Medigo Umumkan Pendanaan Pra Seri A, Berencana Ekspansi ke Rantai Suplai Klinik

Startup healthtech Medigo mengumumkan perolehan pendanaan pra seri A dengan nilai yang tidak disebutkan. Ada tiga investor yang terlibat dalam pendanaan baru kali ini, yakni investor existing Venturra Discovery serta dua investor baru: Golden Gate Ventures dan Kenangan Kapital yang merupakan angel fund milik Co-founder Kopi Kenangan Edward Tirtanata.

Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Co-founder dan CEO Medigo Harya Bimo mengungkapkan bahwa pendanaan baru ini akan mendukung rencana ekspansi perusahaan untuk fokus menjadi menjadi penyedia rantai suplai klinik (clinic chain) di Indonesia.

“Tadinya clinic chain adalah satu dari sekian inisiatif Medigo untuk memperkuat ekosistem healthcare di Indonesia. Sekarang kami fokus untuk menjadi clinic chain saja. Jadi, revenue stream kami nanti [mainly] dari klinik,” ujar pria yang karib disapa Bimo ini.

Dihubungi secara terpisah, Edward Tirtanata mengungkapkan alasannya terlibat sebagai angel investor di Medigo. Ia menilai saat ini masih ada gap besar di industri kesehatan Indonesia. Tak dipungkiri, klinik masih menjadi tujuan utama masyarakat Indonesia mengingat biaya rumah sakit (RS) masih mahal.

Standardisasi klinik di Indonesia saat ini terbilang masih rendah sehingga tidak semua masyarakat mampu memperoleh perawatan kesehatan yang sama di setiap wilayah. Dengan dukungan platform digital, Indonesia dapat meningkatkan standardisasi ekosistem kliniknya.

“Inilah mengapa pivot ini dapat menjadi game changer. Tak hanya bagi bisnis Medigo, tetapi juga bagi [industri kesehatan] Indonesia. Kami bertaruh di awal dengan jumlah yang masih kecil, tetapi sekarang Medigo menunjukkan hasil yang menjanjikan, bahkan selama pandemi,” ungkapnya.

Ingin ubah wajah industri kesehatan Indonesia

Saat ini, Medigo telah bermitra dengan 73 klinik di 42 kota di Indonesia. Menurut Bimo, jumlah kemitraan ini akan terus ditingkatkan di tahun depan dan akan diikuti dengan kehadiran layanan-layanan baru, seperti telemedicine.

Klinik Pintar menawarkan solusi melalui sistem bagi hasil dengan pemilik klinik. Kerja sama ini berupa pemberian solusi teknologi untuk mendigitalkan proses bisnis dan layanan, standarisasi, dan investasi yang dapat membantu pemilik klinik mengembangkan usaha dan meningkatkan value based care. Dua Klinik Pintar telah dibangun per akhir 2019.

Fokus untuk sepenuhnya menjadi rantai suplai klinik sudah mulai dieksekusi Medigo sejak awal 2019. Hal ini karena pendekatan awal melalui RS dinilai sulit diakselerasi. Semula Medigo memang memiliki misi untuk menghubungkan seluruh ekosistem kesehatan di Indonesia dari hulu ke hilir, mulai dari pasien, petugas medis, klinik, RS, hingga laboratorium.

Ternyata dalam perjalanannya, Medigo menyadari bahwa nature dari industri RS adalah memiliki rantai birokrasi yang panjang. Bimo mengaku pihaknya membutuhkan hampir satu tahun per RS untuk melakukan implementasi, seperti integrasi platform dan training SDM.

Menurutnya, strategi ini sudah tepat karena lebih banyak menyentuh segmen grassroots. Selain itu, jumlah klinik di Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan RS. Data Kementerian Kesehatan per 2018 mencatat ada 2.813 RS di Indonesia, sedangkan klinik mencapai 8.841 dan puskesmas 9.993 unit.

“Saat mengembangkan clinic management system, lebih dari 300 klinik mendaftar di paltform kami. Hanya saja usage-nya masih kecil. Di sini kami mulai riset ke klinik untuk tahu apa masalahnya. Apa teknologi jadi masalah utama atau ada hal lain yang belum bisa diselesaikan?” jelas Bimo.

Dari riset tersebut, Medigo berlanjut pada persiapan rencana pada Juli 2019. Salah satu realisasinya saat itu adalah membangun Klinik Pintar dengan menggandeng Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada Desember 2019 meresmikannya pada Februari 2020.

Mengeksekusi pivot selama pandemi

Sebelum pandemi, Klinik Pintar terbagi atas dua model kerja sama, yakni membangun sendiri atau berkolaborasi dengan klinik existing. Untuk opsi kedua, Medigo dapat mengelola seluruh operasional klinik existing. Ada juga yang dikelola secara bersama dengan pemilik klinik tersebut.

Ketika pandemi Covid-19 terjadi, Klinik Pintar ketiga yang direncanakan dibangun pada Maret menjadi terhambat. Pembangunan ini membutuhkan tatap muka dan monitoring berkelanjutan, sedangkan kebijakan pembatasan sosial tak memungkinkan untuk meneruskan rencana ini. Meskipun pihaknya sudah mencoba memberikan seamless experience untuk mengurangi interaksi, masyarakat tetap cenderung enggan datang ke RS atau klinik selama pandemi.

Medigo pun memutuskan mengevaluasi ulang strategi pivot-nya mengingat situasi pandemi tidak memungkinkan startup yang berdiri pada 2018 tersebut melanjutkan model partnership Klinik Pintar saat itu.

“Semula, kami pikir [pivot ini] harus menggandeng sekian ratus klinik fisik yang dapat dikelola sendiri. Karena pandemi ini, kami coba lihat apa sebetulnya fokus dan value yang ingin kami tuju dari seluruh ekoistem healthcare. Nah, kami punya strength di mana belum banyak yang bermain di [rantai suplai klinik],” jelasnya.

Medigo akhirnya melakukan repositioning strategi dengan dua model bisnis baru, yakni (1) tetap membangun klinik fisik yang akan 100 persen dikelola oleh Medigo dan (2) memperbanyak kerja sama dengan klinik existing. Ia menyebut fokus utamanya pada model kedua dengan memperbanyak layanan ketimbang membangun klinik fisik baru.

Menurut Bimo, pivot dengan model bisnis baru ini dapat dikatakan efektif. Meski di situasi pandemi ini, kehadiran platform komunikasi digital (Zoom, WhatsApp, Google Meet, dan lainnya) sangat membantu perusahaan membangun kepercayaan dengan klinik di seluruh Indonesia.

Meski sempat turun selama beberapa bulan, kini bisnis Medigo berangsur meningkat kembali. Puncaknya, pada Mei lalu, Medigo mengantongi kenaikan layanan hingga empat kali lipat dibandingkan April. Bahkan, Bimo menyebut bisnis Medigo sudah meraup margin yang sehat setiap bulan hingga saat ini.

Selain itu, pihaknya juga mencatat peningkatan signifikan pada interaksi di platform-nya. Interaksi yang dimaksud adalah keterhubungan para stakeholder di industri kesehatan. Bimo mengaku bahwa ini menjadi KPI utamanya ketika Medigo didirikan.

Saat ini, Medigo mengelola data rekam medis pasien pada mitra kliniknya. Dari 73 klinik yang dikelolanya, per klinik saja dapat memiliki 100 pasien per hari. Seiring dengan bertambahnya jumlah mitra Medigo ke depan, pihaknya menargetkan interactivity di ekosistem kesehatan Indonesia akan semakin tinggi.

“Kini pivot kami sudah memiliki validasi dan sudah jelas model bisnisnya. Kami punya demand yang dapat kami jawab, the numbers prove it. Tinggal bagaimana selanjutnya kami mengeksekusi vertikal, seperti akuisisi klinik dan scale up layanan, dan horizontal,” tambah Bimo.

Saat ini, Medigo tengah fokus untuk memperluas akses tes Covid-19 di klinik hingga ke seluruh wilayah di Indonesia. Pihaknya juga tengah melakukan proof of concept (POV) untuk telekonsultasi layanan dokter spesialis.

“Kami menyadari bahwa Covid-19 berdampak pada ibu-ibu. Mereka menjadi tidak berani keluar untuk vaksin anaknya karena pandemi ini. Kami khawatir bakal ada generation gap. Maka itu, ke depannya kami juga ingin menjadi jaringan distribusi vaksin apapun. Dengan dukungan rantai suplai klinik, tujuan akhir kami adalah transparansi dan mengurangi potensi monopoli.”

Application Information Will Show Up Here

Menyiasati Titik Jenuh Beberapa Sektor Startup Indonesia

Pertumbuhan ekonomi digital Indonesia kini telah mencapai $40 milliar dan diproyeksikan akan terus bertambah seiring pertumbuhan jumlah pengguna internet. Bisnis e-commerce disebut-sebut sebagai penyumbang terbesar, namun di balik kesuksesan beberapa nama di sektor ini, tidak sedikit startup yang tumbang meskipun memiliki dukungan sumber daya dan dana yang cukup.

Isu ini menjadi salah satu yang dibahas dalam acara peresmian lokasi kedua co-working space DreamHub yang bertempat di Atrium Mulia, Jakarta Selatan. Indonesia disebut sedang mengalami titik jenuh, di beberapa sektor, terutama e-commerce.

Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari menyampaikan, “Satu hal terpenting, startup yang dapat survive adalah startup yang memberi solusi atas suatu permasalahan dan fokus pada profit.”

Dalam mewujudkan hal ini, pelaku industri harus didukung iklim yang kondusif untuk bisa mewadahi pemikiran-pemikiran kreatif mereka agar tidak terbengkalai di masyarakat.

Kolaborasi untuk mencapai solusi

Saat ini, kehadiran para pemain e-commerce telah memberikan solusi bagi masyarakat dalam efisiensi berbelanja, yaitu secara online. Namun, seiring dengan terciptanya animo masyarakat untuk berbelanja online, muncul permasalahan-permasalahan baru yang mungkin tidak bisa diselesaikan oleh sektor e-commerce sendiri, misalnya sisi pembayaran dan logistik. Hal ini menciptakan peluang bagi pelaku industri untuk melahirkan inovasi baru atau berkolaborasi demi menyelesaikan permasalahan tersebut.

Menurut Gondang Prabowo, Head of Growth The Fit Company Group, semakin banyaknya startup yg hadir sebenarnya bukan malah menimbulkan titik jenuh, melainkan mendorong kompetisi yang semakin ketat. Pihaknya sendiri mengaku sedang menggalakkan kolaborasi demi mencapai solusi untuk mengatasi permasalahan yang terjadi.

“Kita juga harus kritis dalam melihat produk kita sendiri. Banyak startup yang merasa produknya sudah bisa diterima pasar lalu semata-mata puas dan tidak mencoba kritis,” tambahnya.

Mencari celah di industri

Dari sisi investor, perusahaan modal ventura yang fokus pada pendanaan startup tahap awal, Venturra Discovery, melihat sudah terlalu banyak bisnis e-commerce yang menggarap pasar horizontal. Saat ini, pihaknya mengaku sedang fokus mendukung bisnis e-commerce vertikal tertentu, seperti Sociolla (kosmetik) dan Fabelio (furnitur).

Selain itu, masih ada potensi bisnis yang masih bisa digarap. Hari menyebutkan, beberapa sektor yang masih memiliki banyak ruang untuk diisi, contohnya agrikultur, perikanan, dan edukasi.

“Karena untuk membangun industri, kita butuh skill bukan cuma knowledge. Kita sedang dalam tahap darurat talenta. Sementara tingkat kepercayaan pengguna semakin tinggi, pendanaan mulai masuk, infrastruktur juga sudah terbangun, salah satu yang penting dan belum terpenuhi adalah talenta.” tuturnya.

Pandangan Investor tentang Kesenjangan Pendanaan Awal di Industri Startup Indonesia

Popularitas bisnis digital di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan membawa berkah bagi para investor. Pada 2018, Menristekdikti Mohamad Nasir sempat menyebutkan terdapat 956 startup di Indonesia dalam empat tahun terakhir.

Meroketnya industri startup turut mendorong iklim investasi. Startup bergerak cepat dalam mengembangkan inovasi yang memicu Venture Capital (VC) untuk berinvestasi dengan harapan return besar dan boom, industri VC tumbuh subur di Indonesia. Deal investasi semakin banyak, cuan ikut meningkat.

Sampai saat ini, ada banyak VC yang aktif memberikan pendanaan di Indonesia. Fokusnya beragam, mulai dari fokus pada pendanaan tahap awal (early stage) hingga penggalangan dana putaran akhir (later stage), seperti yang diterima Gojek dan Tokopedia.

Tidak ada yang menyangka model bisnis yang dijalankan keduanya berhasil merebut pasar di Tanah Air. Keduanya kini memiliki kesamaan, yakni sama-sama mengantongi valuasi tinggi yang mengantarkannya pada status unicorn dan memperoleh investasi yang terbilang sebagai pendanaan terbesar di Indonesia untuk saat ini.

Tahun lalu Tokopedia memperoleh pendanaan yang dipimpin Softbank dan Alibaba senilai $1,1 miliar atau setara Rp16 triliun. Sementara, Gojek dikabarkan bakal mendapatkan pendanaan seri F senilai $3 miliar dalam waktu dekat. Sebuah angka fantastis yang tidak pernah terpikirkan ketika keduanya merintis bisnis.

Semakin ke sini, ekosistem startup semakin terbentuk. Hal ini memicu sejumlah VC mulai aktif berinvestasi di Indonesia, termasuk kemunculan VC baru, seperti Venturra Discovery. Ekosistem startup kita juga banyak dimotori oleh kehadiran program inkubator dan akselerator.

Bukan berarti iklim investasi sepi-sepi saja pada masa-masa awal ekosistem startup terbangun. Co-founder dan CEO DailySocial Rama Mamuaya mengungkap, investasi startup pada 2014 ke belakang sangat aktif.

Ia mencontohkan e-commerce fashion wanita Berrybenka mendapat pendanaan seri B senilai $5 juta dari TransCosmos dan Gree Ventures. Angka $5 juta terbilang sangat besar untuk ukuran industri yang baru berkembang saat itu. Jika bicara kondisi sekarang, investasi $5 juta sudah sangat mungkin diperoleh startup sebagai pendanaan tahap awal.

Ada sejumlah faktor mengapa para investor kini mulai mengucurkan pendanaan seed dalam jumlah besar. Bisa jadi karena industri yang semakin matang hingga berubahnya mindset investor dalam berinvestasi di industri startup.

Meningkatnya nilai pendanaan seed dan perubahan mindset investor

Fenomena kesenjangan (gap) pada pendanaan tahap awal (pre-seed, seed, dan seri A) sebetulnya tidak mampir begitu saja. Pasar Amerika Serikat (AS) yang merupakan kiblat industri digital dunia juga sempat mengalaminya. Mengingat pasar digital AS dimulai sejak era 1999, tren pendanaan tahap awal VC di AS baru booming pada 2006.

Seperti dikutip dari artikel “Why Has Seed Investing Declined? And What Does This Mean for the Future?”, pendanaan tahap awal di AS sempat mengalami kemerosotan. Hal ini bukan disebabkan oleh kemauan VC untuk berinvestasi dalam jumlah kecil, melainkan perkembangan teknologi yang membuat biaya untuk meluncurkan dan mengembangkan produk startup semakin murah.

Bagaimana di Indonesia? Fenomena gap ini disebut mulai terjadi sejak dua-tiga tahun belakangan. Ada yang menyebutkan gap pendanaan tahap awal membuat para VC kini berinvestasi dalam jumlah kecil dengan nilai berkisar $100 ribu-$500 ribu. Ada juga yang mengatakan bahwa sesungguhnya gap ini paling dirasakan pada pendanaan seri A.

Saat ini, belum ada data yang dapat menunjukkan tren penurunan nilai pendanaan seed selama tiga-empat tahun terakhir. Hal ini karena sejumlah kesepakatan memang sengaja tidak umumkan agar startup dapat fokus untuk membangun produk dan terhindar dari publisitas pasar. Alhasil data yang tersedia saat ini hanya menampilkan jumlah deal untuk pendanaan seed dalam tiga tahun terakhir.

Namun, dari segi jumlah deal, pertumbuhan pendanaan tahap awal tidak terlalu signifikan. Startup Report DailySocial mencatat jumlah pendanaan seed (tidak termasuk pre-seed) mengalami naik-turun, antara lain 28 deal (2016) lalu naik menjadi 32 deal (2017), dan turun drastis ke 21 deal (2018). Sementara, pendanaan seri A mengalami penurunan drastis sebanyak 19 deal (2018) dari 29 deal (2017).

Investasi startup tahap awal dan series A di Indonesia
Jumlah deal pendanaan startup tahap awal dan series A di Indonesia

Berdasarkan wawancara DailySocial dengan sejumlah VC di Indonesia, beberapa di antaranya mengakui adanya gap tersebut. Head of Investment MDI Ventures Aldi Adrian Hartanto menilai stage wise untuk pendanaan seed mulai menjadi masalah karena perolehan dana investasi yang dikelola VC semakin meningkat.

Sebagai contoh saja, dalam dua tahun terakhir, ada beberapa startup yang telah memperoleh penggalangan dana tahap awal dengan nilai besar. Contohnya, Ajaib mendapat suntikan dana sebesar $2,1 juta (Rp29,6 miliar). Adalagi platform agregator logistik Shipper yang menerima investasi awal $5 juta (Rp70,1 miliar).

Nah, karena tren ini, Aldi menilai tidak masuk akal apabila VC memberikan investasi dalam jumlah kecil lagi. Alih-alih menahan pendanaan seed, industri VC justru meningkatkan besaran investasinya. Kondisi ini juga membuat sejumlah VC beralih fokus pada startup di growth round karena pengalamannya terbukti dan risikonya kecil.

“Karena banyak kekosongan [investasi] di seed, kondisi ini akhirnya memaksa startup yang masih berada di tahap itu untuk sekalian saja menggalang dana dalam nilai yang lebih besar,” ungkap Aldi beberapa waktu lalu.

Nilai pendanaan seed yang diumumkan dalam 5 tahun terakhir
Deretan pendanaan seed yang diumumkan dalam 5 tahun terakhir

Fenomena ini berkebalikan dengan kondisi di 2014 ke belakang di mana saat itu belum ada sektor bisnis yang menunjukkan dominasinya. Pertumbuhan industri baru berkembang dan startup masih mencari model bisnis yang tepat. Masuk akal jika investor belum berani berinvestasi di later stage karena berisiko gagal.

Seiring berjalan waktu, industri startup di Tanah Air semakin matang. Dominasi mulai ditunjukkan oleh keberhasilan sejumlah pelaku startup dalam menjalankan bisnis e-commerce, ride-hailing, dan online travel. Seleksi alam pun terjadi di mana ada banyak startup yang gagal dan investor memilih jalur exit lewat merger dan akuisisi.

Kini, investor mengalami perubahan mindset di mana startup yang ingin menggalang pendanaan awal harus memiliki rencana traction dan monetisasi yang jelas. Dengan kata lain, investor semakin selektif dalam berinvestasi.

Menurutnya, perusahaan VC kini cenderung konservatif. Hipotesisnya tak lagi sebatas pada visi dan misi para founder, tetapi termasuk bagaimana startup memiliki rencana monetisasi yang jelas dalam beberapa tahun ke depan, cara untuk scale up untuk pengembangan bisnis, dan tidak hanya fokus dalam mencari pendanaan saja.

Ia menilai akan sangat berbahaya bagi investor apabila menaruh uang di awal dalam nilai besar pada sebuah startup hanya bermodalkan produk, tanpa tahu rencana monetisasi untuk menuju profitabilitas.

Sebagaimana kita tahu, pendanaan tahap awal atau biasa disebut seed mengacu pada penanaman modal di awal untuk mendukung bisnis sebuah startup sampai dapat menghasilkan uang sendiri atau sampai penggalangan dana berikutnya. Startup tahap awal biasanya belum memiliki traction.

Partner Venturra Discovery Raditya Pramana juga menilai bahwa tidak tepat apabila startup menggalang investasi besar di awal dengan traction yang nihil. Menurutnya ada banyak yang harus dilakukan startup untuk mencapai sebuah valuasi.

“Di Indonesia, pendanaan seed $1 juta itu normal, kan valuasi jadi naik. Pasar makin kompetitif, semakin banyak orang ingin menaruh uang dalam jumlah besar. Yang utama itu orang mau mengambil uang dalam jumlah besar dengan valuasi besar,” ujarnya.

Pria yang karib disapa Adit ini menilai gap pendanaan tahap awal mulai berangsur mengecil sejalan dengan kemunculan VC baru yang fokus untuk mengisi kekosongan pendanaan seed di Indonesia.

Dampaknya bagi industri VC dan startup

Mindset investor tetap mengacu pada cuan. Memberikan investasi awal dalam jumlah besar tentu berisiko. Tetapi ada keuntungan yang dapat dirasakan bagi investor dan startup. Kami mencatat beberapa poin penting dari para VC terkait dampaknya bagi ekosistem startup di Indonesia.

Partner Alpha JWC Erika Dianasari menilai berkurangnya pendanaan VC pada seed justru membuka pintu bagi angel investor untuk berinvestasi di Indonesia. Di sisi lain, tren pendanaan awal yang lebih besar justru dapat memperkuat fondasi para founder startup untuk lebih giat dalam membangun bisnisnya.

“Hal lain menjadi poin penting, seleksi alam akan terjadi antara pemain berkualitas dan bisnis yang solid. Ketika investor lihat potensi besar startup, kenapa tidak kita investasi lebih? Dengan begitu tim dapat fokus membangun milestone sambil membebaskan founder dari distraksi lain,” jelasnya kepada DailySocial.

Sementara menurut Aldi, tren pendanaan tahap awal dengan nilai besar memberikan nilai tambah bagi startup untuk memiliki kesempatan meraih pertumbuhan awal lebih cepat dari sebelumnya. Dengan pendanaan ini, startup dapat memaksimalkan pengembangan produk demi menggaet traction dan mempercepat pencapaian valuasi.

Soal pencapaian valuasi memang tidak bisa kita bandingkan pada lima tahun ke belakang. Startup masih kesulitan untuk membuahkan traction karena sejumlah faktor, seperti ekosistem digital di Indonesia yang belum matang, infrastruktur yang masih minim, hingga rendahnya awareness masyarakat terhadap layanan digital kala itu.

“Startup dapat berkembang menjadi lebih cepat karena mereka didukung oleh pendanaan yang besar. Hal ini tentu bagus [bagi industri startup], tetapi bisa berdampak buruk karena dapat menciptakan gelembung [ekonomi]. Ini sebaiknya dihindari agar [pendanaan] seed bisa balance lagi,” ucap Aldi.

Sementara itu, Adit menilai tingginya penggalangan dana untuk seed dapat mendorong industri VC. Menurutnya, semakin tinggi investasi yang dikucurkan, akan semakin besar juga fee yang dikantongi VC. Artinya, keuntungan ini dapat dimanfatkan perusahaan untuk melakukan ekspansi tim, serta membangun kapabilitas dan defensibilitas sebuah VC.

Ia mencontohkan, penggalangan dana sebesar $10 juta dan $100 juta tentu akan berbeda pengelolaannya, demikian juga fee yang diterima. Bayangkan jika VC mendapat dua persen fee atau $2 juta per tahun dari $100 juta, tentu ini lebih menguntungkan bagi pengembangan bisnis VC.

“Sebagai investor, kalau beli barang karena kualitas bagus tapi untung kecil buat apa? Nah, kalau saya bayar mahal sekarang [investasi di seed], tidak apa deh karena valuasinya bakal besar,” papar Adit.

Di sisi lain, Adit memprediksi tren pendanaan seed dalam ticket size yang lebih besar akan terus berlanjut sampai terjadi market correction yang masif. Menurutnya, jika market correction di pasar saham terjadi, hal ini akan berdampak pada valuasi startup yang didanainya dan membuat private market seperti VC ikut jatuh.

Dari paparan di atas, kita dapat sepakat bahwa pendanaan tahap awal di Indonesia masih cukup aktif meskipun tidak tumbuh secara signifikan. Bahwasannya juga, VC sudah mengubah mindset berinvestasi sejalan dengan perkembangan industri dan lanskap bisnis digital di Indonesia.

Peluang investasi di Indonesia menjadi tak terbatas mengingat VC tak lagi menyuntik pendanaan pada startup yang mengembangkan produk murni teknologi. Kini, VC juga sudah mulai masuk ke startup tech enabler dengan model bisnis konvensional, seperti coffee chain dan warung tradisional.

Meminjam sebuah istilah, tren “pendanaan seed masa kini adalah seri A di masa lalu, dan pre-seed adalah seed lama” di Indonesia sebetulnya kini telah dimulai.

Marsya Nabila berkontribusi dalam pembuatan artikel in-depth ini.

Venturra Discovery Eyes for An Investment Opportunity in Vietnam

Venturra Discovery Venture Capital aims for an investment opportunity in Vietnam. As Raditya Pramana, Venturra Discovery’s Partner said, they’ve planned for investment this year.

To date, Venturra Discovery has invested in Medigo, Ekrut, Club Alacarte, and Antler. Raditya said to have plans for three companies that cannot be revealed yet in Vietnam, Singapore, and Jakarta.

He said Vietnam is now facing the phase when Indonesia had its early digital business in 2014. It was marked by the rise of smartphone users. Statista research wrote only 34% of the total population in Vietnam are using smartphones, it’s to increase by 45% in 2023.

“Only a bunch of people wants to invest, and none were able to deploy series A and B type of money. Nowadays, the market is growing, purchasing power is increasing, and local investors are getting active in Vietnam. The most important one, we have positive investor appetite,” he said to DailySocial.

In terms of business, the VC under Lippo Group is still aiming for investment in the consumer tech sector, the marketplace in particular. Raditya said, as the market just growing, Vietnam is yet to show domination in the digital industry with a relatively small business category.

Thus, in selecting its portfolios, the company is to replicate a vertically integrated marketplace strategy once implemented while investing in Indonesian e-commerce.

“We’ll see from the e-commerce horizontal, then identify some categories big enough to be a stand-alone. The category must have two from three criteria, social facilitation and transaction, extremely high margin, and high repurchase rate,” he added.

Targeting healthcare and property tech segment

Was founded in September 2018, the company focused on seed funding to Pre Series A in Southeast Asia. At the launching, Venturra Discovery prepared a $15 million investment targeting 30-40 portfolios.

“Next year, we’re targeting 10 companies. However, we’re more likely to be opportunist for our focus is specific rather than involved in too many portfolios,” he said.

Venturra Discovery, besides the marketplace, also aims for other business categories with a bigger deal in the future, such as healthcare and property tech.

“In terms of B2B business model, it’s not really our focus. The business has to compete with the global vendor. For example, the Software-as-a-service (SaaS) for corporate we’ve found in Indonesia, the product is not ready to compete. We also have a lack of talents,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Venturra Discovery Bidik Peluang Investasi di Vietnam

Pemodal ventura (VC) Venturra Discovery agresif membidik peluang investasi startup di Vietnam. Menurut Partner Venturra Discovery Raditya Pramana, pihaknya telah menjajaki rencana investasi di sana tahun ini.

Hingga saat ini, Venturra Discovery telah menyuntik pendanaan ke Medigo, Ekrut, Club Alacarte, dan Antler. Raditya menyebutkan tengah menjajaki pendanaan tiga perusahaan yang belum dapat disebutkan namanya di Vietnam, Singapura, dan Jakarta.

Ia menilai saat ini Vietnam sedang berada di fase ketika Indonesia mengecap pertumbuhan bisnis digital pada 2014 lalu. Salah satunya ditandai oleh peningkatan pengguna smartphone. Riset Statista mencatat penetrasi smartphone Vietnam di 2018 baru mencapai 34 persen dari total populasi, dan diestimasi naik menjadi 45 persen di 2023.

“Dulu bisa dihitung jumlah yang mau investasi, dan none were able to deploy series A and B type of money. Sekarang pasar mulai berkembang, purchasing power naik, dan investor lokal di Vietnam mulai aktif. Paling penting, investor appetite sangat positif,” tutur Raditya kepada DailySocial.

Dari kategori bisnis, VC di bawah naungan Lippo Group ini masih membidik investasi di sektor consumer tech, terutama di marketplace. Menurut Raditya, selain baru bertumbuh, pasar Vietnam dinilai belum menunjukkan kategori bisnis yang mendominasi industri digital karena masih terbilang kecil.

Untuk itu, dalam memilih portfolio di kategori ini, perusahaan bakal mereplikasi strategi vertically integrated marketplace yang pernah diterapkan saat berinvestasi di e-commerce Indonesia.

“Kami akan lihat dari horizontal e-commerce, lalu mengidentifikasi beberapa kategori yang bakal besar as a stand alone. Kategori ini harus punya dua dari tiga kriteria, yaitu social facilitation and transaction, extremely high margin, dan high repurchase rate,” jelasnya.

Incar segmen healthcare dan property tech

Sejak awal berdiri pada September 2018, perusahaan fokus untuk mengisi kekosongan pendanaan tahap awal hingga Pra-Seri A di Asia Tenggara. Pada saat resmi meluncur, Venturra Discovery menyiapkan investasi sebesar $15 juta dengan target 30-40 portfolio.

“Untuk tahun depan, target investasi kami di sepuluh perusahaan. Tapi kami lebih oportunis saja karena kami lebih memilih fokus pada perusahaan yang kami incar daripada memiliki terlalu banyak portfolio,” ungkap Raditya.

Selain marketplace, Venturra Discovery juga akan mengincar beberapa kategori bisnis lain yang dinilai potensial di masa depan, seperti healthcare dan property tech.

“Untuk model bisnis B2B, kami belum terlalu incar. Bisnis ini harus berkompetisi dengan vendor global. Contoh, vendor Software-as-a-service (SaaS) untuk korporat yang kita temui di Indonesia, produknya belum bisa compete. Kita juga kekurangan talent di bidang itu,” katanya.

Ekrut Secures Pre-Series A Funding

Ekrut recruitment platform has announced to secure Pre-Series A funding with undisclosed value. It was led by Venturra Discovery, Venturra Capital’s investment arm. Bizreach Inc also participated in this round, including all the previous ones, such as East Ventures, Prasetia Dwidharma, and SkyStar Capital.

This funding will be used to speed up Ekrut’s business growth, including to improve product quality and data science by making efficient recruitment. It applies also to the recommendation system of talent platform.

Using the current funding, Ekrut has plan to improve talent and entrepreneur network in Indonesia to build stronger value with lower cost.

“In the last decade, we’ve seen how technology has helped the multi-industry and disrupt the usual way. It’s ironic how the highly skilled process of recruiting middle-high level managers is still manual, with specific mechanism and difficult way to sort the best candidates. It requires unique and special solution to provide classified candidates based on technology skill identification, which we believe exist in Ekrut,” Venturra Discovery’s Managing Partner, Raditya Pramana said.

Ekrut was founded by Steven Suliawan and Ardo Gozal which premise is hard to acquire talents with relevant experience, particularly in technology. The company is said to have 2,700 network companies with 120,000 skilled talents.

“We finally identify the market issues and decided to solve it.” Suliawan said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Ekrut Amankan Pendanaan Pra-Seri A

Platform perekrutan Ekrut mengumumkan telah berhasil mengamankan pendanaan Pra-Seri A dengan nominal yang tidak disebutkan. Pendanaan kali ini dipimpin Venturra Discovery, seed investment arm dari Venturra Capital. Bizreach Inc juga terlibat dalam pendanaan kali ini, termasuk seluruh investor yang terlibat di putaran sebelumnya, seperti East Ventures, Prasetia Dwidharma, dan Skystar Capital.

Investasi kali ini rencananya akan digunakan untuk menggenjot pertumbuhan bisnis Ekrut, termasuk meningkatkan kualitas produk dan data science dengan melakukan perekrutan yang efisien. Peningkatan juga dilakuan untuk sistem rekomendasi pada talenta platform.

Dengan pendanaan yang didapat, Ekrut juga berencana meningkatkan jaringan pengusaha dan talenta di Indonesia untuk membangun value yang lebih kuat dengan biaya operasi yang lebih rendah.

“Dalam dekade terakhir kami melihat bagaimana teknologi telah membantu mendorong pertumbuhan multi industri dan mengganggu cara melakukan sesuatu. Sangat ironis bahwa proses perekrutan manajer tingkat menengah ke atas yang sangat terampil masih sangat manual, dengan secara khusus melalui mekanisme penyortiranyang yang sangat sulit untuk menyoroti kandidat yang baik. Ini membutuhkan solusi unik dan spesial untuk meneydiakan klasifikasi kandidat berdasarkan pengidentifikasi kemampuan teknologi, yang kami percaya Ekrut miliki,” ujar Managing Partner Venturra Discovery Raditya Pramana menanggapi pendanaan ini.

Ekrut dibangun oleh Steven Suliawan dan Ardo Gozal dengan premis sulitnya startup mencari talenta dengan relevansi pengalaman yang sesuai, khususnya di bidang teknologi. Perusahaan mengklaim sudah memiliki 2.700 jaringan perusahaan dengan 120.000 kandidat yang terampil.

 

“Kami akhirnya mengidentifikasi masalah di pasar dan memutuskan untuk menyelesaikannya. ” terang Steven.

Venturra Discovery Aims for Early-Stage Startups to Pre-Series A Funding

Venture investor (VC) under Lippo Group, Venturra Capital, officially launched an investment arm called Venturra Discovery to focus on early-stage startups to Pre-Series A funding in Southeast Asia.

John Riady, Lippo Group’s Director, said in the launching that Venturra Discovery has opened up opportunities for companies to be more active on early-stage startups funding in Indonesia.

“We’re very lucky to contribute for Indonesia’s development because of the potential we see is not only for Series A and Series B but also seed funding. We can’t wait to see the results in the near future,” he added.

Another reason behind Venturra Discovery creation is the wide gap between seed funding to series A and up. Based on the data cited by Venturra Capital, VCs which focused on seed funding in 2014 are capable to pour $50-500,000 ticket size per company. However, the gap is widen in Series A and up.

In 2018, it’s the contrary, where VCs focused on series A can pour $1-3 million per investment. The gap is there for the active VCs on early-stage startups to pre-series A funding.

“Tech ecosystem wasn’t ready then, but tech industry has grown rapidly the past year. There will be some issues to solve, hence we work with more founders,” Rudy Ramawy, Venturra Capital’s Managing Partner, said.

Therefore, Venturra Discovery focused on early-stage startups to pra-series A funding in Southeast Asia. The company aims for 30-40 portfolios for the investment amount ranging from $200,000 to $500,000. Total investment raised is $15 million (around IDR 223 billion), only from Lippo Group.

“We want to invest on an agnostic sector. Currently, there are 5 (deals), including 1 healthcare company, 2 consumers, one enterprise solution, and 1 incubator. This is the perfect moment for acceleration, and we want to fill the gap with this VC launching,” Raditya Pramana, Venturra Discovery’s Partner added.

Venturra Capital was founded in 2015 with the seed funding of $150 million. Recently, Venturra has distributed investment for funding worth of $600 million, and first investment growth up to 3.1 times.

The independent VC has made investments in Southeast Asia, including Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore, and Vietnam. There are 22 companies have received funding from Venturra, including Ruang Guru, Fabelio, and Medigo.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Venturra Discovery Bidik Pendanaan Startup Tahap Awal hingga Pra-Seri A

Pemodal ventura (VC) naungan Lippo Group, Venturra Capital, resmi meluncurkan anak usaha Venturra Discovery yang akan fokus pada pendanaan startup tahap awal (seed funding) hingga pra-seri A di Asia Tenggara.

Ditemui saat peluncurannya, Direktur Lippo Group John Riady mengungkapkan bahwa peluncuran Venturra Discovery membuka lebih banyak kesempatan bagi perusahaan untuk lebih aktif pada pendanaan startup tahap awal di Indonesia.

“Kami sangat beruntung bisa berkontribusi terhadap perkembangan Indonesia karena kami lihat potensi untuk lebih aktif tak hanya pada pendanaan Seri A dan B saja, tetapi di tahap awal. Kami tak sabar melihat hasilnya dalam beberapa tahun ke depan,” ungkap John.

Alasan lain Venturra Discovery diluncurkan adalah adanya gap pendanaan yang jauh antara VC di tahap awal dan tahap seri A ke atas. Berdasarkan data yang dikutip Venturra Capital, kondisi VC yang fokus pada pendanaan tahap awal di 2014, mampu menyuntik $50 ribu-500 ribu per satu perusahaan. Namun, gap besar lebih terasa pada VC di tahap seri A dan seterusnya.

Kondisi ini berbalik di 2018 di mana saat ini VC yang fokus di seri A bisa mengucurkan $1-3 juta per investasi. Gap besar justru dialami oleh VC yang aktif pada pendanaan tahap awal hingga pra-seri A.

Tech ecosystem dulu belum siap, tetapi industri teknologi dalam tahun terakhir ini bertumbuh pesat. Tentu akan ada banyak masalah yang ingin diatas, makanya kami bekerja sama dengan lebih banyak founder,“ jelas Managing Partner Venturra Capital, Rudy Ramawy.

Untuk itu Venturra Discovery fokus terhadap pendanaan startup tahap awal hingga pra-seri A di Asia Tenggara. Perusahaan membidik target sebanyak 30-40 portfolio dengan besaran per investasi berkisar $200 ribu-500 ribu. Total investasi yang disiapkan adalah sebesar $15 juta (sekitar 223 miliar Rupiah), murni dari kantong Lippo Group.

“Kami ingin investasi ke sektor agnostik. Saat ini sudah lima (deal), yakni 1 perusahaan healthcare, 2 consumer, 1 enterprise solution, dan 1 inkubator. Ini momen tepat untuk akselerasi, dan kami ingin fill the gap dengan peluncuran VC ini,” tambah Partner Venturra Discovery Raditya Pramana.

Venturra Capital pertama kali berdiri pada 2015 dengan investasi awal $150 juta. Hingga saat ini tercatat, Venturra telah menyalurkan investasi untuk pendanaan sebesar $600 juta dengan pertumbuhan sejak investasi pertamanya sebesar 3,1 kali.

VC independen ini telah menyuntik investasi ke berbagai perusahaan di Asia Tenggara, antara lain Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Vietnam. Tercatat sudah ada 22 perusahaan yang telah menerima pendanaan Venturra, termasuk Ruang Guru, Fabelio, dan Medigo.