda mengetahui resep untuk membangun startup yang sukses, Anda akan tahu bagaimana meramu kesuksesan dalam berinvestasi.

Ada konsep bahwa Indonesia akan menjadi ekosistem teknologi yang signifikan, setidaknya di Asia Tenggara. Saya sudah melewatkan ledakan teknologi di AS, saat ini tugas saya adalah membangun kapal ini sehingga tidak tertinggal untuk kedua kali.

Bagaimana pengalaman pertama Anda dalam percobaan membangun industri startup/teknologi di Indonesia?

Saya melihat perjalanan saya terjadi di sini. Melihat kembali pekerjaan saya di Amerika, saat itu kami baru saja keluar dari resesi. Kenaikan gaji lambat dan saya bukan orang yang sabar. Saya tahu dan diberitahu akan potensi untuk bisa meraih level manager dalam waktu singkat jika kembali ke Indonesia. Hal itu benar adanya.

Pekerjaan pertama saya di Indonesia adalah sebagai programmer untuk sistem dukungan pelanggan Hewlett Packard (HP). Ketika itu, saya menambah pengetahuan ke konsultasi bisnis dan bergabung kembali dengan perusahaan sebagai project manager. Pekerjaan ini pada dasarnya adalah memecahkan masalah bisnis dengan keahlian business intelligence dan data warehouse atau big data. Hal ini memberi saya eksposur ke bisnis dan masalah teknologi.

Saya belajar cara menggunakan data untuk melacak kinerja bisnis dan membuat keputusan strategis yang cerdas. Itu adalah roduk yang saya jual. Dari pengalaman itu, saya mendapatkan sisi teknis bagaimana memanfaatkan teknologi untuk mentransformasi bisnis.

Begitulah cara Donald, lulusan komputer teknik elektro, akhirnya menjadi konsultan bisnis melebihi konsultan teknologi dalam hal pemrograman.

Pada tahun 1998, terjadi resesi. Semua rekan konsultan saya dikirim ke negara-negara lain. Saya menolak untuk pergi dan lebih memilih untuk membangun perusahaan pengembangan perangkat lunak teknologi sendiri bersama rekan saya saat itu. Selain itu, kami juga mencoba membangun sesuatu yang mirip dengan Tokopedia di tahun ’98. Kita semua tahu itu tidak berhasil karena pasar yang tidak mendukung serta pengguna yang belum siap.

Dari krisis itu, saya belajar bahwa ketika belahan dunia lain telah berevolusi, kita tertinggal satu generasi dalam hal data dan konektivitas. Konsumen pada masa itu terlalu jauh tertinggal, mereka hampir tidak bisa menelusuri web. Perbandingan jumlah penduduk dengan orang yang memiliki akses terlalu jauh. Semua bergerak lambat. Masalah ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Anda memiliki latar belakang pendidikan di bidang teknik elektro dan ilmu komputer, kemudian beralih menjadi konsultan bisnis. Apa yang mendorong Anda untuk memasuki industri investasi?

Pada tahun 2005, saya diundang untuk bergabung dengan sebuah Private Equity atau PE (ketika itu saya sedang membangun perusahaan pemrograman dan lainnya), bernama Quvat. Saya belajar cara menggalang dana untuk perusahaan beserta semua dokumen terkait perjanjian investasi. Saya bersyukur bekerja di perusahaan dengan budaya yang sangat mendidik. Saya diharuskan mempelajari mata pelajaran di luar bidang pekerjaan untuk meningkatkan kualitas. Inilah momen di mana saya tahu apa yang ingin saya lakukan.

Proyek pertama saya adalah membangun fiber optic cable, memungkinkan Indonesia untuk mengejar dua generasi teknologi. Pada masa itu, Indonesia akhirnya mengalami lonjakan pertama dengan bandwidth penuh. Bandwidth di Indonesia bisa lebih murah hingga 90%. Kemudian, orang-orang mulai tertarik dan bersedia membayar lebih. Setelah sekian lama, akhirnya Indonesia siap.

Tibalah waktunya, saya menyadari bahwa Quvat tidak akan pernah berinvestasi dalam startup. Itulah perbedaan antara PE dan VC. Jika masa depan saya akan terikat dengan revolusi teknologi, PE bukanlah tempatnya. Saya harus berada di startup atau VC. Setelah sekian lama bersama Quvat, muncul pertanyaan “Ke mana Anda ingin pergi setelah ini? Apa yang dapat kami lakukan untuk karir Anda?” lalu saya menjawab bahwa ingin berhenti dan bergabung dengan startup. Saya keluar dari Quvat untuk bergabung dengan Indomog.

Saat itu saya menempati posisi sebagai CTO Indomog. Bagian dari tugas saya adalah membantu perusahaan membangun model bisnisnya. Salah satu masalah terbesar saat itu adalah segala sesuatu di bidang teknologi di-cap gratis. Startup tidak dapat menghasilkan uang di Indonesia karena tidak ada cara untuk mendapatkan bayaran. Sementara di AS sangat mudah, mereka memiliki kartu kredit, tetapi lain hal nya di sini. Oleh karena itu, kami membangun infrastruktur pembayaran tunai, yang spesifik pada industri game.

Itu adalah wujud tesis Indomog. Namun, sejak hari pertama, kami tahu bahwa tesisnya adalah untuk membangun lebih dari sekadar solusi pembayaran untuk game, tetapi untuk perdagangan. Satu hal yang saya sadari, jika ledakan teknologi akan terjadi di Indonesia, saya perlu membantu menyelesaikan masalah tersebut. Dengan startup ini, saya memilih untuk menyelesaikan masalah pembayaran.

Lalu muncul masalah lain, startup Indonesia tidak memiliki pendanaan VC karena kami tidak tahu bagaimana mengumpulkan uang dari investor. Selain itu, kesadaran investor di Indonesia juga masih kurang. Saat melakukan pekerjaan di Indomog, saya turut membantu beberapa startup lain dengan pengetahuan terkait convertible notes dan sebagainya. Saat itulah saya meliha VC sebagai masalah berikutnya yang harus dipecahkan. Lalu, ketika Adrian Li datang dengan ide Convergence, saya memutuskan untuk bergabung.

Saya bergabung dengan Convergence untuk memanfaatkan peluang yang ada untuk modal ventura di Indonesia. Ketika itu, jumlah VC jauh lebih sedikit daripada orang yang membuat startup. Saya terlalu tua untuk menjadi seorang programmer. Lagipula, Quvat telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk saya menjadi partner. Pada saat itu, pengalaman saya di Quvat dan membangun startup selama bertahun-tahun memberi saya pengetahuan yang cukup untuk menjadi partner di VC.

Selama di VC, saya juga menyadari betapa prematurnya ekosistem VC Indonesia. Oleh karena itu, bersama rekan-rekan VC di lapangan, kami membuat Amvesindo. Ini lebih kepada grup lobi PMV dan VC dan jembatan ke pemerintah.

Bagaimana Anda menggambarkan transisi karir dari Convergence sebagai Modal Ventura ke MDI Ventures sebagai Modal Ventura Korporat?

Di Convergence, kami belajar bagaimana berinvestasi sebagai pemegang saham minoritas. Kami melihat dan yakin bahwa pendiri jauh lebih tahu daripada VC dalam hal menjalankan perusahaan. Selain itu, kami tidak mengambil alih perusahaan. Kami memberi mereka modal untuk berkembang. Ini adalah bisnis yang berisiko tinggi, oleh karena itu, kita perlu menemukan aset yang tepat dan hanya berinvestasi di perusahaan yang benar-benar dapat kita kembangkan.

Ketika memulai sebagai konsultan bisnis, saya selalu bertindak lebih sebagai seorang mentor. Itulah sebabnya, ketika MDI membuka kesempatan, saya merasa lebih cocok di sana. Sebagai CVC, MDI tidak hanya memiliki mandat untuk menggandakan uang, namun juga mendorong bagaimana startup dapat menciptakan pendapatan bagi Telkom. Hal ini memaksa tim untuk memiliki divisi sinergi yang tugasnya sebenarnya menjamin startup-startup tersebut bekerja sama dengan Telkom. Hal ini juga memungkinkan saya untuk memiliki peran aktif dalam mengembangkan startup.

Telkom, di sisi lain, telah menghasilkan lebih banyak pendapatan dari bisnis korporatnya daripada jumlah yang digelontorkan untuk investasi. Oleh karena itu, sebanyak apapun keuntungan modal yang saya hasilkan dalam investasi tidak akan membuat banyak perbedaan bagi grup. Yang sebenarnya mereka butuhkan adalah inovasi dan digitalisasi seperti apa yang bisa kita bawa. Di sinilah saya menyadari bahwa saya ada di sebuah perusahaan di mana saya dituntut untuk berhenti mengkhawatirkan uang berlipat ganda dan mulai dengan menciptakan peluang bisnis untuk startup. Memang, tidak persis bagaimana perusahaan menerjemahkannya, tetapi saya memilih untuk menafsirkannya seperti itu.

Saya ingin mengambil kebutuhan digitalisasi di Telkom lalu menyampaikannya dengan solusi yang telah dibuktikan oleh para startup. Itulah pekerjaan yang ingin saya lakukan. Oleh karena itu, kami fokus pada startup di tahap lanjut. Seiring berjalannya waktu, startup menjadi lebih stabil dan mampu memberikan pendapatan dan sinergi dengan Telkom. MDI sendiri memiliki beberapa dana kelolaan, kami juga memiliki dana untuk tahap awal. Namun, di setiap perusahaan yang kami investasikan, kami berusaha membangun hubungan dan sinergi dengan Telkom. Bagaimana kita dapat dengan nyaman melakukan investasi berkelanjutan, sembari membangun pertumbuhan perusahaan?

Belum lama ini, portofolio MDI, RunSystem, telah mengumumkan IPO-nya. Saya tertarik untuk mengetahui perspektif Anda tentang IPO, apakah ini merupakan jalur exit yang paling ideal?

Di MDI, kami memiliki dua KPI, money multiple dan sinergi. Untuk CVC, kami lebih fokus pada sinergi karena dampaknya lebih besar. Namun, suatu hari kami juga akan menghadapi pertanyaan ini, “Berapa banyak uang yang Anda bawa kembali ke perusahaan?”. Untuk menjawabnya, kami membutuhkan cara untuk bisa membuktikan telah berhasil memberikan dua kali lebih banyak dari uang yang diberikan. Lebih penting lagi, kami bisa membangun exit dalam investasi. Kesuksesan apapun yang bisa dihasilkan oleh sinergi tidak akan berarti jika perusahaan tempat Anda berinvestasi mati. Saya tidak akan lagi dipercaya dengan uang.

Untuk menyeimbangkan keduanya, kami membuat sistem untuk membuktikan estimasi nilai kami di setiap portofolio. Selanjutnya, kami telah berhasil menghasilkan exit, membawa keuntungan nyata ke perusahaan. Menjadi salah satu anak perusahaan Telkom Group dengan kinerja laba bersih tertinggi. Itu tentang exit.

Exit yang ideal adalah yang melipatgandakan lebih banyak uang, tetapi IPO adalah jalan keluar yang berdampak nyata. Ini adalah cara untuk membuktikan kematangan ekosistem teknologi Indonesia karena informasinya akan go public. Semakin matang ekosistem investasi Indonesia dilihat seluruh dunia, semakin banyak investor yang datang, dan semakin cepat kita akan tumbuh. IPO merupakan barometer ekosistem investasi Indonesia yang sehat. Meskipun IPO mungkin hanya dilakukan oleh 10%-20% dari startup dengan track record yang baik.

Di atas kertas, Indonesia memiliki banyak startup dengan valuasi yang terlalu tinggi dan masih terus meningkat. Namun, apa artinya valuasi jika tidak ada cara untuk exit. Itulah sebabnya Indonesia perlu membangun cerita IPO yang lebih sukses, untuk membuktikan bahwa kita memiliki ekosistem teknologi yang dapat diinvestasikan. MDI telah exit melalui IPO dua kali, di Australia dan Jepang. Dengan RunSystem, MDI sudah berada di jalur yang benar. Selain itu, kami juga akan ada beberapa berita baru terkait masalah ini dalam waktu dekat.

Selama bertahun-tahun berkarya, seperti apa tantangan yang Anda hadapi dalam perjalanan hingga titik ini?

Tantangan terbesar selama 20 tahun pengalaman adalah kepercayaan publik. Sulit untuk membuat orang percaya pada ekosistem teknologi Indonesia ketika kita hampir tidak bisa menjelajah internet. Bayangkan negara ini akan menjadi tujuan investasi atau bahkan tujuan teknologi, dan teknologi kita akan memberikan dampak yang signifikan. Ketika kita bisa membangun kepercayaan diri, itu akan memiliki multiplier effect yang baik.

Oleh karena itu, memastikan transformasi digital berdampak besar menjadi sangat penting agar mendapat dukungan yang cukup dari seluruh pemangku kepentingan di tanah air. Agar ekosistem startup digital di Indonesia terus tumbuh, kita perlu memahami dan memperjuankannya bersama. Ini bukan pekerjaan satu orang. Berkolaborasi untuk membangun visi masa depan Indonesia, hal ini harus dikembangkan dan dipasarkan untuk memperkaya ekosistem Indonesia dengan kompetisi dan keragaman.

Adakah yang ingin Anda sampaikan kepada para penggiat teknologi yang tengah berusaha ikut ambil bagian dalam pembangunan ekosistem teknologi Indonesia?

Ini adalah waktu yang tepat, terutama dengan pandemi dan semacamnya. Ada pepatah “Don’t let a good crisis go to waste”. Krisis memang saatnya untuk menunjukkan kemampuan Anda. Ini adalah saat yang tepat untuk bergabung dengan revolusi teknologi dengan cara Anda sendiri baik sebagai VC, perusahaan, pendiri, atau lainnya. Karena belum pernah sebelumnya Indonesia lebih siap untuk transformasi digital. Kami tidak mendekati akhir. Jadikan kami lebih banyak startup dan VC yang lebih matang dengan investor yang lebih matang. Dalam bidang apa pun yang Anda minati, bergabunglah dalam industri. Ini merupakan sebuah panggilan untuk bergerak.

Anda sempat mengungkapkan bahwa kembali ke Indonesia di waktu yang salah. Apakah ada rasa penyesalan? Saat ini adakah hal yang sangat ingin Anda lakukan namun belum ada kesempatan untuk mewujudkannya?

Sebenarnya, saat ini fokus saya adalah menciptakan transformasi digital dalam ekosistem yang didukung oleh banyak BUMN. Bagaimana kita bisa menggunakan pelanggan yang ada untuk didigitalkan oleh pemain startup? Kami dapat mengidentifikasi ekosistem digital mana yang siap untuk dikembangkan berdasarkan peluang bisnis captive market di perusahaan milik negara tetapi juga didukung oleh solusi yang telah terbukti dari startup. Dengan demikian, saya bisa naik level sebagai CVC yang tidak hanya memperkenalkan startup ke grup Telkom tetapi juga menciptakan peluang di luar apa yang dipikirkan startup atau Telkom untuk menciptakan inovasi yang lebih berdampak.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

 

[Video] Menilik Kategori Startup yang Jadi Pilihan Openspace Ventures

Bagi perusahaan venture capital, mengetahui fundamental dan tren startup yang berkembang dalam ekosistem di kawasannya menjadi dasar dalam keputusan pendanaan.

DailySocial bersama Tania Shanny Lestari dari Openspace Ventures membahas tentang bagaimana strategi, fokus, dan seperti apa kategori perusahaannya dalam memilih startup yang cocok untuk investasi.

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.

[Video] Memilih Startup dan Potensinya dari Kacamata Vertex Ventures

DailySocial bersama Dhia Izza Nabila dari Vertex Ventures berbagi cerita tentang bagaimana perusahaannya melihat startup yang pas untuk menjadi partner dan potensinya dalam menerima sokongan dana investasi.

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal Youtube DailySocialTV.

Donald Wihardja: From Business Intelligence to Engineer the Tech Investment Ecosystem in Indonesia

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Donald Wihardja has more than 20 years of experience in applying technology for various industries, from telco to banking to web startup, as a manager, advisor, consultant, investment manager, and entrepreneur in Indonesia. He believes in order to engineer the tech investment ecosystem, one must have enough knowledge and experience in doing tech business.

He started the journey with a misstep. He left Silicon Valley in 1995 believing Indonesia was ready to experience a tech boom, which eventually he realized that it was still a long way to go from that moment to this stage we are now. However, he managed to pull the trigger and made his way into the tech industry in Indonesia.

Donald has expertise in data warehouses or what we now call big data. He is capable of using data to keep track of business performance and make intelligent strategic decisions. He learned how to use technology to transform business. That’s the beginning of his shifting career path from electrical engineering computer scientist to a business consultant more than a tech consultant in terms of programming.

He entered the investment industry through a Private Equity (PE) company and learned enough to finally quit and started his own Venture Capital (VC), Convergence, with Adrian Li. Over five years of being a VC’s partner, he discovered an opportunity to channel his investment style. It is through MDI Venture, where his concern will not only lie in multiplying the company’s money but also creating opportunities for business synergy under the Telkom Group.

DailySocial had an opportunity to interview Donald who was at that time actually on sabbatical and currently staying in the States to discuss Indonesia’s tech investment ecosystem. He shared a lot of his thoughts on how to create a better environment in our country’s tech industry through the paragraphs below.

Donald Wihardja believes in order to engineer the tech investment ecosystem, one must have enough knowledge and experience in doing the business

You have more than 20 years of experience in applying technology for various industries. How was it started?

I started the journey with a misstep. I left the State in 1995 believing Indonesia was ready to experience a tech boom, which happened in the US around that time. I never thought I had to wait for 20 years and had to be a part of its development. However, I always believe Indonesia will be the next technology hub and already on its way although with merely slow realization. 

In fact, it takes literally a hundred years for Silicon Valley to get where it is now. The original Silicon Valley entrepreneur or Venture Capital investing in short Model-T. Cars without custom build or mass produce can make a successful venture a hundred years later. Banker started investing in tech ventures and created a success story. More and more technologists are getting rich and eventually took part in the investment industry.

The biggest issue with technology is the tech risk. Is this a real one? Is this just an illusion? Are you ready or not? Investing is all about the disparity between knowing personal private information and public information. The more you know, the less risky the investment. It is actually quite simple. If you know the ingredients to build a successful startup, you will know where to pour your money on.

There is this concept that Indonesia will be a significant tech ecosystem, at least in Southeast Asia. I already miss the tech boom in the US, my job is to build the current boat so I didn’t miss this one.

How was your first attempt to engineer the startup/tech industry in Indonesia?

I saw my journey going on here. I look back at my job in the States, at that time we just freshly came out of recession. Raises are slow and I was impatient. I know and I was told if I come back I will make a good manager in no time. That is true somehow.

My first job in Indonesia was as a programmer for Hewlett Packard (HP) customer support system. At that time, I’m extending my knowledge to business consulting and rejoining the company as a project manager. My job is basically to solve business problems and my product expertise is business intelligence and data warehouse or big data. This gives me exposure to tech business and problems.

I learn how to use data to keep track of business performance and make intelligent strategic decisions. That is the product I’m selling back then. From that experience, I get the technical side of how to use technology to transform business.

That is how Donald the electrical engineering computer scientist ended up being a business consultant more than a tech consultant in terms of programming.

In 1998, a recession happened. All of my fellow consultants got shipped up around the world. I refuse to leave, I rather build my own tech software development company with my current partner. Another thing, we also tried to build something that looked like Tokopedia back in ’98. We all know it didn’t work out because there is not enough market and users are not ready.

From that crisis, I learned that when the other side of the world has upgraded and we are one generation behind in terms of data and connectivity. Consumers at that time were too far behind, they could barely browse the web. People who can use it are very small compared to the population. Everything is too slow. This is a problem we cannot just let slide.

You have an educational background in electrical engineering and computer science, then ended up being a business consultant. What drives you to enter the investment industry?

In 2005, I got invited to join a PE (by the time I have my own programming company and stuff), named Quvat. I learned how to fundraise for a company with all the paperwork regarding investment agreements. I am grateful to work at a company with a very educational culture. I had to learn subjects outside of my work field in order to improve my quality. This is how I know what I want to do.

I have my first project to build fiber optic cable, allowing Indonesia to catch up with two generations of tech. During that time, Indonesia finally experienced the first rush of the real full bandwidth. We actually make bandwidth in Indonesia cheaper by 90%. Then, people are getting interested and willing to pay more. After all this time, Indonesia is finally ready.

In time, I realize that Quvat will never invest in a startup. That is the difference between PE and VC. If my future is to be tied with the tech revolution, I should not be in a PE. I should either be in a startup or a VC. After a long time with Quvat, I was asked “Where do you want to go from here? What do you want us to do for your career?” and I said I want to quit and join the startup. I quit Quvat to join Indomog.

I was a CTO back then with Indomog. What I do is help the company build its business model. One of the biggest issues at that time is that everything in tech is free. Startups cannot make money in Indonesia because there is no way to get paid. It’s easy in the US, they have credit cards, but here it didn’t go that way. Therefore, we build a cash payment infrastructure, specifically around games.

That is what the Indomog thesis is. However, from day one, we know the thesis is to build more than a payment solution for games, but for commerce. One thing I realize, if there is going to be a tech boom in Indonesia, I need to help solve the thesis of the problem. And with the startup, I choose to solve the payment issue.

Another problem arises, Indonesian startups did not have VC funding because we don’t know how to raise money from investors. Also, there’s not enough investor awareness in Indonesia either. While doing my job in Indomog, I also helped few other startups as I have extensive knowledge on writing convertible notes and so on. This is when I know the next problem to solve is in the VC. And when Adrian Li came to me with the idea of Convergence, I decided to join.

I joined Convergence to capitalize on the opportunity that we need for venture capital in Indonesia. There are a lot fewer VCs than people making startups back then. I’m getting too old to be a programmer. Also, Quvat has prepared me to be a partner. By that time, my experience in Quvat and my years’ building startups got me enough knowledge to be a partner in a VC.

During my time in a VC, I also realized how immature the Indonesian VC ecosystem is. That is why, with fellow VCs in the field, we created Amvesindo. It is actually a lobbying group of PMVs and VCs and a bridge to the government.

How can you describe the transition from Convergence as a Venture Capital to MDI Ventures as a Corporate Venture Capital?

In Convergence, we learn how to invest as a minority shareholder. We see and we believe the founder knows better than the VC in terms of running the company. Furthermore, we don’t take over the company. We provide them with growth capital. This is a high-risk business, therefore, we need to find the right asset and only invest in a company we can really grow.

As I started as a business consultant, my style has always been more like a mentor. That is why, when the opportunity arises from MDI, I think that fits me better. As a CVC, MDI does not only have a money-multiple mandate. Does it also push on how the startup can create revenue for Telkom? That forces the team to have a synergy division whose job is actually to vouch for these startups to work together with Telkom. It also allows me to have an active role in growing the startup.

Telkom, on the other hand, has generated more revenue from its corporate business than the amount poured for investment. Therefore, how much capital gain I generate in investment wouldn’t make that much difference to the group. What they actually need is what kind of innovation and digitalization can we bring to the table. This is where I realize I have come to a company where they are actually telling me to stop just worrying about money-multiple and start by creating business opportunities for startups. Indeed, not exactly how the company translates it, but I choose to interpret it that way.

I want to take the digitalization requirement in Telkom and deliver that using the solution proven by startups. That is the work I want to do. Therefore, we focused on the startup in the later stage. As the stage gets later, the startup becomes more stable and able to deliver revenue and synergy with Telkom. MDI alone has multiple funds, we also have a fund for earlier stages. However, in each company we invest, we tried to build the relationship and synergy with Telkom. How can we comfortably make the continuous investment, in a way to engineer the growth of the company?

Recently, your portfolio in MDI, RunSystem, has announced its IPO. I’m interested to know your perspective about IPO, is it really an ideal exit?

In MDI, we have two KPIs, money multiple and synergy value. In terms of CVC, we are focused more on synergy as the impact is greater. However, one day we’ll be facing this question, “How much money you’ve brought back to the company?”. In order to answer, we need a way to prove that we have delivered two times more than the money we’re given. More importantly, we can engineer exit in investment profitably. For what success a synergy can bring if the company you invest in is dead. I will no longer be trusted with money.

In order to balance these two, we create a system to prove our estimated value in each portfolio. Furthermore, we have successfully generated exit, bringing real cash to the company. One of Telkom Group’s subsidiaries with the highest performing net income. That is about the exit.

The ideal exit is what multiples more money, but IPO is an important exit. It will be a way to prove the maturity of the Indonesian tech ecosystem as the information will go public. The more mature the Indonesian investing ecosystem worldwide, the more investors will come, and the faster we will grow. IPO is the barometer for the Indonesian healthy investment ecosystem. Although IPO might only have been done by 10%-20% of startups with a good track record.

In terms of paper, Indonesia has many startups with overly high valuations and still rising. However, what is value means if there’s no way to exit. It is why Indonesia needs to create a more successful IPO story, in order to prove that we have an investable tech ecosystem. MDI has exited through IPO two times, in Australia and Japan. With RunSystem finally announcing, MDI is already on the right track. Also, we’ll have several announcements related to this matter in the near future.

During those years of experience, what kind of challenges have you had along the way?

The biggest challenge during 20 years of experience is in public confidence. It’s hard to make people believe in the Indonesian tech ecosystem when we barely can browse the internet. Imagine this country will be an investment destination or even a tech destination, and our tech will make a significant impact. When we can build confidence, it will have a good multiplier effect.

Thus, ensuring the digital transformation to have a big impact is very important in order to get enough support from all the stakeholders in the country. For the digital startup ecosystem in Indonesia to grow steadily, we need to understand and fight this together. This is not the work for a single person. Collaborate to fabricate the vision of the Indonesian future, it has to be developed and marketed to enrich the Indonesian ecosystem with competition and variety.

Anything you want to say to those tech enthusiasts trying to make their way to be a part of the Indonesian tech ecosystem?

This is the right time, especially with the pandemic and stuff. There’s a saying “Don’t let a good crisis go to waste”. The crisis is indeed the time to showcase your ability. This is the right moment to join the tech revolution in your own way as a VC, corporate, founder, or else. Because never before has Indonesia been more ready for digital transformation. We’re nowhere near the end. Make us more startups and more mature VC with more mature investors. In whatever field you are interested, join the game. It’s a call to action.

You said you’ve come back to Indonesia at the wrong time. Did you ever regret it? Do you still have something you want to do but have no chance to do so?

Actually, my current project is how we can create digital transformation in the ecosystem backed by many state-owned enterprises. How can we use the existing customers to be digitized by startup players? We can identify which digital ecosystem is ready to develop based on the business opportunity captive market in the state-owned enterprise but also powered by the startup’s proven solutions. Thus, I can level up as a CVC which not only introduces startups to the Telkom group but also creates opportunities outside what the startup or Telkom’s thought to create more impactful innovation.

Intudo Ventures Announces Its Third Managed Fund of 1.6 Trillion Rupiah

Intudo Ventures, the Indonesian market-focused venture capitalist, closed its third managed fund “Intudo Ventures Fund III”. The value has reached $115 million or equivalent to IDR 1.6 trillion, in less than three months of fundraising. In total, the company has managed funds of approximately $200 million.

Various fund managers and organizations are involved as limited partners, from the United States, Europe, and Asia. Some of these include Black Kite Capital, Koh Boon Hwee’s family office; Wasson Enterprises, the family office of former Walgreens’ CEO, Gregory Wasson; PIDC, an investment arm of a Taiwanese conglomerate, and others. There were also 10+ tech unicorn founders and 30+ Indonesian conglomerates involved.

The mission remains, the funds will be focused on investing in Indonesian startups. Moreover, today is a good momentum with the increasing middle class and digital services consumption.

“Acting as a domestic ‘herder’, Intudo Ventures supports founders through a mix of hyperlocal and global best practices, which enables us to consistently create more profitable results for founders,” Intudo Ventures’ Founding Partner, Patrick Yip said. “Seeing the founders’ growth, we are more optimistic in Indonesia than ever before; and excited to work with the next generation of Indonesian entrepreneurs.”

Investment hypothesis

Intudo Ventures Fund III will be channeled to startups in agriculture, B2B solution developers, education, finance, insurance, health, logistics, new retail, and entertainment. It is to build a concentrated portfolio of 12 to 14 local startups. The ticket size will be around $1 million to $10 million.

From a business perspective, Intudo invests in three categories of companies. First, early-stage companies in not-very-popular sectors — most of them having difficulty in raising fund. Second, invest in new business verticals that demonstrate breakthrough potential and strong profitability pathways. And third, a leader in a business vertical that has been validated by the market.

“Over the past five years, the market has validated our ‘Indonesian-only’ investment approach, demonstrating the importance of a single-country-focused managed fund […] In Indonesia, Intudo has consistently stepped up to deliver value to founders before and after investment. We proud to play a role in making Indonesia the next emerging market success story,” Intudo Ventures’ Founding Partner, Eddy Chan added.

In addition, there are many factors to consider in investing, from commercial distribution (including the startup’s product prowess and intellectual property), regulatory compliance, and specialization in deep technology.

Intudo investment

Intudo Ventures debuted in June 2017, in partnership with local and global investors. There are already 22 local startups that have received investment from the two previously managed funds, with the list as follows:

Investasi Intudo Ventures

Intudo has also carried out several initiatives to help the ecosystem growth. They recently launched a fellowship program “Pulkam S.E.A. Turtles” aimed at Indonesian students studying abroad, to ‘go home’ and present solutions to grow the Indonesia economy.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Intudo Ventures Umumkan Dana Kelolaan Ketiga Mencapai 1,6 Triliun Rupiah

Intudo Ventures, pemodal ventura yang fokus ke pasar Indonesia, mengumumkan penutupan dana kelolaan ketiga mereka “Intudo Ventures Fund III”. Nilai yang berhasil dibukukan mencapai $115 juta atau setara 1,6 triliun Rupiah, dalam kurang dari tiga bulan penggalangan dana. Sehingga secara keseluruhan perusahaan sejauh ini telah mengelola dana sekitar $200 juta.

Berbagai pengelola dana dan organisasi terlibat sebagai limited partner, berasal dari Amerika Serikat, Eropa, dan Asia. Beberapa di antaranya Black Kite Capital, family office milik Koh Boon Hwee; Wasson Enterprises, family office milik mantan CEO Walgreens Gregory Wasson; PIDC, sebuah lengan investasi konglomerat Taiwan, dan lain-lain. Ada juga 10+ tech unicorn founder dan 30+ konglomerat Indonesia yang turut terlibat.

Misinya masih sama, dana akan difokuskan untuk berinvestasi ke startup Indonesia. Apalagi saat ini sedang berada di momentum yang baik, yakni peningkatan kelas menengah dan konsumsi layanan digital.

“Bertindak sebagai ‘penggembala’ dalam negeri, Intudo Ventures mendukung para pendiri melalui perpaduan praktik terbaik hiperlokal dan global, yang memungkinkan kami untuk secara konsisten menciptakan hasil yang lebih menguntungkan bagi para pendiri,” kata Founding Partner Intudo Ventures Patrick Yip. “Menyaksikan ketangguhan dan pertumbuhan para pendiri, kami lebih optimis di Indonesia daripada sebelumnya; dan bersemangat untuk bekerja dengan generasi pengusaha Indonesia berikutnya.”

Hipotesis investasi

Intudo Ventures Fund III akan digunakan untuk berinvestasi ke startup di bidang pertanian, pengembang solusi B2B, pendidikan, finansial, asuransi, kesehatan, logistik, new retail, dan hiburan. Targetnya bisa membangun portofolio terkonsentrasi dari 12 s/d 14 startup lokal. Adapun nilai investasi yang akan diberikan berkisar $1 juta s/d $10 juta.

Dari sisi bisnis, Intudo berinvestasi pada tiga kategori perusahaan. Pertama, perusahaan tahap awal pada sektor yang belum banyak dilirik — mayoritas mereka sulit mendapatkan dana. Kedua, berinvestasi pada vertikal bisnis baru yang menunjukkan potensi terobosan dan jalur profitabilitas yang kuat. Dan ketiga, pemimpin pada vertikal bisnis yang sudah tervalidasi oleh pasar.

“Selama lima tahun terakhir, pasar telah memvalidasi pendekatan investasi ‘khusus Indonesia’ kami, yang menunjukkan pentingnya dana kelolaan yang difokuskan pada satu negara […] Di Indonesia, Intudo secara konsisten melangkah memberikan nilai bagi para pendiri sebelum dan sesudah investasi. Kami bangga berperan menjadikan Indonesia sebagai kisah sukses pasar berkembang berikutnya,” imbuh Founding Partner Intudo Ventures Eddy Chan.

Selain itu dalam investasinya juga ada banyak faktor yang diperhatikan, mulai dari distribusi komersial (termasuk kecakapan produk startup dan kekayaan intelektual yang dimiliki), kepatuhan terhadap regulasi, dan spesialisasinya dalam teknologi mendalam.

Investasi Intudo

Intudo Ventures debut pada Juni 2017, bekerja sama dengan investor lokal dan global. Sudah ada 22 startup lokal yang mendapatkan investasi dari dua dana kelolaan sebelumnya, dengan daftar sebagai berikut:

Investasi Intudo Ventures

Beberapa inisiatif juga digencarkan Intudo untuk membantu ekosistem untuk bertumbuh. Terbaru mereka meluncurkan program fellowship “Pulkam S.E.A. Turtles” ditujukan bagi mahasiswa asal Indonesia yang studi di luar negeri, untuk ‘pulang kampung’ dan menghadirkan solusi untuk menumbuhkan perekonomian di Indonesia.

[Video] Strategi OCBC NISP Ventura Mendukung Ekosistem Startup Teknologi

Sebagai corporate venture capital yang dimiliki oleh Bank OCBC NISP, OCBC NISP Ventura tidak hanya fokus di sektor fintech dalam prioritas pendanaannya.

DailySocial bersama Darryl Ratulangi dari OCBC NISP Ventura membahas bagaimana mereka memilih partner yang potensial dan seperti apa strategi yang dimiliki ke depan.

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.

East Ventures, Go-Ventures Tambah Portofolio dari Ekosistem Startup di Vietnam

Vietcetera, jaringan media digital berbasis di Ho Chi Minh City, Vietnam, berhasil membukukan pendanaan pra-seri A senilai $2,7 juta. Dipimpin North Base Media, putaran ini juga turut diikuti sejumlah investor lokal, yakni East Ventures dan lengan investasi milik Gojek, Go-Ventures.

Startup media tersebut didirikan sejak tahun 2016 oleh Hao Tran dan Guy Truong; saat ini dikatakan sudah memiliki 20 juta pembaca per bulannya. Secara spesifik mereka menyasar kalangan milenial dan gen Z — jika disamakan dengan pemain dari Indonesia, secara konsep dan bisnis Vietcetera mirip dengan IDN Media.

Bagi East Ventures, ini bukan portofolio pertama mereka di Vietnam. Sebelumnya mereka pernah berinvestasi ke CirCO, operator coworking space; Sendo selaku platform e-commerce; dan Kim An Group pelaku fintech lending setempat. Di Asia Tenggara sendiri, East Ventures saat ini terlihat lebih banyak fokus untuk startup tahap awal di Indonesia dan Singapura, jika dilihat dari kuantitas portofolio yang dimiliki.

Sementara untuk Go-Ventures, sejauh ini dari catatan kami mereka belum memberikan investasi lain ke startup Vietnam. Namun pasar tersebut sudah tidak asing lagi untuk grup perusahaan, pasalnya mereka telah menjelajah ke sana lewat ekspansi layanan Gojek, pun demikian dengan portofolio Go-Ventures, PasarPolis, yang saat ini juga sudah masuk ke pasar tersebut.

East Ventures memandang ekosistem Vietnam

Kendati belum memiliki kantor perwakilan atau partner khusus yang ditempatkan di Vietnam, East Ventures sejauh ini menjadi pemodal ventura lokal dengan portofolio terbanyak di sana.

Kepada DailySocial.id, Partner East Ventures Melisa Irene mengatakan, sebagai negara dengan populasi terbesar kedua di regional, pertumbuhan ekonomi digital di sana cukup kencang. Selain itu, Vietnam dikenal sebagai salah satu pemasok talenta teknis untuk ekosistem digital global; yang berarti memenuhi variabel untuk pengembangan tim lokal yang kuat.

Lebih lanjut Irene memberikan analisisnya dari sisi demografi, “Dibandingkan dengan Indonesia, kedua wilayah tersebut memiliki jumlah penduduk muda yang besar dan memiliki pola yang sama. Vietnam memiliki populasi lebih dari 97 juta dengan penetrasi internet 70,3% pada Januari 2021. Sementara itu, pada periode yang sama, Indonesia memiliki populasi lebih dari 274 juta dan penetrasi internet mencapai 73,7%.”

“Kedua negara tersebut juga memiliki komposisi penduduk yang sama dalam hal kelompok umur, anak muda menempati lebih dari setengah porsi penduduk negara tersebut; Vietnam sekitar 55%, sedangkan Indonesia sekitar 70%.”

Membuka peluang di pasar Vietnam

Menurut laporan e-Conomy SEA 2020, GMV yang dihasilkan oleh pasar Vietnam menempati peringkat ke-3 setelah Indonesia dan Thailand. Tahun 2020 nilai GMV yang dihasilkan dari ekosistem digital setempat sudah mencapai $14 miliar dan diproyeksikan bertumbuh jadi $52 miliar di tahun 2025.

Potensi yang terus bertumbuh membuat pelaku ekosistem di Indonesia tertarik untuk membuka peluang di sana. Dari catatan kami, sejauh ini sudah ada beberapa pemodal ventura lokal yang memiliki portofolio di Vietnam; pun startup lokal yang sudah mulai berekspansi ke sana.

Adanya demografi yang serupa dan potensi penguatan bisnis melalui tim lokal tentu menjadi salah satu komposisi yang memikat bagi bisnis digital untuk melakukan penetrasi di sana – di samping adanya potensi pasar besar dari jumlah populasi yang ada.

Namun demikian, bukan berarti ekspansi ke sana tanpa tantangan. Di kesempatan wawancara berbeda, Irene menyampaikan, “Ada tiga tantangan yang harus diperhatikan [ketika mau ekspansi ke Vietnam], yakni terkait terbatasnya telenta di level mid-management ke atas, peraturan yang masih berubah-ubah, dan praktik bisnis berdasarkan relasi. Ketiganya membutuhkan eksekutor bisnis yang sangat menguasai dinamika lokal.”