Pengembang i.Saku Dapatkan Lisensi E-Money, Perkuat Salim Group di Bisnis Digital

Situs Bank Indonesia (BI) belum lama ini merilis nama baru untuk pemegang lisensi uang elektronik (e-money). Kali ini ditujukan untuk PT Inti Dunia Sukses, tertanggal efektif lisensi beroperasi sejak 10 Oktober 2017. PT Inti Dunia Sukses dikenal sebagai pengembang aplikasi mobile e-money i.Saku, saat ini sudah tersedia di platform iOS dan Android. PT Inti Dunia Sukses juga merupakan bagian dari Salim Group, tepanya di bawah naungan Indoritel, yang fokus mengelola gerai Indomaret dan beberapa usaha lainnya.

Aplikasi i.Saku saat ini sudah dapat digunakan untuk melakukan berbagai transaksi, termasuk setor tunai, belanja, maupun tarik saldo dengan sistem berbasis token. Semua transaksi tersebut bisa dilakukan melalui seluruh jaringan Indomaret yang tersebar di seluruh Indonesia. Berbagai jenis promo dan program loyalitas untuk pelanggan Indomaret kini juga tampak mulai disatukan ke dalam aplikasi tersebut.

Salim Group yang kian serius di ranah digital

Dengan didapatnya lisensi ini, menunjukkan gairah Salim Group yang semakin kuat di industri digital. Seperti diinformasikan sebelumnya, Salim Group berambisi untuk memaksimalkan potensi e-commerce. Salah satunya melalui akuisisi elevenia, rencananya tahun ini akan digenjot sehingga dapat bersaing dengan para pemain di puncak industri. Sebelumnya melalui joint venture bersama LOTTE Group, Salim juga menginisiasi iLOTTE, sebuah layanan e-commerce yang membawa pengalaman ritel ke ranah online.

[Baca juga: Menelusuri Arah Grup Salim Kuasai Dunia Digital]

Di ranah fintech, sebenarnya target Salim Group ke ranah digital juga sudah mulai tercium, khususnya pasca akuisisi Bank Ina Perdana. Dalam akuisisi tersebut, mereka berambisi ingin mentransformasikan pembayaran secara non tunai dengan mengembangkan layanan internet banking, mobile banking, dan juga e-money. Berikutnya mereka ingin menghubungkannya dengan jaringan gerai Indomaret yang kini sudah menjadi poin pembayaran transaksi digital. Dan benar saja, langkah tersebut kini mulai terealisasi.

Babak selanjutnya persaingan di industri keuangan digital

Beberapa pemain yang sebelumnya dijanjikan BI untuk mendapatkan lisensi (terutama pemain e-commerce yang mengusung sistem e-money) justru sampai akhir tahun 2017 belum ada kabar status persetujuannya. Jika sebelumnya pertarungan banyak dihadapkan antara pemain on-demand dan perusahaan telekomunikasi, kini ranahnya menjadi lebih luas, pasca sebelumnya Lippo Group juga sudah mengantongi izin tersebut melalui OVO.

Artinya bentuknya akan bermacam-macam. Ketika GO-PAY mencoba melakukan manuver bersama berbagai layanan yang dimiliki –dan dikabarkan akan menjadi sistem pembayaran yang lebih agnostik, sama seperti T-CASH—para pesaingnya memiliki cara unik tersendiri, misalnya Salim Group dengan memanfaatkan jaringan “ritel offline” yang dimiliki untuk melakukan penetrasi pengguna. Oleh karena itu, gerak cepat memang dibutuhkan para pemain untuk tetap bisa memenangkan persaingan dalam lini bisnis yang sedang “sexy” ini.

Application Information Will Show Up Here

Feedr Academy Ingin Bantu Bisnis Lakukan Transformasi Digital

Transformasi digital telah banyak digulirkan, memaksa setiap bisnis untuk melakukan banyak perubahan. Menurut Forbes, 21 perusahaan ritel  besar di Amerika Serikat menutup 3.591 tokonya pada 2017. Dan Gartner, sebuah lembaga penelitian global, memprediksi bahwa pada tahun 2020, 75 persen bisnis akan bertransformasi menjadi berbasis digital. Sayangnya, hanya 30 persen saja yang akan sukses.

Suka tidak suka, fenomena ini tengah terjadi di Indonesia. Banyak perusahaan ritel lokal yang mulai menutup sebagian tokonya, seperti Ramayana, Matahari, termasuk franchise berbasis internasional seperti Lotus, Debenhams, dan GAP. Dalam kondisi ini, transformasi digital akan menjadi sebuah keharusan yang tidak terelakkan. Sayangnya masih banyak perusahaan yang masih bingung mengenai langkah apa yang harus dilakukan untuk memastikan dirinya bisa bertahan dan bahkan sukses di era transformasi ini.

Menjawab tantangan ini Feedr Academy, sebuah knowledge center di bidang digital dan e-commerce akan mengadakan seminar yang bertajuk “How to Survive and Success in Digital Transformation Era”. Seminar ini akan diadakan di Jakarta pada hari Kamis, 25 Januari 2018 di Hotel Aston Kuningan at The Suites. Seminar ini akan menghadirkan pembicara-pembicara seperti Subiakto Priosoedarsono, seorang Branding Expert (Branding Expert), Hadi Kuncoro (Supply Chain, Retail Management dan Business Model Design Expert). Muliadi W Jeo (Omni-Channel Expert), dan beberapa lainnya.

Seminar dengan para pembicara tingkat nasional dan internasional di bidang digital dan e-commerce ini berharap dapat membantu para pelaku bidang ritel, FMCG, logistik, perbankan dan keuangan, farmasi dan kesehatan, properti,  industri otomotif dan banyak industri lainnya untuk memulai  transformasi digital di perusahaan masing-masing.

Pada seminar kali ini, para pembicara akan berbagi dan akan memandu para peserta  berdasarkan  pengalaman mereka pada lintas industri untuk melihat posisi bisnis saat ini dalam lanskap digital terkini. Peserta juga akan mendapatkan masukan  bagaimana membangun roadmap transformasi digital. Tentunya seminar ini juga akan diperkaya dengan beberapa kisah sukses para pembicara  saat memulai proses transformasi digital pada berbagai industri yang telah mereka lalui.

Semua peserta akan mendapatkan ilmu A hingga Z mengenai permasalahan dan solusi transformasi digital; bagaimana memulai pergeseran pola pikir untuk mendorong inovasi di perusahaan; bagaimana mengimplementasikan transformasi digital; dan bagaimana memilih teknologi yang paling sesuai untuk transformasi perusahaan.

Sesi seminar

Sesi pertama akan membahas transformasi tiga zaman, bagaimana Subiakto Priosoedarsono, sebagai saksi hidup sejarah mengalami transformasi tersebut, sejak media cetak, pindah berjayanya radio dan televisi dan akhirnya kebangkitan digital pada jaman sekarang. Menjadi bagian dari tradisional retail, modern retail dan sekarang e-commerce. Sesi kedua Hadi Kuncoro akan membahas solusi A hingga Z bagaimana mempersiapkan bisnis untuk go digital, apa saja yang harus dipersiapkan membangun roadmap digital transformation, bisnis model baru dan change management. Termasuk juga langkah per langkah yang harus dilakukan untuk  mencapai tujuan.

Sesi ketiga akan membahas mengenai Omni-Channel Technology. Muliadi W Jeo akan membawa para peserta melalui consumer journey, yaitu dari pemesanan secara online, hingga pelanggan menerima pesanan di depan pintu rumahnya masing-masing. Consumer Journey ini tentu akan dilengkapi dengan saran mengenai teknologi mana yang paling pas sesuai kebutuhan konsumen. Acara akan ditutup oleh Panel Discussion yang akan membahas mengenai Change Management dan Inovasi yang merupakan kunci sukses dalam melakukan transformasi digital.

Info lebih lanjut dan pendaftara kunjungi https://feedr.id/event/

Disclosure: DailySocial adalah media partner dari Feedr Academy

Komitmen Algoritma Tumbuhkan Ekosistem Data Scientist di Indonesia

Pada bulan Desember lalu, Algoritma sebagai penyedia layanan belajar data sains menggelar acara “Academy Launch” di Block71 Jakarta. Kegiatan ini merupakan perkenalan resmi Algoritma yang akan dimulai pada bulan Januari 2018. Acara peluncuran akademi ini dihadiri oleh beberapa pihak termasuk perwakilan Kominfo, Bekraf, dan beberapa pelaku startup teknologi. Hadir sebagai pembuka acara Hanifah Makarim, Kasubid Dana Masyarakat Direktorat Akses Non Perbankan BEKRAF. Ia menyampaikan bahwa data sains merupakan salah satu komponen terpenting untuk bisnis masa kini, termasuk bagi startup untuk memperhitungkan berbagai keputusan guna meningkatkan kepercayaan para investor.

Selain itu, Semuel Abrijani Pangerapan, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo juga hadir menyatakan dukungan dan harapannya bagi pembinaan talenta data sains di Indonesia. Menurutnya di Indonesia yang bisa diolah sangat banyak untuk berbagai kebutuhan dan seharusnya kita bisa menggunakan data tersebut dengan tepat guna. Semuel juga menambahkan bahwa pengolahan data Indonesia belum maksimal karena kurangnya sumber daya manusia yang mampu menjalankan tugas ini dengan baik.

Dalam acara ini, Algoritma juga menghadirkan beberapa pembicara dalam diskusi panel dari perusahaan rekanan yang membahas mengenai karier dalam data. Diskusi panel yang dimoderatori oleh Nayoko Wicaksono (Managing Director Algoritma) ini mengupas bagaima­na aplikasi pekerjaan data scientist di beberapa perusahaan di Indonesia. Pembicara yang hadir dan memberikan insight adalah Norman Sasono (Co-founder & CTO Bizzy Indonesia), Irzan Raditya (CEO Kata.ai), Galvin Marne (Head of Marketing, Iflix Indonesia), Suwandi Soh (CEO Sleekr), dan Natali Ardianto (ex Co-founder & CTO Tiket.com).

Data sains banyak disebut sebagai “the new oil”. Jika beberapa tahun lalu minyak merupakan sumber daya yang paling mahal dan paling banyak dicari orang, saat ini minyak telah digantikan oleh data. Data menjadi sumber daya yang sangat mahal dan penting bagi semua jenis industri karena data dapat membantu para pengambil keputusan untuk menentukan arah bisnis. Data sifatnya sangat cepat, bervariasi, dan sangat banyak jumlahnya.

Data dapat berupa informasi mengenai data diri seorang pelanggan dan sejarah pembelian selama beberapa bulan, data pengunjung museum dalam satu minggu, data penjualan sepeda motor di Jakarta, data curah hujan, dan lain-lain. Semua jenis data ini menjadi bernilai guna apabila diolah dan dianalisis dengan benar. Untuk dapat memanfaatkan data dengan tepat guna, dibutuhkan ilmu yang dinamakan data sains. Data sains adalah pengetahuan yang dibutuhkan untuk memperoleh data, menganalisisnya, sampai melaporkan hasil data yang dapat ditampilkan dalam bentuk metrik bisnis sampai perilaku pengguna dalam perusahaan.

Algoritma adalah penyedia akademi data sains, yang bisa diikuti oleh siapa saja tanpa latar belakang pemrograman atau statistika. Dibangun dengan tujuan mengisi kekosongan antara permintaan dan persediaan data scientist di Indonesia, Algoritma melihat bahwa kesempatan ini sangat tepat untuk memperkuat ekonomi Indonesia dengan mendukung iklim bekerja berdasarkan data.

“Algoritma menyediakan pelatihan intensif data science bagi siapa saja yang tertarik menjadi data scientist dalam waktu singkat. Sebagai penyedia pendidikan data sains satu-untuk-semua, Algoritma membantu setiap siswanya bukan hanya dalam kebutuhan akademis namun juga pekerjaan,” sambut Nayoko Wicaksono, Co-Founder Algoritma.

Kurikulum Algoritma dibagi menjadi dua spesifikasi, yakni visualisasi data dan machine learning. Dalam dua spesifikasi ini, setiap siswa akan belajar menggunakan bahasa pemrograman R dan/atau Python. Setiap siswa tidak diwajibkan untuk mengambil dua spesifikasi sekaligus karena masing-masing spesifikasi mempunyai proyek yang berbeda di akhir akademi.

Sejak Juli sampai November 2017, Algoritma sudah meluluskan sebanyak 175 siswa yang merupakan gabungan spesifikasi visualisasi data dan pembelajaran mesin. Para lulusan ini berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari fresh graduates, programmer, IT manager, sales and marketing officer, risk management officer, CTO, dan CEO. Semua lulusan tersebut merupakan para siswa yang menghadiri pelatihan Algoritma yang diadakan selama 3 hari dan berhasil membangun projek untuk masing-masing spesifikasi.

Pada bulan Januari 2018, Algoritma mulai membuka kelas akademi, yakni belajar data sains secara intensif selama 6 bulan. Setiap peserta dapat mendaftarkan diri untuk mengikuti spesifikasi visualisasi data atau pembelajaran mesin atau keduanya. Masing-masing kelas akan berlangsung dengan maksimal peserta sebanyak 20 orang dan setiap peserta akan dibantu oleh asisten pengajar. Iklim belajar di Algoritma didesain senyaman dan seefektif mungkin agar setiap peserta berhasil menyelesaikan proyek yang ditugaskan di akhir akademi.

Sebagai agenda awal, Algoritma juga akan mengadakan acara “Kickstart series: Building a Metrics-Driven Startup”. Acara ini akan diadakan pada 10 Januari 2018 mendatang, mulai pukul 18.00 bertempat di Kantorkuu, Agro Plaza Ground Fl., Jl. H. R. Rasuna Said. Dalam workshop ini akan dipelajari tentang bagaimana membuat sebuah dasbor visual menarik untuk menggambarkan metrik capaian sebuah bisnis. Salah satu fokusnya untuk menghadirkan data yang relevan bagi startup saat melakukan pitching ke investor. Jka tertarik untuk mengikuti  acara ini, pendaftaran masih dibuka secara online: https://goo.gl/jpBPZf

kickstartseries(fbpost)

Disclosure: DailySocial merupakan media partner Algoritma.

Forrester Projection for Technology and Business Landscape in 2018

2018 is already started and the early year technology lanscape will always interesting. Besides a one-year report, there are predictions, because the landscape has various calculations for future trend to be properly projected. One of the global class research instititutes already released its prediction for 2018 is Forrester. Based on the current development, there are some predictions of what is booming in 2018 according to Forrester.

Awareness of Customer Experiences (CX)

Customer Experiences (CX) becomes a business strategy to adapt with economic development in marketplace. Forrester’s CX Index in 2017 records the decreasing quality in various line of business and industry. In 2018, around 30% company begins to aware the CX’s decreased performance, as they will sense the loss eventually. There will be other implications, as 2018 is going to be an important year in CX development, to give the best experience and strengthen customer confidence for business.

The rise of AI based smart agent

Artificial Intelligence (AI) will act further. The current trends-including in Indonesia-has become models to be adopted and 2018 is a starting point. Smart agents will continue to strengthen their influence on consumers and push brands to engage through the power of subtle conversation.

Digital Crisis

In 2017, digital transformation campaigns are widely promoted, unfortunately many are assume the effort as an elective operation. Whereas business also needs to significantly notice the transformation. Digital customers demand further experience to be satisfied over a service. Forrester’s research result states 60% business executives have started to admit their lag in making digital transformation.

The gap of digital talents

The wage growth of 2% to 4% shows a relatively balanced market. However, the existing fact on field is a lack of specific roles such as data scientist, information security analyst, high-end developers, and information systems architects to improve CX. By 2018, talent issues will broaden the gap betweeen digital “predators” and “prey”. An aggressive attempt that many has done is to set up a digital incubation center and pay up to 20% above the market rate to change the game.

Automation

In 2018, 10% of consumer’s purchase decision will be led by platform-based agents and embark on the real economic impact of engine empowerment. The developed platform and smart agent will collect preferences, behaviors and emotions, creating a richer individual experience. Smart agents will use the data to influence further on customer’s choices and decisions. The model is nothing new. It is the old part of world’s advertising logic. The difference is, it is based on the emerging, dynamic and emotional relationship between agents and consumers.

Algorithm for marketing

Algorithm becomes the main foundation of digital platform as Google and Amazone. It is the language of smart platforms and agents. It is now associated with the way a platform could understand customer’s preferences, recommend actions, learn behavior, to properly act. By 2018, CMO needs to use intelligent algorithms to interpret and empower the AI-based platform. According to Forrester, 25% CMOs will fail, causing their brand to have no distictinction (uniqueness) and stuck at the market.

Customized digital marketing

Customer’s behavior is clear, they avoid ads. As a result, advertising finance will have insignificant impact. Some brands may cut the ads budget. It is not a budget crisis, only changing priorities. Instead of hijacking money on traditional ads, CMO will extend budget to revitalize CX, align loyalitas programs, invest in platform’s algorithms and advance other marketing technologies. There will be a flat ads budget for 2018 and painful correction in agency and adtech market.

Challege for General Data Protection Regulation (GDPR)

GDPR challenges company in balancing risk and cost for security. Forrester predicts 80% of GDPR-affected companies will not comply with the regulation until May 2018. Of the non-compliant companies, 50% are deliberate-meaning they have considered the cost and risk, and taking path that serves the best position for the company. The other 50% try to comply but will fail eventually.

The more accessible banking

Conventional banking is now booming, significantly as fintech trends invading global market. Bank’s inability to tighten customer relation becomes the main factor. Reported on PSD2, open banking will play a key role in data operational. Bank will no longer have a monopoly on customer’s data. Amazon and Google, fintech provider and bank rival will use data access, outrun and replace incumbent banks. In 2018 on Forrester, more than 50% bank will fail to exploit open banking, start to fade, a painful path to become an unintended utility.

Retail experience harmonization

Retail industry is currently growing, but the challenge lies ahead for traditional retailers. They need to consider on working with smart agents which going to take bigger part of how customer find and order, create dynamic experience, use physical store as logistic nodes, expand digital catalogs to match platforms like Amazon, and sync them in gracefful and different trip for each customers. Only 33% retailers understand the annoying and profitable character of smart agents; 67% not at all.

Implementation of AI improvement

AI is rapidly changing how company creates a personalized experience; how consumers balance privacy with value by data democratization; and how employees build their career path to get much bigger interaction by machine. AI conversation is focused on technology usage to add intelligence or create a conversational interface.

However, 2017 investment is focused on project and discrete usage cases to prove direct business value. The benefits are too narrow, it will not live long. By 2018, 75% of AI projects will be flooded due to failure in determining operational plan, causing business leaders to reset the AI investment scope – and putting the company on the road to reach the expected benefits.

Blockchain future

By 2018, rhetoric and enthusiasm combination will continue to improve blockchain’s potential. However, 30% concept proof will fasten blockchain for those companies able to consider its operational impact.

Awareness of security system value

Companies are facing cyber threats from hackers trying to do cyberwarfare or industry sabotage. in 2018, we will see profit-measured security driven by privacy, risk and security team supported by their product and marketing team. The point is identity management. Privacy and security team need to know exactly who accessing what, and overcome the identity on the first place. Marketing may use the same capabilities in martech stack (marketing technology) for personalization – changing security mandate into CX enhancements. Next year, 10% of the companies will break this code and gain new and strong investment leverage.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Amproker Bawa Konsep Lelang ke Sistem Mobile Marketplace

Model layanan e-commerce terus diminati oleh pasar Indonesia. Bagi beberapa inovator, ini menjadi kesempatan emas untuk berkreasi menciptakan model layanan baru. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Amproker. Startup ini mengembangkan sebuah aplikasi mobile yang memfasilitasi konsumen untuk menemukan barang yang ingin dia beli. Konsepnya konsumen mengunggah informasi barang yang sedang dicari, lalu merchant dapat memberikan penawarannya masing-masing.

Dengan aplikasi mobile yang dapat diunduh gratis, pengguna Amproker bisa memesan produk dengan kriteria yang spesifik atau dengan mengunggah foto produk yang telah ditemukannya di tempat lain untuk mendapatkan penawaran yang lebih baik. Unik, karena startup ini coba melihat habit masyarakat Indonesia pada umumnya, ketika berbelanja ingin dilayani sebagai “raja”.

Membawa konsep lelang ke ranah ritel

Konsep Amproker layaknya proses tender atau lelang proyek, umumnya dilakukan di sektor pemerintahan. Para vendor atau penjual memberikan penawaran untuk kebutuhan belanja. Amproker mempertajam dan menerapkan konsep ini ke kalangan konsumen ritel. Proses tender dinilai akan membawa efek disruptive yang signifikan ketika diterapkan di segmentasi ritel, yang mempunyai lebih banyak partisipan dan volume transaksi.

“Idenya timbul dari pengalaman tidak efisien dan mengecewakan yang pernah kami alami sebagai konsumen. Amproker sejalan dengan psikologi generasi millenial yang mengharapkan semuanya tersedia on-demand.  Shopping dengan Amproker jauh lebih efisien dan lebih bergaya.  Cukup posting apa yang ingin kita beli dan tidak perlu lagi repot mencari penjual, membandingkan harga, atau rumit bernegosiasi,” ujar Eron Young selaku Co-Founder Amporker.

Versi Andoroid untuk Amproker sudah tersedia sejak Desember 2017 lalu, sedangkan untuk versi iOS sudah dirilis sejak awal Januari ini. Dari data statistik yang disampaikan, saat ini aplikasi (versi beta) Amproker sudah diunduh lebih dari 5000 pengguna. Sementara saat ini sudah ada lebih dari 1000 merchant yang terdaftar dengan berbagai jenis produk. Rata-rata berdomisili di Jabodetabek.

“Awalnya Amproker dimulai secara bootstrap.  Beberapa bulan kemudian, Amproker mendapatkan angel investment dari direksi sebuah management consultant firm (belum bisa disebutkan detailnya). Di bulan Desember 2017, Amproker terpilih sebagai peserta Top 15 program Visio Incubator,” lanjut Eron.

Percaya diri dengan konsep unik yang dimiliki

Persaingan bisnis e-commerce di Indonesia sudah sangat alot saat ini, pihak Amproker pun sadar betul akan hal ini. Namun menurut Eron dengan mekanisme yang unik, Amproker memosisikan diri sebagai “pembela” para pembeli. Di saat marketplace lain berlomba-lomba untuk memperbanyak penjual, Amproker fokus untuk mempersatukan pembeli. Sementara marketplace lain bersaing dengan memberikan subsidi  dan diskon, Amproker cukup mengandalkan persaingan sehat antara para penjual dan kekuatan pasar untuk memberikan harga yang terbaik bagi pembeli.

Penjual pun dinilai bisa mendapatkan keuntungan karena mendapatkan sales leads atau pelanggan baru dengan cepat tanpa perlu mengeluarkan budget iklan yang besar untuk menarik calon pembeli.  Peningkatan volume penjualan dan penghematan biaya marketing ini akan menjadi penambahan laba penjual.

“Konsep awal Amproker ialah sebagai penghubung antara konsumen dan merchant.  Namun umpan balik dari pengguna-pengguna pertama mengindikasikan proses pembayaran yang dikelola oleh Amproker akan meningkatkan secara dramatis volume dan nilai transaksi. Oleh karena itu, Amproker akan segera menambahkan fitur-fitur pengelolaan proses pembayaran dan logistik,” ujar Eron.

Co-Founder Amproker
Co-Founder Amproker

Amproker didirikian oleh dua orang co-founder, yakni Eron Young dan Johny Jugianto.  Setelah lulus kuliah dari Indiana University Bloomington di tahun 2000, Eron bekerja di Harman International, sebuah perusahaan Fortune 500 yang memproduksi speaker merek Harman/Kardon, Infinity dan JBL.

Sedangkan Johny adalah seorang profesional di bidang IT lulusan Universitas Bina Nusantara.  Kemampuannya untuk menciptakan solusi IT yang efektif telah terbukti sepanjang kariernya.  Sebelum membentuk Amproker, Johny mempunyai jabatan sebagai seorang IT Enterprise & Framework Solutions Manager di salah satu bank di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Proyeksi Forrester untuk Lanskap Teknologi dan Bisnis di Tahun 2018

Tahun 2018 mulai bergulir, bagi lanskap teknologi awal tahun selalu menarik. Selain catatan dari satu tahun yang telah berjalan, prediksi juga selalu digulirkan, karena pada dasarnya lanskap ini memiliki berbagai perhitungan sehingga untuk tren ke depan bisa diproyeksikan dengan baik. Salah satu lembaga riset kelas global yang sudah merilis prediksinya untuk tren tahun 2018 adalah Forrester. Mendasari penelitiannya dari perkembangan yang ada, berikut beberapa hal yang diprediksikan menjadi booming di tahun 2018 menurut Forrester:

Kesadaran tentang Customer Experiences (CX)

Customer Experiences (CX) atau pengelaman pelanggan menjadi strategi inti bagi bisnis untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan ekonomi di pasar. Forrester’s 2017 CX Index mencatat terjadi penurunan kualitas CX di berbagai lini bisnis dan industri. Pada tahun 2018, sekitar 30% perusahaan akan mulai sadar penurunan kinerja CX, karena sedikit demi sedikit kerugian akan mulai dirasakan. Dari situ akan ada implikasi lain, yakni tahun 2018 juga akan menjadi tahun yang penting untuk pertumbuhan CX, untuk memberikan pengalaman terbaik dan memperkuat kepercayaan pelanggan terhadap bisnis.

Kemunculan agen cerdas berbasis AI

Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan akan bertindak lebih. Tren yang sudah hadir saat ini –termasuk di Indonesia–sudah menjadi model yang mulai banyak diadopsi. Tahun 2018 adalah titik awal. Agen cerdas akan terus memperkuat pengaruhnya terhadap konsumen dan menekan brand untuk terlibat melalui kekuatan percakapan yang halus.

Krisis digital

Tahun 2017 kampanye tentang transformasi digital banyak digaungkan, sayangnya masih banyak yang menganggap upaya tersebut sebagai sebuah operasi elektif. Padahal bisnis perlu untuk menaruh perhatian penting terhadap transformasi tersebut. Pelanggan digital menginginkan pengalaman lebih untuk mencapai kepuasan atas suatu layanan. Hasil riset Forrester menyebutkan bahwa 60% eksekutif bisnis sudah mulai mengaku bahwa mereka tertinggal untuk melakukan transformasi digital.

Kesenjangan talenta digital

Pertumbuhan upah sebesar 2% sampai 4% menunjukkan pasar yang relatif seimbang. Namun fakta yang ada di lapangan masih berkutat kurangnya peran khusus seperti ilmuwan data, analis keamanan informasi, pengembang kelas atas, dan arsitek sistem informasi untuk meningkatkan CX. Pada tahun 2018, isu talenta akan memperluas kesenjangan antara “predator” dan “mangsa” digital. Salah satu upaya yang banyak dilakukan secara agresif ialah mendirikan pusat inkubasi digital dan membayar hingga 20% di atas tingkat pasar untuk mengubah permainan.

Pemberdayaan mesin atau otomatisasi

Pada tahun 2018, 10% keputusan pembelian dari konsumen akan dipandu oleh agen berbasis platform dan memulai dampak ekonomi nyata dari pemberdayaan mesin. Platform dan agen cerdas yang dikembangkan akan mengumpulkan preferensi, perilaku, transaksi, dan emosi, menciptakan pengalaman individu yang lebih kaya. Agen cerdas akan menggunakan data tersebut untuk semakin mempengaruhi pilihan dan keputusan konsumen. Model ini bukan hal baru. Itu adalah bagian lama dari logika periklanan di dunia. Perbedaannya adalah bahwa model ini didasarkan pada hubungan yang muncul, dinamis, dan emosional antara agen dan konsumen.

Kekuatan algoritma untuk pemasaran

Algoritma menjadi fondasi utama dari platform digital seperti milik Google dan Amazon. Algoritma adalah bahasa dari platform dan agen cerdas. Algortima saat ini banyak dikaitkan dengan bagaimana platform mampu memahami preferensi pelanggan, merekomendasikan tindakan, mempelajari perilaku, hingga bertindak secara benar. Pada tahun 2018, CMO perlu memanfaatkan algoritma cerdas untuk menafsirkan dan memberdayakan platform berbasis AI. Namun menurut Forrester, 25% dari CMO akan gagal, sehingga brand mereka tidak memiliki pembeda (keunggulan) dan terdiam di pasar.

Pemasaran digital yang disesuaikan

Perilaku pelanggan sudah semikan jelas, mereka menghindari iklan. Akibatnya pembiayaan iklan akan berdampak kurang signifikan. Beberapa brand mungkin memotong pengeluaran untuk belanja iklan. Ini bukan krisis anggaran periklanan tapi hanya mengubah prioritas. Alih-alih membajak uang ke belanja iklan tradisional, CMO akan meningkatkan pengeluaran untuk merevitalisasi CX, menyelaraskan program loyalitas, berinvestasi pada algoritma untuk paltform, dan memajukan teknologi pemasaran lainnya. Pengeluaran iklan akan rata di tahun 2018 dan menyebabkan koreksi yang menyakitkan di pasar agensi dan adtech.

Tantangan untuk General Data Protection Regulation (GDPR)

GDPR menantang bagaimana perusahaan menyeimbangkan risiko dan biaya untuk keamanan. Forrester memprediksi bahwa 80% perusahaan yang terkena dampak GDPR tidak akan mematuhi peraturan tersebut sampai bulan Mei 2018. Dari perusahaan yang tidak patuh tersebut, 50% secara sengaja tidak mematuhi – yang berarti mereka telah mempertimbangkan biaya dan risiko dan mengambil jalan yang menyajikan posisi terbaik untuk perusahaan mereka. 50% lainnya mencoba untuk mematuhi tapi akan gagal.

Bisnis perbankan yang lebih terbuka

Model bisnis perbankan konvensional tengah diserang, dan yang paling signifikan yakni oleh tren fintech yang sedang melanda pangsa pasar global. Ketidakmampuan bank untuk memperdalam nilai hubungan pelanggan menjadi faktor utama. Dilansir PSD2, perbankan terbuka mengepung akan memainkan peran kunci dalam operasional melalui data. Bank tidak akan lagi memiliki monopoli atas harta karun mereka dari data pelanggan. Amazon dan Google, penyedia layanan fintech, dan bank penantang akan memanfaatkan akses terhadap data, melumpuhkan atau menggantikan bank-bank incumbent. Pada tahun 2018 menurut Forrester, lebih dari 50% bank akan gagal mengeksploitasi perbankan terbuka, mulai menurun, jalur yang menyakitkan untuk menjadi utilitas yang tidak disengaja.

Harmonisasi pengalaman ritel

Industri ritel terus tumbuh, namun tantangannya terbentang di depan bagi peritel tradisional. Peritel perlu mempertimbangkan bagaimana bekerja dengan agen cerdas yang akan mengambil bagian lebih besar dari bagaimana pelanggan menemukan dan memesan, menciptakan pengalaman toko yang dinamis dan dinamis, gunakan toko fisik sebagai simpul logistik, memperluas katalog digital untuk mencocokkan platform seperti Amazon, dan selaras semua ini dalam perjalanan yang anggun dan berbeda bagi pelanggan. Hanya 33% peritel yang memahami sifat mengganggu dan menguntungkan dari agen cerdas; 67% tidak.

Pembenahan implementasi AI

AI dengan cepat mengubah bagaimana perusahaan menciptakan pengalaman yang dipersonalisasi; bagaimana konsumen menyeimbangkan privasi dan nilai dengan demokratisasi data mereka; dan bagaimana karyawan membentuk jalur profesional mereka untuk memasukkan interaksi yang lebih besar dengan mesin. Fokus percakapan AI berpusat pada penggunaan teknologi AI untuk menambah kecerdasan atau menciptakan antarmuka percakapan.

Namun, investasi 2017 berfokus pada kasus penggunaan diskrit dan proyek untuk membuktikan nilai bisnis langsung. Manfaat itu terlalu sempit dan akan berumur pendek. Pada 2018, 75% proyek AI akan membanjir karena gagal menentukan pertimbangan operasional, yang menyebabkan para pemimpin bisnis mereset ruang lingkup investasi AI – dan menempatkan perusahaan mereka di jalan untuk mewujudkan manfaat yang diharapkan.

Masa depan blockchain

Pada 2018, kombinasi retorika dan antusiasme akan terus meningkatkan potensi blockchain. Namun, 30% bukti konsep akan mempercepat blockchain bagi perusahaan yang dapat mempertimbangkan dampak operasionalnya.

Kesadaran dari keuntungan sistem keamanan

Perusahaan menghadapi meningkatnya ancaman cyber dari hacker yang berusaha melakukan cyberwarfare atau sabotase industri. Pada 2018, kita akan mulai melihat keamanan untuk ukuran keuntungan yang didorong oleh tim keamanan, risiko, dan privasi dengan dukungan dari rekan pemasaran dan produk mereka. Inti dari hal ini adalah manajemen identitas. Tim keamanan dan privasi perlu mengetahui dengan pasti siapa yang mengakses apa dan mengatasi identitas di titik masuk. Pemasaran dapat menggunakan kemampuan yang sama di tumpukan martech (marketing technology) untuk personalisasi – mengubah mandat keamanan menjadi perangkat tambahan CX. Di tahun yang akan datang, 10% perusahaan akan memecahkan kode ini dan memperoleh leverage investasi baru dan kuat.

Bea Cukai Barang Impor Digital, Apakah akan Berdampak pada Produk Digital Lokal? (Updated)

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution sudah memastikan bahwa pemerintah Indonesia akan mengenakan bea masuk bagai barang tak berwujud (intangible goods). Beberapa barang tak terwujud yang dimaksud termasuk e-book, perangkat lunak, musik digital, film digital dan sebagainya. Darmin menyebutkan, hal tersebut dilakukan dalam rangka menata dan mulai mengembangkan bisnis para pelaku usaha. Sejauh ini belum diberlakukan, karena terikat moratorium dengan World Trade Organization (WTO). Sementara moratorium tersebut berakhir di tahun ini.

Sebelumnya dalam moratorium disebutkan negara-negara berkembang tidak boleh mengenakan bea masuk atas barang tak berwujud yang diperdagangkan secara elektronik. Di tengah meningkatnya perdagangan digital, baik melalui situs e-commerce atau layanan distribusi digital lain, adanya bea masuk terhadap barang tak berwujud dinilai akan berpotensi menjadi penerimaan negara. Pemerintah Indonesia sendiri sudah mengusulkan ke WTO perihal pengenaan biaya ini yang akan dimulai pada tahun 2018 mendatang.

Menjadi kesempatan untuk pengembang lokal?

Salah satu dampak di sisi konsumen untuk pengenaan cukai barang tak berwujud (digital) ialah terhadap harga jual. Harga jual pasti akan menjadi lebih mahal, misalnya untuk produk perangkat lunak. Sejauh ini isu yang banyak diutarakan oleh para pengembang produk lokal ialah persaingan yang cukup berat dengan produk korporasi dari luar, khususnya untuk produk perangkat lunak yang menyasar bisnis.

Namun sayangnya draft aturan terkait hal tersebut belum disampaikan detailnya. Karena di lapangan untuk distribusi produk perangkat lunak nyatanya cukup kompleks. Saat ini produk tidak hanya didistribusikan dalam bentuk installer – misal dikemas dalam DVD atau diunduh melalui internet lalu dipasang di perangkat. Ada juga model SaaS, yang mana statusnya ke konsumen adalah sewa, bukan kepemilikan utuh layaknya licensed software.

Menanggapi tentang rencana ini, kami coba berbincang dengan salah satu pengembang perangkat lunak lokal. Kali ini kami menghubungi Yopie Suryadi selaku CEO Mailtarget –sebuah aplikasi yang membantu bisnis dalam mengelola email marketing.

“Dari apa yang saya baca, tujuan dari pengenaan bea masuk ini adalah untuk menggenjot target bea masuk. Sangat sulit untuk melihat hal ini dilakukan untuk mendongkrak penjualan produk digital dalam negeri. Untuk mendongkrak produk digital dalam negeri yang diperlukan adalah support dari pemerintah, mendukung para pembuat produk digital dalam negeri dalam bentuk kemudahan di regulasi, mendukung ekosistem, grooming programmer berkualitas, menggenjot penggunaan karya anak bangsa dll,” ujar Yopie.

Memang pemerintah tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa adanya bea masuk ini juga dalam upaya memajukan produk digital buatan lokal.

“Salah satu hal penting buat saya adalah bagaimana implementasinya. Bagaimana pemerintah mengenakan bea masuk dari setiap e-book yang kita beli dari luar negeri. Apakah pemerintah akan punya akses penuh dari semua data aktivitas kita di internet? Apakah pemerintah akan bekerja sama dengan semua e-commerce/institusi dari luar yang menjual produk digital untuk mengenakan bea masuk di setiap transaksi? Kalau menurut Menkominfo adalah dengan melakukan self assessment kelihatan mudah tetapi penerapannya akan sangat sulit,” imbuh Yopie.

Narenda Wicaksono selaku CEO Dicoding turut memberikan komentar. Menurutnya aturan ini dapat berimplikasi pada dua hal (melihat dari sudut pandang konsumen perangkat lunak). Pertama konsumen akan mencari alternatif yang lebih terjangkau, bisa jadi non legal, seperti perangkat lunak bajakan. Kemungkinan yang kedua, konsumen akan mencari perangkat yang lebih terjangkau dan legal. Namun demikian rata-rata perangkat lunak yang dijual langsung ke konsumen adalah yang pengembangannya membutuhkan biaya tinggi. Belum banyak alternatif pengganti yang bisa dibuat oleh pengembang lokal untuk perangkat lunak tersebut saat ini.

“Harapan saya agar lebih banyak pengembang lokal yang mulai membangun software kelas dunia untuk pasar lokal. Butuh waktu 3 tahun bagi pengembang untuk membangun software pertama yang bisa dimonetisasi. Bila telah 3 tahun lewat dan belum juga bisa monetisasi, mungkin bisa mulai beraliansi atau bergabung dengan pengembang lokal yang membutuhkan talenta agar bisa mengembangkan software kelas dunia,” ujar Narenda.

Update: Penambahan opini dari Narenda Wicaksono.

Kesalahan Umum yang Sering Dilakukan Founder Startup Tahap Awal

Ada sebuah diskusi menarik dari situs forum tanya-jawab Reddit. Seseorang membuat thread menanyakan pertanyaan: “sebagai orang yang pernah mendirikan startup, apa kesalahan terbesar yang pernah dilakukan?”. Jawaban pun bermunculan dan cukup beragam dari para responden yang mengaku pernah atau sedang mendirikan startup.

Berikut kami coba simpulkan hal-hal yang paling sering dilakukan oleh pendiri startup dan dinilai menjadi sebuah tindakan yang kurang tepat untuk dilakukan.

Perencanaan yang buruk

Ini adalah sebuah kesalahan yang sering terjadi di tahap awal. Perencanaan yang buruk disebabkan karena berbagai hal, termasuk terlalu euforia pada temuan ide di awal. Perencanaan untuk sebuah startup sendiri idealnya memang tidak mudah, karena perlu mendefinisikan secara cermat berbagai unsur detail, termasuk produk, bisnis, pendanaan, hingga pengembangan tim.

Dampak terburuk dari sebuah perencanaan yang tidak optimal adalah founder berisiko kehilangan arah ketika sudah berada di tengah perjalanan. Tidak tahu persis milestone apa yang harus dikejar, karena setiap langkah dilakukan tidak secara teratur. Padahal untuk sebuah kesuksesan startup dibutuhkan kedisiplinan dalam mengeksekusi rencana –sedangkan rencana tersebut merupakan penjabaran dari ide bisnis dan produk yang ditemukan di awal.

Lupa meminta umpan balik dan riset

Beberapa pengembang kadang berjalan pragmatis –artinya berprinsip yang penting produk berjalan dengan baik. Padahal mereka harus menyadari, hasil akhir dari produk yang dikembangkan ialah untuk digunakan oleh pengguna, lalu selanjutnya dikonversi menjadi bisnis. Ketika dalam proses pengembangan, sering merasa bahwa produknya sudah sesuai untuk pemecahan masalah. Sementara dalam sebuah aplikasi, tidak hanya fungsionalitas yang perlu divalidasi, melainkan juga termasuk User Interface (UI) dan User Experiences (UX).

Pengembangan produk terbaik juga harus didasarkan riset kepada pengguna –bisa dilakukan dengan berbagai cara, melibatkan langsung pengguna atau mengulik data-data yang ada. Adanya angka-angka yang ditemukan pada riset akan memberikan proposisi terbaik pada fitur, sehingga aplikasi yang disuguhkan nantinya akan mampu memenuhi kebutuhan pengguna secara sistematis.

Klien besar memakan perusahaan

Beberapa startup di tahap awal sangat rentan dengan isu ini. Klien besar memberikan banyak masukan (income) sehingga sering membuat terlena. Terlenanya, klien tersebut bisa saja menghardik startup untuk menyesuaikan kebutuhannya secara custom, padahal apa yang dijual adalah produk bukan pesanan khusus. Di sini ketegasan founder diuji. Jika cakupannya pada improvisasi produk, bisa saja menjadi masukan yang baik. Namun jika sampai mengubah DNA dari produk, terlebih proses bisnis di dalamnya, maka bisa saja merusak tatanan yang sudah dibangun sebagai startup.

Sangat tergantung pada founder

Founder memang sangat bergantung untuk kepemimpinan sebuah bisnis, akan tetapi founder juga harus menciptakan sebuah kultur yang memungkinkan setiap anggota untuk berani berkreasi. Inovasi yang baik tidak pernah terpusat di satu orang saja, melainkan pada solusi atas permasalahan yang ditemui oleh masing-masing orang. Ketergantungan yang dimaksud di sini seperti apa-apa harus menunggu ide atau arahan dari founder, sementara untuk startup lingkungan yang lebih terbuka dinilai akan banyak membangun.

Visio Incubator Announces 15 Selected Startups to Undergo Training

Following their first debut for incubating startups in Indonesia, Sumatera in particular, Visio Incubator has announced 15 selected startups to undergo the incubation program session two. In this incubation program called “Visio Incubator Batch 2”, the selected startups will be trained for three months by national class mentors. The registration is already held for two months, from September 2017. There are 169 startups registered in this program.

“These top 15 startups are selected from 169 applicants coming from various regions in Indonesia. Through strict selection, the 15 startups will start their journey in the incubation program,” Visio Incubator’s Co-founder & CEO, Hendriko Firman explained.

He also said, there are several assessment aspects such as problems to solve, the solutions offered, the impact presented, business model, traction, founder’s profile, and their overall preparation. For intensive incubation, will be started in early next year.

After completing the incubation, selected startups will have to take part in “Demo Day and Date with Investor”; it is estimated to be held in April 2018. In Demo Day, they will get a chance to pitch in front of potential investors and stakeholders. On the other hand, chances for networking and obtaining funding from investor will be wide open.

“Indonesia is the next investment from around the world. To be able to prepare the best product-market fit startups having the signal to be a unicorn, it is necessary to give them basic program as the intensive incubation. These top 15 batch 2 startups are expected to grow as Go-Jek, Tokopedia, Traveloka, BukaLapak by being the next startup unicorn in Indonesia,” said Visio Incubator’s Co-founder & CMO, Ogy Winenriandhika.

Below are the select 15 startups which managed to pass the Visio Incubator selection for Batch 2:

Startup Details
Worqers A technology recognition provider and reward system for employees in a company in order to make them more productive and have a sense of ownership
GroupBuyId E-commerce service for purchasing certain goods in large quantities to get more affordable price
Spasium.com An online gallery for purchasing artworks (photography, painting, illustration, etc.) by Indonesia’s local artists
Musikmall A marketplace that brings together music teachers with prospective students to learn music in private
Amproker A mobile platform that allows buyers to make their wishlist, and the sellers will compete to provide the best deals on the items
Swivel Coffee A marketplace specifically for coffee and tea, begins with e-commerce to get traction, data, market, sales, income and profit
Muztreat On-demand service for Muslim beauty salon
Cilsy An online platform providing exclusive IT tutorial
KlikAcara A marketplace of vendors liaison and event organizers which provides buying and selling services as well as renting the needs of the event
Qelisa An application helping farmers to be more accountable, to improve their financial knowledge, and to ease their financial services access
Tripi A one-stop-solution application for tourists (help them on planning their travel trip)
AdaKopi.id A liaison platform to connect coffee farmers’ and the end consumers with two sales schemes that capable to increase farmers’ profits by more than 50%
Design for Dream A platform to help people with disabilities in Indonesia
Tanijoy A liaison platform for landowners and small farmers with no farming land
AntriBos A platform providing the latest queue information and booking queues by taking advantage of mobile apps development


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Parentalk Scoops Seed Funding from Emera Capital

Today, exactly on Mother’s day (12/22), Emera Capital, part of MRA Group, announces seed funding for Parentalk. A digital media company focused on providing contents for millennial parents. Parentalk has debuted its contents via social media (Instagram). Official site is planned to be launched publicly on the next day.

Parentalk was founded by Nucha Bachri. The history begins with observation and personal experience, also those people around her, in need to get relevant and reliable information regarding pregnancy and parenthood. Besides relevance, the content needs to match the shifting habits in this current digital era.

Founder Parentalk Nucha Bachri / Parentalk

“For easier and familiar access to information, [the right media] is on Instagram. Therefore we need reliable sources, experience the same feeling with us during pregnancy and go through parenthood, with the ease of being on the social media platform on our daily basis,” Bachri said.

Since November 2017, and still focusing on Instagram platform, Parentalk has a rapid growth of followers on Instagram. Instagram Live content becomes one of Parentalk’s trademark. On the other hand, as Bachri said, it also has strength in data customer for content compiling base. It is the reason behind the organic fast-growth.

Along with the funding, Parentalk plans to build a solid creative team also conducts research and development for better technology. There will be a Virtual Reality (VR) based content in 2018 for all Parentalk loyals.

“I see the partnership with Emera Capital can help Parentalk to grow better, as MRA had media experiences both print and radio. I and team saw MRA trust on our vision and mission to keep being honest and most-updated content creator, as an interesting factor to run partnership,” added Bachri.

For Emera Capital, this is the second official strategic involvement since the establishment in 2017. Previously, MRA also held strategic partnership with DailySocial.

“To us, investing in digital focus company is a strategic step to strengthen the business line. Parentalk can be seen to give bold and disruptive ideas in creating content highly relevant with parents, millennial mom and dad. With our current experience in holding Mother and Baby media, both are expected to support each other,” Michael Tampi, Emera Capital’s Managing Partner, said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian