Aplikasi Mobile Banking Telkomsel Hadir, Gaet 24 Mitra Bank

Telkomsel resmi memperkenalkan aplikasi mobile banking (mBanking) untuk 168 juta penggunanya di Indonesia. Aplikasi ini merupakan bentuk baru dari layanan mBanking Telkomsel yang sudah hadir sejak 2008.

Vice President Digital Advertising and Banking Telkomsel Harris Wijaya mengungkapan, layanan ini bertransformasi menjadi aplikasi mengikuti perkembangan pasar, seiring dengan penetrasi smartphone yang semakin tinggi serta gaya hidup digital masyarakat. 

“Maka itu, kami mengubah model layanan dan tampilannya dalam bentuk aplikasi. User interface juga dibuat kekinian sesuai kebutuhan pengguna,” ungkap Harris ditemui di acara peluncurannya, di Jakarta.

Untuk menggunakan aplikasi ini, pengguna Telkomsel wajib melakukan registrasi ke bank sesuai dengan rekening yang dimilikinya.

Saat ini, Telkomsel telah bermitra dengan 24 bank untuk aplikasi versi Android, sedangkan versi iOS baru ada 18 bank. Aplikasi iOS baru akan hadir di akhir bulan ini.

Adapun, aplikasi ini menggunakan basis menu USSD dan SMS untuk bertransaksi, baik transaksi perbankan maupun transaksi dengan mitra merchant. Misalnya transaksi pembayaran, pembelian pulsa, atau listrik. 

GM Digital Banking Telkomsel Rudy Anto Herlambang menyebutkan, transaksi berbasis SMS dan USSD dipilih karena dinilai lebih unggul dari sisi keamanan. Terlebih, penggunaan SMS dan USSD dapat digunakan di kondisi jaringan apapun.

“Ini tantangan buat kami [saat memilih SMS dan menu USSD]. Buat yang tinggal di area yang jaringan broadband-nya baik, tentu [akses internet] tidak jadi masalah,” ujar Rudy.

“Justru dengan menu USSD, kami ingin tangkap segmen anak muda dan sekaligus membantu lokal yang tidak mengembangkan aplikasi, lebih helpful. Menurut saya, saat ini belum ada aplikasi multi-bank, atau yang menyediakan layanan untuk semua bank,” tambahnya.

Telkomsel mencatat ada 18 juta pengguna yang mendaftar layanan mBanking (sebelum aplikasi), tetapi hanya 10 juta pengguna yang aktif. Rudy menargetkan ada tambahan satu juta pengguna baru yang memakai aplikasi mBanking di 2019. Telkomsel juga berencana menambah enam mitra bank di tahun depan.

Application Information Will Show Up Here

Catcha Group: Fintech dan Healthtech Diprediksi Jadi Unicorn Indonesia Selanjutnya

Awal tahun ini, Catcha Group merilis delapan prediksi untuk industri startup di Asia Tenggara. Kini Catcha Group kembali merilis tiga prediksi lanjutan terkait masa depan industri startup Indonesia di tahun 2020 mendatang.

Pertama, pendanaan ke startup Indonesia diprediksi melampaui Singapura. Hal ini diperkuat dengan target Indonesia menambah startup berstatus unicorn selanjutnya sebagaimana dikemukakan pula oleh Menkominfo Rudiantara.

Menurut Patrick Grove, Co-founder & Group CEO Catcha Group, dengan target punya lebih dari empat unicorn dalam beberapa tahun mendatang, Indonesia punya potensi untuk menggeser Singapura sebagai negara dengan alokasi pendanaan terbesar di Asia Tenggara saat ini.

Kemudian fakta lainnya adalah Indonesia memiliki pasar yang luas dengan populasi sebagai kekuatannya. Populasi digital Indonesia mencapai 131 juta, jauh lebih besar dibanding Singapura, yang hanya 5 juta. Saat ini total kapitalisasi startup besar di Indonesia mencapai $20 miliar, sedangkan Singapura $22 miliar.

Tak hanya itu, Grove juga mengungkap deal pendanaan seri C tengah naik di Indonesia meski pertumbuhannya lambat. Singapura justru sebaliknya.

“Posisi Indonesia dengan pasar 26 kali lebih besar dari Singapura memberikan ruang untuk tumbuh signifikan sebagaimana terlihat dari total pendanaan yang disuntik ke startup Indonesia” papar Grove.

Prediksi kedua, Indonesia bakal memegang porsi terbanyak sebagai penghasil “Next Indonesia unicorn” atau Nexicorn (startup) bernilai $100 juta. Pertumbuhan pengguna internet, perkembangan ekonomi, tingginya peluang suntikan investasi, hingga market size akan mendorong Indonesia untuk mencapai hal itu.

Fintech dan healthcare mulai diburu investor

Sejalan dengan hal di atas, Catcha Group memprediksi ada dua unicorn selanjutnya di Indonesia, dan masing-masing datang dari sektor fintech dan healthcare. Kedua sektor ini dinilai tengah mendominasi pertumbuhan startup di Tanah Air.

Pasar healthcare Indonesia diprediksi mencapai $363 miliar di 2025, naik 18 kali lebih besar dari $20 miliar di 2010. Besarnya nilai tersebut turut didorong oleh tingginya permintaan terhadap layanan kesehatan.

Sebagaimana disampaikan VP Products Halodoc Alfonsius P Timboel, industri kesehatan indonesia mengalami banyak tantangan, seperti kurangnya tenaga medis. Saat ini hanya 160 ribu dokter di Indonesia yang melayani 250 juta populasi Indonesia.

Ada dua startup yang mengisi pasar layanan healthcare berbasis digital di Indonesia, yakni Halodoc dengan valuasi $13 juta dan Alodokter dengan $12,1 juta.

Beralih ke fintech, ada banyak sekali pemain yang masuk ke pasar Indonesia. Wajar mengingat setiap startup berusaha mengambil kue pasar yang sangat besar ini. Laporan mengungkap bahwa 64 persen orang Indonesia berusia 25 tahun tidak memiliki rekening bank (unbanked). Ini merepresentasikan potensi kuat bagi startup fintech.

Bicara market size, nilainya di Indonesia pada 2017 mencapai $22 miliar, estimasinya akan meroket ke $54 miliar di tahun 2025. Adapun peneterasi layanan fintech di Indonesia sudah mencapai 46 persen terhadap 133 juta pengguna internet.

Karena hal ini, investor lokal dan luar punya alasan kuat untuk menyuntik dananya di luar sektor e-commerce karena gencarnya upaya perusahaan lokal masuk ke pasar dan pemerintah yang mulai memberikan dukungan terhadap sektor ini.

Sebagai gambaran, deal pendanaan untuk startup fintech di Indonesia terus naik dari hanya tiga di 2014, meningkat ke 11 (2015), 21 (2016), dan 53 di 2017.

Grab Akan Tambah Layanan Travel dan Healthcare Tahun Depan

Indonesia sebagai pasar digital terbesar di Asia Tenggara memberikan banyak ruang bagi Grab untuk memperkuat layanan lain di samping ride-sharing. Maka itu, di tahun depan Grab berencana menghadirkan dua layanan baru untuk pasar Indonesia, yakni di bidang travel dan healthcare. 

“Kami melihat banyak potensi berbeda dan ini menjadi kombinasi apa yang terpenting bagi pengguna di Asia Tenggara,” ungkap Co-founder Grab, Tan Hooi Ling ditemui saat Media Briefing di Jakarta. 

Sebagaimana diketahui, keinginan Grab untuk masuk ke dua layanan ini sudah terlihat jelas dari kemitraannya dengan dua perusahaan yang sama-sama kuat di sektornya, yakni Booking Holdings dan Ping An Healthcare and Technology Company (Ping An Good Doctor) beberapa bulan lalu. 

Grab resmi bermitra dengan Booking Holdings di bulan Oktober. Pengguna berbagai merek di Booking Holdings dapat menawarkan layanan transportasi on-demand lewat aplikasi Grab. Pun sebaliknya, pengguna Grab dapat memesan akomodasi di seluruh layanan milik Booking Holdings. Selain itu, Booking Holdings juga menyuntik investasi sebesar $200 juta ke Grab.

Kemitraan dengan Ping An Healthcare and Technology Company (Ping An Good Doctor) dari Tiongkok resmi terjalin pada September lalu. Ping An Good Doctor merupakan layanan kesehatan terintegrasi dengan teknologi kecerdasan buatan yang menyediakan konsultasi kesehatan berbasis online. Ini pertama kalinya Ping An Good Doctor beroperasi di Asia Tenggara.

Hooi Ling berujar bahwa keputusan menggandeng Booking Holdings dinilai tepat mengingat raksasa pemilik layanan Booking.com dan Agoda tersebut telah lama di bisnis ini. Menurutnya, Booking Holdings paham mengenai pasar travel di Asia Tenggara, seperti Indonesia, Singapura, dan Filipina. 

“Jika mau masuk ke Asia Tenggara, better do with or without us, it’s a win-win partnership. Mereka juga tahu kita punya partner [lokal] terbaik di Indonesia,” tuturnya.

Di samping itu, masuk ke sektor healthcare dirasa sejalan dengan komitmen perusahaan untuk menyediakan layanan terbaik kepada pelanggan. Terlebih, ia menilai mencari dokter atau mengatur jadwal konsultasi masih menjadi masalah utama masyarakat di Indonesia.

Selain menambah dua layanan baru, Grab juga akan memperkuat layanan existing GrabFood di tahun depan dengan memperbanyak jumlah merchant. Grab menargetkan GrabFood menjadi platform pertama di Indonesia untuk pesan-antar makanan. 

Saat ini, layanan GrabFood telah hadir di 139 kota, dari sebelumnya hanya 30 kota per September 2018. Jumlah pemesanan di GrabFood juga tercatat naik enam kali, dan merchant base naik delapan kali sejak GrabFood hadir di Indonesia pada awal 2018.

Salah satu inisiasi Grab untuk memperkuat layanan ini adalah melalui program Kitchen by GrabFood. Perusahaan mendatangkan merchant terpilih agar bisa beroperasi di Jakarta. 

Merchant di GrabFood menjadi bagian penting dalam ekosistem kami. Makanya, kami mencari merchant terbaik di seluruh Indonesia dan membawanya ke Jakarta,” ujar Hooi Ling.

Di sepanjang tahun 2018, ada banyak strategi yang telah direalisasikan Grab untuk mencapai target sebagai “super apps”. Grab bermitra dengan platform e-commerce dan pembayaran digital besar, yakni Tokopedia dan Ovo, untuk memperkuat ekosistemnya di Indonesia.

Managing Director Grab Indonesia, Ridzki Kramadibrata menyebutkan bahwa pihaknya terus menjaga agar fraud rate untuk layanan bodong tetap di bawah satu persen. Kini Grab mengklaim telah menguasai 60 persen pangsa pasar di Indonesia untuk ride-hailing (motor) dan 70 persen untuk GrabCar.

Untuk tahun ini, Grab menargetkan pendapatan sebesar $1 miliar, dan naik menjadi $2 miliar untuk tahun 2019. 

Application Information Will Show Up Here

Indonesia Menuju Adopsi Kecerdasan Buatan yang Lebih Matang

“Kecerdasan buatan merupakan sebuah kreasi yang membentuk masa depan kita,” tutur Irzan Raditya, co-founder sekaligus CEO Kata.ai saat membuka konferensi INTERACT di Jakarta beberapa waktu lalu.

Dalam keynote speech-nya, Irzan menegaskan bahwa kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) tak akan menggantikan pekerjaan manusia seperti yang diprediksi banyak pihak, termasuk Stephen Hawking yang menyebut pengembangan AI justru jadi akhir dari kehidupan manusia.

“Teknologi ini justru membantu [manusia] untuk berpikir kreatif dan strategis, dan juga sebagai akselerator,” ungkap pria berkacamata tersebut.

Yang dimaksud kreatif dan strategis oleh Irzan adalah menangkap peluang pengembangan AI dengan memanfaatkannya di sejumlah sektor industri. Konferensi bertajuk “AI for Intelligent Digital Transformation” dirasa pas dengan sejumlah sektor di Tanah Air yang punya sekelumit masalah. Contohnya, sektor kesehatan (healthcare).

Di salah satu sesi INTERACT, Timur Bawono, GM PT Medlinx Asia Teknologi, mengungkapkan bahwa industri kesehatan di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan, seperti kurangnya tenaga medis, belum terdigitalisasinya dokumen/database/rekam medis pasien, hingga sulitnya masyarakat mengakses layanan kesehatan karena keterbatasan wilayah/lokasi.

“Sebagai penyelanggara IT yang fokus di healthcare, kami ingin industri ini terbantu teknologinya. Misalnya AI, teknologi ini bisa bantu kelola dan analisa data sehingga bisa membuat keputusan dan rencana bisnis yang lebih achieveable. Karena data di rumah sakit, klinik, dan lainnya belum terdigitalisasi,” jelas Timur.

Sementara menurut Alfonsius P Timboel, VP Products Halodoc, pihaknya kini mulai serius menggarap AI untuk menjaga kualitas layanan. AI dapat dimanfaatkan untuk mengatasi ribuan konsultasi pengguna. Artinya, konsultasi yang tadinya ditangani dokter, kini bisa dibantu penanganannya oleh mesin tanpa mengurangi kualitas konsultasi itu sendiri.

Kembali lagi, Irzan berujar AI sama dengan ragam teknologi lain yang dapat diimplementasikan untuk berbagai sektor sesuai kebutuhan. Saat ini saja, sudah banyak perusahaan di sejumlah sektor di Indonesia yang memanfaatkannya untuk keperluan bisnis, seperti telekomunikasi dan perbankan.

Healthcare misalnya, teknologi ini bisa membantu pasien yang tinggal di daerah dan menghubungkannya dengan dokter-dokter di kota besar. Ini tinggal menunggu waktu, semua industri perlu kalau tidak mereka akan ketinggalan,” ujarnya lagi.

Saat ini, lanjutnya, posisi Indonesia dalam hal pengadopsian AI memang masih tertinggal jauh dari negara-negara kiblat teknologi macam Amerika Serikat dan Tiongkok. Semakin banyak data terstruktur akan meningkatkan input untuk AI. Terlebih, di sana regulator telab memberikan dukungan penuh untuk mengimplementasi AI, seperti profiling.

“Sekarang Indonesia sedang di fase realisasi. Tapi, pertumbuhan AI tak bisa bergantung pada kami, harus dari perusahaan besar ikut implementasi. Data atau tanpa data, algoritma secanggih apapun, tidak akan jalan kalau tidak ada yang adopsi. Tapi ini awal baik, startup [yang bergerak di bidang AI] mulai banyak.”

Inovasi baru peringkas informasi teks

Di konferensi INTERACT, Kata.ai juga memamerkan inovasi terbarunya untuk Kata Platform 3.0, versi terbaru Kata Platform yang dirancang untuk mengembangkan chatbot. Text Summarization yang akan hadir tahun depan, dipamerkan lewat sebuah demonstrasi apik oleh Pria Purnama, VP Product and Engineering Kata.ai.

Text Summarization merupakan inovasi lanjutan yang dapat mengolah informasi teks panjang menjadi ringkasan tiga hingga empat kalimat secara otomatis. Fitur ini dapat mempermudah pembaca untuk mencerna artikel berita lewat aplikasi pengiriman pesan.

DailySocial berkesempatan menyaksikan demo fitur terbaru ini. Ada dua berita dari situs Tempo.co yang dijadikan sebagai contoh. Sama seperti tampilan dan fungsi di Google Translate, fitur ini meringkas berita lebih dari 3000 karakter menjadi kurang dari 400 karakter saja.

Burhan Solikhin, Executive Director Tempo.co, yang juga hadir di sesi Demo Day ini, turut mengungkap bahwa AI juga dapat berfungsi untuk mengecek dan menyaring berita hoax di masa depan.

“Mungkin kami bisa membuat kolaborasi dengan Kata.ai untuk membuat filter [berita hoax] dengan AI. Misi kami adalah untuk publik dan republik, sehingga kami ingin kualitas berita semakin baik, seperti berita startup dan UKM, saat ini masih kurang.”

Saat ini Kata Platform telah digunakan lebih dari 3.700 developer untuk mengembangkan chatbot, dengan total pesan di chatbot Kata Platform telah mencapai 400 juta pesan. Setidaknya, terdapat lebih dari 30 perusahaan terkemuka yang menggunakan chatbot ini, superti Telkomsel, BRI, Unilever, Alfamart, dan Pegadaian.

Baca info lebih lengkap di sini

4 Hal yang Perlu Diketahui tentang Startup IPO

Tak hanya melalui pemodal ventura, startup dapat mencari pendanaan baru melalui cara “konvensional” yang sudah banyak dipraktikkan korporasi, yakni dengan melakukan initial public offering (IPO). Kabarnya, Bursa Efek Indonesia memberi sejumlah kemudahan bagi startup yang ingin go-public.

Namun bagi Passpod, startup penyedia bisnis sewa WiFi portabel yang baru-baru ini melantai di bursa saham, hal ini tentu tidaklah mudah. Startup yang kini menyandang kode emiten “YELO” ini menilai ada keuntungan dan juga tantangan yang dihadapi untuk mencapainya.

Untuk mengetahui selengkapnya, simak cerita dan pengalaman yang dibagikan oleh Hiro Whardana, CEO Passpod, di sesi #SelasaStartup kali ini.

Alasan IPO dan besaran funding yang ingin dikumpulkan

Alasan utama yang mendorong Passpod melakukan IPO adalah pihaknya butuh pendanaan baru untuk menambah lebih banyak perangkat modem. Keputusan ini diambil setelah perusahaan berkali-kali mencoba menutupi biaya tersebut, mulai dari modal sendiri hingga biaya operasional (opex).

Dalam proses melakukan IPO, Hiro mengamati bahwa dana yang ingin dikumpulkan terbilang setara dengan pendanaan seri A. Karena hal itu pula, proses due dilligence terbilang lebih ketat ketimbang pendanaan setara seeds.

Menurut Hiro, jika melihat nilai pendanaan yang ingin dikumpulkan besar, startup perlu lebih rinci dalam menyiapkan berbagai hal berkaitan dengan bisnis perusahaan, seperti model bisnis dan risk management.

“Untuk raise funding sebesar itu, perusahaan harus punya size [pasar] tertentu,” ujarnya.

Rencana bisnis dan keuntungan menjadi perusahaan publik

Mengambil langkah untuk menjadi perusahaan publik tentu tidak mudah. Selain perlu persiapan matang, melakukan IPO membutuhkan biaya besar untuk menyewa notaris, akuntan publik, pengacara dan semua yang terlibat di dalamnya. Hiro sendiri menuturkan pihaknya merogoh kocek hampir 3 miliar Rupiah untuk itu semua, meskipun pembayarannya dapat diatur pencairannya.

Namun  penting untuk tidak terfokus pada IPO, melainkan rencana bisnis perusahaan di masa mendatang.

“Bukan IPO yang direncanakan, tetapi funding yang ingin dikumpulkan, untuk kapan dan berapa,” paparnya.

Ia juga mengungkap beberapa keuntungan menjadi startup yang go-public. Beberapa inovasi yang dilakukan memiliki limitasi regulasi dengan menjadi perusahaan publik. Misalnya, status perusahaan tetap tercatat sebagai perusahaan dalam negeri meskipun saham dibeli dari investor luar negeri.

“Ini menandakan ada kontrol kredibilitas, berarti kami sudah dicap sebagai perusahaan transparan. Justru ini mempermudah kami kalau ekspansi ke luar negeri.”

Kendali perusahaan paling utama

Ia mengungkap menjadi perusahaan publik memberinya opsi kuat untuk tetap memiliki kendali terhadap perusahaannya sendiri.

“Menurut saya, yang terpenting bagi startup [yang IPO] bukan jumlah sahamnya. Itu tetap penting, saham memang akan terdelusi, tetapi kita tetap punya kontrol terhadap perusahaan,” tuturnya.

Ia mencontohkan pendiri sekaligus CEO Facebook Mark Zuckerberg yang tetap memiliki kontrol terhadap perusahaan meskipun tak lagi memiliki saham mayoritas di Facebook.

“Mungkin kami juga kurang sabar cari venture capital, [karena kalau VC] semua ingin kontrol. Justru kalau kami ingin kontrol untuk mengembangkan Passpod. Pasarnya masih besar, bayangkan dari 7 juta traveler, yang terkover penyewaan modem baru 200 ribu,” ungkap Hiro.

Kolaborasi Startup Tetap Diperlukan

Salah satu perubahan yang cukup signifikan ketika telah menjadi perusahaan publik adalah laporan keuangan. Perlu diketahui, perusahaan yang melantai di bursa diawasi oleh Bursa Efek Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Segala aktivitas harus memiliki pertanggungjawaban lewat laporan keuangan.

Dengan budaya startup yang senang melakukan eksplorasi dan inovasi, menurut Hiro, hal ini tentu tidak bisa lagi dilakukan sembarangan.

“Ketika kami meluncurkan sesuatu, pasti itu akan reflektif ke laporan buku mendatang. Orang tidak bisa lagi main-lempar-jelek-buang,” tuturnya.

Agar tidak membatasi perusahaan dalam bereksplorasi dan mengembangkan inovasi, kolaborasi dengan startup lain perlu dilakukan. Dengan demikian, bisnis dan inovasi tetap bisa jalan beriringan.

“Yang menjadi tantangannya adalah gimana bisa scale up, tapi tetap agile. Nah, strategi agar tetap bisa agile dengan kolaborasi. Di Passpod, kami ada budget R&D yang digunakan untuk kerja sama dengan startup.”

Gandeng 36 Mitra, XL Axiata Bangun Lab IoT X-Camp

Kini para pengembang Internet of Things (IoT) lokal boleh bergembira. Fasilitas laboratorium yang telah menjadi mimpi bagi setiap pelaku di ekosistem ini resmi hadir di Indonesia. Dengan laboratorium ini, Indonesia diharapkan dapat lebih gesit memaksimalkan potensi IoT dalam negeri.

Lab IoT bernama X-Camp merupakan hasil kolaborasi ‘keroyokan’ yang diinisiasi oleh operator seluler XL Axiata dengan 36 pihak lainnya. Setiap pihak punya peran masing-masing, mulai dari penyediaan mesin, properti, hingga pengembangan kurikulum untuk menciptakan sumber daya.

Peluncuran X-Camp turut diresmikan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara dan Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartanto di Kantor XL Axiata di Jakarta. X-Camp akan beroperasi secara efektif pada pertengahan November.

“X-Camp dibangun untuk memperluas implementasinya. Lab ini juga menjadi wadah untuk mempertemukan para stakeholder di ekosistem IoT. Ini bisnis masa depan, kalau tidak disiapkan dari sekarang, kita tidak akan siap,” ungkap Presiden Direktur sekaligus CEO XL Axiata, Dian Siswarini pada peluncuran Lab IoT X-Camp di Jakarta kemarin.

Ia berharap X-Camp dapat menjadi wadah dalam menghadirkan solusi digital sesuai kebutuhan industri. Ia bahkan menyebut bahwa X-Camp menjadi lab IoT terlengkap yang pernah dihadirkam oleh operator seluler, dan satu-satunya lab IoT yang tergabung di GSMA Lab Alliance di Asia Tenggara.

Sementara itu, Menperin Airlangga mengungkap pihaknya tengah menyiapkan kebijakan dalam mempercepat adopsi IoT. Pasalnya IoT merupakan bagian dari revolusi Industri 4.0.

“Dari sepuluh policy, salah satunya infrastruktur. Tentu peran (operator seluler) XL sangat penting. Perlu diketahui bahwa globalisasi adalah part of trade war. Dengan revolusi Industri 4.0, kita berupaya agar tidak ketinggalan,” jelasnya.

Di kesempatan sama, Menkominfo Rudiantara juga sempat menyentil tentang minimnya sumber daya manusia (SDM) dalam negeri yang punya kemampuan di bidang ini. Hal itu menjadi salah satu tantangan besar dalam menggerakkan adopsi IoT di tanah air.

Maka itu, XL turut menggandeng sejumlah universitas terkemuka untuk membangun sumber daya lokal dari perguruan tinggi. Mereka di antaranya Universitas Gadjah Mada, Universitas Brawijaya, Politeknik Negeri Semarang, dan Politeknik Elektronika Negeri Surabaya. Sisanya menyusul untuk bergabung dalam program X-Camp Lab Alliance.

Pengembangan NB-IoT hingga kolaborasi inovatif

X-Camp menyediakan ragam fasilitas bagi para pengembang atau maker IoT. Perlu diketahui, X-Camp merupakan lab untuk pengembangan teknologi Narrowband (NB-IoT). Adapun, NB-IoT tengah digadang-gadang menjadi teknologi IoT penerus karena dapat berjalan di jaringan seluler 2G, 3G, dan 4G.

Tentu pengembangan NB-IoT sejalan dengan keinginan operator seluler seperti XL, mengingat operator saat ini tengah mengembangkan jaringan seluler generasi kelima (5G) untuk memaksimalkan adopsi NB-IoT lebih tinggi.

Hal ini juga diamini oleh Founder dan CEO DycodeX, Andri Yadi yang ditemui DailySocial di acara peluncuran ini. DycodeX termasuk salah satu mitra kolaborasi XL dalam membangun X-Camp, dan startup yang pertama kali memperkenalkan teknologi IoT lainnya, yakni LoRa.

Andri mengungkap pengembangan NB-IoT kali ini dilakukan dengan berkolaborasi dengan startup Kayuh, startup penyedia sepeda kayu asal Depok,, dalam merancang produk bike-sharing.

Lebih lanjut, X-Camp menghadirkan sejumlah fasilitas di mana para maker atau pengembang dapat melakukan berbagai kegiatan, mulai dari pengembangan ide, pembuatan prototype produk IoT hingga produksi skala kecil. Di sini, mereka juga dapat melakukan pengujian user experience.

“Ada banyak sekali tujuan dari pembangunan X-Camp, yaitu edukasi pasar, inkubasi bisnis, pengembangan bersama, dan pengembangan lab. Dari sini, kita pertemukan startup dengan industri, kita bisa eksplorasi ide IoT, hingga membuat kolaborasi.” demikian ungkap Direktur Teknologi XL Axiata, Yessie D Yosetya.

eFishery Raup Dana Seri A Senilai 58 Miliar Rupiah, Berencana Ekspansi ke Negara Asia Tahun Depan

Startup pemberi pakan ikan otomatis asal Bandung, eFishery, mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai $4 juta (sekitar 58 miliar Rupiah). Investasi baru ini akan dimanfaatkan untuk memantapkan rencana ekspansinya ke negara-negara Asia pada 2019.

Pendanaan baru ini didapat dari tujuh investor baru, antara lain Wavemaker, 500 Startups, Unreasonable Capital, Social Capital, Northstar Group, Triputra Group, dan Maloekoe Ventures. Dua investor terdahulu, Aquaspark dan Ideosource juga turut berpartisipasi.

Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Co-Founder dan CEO eFishery Gibran Huzaifah mengungkapkan, rencana strategisnya untuk membuka pasar baru di bisnis hardware untuk kawasan Asia. Ada tiga negara yang diincar, yakni Thailand, Bangladesh, dan Vietnam.

Saat itu, menurut Gibran, ekspansi di tiga negara tersebut baru sebatas pilot project dan belum sepenuhnya komersial. Dengan raihan pendanaan baru, pihaknya akan mengomersialkan bisnis tersebut pada pertengahan 2019.

“Pendanaan ini fully untuk ekspansi bisnis kami saat ini (hardware solution). Kami ingin tingkatkan pasarnya di Indonesia dan mulai open market baru di luar negeri,” ungkapnya ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu.

eFishery mengembangkan solusi berbasis Internet of Things (IoT) melalui Smart Feeder, yakni perangkat pemberi pakan ikan otomatis. Salah satu fungsinya adalah memberikan pakan ternak ikan secara terjadwal. Saat ini, Smart Feeder telah digunakan peternak ikan di Jawa Barat dan Lampung.

Pada ekspansi ini, eFishery akan bekerja sama mitra lokal di ketiga negara. “Kita cari pemain besar dan kita sudah dapat partner di sana. Jadi kita tawarkan peluang bisnis dengan large corporation-nya. Misalnya, channel (distribusi) kita, bisa dipakai sebagai channel mereka. Nanti bikin perusahaan patungan (JV),” jelas Gibran.

Sebetulnya, permintaan layanan tak hanya datang dari ketiga negara tersebut. Menurut Gibran, permintaan lain juga datang dari negara-negara Asia lainnya, seperti Sri Lanka, Kamboja, dan Myanmar.

Gibran sendiri menyebut lebih memilih pasar negara besar, seperti India dan negara-negara Amerika Selatan. Di sana peluangnya sangat besar mengingat budidaya ternak udang juga besar.

“Tapi kami mau fokus di tiga negara dulu. Kalau nanti sudah proven di negara-negara tersebut, ini bisa jadi story buat kami untuk push di negara lain dan tumbuh lebih jauh lagi. Semisal, kami mau raise [pendanaan Seri B], itu bisa untuk region expansion dengan model bisnis apapun,” tambah Gibran.

Monetisasi data dengan credit scoring

Selain membuka pasar baru, eFishery juga fokus di pasar dalam negeri untuk memantapkan posisinya di rantai pasokan perikanan. Pihaknya akan mengutilisasi dan memonetisasi data yang diambil dari Smart Feeder untuk engage ke lebih banyak peternak ikan hingga stakeholder terkait di ekosistem perikanan.

Hardware yang kami deploy itu mengambil banyak data berbagai macam. Kami mau leverage dan utilisasi sehingga bisa kasih value ke customer atau klien. Contohnya, kami ingin buat semacam credit scoring yang menghubungkan petani dengan bank,” ucap Gibran.

Selama ini ia melihat banyak perbankan dan asuransi ragu untuk memberikan pinjaman atau produk asuransi kepada peternak ikan dan tambak udang karena risiko besar. Dengan data yang dimiliki, eFishery dapat mengelola dan menganalisis risiko sehingga bank mau memberikan pinjaman.

Menurutnya, hal ini dapat menguntungkan kedua belah pihak. Perbankan mendapatkan pasar pengguna baru dan petani juga mendapat akses pendanaan untuk ekspansi. eFishery melihat ini sebagai value chain baru karena dapat menawarkan Smart Feeder kepada mereka.

“Selain itu, kami bisa utilisasi data ke buyer. Data yang kami punya bisa memprediksi hasil panen dan kapan. Jadi sebelum ikan terjual, kita tawarkan hasil panen ke buyer. Dua-duanya kami sedang lakukan pilot project, tinggal tentukan model bisnisnya dan roll out di area mana dulu,”

Gibran meyakinkan bahwa pihaknya tidak menjual data, melainkan mengambil fee dari setiap transaksi pinjaman yang berhasil dari setiap data yang dihubungkan ke bank.

Terakhir Gibran menambahkan, eFishery akan memperluas pangsanya di pasar domestik dengan membuka kanal distribusi baru di area sentra perikanan di Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera hingga akhir tahun ini. Targetnya, eFishery akan ada di 35 area di Indonesia dari tujuh area saat ini.

Bentuk Liga Esports Sendiri Bisa Perkuat Ekosistem di Indonesia

Salah satu topik menarik yang dibawakan di sesi World Conference of Creative Economy (WCCE) di Nusa Dua Bali, beberapa waktu lalu adalah soal pentingnya pengembangan ekosistem esports bagi pasar Indonesia.

Dalam paparannya Chief Marketing Officer GDP Ventures Danny Oei Wirianto menyebutkan bahwa Indonesia merupakan pasar potensial bagi pertumbuhan esports. Pasalnya Indonesia memiliki 34 juta gamer dan esports sendiri telah menjamur di Tanah Air.

Indonesia berpeluang untuk menciptakan ekosistem yang kuat mengingat nilai bisnis esports di dunia mencapai $1,1 miliar di 2018 dan diperkirakan naik menjadi $1,3 miliar di 2019.

Ini belum termasuk nilai industri game secara keseluruhan yang nilainya mencapai $10 miliar. Salah satunya disumbang dari penjualan aksesori game, seperti mouse dan headset. Apabila digarap dengan serius, ekosistem akan tercipta karena ada perputaran rantai bisnis dari game publisher, player, brand, hingga audiensi.

“Esports dapat bantu membangun ekosistem game development. Ini adalah multi billion business, tidak cuma game saja ada aksesoris game, komputer, gadget. Sayang, belum banyak perusahaan involve di Indonesia karena masih menganggap Esports sebelah mata,” ujar Danny.

Danny, yang juga menjadi Penasihat Indonesia E-Sports Premier League (IESPL), menilai Indonesia perlu membentuk liga esports sendiri untuk memperkuat ekosistem dan membangun bisnis yang sustainable. Liga nasional juga penting untuk menghindari ketergantungan dengan game publisher.

“Kita mau buat our agent league sendiri, that’s our goal. Tapi ini step by step karena beberapa negara belum punya their own league yet. They don’t have league, we’re the first one. Lagipula, saat ini yang ada kan hanya tim yang main di turnamen kecil, semua dikontrol sama game publisher, tapi tidak ada yang obyektif,” jelas Danny.

Ditemui pada kesempatan sama, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara sejak awal menegaskan bahwa pemerintah di era digital mulai menyesuaikan diri menghadapi perubahan, yakni menjadi fasilitator dan akselerator. Dalam hal ini, ia menilai esports tidak perlu punya aturan khusus.

“Bukan regulasi, yang harus dilakukan adalah [menjadi] self-regulatory organization. Jadi pemain esports ini bikin kebijakan sendiri, bicara dengan saya, nanti saya fasilitas. Pemerintah memberikan koridor saja, jangan terlalu detail,” papar Rudiantara kepada DailySocial.

Menjadi self-regulatory organization, menurutnya menjelaskan bahwa industri digital memiliki dinamika yang sangat cepat. Apabila esports diatur, pemerintah dinilai akan repot dalam menetapkan sebuah kebijakan.

“Pemerintah ingin menjadi less regulator, dan menjadi fasilitator. Di dunia digital itu, hari ini ada apa, besoknya bisa berubah. Tidak mudah itu menetapkan aturan.” tambahnya.

Mendorong daya saing game lokal untuk ajang esports

Danny mengungkapkan bagaimana cara agar game lokal dapat dipertandingkan di ajang esports, yakni meningkatkan kualitas dari berbagai aspek, termasuk dalam hal pemasaran.

“Kita bisa bikin game tetapi tidak jago dalam memasarkannya,” ungkap Danny.

Ia menilai bahwa pengembang game lokal belum serius dalam merancang business plan yang baik. “[Mengembangkan game] itu requires a lot of money untuk marketing, hire script writer, story liner, story board yang bagus. Jadi tidak menggampangkan, saya lihat banyak game yang asal jadi,” lanjutnya.

Selain itu, menurutnya Indonesia minim game publisher yang bagus, dan kalaupun ada masih bisa dihitung dengan jari. Ia menilai Indonesia membutuhkan lebih dari sepuluh game publisher agar dapat saling berkompetisi.

Ia berharap misinya mengembangkan ekosistem esports dapat membantu nurture game publisher di Indonesia lebih baik. Dengan audiens yang lebih luas, ini akan mendorong game publisher untuk mengambil pangsa pasar lebih besar.

Platform Database Digital untuk Pekerja Kreatif HAHO Incar Satu Juta Pengguna di Tahun 2019

HAHO memang terbilang masih baru di industri digital Indonesia. Kendati demikian, startup yang didirikan Anthonius Andy Permana ini memiliki visi memajukan industri kreatif Indonesia hingga ke kancah internasional.

Di sela perhelatan World Conference of Creative Economy di Nusa Dua, Bali pada 7 November 2018, DailySocial berkesempatan untuk berbincang dengan Andy, sapaan akrabnya.

HAHO adalah database solution yang menyediakan informasi dan profil lengkap para pekerja kreatif di Indonesia, atau mereka yang termasuk ke dalam 15 sub sektor Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF).

HAHO berdiri setelah melalui proses panjang, mulai dari ideation di 2015, concepting, hingga akhirnya layanan ini meluncur dalam bentuk website dan aplikasi Android di akhir 2017. Untuk aplikasi iOS sendiri ditargetkan meluncur pada awal tahun depan.

Kepada DailySocial, Andy mengungkap keinginannya untuk menjadi platform solutif bagi pekerja seni. Ia menilai saat ini masih terdapat gap cukup besar dalam mempertemukan supply dan demand di industri ini.

“Bisa dikatakan HAHO itu semacam ‘Linkedin’ untuk pekerja seni. Memang ada yang pasang profil di Linkedin, tetapi informasinya tidak lengkap. Makanya, pekerja seni ini tidak punya digital identity yang profesional karena tidak ada channel untuk pasang experience portfolio. Media sosial itu tidak proper,” jelas Andy.

Selain itu, lanjutnya, pasar Indonesia dinilai masih sangat sempit dalam mendefinisikan pekerja seni, yakni hanya sebagai aktris dan aktor film. Padahal, pekerja seni memiliki definisi luas sebagai orang yang bergelut di industri kreatif, seperti musisi, event, magician, stand up comedian, hingga barista sekalipun.

Di aplikasi HAHO terdapat empat menu utama, yakni Talent, Company, Jobs Vacancy, dan Project (mulai dari film, event, musik, dan lain-lain). Saat ini, HAHO telah berkolaborasi dengan rumah produksi ternama, yaitu Starvision.

“HAHO itu two-sided network yang mempertemukan supply dan demand. Siapapun bisa mencari talent di sini, karena kami sediakan profiling dengan lengkap. Contoh, teman saya mau adakan fashion show yang mana mereka butuh model dengan tinggi 170 cm. Tidak mungkin reach satu-satu,” ungkapnya.

Mencari pendanaan baru demi raihan satu juta pengguna

Di tahun depan, Andy berencana untuk mendongkrak jumlah pengguna HAHO dari 60.000 saat ini menjadi satu juta di tahun depan. Untuk mencapai target ini, pihaknya membutuhkan investasi dalam mendukung kegiatan promosi dan marketing. Misalnya, strategi membership dan kolaborasi dengan lebih banyak rumah produksi (PH) dan Event Organizer (EO).

“Kita mengadopsi model bisnis seperti di Linkedin dan IMDB, misalnya dengan membership subscription. Tapi kalau user-nya baru puluhan ribu, it’s useless. Nah, kami tengah mencari pendanaan baru because we have to burn money untuk acquire user,” tuturnya.

HAHO telah menerima pendanaan pre-early seed funding dari angle investor. Untuk selanjutnya, Andy saat ini telah menjajaki pendanaan baru untuk seed funding dengan pemodal ventura (VC).

Sebetulnya, kata Andy, banyak model bisnis yang bisa diimplementasikan ke HAHO. Tapi menurutnya saat ini HAHO belum masuk fase untuk menghasilkan pendapatan. Kalaupun sudah, pendapatan ini dari lini bisnis HAHO yang lain, yakni penjualan tiket. Untuk lini bisnis ini, HAHO bekerja sama dengan Go-Tix dari Go-Jek.

“Target 1 juta pengguna di 2019 memang ambisius, tetapi harus terukur. Kami (perlu) bakar uang untuk akuisisi. Intinya, kami punya impactful tagline, yakni enpowering do generation to be discovered easily worldwide. Kami ingin talent Indonesia bisa bersaing, tak hanya lokal, tetapi juga internasional. Kami ingin industri digital membuat impact semakin luas.”

Application Information Will Show Up Here

Produksi Talenta Startup Berkualitas Lebih Cepat Dimulai dari Sekolah

Menarik benang merah peluncuran Database Startup Indonesia, kehadirannya diharapkan tak hanya berperan bagi penentu kebijakan di masa depan, tetapi juga dalam merancang program dan kaitannya menciptakan talenta sesuai dengan kebutuhan industri startup.

Minimnya jumlah talenta telah menjadi isu bagi industri startup di Indonesia beberapa tahun belakangan. Geliat industri startup yang semakin berkembang rupanya tak diimbangi dengan jumlah dan kualitas talenta yang ada.

Menurut Founder dan CEO HAHO Anthonius Andy Permana, ada potensi monopoli talenta dari startup-startup berstatus unicorn. Ia menilai talenta yang bekerja di sini adalah talenta yang memiliki kualitas dan sesuai kebutuhan startup.

“Mau bajak atau hire [talenta], apa harus dari Tokopedia atau Go-Jek?” tanyanya saat sesi tanya-jawab di peluncuran Database Startup Indonesia di Nusa Dua, Bali.

Menjawab hal ini, Ketua Umum Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia (MIKTI) Joddy Hernady mengakui Indonesia saat ini masih sangat kekurangan talenta. Kalaupun ada, talenta ini dirasa belum mampu memenuhi startup yang kebutuhannya semakin kompleks.

“Riset yang kami lakukan di 2013 mengungkap seperti apa kebutuhan startup. Bukan pendanaan yang ada di urutan pertama, tetapi talenta, terutama di bidang software developer, untuk backend, frontend,” ungkap Jorry ditemui usai peluncuran Database Startup Indonesia di Nusa Dua, Bali.

Menurutnya ada kasus di mana talenta di Indonesia belum dapat menyelesaikan masalah ketika startup melakukan scale up.

“Buat software untuk 100 ribu pengguna dengan jutaan pengguna itu berbeda. Ketika scale up, mereka belum mampu mengatasi masalah itu,” tambahnya.

Sekjen MIKTI Andy Zaki juga menilai bahwa penciptaan talenta berkualitas akan lebih cepat apabila dimulai dari kebutuhan akademis di sekolah maupun perguruan tinggi.

“Suplai dan demand tidak sebanding. Harus banyak. Kualitas talenta juga harus ditingkatkan. Maka itu caranya adalah menambah talenta startup adalah lewat program belajar di sekolah, universitas, ada juga inisiasi dari pemerintah dan stakeholder terkait,” kata Andy.

MIKTI sejak beberapa tahun lalu mulai berkolaborasi dengan perguruan tinggi dalam menciptakan talenta, misalnya program D3 yang output-nya dinilai akan lebih unggul dibandingkan S1 untuk keahlian teknis.