“Database Startup Indonesia” Diresmikan, Siap Jadi Acuan Pengembangan Industri Digital

Indonesia saat ini tengah menikmati pertumbuhan industri digital yang ditandai dari menggeliatnya industri startup. Kini Indonesia tercatat telah memiliki empat startup berstatus unicorn, terbanyak kedua setelah Singapura di kawasan Asia Tenggara.

Sesuai visi Presiden Joko Widodo menjadikan Indonesia sebagai The Digital Energy of Asia, tak cukup hanya mengandalkan sejumlah inisiatif dari para pemangku kepentingan (stakeholder). Ada hal lain yang dapat mendukung hal tersebut, yakni melalui kehadiran database startup yang komprehensif.

Untuk itu, Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia (MIKTI) didukung Badan Ekonomi Kreatif RI (BEKRAF) meluncurkan Database Startup Indonesia 2018 yang akan menjadi acuan pengembangan industri digital Tanah Air. Peluncuran ini sekaligus dalam rangka perhelatan World Conference on Creative Economy di Nusa Dua, Bali.

Deputi BEKRAF Hari S Sungkari menyebutkan, Database Startup Indonesia 2018 akan memetakan ragam informasi berkaitan dengan kondisi startup. Dalam hal ini, Database Startup Indonesia dapat membantu berbagai pihak, termasuk pemerintah, dalam menentukan kebijakan dan program agar lebih optimal.

Sementara Ketua Umum MIKTI Joddy Hernady menyebutkan, pengumpulan informasi dan proses verifikasi dilakukan seluruhnya oleh tim MIKTI. Verifikasi ini dilakukan untuk memastikan data tersebut valid. Setidaknya hingga saat ini, menurut Joddy, sudah ada 960 startup yang datanya telah dikumpulkan dan diverifikasi.

“Saat ini belum ada acuan [data startup] yang kredibel. Kalaupun ada, itu tidak valid. Nah yang kami lakukan adalah verifikasi seperti mengecek website dan menelepon [pemiliknya], apa masih ada atau tidak. Dengan begini, data menjadi lebih akurat,” tutur Joddy ditemui DailySocial di Nusa Dua, Bali.

Menurut Joddy, Database Startup Indonesia nantinya dapat diakses oleh publik. Saat ini, pihaknya tengah mempersiapkan platform sebagai akses yang diperkirakan meluncur pada 10 Desember mendatang.

Perumusan kebijakan dan program lebih optimal

Database Startup Indonesia akan menampilkan ragam informasi kredibel dan valid mengenai startup, mulai dari profil perusahaan, hingga pendanaan yang diterima. Joddy menyebut data tersebut akan sangat berguna bagi para stakeholder dalam merumuskan kebijakan dan program.

“Misalnya, saat ini startup paling banyak di sektor e-commerce. Nah, kami justru bisa dorong ke sektor lain yang lebih prospek, berapa pendanaan yang diperlukan. Kan e-commerce sudah banyak,” tuturnya.

Dari data terverifikasi MIKTI yang diterima DailySocial, hingga saat ini sektor e-commerce mendominasi jumlah startup di Indonesia sebanyak 353 (36,84%), diikuti 53 startup fintech (5,52%), 21 startup game (2,19%), dan 535 startup di bidang lain (55,67%).

Data lainnya mencatat sudah ada 530 startup (55,15%) yang menjadi PT, namun ada 66 startup (6,87%) masih berbadan usaha CV, 92 startup (9,57%) belum berbadan usaha, dan sisanya 272 startup (28,41%) belum diketahui badan usahanya.

Selain itu, lanjut Joddy, data ini dapat menarik lebih banyak investor untuk menyuntik modalnya di sini. Pihaknya juga berencana untuk menampilkan data penjualan startup yang selama ini masih bersifat tertutup untuk publik.

“Data penjualan kan penting sekali ya, tapi startup memang belum mau publikasi itu. Kami akan coba encourage mereka secara bertahap agar mau [menampilkan data penjualannya].”

Tiga Strategi Kehumasan yang Bisa Dicontoh Saat Meluncurkan Startup

Dalam beberapa tahun terakhir, startup semakin banyak menjamur seiring dengan berkembangnya adopsi teknologi di Indonesia. Ada yang masih bertahan dan sukses, tetapi tak sedikit juga yang tutup buku.

Bicara soal kesuksesan startup, tak bisa dipungkiri public relation (PR) memiliki peran besar. Hal ini demikian karena PR terlibat menentukan strategi dalam memperkenalkan sebuah brand atau produk startup ke khalayak.

Untuk mengetahui lebih dalam, Dian Noeh, Founder dan CEO KVB (sebelumnya Kennedy, Voice & Berliner) akan membagikan pengalamannya pada sesi #SelasaStartup kali ini tentang penentuan strategi PR dalam meluncurkan startup.

Memberikan impact lewat konten

PR is about content. Maka itu, penting bagi PR dalam membuat konten yang menarik. Salah satu pendekatannya adalah memperkenalkan produk lewat sebuah cerita. “Substansi memang harus bagus, apalagi akses informasi semakin mudah karena channel-nya semakin banyak,” ujar Dian.

Selain lewat cerita, penting juga bagi PR untuk dapat men-deliver informasi lainnya, misalnya terkait model bisnis startup. Elemen ini dinilai penting, terutama jika kaitannya menyebarkan informasi kepada para jurnalis.

Why we love working with startups karena kita bisa belajar lebih banyak, belajar model bisnis [mereka]. Kita bisa belajar hal baru dan [model bisnis] ini bisa memberikan impact kepada orang lain,” ungkapnya.

Daya tarik lewat kisah para founder

Menurut Dian, ada banyak perusahaan yang kurang paham dalam melakukan pekerjaan PR pada konteks di era sekarang. Maka itu, memperkenalkan sebuah startup atau produknya tentu akan berbeda dengan memperkenalkan produk perusahaan.

Mengacu pada pengalamannya, sebuah produk atau brand dapat diperkenalkan ke masyarakat dengan mengandalkan cerita atau kisah dari si pendirinya (founder). Ia menilai setiap founder punya kisah berbeda dalam membangun startup atau mengembangkan sebuah produk.

“Kita bisa menggali cerita para founder yang berbeda-beda, di mana cerita ini dapat memikat orang agar bisa menjadi inspirasi kepada orang lain,” tutur Dian.

Algoritma tak berlaku di social science

Dalam meluncurkan startup atau produk, tak semua hal dapat diputuskan secara teknis atau teoritis. PR terkadang harus memiliki insting dalam membuat sebuah keputusan.

When we launch, ada hal-hal tertentu di mana basic rules apply. Tapi ada hal-hal lain juga yang tidak tertulis dan ada banyak keputusan yang tidak hitam-putih,” ujarnya.

Sebagai contoh, PR dapat mengandalkan insting untuk menentukan kapan waktu yang tepat meluncurkan produk atau kapan harus menggunakan bantuan tangan PR atau tidak.

Empat Hal Perlu Diketahui Perusahaan dalam Mengadopsi Teknologi

Di era masa kini, teknologi semakin relevan dan berpengaruh terhadap pertumbuhan bisnis perusahaan. Teknologi terkadang membantu perusahaan dalam mengambil keputusan.

Kendati begitu, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga perusahaan juga harus cepat beradaptasi terhadap perubahan. Bagaimana seharusnya perusahaan beradaptasi di era kecanggihan teknologi?

Hal ini dijawab sejumlah pembicara di salah satu sesi IdeaFest 2018 bertajuk The Rise of Industry-Grown Technology: Automation, AI, and Data Innovations.

Implementasi tak sebatas piloting

Teknologi cepat sekali berkembang. Baru muncul satu, kemudian muncul lagi teknologi baru. Padahal butuh waktu untuk benar-benar paham implementasinya.

Prasetya Dwicahya, Head of Data Science Indonesia, melalui contohnya menyebutkan ada banyak perusahaan yang ingin mengimplementasi big data, tetapi tidak tahu datanya.

Ia juga melihat sejumlah perusahaan belum sepenuhnya memanfaatkan teknologi dan malah justru menggunakannya untuk sekadar proyek percobaan (piloting).

“Ini juga menjadi masalah karena teknologi hanya dimanfaatkan untuk piloting dan tidak diterapkan sampai benar-benar pemanfaatannya,” tutur pria yang karib disapa Pras ini.

Decision board perlu paham teknologi

Ketidaktahuan perusahaan terhadap teknologi baru dianggap menjadi peluang bagi vendor menawarkan produknya. Hal ini justru dianggap dapat menimbulkan misinformasi. Mengapa?

”Misinformasi [teknologi] justru datang dari vendor, mereka menawarkan ke klien padahal belum tentu butuh,” tutur Endiyan Rakhmanda, Co-founder & Chief of Product IYKRA.

Alhasil, perusahaan merasa perlu untuk mengimplementasi teknologi karena “ikut-ikutan”. Untuk itu, Pras menambahkan kembali tentang pentingnya keberadaan decision board yang setidaknya punya pengetahuan teknologi.

“Contoh kasus di atas kan membuat terjadinya asimetric information yang dimanfaatkan vendor untuk berjualan. Investasi jadi sekadar hambur-hambur uang,” tutur Pras.

Pahami kebutuhan perusahaan

Sementara Djap Tet Fa, CEO Astra Digital yang juga mengisi sesi ini menanggapi sisi lain dari perkembangan teknologi di Indonesia. Ia menilai perusahaan di Indonesia memanfaatkan teknologi bukan karena kebutuhannya.

“Ada peer pressure seolah-olah kita harus keep up dengan teknologi. Jadi perusahaan merasa tidak mau ketinggalan. Padahal perlu lihat model bisnisnya, apakah customer-nya perlu, belum lagi ada biaya riset dan pengembangan. Bagaimanapun juga somebody has to pay, ini menjadi tidak efisien lagi,” jelasnya.

Menurutnya, digitalisasi memang menciptakan efisiensi. Akan tetapi kalau teknologinya tidak sesuai kebutuhan bisnis, hal ini justru tidak akan memberikan nilai lebih kepada perusahaan dan justru malah menghabiskan investasi secara percuma.

Edukasi

Terkait hal-hal di atas, Pras berujar perlunya edukasi terhadap perusahaan agar tidak asal dalam beradaptasi di perkembangan teknologi.

Contoh edukasi mudah yang bisa dilakukan adalah membuat analogi atau membuat case sesuai dengan isu relevan. Dengan begini, perusahaan mendapat gambaran tentang perlunya mengimplementasi teknologi yang sesuai dengan kebutuhan bisnisnya.

Jalin Kolaborasi Eksklusif, StickEarn Bidik Solusi StickMart yang Terintegrasi di 10.000 Armada Grab pada 2019 

StickEarn, startup penyedia teknologi periklanan, kemarin (18/10) mengumumkan kerja sama eksklusif dengan Grab Indonesia melalui solusi bisnis terbarunya, yakni StickMart.

StickMart merupakan platform komersial di dalam mobil terpatenkan yang mengakomodasi para brand untuk beriklan, melakukan penjualan, hingga product sampling.

Co-Founder StickEarn Sugito Alim menyebutkan, StickMart dirancang agar konsumen yang berada dalam kondisi dwell time dapat melihat iklan lebih lama. Jika dibandingkan dengan billboard yang dapat dilihat rerata 2 detik, StickMart dapat dinikmati hingga 1 jam.

“Rata-rata orang Jakarta menghabiskan waktu 2 jam di jalan karena macet. Tentu mereka akan bosan. Nah, StickMart menjangkau kondisi itu. Brand menjadi lebih fleksibel untuk melakukan campaign dengan obektivitas yang berbeda,” ujar Sugioto dalam Konferensi Pers Kerja Sama StickEarn dengan Grab di Jakarta.

Sebelumnya, lembaga riset transportasi dunia, INRIX, pada 2017 mencatat masyarakat Indonesia rata-rata menghabiskan 40 jam dalam satu tahun karena kemacetan lalu lintas. StickMart diharapkan tak hanya membuka peluang bagi brand dan menambah pendapatan baru driver, tetapi juga menyediakan kenyamanan premium.

Executive Director Grab Indonesia Ongki Kurniawan mengungkapkan, kerja sama ini sejalan dengan misi perusahaan untuk menciptakan 100 juta enterprenuer di Asia Tenggara, di mana Indonesia merupakan target utamanya.

“Kami yakin banyak sekali customer kami yang menantikan kehadiran StickMart karena ini bisa serve customer kami,” tutur Ongki.

StickMart hadir dalam bentuk boks yang diletakkan di konsol tengah, di antara kursi penumpang dan pengemudi. Boks ini berisikan beragam product sampling, seperti snack, minuman, tisu, obat, hingga charger. Tak hanya itu StickMart dilengkapi dengan perangkat StickTablet yang menyajikan ragam video hiburan hingga katalog produk.

Lebih lanjut, Co-founder StickEarn Archie Carlson menjelaskan bahwa StickMart tak hanya dirancang untuk brand, tetapi juga driver. Pihaknya mengklaim para driver bisa mendapat pemasukan tambahan hingga Rp2 juta setiap bulannya dari bagi hasil pemasangan iklan hingga penjualan product sampling.

“Bahkan pelanggan bisa membayar produk yang dibeli dengan tunai maupun digital melalui layanan OVO,” ujar Archie.

Hingga saat ini, StickEarn telah bermitra dengan 60.000 pengemudi Grab Indonesia, namun baru sekitar 200 unit StickMart terinstal di armada Grab. Archie menargetkan 10.000 unit StickMart terpasang di 10.000 armada Grab Indonesia pada 2019 mendatang.

StickEarn mengklaim kini pihaknya menyalurkan sebanyak Rp30 miliar terhadap pemasukan driver di Indonesia. Perusahaan sendiri menyediakan jasa iklan untuk berbagai macam kendaraan, mulai dari truk, bus, angkot, taksi, dan pesawat terbang.

Perusahaan juga menyediakan lini solusi lain, seperti StickBus, StickTruck, StickAngkot, hingga StickPlane. Sebagaimana diketahui, StickEarn yang berdiri pada 2017, telah melayani 250 brand dari berbagai sektor bisnis.

StickEarn memperoleh pendanaan awal (seed funding) dari East Ventures tahun lalu. Menurut Co-Founder StickEarn Garry Liminata, pendanaan ini digunakan untuk pengembangan produk, bisnis, dan tim ke depannya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Lima Pelajaran Inspiratif Bagi Founder untuk Membangun Startup

Pada sesi #SelasaStartup kali ini, DailySocial kedatangan Ash Ali, CMO pertama Just Eat UK yang juga seorang angel investor dan mentor startup terkemuka. Just Eat merupakan platform penyedia layanan pesan-antar makanan. Saat ini, Just Eat UK telah bermitra dengan 29.000 restoran di Inggris.

Sejalan dengan topik yang dibawakan, Ash mengungkap lima pelajaran inspiratif bagi para founder yang ingin membangun startup. Pelajaran ini didapatkan saat perjalanan membangun Just Eat.

Menurutnya, kebanyakan startup gagal bukan karena tidak mampu merancang atau mengembangkan produk, tetapi karena tidak bisa mendapat traction. Sementara traction tersebut merupakan ukuran keberhasilan untuk model bisnis yang diterapkan.

Model bisnis penting, karena berkaitan langsung dengan bagaimana roda bisnis bekerja. Bahkan model bisnis kadang lebih penting dari pada aset pendukung bisnis itu sendiri. Dicontohkan pada keberhasilan GO-JEK, padahal startup yang menyandang status unicorn tersebut tidak memiliki unit kendaraan. Demikian juga Facebook, platform jejaring sosial yang menghubungkan miliaran pengguna di dunia, tidak pernah membuat konten.

Berangkat dari hal di atas, apa saja yang perlu diketahui founder saat membangun sebuah startup? Simak ulasannya berikut ini:

Kenali siapa pelangganmu

Dengan mengenali konsumen dan bagaimana perilakunya, kita menjadi tahu siapa yang disasar. Dari situ founder dapat membuat pendekatan (approach) yang tepat.

“Konsumen pelajar suka memesan take away di restoran. Kami bisa lakukan approach, misalnya dengan voucher, meski itu small value tapi itu berguna,” ujarnya.

Ia juga mencontohkan bagaimana para gamer di sana merupakan segmen early adopter. Mereka akan tetap memesan melalui website meskipun tampilan dan fiturnya kurang bagus.

Ikuti ke mana konsumen pergi

Secara harfiah, ini tidak berarti kita benar-benar mengikuti ke mana konsumen pergi. Namun mengikuti bagaimana perilaku konsumen dalam menggunakan sebuah produk.

Hal ini, secara marketing, dapat lebih optimal untuk memasarkan sebuah produk ketimbang harus menghabiskan biaya untuk beriklan.

“Kami bermitra dengan puluhan ribu restoran, setiap restoran punya menu take away sendiri. Daripada keluarkan budget untuk print menu, kami bisa sediakan lewat platform kami,”

Jadilah kreatif

Dua hal yang menjadi pelajaran penting dalam membangun startup adalah jangan meremehkan branding dan terlalu fokus terhadap digital metric. Dalam kaitannya dengan membangun awareness, kita memanfaatkan instrumen kreatif, seperti stiker.

“Kita bisa menggunakan stiker dengan logo dan memasangnya di jendela-jendela restoran yang menjadi mitra kami. Ini sangat sederhana, tetapi lihat berapa banyak yang datang ke layanan kami karena stiker ini,” ungkap Ash.

Kenali angkamu

Data dalam bentuk angka biasanya menjadi tolok ukur utama bagi perusahaan sebelum masuk ke pasar. Dengan data ini, perusahaan menjadi tahu berapa banyak biaya yang ingin dikeluarkan untuk mendapat dan mempertahankan pelanggan.

Akan tetapi, Ash juga menekankan tentang pentingnya mengandalkan pengukuran secara kualitatif dan kuantitatif, tak hanya menggunakan data saja.

“Kita harus paham sebelum masuk ke pasar. Tetapi jangan hanya data driven saja. Jadikan pengukuran kualitatif dan kuantitatif untuk membangun startup, jangan hanya berdasarkan small number, jangan hanya data driven,” tuturnya.

Menumbuhkan mindset dan budaya bekerja di startup

Kedua hal ini menjadi elemen krusial bagi mereka yang ingin berkecimpung di dunia startup. Maka itu, penting sejak awal bagi kita untuk menerapkan mindset dan membiasakan diri dengan lingkungan dan budaya kerja startup.

Menurut Ash, mindset dan budaya yang dimaksud misalnya berani mencoba sesuatu dan mau belajar dari kesalahan yang dibuat. Jika kita tidak memiliki working mindset, akan sulit untuk bekerja sama di dalam organisasi. Begitu juga sebaliknya apabila tim kita tidak memiliki working mindset seperti itu.

“Dalam dunia startup, perlu orang yang mau untuk membuat kesalahan, membuat sesuatu yang tidak cocok. Karena di startup itu, kita harus punya mindset untuk berkembang, cepat gagal, tetapi cepat belajar dari kesalahan yang dibuat.”

Cerita Loket Menjadi “Pahlawan” Sistem Ticketing Asian Games 2018

Asian Games 2018 yang dihelat pada Agustus lalu memang telah berakhir. Namun, pesta olahraga terbesar di kawasan Asia ini juga menyisakan banyak cerita, tak cuma keceriaan para atlet Indonesia yang menggondol medali kemenangan. Salah satunya adalah penanganan ticketing system.

Pada Asian Games kali ini ini, awalnya INASGOC, Indonesia Asian Games 2018 Organizing Committee, menunjuk KiosTIX sebagai partner tunggal ticketing management system. Sementara Blibli.com dan Tiket.com ditunjuk menjadi kanal penjualan resmi tiket Asian Games.

Menjelang akhir acara, INASGOC kemudian menunjuk LOKET sebagai mitra pendukung ticketing management system yang awalnya hanya dilakukan oleh KiosTIX.

LOKET saat ini memiliki tiga bisnis utama, antara lain penyedia teknologi untuk layanan business-to-business (B2B), Go-Tix, dan Loket.com yang merupakan self-service event management platform.

DailySocial berkesempatan mewawancarai VP Marketing LOKET, Mohamad Ario Adimas, tentang bagaimana strategi LOKET menangani sejumlah masalah pada event raksasa tersebut?

Implementasi strategi tailor-made

Menurut penuturan pria yang karib disapa Dimas ini, ada sejumlah kendala yang mendorong INASGOC untuk meminta uluran tangan dari pihak ketiga. Karena alasan kebijakan internal, Dimas tidak dapat mengungkap secara rinci masalah dan strategi yang dipakai saat pelaksanaan Asian Games.

Secara umum, LOKET biasanya menemukan masalah dari dua sumber, yakni temuan tim internal dan informasi pelanggan yang menghubungi customer service. Dari situ, tim internal menjalani beragam stress test untuk uji performa dan uji coba lain sebelum meluncurkan solusi ke konsumen.

Pihaknya juga memiliki catatan berbagai event atau project terdahulu yang dipakai menjadi guidance di masa depan agar dapat perusahaan dapat mengurangi risiko terjadinya kesalahan yang sama.

Dalam kasus ini, Dimas mengungkap ada dua tantangan yang dihadapi saat diminta INASGOC menjadi mitra pendukung ticketing system, yaitu integrasi sistem dan lapangan dan distribusi tiket ke masyarakat.

Berangkat dari hal ini, LOKET menentukan strategi yang akan dieksekusi. Tim LOKET, INASGOC, dan pihak-pihak terlibat lainnya, bertemu langsung dan berdiskusi secara intensif bahkan hingga turun langsung ke lapangan untuk menemukan masalah dan strategi yang tepat.

“Salah satu kelebihan LOKET adalah memiliki strategi tailor-made atau fleksibel sehingga penerapannya dapat sesuai kebutuhan klien atau user. Tentu kami punya SOP dan panduan dasar untuk menganalisis masalah. Namun, dari segi implementasi kerap kali strategi yang kami terapkan dinamis sesuai kondisi di lapangan,” ungkap Dimas.

Kombinasi koordinasi tim solid dan keahlian terstandar

LOKET diminta untuk menjadi centre of ticketing management system, termasuk ticketing management system dan ticketing distribution.

Untuk mengesekusi strategi yang telah ditentukan, pihaknya tak hanya mengandalkan panduan standar dan kerja sama tim, tetapi juga koordinasi yang solid hingga keahlian terstandar.

Ia mencontohkan ketika upacara penutupan Asian Games secara bersamaan terjadi hujan lebat. Masalah muncul karena para pengunjung mulai menumpuk di gate-gate luar dan genangan air mulai meninggi.

Penentuan strategi dapat terlihat dari bagaimana akhirnya proses pembelian tiket secara online mulai tertata hingga manajemen di lapangan yang lebih tertib. Menurutnya, ticketing system dapat berjalan lancar berkat kombinasi dari solidaritas tim, kerja sama, dan keahlian tersandar.

“Berkat koordinasi tim yang solid dan berpengalaman menghadapi situasi tak terduga, kami berhasil memasukkan pengunjung ke gate berikutnya dengan lancar. Pengunjung tetap bisa masuk, berbaris dengan rapi, dan terdata.”

Saling bahu-membahu

Meski diakuinya ada sejumlah masalah, Dimas melihat bahwa di posisi ini, publik tidak bisa sepenuhnya menyalahkan partner sebelumnya. Hal ini karena Asian Games 2018 menampilkan banyak sekali pertandingan dari berbagai macam cabang olahraga (cabor).

Belum lagi, upacara pembukaan Asian Games yang megah membuat ekspektasi terhadap setiap cabor semakin besar. Ini yang mendorong banyak orang ingin memberikan dukungan secara langsung dengan menonton pertandingan.

“Meskipun LOKET diminta untuk menjadi partner intregasi, bukan berarti ini menjadi kesalahan dari partner lama, tidak sama sekali. Ini adalah tanggung jawab yang sangat besar. Bagaimanapun juga kita bekerja bersama untuk Indonesia,” tuturnya.

Malah di akhir-akhir, LOKET juga diminta untuk menjadi kanal penjualan tiket Asian Games.

“Jadi tiket ini dapat dibeli di Blibli, Tiket.com, dan di situs ticketing INASGOC, jadinya [tiket juga bisa dibeli di] asiangames2018.loket.com. Kami menjadi satu sistem terintegrasi,” paparnya.

Perkuat Bisnis Servis, Layanan E-commerce B2B Mbiz Bidik Pasar UKM di Tahun 2019

Untuk melanjutkan tren raihan laba bersihnya, startup B2B e-commerce milik Lippo Group, Mbiz, akan memperkuat bisnis pengadaaan jasa (service) pada tahun depan yang menjadi lini bisnis utama Mbiz sebagai marketplace e-procurement untuk business-to-business (B2B) dan business-to-goverment (B2G).

Co-Founder dan COO Mbiz Ryn Hermawan mengungkapkan, pihaknya akan menambah sejumlah layanan baru pengadaan jasa yang saat ini sudah memiliki 11 kategori. Penambahan ini dilakukan karena pasar pengadaan jasa sangat besar, di mana sebanyak 80 persen belanja perusahaan di Indonesia berasal dari pengadaan jasa.

“Kami akan enhancing solusi-solusi kami di kategori service. Kemudian dari segi kontrak, kami akan tingkatkan karena kami lihat, pengadaan klien kami besar, tapi mereka membeli dalam kontrak terbatas atau jangka pendek dua tahun ke depan,” ungkap Ryn ditemui DailySocial beberapa waktu lalu.

Menurut Ryn, bisnis pengadaan jasa berpeluang besar di Indonesia karena selama ini belum pernah ada pengadaan yang dilakukan melalui jalur online. Dengan masuk ke bisnis ini, ekosistem akan lebih tercipta dan membuat keterikatan bisnis antara perusahaan dengan pelanggan dan vendor.

“Secara ekosistem jadi bagus, (pengadaan jasa melalui online) akan membuat keterikatan, terhadap vendor dan customer. Demikian juga keterikatan terhadap kualitas dan harga yang diberikan,” tambah Ryn.

Mbiz dapat dikatakan sebagai layanan e-commerce yang masuk ke pasar niche, karena layanan jasa yang disediakan antara lain customize items, media outdoor placement, event organizer, civil mechanical engineering, gimmick marketing, hingga leasing.

Adapun, pelanggan yang menggunakan jasa Mbiz berasal dari segmen large enterprise dan blue chip company. Ke depan, perusahaan akan menyasar ke segmen small medium enterprise (SME) yang mana kebutuhannya semakin kompleks karena bisnisnya semakin berkembang. Ada lebih dari 500 klien Mbiz, dengan 200 perusahaan dan 300 vendor.

“Pasar bisnis pengadaan untuk B2B sangat menjanjikan di Indonesia, tetapi kami belum rencana masuk ke segmen Usaha Kecil Menengah (UKM) karena kebutuhan bisnis mereka jauh berbeda dengan SME dan large enterprise.”

Cari pendanaan baru tahun depan

Diakui Ryn, saat ini dana untuk mendukung pengembangan bisnisnya masih cukup. Ia belum melihat kebutuhan mendesak untuk mencari pendanaan baru dalam waktu dekat. Namun, ia menyebutkan pihaknya akan kembali mencari pendanaan baru untuk seri B di tahun depan.

Adapun, sebagian besar pendanaan perusahaan dialokasikan untuk working capital. “Secara kebutuhan dana, kami belum urgent saat ini. Tapi kami ada rencana ke sana mungkin di akhir tahun ini atau di awal 2019,“ ujar Ryn.

Mbiz menerima pendanaan seri A dari Tokyo Century Corporation (TCC) dengan nilai yang tidak bisa disebutkan pada 2017. Suntikan dana mengangkat valuasi perusahaan menjadi Rp1,3 triliun. Saat ini, Lippo Group masih menguasai mayoritas saham di Mbiz.

Venturra Discovery Aims for Early-Stage Startups to Pre-Series A Funding

Venture investor (VC) under Lippo Group, Venturra Capital, officially launched an investment arm called Venturra Discovery to focus on early-stage startups to Pre-Series A funding in Southeast Asia.

John Riady, Lippo Group’s Director, said in the launching that Venturra Discovery has opened up opportunities for companies to be more active on early-stage startups funding in Indonesia.

“We’re very lucky to contribute for Indonesia’s development because of the potential we see is not only for Series A and Series B but also seed funding. We can’t wait to see the results in the near future,” he added.

Another reason behind Venturra Discovery creation is the wide gap between seed funding to series A and up. Based on the data cited by Venturra Capital, VCs which focused on seed funding in 2014 are capable to pour $50-500,000 ticket size per company. However, the gap is widen in Series A and up.

In 2018, it’s the contrary, where VCs focused on series A can pour $1-3 million per investment. The gap is there for the active VCs on early-stage startups to pre-series A funding.

“Tech ecosystem wasn’t ready then, but tech industry has grown rapidly the past year. There will be some issues to solve, hence we work with more founders,” Rudy Ramawy, Venturra Capital’s Managing Partner, said.

Therefore, Venturra Discovery focused on early-stage startups to pra-series A funding in Southeast Asia. The company aims for 30-40 portfolios for the investment amount ranging from $200,000 to $500,000. Total investment raised is $15 million (around IDR 223 billion), only from Lippo Group.

“We want to invest on an agnostic sector. Currently, there are 5 (deals), including 1 healthcare company, 2 consumers, one enterprise solution, and 1 incubator. This is the perfect moment for acceleration, and we want to fill the gap with this VC launching,” Raditya Pramana, Venturra Discovery’s Partner added.

Venturra Capital was founded in 2015 with the seed funding of $150 million. Recently, Venturra has distributed investment for funding worth of $600 million, and first investment growth up to 3.1 times.

The independent VC has made investments in Southeast Asia, including Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore, and Vietnam. There are 22 companies have received funding from Venturra, including Ruang Guru, Fabelio, and Medigo.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bukalapak Tentukan Kepastian Rencana IPO Tahun 2019

Salah satu e-commerce unicorn Indonesia, Bukalapak menegaskan kembali belum tertarik untuk mencari pendanaan baru menjelang akhir tahun ini. Menurut Presiden Bukalapak, Fajrin Rasyid, saat ini belum ada kebutuhan pendanaan mendesak.

“Kami belum urgent cari pendanaan baru. Belum ada kebutuhan untuk saat ini,” ungkap Fajrin ditemui beberapa waktu lalu di “Konferensi Bukalapak Hadirkan Buka DANA“.

Ditanya mengenai rencananya untuk Initial Public Offering (IPO), ia mengungkapkan pihaknya masih mengkaji rencana tersebut. Ia memastikan keputusan untuk IPO atau tidak ditentukan tahun depan.

“Saat ini kami masih lakukan analisis plus-minusnya. Paling cepat tahun depan kami putuskan akan IPO atau cari funding baru. Tapi, kami sudah siapkan laporan keuangan teraudit selama tiga tahun terakhir, apabila IPO jadi,” tutur Fajrin.

Bukalapak tercatat menyandang status unicorn dengan valuasi di atas $1 miliar pada akhir 2017 lalu. Kini Bukalapak telah mengantongi Gross Merchandise Value (GMV) bulanan Rp4 triliun ($270 juta) per bulan atau Annualized GMV mencapai Rp48 triliun (sekitar $3,2 miliar).

Pertimbangkan DANA gantikan Buka Dompet

Bukalapak baru saja meresmikan kerja sama dengan PT Espay Debit Indonesia Koe (dompet digital DANA) sebagai channel pembayaran di platform e-commerce miliknya. Dengan demikian, bertambah satu lagi channel pembayaran Bukalapak, selain melalui dompet digitalnya, Buka Dompet.

Ditanya mengenai peluang DANA menggantikan Buka Dompet, Fajrin memberikan sinyal akan mempertimbangkan hal tersebut. Pasalnya, hingga saat ini Buka Dompet belum mendapat lisensi e-wallet dari Bank Indonesia. Kolaborasi dengan DANA sudah berjalan sejak April lalu untuk versi Beta.

“Kami belum tahu dengan Buka Dompet bagaimana, makanya kami mau lihat respon (dari konsumen) seperti apa. Anything is possible. Kami juga tidak terburu-buru karena menggantikan secara keseluruhan itu takes time. Kita lihat saja ke depan nanti,” papar Fajrin.

Terkait pengembangan selanjutnya, baik Bukalapak dan DANA menyatakan akan fokus terhadap pasar offline. Fajrin menyebutkan pihaknya akan menambah banyak mitra ritel offline untuk menyasar pasar konsumen offline.

“Menurut riset, hanya 10 persen yang belanja online melalui platform e-commerce. Artinya, masih ada 90 persen pangsa yang belum belanja lewat platform yang proper. Makanya, kami excited dan akan put effort banyak,” tambah Fajrin.

Chief Communication Officer DANA, Chrisma Albandjar  menyebutkan pihaknya tengah menunggu izin terkait layanan top up secara offline. Saat ini, DANA bisa digunakan di berbagai merchant untuk bertransaksi, seperti BlackBerry Messenger (BBM), Ramayana, dan TIX.

Application Information Will Show Up Here

Kiat Menghadapi Perubahan Pola Masyarakat di Tengah Perkembangan Fintech

Salah satu transformasi yang cukup terasa di era digital adalah berubahnya cara orang menggunakan uang. Di kawasan kota, masyarakat Indonesia mulai terbiasa bertransaksi, baik itu berbelanja, makan, atau membayar tagihan, melalui ponsel mereka.

Tanpa mengecilkan fungsinya, uang tunai mulai tergantikan oleh dompet digital. Bahkan kini sebagian besar masyarakat urban tak lagi membayar transportasi online dengan uang tunai. Segala aktivitas dapat dilakukan secara seamless asal terhubung dengan internet.

Di balik kemudahan di atas, tentu ada sebuah proses terjadi. Ada tantangan sulit yang dihadapi sejumlah pelaku bisnis dalam mengubah kebiasaan pengguna memakai layanan keuangan digital. Hal ini karena Indonesia memiliki karakter konsumen yang sudah terbiasa bertransaksi dengan uang fisik.

Di sesi #SelasaStartup kali ini, DailySocial kedatangan CEO Sprint Asia Technology, Setyo Harsono, yang mengulas tentang bagaimana upaya untuk tetap inovatif di tengah persaingan industri fintech, termasuk mengedukasi pasar.

Tetap inovatif dengan tiga hal utama

Tak dapat dimungkiri, industri fintech Indonesia kini semakin bertumbuh dengan semakin bertambahnya pemain. Persaingan semakin kuat, pelaku bisnis berlomba-lomba menawarkan layanan terbaiknya.

Agar dapat bersaing, Setyo mengungkapkan tiga hal utama yang sekiranya dapat menjadi guidance untuk masuk ke industri fintech. Pertama, pastikan bahwa kita memiliki expertise di bidang yang ingin dimasuki. Jangan sampai masuk ke bisnis ini apabila tidak berpengalaman di bidangnya.

Kedua, jangan sampai pelaku bisnis terlalu habis-habisan dalam memanfaatkan teknologi sehingga melampaui batas. “Teknologi itu menjadi guardian, kita bisa (kembangkan layanan) dari ujung ke ujung, tetapi kita masih punya etika untuk tidak melakukannya,” ungkap Setyo.

Terakhir, pelaku bisnis perlu menghargai nilai dari sebuah joint-effort karena dalam industri ini pesaing bisnis bisa saja menjadi mitra kolaborasi di masa depan.

Mengubah kebiasaan adalah tantangan, perlu edukasi bersama

Bagi Setyo, tantangan terbesar dalam mengembangkan layanan keuangan digital adalah mengubah kebiasaan konsumen. Transisi dari penggunaan uang tunai ke digital akan terasa sulit bagi pasar di Indonesia, mengingat pasar kita terbiasa dilayani.

“Mengubah kebiasaan adalah sesuatu yang sulit di Indonesia karena kita tidak terbiasa dengan budaya self-service. Konsumen Indonesia terbiasa dilayani. Artinya, sesuatu yang baru pasti tantangannya terletak pada habit,” tuturnya.

Dalam kasus ini, ia menilai perlunya edukasi berkelanjutan secara bersama-sama oleh para pemangku kepentingan (stakeholder) agar adopsinya menjadi lebih cepat.

Ia mencontohkan saat ATM pertama kali keluar, tak banyak penggunanya karena satu pemain saja yang menyediakan. Apabila semua bank termasuk pemerintah ikut mengedukasi bersama-sama, adopsinya akan lebih mudah.

“Mengubah kebiasaan menggunakan uang tunai berarti menghadirkan kebiasaan baru. Para pemangku kepentingan harus mengadopsi bisnis model baru, selain terlalu memanjakan konsumen.”

Sprint Asia merupakan perusahaan yang menawarkan solusi perbankan berbasis TIK. Hingga tahun 2012, barulah perusahaan masuk ke bisnis payment gateway, salah satunya lewat produk Bayarind. Sejak dua tahun lalu, Bayarind masih menanti lisensi e-wallet dari Bank Indonesia.