Bukalapak Bidik Pertumbuhan Kinerja Mitra Berkelanjutan, Perluas Jangkauan ke Daerah

PT Bukalapak.com Tbk (IDX: BUKA) berupaya memperkuat jaringan Mitra dengan pencapaian kinerjanya saat ini. Di semester I 2021, perseroan mencatat pendapatan Mitra sebesar Rp290 miliar atau naik 350% (YoY) dengan jumlah sebesar 8,7 juta. Capaian jumlah Mitra ini tumbuh signifikan dibandingkan ketika mereka baru memulai layanan ini di 2017, yaitu 2.800 Mitra saja.

Berdasarkan laporan keuangan semester I 2021, Mitra Bukalapak berkontribusi besar terhadap total bisnis perusahaan dengan membukukan Total Processing Value (TPV) Mitra Rp23,9 triliun atau naik 227% (YoY). Kontribusi Mitra terhadap TPV meningkat 22%.

Average Transaction Value (ATV) juga naik 98% (YoY) yang dipicu oleh kenaikan jumlah produk dan jasa yang ditawarkan Bukalapak kepada para Mitra. Adapun, kontribusi pendapatan Mitra Bukalapak terhadap total pendapatan naik dari dari 12% (2Q20) menjadi 33% (2Q21).

Kepada DailySocial.id, CEO Buka Mitra Indonesia Howard Gani mengatakan, Bukalapak juga berupaya untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan sambil terus meningkatkan kualitas pengelolaan biaya operasional yang baik.

Pihaknya akan terus mengembangkan produk dan layanan sehingga para mitra dapat meningkatkan kapabilitas bisnisnya dan bersaing dengan usaha ritel modern. Apalagi, segmen warung dan UMKM di Indonesia masih banyak yang belum terdigitalisasi dan tersentuh oleh platform digital, seperti e-commerce, ride hailing, online payment, digital banking, dan OTA.

“Kami akan terus memperluas jangkauan kami ke berbagai area di Indonesia terutama di luar kota tier 1. Kami ingin mengoptimalkan persebaran teknologi di kota-kota tersebut dengan memperkenalkan manfaat teknologi lewat warung dan agen individual,” ujarnya.

Survei Nielsen terhadap 1.800 warung dan 1.200 kios pulsa juga menyebutkan Mitra Bukalapak sebagai pemimpin di pasar O2O dengan penetrasi sebesar 42% dibandingkan pemain O2O yang memiliki pengguna 2,5 kali lipat lebih banyak di survei ini.

Mitra Bukalapak juga disebut menguasai kategori grocery/bahan makanan sebesar 55% dan penetrasi produk virtual 52%. Saat ini, Mitra Bukalapak berbagai macam kategori produk, mulai dari produk fisik, virtual, keuangan, hingga produk kebutuhan sehari-hari.

Ekosistem matang dorong konsep O2O

Dalam publikasi bertajuk “Differences in Implementation and Implication of O2O Commerce in Indonesia and Other Countries” yang diterbitkan di 2016, konsep O2O commerce sebetulnya sudah mulai familiar di Indonesia. Tren ini mulai populer sejalan dengan upaya sejumlah platform digital masuk ke segmen tersebut. Kendati demikian, penetrasinya masih terbatas dan terpusat di kota besar saja.

Ekosistem e-commerce saat itu pun dinilai belum sematang sekarang. Masyarakat masih enggan bertransaksi di e-commerce karena sejumlah faktor, antara lain ketidakmampuan melihat produk fisik, ketidakpastian kualitas produk, keamanan pembayaran, hingga buruknya infrastruktur logistik. Selain itu, penetrasi pembayaran online juga belum sekencang saat ini.

Riset ini juga menyebutkan bahwa implementasi layanan O2O di Indonesia masih kurang dibandingkan negara-negara lain, terutama dalam hal pemanfaatan smartphone, media sosial, dan layanan gamifikasi. Padahal, Indonesia punya potensi besar untuk mengembangkan O2O dengan membidik 3,6 juta warung dan 65 juta UMKM.

Sumber: Laporan internal Bukalapak
Sumber: Riset CSLA

Berdasarkan riset CSLA di September 2019, sebanyak 65% dari total 189 juta transaksi ritel berasal dari warung. Transaksi tersebut sebagian besar berupa pembelanjaan kebutuhan sehari-hari yang biasanya diperoleh dari pasar tradisional. Angka ini jauh lebih besar dari transaksi dari platform digital, seperti e-commerce, ride hailing, dan online payment, yang hanya mencapai 81 juta saja.

Maka itu, sejak beberapa tahun terakhir, pelaku e-commerce mulai agresif membidik mitra warung atau UMKM di kota-kota tier 2 dan 3, dan tidak terbatas di pulau Jawa saja. Ada pula yang melebarkan jangkauannya hingga ke Indonesia Timur. Sektor e-commerce juga kini sudah memiliki ekosistem produk yang lengkap untuk mendukung bisnisnya, seperti pengiriman logistik dan pergudangan.

Application Information Will Show Up Here

Warung Pintar Umumkan Kehadiran sebagai “Holding Supply Chain”

Warung Pintar mengumumkan posisinya sebagai grup yang khusus menaungi solusi rantai pasok untuk ekosistem warung, mulai dari pemilik warung, toko kelontong, pengusaha grosir, distributor, hingga brand. Kabar ini diumumkan selang empat bulan setelah aksi akuisisinya terhadap Bizzy.

Saat ini Warung Pintar Group memiliki empat solusi digital yang masing-masing bertugas untuk membantu penguatan rantai pasok warung dari hulu ke hilir.

Pertama, aplikasi Warung Pintar yang ditujukan untuk para pemilik warung dan toko kelontong untuk memenuhi stok warung. Fitur lain yang tersedia adalah fitur Catatan Pintar (pencatatan utang), Komunitas Pintar (program pengembangan bisnis warung), dan Iklan Pintar (pemasukan iklan brand untuk pemasukan tambahan warung).

Kedua, aplikasi Grosir Pintar yang digunakan oleh toko grosir agar dapat terhubung langsung dengan ratusan pemilik warung dalam jarak 5-10 km. Selain itu, tersedia fitur Bisnis Pintar untuk pengadaan inventaris. Sejauh ini perusahaan telah menggandeng lebih dari 600 mitra pengusaha grosir ang masing-masing melayani sekitar 200-300 pemilik warung yang masuk dalam aplikasi tersebut.

Ketiga, Warung Pintar Distribusi yang telah hadir sejak awal perusahaan berdiri. Layanan ketiga ini sekarang semakin solid karena memiliki lebih dari 50 gudang dan depo di seluruh Indonesia. Terdapat sistem manajemen gudang dan solusi inventaris di dalamnya.

Terakhir, Bizzy Connect yang merupakan produk terbaru, menghubungkan brand dan distributor langsung ke pemilik warung. Sistem distribusi digital yang terintegrasi ini didukung dengan aplikasi untuk manajemen salesman hingga sistem pelacakan pengiriman yang efektif. Bagi brand, dilengkapi dasbor untuk memantau distribusi barang secara langsung.

Sumber: Warung Pintar Group

Kini, terdapat lebih dari 500 brand dan distributor yang bergabung, termasuk nama besar seperti Reckitt Benckiser dan Coca Cola. “Pada 2021 ini kami berhasil melengkapi solusi digital untuk channel tradisional, kehadiran Bizzy buat kami semakin kaya solusinya,” ucap CEO Warung Pintar Group Agung Bezharie Hadinegoro dalam konferensi pers virtual, Rabu (7/7).

Solusi dari Warung Pintar Group diklaim mampu mendorong peningkatan efisiensi warung karena pemilik warung dapat efisien hingga 40% baik itu dari sisi harga yang bersaing dan mendapat pendapatan tambahan. Pun, bagi pemilik brand dan distributor kini dapat terhubung langsung dengan warung, tanpa ada lagi pihak penengah. Pemilik warung memiliki lebih banyak sumber produk dengan harga bersaing, hampir 20%-25% lebih murah.

Agung menyadari di tengah pandemi ini warung termasuk sektor yang paling terdampak. Berdasarkan hasil survei internal perusahaan, pada awal pandemi, sebanyak 93% pemilik warung mengalami penurunan penjualan hingga 28%.

Di satu sisi, sebesar 74% (sekitar $267 miliar) bisnis ritel Indonesia terjadi di channel tradisional dan jumlah warung adalah 60% dari angka tersebut. Warung juga menjadi channel distribusi utama dengan kontribusi terhadap PDB sebesar empat kali lebih tinggi dari e-commerce.

Pangkal masalah pada warung adalah sistem distribusinya yang berlapis yang menurunkan efisiensi antara 20%-25%. Informasi yang terfragmentasi dan asimetris menyebabkan alpanya visibilitas data yang menghambat pertumbuhan semua pihak, sayangnya banyak pemain yang berusaha membawa solusi hanya pada satu pihak. Hal tersebut mendisrupsi pasar yang akhirnya meningkatkan terjadi skeptisisme adopsi digital pada ekosistem warung.

“Solusi digital Warung Pintar Group dirancang sebagai kekuatan fundamental yang sangat dibutuhkan untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi yang lebih signifikan di dalam salah satu channel distribusi terbesar di Indonesia,” tambah Agung.

Konferensi pers virtual Warung Pintar Group / DailySocial

Langkah berikutnya

Dengan posisi baru sebagai grup, Agung menjelaskan fokus perusahaan akan kembali ke akar bahwa warung harus lebih kuat dari sebelumnya. Oleh karenanya, perusahaan akan membawa lebih banyak fitur baru yang segera dirilis pada tahun ini. Sayangnya, ia enggan membeberkan lebih lanjut.

Menurutnya, meski ada banyak minimarket hingga supermarket, warung tetap memegang peranan penting. Lantaran tidak hanya menjadi tempat transaksional, tapi sebagai suatu komunitas untuk berkumpul dan mengobrol. Terlebih, di Indonesia ruang untuk tumbuhnya layanan e-commerce masih begitu besar.

“Warung digital itu adalah kendaraan yang bisa membawa menuju pintu gerbang yang bisa menjangkau lebih banyak orang Indonesia masuk ke platform digital.”

Sebagai bagian dari transformasi, kini Warung Pintar tidak lagi menyediakan warung gerobak kuning. Terhitung saat ini Warung Pintar Group tumbuh 100 kali lipat sejak awal pandemi untuk jumlah warung yang dilayani -dari 5 ribu menjadi 500 ribu warung. Artinya, 1 dari 7 warung yang ada di Indonesia berada dalam jaringan Warung Pintar Group.

Adapun pengguna aktifnya mencapai 106 ribu warung yang bertransaksi setiap bulannya. Disebutkan juga perusahaan telah memroses jutaan transaksi pada tahun ini. Agung menargetkan Warung Pintar dapat menggaet hingga 1 juta warung sampai tahun depan.

Terkait pemberitaan soal penggalangan dana, ia menyampaikan bahwa $6 juta tersebut adalah bagian dari aksi akuisisi perusahaan terhadap Bizzy, sehingga bukan putaran khusus. Namun demikian, ia bilang saat ini perusahaan sedang aktif berdiskusi dengan investor soal kemungkinan putaran baru.

“Kita aktif ngobrol dengan investor, yang mana yang bisa memberikan semangat gotong royong, yang bisa kasi tambahan value dan kapabilitas kepada kami agar lebih banyak warung yang terdigitalisasi,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Warung Pintar Reportedly Secures 87 Billion Rupiah Series B Funding

Warung Pintar is reportedly to secure series B1 round. According to our sources, the value reached $6 million or equivalent to 87 billion Rupiah. The investor leading this round is East Ventures, supported by Vertex Ventures. Both are investors from the previous round.

We have contacted relevant representative, however, we have not received a reply until this news is published.

This new investment brings Warung Pintar’s valuation to [est] $169 million. This is following the company’s previous series A round in 2019.

Previously, aside from the two venture capitalists, Warung Pintar also supported by a number of investors including EV Growth, Agaeti Venture (now AC Ventures), LINE Ventures, SMDV, Pavilion Capital, Triputra Group, Digital Garage, OVO Fund, and angel investors.

In an interview with DailySocial in late May 2021, Warung Pintar’s Co-Founder & CEO, Agung Bezharie said that the company’s mission is to present the most complete solution in the warung business ecosystem. This includes solutions for shop owners, wholesalers, small to large distributors, as well as brand owners.

“We are digitizing and integrating every stakeholder with our supply chain system to create better transparency and efficiency,” he said.

Earlier this year, Warung Pintar also announced its acquisition of Bizzy for $45 million. Although it remains a separate business entity, this acquisition allows Warung Pintar to gain access to new channels in the Bizzy network, including wholesalers, distributors, to brands/manufacturers.

Bizzy is known as a B2B e-commerce that provides complete technology-based procurement services.

This supply chain is also a new evolution of the Warung Pintar business model. Through the Grosir Pintar application, they provide inventory management and logistics services for wholesale owners; makes it easy to connect to the warung channels on the network.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Warung Pintar Dikabarkan Raih Pendanaan Seri B 87 Miliar Rupiah

Warung Pintar dikabarkan telah membukukan pendanaan baru dalam putaran seri B1. Menurut sumber informasi yang kami peroleh, nilainya mencapai $6 juta atau setara 87 miliar Rupiah. Adapun investor yang memimpin putaran ini adalah East Ventures, didukung Vertex Ventures. Keduanya juga merupakan investor lama Warung Pintar.

Kami telah menghubungi pihak terkait, namun sampai berita ini terbit belum mendapatkan balasan.

Investasi baru ini membawa valuasi Warung Pintar di angka [est]  $169 juta. Ini sekaligus melanjutkan perolehan perusahaan pada tahun 2019 lalu dalam putaran seri A.

Sebelumnya, selain dua pemodal ventura tersebut, Warung Pintar turut didukung sejumlah investor termasuk EV Growth, Agaeti Venture (sekarang AC Ventures), LINE Ventures, SMDV, Pavilion Capital, Triputra Group, Digital Garage, OVO Fund, dan angel investor.

Dalam wawancara bersama DailySocial akhir Mei 2021 lalu, Co-Founder & CEO Warung Pintar Agung Bezharie mengatakan bahwa misi perusahaannya adalah menghadirkan solusi yang paling lengkap dalam ekosistem bisnis warung. Ini termasuk solusi untuk pemilik warung, pedagang grosir, distributor kecil hingga besar, dan juga para pemilik brand.

“Kami mendigitalkan dan mengintegrasikan setiap stakeholder dengan sistem supply chain kami sehingga menciptakan transparansi dan efisiensi yang lebih baik,” ujarnya.

Awal tahun ini Warung Pintar juga mengumumkan akuisisinya terhadap Bizzy senilai $45 juta. Kendati tetap menjadi entitas bisnis terpisah, akuisisi ini memungkinkan Warung Pintar mendapatkan akses ke kanal baru di jaringan Bizzy, termasuk pedagang grosir, distributor, hingga brand/manufacturer.

Diketahui sebelumnya Bizzy merupakan e-commerce B2B yang memberikan layanan procurement lengkap berbasis teknologi.

Supply chain ini juga menjadi evolusi baru dari model bisnis Warung Pintar. Lewat aplikasi Grosir Pintar, mereka menyediakan layanan manajemen inventaris dan logistik bagi pemilik grosir; memudahkan terhubung dengan kanal-kanal warung di jaringannya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Perkuat Komitmen Melayani Pedagang Ritel, Ula Fokus pada Proposisi Nilai

Platform e-commerce B2B yang fokus pada manajemen stok barang, Ula, terus memperkuat komitmennya untuk mendukung para pelaku ritel tradisional (termasuk warung) di Indonesia dalam mengoperasikan bisnis dengan bantuan teknologi. Ula membagikan strategi dan pendekatan yang dilakukan dalam menjangkau dan memastikan kebutuhan stok para pelaku ritel di tengah tingginya purchasing intention masyarakat Indonesia.

Hingga saat ini, perusahaan berhasil mencapai pertumbuhan bisnis sebesar 100x dalam hal volume dengan lebih dari 25 ribu toko telah tergabung dalam platform. Mengawali bisnis dengan 4 pendiri, timnya kini telah berkembang menjadi 200+ kolega yang tersebar di Indonesia, Singapura, dan India.

“Salah satu misi kami ketika merancang Ula adalah agar para pemilik warung dapat melakukan pemantauan ketika proses pengiriman. Kesejahteraan mereka berkaitan erat dengan toko yang mereka jalankan [..] Proses pengiriman kami adalah dua hari dan ini memberikan dampak yang sangat positif bagi peritel kecil,” ujar COO Ula Riky Tenggara.

Aplikasi Ula memungkinkan pelanggan untuk memesan berbagai macam produk dan mengirimkannya langsung ke toko mereka. Dengan konsep yang sederhana, Ula mencoba fokus pada kebutuhan pelanggan daripada menambahkan fitur yang tidak perlu, untuk memastikan pengalaman terbaik. Selain itu, aplikasi ini diklaim lebih ringan dan cocok untuk lingkungan koneksi rendah yang digunakan pelanggan kami dan untuk perangkat paling dasar, serta memastikan tidak memakan terlalu banyak ruang di ponsel mereka.

“Terakhir, kami telah banyak berfokus pada pengalaman pelanggan; banyak pelanggan kami tidak terbiasa dengan belanja online dan kami memastikan bahwa mereka merasa nyaman membeli secara online melalui aplikasi kami untuk pertama kalinya dan bahwa antarmukanya ramah dan intuitif sehingga mereka dapat dengan mudah melihat manfaat dari persediaan melalui itu,” imbuh CCO Ula Derry Sakti dalam wawancara terpisah dengan DailySocial.

Dari sisi e-commerce, Covid-19 telah memaksa banyak bisnis, baik startup maupun tradisional, untuk melakukan konsolidasi atau fokus pada segmen intinya. Meskipun terasa berat dalam jangka pendek, ini membantu ekosistem menjadi matang secara keseluruhan sehingga para pemain bisa fokus pada kesejahteraan pelanggan. Dalam jangka panjang, itulah satu-satunya cara yang dirasa Ula tepat untuk membangun bisnis yang berkelanjutan.

“Kelekatan adalah fungsi proposisi nilai. Bagi kami, itu berarti bekerja mundur dari kebutuhan pelanggan,” tambah Derry.

Dan fokus ini akan menjadi sangat penting, karena pengecer kecil akan terus menjadi pilar perekonomian Indonesia. Pemulihan ekonomi mereka akan memainkan peran besar dalam pemulihan negara pasca pandemi. Indonesia adalah negara yang sangat berwirausaha, dan kami merasa terhormat dapat mendukung para pengusaha kecil ini – karena mereka dapat meningkatkan profitabilitas, mengembangkan bisnis, dan memperluas produk yang ditawarkan.

Rencana ke depan

Memasuki tahun ke-2 beroperasi di Indonesia, Ula menyadari pentingnya memahami dinamika kondisi pasar, termasuk kepada dampak dari momentum-momentum spesial seperti hari raya. Saat ini, Ula telah beroperasi di beberapa daerah di Indonesia termasuk kawasan Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat;. Dimulai dengan fokus kepada penyediaan produk “kebutuhan harian” konsumen seperti FMCG dan kebutuhan pokok rumah tangga Indonesia, Ula berencana untuk berkembang di seluruh kategori lainnya, menyesuaikan dengan kebutuhan warung secara spesifik.

Ketika disinggung terkait pasar Jabodetabek, pihaknya menyebutkan bahwa wilayah tersebut ada dalam peta jalur ekspansi. Namun, mereka memilih untuk tidak memulai dari sana karena melihat kebutuhan pelanggan yang lebih mendesak di bagian lain Jawa di mana akses ke pilihan, layanan, dan harga terbaik masih kurang.

“Untuk saat ini prioritas kami adalah untuk terus membangun kepercayaan pelanggan di manapun kami berada dan ketika kami merasa memiliki proposisi nilai terbaik untuk pelanggan di Jabodetabek, kami akan masuk ke sana juga,” tambahnya.

Terkait rencana ke depan, Ula ingin terus tumbuh secara geografis di seluruh Indonesia, secara horizontal di seluruh kategori. Dengan menggunakan platform untuk menawarkan lebih banyak produk dan layanan serta fokus memberikan layanan terbaik pada pelanggan. Selain itu, pihaknya masih akan merekrut bakat terbaik di ketiga wilayah geografi mereka.

Hingga saat ini, Ula telah menerima pendanaan dengan total sebesar $30,5 juta sejak awal didirikan. Investor yang terlibat dalam pendanaan Ula termasuk Lightspeed India, Sequoia India, B Capital Group, Quona Capital, Saison Capital, SMDV, Alter.

Application Information Will Show Up Here

A Battle to Embrace Micro, Small and Medium Enterprises

With its high contribution to the Gross Domestic Product reaching more than 57,8%, the Micro, Small and Medium Enterprises (MSME) sector not only contributes to the economy, but is also capable to gather majority of Indonesian workforce (Central Statistics Agency/BPS, 2018). However, the perks of having technology is not quite inclusive in this segment.

“Since it was founded, Youtap’s vision is to provide and empower all lines of business, from the enterprise level to MSMEs to achieve their best through digital development. MSMEs have become one focus in developing our all-in-one solutions as Youtap spots a great potential in this sector,” Youtap Indonesia’s CEO, Herman Suharto said.

Meanwhile, according to BukuWarung’s Co-Founder & President, Chinmay Chauhan, MSMEs are not only an economic source, but also important for local communities, especially those who live in rural areas. BukuWarung has formed partnerships with more than 5 million businesses in 750 locations. Most of them function as a place for people to shop for daily necessities and to interact with neighbors.

“The major operational challenge for microbusinesses is their reliance on manual processes for bookkeeping and repayment with customers. We estimate that less than 10% of microbusinesses use any type of digital device to manage their business or accounting.”

From this case, technology companies are trying to play an important role in supporting efforts to digitize MSMEs in Indonesia. Chinmay recommends that they rather focus on how their day-to-day operations, than too focus on innovation and disruption, such as bookkeeping, stock fulfillment and receiving payments, can be made easier and more efficient.

BukuKas’ Co-Founder & CEO, Krishnan Menon learned from his living experience and working in Indonesia, MSMEs are the bread and butter of this country. However, not many technology companies have focused on the needs of this segment. He said to DailySocial that his business is positioned as a digitalization software company for MSMEs that will develop into a fintech player.

“Merchants have realized that going digital is very important for their business. Traders save 2-4 hours a day, 20% costs, and minimize manual calculation errors. We also allow merchants to recover their debt 3 times faster since it’s all automatic.”

Accelerating adoption

In the Social Impact 2020 report released by Bukalapak, MSMEs throughout Indonesia is said to face enormous challenges during the pandemic. Bukalapak is trying to turn this challenge into an opportunity. As the pandemic limits movement, they empower MSMEs capable of offering a wide range of services, from selling groceries and basic necessities, also offering remittances, bill payments and various financial services and other virtual products.

This step allows public to get services from conventional stores registered as Bukalapak’s partners. Until 2020, Bukalapak had added around 4 million Bukalapak vendors and partners. Overall, there are currently 6.5 million sellers (pelapak) and 7 million Bukalapak partners throughout Indonesia.

The pandemic has fasten target users’ acceleration and digital adoption. Chinmay said, MSME’s traditional socioeconomic role in Indonesia is fundamental. Indonesia’s economic potential, which currently experiencing a rapid digitalization during the pandemic, cannot be fully realized if small companies do not immediately taking part in the digital transformation.

“Indonesia is now doubling down on digitizing its companies to be more productive and competitive amid this economic recovery, focusing on a largely underbanked segment such as MSMEs. This is a commendable task but also a monumental one, as there are around 60 million similar businesses throughout the 6,000 islands in the country,” Chinmay said.

One way to focus on accelerating adoption is providing education. Each platform also strives to provide the features users need with easy-to-use technology.

“It is undeniable that the education is easier to do in Jakarta, compared to small cities outside Jabodetabek. In order to provide education easily and inclusively, it is important for players to build simple products to be easily used by traders,” Krishnan said.

With its unique characteristics, the Indonesian market does need a special touch. This is also said by BukuKas team. In order to reach users in small cities, they present an offline mode feature with automatic synchronization when the user is successfully connected to the internet network.

Meanwhile, Youtap sees the benefits of digital technology in helping business players maintain their operational during a pandemic. They are using technology services to increase their sales.

“However, to date, technological adaptation is still not very inclusive in various regions in Indonesia. In fact, if they can adapt, their business can move forward thanks to the ability and fluency of the advanced technology,” said Herman.

SME market potential

Based on BPS data in 2018, the MSME sector is still one of the biggest drivers of the economy at 64.2 million. However, only 16% (Ministry of Cooperatives and MSMEs, December 2020) have been connected to the digital ecosystem.

“Through the large number, the MSME market holds many great opportunities to maximize digital use in its business. Not only limited to business management, but also many other aspects such as marketing, financial management and digital payments, especially with the standardization of QR payments by the Government,” Herman said.

In order to provide the best services and products, BukuKas performs several strategies. One of them is to focus on seeing what their pain points look like and building the solutions required.

“We have the best team with an innovative product culture and DNA that no other player in the market has. This becomes our core strength. We remain focused on traders rather than worrying about competition,” Krishnan said.

BukuWarung claims to be the only player who makes money through payments. In this case, they see the payment adoption as a strategic driver to enable monetization through credit, savings and other financial services at a later stage of the merchant’s business cycle.

“Our focus is more on an in-depth understanding of our merchants to help us stay ahead, it’s proven by how our products and features have become the standard for other players,” Chinmay said.

Meanwhile, Bukalapak still has a vision to build the economy through MSMEs. Starting as a marketplace, Bukalapak has grown into a trading platform serving both online and offline markets.

“In 2016, to ensure that there are no MSMEs left behind, we started to provide solutions to serve the needs of the offline market including stalls, traditional kiosks and individual agents, enabling them to sell beyond FMCG goods,” Bukalapak’s CEO, Rachmat Kaimuddin said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Berlomba Merangkul Pasar Usaha Mikro Kecil dan Menengah

Dengan kontribusinya yang tinggi, mencapai lebih dari 57,8% Pendapatan Domestik Bruto, sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) tidak hanya memberikan sumbangsih ekonomi, namun juga mampu mayoritas tenaga kerja di Indonesia (Badan Pusat Statistik / BPS, 2018). Meskipun demikian, manfaat teknologi belum terlalu dirasakan sebagian besar segmen ini.

“Sejak awal, Youtap memiliki visi untuk dapat hadir dan memberdayakan semua lini bisnis, mulai dari level enterprise hingga UMKM untuk mencapai pencapaian terbaik mereka melalui perkembangan digital. UMKM menjadi salah satu fokus dalam mengembangkan solusi serba bisa kami karena Youtap melihat potensi besar di sektor ini,” kata CEO Youtap Indonesia Herman Suharto.

Sementara menurut Co-Founder & Presiden BukuWarung Chinmay Chauhan, UMKM tidak hanya menjadi sumber ekonomi, tetapi juga penting bagi masyarakat lokal, terutama mereka yang tinggal di pedesaan. BukuWarung mencatat saat ini telah menjalin kemitraan dengan lebih dari 5 juta bisnis di 750 lokasi. Kebanyakan di antaranya berfungsi sebagai tempat orang berbelanja kebutuhan sehari-hari dan tempat mereka berinteraksi dengan tetangga.

“Tantangan operasional utama bagi bisnis mikro adalah ketergantungan mereka pada proses manual untuk melakukan pembukuan dan pembayaran kembali dengan pelanggan. Kami memperkirakan bahwa kurang dari 10% bisnis mikro menggunakan segala jenis perangkat digital untuk mengelola bisnis atau akunting mereka.”

Berangkat dari persoalan tersebut, perusahaan teknologi mencoba memainkan peran penting dalam mendukung upaya digitalisasi UMKM di Indonesia. Cara yang direkomendasikan Chinmay adalah tidak terlalu fokus ke inovasi dan disrupsi, tetapi lebih pada bagaimana operasional sehari-hari mereka, seperti pembukuan, pemenuhan stok dan penerimaan pembayaran dapat menjadi lebih mudah dan efisien.

Menurut Co-Founder & CEO BukuKas Krishnan Menon, belajar dari pengalamannya tinggal dan bekerja di Indonesia, UMKM merupakan tulang punggung bagi Indonesia. Meskipun demikian, belum banyak perusahaan teknologi yang fokus ke kebutuhan segmen ini. Kepada DailySocial, ia menyampaikan bahwa bisnisnya diposisikan sebagai perusahaan perangkat lunak digitalisasi UMKM yang akan berkembang menjadi pemain fintech.

“Para pedagang telah menyadari bahwa go digital sangat penting bagi bisnis mereka. Pedagang menghemat waktu 2-4 jam sehari, 20% biaya, dan meminimalisir kesalahan perhitungan manual. Kami juga memungkinkan pedagang untuk memulihkan kasbon 3 kali lebih cepat karena prosesnya otomatis.”

Mempercepat adopsi

Dalam laporan Social Impact 2020 yang dirilis Bukalapak disebutkan, UMKM di seluruh Indonesia menghadapi tantangan yang sangat besar saat pandemi. Bukalapak mencoba mengubah tantangan ini menjadi peluang. Karena pandemi membatasi pergerakan, mereka memberdayakan UMKM yang mampu menawarkan berbagai layanan, mulai dari menjual bahan makanan dan kebutuhan dasar hingga menawarkan pengiriman uang, tagihan pembayaran dan berbagai layanan keuangan dan produk virtual lainnya.

Langkah tersebut memungkinkan masyarakat umum untuk mendapatkan layanan dari toko konvensional yang juga merupakan mitra Bukalapak. Hingga tahun 2020 lalu, Bukalapak telah menambah sekitar 4 juta pelapak dan mitra Bukalapak. Secara keseluruhan saat ini terdapat 6,5 juta pelapak dan 7 juta mitra Bukalapak yang tersebar di seluruh Indonesia.

Pandemi juga telah mempercepat akselerasi dan adopsi digital target pengguna. Menurut Chinmay, peran sosioekonomi tradisional UMKM di Indonesia tidak dapat dihiraukan keberadaannya. Indonesia, yang saat ini sedang mengalami digitalisasi sangat cepat selama pandemi, potensi ekonominya tidak dapat sepenuhnya direalisasikan jika perusahaan kecil tidak segera  melakukan transformasi digital.

“Indonesia kini menggandakan digitalisasi perusahaannya agar lebih produktif dan kompetitif di tengah pemulihan ekonomi, dengan fokus kepada segmen yang sebagian besar belum tersentuh seperti UMKM. Ini adalah tugas yang patut dipuji tetapi juga tugas yang monumental, karena ada sekitar 60 juta bisnis serupa yang tersebar di 6.000 pulau,” kata Chinmay.

Salah satu cara yang menjadi fokus untuk mempercepat adopsi memberikan edukasi. Masing-masing platform juga berupaya menghadirkan fitur yang dibutuhkan pengguna dengan teknologi yang mudah digunakan.

“Tidak dapat dipungkiri edukasi yang dilakukan di Jakarta, dibandingkan dengan kota-kota kecil di luar Jabodetabek, menjadi lebih mudah dilakukan. Untuk bisa melakukan edukasi secara mudah dan tentunya lebih merata, penting bagi para pemain untuk kemudian membangun produk yang sederhana yang dapat digunakan dengan mudah oleh pedagang,” kata Krishnan.

Dengan karakteristik unik, pasar Indonesia memang perlu sentuhan khusus. Hal tersebut yang juga dipercayai tim BukuKas. Untuk dapat menjangkau pengguna di kota-kota kecil, mereka menghadirkan fitur mode offline dengan sinkronisasi otomatis ketika pengguna berhasil terkoneksi ke jaringan internet.

Sementara Youtap melihat manfaat teknologi digital dalam membantu pelaku bisnis mempertahankan usahanya di masa pandemi. Para pemilik usaha secara beramai-ramai menggunakan layanan teknologi untuk meningkatkan penjualan mereka.

“Namun adaptasi teknologi hingga saat ini masih belum merata diterapkan di berbagai wilayah di Indonesia. Padahal jika mampu beradaptasi, usaha mereka dapat melangkah lebih maju berkat kemampuan dan kefasihan teknologi yang sudah berkembang,” kata Herman.

Potensi pasar UMKM

Berdasarkan data BPS di tahun 2018, sektor UMKM masih menjadi salah satu penggerak roda perekonomian terbesar, dengan angka sebesar 64,2 juta. Meskipun demikian, tercatat baru sekitar 16% (Kementerian Koperasi dan UMKM, Desember 2020) yang sudah terhubung dengan ekosistem digital.

“Melihat besarnya angka ini, kami melihat bahwa pasar UMKM masih memiliki banyak peluang besar untuk lebih memaksimalkan penggunaan digital dalam usahanya. Tidak terbatas hanya untuk pengelolaan usaha saja, tapi juga banyak aspek-aspek lain yang bisa dikembangkan seperti pemasaran, pengelolaan keuangan dan pembayaran digital, terutama dengan adanya standarisasi pembayaran QR yang dilakukan Pemerintah,” kata Herman.

Untuk bisa memberikan layanan dan produk terbaik, BukuKas memiliki beberapa strategi. Salah satunya adalah fokus melihat seperti apa pain point mereka dan membangun solusi yang dibutuhkan.

“Kami memiliki tim terbaik dengan budaya produk inovatif dan DNA yang tidak dimiliki pemain lain di pasar. Inilah yang kemudian menjadi kekuatan inti kami. Kami tetap fokus pada pedagang daripada mengkhawatirkan persaingan,” kata Krishnan.

BukuWarung mengklaim satu-satunya pemain yang menghasilkan uang melalui pembayaran. Dalam hal ini mereka melihat, adopsi pembayaran sebagai pendorong strategis untuk memungkinkan monetisasi melalui kredit, tabungan, dan layanan keuangan lainnya pada tahap selanjutnya dari siklus bisnis pedagang.

“Fokus kami adalah lebih kepada pemahaman mendalam tentang pedagang kami agar membantu membantu kami tetap terdepan, terbukti dari bagaimana produk dan fitur kami telah menjadi standar untuk pemain lain,” kata Chinmay.

Sementara bagi Bukalapak, perusahaan masih bervisi membangun ekonomi melalui UMKM. Dimulai sebagai marketplace, saat ini Bukalapak telah tumbuh menjadi platform perdagangan yang melayani pasar online dan offline.

“Untuk memastikan tidak ada UMKM tertinggal, pada tahun 2016 kami mulai memberikan solusi untuk melayani kebutuhan pasar offline meliputi warung, kios tradisional dan perorangan agen, memungkinkan mereka untuk menjual di luar barang FMCG,” kata CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin.

BukuWarung Scores New Funding; Officially Launches Tokoko App

BukuWarung, a fintech startup providing an app for digitizing MSMEs today (03/2) announced the acquisition of new funding from Rocketship.vc. Participated also in this round some retail companies in Indonesia and angel investors – undisclosed. Although the value was not announced, the current nominal is said to be greater than the previous rounds.

Previously, after the demo day of Y Combinator accelerator programs in September 2020, BukuWarung has received funding from some investors, including Partners of DST Global, GMO Venture Partners, Soma Capital, HOF Capital, VentureSouq, and other angel investors.

BukuWarung plans to use the investment fund to expand its technology and product teams in Indonesia, India, and Singapore, therefore, the company can launch more products and features to digitize MSMEs in Indonesia. This year, the company aims to launch monetizing products such as credit and expand payment solution features.

Was founded in 2019, BukuWarung has reached 3.5 million users from MSME. They are living across 750 cities and countries in Indonesia, with the majority located in tier 2 and 3 regions. With the user base, they have booked over $15 billion worth of transactions on their platform and have processed over $500 million in payments, claiming to be the market leader in terms of volume.

They recently launched Tokoko, a platform that allows merchants to open their online shop. MSME players can list their products, manage orders, receive payments, track goods delivery, and talk to customers. Previously, they’ve had strategic partnerships with Warung Pintar – both of which are East Ventures portfolios.

“Unlike other players, we have now achieved revenue through payment solutions. However, we are placing payments as a way for monetizing opportunities through other financial services as merchant adoption grows. This year, we’re focus is to expand the offering of payment solutions and ways of using them. [use cases] for traders,” BukuWarung’s Co-Founder & President, Chinmay Chauhan said.

Currently, there are several startups to develop similar services in Indonesia. From our previous article, we list several players who are currently penetrating the market, including:

Application Rank (business category) Downloaded
BukuKas 3 1M+
BukuWarung 6 1M+
Credibook 46 100K+
Akuntansi UKM 84 100K+
Moodah 121 10K+
Lababook 184 1K+
Teman bisnis 254 100K+
Akuntansiku 309 1K+

BukuWarung’s closest competitor is BukuKas. They recently announced the Series A funding worth 142 billion Rupiah last January. BukuKas is said to reached 3.5 million users with 1.8 million active monthly users.

BukuKas BukuWarung
Seed Investors Surge, 500 Startups, Credit Saison, dan angel investors East Ventures, AC Ventures, Golden Gate Ventures, Tanglin Venture Partners, dan angel investors
Pre-Series A Investor Surge, Credit Saison, Speedinvest, S7V, January Capital, dan Cambium Grove Capital, Prasetia Dwidharma Quona Capital, East Ventures, AC Ventures, Golden Gate Ventures, Tanglin Venture Partners, Partners of DST Global, GMO Venture Partners, Soma Capital, HOF Capital, VentureSouq, angel investors
Series A Sequoia Capital India, Saison Capital, January Capital, Founderbank Capital, Cambium Grove, Endeavor Catalyst, Amrish Rau Rocketship.vc, perusahaan ritel Indonesia, angel investors
Accelerator Surge (Sequoia) Y Combinator


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

BukuWarung Umumkan Pendanaan Baru; Luncurkan Aplikasi Tokoko

BukuWarung, startup penyedia aplikasi pencatatan keuangan untuk UMKM hari ini (03/2) mengumumkan perolehan pendanaan baru dari Rocketship.vc. Turut terlibat dalam putaran tersebut beberapa perusahaan ritel di Indonesia dan angel investor — tidak disebutkan detail namanya. Kendati tidak diumumkan nilainya, mereka mengatakan bahwa dana yang berhasil dihimpun lebih besar dibandingkan dengan putaran sebelumnya.

Sebelumnya, selepas demo day dalam rangkaian program akselerator Y Combinator pada September 2020 lalu, BukuWarung juga baru mendapatkan pendanaan dari sejumlah investor, meliputi  Partners of DST Global, GMO Venture Partners, Soma Capital, HOF Capital, VentureSouq, dan belasan angel investor.

BukuWarung berencana menggunakan dana investasi tersebut untuk memperbesar tim teknologi dan produk mereka di Indonesia, India, dan Singapura sehingga perusahaan bisa meluncurkan lebih banyak produk dan fitur untuk mendigitalisasi UMKM di Indonesia. Tahun ini, perusahaan juga berencana meluncurkan produk monetisasi seperti kredit dan memperluas fitur solusi pembayaran.

Didirikan sejak tahun 2019, BukuWarung telah berhasil merangkul 3,5 juta pengguna dari kalangan pedagang kecil. Mereka tersebar di 750 kota dan kabupaten di Indonesia, dengan mayoritas berlokasi di wilayah tier 2 dan 3. Dengan basis penggunanya, mereka telah mencatat transaksi senilai lebih dari $15 miliar di platformnya dan telah memproses lebih dari $500 juta pembayaran, mengklaim memimpin pasar dalam hal volume.

Belum lama ini mereka juga meluncurkan Tokoko, platform memungkinkan pedagang bisa membuka toko daring mereka. UMKM bisa mencantumkan daftar produknya, mengelola pesanan, menerima pembayaran, melacak pengantaran barang, dan berbicara dengan pelanggan. Sebelumnya mereka juga telah membangun kemitraan strategis dengan Warung Pintar – keduanya merupakan portofolio East Ventures.

“Berbeda dengan pemain lain, kini kami telah meraih pendapatan melalui solusi pembayaran. Namun, kami juga menempatkan pembayaran sebagai cara untuk masuk ke peluang monetisasi lewat layanan finansial lain seiring dengan perkembangan adopsi pedagang. Fokus kami tahun ini adalah memperbanyak penawaran solusi pembayaran dan cara penggunaan [use cases] bagi para pedagang,” kata Co-Founder & Presiden BukuWarung Chinmay Chauhan.

Saat ini di Indonesia sudah ada beberapa startup pengembang layanan serupa. Dari artikel analisis kami sebelumnya, didaftar beberapa pemain yang saat ini tengah melakukan penetrasi pasar, meliputi:

Aplikasi Peringkat (kategori bisnis) Jumlah Unduhan
BukuKas 3 1 juta+
BukuWarung 6 1 juta+
Credibook 46 100 ribu+
Akuntansi UKM 84 100 ribu+
Moodah 121 10 ribu+
Lababook 184 1 ribu+
Teman bisnis 254 100 ribu+
Akuntansiku 309 1 ribu+

Pesaing terdekat BukuWarung adalah BukuKas. Januari 2021 lalu, mereka baru umumkan perolehan dana seri A senilai 142 miliar Rupiah. BukuKas juga mengklaim telah memiliki 3,5 juta pengguna aplikasi dengan 1,8 juta pengguna bulanan aktif.

BukuKas BukuWarung
Seed Investors Surge, 500 Startups, Credit Saison, dan angel investors East Ventures, AC Ventures, Golden Gate Ventures, Tanglin Venture Partners, dan angel investors
Pre-Series A Investor Surge, Credit Saison, Speedinvest, S7V, January Capital, dan Cambium Grove Capital, Prasetia Dwidharma Quona Capital, East Ventures, AC Ventures, Golden Gate Ventures, Tanglin Venture Partners, Partners of DST Global, GMO Venture Partners, Soma Capital, HOF Capital, VentureSouq, angel investors
Seri A Sequoia Capital India, Saison Capital, January Capital, Founderbank Capital, Cambium Grove, Endeavor Catalyst, Amrish Rau Rocketship.vc, perusahaan ritel Indonesia, angel investors
Accelerator Surge (Sequoia) Y Combinator
Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Ula Announces Series A Funding Round Worth of 282 Billion Rupiah

A technology startup for traditional retail digitization, Ula comes up with $20 million (over 282 billion Rupiah) Series A funding led by Quona Capital and B Capital Group. Participated also Sequoia Capital India and Lightspeed India as the previous investors.

The company aims to expand its team and location through this funding, therefore, more small retailers can be digitized through Ula technology. In addition, Ula will expand the product category to fashion and electronics, and reaching out to retailers selling FMCG and vegetable products.

Ula has closed $10 million in seed funding in June last year. This round involved SMDV, Quona Capital, Saison Capital, and Alter Global. Several angel investors also participated, including Patrick Walujo, Willy Arifin, Sujeet Kumar, Vaibhav Gupta, Amod Malviya, Rohan Monga, and Rahul Mehta.

Quoting from TechCrunch, Quona Capital Managing Partner Ganesh Rengaswamy said, “If you look at the entire retail value chain, especially essential products, such as FMCG, staples and fresh products, it is very fragmented. In fact, the market has developed in terms of consolidation, demand, and supply in a more efficient way.”

He continued, “Ula is trying to repeat the retail distribution ecosystem with a significant technology overlay. Ula connects some of the biggest players on the supply side to the smallest retailers and consumers.”

Ula provides working capital for micro-retailers, who usually operate in small shops on their home page. This way, they don’t have to wait for payment by customers to restock. The company recognizes that this is a serious challenge for micro-retailers in Asia.

These micro-business owners generally have strong bonds with their customers, they often selling goods without upfront payment. Meanwhile, collecting these payments often takes longer than expected.

“Frictionless payments and offering credit to retailers for more efficient cash flow management is an essential component of modern digital commerce,” Rengaswamy said.

Ula was founded by former Indian Flipkart officials Nipun Mehra, and Derry Sakti, who started his career at P&G in Indonesia, in January 2020. Mehra said that most of the Indonesian retail market is unorganized, similar to India.

In the vegetable category, for example, farmers often sell to middlemen, then arrived in the market. “From the market, supplies go to small wholesalers and so on. There are many players in this chain,” he said.

Over the past year, the company is claimed to serve more than 20 thousand stores. Ula first operated in Surabaya and expanding its presence quickly throughout East Java and Semarang.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here