Laporan DSInnovate: Dampak Ekonomi dan Sosial Pembiayaan UMKM Menggunakan “Fintech P2P Lending”

Kehadiran teknologi finansial (fintech) di Indonesia memberikan berbagai manfaat, terlebih saat kalangan undeserved dan unbankable masih banyak tersebar di berbagai wilayah. Tak terkecuali bagi pelaku UMKM, layanan fintech seperti peer-to-peer lending (p2p lending) memberikan opsi yang lebih mudah bagi mereka untuk mendapatkan akses pendanaan bantuan modal. Terlebih saat berbicara usaha berskala mikro, masih banyak yang belum tersentuh akses lembaga keuangan konvensional.

Fokus fintech untuk pemberdayaan UMKM menjadi penting, lantaran besarnya kontribusi terhadap perekonomian nasional. Data teranyar menyatakan sumbangsih UMKM mencapai 60% untuk PBD dan 97% untuk pembukaan lapangan kerja. Banyak gap yang coba dijembatani oleh fintech p2p lending, mulai dari akses yang lebih terjangkau lewat teknologi, sampai proses penilaian kelayakan kredit yang lebih bisa disesuaikan dengan kondisi pelaku UMKM.

Pandemi yang mulai terjadi di tahun 2020 juga memberikan turbulensi untuk pelaku bisnis di Indonesia secara umum, dan yang cukup terdampak signifikan adalah UMKM. Di situasi yang serba sulit tersebut, fintech p2p lending tetap memberikan banyak peran, salah satunya, menurut data AFPI per tahun 2020 ada total dana 74 triliun Rupiah yang disalurkan kepada pelaku UMKM, naik 27% dari tahun sebelumnya.

Untuk melihat lebih dalam tentang sejauh mana layanan fintech p2p lending memberikan dampak ekonomi dan sosial terhadap sektor UMKM, Modalku dan DSInnovate berkolaborasi melakukan riset bertajuk “Dampak Ekonomi dan Sosial Pembiayaan UMKM Menggunakan Fintech Peer-to-Peer Lending”. Terdapat lima bahasan utama yang dirangkum, meliputi:

  1. Gambaran umum pembiayaan UMKM
  2. Eksistensi Modalku dalam pembiayaan UMKM
  3. Profil demografi UMKM di Indonesia
  4. Pengalaman pembiayaan dari layanan konvensional atau sumber lainnya
  5. Rencana pembiayaan UMKM di masa depan

Ada banyak temuan menarik yang diungkap dalam laporan, salah satunya dari total responden yang mengikuti survei sebagian besar 50,29% menggunakan dana pinjaman untuk pembelian bahan baku usaha, selanjutnya untuk biaya operasional (19,14%). Selanjutnya kebanyakan pelaku usaha tersebut mendapatkan manfaat kelancaran arus kas, baik untuk pendanaan modal (25,1%) maupun tambahan stok barang (24,9%).

Unduh laporannya melalui tautan berikut: klik di sini.


Disclosure: DSInnovate bekerja sama dengan Modalku dalam pembuatan dan peluncuran laporan ini. Modalku merupakan salah satu platform fintech p2p lending yang fokus memberikan pembiayaan produktif untuk UMKM di Indonesia

[Review] vivo X60 Pro, Unggulkan Lensa Zeiss dengan Spesifikasi dan Harga yang Pas 

Bagi para penggemar fotografi, tentunya sudah mengenal Zeiss. Produsen sistem optik terkemuka asal Jerman ini dikenal dengan kualitas lensanya yang tinggi. Kini label Zeiss melekat di smartphone terbaru vivo X60 Series 5G yaitu vivo X60 dan vivo X60 Pro. 

Dailysocial Gadget telah kedatangan vivo X60 Pro, smartphone flagship bertenaga chipset Qualcomm Snapdragon 870 5G ini mengemas teknologi Zeiss Co-engineered Imaging System. Dibanderol dengan harga Rp9.999.000, keistimewaan utama vivo X60 Pro lainnya ialah keberadaan fitur in-body image stabilization (IBIS) yang disebut Gimbal Stabilization versi 2.0. 

Kombinasi optik Zeiss dan Gimbal Stabilization sudah pasti mampu meningkatkan pengalaman mobile photography, tetapi sejauh mana? Berikut review vivo X60 Pro selengkapnya. 

Posisi vivo X60 Pro 

Review-vivo-X60-Pro-2

Sebelum melangkah lebih jauh, mari ketahui dulu posisi dari vivo X60 Pro. Sebetulnya vivo X60 Series 5G memiliki banyak varian, tetapi biar gampang mari fokus pada tiga model internasionalnya. Mulai dari X60 untuk model paling basic, X60 Pro model premium, dan X60 Pro+ sebagai true flagship dengan chipset Snapdragon 888, serta konfigurasi kamera lebih canggih. 

Berdasarkan riset yang mereka lakukan, vivo Indonesia memutuskan hanya membawa vivo X60 dan X60 Pro yang masing-masing dibanderol Rp7.999.000 dan Rp9.999.000. Harga tersebut tergolong sangat masuk untuk konsumen di Indonesia. 

Bila memaksa menghadirkan X60 Pro+ sekalian, perangkat ini jelas sangat mampu bersaing dengan flagship kompetitor dari Samsung maupun Apple. Namun harga X60 Pro+ yang mencapai US$960 atau hampir Rp14 jutaan belum sesuai dengan target pasar vivo Indonesia. 

Duo vivo X60 dan X60 Pro sendiri mengusung spesifikasi yang cukup identik. Sama-sama bertenaga chipset Snapdragon 870 dan mengemas konfigurasi triple camera. Bedanya, vivo X60 menggunakan layar datar dan tanpa fitur andalan Gimbal Stabilization. 

Untuk vivo X60 Pro, smartphone yang berjalan di atas Funtouch 11.1 berbasis Android 11 ini ditopang RAM 12GB dan penyimpanan internal UFS 3.1 berkapasitas 256GB. Dengan konfigurasi seperti ini, jelas perangkat ini dapat berlari kencang. 

Review-vivo-X60-Pro-3

Namun perlu dicatat, dari sisi teknologi chipset Snapdragon 870 selangkah mundur ke belakang dibanding Snapdragon 888. Sebab, SoC ini dibuat dengan dasar yang sama seperti generasi Snapdragon 865 series yang mana masih dibangun pada proses teknologi 7nm dan menggunakan CPU Kryo 585 dengan basis Cortex A-77 dan GPU Adreno 650. Tangki dayanya berkapasitas 4.200 mAh dengan teknologi fast charging 33W.

Kamera dengan Zeiss Co-engineered Imaging System

Review-vivo-X60-Pro-4

Setelah memahami posisi vivo X60 Pro, harus diakui perangkat ini berada di titik sweet spot. Di mana kombinasi fitur dan spesifikasinya dengan harga yang dipatok terasa pas, meski spesifikasinya cenderung tanggung.  

Sekarang mari bahas kameranya, tiga unit kamera belakangnya mengadopsi teknologi Zeiss Co-engineered Imaging System. Kamera utamanya 48MP menggunakan sensor Sony IMX598 berukuran 1/2.0 inci, berpadu lensa Zeiss dengan focal length 26mm, aperture f/1.5, serta dilengkapi fitur PDAF, dan Gimbal Stabilization 2.0 yang tercapai berkat peningkatan pada teknologi Pixel Shift Ultra HD Imaging dan stabilisasi gambar 5-Axis VIS Ultra Clear Shifting

Seperti biasa, penggunaan metode Quad Bayer 4-in-1 pada praktiknya secara default output maksimalnya adalah 12MP dengan piksel besar 1.6µm. Pengambilan gambarnya didukung AI Scene Optimization dan vivo turut memperbarui fitur Extreme Night Vision 2.0 dengan AI Noise Reduction untuk foto minim cahaya. 

Kamera utama vivo X60 Pro ditemani dua kamera sekunder beresolusi 13MP menggunakan sensor gambar Samsung S5K3L6. Satu dengan lensa Zeiss telephoto klasik 50mm yang ideal untuk foto portrait dengan kemampuan memperbesar gambar 2x optical zoom dan hingga 20x digital zoom.

Satunya lagi mengenakan lensa Zeiss ultrawide 16mm 120 derajat. Untuk kamera depannya 32MP f/2.5 menggunakan sensor Samsung S5KGD1, namun tidak termasuk Zeiss Co-engineered Imaging System. 

Kata vivo, teknologi ZEISS Co-engineered Imaging System dapat meningkatkan ketajaman dan kejernihan gambar dan warna yang lebih autentik. Pada mode portrait-nya, vivo melengkapinya dengan enam style meliputi natural, Zeiss biotar, vintage film, french impressions, dan flash portrait. Bagi penikmat bokeh, Zeiss biotar menawarkan latar belakang bokeh dramatis khas Zeiss. 

Pada mode night, style yang tersedia berbeda meliputi black & gold, blue ice, green orange, cyberpunk, blue orange, dan silver orange yang siap memberikan foto malam yang memukau. Selain style, juga terdapat rangkaian filter dan light effect yang bisa dieksplorasi pengguna lebih jauh.

Pada aplikasi kameranya, ada empat mode kamera utama, termasuk foto, video, portrait, dan night. Sisanya di taruh di tab ‘more’, meliputi mode 48MP, panorama, live photo, slo-mo, time-lapse, pro yang mendukung format foto Raw, AI stickers, supermoon, doc, astro, pro sports, dan long exposure.

Untuk perekam videonya, kamera utama dan sekunder telephoto vivo X60 Pro dapat mengambil footage beresolusi 1080p dan 4K pada 30/60 fps. Pada mode video, ada opsi standard stabilization dan ultra stable dengan sedikit crop

Desain Premium

Review-vivo-X60-Pro-6

Lanjut ke bagian desain, layar dengan sisi melengkung menjadi pembeda utama dengan versi X60 standar. Kualitasnya sama, membentang 6,56 inci dengan resolusi 1080×2376 piksel dalam aspek rasio 19.8:9. Menggunakan panel AMOLED, ditopang refresh rate tinggi 120Hz, dan mendukung HDR10+. 

Bodinya sangat ramping, berdimensi 158.6×73.2×7.6 mm dan bobot 179 gram. Bagian belakangnya menggunakan material AG glass, dengan bingkai aluminium, dan sudah diproteksi Gorilla Glass 6 depan belakang. Biar lebih aman lagi dalam pemakaian sehari-hari, vivo menyediakan case pada paket penjualannya. 

Review-vivo-X60-Pro-5

Unit vivo X60 Pro yang saya pegang berwarna Midnight Black yang memberi kesan serius dan bingkai modul kamera belakangnya menonjol dilengkapi dengan logo Zeiss di pojok kanan atas. Bingkai kamera ini menonjol cukup tebal 2.3 mm dan kamera utama terlihat paling besar untuk menyediakan ruang kerja sistem gimbalnya.

Keterangan ‘professional photography’ melekat pada sisi atas bodi smartphone. Saya sama sekali tidak meremehkan ‘mobile photography’, juga sudah terbukti banyak digunakan oleh para digital creator dalam pembuatan konten. Kemampuan kamera vivo X60 Pro juga termasuk canggih, namun label ‘professional photography’ mungkin terlalu berat.

Review-vivo-X60-Pro-8

Lebih lanjut, di sebelah kanan tersemat tombol power dan volume, sisi seberangnya kosong melompong. Sisanya berada di sisi bawah, termasuk SIM tray, mikrofon, port USB Type-C, dan speaker. SIM tray-nya berisi dua slot nano SIM dan mendukung fitur dual SIM, tetapi tanpa dukungan microSD. 

Verdict

Review-vivo-X60-Pro-7

Tak diragukan lagi, vivo X60 Pro berhasil tampil sebagai smartphone flagship premium berfitur komplet, racikan spesifikasinya pas, dan harganya tak terlalu tinggi. Dari segi kamera, Zeiss Co-engineered Imaging System dan Gimbal Stabilization 2.0 adalah kombinasi inovatif yang meningkatkan pengalaman mobile photography

Penampilannya premium dengan layar AMOLED yang melengkung pada bagian sisinya. Harga Rp9.999.000 ditenagai chipset Qualcomm Snapdragon 870 5G sama sekali bukan hal buruk, walaupun pengguna harus sedikit kompromi tetapi bukan hal yang dipaksakan. Bila ingin hemat Rp2 juta, vivo X60 juga tampil memukau dengan spesifikasi identik. 

Sparks 

  • Mengadopsi optik Zeiss
  • Kamera utamanya dilengkapi stabilisasi ala gimbal
  • Desain premium dengan layar melekung di sisi
  • Layar AMOLED dengan refresh rate 120Hz
  • Harga kompetitif

Slacks 

  • Konfigurasi kamera tidak terlalu mentereng
  • Spesifikasinya kena tanggung

 

 

Naraka: Bladepoint adalah Battle Royale dengan Melee Gameplay dan Setting Fantasi

Genre battle royale memang masih jadi salah satu favorit game kompetitif. Belakangan, baik Apex Legends dan Call of Duty: Warzone berhasil menembus 100 juta pemain. Fornite, game battle royale paling populer di console dan PC, bahkan sudah menembus 350 juta pemain di bulan Mei 2020.

Meski begitu, kebanyakan (jika tidak semua) game battle royale adalah game shooter alias tembak-tembakan. Jadi, mungkin saja Anda bosan dengan opsi semu game-game battle royale yang sebenarnya mirip-mirip satu dengan yang lainnya. Naraka: Bladepoint mungkin menyadari hal tersebut dan melihat ada peluang dengan menyajikan battle royale dengan gaya melee dan berbagai manuver movement.

Naraka: Bladepoint adalah sebuah game 3rd-person fantasy action game yang menyuguhkan pergerakan cepat nan lincah, grappling hooks, wall-running, pedang-pedang besar, stealth, dan magical transformation dengan 60 pemain dalam satu pertempuran. Anda bisa melihat trailer-nya di video di bawah ini.

Game besutan dan rilisan perusahaan Tiongkok, 24 Entertainment, ini memang baru akan dirilis resmi pada kuartal kedua (summer) tahun ini namun Naraka: Bladepoint sudah membuka akses open beta dari tanggal 23-25 April 2021 (EST).

Sangarnya, pada hari pertama open beta, game ini berhasil mendapatkan 120.814 concurrent players di Steam dengan rata-rata 12 ribu pemain. Pada puncaknya, Naraka: Bladepoint bahkan berhasil mengalahkan Rainbow Six: Siege, Team Fortress 2, dan Path of Exile. Capaian tersebut juga berhasil diraih berkat sejumlah konten kreator dari Twitch yang mendapatkan angka penonton rata-rata di 9000 dengan peak viewers nyaris 44 ribu dalam 24 jam terakhir.

Korelasi antara Konten Digital dengan Penjualan Merchandise bagi Organisasi Esports

Uang hadiah turnamen mungkin akan cukup apabila tim esports hanya ingin berkompetisi. Tetapi bagi tim esports yang merupakan sebuah unit bisnis, uang hadiah sulit diandalkan dan cenderung sedikit jumlahnya. Karenanya, komersialisasi dari konten digital dan merchandising memiliki potensi untuk mendatangkan pendapatan yang lebih berkesinambungan.

Dalam artikel ini kita akan membahas relasi konten digital dengan merchandising sebagai sarana komersialisasi tim esports. Untuk melihat fenomena tersebut lebih dekat, kami juga mencoba menggali beberapa insight dari Shawn Liem selaku CEO dari ONIC Esports. Setelahnya, kami juga akan hitung-hitungan seberapa besar sebenarnya konversi fans tim esports yang akhirnya membeli merchandise.

Namun sebelum menuju ke pembahasan utama, mari simak pengantar kenapa konten digital dan merchandise jadi penting bagi komersialisasi tim esports.

 

Peran Konten bagi Perkembangan Bisnis Olahraga

Sebelum menuju ke pembahasan utamanya, saya akan menyajikan sedikit pengantar untuk menjelaskan kenapa relasi konten dengan merchandising menjadi pembahasan saya untuk kali ini. Konten video milik Athletic Interest kembali menjadi inspirasi saya. Dalam salah satu video, Athletic interest membahas peran film dokumenter bagi perkembangan bisnis klub sepak bola.

Melalui video tersebut dijelaskan bahwa pada umumnya, klub sepak bola memiliki 3 sumber pemasukan: Broadcast income, match day revenue, dan commercial income. Broadcast income merupakan pemasukan yang didapat dari mengikuti liga. Match day revenue merupakan pemasukan dari penjualan tiket pertandingan. Terakhir, commercial income datang dari sumber-sumber lainnya seperti penjualan merchandise, sponsorship, ataupun berbagai kegiatan komersil lainnya yang dilakukan tim sepak bola.

Namun dari perspektif bisnis, ada masalah tersendiri dari tiga sumber pemasukan tersebut. Dua dari tiga sumber pemasukan tim sepak bola tidak bisa berkembang. Pemasukan dari penjualan tiket misalnya, jumlahnya terbatas kepada ukuran stadion. Lalu dari sisi broadcast income, pemasukannya bergantung kepada negosiasi operator liga (misalnya pelaksana English Premier League) dengan pemilik saluran televisi.

Maka dari itu, tim sepak bola akan sulit berkembang secara bisnis apabila hanya mengandalkan dua sumber pemasukan tersebut saja. Namun satu pemasukan lainnya membuka peluang yang jauh lebih besar, yaitu commercial income. Kesempatan commercial income yang terbuka dan dapat selalu berkembang membuat tim sepak bola mulai melebarkan sayap menjadi “media company“.

Tim sepak bola menyajikan berbagai macam konten melalui media digital (termasuk film dokumenter), dengan harapan mendapat peluang pemasukan yang lebih besar seperti membuka peluang kedatangan investor, sponsor, atau meningkatkan penjualan merchandise.

Terlepas dari itu, kehadiran konten medial sosial sendiri saja memang tidak selalu berhasil mendongkrak peluang pemasukan dari sumber komersil lainnya. Barcelona sebagai contohnya. Mengutip laporan dari blog resmi Barcelona yang diterbitkan Januari 2021 dikatakan bahwa klub tempat Lionel Messi bernaung tersebut memimpin di hampir segala lini media sosial tahun 2020 lalu.

antara media sosial dan merchandise tim esports
Sumber Gambar – Barcelona Blog

Mereka mencatatkan 1,6 milyar interaksi dari keseluruhan media sosial (Instagram, Facebook, Twitter, TikTok), 200 juta lebih banyak ketimbang Liverpool di peringkat kedua dengan 1,4 milyar interaksi. YouTube Barcelona mencatatkan 230 juta total views. Instagram Barcelona mencatatkan 1,2 milyar interaksi, Twitter 108 juta interaksi, TikTok 45 juta interaksi, dan Facebook 168 juta interaksi. Barcelona memimpin di segala lini media sosial, kecuali Facebook.

Lalu dengan segala kejayaan di media sosial, bagaimana kondisi Barcelona dari segi bisnis? Mengutip tulisan Insider.com yang mengutip dari laporan keuangan milik Barcelona, dikatakan bahwa tim tersebut justru merugi US$117 juta. Namun kerugian tersebut sebenarnya wajar, karena dampak pandemi covid-19 membuat liga sepak bola terhenti. Dijelaskan lebih lanjut bahwa Barcelona mungkin akan mendapat profit sekitar US$2 juta apabila pandemi tidak terjadi.

Barcelona juga menunjukkan pemasukan yang kurang memuaskan dari sisi merchandising. Namun di dalam laporan kembali ditekankan bahwa penurunan tersebut terjadi mengingat kondisi pandemi COVID-19 yang membuat penonton jadi tidak bisa menonton secara langsung sehingga membuat penjualan merchandise jadi menurun.

antara media sosial dan merchandise tim esports
Penjualan merchandise tergolong dalam kategori sales yang kini jumlahnya lebih besar dari sumber pemasukan lain. Sumber Gambar – Barcelona Official

Relasi tersebut mungkin tidak bisa terasa secara langsung apabila kita melihatnya dari perspektif industri olahraga. Apalagi seperti juga yang dijelaskan oleh Barcelona, industri sepak bola bisa dibilang hampir lumpuh karena kondisi pandemi yang membuat pertandingan jadi tidak mungkin dilaksanakan.

Sementara industri olahraga sedang lumpuh, esports di sisi lain justru sedang melejit. Lalu bagaimana relasi antara konten media sosial dengan penjualan merchandise dari sisi esports? Mari kita melaju ke pembahasan berikutnya.

 

Komersialisasi Esports Lewat Konten Digital dan Merchandise

Kondisi pandemi sangat berdampak kepada perkembangan industri olahraga seperti sepak bola. Walaupun masih bisa disiasati melalui konten media sosial, tapi satu yang pasti adalah tim sepak bola kehilangan konten utamanya yaitu keseruan di lapangan sepak bola.

Mengutip dari data perbandingan media sosial tim olahraga dengan esports di tahun 2020 lalu milik Socialbakers, perkembangan konten media sosial tim olahraga pun jadi menurun seperti yang diprediksi. Pada sisi lain, konten media sosial milik tim esports cenderung stabil dengan beberapa peningkatan. Beberapa data lebih jelasnya bisa Anda lihat dari cuplikan pemaparan milik Socialbakers berikut ini.

antara media sosial dan merchandise tim esports
Sumber gambar – Socialbakers
antara media sosial dan merchandise tim esports
Sumber gambar – Socialbakers

Lalu bagaimana relasi antara pengikut media sosial dengan penjualan merchandise bagi tim esports? FaZe Clan mungkin bisa kita jadikan sebagai contoh dari esports luar negeri. FaZe Clan sendiri merupakan organisasi esports yang terkenal tidak hanya di ranah kompetitif saja. FaZe Clan mencoba menyajikan formula baru bagi tim esports dengan menyatukan beberapa elemen seperti gaming, esports, dan gaya hidup glamor ala selebriti lewat konten yang mereka sajikan.

Berkat strategi tersebut, FaZe Clan pun mencuat sebagai salah satu organisasi esports dengan jumlah pengikut media sosial terbanyak. Mengutip dari Shareablee, tercatat bahwa FaZe Clan sudah memiliki total followers mencapai 16 juta lebih, dengan menghitung followers dari Facebook, Twitter, dan Instagram.

Tak hanya memiliki banyak followers, tingkat engagement media sosial FaZe Clan juga tergolong tinggi. Menurut data Shareablee bulan Maret 2021 lalu, FaZe Clan mencatatkan 6,5 juta Actions (termasuk reaction, comment, share, retweet, dan like) dari keseluruhan media sosialnya. Angka tersebut menempatkan FaZe Clan di peringkat ke-2. Sementara di peringkat pertama ada Bigetron Esports yang mencatatkan 7,2 juta lebih Actions. Melihat dari datanya, angka tersebut sepertinya merupakan akumulasi bulanan. Pada puncaknya, FaZe Clan sempat mencatatkan 11,5 juta lebih Actions, tepatnya pada bulan Oktober 2020 lalu.

Followers mereka sendiri didapatkan dari berbagai sumber. Dari segi esports, mereka punya tim-tim yang berprestasi. Atlanta FaZe misalnya, tim Call of Duty League yang bisa digolongkan sebagai top 4 terkuat di skenanya. Terakhir kali Atlanta FaZe berhasil keluar sebagai runner-up Call of Duty League tahun 2020. Tim CS:GO milik FaZe Clan juga tergolong cukup kuat. Divisi CS:GO FaZe Clan sempat memenangkan beberapa gelaran BLAST Pro Series di tahun 2019 walau performanya cenderung menurun belakangan ini. Ditambah lagi, FaZe Clan juga punya bejibun streamers dan influencers yang punya nama yang besar di komunitas gamers.

Bagaimana pengaruh kombinasi antara konten media sosial yang aktif dan prestasi dari divisi-divisi esports FaZe Clan terhadap penjualan merchandise? Pada akhir tahun 2020 lalu, Lee Trink CEO FaZe Clan sempat mengungkap pendapatan FaZe Clan dari sisi merchandising. Lee Trink mengatakan bahwa mereka bisa mendapat pemasukan sebanyak US$2 juta dalam 24 jam atau sekitar US$500 ribu dalam 5 menit dari merchandise.

Apabila Anda adalah pembaca setia Hybrid.co.id, Anda mungkin tahu bagaimana FaZe Clan memang merupakan salah satu organisasi yang getol di bidang merchandising. Salah satu alasannya juga adalah karena FaZe Clan yang memosisikan dirinya sebagai sebuah brand gaya hidup berkaitan dengan gaming.

Karenanya, FaZe terlihat getol berkolaborasi dengan berbagai brand fashion ataupun membuat merchandise miliknya bergaya streetwear yang fashionable agar dapat menarik minat masyarakat umum. Komitmen mereka untuk menuju ke tujuan tersebut juga terlihat salah satunya dengan peluncuran toko apparel yang mereka lakukan seraya mengutarakan keinginannya untuk menjadi layaknya Supreme di dunia fashion.

Tetapi apa yang dilakukan FaZe Clan juga sebenarnya terbilang tidak neko-neko dan malah tergolong masuk akal dari sisi bisnis. Layaknya tim sepak bola, tim esports sebenarnya juga cukup sulit mengumpulkan atau mengembangkan pemasukannya apabila hanya bersandar kepada kompetisi saja.

Hal tersebut sudah sempat saya bahas dalam artikel pembahasan antara prestasi dengan konten bagi tim esports. Walaupun keduanya bersifat simbiosis mutualisme bagi tim esports (prestasi dan konten), namun hal yang tak bisa dipungkiri sebenarnya adalah pemasukan dari menjadi juara yang tidak cukup untuk mengembangkan tim esports sebagai bisnis. Artikel saya tersebut juga sempat membahas perkiraan pemasukan yang didapat tim esports apabila ada divisinya yang memenangkan turnamen, dibandingkan dengan pemasukan dari sisi komersil seperti adsense konten media sosial, sponsorship, ataupun mungkin penjualan merchandise.

Setelah melihat FaZe Clan yang sukses “menjual” gaming sebagai gaya hidup lewat konten media sosial dan merchandising di luar negeri sana, sekarang kita akan beralih ke sub-pembahasan berikutnya. Kira-kira, bagaimana dengan kondisi relasi followers media sosial dengan penjualan merchandise bagi tim esports lokal?

 

Melihat Dari Perspektif Esports Lokal

Apabila bicara soal konten media sosial dan merchandise di ranah esports lokal, saya melihat setidaknya ada tiga tim yang mungkin bisa dimasukkan sebagai contoh kasus. Ketiga tim tersebut adalah EVOS Esports, ONIC Esports, dan Bigetron Esports. Ketiga tim tersebut saya jadikan contoh karena ketiganya sama-sama terlihat getol menciptakan merchandise tim esports yang lebih fashionable.

EVOS Esports mungkin jadi salah satu pionir dan terlihat paling getol mengembangkan branding merchandise mereka ke arah lifestyle. Mereka terlihat gencar melakukan kolaborasi bersama beberapa seniman fashion lokal dalam pembuatan lini merchandise miliknya. Mereka juga membuka EVOS Store pada tahun 2019 lalu sebagai bentuk komitmen tersebut.

EVOS x Thanksinsomnia - Photo 2
Hoodie hasil kolaborasi EVOS Esports dengan Thankinsomnia.

ONIC Esport pun seperti demikian. Mereka terlihat melakukan beberapa kolaborasi dengan brand-brand fashion dan lifestye untuk mengembangkan lini merchandise-nya. Beberapa di antaranya seperti kolaborasi ONIC Esports dengan KITC ataupun kolaborasinya dengan salah satu brand footwear lokal ternama yaitu Brodo.

antara media sosial dan merchandise tim esports
Sepatu hasil kolaborasi ONIC Esports dengan Brodo. Sumber Gambar – ONIC Esports Official.

Bigetron Esports mungkin belum terlihat melakukan kolaborasi-kolaborasi dengan brand fashion. Walupun demikian, lini merchandise milik si robot merah tetap mengikuti tren dengan penampilan ala streetwear. Salah satu contohnya bisa dilihat dari jaket Red Aliens Bomber Jacket 2021 yang ditampilkan dengan rancangan grafis ala cyberpunk yang memang sedang trending. Selain itu, Bigetron Red Aliens juga tercatat sebagai tim esports dengan performa media sosial tertinggi menurut Shareablee, bahkan mengalahkan FaZe Clan.

antara media sosial dan merchandise tim esports
Walau bukan hasil kolaborasi, tapi rancangan Bigetron Red Aliens Bomber Jacket ini tetap ingin menonjolkan kesan fashionable. Sumber Gambar – Bigetron Official.

Setelah melihat bagaimana ketiga tim tersebut memperlakukan lini merchandise miliknya, mari kita melihat jumlah followers media sosial yang dimiliki oleh masing-masing tim. Saya menjadikan Instagram sebagai sampel media sosial dari ketiga tim tersebut karena Instagram adalah media sosial dengan jumlah followers terbesar dari ketiga tim tersebut. EVOS Esports memiliki 5,7 juta followers pada akun official-nya. ONIC Esports memiliki 1,1 juta folllowers, sementara Bigetron Esports memiliki 1,3 juta followers.

Lalu untuk melihat penjualan merchandise dari ketiga tim tersebut, saya menggunakan data official shop mereka di Tokopedia dan Shopee. EVOS Esports sudah mencatatkan sekitar 16 ribu produk terjual di official shop Tokopedia dan sekitar 750 produk terjual di official shop Shopee. ONIC Esports mencatatkan sekitar 1600 produk terjual di official shop Tokopedia dan sekitar 220 produk terjual di official shop Shopee. Terakhir Bigetron Esports sudah mencatatkan sekitar 4800 produk terjual di official shop Tokopedia dan sekitar 360 produk terjual di official shop Shopee.

Setelah ditilik, ternyata memang perbandingan angka jumlah followers media sosial sangat timpang dengan jumlah orang yang membeli merchandise dari tim esports. Untuk mengihitung kisaran angka konversi, saya membagi jumlah pembeli merchandise dengan jumlah followers lalu dikali 100 untuk menghitung persentase. Setelah dihitung, maka saya mendapatkan angka konversi kurang lebih sebesar ini: EVOS Esports mencatatkan angka konversi sebesar 0,29%, ONIC Esports sebesar 0,14%, dan Bigetron Esports sebesar 0,42%.

Angka konversi yang saya dapatkan tersebut tentunya adalah angka yang sangat kasar. Hal tersebut mengingat pembelian merchandise tak terbatas pada official shop saja dan tidak terbatas pada pembelian online saja. Di luar dari official shop, beberapa merchandise tim esports kadang dijual di marketplace online lain. Kolaborasi antara ONIC Esports dengan sepatu Brodo misalnya, yang dijual secara online hanya di official website milik Brodo, tidak di official shop ONIC Esports.

Karena saya menghitung angka total penjualan secara online, maka penjualan offline seperti di EVOS Store atau pada saat gelaran M1 2019 tentu jadi tidak terhitung. Belum lagi kalau misalnya kita juga menghitung penjualan di toko pihak ketiga (yang mungkin dipertanyakan orisinalitas barang jualannya) yang banyak sekali jumlahnya.

Terlepas dari itu, angka konversi yang kecil tersebut sebenarnya tidak selalu berarti buruk. Malah apabila Anda oportunis, angka tersebut adalah bukti masih besarnya peluang komersialisasi merchandise bagi tim esports. Shawn Liem selaku CEO dari ONIC Esports juga sempat memberi pandangannya seputar bisnis merchandising bagi tim esports.

Dirinya mengakui bahwa merchandise adalah salah satu revenue stream bagi ONIC, walau jumlahnya ketinggalan dibanding yang lain. “Kontribusi terbesar untuk saat ini masih dari sponsorship dan talent management.” Ucap Shawn menjelaskan. Namun, seperti yang saya bilang, angka konversi yang kecil tersebut sebenarnya bisa jadi peluang untuk dikembangkan. Karenanya tim seperti ONIC Esports pun berpikir serupa seperti apa yang saya pikirkan.

Sumber Gambar – YouTube Channel BRODO

“Lewat kemitraan dengan JUARA pada tahun ini, ONIC Esports ingin fokus mengembangkan merchandise sebagai salah satu pilar bisnis utama. Kami memandang merchandise sebagai identitas tim yang dapat mencerminkan branding dari tim itu sendiri. Oleh sebab itu, ONIC Esports sangat memmerhatikan produk merchandise yang kami keluarkan agar menjadi kebanggan untuk para SONIC (sebutan fans ONIC Esports) dan penggemar esports.” Tutur Shawn Liem menjelaskan pandangannya.

Dalam hal konversi dari followers menjadi pembeli merchandise, Shawn Liem mengatakan bahwa memang beberapa pembelinya justru bukan followers tim ONIC Esports. “Walaupun begitu, sejauh ini terlihat bahwa antusiasme fans terhadap produk baru yang kami keluarkan terbilang cukup tinggi. Hal tersebut bisa jadi disebabkan karena desain merchandise yang inovatif serta kolaborasi dengan brand lokal terkemuka.”

Selain dari itu, satu hal yang saya juga penasaran adalah pendataan dari tim esports. Bagaimanapun, fans adalah bahan bakar bagi tim esports. Pertanyaannya, apakah tim esports seperti ONIC mendata dan mengukur tingkat fanatisme fans mereka? Secara umum, saya menangkap dari jawaban Shawn Liem bahwa ONIC Esports mungkin memang belum sampai segitunya mendata para penggemarnya.

Namun demikian Shawn Liem menjelaskan. “Kami mencoba memberikan insentif dalam pembelian merchandise dengan menghadirkan sistem loyalty point. Untuk saat ini fokus kami adalah untuk terus meningkatkan kualitas produk dan meningkatkan value dari brand sehingga target market kami dapat meluas dari SONIC, ke fashion entushiast, sampai ke masyarakat di luar dunia esports.” Tuturnya sambil sedikit menjelaskan ONIC Esports di bidang merchandising.

Setelah banyak bicara soal merchandising, Shawn Liem juga sedikit membagikan pandangannya soal poosisi konten digital bagi sebuah tim esports. Shawn Liem pun menjelaskan bahwa memang konten digital kini sudah tidak terpisahkan bagi tim esports. Perannya juga bukan hanya sebagai suplemen saja, tetapi melainkan sebagai platform pemasaran utama baginya.

antara media sosial dan merchandise tim esports
Dokumentasi: ONIC Esports

“Konten digital bukan lagi pelengkap saja, melainkan platform pemasaran utama untuk mendukung pilar-pilar bisnis sebuah tim esports. Secara operasional, tim esports seperti ONIC dapat dikategorikan sebagai perusahaan yang bergerak di bidang media, entertainment, dan creative industry yang secara umum didorong oleh viewership konten dan media engagement. Tapi di luar itu, tentunya kami sebagai perusahaan juga harus terus berkembang dan bisa melihat peluang apa saja yang bisa dapat kami maksimalkan.” Tutur Shawn Liem.

Terakhir dalam hal integrasi antara konten dengan penjualan merchandise, Shawn Liem mengaku bahwa fokus yang ingin ia lakukan bersama ONIC Esports saat ini adalah branding. “Fokus kami saat ini adalah melakukan branding bahwa merchandise ONIC Esports bukan sekadar merchandise, melainkan sebuah brand fesyen Indonesia. Inisiatif kolaborasi dengan brand lokal adalah inifiatif awal kami yang tujuannya untuk memperluas pengaruh dan relevansi ONIC Esports di dunia fesyen, sembari meningkatkan kapabilitas internal kami dari segi rancangan dan kualitas. Harapan masa depannya adalah, merchandise ONIC Esports dapat berkembang menjadi brand fesyen yang ternama dengan kualitas produk yang kompetitif.”

Sementara prestasi tim-tim esports terus melejit, komersialisasi lewat konten digital dan merchandise memang menjanjikan peluang yang lebih besar ketimbang sekadar mengejar hadiah uang turnamen saja. Melalui artikel ini kita semua juga dapat melihat bahwa memang penjualan merchandise tim esports tergolong masih punya ruang yang cukup besar untuk berkembang di masa depan. Semoga pembahasan kali ini dapat memberi perspektif baru bagi Anda ataupun menjadi inspirasi untuk mengembangkan bisnis di bidang esports.

Map Baru Valorant akan Membawa Anda ke Pantai Tropis, Breeze

Act baru Valorant akan datang dalam waktu dekat. Setiap Act memang biasanya menyuguhkan konten baru bagi para pemain FPS dari Riot Games ini. Meski begitu, Act 3 lebih istimewa karena akan menyuguhkan map baru, sebuah pantai tropis yang cerah.

Menurut Riot, map ini didesain untuk memberikan hal-hal baru yang tidak ditawarkan oleh map-map lain yang sudah dirilis lebih dulu. Fokus utama dari Breeze adalah bidikan jarak panjang. Selain map ini cocok buat para sniper, potensi besar juga dimiliki oleh Agent yang memiliki ability untuk jarak jauh seperti Toxic Screen dari Viper ataupun ultimate dari Astra.

Anda bisa melihat trailer map reveal-nya dari Riot Games di bawah ini.

Selain itu, Breeze juga akan memiliki banyak ruang terbuka — yang jarang dimiliki oleh map Valorant lainnya yang biasanya banyak memiliki koridor sempit. Dengan map unik ini, Riot berharap dapat menyegarkan permainan dengan gaya, senjata, dan agent yang berbeda.

Selain menyuguhkan map baru, Valorant Act 3 juga akan memiliki Battle Pass baru yang berisikan skin senjata baru, kartu pemain gun buddies, ataupun spray. Seperti biasanya, ada dua jenis track yaitu gratis dan berbayar (US$9,99). Battle Pass ini akan berjalan dari tanggal 27 April (bersamaan dengan mulainya Act 3) sampai 21 Juni 2021.

Map baru ini tentunya akan membuat permainan di Valorant jadi menawarkan gaya dan warna yang berbeda. Namun jujur saya lebih penasaran jika map ini nanti digunakan untuk medan pertempuran di turnamen esports Valorant.

Berbicara soal esports Valorant, saya sempat menuliskan prediksi saya tentang peluang keberhasilannya di tanah air. Apakah Anda setuju dengan pendapat saya di artikel itu?

Degradasi Kualitas Konten Digital Adalah Keniscayaan

Sponsorship adalah salah satu sumber pemasukan utama organisasi esports. Untuk menarik para sponsor, sebuah organisasi esports tidak hanya harus punya prestasi, tapi juga punya fanbase. Salah satu cara membesarkan dan menjaga fanbase adalah dengan aktif di media sosial, termasuk YouTube. Sayangnya, terkadang, tidak semua pelaku esports sabar membangun fanbase, apalagi di industri niche seperti competitive gaming. Ada pihak yang memilih untuk mengambil jalan pintas. Salah satu caranya dengan mengunggah konten eksploitatif, seperti video yang menjurus ke hal-hal tak senonoh, drama pribadi, ataupun konten picisan lainnya.

Sayangnya, membuat konten kontroversial tampaknya akan menjadi tren yang tak terelakkan di masa depan. Kenapa bisa begitu?

 

Semakin Banyak Orang yang Ingin Menjadi Kreator Konten

Di Indonesia, semakin banyak orang yang tertarik untuk menjadi kreator konten. Buktinya, berdasarkan Google Trends 2020, “Cara menjadi YouTuber pemula” merupakan kata kunci paling populer kedua dalam kategori “Bagaimana cara”. Sementara itu, “Cara menjadi terkenal” ada di peringkat lima. Hal ini menunjukkan bahwa ada banyak masyarakat Indonesia yang tertarik untuk menjadi bintang di internet.

Tren pencarian di Google pada 2020. | Sumber: Google Trends

Sebenarnya, tidak ada yang salah jika seseorang ingin menjadi kreator konten. Toh, besar pemasukan yang didapatkan seorang YouTuber cukup menggiurkan. Setiap bulan, seseorang bisa mendapatkan jutaan Rupiah per bulan “hanya” dengan mengunggah video ke YouTube. Sementara menurut Kompas, Deddy Corbuzier, yang masuk ke dalam daftar lima YouTuber paling sukses di Indonesia, diperkirakan punya pemasukan sekitar US$34-543,3 ribu (Rp495 juta-Rp7,9 miliar) per bulan. Dengan iming-iming penghasilan hingga miliaran Rupiah dan juga popularitas, siapa yang tidak tergiur?

Satu hal yang harus diingat, semakin banyak orang yang menjadi kreator konten, maka persaingan juga akan semakin ketat. Ibarat sebuah kue, semakin banyak orang yang ingin memakan kue itu, maka semakin sedikit pula porsi yang diterima oleh setiap orang. Tentu saja, di dunia nyata, tidak semua orang mendapatkan jatah yang sama. Ketika masyarakat berbondong-bondong untuk menjadi YouTuber, sebagian dari mereka mungkin akan sukses, sementara kebanyakan mungkin akan tumbang. Masalahnya, seberapa besar kesempatan seseorang bisa sukses sebagai kreator konten?

Berdasarkan data dari Social Blade, lima YouTuber dengan pemasukan terbesar di Indonesia antara lain Deddy Corbuzier, Ria Ricis, Baim Wong, Raffi Ahmad, dan Atta Halilintar. Dari lima orang itu, tiga di antaranya merupakan selebriti, yang sudah memiliki fans bahkan sebelum mereka mulai membuat konten di YouTube. Bagi orang yang bukan siapa-siapa, mereka harus bekerja lebih keras untuk bisa menggaet penonton. Sebagian orang bahkan rela untuk mempertaruhkan nyawanya demi konten. Dan pernyataan itu tidak hiperbolis. Salah satu bukti nyata, pada April 2021, seorang pemuda meninggal terlindas truk karena dia mencoba untuk menghadang truk yang sedang melintas. Kenapa dia melakukan hal itu? Karena dia dan teman-temannya sedang berusaha untuk membuat konten viral. Kejadian serupa terjadi para Maret 2021.

Kabar baiknya, para pemain esports kini mendapat status idola layaknya atlet profesional atau selebritas. Jadi, bagi pemain atau organisasi esports profesional, mereka bisa langsung menargetkan para fans competitive gaming. Masalahnya, jumlah penonton esports terbatas. Memang, audiens esports menunjukkan tren naik. Pada 2021, jumlah penonton esports di dunia diperkirakan mencapai 474 juta orang.

Pertumbuhan penonton esports. | Sumber: Newzoo

Hanya saja, jika dibandingkan dengan total pengguna internet — yang mencapai 4,72 miliar orang — tentu saja jumlah penonton esports masih jauh lebih sedikit. Jadi, tidak heran jika ada pelaku esports yang tergiur untuk “keluar jalur” dan menargetkan pengguna internet yang mungkin bukan fans esports. Dan ketika Anda melompat masuk ke kolam yang lebih besar, Anda juga harus siap dengan tantangan yang lebih sulit.

 

Seberapa Ketat Persaingan untuk Mendapatkan View?

Menurut hukum permintaan dan penawaran, nilai sebuah produk ditentukan oleh ketersediaan dan permintaan akan barang tersebut. Semakin banyak orang yang tertarik untuk membeli sebuah produk, semakin tinggi harganya. Sebaliknya, semakin banyak jumlah orang yang menyediakan produk itu, semakin turun harganya. Pada satu titik, keduanya akan saling bertemu.

Dalam industri pembuatan konten, kreator konten merupakan penyedia produk. Sementara penonton adalah pembeli. Untuk memperkirakan penawaran dan permintaan konten, ada beberapa tolok ukur yang bisa kita gunakan. Jumlah channel YouTube atau jumlah video atau artikel digital bisa menunjukkan sisi penawaran, sementara jumlah pengguna internet dan durasi menonton bisa menjadi cerminan dari permintaan pasar akan konten.

Pertama, mari kita melihat data tentang jumlah pengguna internet di dunia. Menurut Statista, pada 2021, tingkat penetrasi internet di dunia mencapai 53,7%. Hal itu berarti, jumlah pengguna internet mencapai 4,2 miliar orang. Jika dibandingkan dengan tingkat penetrasi pada 2020, tingkat penetrasi pada 2021 menunjukkan kenaikan, meski tidak besar, hanya 1,3%. Dari tahun 2014, tingkat penetrasi internet di dunia memang terus menunjukkan kenaikan. Bagi kreator konten atau orang yang ingin menjadi kreator konten, hal ini adalah kabar baik karena jumlah audiens mereka terus bertambah dari tahun ke tahun.

Persentase pengguna internet di dunia dari tahun ke tahun. | Sumber data: Statista

Namun, jika Anda mengamati garis merah pada grafik di atas, Anda akan melihat pada pertumbuhan tingkat penetrasi pengguna internet di dunia menunjukkan tren menurun sejak 2017. Artinya, jumlah pertumbuhan pengguna internet mengalami perlambatan.

Di Indonesia, tren jumlah pengguna internet juga menunjukkan pola yang sama seperti tingkat penetrasi internet di dunia. Pertumbuhan jumlah pengguna internet Indonesia diperkirakan akan memuncak pada 2019, sebelum mengalami penurunan dalam beberapa tahun ke depan. Berikut grafik berdasarkan data dari Statista.

Jumlah pengguna internet di Indonesia dan laju pertumbuhannya. | Sumber data: Statista

Sekarang, mari kita meninjau data terkait YouTube. Pada 2020, ada 37 juta channels YouTube secara global. Angka ini naik 23% dari tahun 2019, berdasarkan data dari Social Blade. Sementara itu, setiap menit, 500 juta jam video diunggah ke YouTube. Berikut grafik yang menunjukkan pertumbuhan jumlah channel YouTube dari tahun 2017 sampai 2020.

Pertumbuhan jumlah channel YouTube. | Sumber: Social Blade, tubics

Jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan jumlah pengguna internet, pertumbuhan jumlah channel YouTube jauh lebih tinggi. Dan hal ini bisa menjadi masalah bagi kreator konten. Alasannya, ketika tingkat pertumbuhan channel YouTube lebih tinggi dari pertumbuhan jumlah pengguna internet, maka suplai konten akan naik drastis, sementara jumlah penonton atau konsumen cenderung stagnan. Jika persediaan produk naik tapi permintaan tetap, maka hal ini akan membuat harga turun dan jumlah produk yang berlebihan.

Jumlah pengguna internet bukan satu-satunya metrik yang bisa digunakan untuk menunjukkan tren konsumsi video. Kita juga bisa melihat hal ini dari jumlah pengguna YouTube. Menurut Hootsuit, YouTube memiliki 2 miliar pengguna aktif bulanan. Mengingat Anda tetap bisa menonton YouTube tanpa harus login, maka kemungkinan, jumlah penonton YouTube lebih besar dari itu. Sementara penonton dewasa — yang berumur setidaknya 18 tahun — menghabiskan 41,9 menit untuk menonton YouTube setiap harinya. Jadi, rata-rata waktu yang dihabiskan oleh penonton YouTube per minggu adalah 4,9 jam atau 255 jam per tahun. Secara total, pengguna YouTube mengonsumsi lebih dari 1 miliar jam video setiap hari.

Angka ini memang terlihat besar. Namun, setiap menit, ada 500 juta jam video baru yang diunggah ke YouTube. Hal itu berarti, dalam sehari, total durasi konten baru yang diunggah ke platform video tersebut akan menembus 720 miliar jam, jauh lebih besar dari total durasi konten yang dikonsumsi setiap hari.

Semua data di atas menunjukkan betapa ketatnya persaingan untuk mendapatkan view di YouTube. Jadi, jangan heran jika ada kreator konten baru, termasuk pelaku dunia esports, yang tergiur untuk mengambil jalan pintas ke popularitas dengan membuat konten yang berbau drama atau bersifat kontroversial.

Pertanyaannya…

 

Apa yang Membuat Konten Kontroversial Begitu Menarik?

Setiap orang punya standar “konten kontroversial” masing-masing. Apa yang saya anggap sebagai kontroversial, mungkin tidak aneh bagi sebagian orang. Begitu juga sebaliknya. Karena itu, dalam artikel ini, saya akan membatasi definisi konten kontroversial menjadi konten yang menampilkan drama atau menjurus ke konten kurang senonoh.

Menurut Psych Central, ada beberapa alasan mengapa seseorang suka menonton konten berupa drama atau konflik. Salah satu alasannya adalah karena masalah yang dihadapi oleh orang lain bisa mengalihkan perhatiannya dari masalah yang tengah ia hadapi. Jadi, menonton konten merupakan bentuk pelarian dari kenyataan. Alasan lainnya adalah karena bagi sebgian orang, konflik yang berujung pada drama adalah hal yang wajar, yang mereka temukan dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya, orang-orang yang punya pikiran seperti ini tumbuh besar di keluarga yang kurang akur, sehingga mereka terbiasa melihat konflik.

Menariknya, faktor biologis juga punya peran dalam membuat seseorang senang menonton konten berupa drama konflik. Pasalnya, ketika Anda menonton konten berisi konflik, hal ini bisa memicu rasa marah Anda. Dan rasa marah tersebut bisa membuat tubuh mengeluarkan endorfin, hormon yang berfungsi untuk mengurangi rasa sakit dan memberikan perasaan positif. Alhasil, orang-orang menjadi “kecanduan” menonton konten dramatis demi mendapatkan endorfin.

Dalam studi berjudul “Social Transmission, Emotion, and the Virality of Online Content”, Jonah Berger dan Katherine L. Milkman mencoba untuk mencari tahu akan karakteristik konten viral. Mereka menemukan emotional engagement merupakan kunci penting untuk membuat sebuah konten viral. Salah satu tipe konten yang punya potensi menjadi viral adalah konten yang menginspirasi atau lucu. Uniknya, konten yang memicu rasa marah juga berpotensi viral.

Studi yang dilakukan oleh University of Indiana juga menunjukkan hal yang sama: konten yang memicu rasa marah punya kesempatan lebih besar untuk viral. Namun, rasa marah yang dimaksud di sini bukanlah rasa marah yang membuat seseorang ingin melakukan kekerasan, tapi rasa marah yang mendorong seseorang untuk berdebat. Misalnya, jika seorang kreator konten membuat video yang menyebutkan, PUBG Mobile merupakan game esports yang lebih baik dari Free Fire — atau sebaliknya — video tersebut kemungkinan akan dibanjiri komentar dari fans kedua game tersebut. Hanya saja, tolong ingat kalau netizen Indonesia mendapatkan gelar “paling tidak sopan” se-Asia Tenggara. Jadi, kreator konten yang membuat konten kontroversial dan mengundang debat harus siap mental menghadapi netizen.

Menariknya, kreator konten bukan satu-satunya pihak yang mencoba untuk merangsang emosi pengguna demi mendapatkan penonton, studio film pun melakukan hal yang sama. Hal ini terlihat dari perubahan tren villain pada film-film Hollywood. Pada tahun 1950-an, kebanyakan film mengangkat tema “kita vs mereka”. Dalam film-film itu, seorang villain digambarkan sebagai penjahat yang menjadi jahat karena memang terlahir sebagai penjahat. Ada garis jelas yang memisahkan antara sang villain dan protagonis.

Sementara sekarang, kebanyakan villain justru bisa menarik simpati penonton. Misalnya, Killmonger dari Black Panther atau Thanos dari Avengers: End Game. Kedua villain itu berusaha untuk memecahkan masalah di status quo demi menciptakan dunia yang lebih baik. Hanya saja, mereka menggunakan cara yang terlalu radikal, sehingga mereka dicap sebagai villain dan bukannya pahlawan.

 

Kesimpulan

Belakangan, esports semakin disorot. Bahkan pemerintah pun menunjukkan ketertarikan dengan esports. Hal ini membuat semakin banyak orang tertarik untuk masuk ke esports. Di satu sisi, meningkatnya jumlah pelaku di dunia esports adalah kabar baik. Di sisi lain, hal itu membuat persaingan menjadi ketat, termasuk dalam memenangkan hati fans. Tak berhenti sampai di situ, ketika sebuah tim atau seorang atlet esports sukses mendapatkan fanbase, mereka juga harus bersaing dengan konten-konten non-esports, seperti konten musik, dokumenter, vlog, dan lain sebagainya. Bagaimanapun juga, setiap manusia hanya punya waktu 24 jam sehari. Waktu yang digunakan untuk menonton konten gaming dan esports juga waktu yang sama yang bisa digunakan untuk bekerja, tidur, ataupun hiburan lainnya seperti musik, film, ataupun yang lainnya.

Persaingan yang ketat mungkin akan memicu sebagian orang untuk menjadi lebih semangat. Hanya saja, kompetisi juga justru membuat orang-orang memilih untuk mengambil jalan pintas. Dalam pembuatan konten, salah satu jalan pintas yang bisa seseorang ambil adalah membuat konten yang kontroversial. Misalnya, membuat pernyataan yang mengundang perdebatan, membahas drama pribadi, atau bahkan membuat konten yang menjurus ke ranah pornografi.

Sayangnya, hal ini tidak hanya merugikan pelaku, tapi juga ekosistem esports secara keseluruhan. Pasalnya, ada berbagai stigma negatif yang sudah melekat di industri game dan esports; stigma yang sampai sekarang belum hilang sepenuhnya. Sayangnya, baik di ranah esports, gaming, ataupun kebanyakan ranah lainnya, degradasi kualitas konten adalah sebuah keniscayaan.

ESPL Jadi Partner Warner Music Asia

Hubungan antara musik dan esports memang sudah cukup manis sejak beberapa tahun silam. Kami sempat membahasnya panjang lebar sebelumnya. Kali ini, hubungan antara kedua industri besar ini kembali terjalin lewat Esports Players League (ESPL) yang berbasis di Singapura dengan Warner Music Asia.

Kesepakatan antara keduanya mengizinkan ESPL untuk mengintegrasikan properti (musik) milik Warner Music ke dalam platformnya dan meningkatkan awareness untuk artis atau musik tadi ke komunitas esports dan fans di seluruh dunia. Selain itu, ESPL jadi representasi dari Warner Music Asia di ranah gaming.

Selain itu, kolaborasi antara keduanya akan membuka kerja sama yang autentik antara brand-brand yang selaras antara rekanan lain dari ESPL, termasuk game publisher, developer, ataupun brand lainnya.

“Kami sangat senang bisa bekerja sama dengan ESPL. Ada irisan besar antara penikmat gaming dan musik, komunitas grassroot pemain esports dari ESPL ataupun fans-fans-nya, akan membawa kedua segmen tadi melebur jadi satu. Ekosistem ESPL yang terpercaya akan memungkinkan kami menghantarkan pengalaman baru yang autentik dan berkesan, khususnya untuk para gamer. Kami pun sudah tidak sabar menantikan apa yang bisa mereka saksikan dan rasakan sendiri.” Ujar Darren Ho, SVP Music Entertainment and Partnership, Warner Music Asia — dikutip dari EuropeanGaming.

Image Credit: ESPL

“Esports adalah industri dengan pertumbuhan tercepat di era hiburan digital. Warner Music selalu aktif dalam lanskap yang selalu berubah di era sekarang sehingga kerja sama strategis ini akan memberikan nilai lebih kepada kedua pihak dan rekananan di jaringan global kami — yang kami yakin akan mengangkat persaingan esports amatir ke level yang lebih tinggi.” Ungkap Michael Broda, CEO dan Co-Founder dari ESPL, dikutip dari sumber yang sama.

Buat yang belum tahu, ESPL memang merupakan platform turnamen esports yang fokus mengembangkan komunitas esports kelas grassroot — seperti yang dijelaskan sang CEO saat kami membahas soal peluang bisnis dari platform turnamen esports.

“ESPL fokus pada level amatir yang memiliki basis pemain leibh besar. Seiring berkembangnya industri esports, maka brand akan memerlukan akses ke market esports amatir.” Terang Michael.

Tentu saja, menarik untuk melihat kelanjutan dan sepak terjang antara keduanya karena musik adalah salah satu industri ‘tua’ yang belum menua pasarnya. Tidak seperti industri olahraga yang demografi penontonnya semakin menua setiap tahun.

Featured Image via: The Music Network

10 Gadget Pilihan untuk Hadiah Lebaran di Harga 3-5 Juta Rupiah

Membeli gadget baru sebagai hadiah Lebaran untuk orang-orang terdekat tidak perlu sampai menguras habis tabungan. Pasalnya, ada banyak pilihan yang dapat disesuaikan dengan budget masing-masing.

Di artikel ini, kami telah memilih 10 gadget pilihan di rentang harga 3 sampai 5 juta rupiah yang semuanya dapat dijadikan kejutan yang berkesan menyambut hari raya Idul Fitri tahun ini.

1. realme 8

Pada kategori smartphone, ada realme 8 yang bisa dijadikan pertimbangan. Di toko resminya, perangkat ini dijual dengan harga Rp3.599.000, tapi fitur-fitur yang ditawarkan seakan melebihi harga jualnya. Yang paling utama, ponsel ini hadir membawa kamera utama 108 megapixel dan sederet fitur fotografi beserta videografi yang kreatif, seperti misalnya Neon Portrait, Dynamic Bokeh, Tilt-Shift Video maupun Starry Mode Video. Kombinasi tersebut tentu sangat cocok untuk menciptakan beragam konten kreatif selagi liburan.

2. Xiaomi Redmi Note 10 Pro

Alternatifnya, Anda juga bisa meminang Xiaomi Redmi Note 10 Pro yang sama-sama menawarkan kamera utama 108 megapixel. Layarnya pun juga cukup istimewa dengan panel AMOLED yang memiliki resolusi FHD+ dan refresh rate 120 Hz. Ada dua varian yang ditawarkan di pasar Indonesia: 6 GB/64 GB seharga Rp3.499.000, dan 8 GB/128 GB seharga Rp3.899.000.

3. Huawei MatePad

Tablet yang satu ini hadir mengusung layar IPS 10,4 inci dengan resolusi 2000 x 1200 pixel, tidak ketinggalan pula fitur-fitur pendukung untuk membantu menjaga mata tetap nyaman. Beragam fitur cerdas yang diusung juga menjadikan Huawei MatePad sebagai pilihan yang ideal untuk belajar maupun menikmati konten hiburan di mana saja dan kapan saja. Harganya dipatok Rp4.499.000 untuk varian 4 GB/128 GB, atau Rp3.999.000 untuk varian 4 GB/64 GB.

4. Nintendo Switch

Popularitas game console yang satu ini sudah tidak perlu diragukan lagi. Berbeda dari PlayStation maupun Xbox, Nintendo Switch dapat dimainkan sebagai console rumahan maupun sebagai handheld console saat bepergian. Di saat console lain mengedepankan kualitas grafis dan performa prosesor, Switch justru lebih mementingkan keasyikan bermain, dan ini bisa dilihat dari banyaknya game yang mengadopsi mode multiplayer yang unik beserta aksesori kreatif macam Robo Lab.

Pastikan Anda memilih Nintendo Switch versi yang lebih baru, yang daya tahan baterainya jauh lebih baik daripada versi pertamanya. Di Indonesia, Nintendo Switch tanpa bundel game apapun saat ini dapat dibeli di kisaran harga 4,2 jutaan rupiah.

5. HP Laptop – 14s-fq0010au

HP Laptop – 14s-fq0010au termasuk salah satu laptop murah dengan performa yang dapat diandalkan. Perangkat berlayar 14 inci ini ditenagai oleh prosesor AMD 3020e dan dilengkapi SSD PCI berkapasitas 256 GB, cukup sebagai modal untuk mendukung aktivitas belajar anak-anak di rumah secara daring. Harganya dipatok Rp4.399.000.

6. Acer BS-120

Proyektor bernama Acer BS-120 ini dapat menghasilkan gambar dengan resolusi maksimum 1920 x 1200 pixel. Dengan proses pemasangan dan pengaturan yang simpel, proyektor ini bakal sangat cocok untuk menyulap ruang keluarga atau kamar menjadi bioskop dadakan di saat berkumpul dengan keluarga, atau ketika sebatas bosan di rumah. Perangkat ini bisa didapat dengan harga sekitar 4,5 jutaan rupiah.

7. Xiaomi Mi TV 4 43 inch

Alternatif lain untuk menciptakan sistem hiburan di rumah tentu adalah dengan menggunakan TV. Xiaomi Mi TV 4 datang dengan panel 43 inci berteknologi Quantum Dot LED yang sanggup menyuguhkan warna yang lebih menonjol, lebih cerah, sekaligus lebih akurat. TV ini juga sudah mendapatkan sertifikasi Dolby Vision 6, serta menawarkan beragam fungsi yang biasa didapatkan di smart TV untuk mengakses beragam aplikasi dan konten digital. Harga resminya dibanderol Rp4.599.000.

8. Jabra Elite 85t

Sesuai namanya, Jabra Elite 85t merupakan penyempurnaan dari Elite 75t. Ukuran driver yang tertanam lebih besar, rancangannya lebih pas di telinga dan lebih tidak mudah lepas, plus dilengkapi teknologi active noise cancellation (ANC) yang lebih canggih. Semua itu selagi menawarkan baterai yang lebih awet; sampai 5,5 jam dalam sekali charge, atau total 31 jam dengan bantuan charging case-nya. Perangkat ini dapat dibeli seharga Rp3.290.000.

9. Sony WH-1000XM4

Meski berjenis over-ear, headphone nirkabel ini membawa rancangan ringan yang nyaman digunakan dalam jangka waktu yang lama. Fiturnya pun lengkap dengan teknologi ANC adaptif yang sangat efektif, serta fitur DSEE Extrem untuk membantu mendongkrak kualitas audio. Sony WH-1000XM4 saat ini dapat dibeli dengan harga resmi Rp4.999.000.

10. Samsung Galaxy Watch Active2

Hadi dengan desain yang minimalis sekaligus elegan, jam tangan pintar besutan Samsung ini membawa fitur yang cukup lengkap untuk menunjang gaya hidup sehat. Sebut saja 39 mode olahraga dan sensor laju jantung untuk memonitor aktivitas harian secara cepat dan akurat. Bukan cuma itu, fisiknya pun tahan air dengan standar 5ATM + IP68. Di Indonesia, Samsung Galaxy Watch Active2 dapat dibeli dengan harga mulai Rp3.199.000.

Mengenal Kubernetes dan Manfaatnya Bantu Startup Lebih Lincah

Google pertama kali memperkenalkan istilah “Kubernetes” pada 2014 berdasarkan pengalamannya selama satu setengah dekade terakhir menjalankan berbagai workloads hasil kontribusi dari berbagai komunitas pengembang dalam ekosistem teknologinya.

Selepas pengembangan awal, Kubernetes pun kian populer di kalangan pengembang dunia. Hal itu tak lepas dari fitur yang diusungnya diklaim memiliki sejumlah keuntungan, di antaranya skalabilitas, portabilitas, deployment yang konsisten, dan separated automated operation and development.

Sejumlah keuntungan dari Kubernetes sejalan dengan semangat startup dan kalangan enterprise yang ingin mempercepat transformasi digitalnya. Terlebih sejak pandemi, banyak pihak yang merasakan dampak dari beralih ke digital. Dalam membahas ini lebih jauh, #SelasaStartup kali ini mengundang VP & Managing Director Southeast Asia SUSE Isabella Kusumawati untuk berbagi pandangannya.

VP and Managing Director Southeast Asia SUSE Isabella Kusumawati / SUSE
Kubernetes adalah sistem orkestrasi kontainer open source yang menyediakan kerangka kerja bagi developer untuk mengatur kontainer

SUSE itu sendiri adalah perusahaan perangkat lunak untuk enterprise yang memiliki solusi Kubernetes dinamai Rancher. Berikut hasil rangkumannya:

Apa itu Kubernetes dan Mengapa dibutuhkan?

Kubernetes adalah sistem orkestrasi kontainer open source yang menyediakan kerangka kerja bagi developer untuk mengatur kontainer ini. Kontainer adalah cara modern yang dilakukan oleh para developer untuk mengemas aplikasi software, sehingga bisa lebih mudah didistribusikan dengan cepat dan efektif. Namun kalau ada terlalu banyak kontainer, ini bisa menjadi sangat sulit untuk dikelola.

Untuk mengoptimalkan fungsi teknologi kontainer, umumnya pengembang memanfaatkan sebuah aplikasi khusus, salah satu yang belakangan sering direkomendasikan adalah Kubernetes. Selain itu, Kubernetes bersifat portabel karena dapat disesuaikan dan dapat memfasilitasi otomatisasi, penerapan, dan konfigurasi kontainer di seluruh kelompok host.

Kubernetes berdiri di atas platform Linux dan dirancang sedemikian rupa untuk mempermudah pengembang mengelola kontainer yang berisikan sekian aplikasi melalui proses yang singkat dan mudah.

“Dengan memasukkan aplikasi ke dalam kontainer dan menggunakan Kubernetes, Anda telah merancang sistem yang bisa support zero down time. Didukung dengan distribusi sistem yang secara otomatis dapat terintegrasi dengan solusi penyimpanan, rollout dan rollback yang sangat penting bagi IP,” terang Isabella.

Dengan menggunakan Kubernetes, para pengguna dapat memperoleh sejumlah keuntungan di antaranya skalabilitas, portabilitas, deployment yang konsisten, dan separated automated operation and development. Misalnya untuk skalabilitas, Kubernetes secara otomatis men-scale cluster berdasarkan kebutuhan pengguna.

Dalam skenario ini, ketika trafik berada di kontainer besar, aplikasi secara otomatis bisa melakukan load balancing traffic, sehingga distribusi trafik tetap bisa dijalankan dengan stabil. Dengan demikian, pengguna dapat menghemat biaya dan sumber tenaga.

Kemampuan ini tentunya sangat berguna untuk aplikasi yang trafiknya sering tidak bisa diprediksi. Perusahaan harus tetap online melayani pembelian tiket acara online misalnya, di mana konsumen membeli tiket 24 jam dalam sehari, tujuh hari seminggu dengan beban yang bervariasi setiap saat. Kendati, Anda tahu gambaran garis besar tentang beban dan trafik pengunjung, serta pola-pola waktunya. Namun, ada saat-saat di mana ada lonjakan yang bertambah secara eksponensial.

Kubernetes untuk semua tahapan perusahaan

Isabella menegaskan, meski terkesan Kubernetes sangat tepat untuk level enterprise karena sangat mendukung proses transformasi digital, namun sebenarnya dapat diaplikasikan oleh semua level perusahaan. “Apalagi startup yang sangat cost conscious, Kubernetes dapat membantu mereka dalam menekan ongkos pengembangan aplikasi.”

Dengan sifatnya yang open source, pengguna akan diuntungkan karena model berlangganannya pay-as-you-use dan dilengkapi monitor manager yang otomatis memberikan rekomendasi untuk scale up atau down.

Umumnya, Kubernetes banyak dipakai oleh perusahaan yang bergerak di teknologi atau yang punya trafik tinggi, seperti manufaktur, ritel, telekomunikasi, distribusi, healthcare, dan lain-lain. “Telko saat ini paling sibuk saat Covid-19 karena mereka harus terus memastikan bandwidth cukup, mengurangi down time, harus selalu up time.”

Sementara itu, bagi perusahaan besar yang ingin menggunakan Kubernetes adalah metode baru karena dapat mempercepat proses pengembangannya. Isabella mencontohkan, sebuah perusahaan hanya membutuhkan waktu maksimal 1,5 bulan dari rencana awal 10 bulan dalam membangun aplikasi.

“Karena dulu saat bangun aplikasi, harus bangun satu per satu ke dalam folder yang tidak beraturan. Dengan clustering, kita menciptakan cluster-cluster sesuai bidangnya masing-masing. Sehingga saat mau mulai baru, tidak perlu brainstorming sudah sampai mana.”

Untuk membantu implementasi Kubernetes lebih masif, SUSE membuat buku Kubernetes Management For Dummies, untuk mendapatkan bantuan dalam membangun lingkungan Kubernetes tingkat perusahaan. Dilengkapi pula dengan komunitas yang hadir di tiap negara, termasuk Indonesia yang mengadakan pertemuan rutin untuk berbagi tentang informasi terbaru dan meminta bantuan apabila menghadapi masalah teknis saat migrasi.

“Kami juga membuat buku panduan untuk mahasiswa Rancher University agar bisa mempelajari Kubernetes sedari awal.”

Panduan tersebut akan mempermudah saat pengguna migrasi, pasalnya banyak tantangan dalam prosesnya karena pengguna memaksakan versi mereka sendiri. Ada sejumlah panduan yang langkah-langkahnya harus diikuti, misalnya operating system terbaru. “Tapi masih banyak yang tidak percaya dan merasa yakin bisa melewati tahap tersebut tanpa kendala. Saat tidak sesuai dengan best practise akan ada kendala, tapi tergantung kompleksitas clustering yang ingin dibangun,”pungkasnya.

Gambar Header: Depositphotos.com