Microsoft xCloud Tiba di iOS, Dengan Sejumlah Keterbatasan

Sempat di-tease di E3 2018, Microsoft baru mengumumkan Project xCloud secara resmi di bulan Oktober 2018. Lima bulan setelahnya, perusahaan mendemonstrasikan kemampuan layanan cloud gaming mereka itu dengan menjalankan Forza Horizon 4 di smartphone Android sembari memanfaatkan controller Xbox One. Tahap uji coba publik dimulai tak lama sesudahnya – sebelum Stadia meluncur.

Dan di pertengahan minggu ini, raksasa teknologi asal Redmond itu akhirnya mengekspansi akses xCloud ke perangkat Apple. Versi beta xCloud dirilis melalui TestFlight, memperkenankan pengguna untuk menjajalnya dari iPhone ataupun iPad. Hal ini sangat menarik karena xCloud menjadi salah satu layanan cloud gaming pihak ketiga pertama yang tersedia di iOS, mendahului Stadia dan GeForce Now. Dahulu OnLive sempat dijadwalkan buat meluncur di iOS, tapi sayang Apple tak pernah menyetujuinya.

Pendaratan xCloud di iDevice merupakan kabar gembira bagi pengguna, namun peraturan Apple mengakibatkan adanya cukup banyak restriksi. Contohnya, program preview saat ini hanya bisa diikuti oleh user di kawasan Amerika Serikat, Inggris Raya dan Kanada saja. Lalu, cuma ada satu game yang dapat dijajal, yaitu Halo: The Master Chief Collection dan fitur Xbox Console Streaming belum bisa digunakan. Selanjutnya, Microsoft membatasi jumlah tester sebanyak maksimal 10.000 orang.

Director of programming Larry ‘Major Nelson’ Hryb menjelaskan bahwa karena Microsoft berusaha mematuhi kebijakan Apple, tampilan dan pengalaman penggunaan xCloud di iOS berbeda dari Android. Gerbang pendaftaran sudah dibuka, tapi pembagian tiket ke program ini sepenuhnya merupakan keputusan Microsoft, bergantung dari apakah masih ada slot tersedia. Jika developer menyetujuinya, pengguna iDevice akan diberi tahu lewat email.

Untuk berpartisipasi, ada sejumlah kebutuhan teknis yang mesti terpenuhi. Anda harus punya gamertag Xbox, unit controller wireless Xbox One, dukungan internet via Wi-Fi atau data seluler berkecepatan minimal 10Mbps. Jika menggunakan Wi-Fi, Anda disarankan untuk memakai frekuensi 5GHz. Dan terakhir, pastikan perangkat iOS Anda berjalan di iOS versi 13.0 atau yang lebih baru serta menunjang koneksi Bluetooth 4.0.

Walaupun cloud gaming merupakan hal yang cukup baru di iOS, Apple sebetulnya sudah memperkenankan sejumlah layanan game stream third-party  dirilis di platform-nya, misalnya aplikasi Steam Link, Remotr dan Rainway. Namun game stream tak sama seperti cloud gaming tulen, karena layanan ini tetap membutuhkan sistem gaming utama (seperti PC di rumah) buat menjalankan permainan.

Cara kerja Microsoft Project xCloud lebih menyerupai Shadow – yang juga telah tersaji di iOS. Tetapi seperti GeForce Now, Shadow mewajibkan kita buat mempunyai game-nya terlebih dulu, sedangkan xCloud menyuguhkan katalog permainan Xbox dan rencananya akan terintegrasi ke console next-gen Microsoft.

Via The Verge.

Microsoft Tak Lagi Anggap Sony dan Nintendo Sebagai Kompetitor Utama?

Ranah console gaming selalu diasosiasikan dengan tiga brand besar yang sejak dulu berkompetisi ketat: Microsoft Xbox, Sony PlayStation, dan Nintendo. Namun industri gaming terus berubah. Kehadiran sejumlah teknologi baru mentransformasi metode penyajian konten, dan kita tahu bukan hanya nama-nama itu yang menunjukkan ketertarikannya terhadap gaming. Raksasa seperti Google dan Apple juga sudah lama berupaya mempenetrasinya.

Peluncuran PlayStation 5 dan Xbox next-gen yang rencananya dilangsungkan di akhir tahun ini diestimasi akan kembali memperpanas ‘perang console‘ – yang telah berlansung selama beberapa dekade. Namun menariknya, Microsoft mengaku bahwa mereka tak lagi melihat Sony Interactive Entertainment serta Nintendo sebagai kompetitor. Bagi perusahaan asal Redmond itu, Amazon dan Google lebih memberi ‘ancaman’ ketimbang rival-rival lamanya.

Via Protocol.com, bos Xbox Phil Spencer menjelaskan alasan mengapa Sony dan Nintendo bukan lagi rival mereka ialah karena kedua brand tersebut tidak memiliki infrastruktur cloud top-end yang dapat menyaingi platform Microsoft Azure. Dalam menyajikan console baru nanti, Sony diestimasi masih mengandalkan konten eksklusif – begitu pula Nintendo. Sedangkan Xbox generasi keempat akan terintegrasi dengan teknologi xCloud.

Project xCloud ialah layanan cloud gaming yang tengah Microsoft godok, telah memasuki tahap uji coba ‘rumahan’ sejak bulan Mei 2019 lalu. Layanan ini ditunjang oleh tidak kurang dari 54 data center Azure yang tersebar di 140 negara, dirancang agar dapat diakses secara optimal dari smartphone. Game-game-nya bisa dikendalikan langsung via layar sentuh maupun controller Xbox lewat Bluetooth. Dan dibandingkan Stadia, xCloud juga memiliki koleksi permainan lebih banyak.

“Ketika membahas Sony dan Nintendo, kami sangat menghormati brand-brand ini, namun buat sekarang kami melihat Amazon dan Google sebagai kompetitor utama,” tutur Spencer. “Tanpa mengurangi hormat kepada Nintendo serta Sony, perusahaan-perusahaan gaming tradisional berada di posisi yang kurang menguntungkan. Mereka bisa saja mencoba membangun infrastruktur seperti Azure, tetapi selama beberapa tahun ini kami telah berinvestasi miliaran dolar di cloud.”

Selain itu, Microsoft menyadari bahwa ketika perusahaan seperti Nintendo dan Sony memfokuskan produk mereka untuk gamer dan fans, Amazon serta Google berupaya menggaet tujuh miliar di dunia buat jadi gamer. Menurut Microsoft, inilah tujuan sesungguhnya dari layanan gaming.

Mungkin Anda juga tahu, Microsoft tak lagi berupaya menyuguhkan game atau konten eksklusif. Kini hampir seluruh permainan Xbox One juga tersedia di Windows 10, dan Microsoft merupakan salah satu produsen console pertama yang mengusahakan agar agar gamer di sistem berbeda bisa bermain bersama melalui cross-platform play. Sedangkan Sony awalnya malah enggan mengadopsi fitur ini.

Bos Xbox: Cloud Gaming Tak Bisa Dihindari, Tapi Belum Dapat Menggantikan Console

Secara teori, metode streaming yang diusung cloud gaming memungkinkan orang menikmati permainan kapan pun menggunakan perangkat apapun yang bisa mengakses internet. Inilah penawaran utama layanan-layanan seperti Google Stadia dan Shadow, hingga platform-platform lokal semisal Skyegrid dan gameQoo. Terkait hal ini, seorang petinggi Microsoft mengungkap pandangan menarik.

Sudah cukup lama Microsoft mengumbar agenda penggarapan xCloud. Waktu itu, eksistensinya membuat orang bertanya-tanya apakah xCloud akan jadi bagian dari ekosistem Xbox atau disajikan terpisah. Lewat Xbox Wire di bulan Mei kemarin, Microsoft menyingkap secara lebih rinci bagaimana mereka akan menyajikan xCloud – termasuk kesiapannya menyajikan seluruh game Xbox di tiap generasi.

Berbicara pada GameSpot, bos Xbox Phil Spencer mengakui bagaimana industri gaming bergerak ke solusi cloud dan hal tersebut tidak terelakkan. Namun transisi ke arah itu pada dasarnya dipengaruhi oleh gamer, dan Spencer menekankan bahwa hardware khusus gaming kemungkinan tetap masih dibutuhkan di masa depan. Buat sekarang saja, ada begitu banyak perangkat komputasi, dari mulai smartphone, Surface Hub ataupun Xbox; dan mereka diperlukan untuk menikmati cloud gaming.

Spencer juga mencoba mengklarifikasi satu hal: terlepas dari pengembangan xCloud, Microsoft tidak punya niatan untuk menyediakan console/set-top box khusus streaming. Yang mereka lakukan adalah menggarap home console baru ‘secara tradisional’. Dengan menyiapkan dua solusi berbeda itu, konsumen dipersilakan memilih, apakah mereka ingin mengakses game secara streaming via smartphone atau secara lokal/langsung di console.

Arahan gaming on demand sebetulnya merupakan kelanjutan dari strategi baru Microsoft. Sejak beberapa tahun lalu, perusahaan memutuskan agar game Xbox juga bisa dimainkan dari PC ber-Windows 10. Eksklusivitas tampaknya tak lagi jadi prioritas. Spencer menjelaskan bagaimana timnya berupaya buat menghadirkan game di perangkat apapun yang Anda pilih, baik itu PC, Xbox bahkan termasuk produk kompetitor seperti PlayStation.

Sang bos Xbox juga memaparkan singkat kekurangan dan kelebihan dari solusi game stream. Karena mengandalkan koneksi internet, kita tidak mungkin mendapatkan konten 8K 120Hz, namun kualitas xCloud tetap nyaman dan memuaskan. Lalu bahkan jika layanan gaming on demand nantinya dibekali fitur-fitur semisal multiplayer coop dan voice chat, pengalamannya sudah pasti berbeda dari seperti ketika Anda duduk di atas sofa di depan TV.

Tentu saja Phil Spencer sangat percaya diri pada apa yang xCloud bisa sajikan. Layanan ini ditopang oleh data center Azure yang tersebar secara global. Kondisi ini memastikan Microsoft dapat lebih mudah menjangkau konsumen serta mempercepat proses pematangannya.

Berlaga Tanpa Rival Utama, Microsoft Bersinar di E3 2019

2019 merupakan tahun pertama Sony Interactive Entertainment absen dari ajang Electronic Entertainment Expo. Kita tahu sang console maker Jepang tengah menjalankan strategi ‘rahasianya’ sembari mempersiapkan peluncuran console next-generation mereka. Ketiadaan Sony memang memberikan kesempatan besar bagi sang kompetitor utama, Microsoft, untuk mencuri perhatian khalayak.

Dan kabar gembiranya, di E3 2019, perusahaan pemilik Xbox ini sama sekali tidak mengecewakan. Beberapa hal yang diumumkan Microsoft memang sudah diprediksi sebelumnya, misalnya terkait xCloud dan Project Scarlett. Namun ada pula kejutan menyenangkan seperti konfirmasi karya terbaru tim pencipta Dark Souls, serta langkah pengambilalihan strategis. Dalam kesempatan itu, Microsoft memamerkan tidak kurang dari 60 judul game serta jadi medium tempat disingkapnya tanggal rilis Cyberpunk 2077.

Tak sempat menyaksikan presentasi Microsoft? Tak perlu merasa ketinggalan. Saya sudah merangkum segala hal yang publisher umumkan di E3 2019. Silakan simak di sini.

 

Xbox Scarlett

Microsoft belum memberi tahu apa nama resmi dari Scarlett, namun mereka menyingkap rencana peluncuran hardware next-gen tersebut yang jatuh pada ‘musim libur’ tahun 2020. Console ini dijanjikan punya performa empat kali lipat dibanding Xbox One X. Chip-chip AMD custom yang digunakan Scarlett memungkinkannya menghidangkan konten di resolusi 8K, 120-frame per detik, serta refresh rate yang bervariasi.

Dan seperti PlayStation 5, Xbox Scarlett turut dibekali fitur ray tracing dan penyimpanan berbasis SSD – yang dimanfaatkan pula sebagai virtual RAM. Otak dari console ini adalah prosesor AMD Zen 2, lalu ada GPU Radeon berarsitektur RDNA, serta RAM GDDR6. Bos Xbox Phil Spencer sempat menyampaikan bahwa ‘Scarlett ialah console paling bertenaga dan berperforma tercepat yang pernah mereka desain, dan merupakan sebuah lompatan terbesar ke generasi berikutnya’.

Satu hal lagi: Halo: Infinite akan menjadi permainan yang menemani peluncuran Xbox Scarlett.

 

Project xCloud

Akhirnya jelas sudah, layanan xCloud dihidangkan secara terpisah dari Xbox Scarlett dan akan tiba tidak lama lagi. Microsoft tidak banyak menyingkap detail baru mengenainya di E3 2019 tetapi sempat mengabarkan bahwa platform gaming on demand itu dapat mulai diakses ‘dari console‘ mulai bulan Oktober 2019.

 

Elden Ring

Di antara banyak judul-judul permainan menjanjikan yang diungkap di E3 2019, Elden Ring merupakan salah satu yang paling unik. Game ini ialah buah ide dari kolaborasi antara dua individu kreatif ternama: penulis serial A Song of Ice and Fire (Game of Thrones), George R.R. Martin, dan director FromSoftware, Hidetaka Miyazaki. Developer belum memperlihatkan porsi gameplay dari Elden Ring, namun kita bisa melihat sedikit kesamaan tema dengan karya-karya FromSoftware terdahulu.

Selain itu, latar belakang dunia dan penyampaian cerita yang menyimpan banyak pesan tersembunyi juga mungkin segera mengingatkan kita pada Dark Souls. Trailer tersebut diiringi oleh narasi misterius, dan karakter-karakter di sana mengenakan kostum ala seri Souls (salah satunya menyerupai Dragon Slayer Ornstein).

Elden Ring dijadwalkan buat meluncur di PC, Xbox One dan PS4, tapi waktu pastinya pelepasannya belum diketahui.

 

Game baru Ninja Theory

Ninja Theory adalah studio game asal Inggris yang terkenal dengan kreasi-kreasi unik seperti Heavenly Sword, DmC: Devil May Cry dan Hellblade: Senua’s Sacrifice. Mereka beroperasi sebagai tim developer independen hingga Microsoft mengakuisinya di bulan Juni 2018 – di bawah nama Xbox Game Studios. Di E3 2019, mereka mengumumkan Bleeding Edge. Sedikit berbeda dari permainan-permainan Ninja Theory sebelumnya, Bleeding Edge dirancang sebagai game action first-person berbasis tim mirip Team Fortress 2 atau Overwatch, namun dititikberatkan pada pertempuran jarak dekat.

Rencananya, Xbox Game Studios akan melaksanakan uji coba alpha Bleeding Edge pada tanggal 27 Juni 2019.

 

Akuisisi Double Fine dan nasib Psychonauts 2

Bukan cuma Ninja Theory saja yang kini jadi bagian dari Xbox Game Studios, Double Fine Productions juga mengumumkan telah diakuisisi sang raksasa teknologi asa Redmond. Dan tak lama sesudah diungkapnya informasi itu, CEO Tim Schafer naik ke atas panggung untuk memamerkan trailer gameplay baru Psychonauts 2. Di sebuah video terpisah di YouTube, Schafer kembali menyampaikan pada fans bahwa mereka akan tetap memegang komitmen dan ‘semua akan berjalan sesuai rencana’.

Begitu seluruh janji kampanye crowdfunding terpenuhi, Double Fine akan mengalihkan perhatian mereka pada platform Xbox, Game Pass dan PC.

 

Game Battletoads baru

Microsoft mengumumkan permainan Battletoads anyar di tahun lalu tapi baru sekarang gamer diperlihatkan aspek gameplay-nya. Game ini tetap mempertahankan penyajian visual dua dimensi ala tahun 90-an, namun tentu saja dibuat lebih modern dan stylish, dengan penggunaan warna-warni cerah. Battletoads turut mempersilakan Anda buat bermain bersama dua teman lain via mode kooperatif.

Sang publisher belum memberi tahu kapan game ini akan meluncur, tapi kabarnya Battletoads akan tersedia pertama kali melalui layanan Microsoft Game Pass.

 

Cyberpunk 2077

Berita gembira lain dari panggung E3 2019 Microsoft adalah, kita tidak perlu menunggu hingga tahun 2077 untuk menanti perilisan Cyberpunk 2077. Game role-playing garapan developer trilogi The Witcher ini akan tiba dalam waktu yang tak terlalu lama, yaitu pada tanggal 16 April 2020. Info tersebut disingkap lewat sebuah trailer baru yang turut dibintangi oleh Keanu Reeves. Di sana, bintang film John Wick itu memerankan seorang tokoh ‘rocker legendaris’ bernama Johnny Silverhand. Belum ada apakah ia karakter baik atau jahat.

Gerbang pre-order Cyberpunk 2077 telah dibuka, dan Anda juga dipersilakan memesan collector’s edition berisi action figure setinggi 10-inci, steelbook, dan art book, yang dibungkus packaging keren.

Microsoft xCloud Siap Hidangkan Seluruh Game Xbox, Baik Judul Lawas Hingga yang Akan Tiba

Menimbang dari angka penjualan dan jangkauan layanan, PlayStation 4 terlihat jauh mengungguli Xbox One. Namun keadaan mungkin berubah di era berikutnya, terutama setelah para raksasa teknologi mulai berkonsentrasi menyiapkan infrastruktur cloud gaming. Begitu besar potensi ranah bisnis baru itu, Sony memutuskan untuk menggandeng Microsoft demi memperoleh akses ke teknologi Azure.

Dari sisi prasarana dan teknologi cloud, Microsoft memang berada jauh di depan Sony. Tak lama setelah mengonfirmasi keberadaan Project Scarlett, perusahaan asal Redmond itu mengumumkan pengembangan teknologi game streaming Project xCloud. Sebagaimana platform on demand lain, xCloud menjanjikan akses mudah ke permainan tanpa dibatasi hardware. Namun waktu itu kita belum tahu apakah teknologi ini akan diintegrasikan ke layanan Xbox atau disajikan secara mandiri.

Namun gerak-gerik Microsoft memang mengindikasikan bahwa xCloud akan jadi bagian dari platform Xbox next-gen. Dan lewat posting di laman Xbox Wire, Microsoft mengungkapkan bagaimana xCloud siap menghidangkan seluruh permainan di keluarga Xbox, termasuk varian lawas serta game Xbox One yang akan tiba. Itu berarti, Anda disuguhkan dukungan permainan yang ada di tiga generasi console berbeda.

xCloud

Project xCloud diklaim mampu menghidangkan lebih dari 3.500 judul permainan via metode stream, ditopang oleh datacenter Azure yang tersebar di 13 titik di dunia. Di tahan awal penyediaannya, xCloud akan difokuskan di wilayah Amerika Utara, dan sebagian Eropa serta Asia. Beberapa nama gaming terkenal sudah mulai berpartisipasi, misalnya Capcom dan Paradox Interactive. Mereka dipersilakan menguji kreasi-kreasi digitalnya langsung di platform xCloud tanpa porting.

Baik di permainan video baru maupun lama, developer dibebaskan buat menyesuaikan dan men-scalling game ke perangkat lain, tanpa harus membutuhkan proses pengembangan tambahan atau update terpisah. Misalnya ketika sebuah studio mengimplementasikan pembaruan/patch di game, update tersebut juga segera diterapkan ke seluruh versi yang ada.

Saat ini kabarnya ada lebih dari 1.900 permainan yang tengah dikembangkan untuk Xbox One, dan semuanya dapat dinikmati via Project xCloud. Yang perlu developer lakukan hanyalah menggarap game secara normal dan menggunakan perkakas pilihan mereka; dan selanjutnya, Microsoft akan bekerja demi memastikan konten tersebut bisa dinikmati oleh lebih banyak pemain.

“Project xCloud ialah sebuah perjalanan menarik yang kita semua bisa ikuti,” tutur Kareem Choudhry selaku corporate vice president gaming cloud Microsoft. “Kami tak sabar untuk mengundang komunitas buat memberikan masukan, membantu pembangunan xCloud, serta berpartisipasi dalam proses pengerjaannya yang terbuka dan transparan. Tunggu kabar selanjutnya dari kami…”

Konsumen Habiskan $ 387 Juta Demi Menikmati Cloud Gaming di Tahun 2018

Seberapa pun revolusionernya premis cloud gaming, banyak orang masih belum yakin layanan ini akan benar-benar menggantikan platform permainan video konvensional. Keraguan itu tentu punya alasan jelas. Streaming game pada dasarnya membutuhkan dukungan internet yang cepat dan stabil. Lalu hingga saat ini, jasa gaming on demand (termasuk buatan para raksasa hiburan) juga baru bisa diakses secara terbatas.

Kepercayaan terhadap cloud gaming berpeluang meningkat begitu layanan Google, Microsoft dan Amazon tersedia global nanti. Untuk sekarang, sebagian besar pemain menyediakan jasa on demand secara domestik, termasuk milik developer-developer lokal seperti gameQoo dan Skyegrid. Namun satu hal menggembirakan yang kita tak sadari ialah, platform game streaming ternyata berhasil menciptakan keuntungan cukup besar di tahun lalu.

Minggu ini, IHS Markit menyingkap hasil studi mereka terhadap industri cloud gaming di 2018. Tahun lalu, konsumen mengeluarkan jumlah uang yang tidak sedikit demi mengakses konten-konten on demand, yakni sebesar US$ 387 juta. Angka tersebut diprediksi meningkat berkali-kali lipat dalam lima tahun ke depan, berpotensi menyentuh US$ 2,5 miliar di tahun 2023.

IHS Markit Cloud Gaming 2018

IHS Markit menjelaskan bahwa pengumuman serta pengambil alihan strategis yang dilakukan oleh raksasa-raksasa teknologi seperti Microsoft, Amazon, Google serta Tencent mengindikasikan bagaimana cloud akan jadi medium persaingan berikutnya. Sebelumnya, cloud gaming sempat memberi dampak bagi sektor gaming high-end, tapi baru di masa-masa ini ia akan mendisrupsi industri secara masif.

Tim analis menilai, kondisi ini akan menguntungkan nama-nama yang memiliki akses ke infrastruktur cloud serta perusahaan yang mampu menyuguhkan layanan secara efisien. Begitu besar potensi ranah ini dan efeknya pada industri hiburan, Sony terdorong untuk menggandeng Microsoft demi memperoleh akses ke teknologi cloud Azure. Sementara itu, pemilik platform game stream yang ada sekarang berupaya terus memperluas strategi, kemudian para publisher permainan juga mulai berani menantang pemegang platform tradisional.

IHS Markit mencatat ada 16 platform cloud gaming di PC yang aktif beroperasi di level global hingga akhir 2018 dan Sony PlayStation Now merupakan pemimpin pasar dengan mengusai 36 persen. Menariknya, selama ini Sony terlihat menahan diri dan baru mulai bermanuver agresif dalam waktu 12 bulan ke belakang. Koleksi konten eksklusif masih menjadi senjata andalan mereka.

Dilihat dari perspektif wilayah, gamer Jepang ternyata yang mengeluarkan uang paling banyak demi menikmati game secara on demand di tahun 2018, yaitu sebesar US$ 178 juta. Di posisi kedua adalah konsumen di Amerika, mayoritas didorong oleh ketersediaan PlayStation Now. Lalu di tempat ketiga ada Perancis yang menjadi tempat inkubasi subur startup-startup cloud gaming.

Analisis terhadap status dan dampak cloud gaming bagi industri dapat Anda simak di sini.

Menilik Solusi Cloud Sebagai Platform Gaming Masa Depan dan Menakar Implikasinya Bagi Industri

Impian manusia buat menikmati video game tanpa repot-repot menyiapkan hardware telah ada lebih dari satu dekade silam. Saat membahas konsep ini, nama OnLive mau tak mau akan disebutkan karena ia merupakan pionir penyedia cloud gaming kelas konsumen. OnLive memang sudah berhenti beroperasi, namun ada banyak perusahaan yang mengadopsi model bisnisnya, termasuk produsen console Sony Interactive Entertainment.

Nama PlayStation Now mungkin tak asing lagi di telinga Anda. Dalam membangun layanan cloud khusus gamer console current generation-nya, Sony memanfaatkan aset OnLive serta infrastruktur Gaikai yang mereka ambil alih sebagai pondasinya. Seiring berjalannya waktu, mulai banyak bermunculan pula platform-platform gaming on demand sejenis, termasuk brand-brand yang dikembangkan oleh developer lokal seperti gameQoo (dulu bernama Emago) dan Skyegrid.

Meski begitu, tema cloud gaming baru betul-betul lepas landas dan menjadi perhatian publik ketika sejumlah raksasa teknologi mengonfirmasi rencana untuk turut menggarapnya, yakni Google serta Microsoft (termasuk Amazon, menurut rumor yang beredar). Kedua perusahaan memiliki pengalaman panjang di ranah penyediaan platform gaming dengan arahan yang berbeda: Google sebagai ‘penguasa’ mobile, sedangkan Microsoft sudah lama berbisnis di segmen PC gaming serta Xbox. Google resmi memperkenalkan Stadia di GDC 2019, dan Microsoft berjanji  buat mengungkap xCloud lebih jauh di E3 2019.

Gears of War 4

 

Kondisi saat ini

Sejauh ini, penghalang terbesar bagi adopsi layanan cloud gaming adalah ketersediaan sambungan internet yang memadai. Sebetulnya, kendala itu tidak hanya dirasakan oleh konsumen negara berkembang (seperti Indonesia), tapi juga di negara maju. Sebagai jalan keluarnya, perusahaan biasanya membatasi jangkauan servis. Hingga sekarang, PlayStation Now baru hadir di 19 negara; lalu GeForce Now cuma dapat diakses dari Amerika, Kanada, dan sejumlah kawasan Eropa.

Beberapa platform lain yang lebih kecil – misalnya Shadow – bahkan dikhususkan ke satu wilayah saja (Perancis). Strategi serupa juga dilakukan oleh pengembang platform on demand lokal. Demi menjamin kelancaran penyajian, server telah dilokasikan di Indonesia, lalu developer tak lupa mematok kecepatan internet minimal yang diperlukan agar servis berjalan optimal.

Semuanya memang terdengar menjanjikan, tetapi pada kenyataannya, banyak orang tetap merasa skeptis cloud gaming akan betul-betul menggantikan penyuguhan video game secara konvensional. Saya sempat membaca testimoni PC Gamer dan GameSpot soal tingginya latency Google Stadia di GDC 2019 yang mempengaruhi kenyamanan bermain.

Di sisi lain, beberapa tahun silam saya pernah merasakan langsung mulusnya Nvidia Grid (sekarang dikenal sebagai GeForce Now) via Nvidia Shield: Borderlands 2 dijalankan di sebuah lobby hotel di kota Taipei dengan server yang berada di Jepang. Saya juga menjadi salah satu orang yang cukup beruntung menjajal Rise of the Tomb Raider di Skyegrid beberapa bulan sebelum peluncurannya. Sensasinya luar biasa. Saya membayangkan, mungkin seperti inilah pengalaman blockbuster gaming di masa depan.

Memuluskan koneksi dan memangkas latency sudah pasti jadi perhatian utama penyedia jasa gaming on demand. Tapi saya melihat adanya masalah besar lain: konten. Mayoritas platform cloud gaming di Indonesia belum mempunyai permainan eksklusifnya sendiri. Saat ini mereka baru menyiapkan wadah untuk bermain tanpa perangkat gaming dedicated (walaupun brand seperti Skyegrid punya keinginan buat menjadi publisher game lokal).

Doom Eternal

Sejatinya, Skyegrid merupakan ekspansi dari library game Anda. Memang ada banyak permainan gratis yang dapat segera dimainkan pelanggan (misalnya Dota 2, Apex Legends, Fortnite), namun kita harus tetap memiliki/membeli game-game premium (Resident Evil 2 remake, Grand Theft Auto V, Fallout 4) terlebih dulu agar bisa mengaksesnya via cloud.

Bukan cuma mengandalkan konten dari developer third-party, Skyegrid juga bersandar pada platform distribusi berbeda – contohnya Steam, Origin,  Uplay dan Microsoft Store. Dukungan nama-nama populer ini memang terdengar positif, namun bayangkan apa yang terjadi jika salah satu (atau beberapa) di antara brand tersebut turut meluncurkan jasa on demand-nya sendiri?

Jika hal ini terjadi, tidak ada alasan kuat bagi pengguna untuk meneruskan langganannya.

gameQoo sendiri punya strategi bisnis yang cukup berbeda, dan sejujurnya, lebih simpel dari Skyegrid. Dengan jadi pelanggannya, kita tidak perlu lagi membeli permainan. Semua game di sana merupakan buah dari kolaborasi langsung bersama publisher. Namun kelemahannya bisa segera Anda temui begitu membuka daftar permainan: jumlah judul populernya lebih sedikit dari Skyegrid, dan jarang ada permainan yang betul-betul baru. Dengan begitu, kesempatannya untuk menarik perhatian kalangan mainstream jadi lebih kecil.

Stellaris.

 

Kata para penyedia jasa cloud gaming lokal

Lewat app messaging, CEO gameQoo Izzuddin Al Azzam mengungkapkan bahwa tantangan terbesar yang perusahaannya hadapi dalam menggaet pelanggan bukan disebabkan oleh kendala teknis, tetapi lebih dikarenakan karakteristik konsumen di Indonesia. Hingga sekarang, gameQoo terus berupaya untuk mengubah pola pikir gamer agar tidak lagi membajak permainan. Jika belum mampu membeli secara sah, akan lebih baik bagi mereka buat beralih ke layanan berlangganan.

Dalam kiprahnya, Emago yang terlahir dari program inkubasi Digital Amoeba gagasan Telkom memutuskan untuk bergabung menjadi bagian dari operator seluler tersebut karena munurut  Izzuddin, kunci dari kesuksesan jasa cloud gaming terletak pada kemitraan dan networking. Menurutnya, Telkom merupakan pemegang jaringan komunikasi terluas di Indonesia, dan hal ini dapat memberikan gameQoo keunggulan.

CEO Skyegrid Rolly Edward punya pandangan lain mengenai tantangan utama penetrasi cloud gaming di nusantara. Baginya, edukasi mengenai teknologi cloud harus dilakukan secara bertahap dan memang membutuhkan waktu, apalagi gaming on demand ialah sebuah gagasan baru. Bahkan penyedia jasa kelas global menghadapi kendala serupa. Namun sejauh ini, proses yang developer lalui berjalan cukup baik meski sedikit meleset dari perkiraan sebelumnya.

Rolly menganalogikan cloud gaming dengan ATM. Kira-kira perlu satu dekade bagi nasabah bank untuk terbiasa menggunakan mesin perbankan otomatis buat bertransaksi. Sekali lagi ia berargumen soal pentingnya pengenalan oleh berbagai pihak – baik penyedia maupun media secara bersama-sama – demi mempersingkat waktu adopsinya. Melihat dari perspektif ini, Rolly dan tim Skyegrid sangat antusias menyambut kehadiran Google Stadia, Apple Arcade serta Microsoft xCloud.

Dengan berkecimpungnya nama-nama besar tersebut, pemain lokal tentu saja perlu mengantisipasi kompetisi yang tak bisa dihindari. Skyegrid sudah menyiapkan strategi pemasaran dan langkah-langkah untuk meningkatkan pengalaman penggunaan, termasuk memudahkan transaksi. Satu keunggulan yang dimiliki developer cloud gaming lokal adalah mereka lebih mengenal karakteristik gamer di Indonesia.

Menurut Rolly, setidaknya ada dua aspek yang menjadi pertimbangan utama konsumen di Indonesia: harga terjangkau dan kepuasaan pemakaian. Hal-hal inilah yang jadi fokus bagi tim Skyegrid. Buat sekarang, platform telah mendukung konten-konten Steam dan Origin, dan developer sedang dalam tahap merangkul Epic Games Store dan Uplay. Mereka berharap prosesnya dapat rampung di tahun ini juga.

Sang CEO Skyegrid punya pendapat senada Izzuddin soal pentingnya kolaborasi. Ini yang mendorong mereka untuk bekerja sama dengan Telkom. Skyegrid memiliki agenda buat meluncurkan ‘sesuatu yang baru’ bersama perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia itu. Rolly pribadi melihat gameQoo sebagai kawan seperjuangan – bukan sekadar kompetitor. Baginya, kedua brand bisa sama-sama berjuang mengedukasi pasar.

Apex Legends.

 

Melihat ke depan

Meningkatnya kompetisi menandai pegerakan ke arah yang tepat dan  gelombang cloud gaming kian terasa di tahun ini. Setelah gameQoo dan Skyegrid, ada peluang besar kita akan menyaksikan kelahiran layanan-layanan on demand lain, boleh jadi mengusung model bisnis berbeda. Dalam bincang-bincang kami, Rolly Edward mengutip sebuah pandangan dari boss Ubisoft: diprediksi hanya akan ada satu generasi console lagi sebelum kita semua beralih ke game streaming.

Skenario ini mengagumkan sekaligus mengerikan. Mengagumkan, karena kemudahan akses ke konten hiburan memungkinkan semua orang jadi gamer tanpa hambatan modal. Mengerikan, karena perubahan masif dari cara orang mengonsumsi konten memaksa perusahaan-perusahaan teknologi merombak strategi bisnis. Dengan merakyatnya gaming on demand, para produsen hardware akan kesulitan untuk menjual produknya secara tradisional.

Revolusi bukanlah hal baru di ranah video game. Di tahun 70- sampai 80-an, permainan-permainan elektronik cuma bisa dinikmati dengan datang ke arena arcade. Namun semuanya berubah ketika console diperkenalkan dan mempersilakan kita bermain di rumah. Beberapa tahun sesudahnya, kehadiran internet dan platform digital juga berdampak pada bisnis distribusi game. Mayoritas gamer di PC telah mengucapkan selamat tinggal pada versi fisik permainan serta merangkul metode digital, dan perusahaan console  mulai mengikuti tren ini.

Beralih ke masa kini, lepas landasnya konsep streaming game ditanggapi pemilik platform dan console maker secara berbeda. Lewat PlayStation Now, Sony memanfaatkan metode cloud berbayar sebagai ekspansi layanan PlayStation. Tapi sejauh yang sudah diketahui, console next-gen mereka terhidang secara tradisional, dititikberatkan pada peningkatan performa dan kualitas konten. Microsoft sendiri telah mengonfirmasi pengembagan Xbox ‘Scarlett’, kemungkinan disajikan dalam beberapa varian, salah satunya dikabarkan berupa set-top box pendukung streaming game.

Forza Horizon 4

Sebagai perusahaan yang terbilang lebih konservatif dibanding Microsoft dan Google, Sony mengakui bagaimana cloud gaming berpeluang mengancam bisnisnya. Namun mereka juga berpendapat masih butuh waktu cukup lama hingga para penyedia menemukan model bisnis ideal dalam menyuguhkan layanan streaming game. Sampai saat itu tiba, memiliki perangkat gaming tradisional ialah cara paling mudah untuk menikmati permainan video.

Di PC, potongan kecil dari teknologi cloud sebetulnya sudah lama dimanfaatkan di platform-platform distribusi semisal Steam, EA Origin dan Uplay. Satu contohnya ialah pemanfaatan sistem cloud save, berperan untuk memastikan progres dan achievement permainan tersimpan aman ‘di awan’, serta dapat dilanjutkan dari mana pun ketika Anda menginginkannya. Menakar dari momentumnya, PC dan perangkat mobile akan jadi ladang paling subur bagi persebaran layanan on-demand.

Sejumlah ahli memprediksi bahwa bisnis gaming on demand akan melesat naik begitu 5G tersedia secara luas. Dan kabar gembiranya, 5G tidak lagi berada di luar genggaman kita. Perangkat-perangkat pendukung konektivitas baru tersebut mulai bermunculan di tahun ini, dan data terbaru Qualcomm mengindikasikan proses adopsi serta penyebaran yang jauh lebih cepat dibanding 4G. Yang membuatnya lebih menarik lagi: Skyegrid akan dilibatkan dalam demonstrasi 5G oleh ‘mitra telekomunikasi dalam negeri’.

Transisi dari platform gaming tradisional ke jasa on demand juga sempat diungkapkan oleh tim analis Jon Peddie Research belum lama ini. Mereka memperkirakan akan ada jutaan gamer PC – khususnya pengguna sistem entry-level hingga kelas menengah dengan hardware seharga US$ 1.000 ke bawah – beralih menjadi penikmat ‘TV gaming‘. Uniknya, mereka tak hanya hijrah jadi pemain console – sebagian diprediksi memilih buat berlangganan layanan streaming game.

Resident Evil 2

 

Penutup

Suka tidak suka, cloud gaming akan tiba dan kehadirannya dipastikan akan mereformasi cara kita mengonsumsi konten hiburan serta bagaimana publisher/developer mendistribusikannya. Di perspektif pengguna, beragam kemudahan ditawarkan olehnya: selama berlangganan layanan tersebut, tak ada lagi game yang tidak bisa Anda mainkan. Selain itu, sistem cloud juga menyederhanakan implementasi update atau patch. Karena semuanya dilakukan di sisi server, kita tidak perlu lagi menunggu prosesnya hingga selesai.

Dan tanpa halangan berupa keterbatasan hardware di sisi pengguna, produk-produk digital para developer bisa sampai di tangan lebih banyak konsumen, dan keadaan ini sudah pasti berdampak positif bagi pemasukan mereka. Tersedianya cloud gaming secara masif juga mempersilakan studio-studio kecil buat menyodorkan kreasinya langsung ke gamer dan berperan sebagai dongkrakan buat bersaing dengan developer-developer kelas AAA. Terbuka peluang besar bagi tim indie untuk berjaya di era gaming on demand.

Doom Eternal

Dalam wawancara bersama Eurogamer (via Gamasutra), game director sekaligus penulis veteran Amy Hennig (berjasa dalam pengembangan seri Legacy of Kain, Jak and Dexter, Uncharted) menyampaikan bahwa layanan-layanan streaming sejenis Stadia akan memberikan developer kebebasan finansial, dan mendorong mereka untuk mengambil resiko demi mengeksekusi ide-ide baru di gaming.

Sekali lagi, era cloud gaming tak bisa dielakkan. Pertanyaannya kini ialah: seberapa siap kita untuk menyambutnya?

Terima kasih kepada Rolly Edward dan tim Skyegrid serta Izzuddin Al Azzam dan tim gameQoo.

Microsoft Ingin Game Xbox Bisa Dimainkan di Semua Platform, Termasuk PlayStation?

Hingga di fase akhir siklus hidupnya, PlayStation 4 terus menikmati gelar sebagai console current-gen terlaris. Penjualan Xbox One sendiri tidak setinggi sang rival dan Microsoft sudah lama tidak mengungkap angkanya. Menariknya, bisnis tampak terjalan lancar bagi mereka sejak raksasa teknologi asal Redmond itu menerapkan strategi penyajian ‘game sebagai layanan’ yang diujungtombaki Xbox Live.

Microsoft juga mengambil arahan berbeda dalam menyongsong kehadiran console next-gen. Sebelumnya Anda mungkin telah mendengar kabar soal pengembangan Project xCloud, yaitu platform gaming on demand yang ditopang teknologi cloud Azure. xCloud menawarkan kita kesempatan untuk menikmati game-game kelas blockbuster – yang tadinya hanya bisa ditangani oleh hardwarehardware berkinerja tinggi – cuma berbekal perangkat bergerak dan koneksi internet.

Dalam acara tur di markas utama Microsoft yang diikuti oleh Geekwire beberapa hari lalu, perusahaan mengungkap lebih banyak detail mengenai siasat tersebut. Di sana, beberapa kali para eksekutifnya menyebutkan bahwa mereka ingin menghadirkan kemudahan bermain ke dua miliar gamer di seluruh dunia. Microsoft mengekstimasi, ada banyak dari mereka yang tidak mendapatkan akses mudah ke console.

Microsoft menyadari bahwa mereka tidak akan sanggup menjual dua miliar unit console. Kareem Choudhry selaku corporate vice president of gaming cloud mengungkapkan, ada beberapa wilayah di mana console bukanlah bagian dari gaya hidup. Di bawah kepemimpinan CEO Satya Nadella, Microsoft berambisi untuk menyodorkan segala layanan dan aplikasi ke sebanyak-banyak orang apapun perangkat yang mereka gunakan.

Kondisi ini memberikan tantangan tersendiri buat Microsoft. Demi menjalankan misinya, tak jarang sang perusahaan harus bekerja sama dengan kompetitor. Sudah ada desas-desus yang menyebutkan bagaimana tim punya agenda untuk memperluas jangkauan Xbox Live ke iOS, Android sampai Nintendo Switch.

Selain itu, perusahaan punya niatan buat mengekspansi keanggotaan Game Pass ke plaform non-Microsoft. Dengan jadi pelanggannya, pengguna bisa menikmati segala koleksi game yang ada di sana serta memperoleh akses prioritas ke judul-judul eksklusif Xbox. Jika semuanya berjalan mulus, jangan kanget seandainya layanan Game Pass tiba-tiba muncul di sistem PlayStation.

Buat sekarang, Microsoft masih enggan menjelaskan bagaimana mereka akan mengeksekusi ambisi cross-platform tersebut. Yang jelas, segala detailnya akan disingkap di Game Developers Conference 2019 pada tanggal 18 Maret nanti. Semuanya akan jadi semakin menarik karena ke depannya persaingan yang dihadapi Microsoft tak hanya datang dari nama-nama familier semisal Sony dan Nintendo. Kita tahu Google juga tengah menggodok layanan cloud  Project Stream.

Alasan Mengapa Microsoft Begitu Percaya Diri Dengan Project xCloud, Yaitu Netflix-nya Video Game

Fase akhir siklus hidup console game current-gen sudah dimulai, dan dalam waktu dekat, kita dipastikan akan menyaksikan penyingkapan produk-produk generasi selanjutnya. Baik Sony dan Microsoft sudah mengonfirmasi bahwa mereka tengah menggodok hardware gaming baru, namun penyajian konten-kontennya nanti boleh jadi sedikit berbeda dari sistem lawas.

Fenomena ini bisa kita lihat dari awal penyediaan PlayStation Now dan Xbox Play Anywhere. Melalui fitur-fitur ini, para produsen mulai menawarkan game sebagai layanan – bukan sekadar produk. Dan ke depannya, kemungkinan akan ada lebih banyak platform cloud gaming bertebaran, apalagi setelah para raksasa teknologi seperti Google dan Microsoft diketahui begitu serius menggarapnya.

Di bulan Oktober 2018 silam, Microsft resmi mengumumkan pengembangan layanan gaming on demand bernama Project xCloud. Seperti platform cloud gaming sekelasnya, xCloud memperkenankan pelanggan bermain game tanpa dibatasi oleh spesifikasi perangkat yang mereka miliki. Dan dalam sebuah acara yang dilakukan di markas utama Microsoft hari Senin kemarin, CEO Satya Nadella mendeskrpsikan xCloud sebagai Netflix-nya video game.

Visi di belakang pembuatan xCloud sebetulnya cukup simpel, yaitu menyuguhkan gamer permainan-permainan blockbuster berkualitas tinggi. Namun proses penyajian tidak sesederhana teorinya. Berbeda dari streaming film atau musik, video game menuntut sistem input dengan responsitivitas tinggi/seketika secara konsisten. Hal ini jadi sulit ketika data dan informasi disalurkan lewat internet.

Namun Nadella tidak khawatir. Berbeda dari Google dan Amazon (sang eCommerce juga sedang menggodok layanan gaming on demand-nya sendiri), Microsoft punya pengalaman lebih lama di ranah gaming, bahkan jauh sebelum mereka memasarkan console. Dengan Xbox, Microsoft punya keunggulan strategis, termasuk di sisi teknologi maupun konten. Sang CEO sendiri sangat membanggakan katalog permainan Xbox, terutama pada franchise-franchise besar eksklusif seperti Halo dan Forza.

Kita perlu ingat bahwa Microsoft sudah menghimpun banyak sekali pelanggan Xbox Live. Kemudian, cengkeraman Microsoft di gaming bukan hanya melalui Xbox, tapi juga PC. Seperti yang terungkap oleh survei hardware Steam, mayoritas penikmat permainan di komputer personal memanfaatkan OS Windows.

Nadella sempat bilang bahwa komunitas gamer saat ini mencapai dua miliar jiwa, namun banyak di antara mereka yang tidak memiliki televisi, console serta PC sendiri. Yang mereka punyai hanyalah smartphone. xCloud adalah cara Microsoft menggapai mereka semua.

Buat sekarang, status Project xCloud masih berada di tahap pengembangan. Microsoft berencana buat melangsungkan sesi tes publik di tahun ini.

Sumber: Business Insider.

XL Axiata dan APJII Bermitra Mengembangkan Desentralisasi Indonesia Internet Exchange

XL kerja sana dengan APJII untuk manfaatkan data center XL dalam program pengembangan IIX / XL

PT XL Axiata Tbk (XL) dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) melakukan bekerja sama untuk pengembangan desentralisasi Indonesia Internet Exchange (IIX) dan pemanfaatan infrastruktur XL yang tersedia di beberapa kota di Indonesia. Nota kerja sama keduanya ditandatangani di sela-sela ajang “Dari Indonesia Untuk Dunia” yang bertempat di Indonesia Convention Exhibition (ICE), BSD City, yang juga dihadiri Menkominfo Rudiantara. Continue reading XL Axiata dan APJII Bermitra Mengembangkan Desentralisasi Indonesia Internet Exchange