Sektor Digital yang Berpotensi Kian Perkasa Setelah Pandemi Berakhir

Hari-hari yang berat menggelayuti ekonomi dan bisnis selama masa pandemi. Situasi saat ini diperkirakan bakal memperburuk ekonomi dunia dan memperparah tingkat pengangguran. International Monetary Fund atau IMF memproyeksi dampak ekonomi dari wabah Covid-19 ini akan jauh lebih buruk dari resesi global 2008 silam.

Namun resesi tak melulu hanya diisi oleh kabar buruk. Sejarah mencatat selalu ada bisnis, yang tak hanya sekadar bertahan dari krisis, yang justru performanya meningkat drastis. Selain karena kebutuhan di sektor tertentu yang meningkat, keputusan dan strategi yang tepat menjadi alasan mereka dapat mencuat sebagai jawara di bidangnya.

Airbnb dan Uber bisa jadi contoh yang tepat. Keduanya berdiri ketika badai resesi global yang berpusat di Amerika Serikat sedang berembus kencang. Airbnb yang berdiri Agustus 2008 kini bernilai US$35 miliar. Uber berdiri pada Maret 2009 sejak IPO sekarang bernilai US$82,4 miliar. Sebagai tambahan, ada juga Pinterest yang muncul pada Desember 2009 telah mengantongi valuasi hingga US$10,6 miliar.

Pola tersebut sejatinya tak hanya terjadi pada startup saja. Korporasi besar yang kita kenal saat ini pun tak sedikit yang lahir dari periode paceklik. Amazon dan eBay adalah sedikit dari contoh yang ada. Berpegang pada pola tersebut pola tersebut, maka tak akan mengherankan setelah pandemi ini berakhir akan bermunculan beberapa jenis layanan dan penyedianya tampil sebagai pemenang.

Healthtech

Tak bisa dipungkiri situasi pandemi saat ini berhasil mengetuk kesadaran banyak orang untuk lebih peka terhadap kondisi kesehatannya. Harga jahe yang kini menembus harga Rp100.000, naik hingga lima kali lipat dari harga normal, adalah bukti paling dekat bagaimana masyarakat kian memperhatikan kesehatan mereka.

Begitu pula yang terjadi dengan healthtech. Layanan telemedicine misalnya kian diminati publik. Mereka yang khawatir akan kemungkinan tertular Covid-19 dan sungkan meninggalkan tempat tinggal bisa dengan mudah mengakses chatbot yang disediakan platform healthtech, seperti dari Alodokter, Halodoc, dan Prixa.

Dikutip dari Katadata, Halodoc dikabarkan transaksi untuk suplemen kesehatan dan produk seperti masker naik hingga dua kali lipat. Begitu pula Alodokter yang menyebut traffic platform mereka tembus dua juta kunjungan. Ini menandakan publik bakal terbiasa dengan produk-produk yang ditawarkan oleh platform ini.

Tanda-tanda melejitnya bisnis layanan kesehatan juga terbaca di lantai bursa. Zacks Equity Research di situs Nasdaq meyakini saham-saham layanan kesehatan di Amerika Serikat bakal melampaui perkiraan pendapatan kuartal pertama mereka.

Video conference

Jika harus menarik pelajaran terpenting dari masa isolasi seperti sekarang, jawaban yang paling relevan untuk para pekerja kerah putih adalah rapat virtual tidak sesulit itu. Platform video conference sudah ada sejak bertahun-tahun lalu, tapi baru kali ini rapat virtual diterima sebagai sesuatu yang lazim.

Skype mungkin aplikasi video conference yang paling awal diketahui publik. Tapi selama masa swakarantina tak akan ada yang bisa menyangkal Zoom menjadi pilihan utama banyak orang. Saking populernya, Zoom tak jarang digunakan sebagai sarana pergaulan.

Transparency Market Research menghitung pasar video conference akan tumbuh rata-rata 8,4% dari kurun 2020-2027. Nilai pasar ini secara global sudah mencapai US$6,1 miliar atau sekitar Rp94 triliun pada tahun lalu. Dengan perkiraan tingkat pertumbuhan di atas, maka pasar video conference berkisar US$11,56 miliar atau Rp178 triliun.

Zoom punya peluang besar mendominasi pasar itu. Namun pengamanan data pengguna yang buruk sangat mungkin menjegal Zoom sebagai pemain nomor satu di pasar. Ini artinya peta kompetisi masih terbuka lebar dan opsi lain di luar Google Meet, Microsoft Teams, hingga Cisco Webex, termasuk pemain lokal seperti Telkomsel CloudX.

Gaming

Kegiatan pengisi waktu luang favorit banyak orang. Seiring terbatasnya kegiatan yang bisa dilakukan selama swakarantina, game console dan esports adalah wahana pelarian yang sempurna.

Memang dalam beberapa aspek, ekosistem game tak sepenuhnya membawa kabar baik. Pembatalan dan penundaan turnamen esport adalah contohnya. Namun di luar itu, industri game tumbuh subur.

Kita bisa mulai dari jumlah pemain yang meningkat drastis. Counter Strike Global Offensive misalnya mencatat rekor jumlah pemain yang bermain dalam waktu bersamaan lebih dari 1 juta orang. Di platform yang lain, Animal Crossing jadi fenomena baru. Permainan buatan Nintendo ini menjelma sebagai game paling dibicarakan sejagat dengan rekor penjualan di berbagai negara.

Sementara itu streaming game tak kalah kencang melaju selama musim wabah ini. Twitch sebagai platform streaming game menjadi tolok ukurnya. Twitch berhasil membukukan lebih dari 3 miliar jam tayang selama kuartal pertama. Rekor demi rekor pun dicetak oleh platform streaming lain, seperti YouTube Gaming Live dan Facebook.

Agritech

Selain tenaga kesehatan, tidak ada pekerja yang lebih esensial selama pandemi dibanding mereka. Aktivitas boleh berkurang, tapi perut tak akan bisa kosong. Adu efisien dan kecepatan menjadi penting bagi para pemain agritech di situasi seperti sekarang.

Di Indonesia, pelaku agritech sedang subur-suburnya. Pembatasan aktivitas untuk mencegah penyebaran Covid-19 memperkuat posisi agritech di dalam mata rantai distribusi pangan. Pasalnya kegiatan belanja bahan pangan kini mau tak mau harus dilakukan dari rumah.

Ini pun memengaruhi distribusi akhir produk pertanian. Jika sebelumnya, konsumen harus datang ke pasar, pasar swalayan, atau ritel modern, maka sistem pesan dan antar jadi tren terbaru. Seperti diketahui bersama sistem ini sangat tak lazim sebelum wabah Covid-19 melanda karena selama ini kita hanya memesan makanan jadi. Namun periode musibah saat ini justru memperlihatkan bahwa distribusi akhir bahan pangan bisa dilakukan ke depan pintu rumah.

Dalam Bisnis Kuliner, Perubahan adalah Keniscayaan

Bisnis kuliner merupakan jenis bisnis yang benar-benar mewakili semangat “beradaptasi atau mati”. Beruntung bagi Kulina, Andy Fajar Handika merupakan sosok yang cepat beradaptasi. Founder & CEO Kulina itu sudah beberapa kali melakukan perubahan dalam bisnis kuliner.

Dalam reality show Kitchen Nightmare, masalah yang dihadapi oleh chef kondang Gordon Ramsay paling sering berpangkal pada pemilik restoran yang sama sekali enggan menyesuaikan diri dengan tren dan perilaku konsumen terbaru. Cara mereka mengasingkan diri dengan kenyataan baru menempatkan mereka di ambang kebangkrutan.

#SelasaStartup edisi kali ini menyoroti bisnis Kulina dan upaya Andy yang mengakrabkan diri dengan segala bentuk perubahan yang diperlukan untuk bertahan di industri kuliner.

Akrab dengan perubahan

Andy yang sudah berbisnis kuliner sejak 2007 punya sejarah panjang dalam beradaptasi di bisnis kuliner. Bisnis kuliner bukan hanya soal cita rasa, tapi juga soal lokasi, harga, hingga cara berjualan. Andy bercerita pertama kalinya ia menggeser bisnisnya ke arah online karena kenaikan harga sewa tanah tempatnya berdagang lebih cepat ketimbang pertumbuhan bisnis mereka sendiri.

Growth bisnis restoran paling hanya 10% per tahun, sedangkan growth tanah bisa 50-80% setahun. Tempat yang strategis harganya jadi sangat-sangat mahal. Akhirnya yang bisa jualan di tempat strategis memang orang yang sangat kaya dengan modal sangat kuat,” kenang Andy.

Kulina berdiri pada 2015 dengan motivasi semua orang bisa yang bisa memasak, bisa menjual masakannya. Namun ide itu terbukti gagal. Andy menyebut di bulan pertama hanya ada satu-dua pelanggan yang notabene kawannya sendiri.

Paham ada banyak yang salah di bisnisnya, Andy langsung berbenah. Hanya dalam hitungan beberapa bulan Kulina melakukan pivot. Mereka akhirnya memilih pekerja kantoran yang minim opsi makan siang di Jakarta sebagai target produk Kulina. Pivot ini berhasil dan mengantarkan Kulina seperti yang kita kenal sekarang.

Situasi khusus

Wabah Covid-19 memukul industri kuliner. Kewajiban swakarantina dan beraktivitas dari rumah menyebabkan restoran terancam gulung tikar karena minim pemasukan. Keadaan ini tentu turut memengaruhi bisnis startup kuliner termasuk Kulina.

Andy mengatakan, saat ini ada perubahan komposisi produk yang dipesan oleh pelanggan mereka. Sebelumnya paket makan per orang mendominasi, tapi saat ini paket makan porsi keluarga justru lebih banyak dipesan. Ia mengklaim secara Kulina mengalami penurunan jumlah pemesanan, namun sebaliknya volume makanan yang dipesan justru meningkat.

Perubahan jenis pesanan itu menurut Andi disebabkan oleh banyaknya besarnya waktu masyarakat untuk mengakses peralatan masak atau kebutuhan pokok. Alhasil pelanggan mereka saat ini lebih melirik produk yang berisi lauk-pauk saja.

“Kita juga besok akan ada launch produk-produk frozen food yang siap dimasak atau dihangatkan.”

Andy mengaku, hingga saat ini Kulina selalu mengalami perubahan rutin dalam skala mikro. Ia bahkan tak bisa menjawab berapa lama waktu yang ia butuhkan sampai menemukan model bisnis yang paling tepat untuk Kulina. “Kalau ditanya apakah sudah ketemu model bisnis yang paling tepat, selalu ada penyesuaian di sana-sini,” pungkas Andy.

Awanio Officially Launches as A PaaS to Help Developers Manage the Server Infrastructure

Cloud computing is the foundation of many digital products nowadays. From all three products of cloud computing, platform as a service (PaaS) might be the one less attractive or targeted by startup players.

It is what Iskandar Soesman, Awanio‘s Co-founder & CEO has in mind. Awanio is one of the very few PaaS startups in the country. He believes that currently global players such as Heroku, Nanobox, Engine Yard, or Nodechef still dominate the PaaS market.

“Also, due to a small number of locals who penetrated this segment, we see this as a huge opportunity for Awanio,” Soesman told DailySocial.

The increasing demand for cloud computing service in Indonesia is not followed by enough talents of software engineer and system engineer, he said. This factor is considered an added value for PaaS players such as Awanio to gain benefits.

Focus on the developer

Soesman and his colleagues have mission for Awanio to lessen the burden of developers. It is based on the developer’s loads to catch and master all variants of operational-based infrastructure technology meanwhile being agile to manage the application.

Therefore, developers must face some challenges from setup server, setup database server, and scale up the application. “The operational working, not many developers have the skill to do it. It can waste their time trying to make up for the preparation.”

In this product, Awanio intends to take over the operational job. Simply put, Awanio service allows developers to simply enter their code into the code repository such as Github, Gitlab, or Awanio.

Business Model

Similar to other cloud-based businesses, Awanio applies a pay as you go business model and a subscription system. The first method allows customers to use Awanio resources that are calculated based on CPU, RAM, storage, and network.

In addition to the infrastructure, the Awanio system will also run on top cloud service providers such as Google Cloud or Amazon Web Services (AWS). According to Iskandar, developers still often have difficulty mastering the technical aspects of cloud infrastructure. He expects Awanio could be the bridge.

Awanio’s products target several layers of consumers, such as developers who work individually, startups with no engineer teams to manage application infrastructure, and corporations with infrastructure but require a system to manage it. Soesman said that Awanio is currently operating with its own funds [bootsrap] and offering limited service due to the minimum viable product (MVP) phase. However,  Awanio has served 174 users across Indonesia and Europe.

“Currently, we cover two regions, Indonesia with a data center in Jakarta and the European Union, which data center is in Hamburg,” Soesman said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Awanio Meluncur sebagai PaaS, Bantu Pengembang Kelola Infrastruktur Server

Komputasi awan adalah “semen dan bata bagi banyak produk digital saat ini. Dari tiga jenis produk komputasi awan, platform as a service (PaaS) bisa disebut sebagai yang paling jarang dibicarakan ataupun disasar para pegiat startup.

Hal itu setidaknya diyakini oleh Iskandar Soesman, Co-founder & CEO Awanio. Awanio adalah satu dari sedikit startup PaaS di tanah air. Ia berpendapat saat ini pemain global seperti Heroku, Nanobox, Engine Yard, atau Nodechef masih mendominasi pasar PaaS.

“Dan karena di lokal belum banyak yang masuk ke segmen ini, kami melihat ini menjadi peluang besar yang bisa diambil oleh Awanio,” ujar Iskandar kepada DailySocial.

Kebutuhan layanan komputasi awan yang terus meningkat di Indonesia menurut Iskandar belum diikuti oleh suplai software engineer dan system engineer yang memadai. Faktor ini yang kemudian dianggap sebagai kesempatan tambahan bagi pemain PaaS seperti Awanio untuk meraih peruntungan.

Fokus pada developer

Misi Iskandar dan kawan-kawannya di Awanio adalah memudahkan kerja para developer. Hal ini didasari oleh beban kerja para developer dalam mengejar dan menguasai berbagai teknologi infrastruktur yang bersifat operasional namun di saat yang bersamaan harus cermat mengelola aplikasi mereka.

Akibat hal itu, pengembang harus berpacu menghadapi bermacam tantangan mulai dari setup server, setup database server, hingga scale up aplikasi. “Pekerjaan operasional seperti ini, kadang tidak semua developer mempunyai skill untuk melakukannya. Akibatnya akan ada banyak waktu yang terbuang hanya untuk melakukan persiapan ini.”

Lewat produknya, Awanio berusaha mengambil alih tugas-tugas operasional tersebut. Dalam kalimat lebih sederhana, layanan Awanio memungkinkan para developer cukup memasukkan code mereka ke dalam code repository seperti di Github, Gitlab, atau Awanio sendiri.

Model bisnis

Tak jauh berbeda dengan pelaku bisnis berbasis komputasi awan lain, Awanio menerapkan model bisnis pay as you go dan sistem berlangganan. Metode pertama memungkinkan pelanggan menggunakan sumber daya Awanio yang dihitung berdasarkan CPU, RAM, storage, dan network.

Selain infrastruktur yang mereka kelola sendiri, sistem Awanio juga akan berjalan di atas penyedia layanan cloud terkemuka seperti Google Cloud ataupun Amazon Web Services (AWS). Menurut Iskandar para pengembang masih kerap kesulitan menguasai aspek teknis dari infrastruktur cloud. Ia berharap Awanio menjadi jembatannya.

Produk Awanio menyasar beberapa lapis konsumen yakni developer yang bekerja secara individu, startup yang tidak memilik tim untuk mengurus infrastruktur aplikasi, serta korporasi yang sudah punya infrastruktur namun memerlukan sistem untuk mengelolanya. Iskandar menyebut Awanio saat ini masih beroperasi dengan dana sendiri dan melayani secara terbatas karena masih berada di fase minimum viable product (MVP). Meski begitu Awanio saat ini sudah memiliki 174 pengguna yang tersebar di Indonesia dan Eropa.

“Jadi untuk saat ini kami punya dua region yaitu Indonsia yang data center-nya ada di Jakarta dan wilayah Uni Eropa yang data center-nya ada di Hamburg,” pungkas Iskandar.

Introducing Indodax’s Sister Company Sehatigold, an E-commerce Platform for Gold

Today is absolutely the right time for those who want to buy gold. Everytime the economy slows down, it’s most certain that people will seek after gold as a commodity. The anti-recession value of gold is the main reason this commodity always has its market.

Before the world economy was partially paralyzed by the outbreak of the corona virus disease 2019 (Covid-19), experts had predicted a recession would envelop the world economy, one of which was triggered by a trade war between the United States and China. Corona pandemic has exacerbated the projections. The IMF estimates that the global economy will shrink to minus 3%. Indonesia’s economic growth is projected to be only 0.5%.

This macro condition that continues to sharpen the gold market. And this is a reason behind Sehatigold‘s gold investment platform creation. The CEO, Denny Ardhiyanto said, truth be told the gold company has been in for decades. However, recently Sehatigold has transformed as an online gold trading platform.

“One of the reasons is because of the increasing number of requests from our customers, especially during this crisis, people have transferred their wealth to gold because it has a more stable value, also a secure investment,” Ardhiyanto told DailySocial.

He also said the platform was made to solve two problems in buying and selling gold, for a very small to the loss of profit margin when trading gold, also the affordability. Sehatigold offers solutions by selling gold starting from 0.01 grams or having a nominal value of IDR 10,000 without any additional costs.

To date, Sehatigold has several main services. In addition to buying and selling gold, customers can exchange the gold savings they buy online into physical gold in the form of jewelry or precious metals. Then, the platform allows users to trade gold.

“Sehatigold’s target and user segments are people in Indonesia who are interested in gold both for savings and speculation,” he added.

Monetization and funding

Ardhiyanto said the gold trading market in Indonesia is quite large. In fact, Antam’s gold sales continue to surge every year. In 2014, the sales were still around 10 thousand kilograms, then increased significantly to 27,891 kilograms in 2018.

Along with the current pandemic, Denny revealed the probability of assets transfer from the capital market and financial markets to the gold market. He also mentioned the price of gold had risen 20% during the first quarter of 2020. “Since the beginning of 2020, we have seen a surge in people’s demand to buy gold. In the past month, thousands of grams of Precious Metals have been withdrawn by members of Sehatigold.”

Related to monetization, Denny said their team took profits as the usual gold shop. However, he claims the difference in profit they take is smaller than other places because they prioritize the volume of transactions.

They are still focused on growing the business, therefore, Sheatigold is yet to raise fund. Denny said they currently operate with independent financial support (bootstrap) with capital injections from angel investors.

As noted from Ardhiyanto’s statement, one of their co-founders is a major shareholder in Indodax. It makes Sehatigold the sister company of the cryptocurrency trading platform.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Platform Jual Beli Emas Sehatigold Diluncurkan, “Sister Company” dari Indodax

Tak ada yang waktu yang lebih tepat untuk membeli emas ketimbang saat ini. Kapan pun perekonomian memburuk, hampir bisa dipastikan emas menjadi komoditas paling diburu oleh masyarakat. Nilai emas yang tahan guncangan resesi adalah alasan komoditas ini tak pernah sepi peminat.

Sebelum ekonomi dunia lumpuh sebagian akibat terjangan corona virus disease 2019 (Covid-19), para pakar sudah memprediksi resesi akan menyelimuti perekonomian dunia yang salah satunya dipicu oleh perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Pandemi corona memperparah perkiraan. IMF memperkirakan ekonomi global akan menyusut menjadi minus 3%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri diproyeksikan hanya sebesar 0,5% saja.

Kondisi makro ini yang membuat gairah pasar emas terus menguat. Dan alasan ini juga yang membuat platform investasi emas Sehatigold muncul. CEO Sehatigold Denny Ardhiyanto mengatakan, sejatinya perusahaan ini sudah puluhan tahun emas. Namun baru belakangan ini Sehatigold bertransformasi sebagai platform jual-beli emas online.

“Salah satu alasannya karena makin banyaknya permintaan dari langganan kami saat ini khususnya karena saat krisis begini banyak orang yang mengalihkan kekayaannya ke emas karena dirasa jauh lebih stabil dan aman,” ujar Denny kepada DailySocial.

Denny mengatakan platform Sehatigold dibuat untuk memecahkan dua masalah dalam jual-beli emas yakni selisih untung yang sangat kecil hingga rugi saat bertransaksi emas serta keterjangkauan harga. Sehatigold menawarkan solusi dengan menjajakan emasnya mulai dari 0,01 gram atau bernominal Rp10.000 tanpa biaya tambahan apa pun.

Sejauh Sehatigold memiliki beberapa layanan utama. Di samping jual-beli emas, pelanggan dapat menukarkan tabungan emas yang mereka beli secara online menjadi emas fisik berupa perhiasan ataupun logam mulia. Terakhir platform Sehatigold memungkinkan penggunanya melakukan perdagangan emas.

“Target dan segmen pengguna Sehatigold adalah masyarakat di Indonesia yang tertarik dengan emas baik untuk tabungan maupun spekulasi,” imbuhnya.

Monetisasi dan pendanaan

Denny menyebut pasar perdagangan emas di Indonesia masih cukup besar. Sebagai gambaran penjualan emas oleh Antam terus melonjak setiap tahun. Jika pada 2014 penjualan mereka masih sekitar 10 ribu kilogram emas, pada 2018 angka penjualannya sudah melonjak menjadi 27.891 kilogram.

Seiring terjadinya pandemi saat ini, menurut Denny terjadi perpindahan aset dari pasar modal dan pasar keuangan menuju pasar emas. Ia mencatat harga emas sudah naik 20% selama kuartal pertama 2020. “Semenjak awal 2020 kemarin, kami memang melihat lonjakan permintaan masyarakat untuk membeli emas dan dalam sebulan terakhir ini, sudah ribuan gram Logam Mulia yang ditarik oleh member Sehatigold.”

Terkait monetisasi, Denny mengaku pihaknya mengambil profit selayaknya toko emas pada umumnya. Namun ia mengklaim selisih untung yang mereka ambil lebih kecil dari tempat lain karena mereka mengutamakan volume transaksi.

Fokus membesarkan bisnis ini pula yang menjadikan Sehatigold belum melakukan pengumpulan dana. Denny mengatakan saat ini Sehatigold beroperasi dengan sokongan dana mandiri dan suntikan modal dari angel investor.

Sebagai catatan dari Denny, salah satu co-founder mereka merupakan pemegang saham utama di Indodax. Hal inilah yang menjadikan Sehatigold sebagai sister company dari platform jual-beli cryptocurrency tersebut.

LinkAja Officially Launches Sharia Feature

After few months of trial, Linkaja officially launched the sharia feature to public. They target to reach one million users for this service.

LinkAja first introduced the sharia features in November last year. One of the most distinguishing features of this sharia is its conventional services as an institution for the deposit (floating funds) to top up balances using the services of Islamic banks.

“LinkAja Syariah targets one million users in the first year,” Acting Director of LinkAja Haryati Lawidjaja said on Tuesday (4/14).

In order to pursue the target, LinkAja has collaborated with 1000 mosques, 11 waqf institutions, 23 zakat institutions, and 67 donation institutions. LinkAja’s ecosystem has been fairly complete, especially since the Islamic economy in Indonesia and the global economy is getting hype in recent years.

Head of Syariah Group LinkAja Channel, Widjayanto Djaenudin said, there are currently several service features that can be used widely, such as qurban, infaq, top-up balance, and zakat. He promised that soon their services could also be used to pay boarding school bills.

“We want to make LinkAja Syariah not available at non-halal merchants. Once choosing to become LinkAja sharia service users, they should already aware of the fact,” Djaenudin said.

LinkAja currently has more than 40 million users with 500 thousand merchants. Their current status positioned LinkAja as the first Sharia electronic money platform in Indonesia. It creates optimism for the company to dominate the Islamic electronic money market in Indonesia.

One of LinkAja’s fast methods to become topnotch is to partner with the Directorate General of Hajj and Umrah Management of the Ministry of Religion. “We have discussed this. I think all shareholders are very supportive to get there,” LinkAja’s President Commissioner, Heri Supriadi said.

On this occasion, Supriadi said that it was possible for their team to compete in other Muslim-majority countries such as Pakistan or Bangladesh. Moreover, Heri highlighted LinkAja’s target to be Indonesia’s number one as the largest Muslim country before expanding into other countries.

Currently, all LinkAja users can access sharia features by updating the application version on Google PlayStore.

DSResearch report of the most popular digital wallet in Indonesia
DSResearch report of the most popular digital wallet in Indonesia

In Indonesia, LinkAja has direct competition with some other digital wallet providers. Based on the DSResearch’s survey published on Fintech Report 2019, LinkAja placed in the fourth position in terms of the most used digital wallet platforms after Gopay, Ovo, and Dana. The service’s feature and integration mark an important value to win the customer’s interest, and each player is on the track to get there — to be the most complete digital wallet.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Langkah Antisipasi P2P Lending terhadap Kredit Macet

Wabah corona virus disease 2019 (Covid-19) sudah nampak memukul berat segala lapisan perekenomian. Dampaknya tak tanggung-tanggung. Ratusan ribu pekerja dikabarkan sudah dirumahkan oleh kantor masing-masing. Krisis ekonomi sudah berlangsung dan diperkirakan masih terjadi hingga beberapa bulan ke depan.

Dalam situasi seperti saat ini salah satu institusi yang menjadi sorotan adalah peer to peer (P2P) lending. Sebagai lembaga penyalur kredit di samping perbankan, layanan P2P lending bisa jadi andalan masyarakat terutama pemilik usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) untuk mengakses modal di situasi sulit seperti ini. Namun dalam kondisi ini juga, risiko yang mereka hadapi meningkat. Ancaman kredit macet bisa terjadi jika langkah antisipasi tak diambil dari jauh hari.

Kami berbicara dengan sejumlah fintech P2P lending menyikapi situasi ini. Investree, Modalku, dan Koinworks turut bicara mengenai ini.

Antisipasi para pemain

Keterangan pertama datang dari Modalku. Secara tertulis, Modalku mengaku sudah memantau potensi dampak Covid-19 sejak Januari lalu. Setidaknya ada tiga langkah yang mereka tempuh sebagai antisipasi yakni seleksi yang lebih ketat kepada calon peminjam dan bereaksi lebih cepat terhadap perubahan kondisi ekonomi makro.

Co-Founder & CEO Modalku Reynold Wijaya mengatakan, sejumlah industri seperti pangan, perjalanan, perdagangan lintas negara, dan industri jasa yang intens memakai tenaga kerja asing yang terkena dampak di Asia Tenggara adalah contoh implementasi langkah mitigasi poin pertama mereka. Reynold menyebut industri-industri itu akan mendapat disorot lebih dalam penilaian pengajuan pinjaman. Untuk poin kedua, Modalku berusaha membuat penyesuaian batas jumlah dan tenor sesuai jenis UMKM yang diselesaikan kasus per kasus. Terakhir, Modalku akan menggenjot kerja sama dengan e-commerce mengingat segmen mikro sekarang kian banyak beralih ke e-commerce.

“Secara berkala, kami akan terus mengelola langkah- langkah tersebut dengan hati – hati dan mengembangkan kemampuan manajemen risiko sesuai dengan situasi ekonomi global saat ini. Modalku juga akan terus berkoordinasi dengan OJK sebagai regulator & AFPI sebagai asosiasi sehingga langkah-langkah yang kami ambil sesuai dengan regulasi dari OJK,” jelas Reynold.

Nada lebih optimis datang dari Investree. CEO Adrian Gunadi menjelaskan bahwa ada peluang untuk keluar dari krisis dengan keuntungan baru. Salah satunya adalah munculnya sejumlah sektor yang dianggap punya masa depan cerah di tengah situasi sulit saat ini yakni seperti telekomunikasi dan kesehatan.

Namun langkah antisipasi juga mereka buat. Investree memantau ketat proses pengajuan kredit baru, mengikat kerja sama dengan asuransi kredit, hingga membuka opsi restrukturisasi kepada peminjam.

“Kita akomodir kalau ada bororower yang mengajukan restruktur[isasi]. Sampai saat ini kita sedang diskusi dengan beberapa borrower di beberapa sektor hotel, ritel, dan kita lihat case by case apa saja yang bisa kita lakukan apakah ini jangka pendek, atau restruktur,” ungkap Adrian.

Sementara itu Koinworks mengklaim sejauh ini proses pengembalian pinjaman masih berjalan normal dengan non-performing loan (NPL) sekitar 1%. Tak berbeda jauh dengan pelaku lain, VP Marketing Koinworks, Frecy Ferry Daswaty menjelaskan pihaknya memperbanyak jalur kerja sama tak hanya dengan e-commerce tapi juga gerbang pembayaran, piranti lunak akuntansi, hingga logistik.

Koinworks juga menegaskan mengikuti ketentuan OJK terbaru yang memperlunak kewajiban peminjam dalam mengembalikan utangnya. Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2020 itu sebelumnya menetapkan sektor pariwisata, transportasi, perhotelan, pemrosesan, pertanian, dan pertambangan berhak memperoleh restrukturisasi keuangan akibat dampak wabah.

“KoinWorks memberikan solusi restrukturisasi cicilan yaitu menghitung kembali kemampuan atau kapasitas peminjam pada saat ini sehingga nilai angsuran akan disesuaikan. Perhitungan baru ini akan membantu debitur untuk mendapatkan waktu yang lebih lama dalam menyelesaikan angsuran tetapi pada saat yang sama kreditor masih akan mendapatkan bunga,” ujar Frecy.

Risiko yang tersisa

Peneliti Yusuf Rendy Manilet dari Center of Reform on Economics (CORE) menyebut langkah pemerintah dan p2p lending dalam menyikapi situasi krisis sudah tepat sejauh ini. Meskipun demikian, Yusuf menegaskan masih ada bayang-bayang risiko yang dapat menimpa pemain p2p lending jika tak cepat ditangkal.

Risiko itu menurut Yusuf bakal berpengaruh kepada pihak pemberi pinjaman. Karakter modal di p2p lending yang lebih banyak berasal dari individu dianggap membuat mereka lebih rentan. Jika relaksasi cicilan tak berjalan tepat, potensi NPL akan meningkat lebih tinggi.

“Perlu ada semacam kewajiban menunjukkan untuk meng-underline bahwa mereka memiliki aset yang memadai. Memang dilematis dalam p2p individual lenders tidak punya bantalan,” imbuh Yusuf.

Yusuf pun berharap pemain p2p lending dapat menurunkan besaran suku bunga mereka. Pasalnya jadi pengetahuan bersama p2p lending memberlakukan bunga yang lebih tinggi dari perbankan. Penurunan daya ekonomi hampir segala lini masyarakat bagi Yusuf cukup menjadi alasan untuk hal itu.

LinkAja Resmi Luncurkan Fitur Syariah

Setelah uji coba beberapa bulan, akhirnya LinkAja meluncurkan fitur syariah mereka ke publik luas. LinkAja langsung menargetkan layanan syariah ini dapat menjangkau satu juta pengguna.

LinkAja pertama kali memperkenalkan fitur syariah pada November tahun lalu. Satu yang paling membedakan dari fitur syariah ini dengan layanan konvensional mereka adalah institusi untuk penyimpanan dana (floating fund) untuk melakukan top up saldo memakai jasa bank syariah.

“Target pengguna LinkAja Syariah pada tahun pertama adalah satu juta pengguna,” ucap Plt Direktur Utama LinkAja Haryati Lawidjaja, Selasa (14/4).

Guna mengejar target tersebut, LinkAja sudah menggandeng mitra kerja seperti 1000 masjid, 11 lembaga wakaf, 23 lembaga zakat, dan 67 lembaga donasi. Ekosistem yang dijalin LinkAja ini sudah terbilang cukup lengkap, apalagi ekonomi syariah di Indonesia dan global sedang bergeliat beberapa tahun terakhir.

Head of Group Syariah Channel LinkAja Widjayanto Djaenudin mengatakan, saat ini sudah ada beberapa fitur layanan yang sudah dapat digunakan secara luas yakni pembayaran kurban, infaq, isi ulang saldo, dan zakat. Ia menjanjikan tak lama lagi layanan mereka juga bisa dipakai untuk membayar tagihan sekolah pesantren.

“Kami inginnya pengguna tidak bisa memakai LinkAja Syariah di merchant nonhalal. Ketika memilih jadi pengguna layanan syariah LinkAja kita berharap mereka sudah punya kesadaran itu,” imbuh Widjayanto.

LinkAja sendiri saat ini sudah memiliki lebih dari 40 juta pengguna dengan 500 ribu merchant. Status mereka saat ini menjadikan LinkAja sebagai platform uang elektronik syariah pertama di Indonesia. Hal ini menjadikan mereka optimis untuk menguasai pasar uang elektronik syariah di Indonesia.

Salah satu metode kilat LinkAja untuk menjadi nomor wahid itu adalah menggandeng Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh Kementerian Agama. “Ini sudah kami diskusikan. Saya rasa semua shareholder sangat mendukung untuk ke sana,” ujar Komisaris Utama LinkAja Heri Supriadi.

Bahkan dalam kesempatan tersebut, Heri sempat mengutarakan bukan mustahil pihaknya berkompetisi di negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya seperti Pakistan atau Bangladesh. Kendati begitu Heri menggarisbawahi LinkAja ingin menjadi yang nomor satu di Indonesia sebagai negara muslim terbesar sebelum ekspansi ke negara lain.

Kini seluruh pengguna LinkAja sudah dapat mengakses fitur syariah dengan memperbarui versi aplikasi tersebut di Google PlayStore.

Laporan DSResearch tentang digital wallet paling banyak digunakan oleh responden
Laporan DSResearch tentang digital wallet paling banyak digunakan oleh responden

Di Indonesia, LinkAja bersaing langsung dengan beberapa penyedia digital wallet lainnya. Berdasarkan hasil survei DSResearch yang dipublikasikan dalam Fintech Report 2019, LinkAja berada dalam peringkat keempat dari sisi jumlah penggunaan, setelah Gopay, Ovo, dan Dana. Fitur dan integrasi layanan memang menjadi poin penting untuk memenangkan hati konsumen, dan kini masing-masing pemain terus berlomba ke arah sana — untuk menjadi digital wallet paling lengkap.

Application Information Will Show Up Here

Introducing Kodi, a SaaS Platform for Cooperative Performance Revolution

If there is anyone who looks down or not even familiar with the term cooperative, they should know the fact that 12% of the world population are members of cooperatives and it also employed around 280 million people.

For almost all around the world, cooperative industry plays an essential part in the country’s economy. In Kenya, it contributes around 43% of PDB, also 42% of Japan’s populations are members of cooperatives, while in Singapore, 1 of 2 people is part of cooperative industry. In Indonesia, cooperative industry projected to reach more than 120,000 units with contributionn to PDB around 5%.

Although the number gap is quite large with other countries, cooperative is still a crucial economic line in this country. Ther is a reason to put cooperative as one of the ministries in Indonesia. Kodi (Digital Cooperative), a startup founded in 2018, agreed on this term.

Kodi‘s CEO & Founder, Inra Sumahamijaya said there are 37 million people registered as members of cooperatives or around 13% of the total Indonesian population. However, he thought the big number is not facilitated with end-to-end information, particularly for financial well-being.

“Cooperatives also have problems with transparency in fund management, revenue flow, and management due to difficult access to digital technology solutions. Even if there is, the price is not affordable by small and micro cooperatives,” Sumahamijaya told DailySocial.

With such huge market potential and the following problems, Kodi arrived with a software as a service (SaaS) platform solution. The Kodi platform allows each cooperative unit to use a simplified banking system for recording online and offline cooperative transactions. Their platform can also be used for cooperative membership management, end-of-year meetings, as well as cashier applications.

“Kodi monetize with various channels, one is using subscription with Rp1,000 cost per member per month,” he added.

Kodi targets various types of cooperatives, ranging from employee cooperatives to savings and loan cooperatives. But so far Inra claimed to focus on employee cooperatives and community cooperatives first. At present they have pocketed more than 30 cooperatives as clients, some of which come from national banks, private banks, financial authorities, doctors’ associations, to retail stores.

In terms of funding, Kodi is still in the pre-seed phase of a number of angel investors. With market potential and available technology, Sumahamijaya estimates that more cooperative digitization platforms will play. He said, this will bring a positive impact on the domestic economy.

“Kodi is confident with cooperative vertical future to freshen up and modern to make bigger contribution to Indonesia’s economy,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian