SoCash Perkuat Jaringannya di Area Permukiman Selama Pandemi

Kebutuhan uang tunai di Indonesia memang masih tinggi. Menurut SoCash, ada sekitar 60% anjungan tunai mandiri (ATM) di Jakarta berlokasi pusat perbelanjaan/mal. SoCash yang terhitung belum lama beroperasi di Indonesia giat menggenjot laju bisnisnya selama pandemi.

Pembatasan mobilitas selama wabah Covid-19 menambah alasan SoCash memperluas jaringannya di Indonesia. Sejak beroperasi secara pilot pada Maret lalu di area Jabodetabek, SoCash sudah mengincar ekspansi ke daerah lainnya. Salah satu yang paling dekat adalah Lampung yang sedang masa percobaan dengan beberapa kota yang juga akan menyusul. Mereka kini sudah mengantongi sekitar 3000 pengguna dengan 5000 transaksi per bulan di Indonesia.

“Dengan dukungan dari bank mitra kami, kami juga berencana memperluas operasi kami ke kota-kota lain di mana permintaan layanan ATM melebihi pasokan seperti Bandung, Surabaya, Bali, dan lebih banyak lagi,” jelas CEO SoCash Hari Sivan.

Gencar memperkuat jaringan

Kebutuhan akan uang tunai sejatinya tetap tinggi selama wabah Covid-19 berlangsung. Namun keberadaan ATM yang kebanyakan berada di mal menjadi halangan bagi warga dalam menarik tunai. SoCash melihat ini sebagai peluang untuk mendekatkan produknya ke pelanggan yang lebih luas.

Sivan mengatakan ada kenaikan pengguna selama Maret-Juni. Berlakunya skema bekerja di rumah yang masif, turunnya jumlah perjalanan, dan sulitnya mengakses ATM jadi alasan kenaikan tersebut.

Ada dua inisiatif yang SoCash lakukan selama pandemi ini. Pertama adalah menyediakan pemasangan mesin uang tunai tanpa kontak yang bisa dioperasikan tanpa menyentuh layar mesin. Kedua adalah memperbanyak akses pengguna ke jaringan mitra mereka di sekitar kawasan perumahan di pinggir kota. Ini belum ditambah kehadiran fitur baru yang SoCash kembangkan untuk melengkapi layanan mereka.

“Kami juga menguji beberapa fitur baru untuk melengkapi spektrum siklus pemrosesan kas seperti Setoran Tunai dan Pembayaran di jaringan kami mengingat bahwa jaringan kami paling dekat dengan daerah perumahan dibandingkan dengan ATM atau bank cabang,” imbuh Sivan.

Strategi ke depan

Sebagai layanan alternatif penarikan uang tunai, SoCash tetap bisa dibilang membantu pelanggan bank melayani nasabahnya dalam hal penarikan tunai. Maka untuk strategi lebih jauh, khususnya mengenai akuisisi pengguna, menggandeng mitra bank dengan basis pengguna besar merupakan prioritas mereka.

Selain menggandeng mitra bank, SoCash juga bertekad terus memperluas jaringan penarikan uang tunai mereka. Ritel kecil, kafe, UMKM, toko pulsa, ritel besar, merupakan contoh mitra jaringan yang akan terus diperluas kerja samanya.

“Meskipun kami tidak dapat merinci persyaratannya, pedagang SoCash menerima insentif untuk melayani pengguna kami dari bank karena ini lebih murah secara signifikan daripada ATM atau kantor cabang. Jaringan yang diperluas ini akhirnya menjadi jaringan O2O untuk perbankan untuk kelas menengah perkotaan yang underbanked,” tukas Sivan.

Seperti diketahui cara kerja SoCash memungkinkan pedagang-pedagang seperti yang disebut sebelumnya berfungsi sebagai alternatif ATM. Pengguna bank yang sudah bekerja sama dapat menarik tunai dari toko atau seseorang asalkan mereka sudah terdaftar sebagai mitra SoCash. Kehadiran SoCash di Indonesia sudah terdaftar sebagai penyelenggara teknologi finansial di Bank Indonesia melalui PT Socash Software Service.

SOCASH sebelumnya sudah mengantongi pendanaan seri B senilai US$6 juta atau Rp83,6 miliar. Mereka memperolehnya sejak tahun lalu dari sejumlah investor seperti Glory Ltd., SC Ventures, dan Vertex Ventures. Tahun ini pun mereka menatap babak pendanaan baru. “Kami memang merencanakan putaran pendanaan lain pada akhir tahun ini atau awal tahun depan,” pungkas Sivan.

Application Information Will Show Up Here

Platform Digital PURA Mudahkan Masyarakat Dapatkan Bahan Makanan Alami

Gaya hidup sehat terus tumbuh dalam benak masyarakat saat ini. Olahraga dan asupan gizi yang masuk ke dalam tubuh merupakan dua variabel utama dalam menjalankan gaya hidup sehat. Variabel terakhir relatif lebih sulit karena bahan makanan alami berkualitas belum cukup aksesibel.

Hal ini mendasari keputusan Monica Liando dan Johan S. Hermawan mendirikan Pura pada 2017, sebuah startup new retail yang menyediakan produk garam dan bumbu masak alami. Beberapa tahun sebelumnya, Monica sendiri sempat mendera penyakit yang mengharuskannya mengonsumsi bahan pangan alami. Namun saat itu ketersediaan bahan pangan seperti itu di Indonesia masih terbilang langka.

“Melalui PURA kami ingin menjadi jawaban untuk membantu masyarakat yang mengedepankan gaya hidup sehat dalam mencari merek natural yang trustable dan berkualitas,” ucap Monica yang juga memegang peran Marketing Strategist PURA.

Alasan memilih garam dan bumbu

PURA diambil dari kata “pure” yang berarti murni. Monica beralasan, garam dan bumbu adalah dua benda yang keberadaannya tak tergantikan dalam setiap masakan. Tak terkecuali untuk produk makanan sehat. Masalahnya stigma bahwa produk makanan sehat tak pernah cukup sedap cukup santer di kuping masyarakat.

PURA ingin membalikkan stigma itu tanpa mengorbankan kualitas kandungan bahan makanannya. Selain itu produk ini ditujukan untuk membantu orang-orang membuat masakan sehat mereka sendiri dengan mudah. Sebab tak jarang makanan sehat sekaligus nikmat hanya bisa disantap di rumah-rumah makan.

Adapun produk yang dijual meliput food powder, food seasoning, hingga garam Himalaya. Komposisi dari produk itu disebut tak mengandung karbohidrat, lemak, kalori, ataupun gula.

Mengikuti tren gaya hidup sehat

about-photo

PURA menjalankan bisnisnya secara direct to consumer dengan memanfaatkan kanal penjualan e-commerce dan distribusi di sejumlah pasar swalayan di kota-kota besar Indonesia. Mereka yang menjadi target PURA adalah masyarakat yang sudah sadar akan gaya hidup sehat.

Monica percaya PURA kian relevan dengan situasi sekarang karena mereka trennya memang berkembang demikian. Tren ini tidak hanya terjadi di negara-negara besar, tapi juga Indonesia. Ini cocok dengan data yang dicatat sejumlah lembaga.

Salah satu indikator tren gaya hidup sehat itu adalah bertambahnya petani yang mengelola pertanian organik dan gerai produk organik di pasar swalayan serta rumah makan. Hal itu diucapkan langsung oleh Direktur Kerja Sama Pengembangan Ekspor Kementerian Perdagangan, Marolop Nainggolan.

Tentang kompetisi dan tantangan

Tren ini juga berarti ada pertumbuhan pemain bahan makan alami seperti PURA. Menghadapi hal itu mereka yakin bisa keluar sebagai pemenang karena produk mereka mengikuti standar keamanan pangan dan rutin diuji ke laboratorium.

Monica menambahkan yang membedakan mereka dengan pemain serupa adalah edukasi yang kuat kepada konsumen tentang pentingnya hidup sehat khususnya melalui asupan makanan. “Sehingga kami juga mengkampanyekan bahwa menjadi pembeli juga harus kritis agar mereka bisa mengetahui sendiri apakah suatu produk benar-benar sehat dan berkualitas,” imbuhnya.

Sebagai peserta angkatan teranyar Gojek Xcelerate, PURA punya pekerjaan rumah untuk meningkatkan pemanfaatan teknologi. Monica mengatakan hal itu akan diatasi dengan digital marketing yang kuat. “Karena melalui digital marketing kami dapat memasarkan kepada target market kami di mana dan kapan saja.”

Monica mengakui bahwa setelah program akselerasi dengan Gojek kemarin mereka jadi lebih terbuka dengan opsi pendanaan. Menurut dia selama ini PURA beroperasi dengan dana mereka sendiri. Mereka berancang-ancang melakukan kerja sama strategis dan pengumpulan dana di tahun ini.

“Oleh karena itu, selain fokus pada pemasaran digital kami juga akan memperbesar area distribusi agar lebih mudah dijangkau oleh target market kami,” pungkas Monica.

Platform Pekerja Lepas Fastwork dan Tantangannya Selama Dua Tahun di Indonesia

Fastwork adalah satu dari sekian platform yang bertekad memudahkan tenaga kerja lepas (freelancer). Fastwork berdiri sejak 2015 di Thailand dan masuk ke Indonesia pada pertengahan 2018. Alasan utamanya jelas untuk merebut pasar Indonesia yang merupakan terbesar di Asia Tenggara. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 menyebut ada 56,8% masyarakat bekerja di sektor informal, termasuk freelancer.

Tren peningkatan jumlah pekerja lepas pun diprediksi masih terus berlanjut. Hal ini sesuai dengan riset yang dibuat oleh Sribu pada tahun lalu yang menyebutkan tenaga kerja lepas di Indonesia saat itu naik 16% dari tahun sebelumnya.

Co-Founder & CEO Fastwork Jerd Phichitkul bercerita, pada saat mereka masuk Indonesia marketplace sedang naik daun, kemunculan banyak UKM, dan kesadaran bekerja lepas kian meningkat. “Kami secara resmi meluncurkan Fastwork Technologies Indonesia pada Agustus 2018 dan pada Oktober 2018 kami mengumumkan bahwa kami menerima pendanaan seri A,” kata Phichitkul dalam pernyataan tertulis.

Tantangan Fastwork di Indonesia

Sejak beroperasi di sini, Fastwork sudah memperoleh 100 ribu pengguna terdaftar, 10 ribu freelancer profesional, dengan 10 ribu transaksi yang tuntas setiap bulan. Ada sekitar 60 lebih kategori pekerjaan lepas di Fastwork. Desain grafis, penulisan & penerjemahan, fotografi & videografi, pemrograman web, dan jasa konsultasi merupakan kategori terpopuler di Fastwork.

Phichitkul menegaskan, salah satu keunggulan mereka terletak di sistem kerja yang memungkinkan freelancer dan pengguna jasa dapat bekerja sama lebih efektif seperti bertukar berkas, mengelola pesanan, dan memproses pembayaran.

Dalam hal pembayaran jasa, Fastwork memakai jaminan uang kembali apabila pekerjaan tidak selesai. Upah baru akan dikirim ketika pekerjaan sudah benar-benar selesai. “Kami juga memiliki fitur pembayaran bertahap, di mana pengguna jasa akan membayar pekerjaan dalam beberapa tahap. Ini akan memudahkan karena pekerjaan dapat dimulai lebih dulu tanpa harus membayar penuh di muka,” imbuh Phichitkul.

Vertikal ini memang bukan barang baru di mana pun. Ada cukup banyak kompetitor Fastwork. Beberapa di antaranya adalah Sribu, Kerjaholic, Freelancer Indonesia, Upwork, hingga Crowdsource, hingga Fiverr. Menyadari hal ini Phichitkul berambisi melakukan sejumlah adaptasi untuk pasar Indonesia.

Salah satunya adalah memastikan user experience aplikasi mobile mereka diterima dengan baik oleh penggunanya. Ini tak lain karena 70% freelancer mengakses Fastwork melalui aplikasi mobile. Padahal di Thailand akses menuju platform mereka masih didominasi dari desktop.

“Ini merupakan tantangan bagi kami untuk terus memastikan bahwa aplikasi kami memiliki user experience yang baik, bisa selengkap dan sekomprehensif versi desktop,” lengkapnya.

Pandemi tak menyurutkan target

Pandemi tentu membawa dampak terhadap bisnis Fastwork. Namun Phichitkul mengklaim, lambat laun mereka mulai bangkit karena banyak bisnis yang beralih dengan dengan beroperasi online. Baik jumlah pendaftaran freelancer maupun jumlah pengguna harian diklaim meningkat 50% lebih tinggi sebelum wabah Covid-19 melanda. Fastwork menyebut pekerjaan yang terkait dengan online commerce sebagai yang konstan tumbuh tiap bulan.

Faktor tersebut yang tampaknya membuat Phichitkul dan tim tetap yakin untuk menyongsong target bisnis. Untuk tahun ini Fastwork mematok target jumlah pengguna baru dan transaksi naik 50% dibanding tahun sebelumnya. Optimisme ini juga terlihat dari aspek pendanaan yang mana sudah ada rencana untuk menggelar pendanaan. Status pendanaan Fastwork sendiri masih seri A yang berhasil mereka kumpulkan pada 2018 dengan investor seperti Gobi Agung Fund dan Indogen Capital.

“Kami sedang merencanakan pendanaan kami di masa mendatang untuk memperluas tim kami di Indonesia dan akan merilis informasi pada waktu yang tepat,” pungkas Phichitkul.

Mayoritas Saham Dimiliki OLX, BeliMobilGue Bersalin Nama Jadi “OLX Autos”

Platform jual-beli mobil bekas BeliMobilGue mengumumkan pergantian nama menjadi OLX Autos Indonesia yang disingkat menjadi OLX Autos. Perubahan nama ini kian mengukuhkan perusahaan yang dipimpin oleh Johnny Widodo itu sebagai bagian dari OLX Indonesia.

“Bergabungnya kami dengan OLX juga memungkinkan kami untuk bisa melayani pelanggan lebih luas lagi, dengan kekuatan kami yang menggabungkan keunggulan penjualan mobil secara online dan offline, menawarkan cara yang mudah, nyaman dan instan dalam menjual mobil,” ujar Johnny melalui keterangan resmi.

Johnny mengklaim OLX Autos sudah hadir di 7 kota dengan 100 pusat inspeksi dan menggandeng lebih dari 2000 mitra diler. Pencapaian ini satu kali lipat lebih besar dari yang mereka peroleh di tahun lalu. Pada tahun lalu pula, Johnny saat itu mengumumkan pihaknya memperoleh suntikan dana sebesar Rp429 miliar untuk dua tahun.

Johnny juga mengonfirmasi perubahan nama ini terjadi seiring kepemilikan saham mayoritas BeliMobilGue yang beralih ke tangan OLX. Selain itu, pria yang sebelumnya memimpin payment gateway OVO itu memastikan akan ada perubahan bisnis yang terjadi mengikuti rebranding ini.

“Kami akan lebih bersinergi dengan OLX dalam sisi bisnis. Layanan-layanan baru akan segera kami luncurkan,” ucapnya lewat pesan singkat.

Sementara itu Direktur Marketing OLX Indonesia Ichmeralda Rachman menyebut, rebranding ini sebagai langkah strategis mereka untuk fokus memenuhi kebutuhan pelanggan. Ia menyadari layanan BeliMobilGue yang sudah dikenal sebelumnya dapat memperkaya pilihan konsumen mereka.

“Dengan bergabungnya BMG dengan OLX dan berubah nama menjadi OLX Autos, kami berharap dapat meningkatkan komitmen bersama kami di pasar otomotif di Indonesia dengan terus memberikan layanan inovatif yang menjawab kebutuhan pelanggan yang terus berkembang,” imbuh Ichmeralda.

Dari perspektif OLX, perubahan nama tersebut merupakan dukungan besar untuk memperkuat kehadirannya dalam pasar mobil bekas. Seperti diketahui, kategori otomotif selalu menjadi salah satu kategori terkuat di platform iklan baris tersebut.

Tampilan situs BeliMobilGue yang sudah beralih ke OLX Autos.
Tampilan situs BeliMobilGue yang sudah beralih ke OLX Autos.

Diprediksi segera bangkit

Pandemi memang menyebabkan hampir segala sektor ekonomi anjlok, tak terkecuali pasar mobil bekas. Namun OLX Indonesia dan OLX Autos meyakini pasar mobil bekas akan bangkit lebih cepat dibanding pasar mobil baru ataupun kebanyakan sektor lain.

Berdasarkan kajian yang mereka buat tentang industri mobil bekas di Tanah Air, kondisi pandemi menyebabkan 54% responden lebih mempertimbangkan membeli mobil bekas ketimbang mobil baru. Alasannya tak lain karena pengetatan bujet yang dilakukan hampir semua orang selama wabah masih terjadi.

Hasil kajian itu membuat mereka yakin bahwa pasar mobil bekas segera pulih dalam kurun 2-3 bulan ke depan. Ada lebih dari 50% responden mereka menyatakan sudah berencana membeli mobil dalam setahun ke depan.

“Data dalam whitepaper yang belum lama kami luncurkan juga mengungkapkan bahwa menjadi penting bagi penjual untuk terus menawarkan layanan-layanan baru yang inovatif untuk pembeli, termasuk di antaranya layanan secara online dan tanpa kontak fisik, mulai dari proses administrasi hingga pembayaran,” pungkas Johnny.

Melirik “Urban Farming” Sebagai Peluang Bisnis Baru Agritech

Pandemi memunculkan inisiatif baru dari ruang-ruang individu terkecil hingga bisnis berskala besar. Urban farming adalah satu dari sedikit kegiatan yang mengemuka di masyarakat Indonesia selama wabah Covid-19 ini. Untuk membunuh rasa bosan atau mencari bahan pangan alternatif yang lebih sehat, berkebun tak bisa ditampik sebagai aktivitas pilihan yang makin digemari.

Maraknya peminat urban farming juga dicermati oleh agritech dalam negeri. Berkembangnya kebun-kebun mandiri di perkotaan menjadi celah bisnis baru bagi mereka. Bahkan belum lama e-commerce Tokopedia menyebut alat-alat berkebun menjadi salah satu produk yang paling banyak terjual selama Ramadan kemarin.

Di Jakarta setidaknya sudah ada 900 titik urban farming. Sekitar 600 di antaranya dikelola warga dan sisanya diurus oleh karang taruna. Pertanian urban ini mayoritas tersebar di Jakarta Selatan, Timur, dan Barat.

“Jadi begini itu terbukti banget selama PSBB, permintaan benih meningkat sekali dan begitu saya ke lapangan awalnya mereka ada yang lahan kosong atau hidroponik dan sebagainya ada peningkatan. Benar untuk kebutuhan mereka sehari-hari mereka tidak perlu ke pasar,” ujar Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Perikanan (KPKP) DKI Jakarta, Darjamuni seperti dikutip dari Media Indonesia.

Peluang bisnis baru

Beberapa platform agritech merespons dengan cepat pertumbuhan pertanian urban ini. TaniHub dan Neurafarm adalah dua di antaranya. Meski sama-sama mulai melirik peluang baru ini, keduanya memilih pendekatan yang berbeda.

Neurafarm, yang sebelumnya lebih dikenal dengan teknologi AI untuk membantu petani tradisional mengidentifikasi penyakit tanaman, menawarkan starter kit untuk mereka yang berminat memulai berkebun sendiri. Perlengkapan yang masuk dalam paket Neurafarm ini termasuk 16 jenis bibit yang bisa dipilih, pupuk, polybag, dan media tanam.

Neurafarm membanderol paket tersebut mulai dari harga Rp85.000. Mereka juga menyertakan panduan menanam, akses bertanya ke agronom, dan referensi bertanam lain yang tertuang dalam fitur premium aplikasi mereka, Dr. Tania. Neurafarm percaya kebutuhan akan urban farming dan pertanian tradisional di akan berjalan beriringan dan menjadi masa depan agrikultur di Indonesia.

“Akan ada beberapa lineup produk lainnya yang akan dirilis dalam waktu dekat, termasuk herbs,” jelas CEO Neurafarm Febi Agil Ifdillah.

TaniHub mengambil jalan yang agak berbeda. Perusahaan membuka diri untuk menyerap hasil panen petani urban dan bersedia mendanai mereka yang membutuhkan modal lebih untuk bercocok tanam di rumah.

Meski memberi dukungan terhadap kegiatan ini, TaniHub belum benar-benar menganggap pertanian urban sebagai lahan bisnis yang menjanjikan. Head of Trade Procurement TaniSupply Abednego Gunawan mengatakan, petani urban yang sudah bermitra masih belum sampai 1% dari total mitra mereka yang berjumlah 30.000 petani. Bagi TaniHub, angka tersebut masih tergolong minor. Begitu pula dengan jenis tanaman yang mereka tampung dari petani urban yang umumnya masih dari jenis sayuran hidroponik.

“Dalam hal penyerapan hasil panen dari pertanian perkotaan, saat ini masih tergolong sangat kecil di TaniHub Group,” cetus Abednego.

Tantangan dan potensi

Kecilnya jenis panen yang diserap dan mitra petani urban di TaniHub mencerminkan masih banyak tantangan bagi layanan agritech jika benar-benar ingin menjadikan hasil pertanian kota sebagai komoditas mereka. Abednego menjelaskan, tantangan itu ada di soal volume pasokan yang seringkali tonasenya tidak mencukupi permintaan pasar. Selain itu kesadaran masyarakat akan ketelusuran produk (product traceability) yang masih cukup rendah.

Dua hal teknis ini yang menurut Abednego merupakan tantangan utama bagi perusahaan untuk benar-benar menjadikan pertanian kota sebagai ceruk bisnis baru di TaniHub Group.

Gibran Tagari, yang merintis Sendalu Permaculture di Depok, Jawa Barat, menilai, semakin banyak masyarakat urban berminat mengolah lahannya dengan tanaman produktif, maka semakin baik kesejahteraan diri dan kelestarian lingkungan. Itu termasuk agritech yang melirik pertanian kota.

Namun Gibran mengingatkan bahwa urban farming sejatinya berangkat dari keresehan akan opsi sumber pangan yang lebih baik dan kesadaran atas lingkungan yang berkelanjutan. Apabila pada akhirnya pertanian kota ini menjadi lahan bisnis baru bagi agritech, ia berharap mereka dapat menjalankannya dengan semangat tersebut.

“Menurut saya, urban farming punya prospek dan potensi yang besar, tetapi bukan untuk menghasilkan komoditas seperti pertanian dengan sistem yang sudah ada sekarang. Saya melihat kota tidak memiliki iklim yang serupa dengan rural atau pedesaan. Mungkin kita perlu melihat kota sebagai ruang dengan beragam peluang menuju sistem pangan alternatif, sehingga tidak memberatkan beban desa untuk memproduksi pangan,” ujarnya.

Pandemi memang bukan satu-satunya yang mengangkat pamor pertanian kota. Laporan IndustryARC Analysis menunjukkan, tren tersebut sudah terjadi beberapa tahun terakhir dengan nilai bisnis pertanian kota yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Laporan tersebut menyebut pertanian kota sudah menyumbang 20% dari total produksi pangan dunia. Pada 2017 saja, pendapatan dari bisnis ini menyentuh $210 miliar dan diperkirakan terus tumbuh mencapai $236,4 miliar. Alasan kesehatan, kualitas pangan, edukasi, ketahanan kota, dan tumbuhnya permintaan bahan pangan lokal diperkirakan akan menjadi pendorong utama kian populernya urban farming sebagai lahan bisnis baru.

Pandemi Tidak Halangi Sinar Bisnis Remitansi di Indonesia

Wabah Covid-19 menjadi alasan utama banyak sektor ekonomi melesu di seluruh dunia. Momen-momen seperti ini selalu memunculkan suatu sektor atau pemain industri yang justru bersinar. Bisnis remitansi adalah salah satunya. Pandemi ternyata tidak menghalangi sinar potensi pasar pengiriman uang khususnya di Indonesia.

Selama masa pandemi ini, kami mencatat ada sejumlah sinyal positif dari pasar yang menunjukkan performa bisnis remitansi tetap kinclong. Kemunculan pemain baru, kabar pendanaan, hingga ekspansi pasar menjadi catatan-catatan menggembirakan dari bisnis ini.

Mendulang momen di kala pandemi

Kami berbicara dengan dua pemain lokal remitansi untuk melihat catatan positif vertikal ini, Transfez dan Topremit. Transfez, yang awal tahun ini telah menjangkau 37 negara, kini jejaknya sudah ada di 47 negara di 5 benua berbeda. Hal ini menunjukkan komitmen mereka menjangkau total 80 negara tahun ini tidak goyah.

Di aspek kecepatan pun, Transfez berhasil meningkatkan kualitas layanannya. Beberapa negara tujuan populer, seperti Singapura, bahkan hanya butuh beberapa detik untuk memperoleh kiriman uang dari pengguna di Indonesia. Negara lain yang punya kecepatan serupa adalah Inggris, Australia, Hong Kong, Filipina, Vietnam, India, Nigeria, Meksiko, hingga Ghana.

“Penambahan negara jangkauan serta peningkatan kecepatan pengiriman tersebut berkontribusi terhadap penambahan jumlah pengguna Transfez. Sejak pandemi COVID-19 di bulan Maret 2020, jumlah pengguna Transfez telah meningkat lebih dari 400%,” terang Head of Marketing & Communication Transfez Diandra Bernadin.

Performa baik juga dialami Topremit. Startup asal Medan ini memperluas jangkauan pasarnya selama pandemi menjadi 55 negara tujuan. Korea Selatan, Turki, dan negara-negara Eropa menjadi tambahan tujuan baru bagi pengguna mereka.

Kecepatan memang jadi faktor penting kualitas layanan remitansi. Topremit mengamini aspek tersebut. Hal ini terlihat dari durasi pengiriman uang dari pengguna di Indonesia ke Korea Selatan, Singapura, dan Inggris Raya yang hanya membutuhkan hitungan menit.

“Kemarin di akhir 2019, kami berhasil memproses lebih dari 280 miliar Rupiah dengan 16.000 user yang mendaftar dan dalam 6 bulan terakhir ini. Transaksi [saat ini] sudah mencapai lebih dari Rp612 miliar dengan 35.000 user,” tukas CEO & Co-Founder Topremit Hermanto Wie.

Faktor pendorong pertumbuhan

Cerahnya perkembangan bisnis remitansi tidak hanya terjadi di Transfez dan Topremit. Beberapa kabar positif datang dari pemain lain. Misalnya pendanaan yang berhasil diperoleh Wallex Technologies awal bulan ini. Wallex, yang mengantongi izin transfer dana dari Bank Indonesia sejak 2018, sukses menggaet pendanaan Seri A dari BAce Capital, SMDV, dan Skystar Capital.

Suntikan dana juga diperoleh Nium, pemain remitansi asal Singapura yang beroperasi di Indonesia. BRI Ventures dan VISA menjadi dua nama yang berpartisipasi memberi pendanaan kepada Nium. Hingga kuartal pertama 2020, Nium dilaporkan sudah mengantongi nilai transaksi sebesar $2 miliar.

Pemain baru yang ikut menjajaki peruntungan bisnis remitansi adalah OY! Indonesia. OY! Indonesia, yang notabene adalah platform wallet aggregator, meluncurkan layanan remitansi pada awal Maret. Saat ini layanan anyar mereka sudah menjangkau Singapura, Malaysia, India, Korea Selatan, dan Tiongkok.

Transfez menjelaskan, situasi pandemi yang menuntut segala hal serba praktis dan beraktivitas dari rumah saja justru mempertebal posisi pemain remitansi digital seperti mereka. Selama ini pasar remitansi Indonesia didominasi bank dan pemain konvensional yang memerlukan kehadiran fisik di kantor cabang atau agen terdekat untuk mengirim uang.

“Bagi kami, krisis menyimpan kesempatan. Dan ini adalah waktu dan kesempatan yang tepat bagi kami untuk memperkenalkan Transfez secara luas,” jelas Edo Windratno, CEO & Co-Founder Transfez.

Sementara Hermanto menjelaskan, kondisi wabah memang mewajibkan pemain remitansi untuk lebih cepat dan lebih luas memberikan layanannya. Situasi karantina wilayah di banyak negara banyak membuat pengguna jasa remitansi berpaling ke platform online seperti mereka.

“Selama pandemi ini, banyak sekali orang yang ingin mengirimkan uang kepada keluarga tercinta di luar negeri karena situasi yang prihatin saat ini. User dan transaksi kami justru meningkat karena tidak nyaman bagi mereka untuk keluar rumah dan melakukan transaksi offline seperti sebelumnya,” imbuh Hermanto.

Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai, popularitas remitansi di tahun ini tak lepas dari potensinya yang memang besar. Potensi besar yang relatif belum lama terjamah oleh pemain digital menempatkan remitansi sebagai derivasi layanan fintech berikutnya yang paling menjanjikan.

Salah satu faktor pendorong besarnya potensi remitansi adalah jumlah tenaga kerja dan pelajar Indonesia di luar negeri. Terlebih, menurut Yusuf, Indonesia akan mengalami bonus demografi. Pertumbuhan kelompok usia produktif masih akan meningkat — sesuatu yang ia anggap meyakinkan para investor akan prospek bisnis remitansi.

“Dengan fakta itu menurut saya jadi dorongan bagi para pemberi dana untuk menyuntikkan dana ke pemain remitansi,” jelas Yusuf.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah TKI di luar negeri berjumlah 276.553 orang. Taiwan, Malaysia, dan Hong Kong merupakan tiga tujuan favorit bagi pekerja kita. Sedangkan jumlah pelajar Indonesia yang menimba ilmu di negara lain 20.225 orang. Baik pelajar maupun tenaga kerja merupakan pondasi bisnis remitansi, namun pasar mereka berpotensi terus melebar.

Meskipun demikian, pemain remitansi lokal masih punya pekerjaan rumah besar, yakni memfasilitasi pengiriman uang dari luar negeri ke dalam negeri. Sesuatu yang belum bisa dilakukan pemain lokal hingga saat ini. Seperti yang dicatat World Bank (2018), uang remitansi yang masuk ke Indonesia mencapai $11 miliar atau sekitar Rp150 triliun, sedangkan remitansi keluar berkisar US$5 miliar atau Rp68,5 triliun.

Mempelajari Lika-liku Pencarian Masalah dan Solusi Bersama Alamanda

Menghidupi kewirausahaan digital di masa ini mungkin jadi pilihan karier yang menarik. Sistem kerja yang menuntut serbacepat dan penuh inovasi menjadikan pilihan bekerja di sektor ini cukup menantang.

Sumber inovasi bisa datang dari mana saja, namun asal datangnya masalah bisa lebih banyak lagi. Founder & CEO Binar Academy Alamanda Shantika berbagi cerita mengenai seluk-beluk pemecahan masalah yang terjadi di startup. Alamanda berbagi ilmunya tersebut dalam #SelasaStartup kali ini.

Kreatif mengidentifikasi masalah

Pepatah bilang, ilham datangnya bisa dari mana pun. Ini diamini betul oleh Alamanda. Suatu hari Alamanda datang ke kantor bank mengurus keperluannya. Dalam kunjungannya itu dia juga disodori banyak sekali produk perbankan yang menurutnya jelas tidak relevan untuk seseorang sepertinya.

“Melihat itu saya sebagai pelanggan jadi kesal karena saya tahu bankir itu lagi mikirin targetnya. Akhirnya yang dia lakukan tebar jaring ke semua orang. Ok target kita penting, tapi jangan jadikan itu sebagai patokan yang didewakan. Yang kita dewakan itu customer. Dengan kita mengerti pelanggan day to day, inovasi akan muncul,” ujar Alamanda.

Namun telaah masalah itu tak bisa otomatis datang. Perlu asupan pengetahuan yang kuat untuk mengasah daya kritis dan kreativitas dalam mencari masalah. Alamanda menganjurkan mereka yang bekerja di bisnis digital untuk memperkaya diri dengan tren dan fenomena di luar negeri. Hal ini tak lepas dari kenyataan bahwa pendidikan dan teknologi dalam negeri masih cukup jauh tertinggal dengan negara-negara maju lain.

“Simpel aja, kalau kita mau desain kamar pasti kita cari referensi di Pinterest. Itu cara kita bekerja dalam mencari kreativitas, mencari asupan,” imbuhnya.

Sebisa mungkin menyayangi pelanggan

Inovasi adalah jualan wajib dari sebuah perusahaan digital. Apakah inovasi mereka bisa bergerak cepat atau tidak bergantung dari bagaimana mereka memperoleh dan mengolah data dari transaksi pelanggan mereka.

Alamanda percaya berusaha mengenal pengguna layanan sebaik mungkin adalah langkah menuju kesuksesan. Dari data tersebut perusahaan bisa mencari kebutuhan-kebutuhan baru atau yang tak terlihat dari konsumen.

Ia mencontohkan sewaktu masih bekerja di Gojek dan membuat layanan GoFood. Alamanda bercerita membuat produk itu dengan berangkat dari data perilaku konsumen Gojek. Perilaku konsumen ini menjadi kunci karena dari sana mereka menemukan masalah yang mungkin bahkan konsumen Gojek sendiri juga belum menyadarinya.

Contoh lainnya adalah pengalaman Alamanda menghadapi masalah di Binar Academy. Di tempat terakhir ini Alamanda mendapati sistem akademi gratis yang mereka besut ternyata hanya mampu menahan sekitar 50% dari total pendaftar. Setelah menelusuri lebih jauh barulah mereka tahu bahwa mereka yang memilih tidak mengikut kelas sampai akhir punya motivasi yang berbeda. Berangkat dari temuan itu, Alamanda dan tim mengubah sistem.

“Kita udah buang duit untuk customer acquisition, begitu konsumen udah masuk jangan disia-siakan, harus disayang. Jadi fokusnya dua, bagaimana kita jangkau market baru yang enggak tahu Binar tapi yang sudah masuk juga harus dijaga dan dimengerti lebih dalam lagi.”

Prinsip sederhana dalam memvalidasi

Kreativitas tentu perlu dalam mencari masalah dan solusinya. Seperti sudah disebut tadi, data dari perilaku konsumen memegang kunci untuk mendasari munculnya kreativitas tersebut. Lalu bagaimana caranya memvalidasi perilaku konsumen?

Jawaban Alamanda adalah kembali ke prinsip yang paling sederhana yakni pemakaian produk, pertumbuhan, stabilitas, dan margin profit. Adakah yang memakai produk mereka, apakah ada pertumbuhan tiap bulan, apakah pertumbuhan itu stabil, dan yang tak kalah penting bagaimana dengan keuntungannya.

Alamanda menggarisbawahi poin terakhir, karena menurutnya ada beberapa startup yang salah kaprah dalam menjalankan roda keuangannya, yang jor-joran bakar duit tapi tak diikuti dengan profit margin yang jelas.

“Aku sesederhana itu aja karena itu yang ingin aku ubah mindset tentang orang-orang bikin startup. Sekarang kan aku di Mandiri Capital juga. Duit investor itu bukan berarti kita bakar-bakar kemudian tidak punya COGS (cost of goods sold) dan pendapatan yang jelas. Duit investor ini harusnya lebih untuk mengembangkan tools yang kita perlukan,” pungkas Alamanda.

Dampak Oyo Terhadap Ekosistem Hotel Bujet Tanah Air

Tahun 2019 merupakan salah satu momen kejayaan operator hotel bujet di Indonesia. Perusahaan seperti Oyo, Reddoorz, Airy, dan ZenRooms memberikan opsi tambahan bagi para pelancong ketika harga tiket pesawat mengalami kenaikan siginfikan. Dari nama-nama tersebut, Oyo bersinar paling terang.

Di tangan pemuda India bernama Ritesh Agarwal, Oyo melejit sebagai salah satu startup dengan pertumbuhan paling cepat hingga akhirnya mereka menjelma sebagai unicorn. Sejak berdiri pada 2013, Oyo sudah beroperasi di banyak negara mulai dari kawasan Asia Selatan, Asia Tenggara, Timur Tengah, Asia Timur, Eropa, hingga Amerika Latin. Mereka pun sukses mendapat dukungan investasi dari Softbank dalam putaran pendanaan terakhir yang bernominal $1,5 miliar.

Indonesia sendiri merupakan salah satu pasar yang paling diperhitungkan Oyo. Oyo menggelontorkan dana untuk pasar tanah air senilai $300 juta atau setara Rp4,2 triliun tahun lalu. Oyo Indonesia berhasil meraih 5 juta pelanggan sepanjang tahun dan menggandeng 27.000 kamar dan 1.000 hotel. Sebuah pencapaian yang begitu besar untuk perusahaan yang belum terlalu lama bermukim di Indonesia.

“Kami pernah menyampaikan bahwa kita akan berinvestasi US$100 juta pada tahun lalu. Sekarang kami akan memperbarui investasi itu menjadi US$300 juta berkaca dari kesuksesan kita di sini,” ucap Ritesh saat bertandang ke Indonesia pada September lalu.

Kesuksesan kilat Oyo bukan tanpa alasan. Kecepatan mereka mengakuisisi properti baru tak lepas dari skema minimum guarantee (MG) yang mereka tawarkan. Skema ini memungkinkan pemilik properti mendapat jaminan bayaran dengan nominal tetap yang diukur dari potensi properti mereka terlepas dari berapa tingkat okupansinya. Sara (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu mitra yang mengaku memutuskan bermitra dengan Oyo karena skema ini. Sara mendapat jaminan Rp36 juta per bulan dari Oyo untuk hotel bujetnya. Ketertarikan serupa dialami mayoritas mitra mereka di seluruh dunia.

Pandemi mengubah cerita manis tersebut. Anjloknya tingkat okupansi dan beban operasional yang tak berkurang memaksa mereka mengambil langkah drastis, yakni mengganti skema MG itu dengan skema bagi hasil. Ritesh sudah mengakui perubahan skema ini. Begitu pula dengan Oyo Indonesia yang diwakili oleh Country Head, Emerging Business, Eko Bramantyo.

“Yang kita sampaikan sederhana kepada para mitra terhormat bahwa kita tidak bisa lagi pakai model MG tapi dengan bagi hasil atau revenue share. Ini terjadi karena kita enggak tahu okupansinya akan berapa dan kedua kita enggak tahu harganya akan bagaimana karena pergerakan harga ini luar biasa signifikan dan beragam. Kita tidak bisa lakukan model bisnis seperti sebelum corona,” terang Eko dalam sebuah sesi tanya jawab dengan media pekan lalu.

Dampak terhadap ekosistem perhotelan bujet

Kesuksesan Oyo sebagai hotel bujet juga mengundang keresahan pelaku bisnis hotel bujet. Harga kamar Oyo yang begitu murah dianggap menjadi masalah baru, bahkan oleh para mitranya sendiri. Albert, seorang pemilik properti di Jawa Timur yang sempat bermitra selama setahun dengan Oyo, mengeluhkan bagaimana murahnya tarif yang diterapkan Oyo sebagai bentuk predatory pricing. Ketika harga hotel bujet berada di kisaran Rp200.000-Rp300.000, Oyo bisa menekan harga hingga setengahnya saja memanfaatkan kekuatan modal dengan menggaet hotel bujet lain, homestay, guesthouse, hingga kamar indekos yang dijual secara harian dengan tarif per malam bisa di bawah Rp100.000.

“Bisa dibilang mereka menurunkan standar industri. Dengan harga hotel turun terus, gaji pegawai harus turun, service charge harus ditiadakan, dari safety juga dikurangi. Ini bukan persaingan yang sehat lagi. Dan yang mereka lakukan dengan bilang dynamic pricing itu omong kosong karena mereka itu predatory pricing,” tegas Albert.

Sara pun berpendapat serupa. Setelah kurang lebih satu tahun bermitra, ia mengaku murahnya harga kamar yang ditawarkan Oyo menyebabkan kemungkinan terburuk dari tamu yakni pelajar yang belum cukup umur, hingga anak-anak mudah yang sekadar ingin mabuk-mabukan. “Saking murahnya harga dasar yang mereka kasih, pernah kejadian kasus tamu kemalingan di kamar yang ternyata setelah diselidiki buntut aksi prostitusi online,” ujar Sara.

Protes sekaligus harapan diletakkan pemilik properti ke platform digital pemesanan akomodasi hotel, misalnya Traveloka dan Pegipegi. Mereka menilai, sebagai kanal penjualan kamar hotel, platform punya daya tawar untuk mencegah penetapan harga yang terlalu murah dengan mempertimbangkan banyaknya laporan ketidakpuasan konsumen.

Kepada DailySocial, Traveloka mengaku selalu memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama bagi mitra penyedia akomodasi yang tergabung ke dalam platform dan menjalin komunikasi dengan mitra untuk menjaga pengalaman menginap tamu. Sementara Pegipegi menjelaskan pihaknya menyayangkan penetapan tarif menginap yang terlalu murah. Namun mereka mengaku hal itu menjadi domain operator properti. “Dari sisi yang kami lakukan, kami tidak meng-highlight properti tersebut di aplikasi kami,” tegas Corporation Communications Manager Pegipegi, Busyra Oryza.

Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengakui, keluhan para pemilik hotel bujet terhadap cara main operator virtual ini sudah terdengar cukup lama. Persaingan tidak sehat tersebut menurut Maulana berasal dari beberapa faktor. Pertama adalah ketidakcermatan pemilik properti sendiri yang kerap terlena oleh jaminan pendapatan yang ditawarkan operator virtual, meskipun pada akhirnya ia juga mewajarkan ketertarikan para pemilik untuk bermitra. Sementara di satu sisi, operator punya hak menetapkan harga semurah itu karena mereka sudah diberikan kewenangan untuk mengelola segala hal termasuk soal penetapan harga.

Namun Maulana menunjuk lemahnya pengawasan pemerintah pusat dan daerah sebagai penyebab utama rendahnya tarif hotel bujet setahun belakangan. Yang paling kentara, menurutnya, adalah maraknya penggunaan akomodasi bulanan seperti indekos sebagai penginapan harian. Ketika operator virtual merambah kamar indekos, persaingan bisnis menurutnya makin tak wajar. Ia menuding pemerintah pusat dan daerah tidak tegas menertibkan kondisi tersebut.

“Kami dari PHRI melihat pemerintah pengawasannya masih kurang karena harusnya pemerintah sebagai pemilik peraturan bisa lebih tegas. Perbedaan pungutan harga itu terjadi karena ada perbedaan pungutan pajak dan perizinan. Pemerintah jadi kunci, khususnya pemerintah daerah,” sambung Maulana.

Berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Industri (KBLI) Bidang Pariwisata 2015 indekos memang tidak masuk ke dalam klasifikasi penyediaan akomodasi jangka pendek. Dasar peraturan ini yang dipegang teguh PHRI mengkritik keras operator virtual seperti Oyo maupun pemerintah sebagai regulator. “Kalau enggak dibenahi, pengusaha akan berantakan, yang rugi juga nanti para karyawannya. Nanti tidak ada hotel bujet, tapi adanya malah kos-kosan,” imbuh Maulana.

Kurang silaturahmi

Eko Bramantyo menanggapi kecaman PHRI itu dengan cukup santai. Eko sendiri mengaku sudah datang langsung ke acara musyawarah nasional PHRI yang terakhir digelar Februari lalu. Ia menilai ribut-ribut mengenai metode bisnis mereka terjadi karena komunikasi yang kurang baik. Itu sebabnya mereka berniat memperbaiki komunikasinya dengan asosiasi industri serta pemerintah.

“Yang menyebabkan keributan-keributan itu sebetulnya satu, silaturahminya belum terjalin dengan baik. Kalau terjalin dengan baik, yang diuntungkan negara ini karena pada akhirnya akan menciptakan peluang-peluang bisnis dan koridor sinergi bisnis yang akahirnya mensejahterakan lingkungannya,” tukas Eko.

Oyo Indonesia mengakui komunikasi dan sinergi mereka dengan regulator dan pelaku industri masih belum ideal dan mulus untuk saat ini. Eko menjadikan hal itu sebagai indikator kinerja perusahaannya bisa lebih baik. Oyo tentu mendambakan hubungan baik tersebut karena mereka dikenal agresif dalam melakukan ekspansi bisnisnya.

Namun, sementara ini, Oyo dipastikan tidak akan jor-joran seperti sebelumnya. Eko menyebut pihaknya kehilangan tingkat okupansi hingga 60% selama pandemi berlangsung. Eko juga mengklaim saat ini tak memikirkan market share karena semua sumber daya difokuskan untuk bertahan hingga setahun ke depan. Salah satu cara yang mereka tempuh adalah mengubah skema MG menjadi skema bagi hasil.

Semenjak pandemi melanda Indonesia, bisnis perhotelan adalah salah satu sektor yang terdampak paling keras. PHRI menyebut sudah lebih dari 2.000 hotel berhenti beroperasi hingga awal Mei. Angka ini diprediksi masih bisa terus bertambah walaupun pemerintah sudah melonggarkan pembatasan mobilitas penduduk di banyak daerah.

Dalam kasus Oyo, Albert sebagai pemilik hotel kelas bujet menilai Covid-19 hanya memperjelas kondisi persaingan yang tidak sehat. Banyaknya hotel yang tutup bahkan ketika pandemi baru melanda Indonesia menurutnya adalah pertanda bahwa selama ini hotel sudah berdarah-darah untuk sekadar beroperasi. “Itu artinya hotel tidak punya dana untuk daily basis operation,” Albert mengakhiri.

Oyo Indonesia tentu membantah tudingan tersebut. Mereka menyebut tarif murah itu merupakan value proposition mereka yang diperoleh dari mekanisme dynamic pricing berdasarkan teknologi yang mereka pakai. Kalaupun ada harga kamar yang tampak begitu murah, mereka berdalih itu terjadi dalam rangka promo dengan periode waktu tertentu saja.

Application Information Will Show Up Here

Introducing Rukita Proptech with Co-Living Alternatives

The co-living concept or communal residential is not a new thing in Indonesia. Lately, some startups began working on this concept as the rise of proptech sector. Rukita is one of the players that considered a pioneer of this communal residential concept.

“Co-living at Rukita provides residents with a comfortable living space that supports social interaction with the availability of communal spaces without compromising the privacy of residents who remain guaranteed with private bedrooms,” CEO & Co-Founder, Sabrina Soewatdy said in her written statement.

In general, Rukita offers subscription rooms. It means, Rukita provides all kinds of room requirements for residents, as a boarding room or apartment. Rukita also makes community programs to encourage the residents to interact with each other. These programs are referred to by Rukita as co-living residences.

Business Model

Rukita has currently managed rooms for a year in Jadetabek. In total there are 3000 rooms. They use the revenue sharing system of their cooperation with property owners.

Rukita manages stuff, such as property management services, renovation, maintenance, operations, to marketing. In other words, the owner of the house have no worry and just wait for results.

Sabrina revealed what distinguishes them from other online property rentals is a background check on potential residents. She gave an example of an unmarried couple and daily rental housing as two social problems that often arise from daily rentals.

“In line with our commitment to building a sustainable business in the proptech sector, we are targeting service expansion in the Greater Jakarta area by focusing on quality assurance as our top priority,” Sabrina added.

With such a residential rental model, there are already some startups offering similar services in Indonesia. One of them is Mamikos, they not only offer boarding and apartment listing services but also cooperate with property owners for management.

Market segment

Rukita was inspired by the housing demand of the millennials which continues to grow until 2035, of which around 34% of the population comes from that age group. Potential problems arise because 69.4% (Millennial Report 2019) of this kiwari group are yet to own a house. While property prices in Indonesia, especially Jakarta, are far from consumers’ purchasing power.

Sabrina said their residential concept is suitable for millennial groups living in urban areas, such as urban people, young executives, and foreign workers in Indonesia.

“We are here to improve a better lifestyle for millennials, where we believe that a person will have a better life when he lives in a residence that supports his needs,” said Sabrina.

In terms of funding, Rukita has received an initial funding injection led by Sequoia Surge in the middle of last year. Sabrina said this year’s priority is to maintain service quality. However, she did not deny that funding is one of the ongoing discussions.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Mengenal Startup Proptech Rukita, Sajikan Layanan Co-Living

Konsep hunian co-living atau komunal memang bukan hal baru di Indonesia. Namun belakangan sejumlah startup mulai menggarap konsep ini sebagai turunan dari sektor proptech yang kian subur. Rukita adalah salah satu pemain yang namanya mencuat sebagai pembesut konsep hunian komunal ini.

Co-living di Rukita memberi penghuni kenyamanan tempat tinggal yang mendukung interaksi sosial dengan ketersediaan ruang-ruang komunal tanpa mengabaikan privasi penghuni yang tetap terjamin dengan kamar tidur pribadi,” ujar CEO & Co-Founder Sabrina Soewatdy dalam pernyataan tertulisnya.

Pada dasarnya Rukita menawarkan kamar berlangganan. Ini artinya Rukita menyediakan semua kebutuhan kamar bagi penghuni, baik itu kamar indekos atau apartemen. Rukita juga membuat program-program komunitas untuk mendorong para penghuninya saling berinteraksi. Program-program ini yang dimaksud oleh Rukita sebagai hunian co-living.

Model bisnis

Kamar yang dikelola Rukita selama setahun beroperasi tersebar di Jadetabek. Total ada 3000 kamar yang mereka kelola. Adapun sistem kerja sama mereka dengan para pemilik properti adalah sistem bagi pendapatan (revenue sharing).

Rukita mengurus dari layanan manajemen properti, renovasi, pemeliharaan, operasional, hingga pemasaran. Dengan kata lain pemilik hunian cukup terima bagi hasilnya saja.

Sabrina mengatakan yang membedakan mereka dengan penyewaan properti daring lainnya adalah pengecekan latar belakang calon penghuni. Ia memberi contoh pasangan yang belum menikah dan penyewaan hunian harian sebagai dua masalah sosial yang kerap muncul dari penyewaan harian.

“Sejalan dengan komitmen untuk membangun bisnis yang berkelanjutan di sektor proptech, kami menargetkan ekspansi layanan di wilayah Jabodetabek dengan berfokus pada jaminan kualitas sebagai prioritas utama kami,” imbuh Sabrina.

Dengan model penyewaan tempat hunian seperti itu, sudah ada beberapa startup yang tawarkan layanan serupa di Indonesia. Salah satunya Mamikos, mereka tidak hanya menampilkan layanan listing indekos dan apartemen, tapi juga bekerja sama dengan pemilik properti untuk pengelolaan.

Segmen pasar

Latar belakang Rukita sendiri berasal dari kebutuhan tempat tinggal bagi kelompok usia milenial yang terus membesar hingga 2035, yang mana sekitar 34% jumlah penduduk berasal dari kelompok usia itu. Potensi masalah muncul karena 69,4% (Millennial Report 2019) dari kelompok kiwari ini belum memiliki rumah. Sementara harga properti di Indonesia, khususnya Jakarta, jauh dari daya beli konsumen.

Sabrina mengatakan konsep hunian mereka cocok untuk kelompok milenial yang tinggal di wilayah urban mulai dari urban, eksekutif muda, dan pekerja asing di Indonesia.

“Kami hadir untuk meningkatkan gaya hidup yang lebih baik bagi kaum milenial, di mana kami percaya bahwa seseorang akan memiliki hidup yang lebih baik saat ia tinggal di hunian yang mendukung kebutuhannya,” ucap Sabrina.

Dari aspek pendanaan, Rukita terakhir mendapat suntikan pendanaan awal yang dipimpin oleh Sequoia Surge pada pertengahan tahun lalu. Sabrina menyebut tahun ini prioritasnya adalah mempertahankan kualitas layanan. Namun ia tak menyangkal bahwa pembicaraan tentang pendanaan masih terus berjalan.

Application Information Will Show Up Here