ProSpark Hadirkan Solusi Edutech di Segmen B2B

Didirikan pada tahun 2018, ProSpark dikembangkan menjadi Learning Management System (LMS) yang memungkinkan perusahaan untuk melatih, melakukan sertifikasi, transfer pengetahuan, dan berkolaboras;  baik di lingkup internal maupun eksternal. Secara khusus menargetkan segmen B2B, dengan memberikan sistem manajemen pembelajaran untuk peningkatan kompetensi staf.

Kepada DailySocial CEO & Co-Founder ProSpark Alfa Bumhira mengungkapkan, platformnya didirikan atas dasar memberikan akses dan sarana untuk membantu mendidik dan memberdayakan orang-orang dengan keterampilan yang dibutuhkan agar bisa meningkatkan karier mereka. Selain di Indonesia, ProSpark juga telah hadir di Singapura dan Filipina.

“Visi dan misi kami berakar pada membantu orang. Para Pendiri ProSpark keduanya tinggal di Amerika Serikat dalam waktu yang lama, dan kami telah menyaksikan apa yang dapat dilakukan investasi positif kepada sumber daya manusia terhadap pengembangan perusahaan atau negara.”

Bisnis ProSpark di Indonesia

Platform ProSpark
Platform ProSpark

Saat ini ProSpark telah memiliki beberapa klien dari kalangan korporasi, di antaranya adalah Bank Sahabat Sampoerna & Asuransi SLU. Perusahaan juga telah menjalin kemitraan dengan 3 mitra kunci, dan saat ini sedang dalam proses untuk menyelesaikan 2 kemitraan strategis baru, yang nantinya akan membantu memperluas langkah perusahaan di Indonesia (kesepakatan akan segera diumumkan).

ProSpark menargetkan banyak sektor industri, dilihat dari besarnya permintaan yang meningkat di ruang pembelajaran digital. Mereka juga telah memiliki tim lokal dan juga jaringan kemitraan yang juga mencakup Surabaya, Bogor, dan Bandung dengan tujuan memperluas ke kota-kota lain.

Model bisnis yang diterapkan didasarkan pada lisensi dan biaya konten. Untuk lisensi LMS, model berbasis langganan tahunan B2B atau multi-tahun, dan untuk kontennya didasarkan pada jenis modul. ProSpark mengklaim memiliki nilai proposisi yang unik yang menjadi kekuatan mereka terutama dalam kesederhanaan LMS, integrasi yang mudah, peningkatan fleksibel yang memenuhi inti dari kebutuhan pengguna.

“Kami sangat percaya (positif) tentang masa depan Indonesia secara ekonomi dan sosial, dan kami percaya ProSpark dapat berperan untuk mendukung transformasi positif yang sedang berlangsung di berbagai sektor,” kata Alfa.

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa layanan edutech yang menargetkan kalangan bisnis. Misalnya yang serupa ProSpark ada HarukaEdu melalui produk CorporateEDU. Sementara untuk pengembangan kompetensi staf secara mandiri, banyak juga platform yang sudah beredar di pasaran, termasuk Skill Academy dari Ruangguru dan juga Vokraf.

Rencana ProSpark usai mengantongi pendanaan

(ki-ka) Adi Wibowo Adisaputro Angel Investor, Subash Gopinathan COO & Co-Founder ProSpark, Maria Natashia Investment Manager @ Prasetia Dwidharma, Alfa Bumhira CEO & Co-Founder ProSpark, Michael Soerijadji Agaeti Ventures Partner, Gregorius Arya Sena Agaeti Ventures
(ki-ka) Adi Wibowo Adisaputro Angel Investor, Subash Gopinathan COO & Co-Founder ProSpark, Maria Natashia Investment Manager @ Prasetia Dwidharma, Alfa Bumhira CEO & Co-Founder ProSpark, Michael Soerijadji Agaeti Ventures Partner, Gregorius Arya Sena Agaeti Ventures

Untuk mempercepat pertumbuhan bisnis, ProSpark telah mengantongi pendanaan tahapan pre-seed yang dipimpin oleh Agaeti Ventures. Prasetia Dwidharma dan angel investor Adi Adisaputro juga terlibat dalam tahapan pendanaan ini.

ProSpark berencana untuk menggunakan dana tersebut untuk memperluas jejak komersialnya dan memperkuat posisinya di pasar. Perusahaan juga sedang menyiapkan rencana masa depan untuk ekspansi regional di seluruh Asia Tenggara.

“Dana akan digunakan untuk memperluas infrastruktur teknologi kami karena kedua tim teknologi kami berada di Filipina dan Indonesia. Kami akan menginvestasikan sebagian dana untuk memperluas jejak komersial kami di target pasar utama kami, Indonesia,” kata Alfa.

Melihat besarnya permintaan selama masa karantina penyebaran virus COVID-19 dan Work From Home (WFH) yang dianjurkan oleh pemerintah, ProSpark menawarkan solusi belajar secara digital kepada perusahaan agar bisa dimanfaatkan oleh pegawai.

“Saat ini dengan kondisi penyebaran virus COVID-19, banyak pelatihan langsung dibatalkan, dan juga untuk waktu yang lama perusahaan dan organisasi telah mencari cara yang lebih murah dan lebih efisien untuk melatih orang. Jadi ProSpark menyediakan pengalaman siap pakai yang memungkinkan perusahaan untuk melatih pegawai mereka di mana saja, kapan saja melalui situs dan aplikasi ProSpark,” kata Alfa.

Application Information Will Show Up Here

GoPlay and Hooq Optimism with Video on Demand Service in Indonesia

With the rise of Video on Demand (VOD) apps in Indonesia, none of them positioned as the key player. The changing characteristic has forced the VOD service to run without any stable formula.

On this matter, DailySocial through #Selasastartup session trying to dig through the challenges the local and global VOD service players currently facing. The speakers are from GoPlay’s CEO, Edy Sulistyo and Hooq Indonesia’s Country Head, Guntur S. Siboro.

Indonesian unique habit

Goplay and Hooq

During its operation in Indonesia for the past 4 years, Hooq noted the unique habits of the Indonesian people. Starting from the use of internet data quota on smartphones that are very concerned to use the wifi to access various needs on the internet. This, according to Hooq, makes it difficult for them to be able to present services that rely solely on applications.

For this reason, Hooq then formed a strategic partnership with telecommunications operators, broadband services, to the super apps platform. The goal is simple, it’s for Hooq that can be accessed anywhere and anytime.

“The difference that we felt in the past (2016) since Hooq launched until now is, the payment options are still very limited. It’s only available through credit cards like those launched by Netflix. However, with the presence of GoPay, Ovo and other digital wallets make it easier for users to make a purchase,” Guntur said.

From the side of GoPlay, which all businesses are supported by the Gojek ecosystem, this is precisely their strength. With the bundling concept packaged in the form of vouchers, GoPlay tries to take advantage of broad access to Gojek’s complete channel distribution.

These strengths later became attractive offers for content creators to Indonesian filmmakers, to focus on content and entrust other aspects to GoPlay.

“In terms of GoPlay, it is included in the Gojek ecosystem and supports the existing business. One of them is offering related service vouchers, bundling with GoFood to GoSend aiming to invite more people to access local content while promoting content to more users,” Edy added .

Though many Indonesian users prefer content for free but there are some that willing to subscribe and pay, in order to get quality content.

Original content and big data management

data analytics to improve services
data analytics to improve services

One thing that later became a same objective of the two VOD services was to encourage the best works of Indonesian creators and filmmakers. In this case, each of them established a strategic partnership with studios to Indonesian production houses, in order to create interesting original content for users.

GoPlay claims such market condition is what behind their goals as a bridge for viewers for easier access to the local films.

“At least the existence of GoPlay can give filmmakers in Indonesia the option to channel their work using digital services owned by GoPlay. In accordance with Gojek’s commitment to eliminate friction in daily life,” Edy said.

Hooq has introduced the production of 19 new original content consisting of series and films in the four countries in which they operate at the end of 2019. Of the 19 new titles, the largest Hooq original content comes from Indonesia with 14 titles consisting of series, films and stand-up comedy events.

It is not surprising to have a large number of new content slots in Indonesia because the majority of the Hooq market in Southeast Asia comes from Indonesia. That was justified by Thunder.

As a platform that fully utilizes smartphones for accessing content, GoPlay claims to have succeeded in gathering big data which is then processed and can be utilized by partners to filmmakers. By utilizing this data, filmmakers can see what kind of content is a favorite, the ideal duration and what genre or category of film is in demand by various groups. Technology and data analytics processing are the strengths of GoPlay.

Meanwhile, Hooq, which available not only on smartphones but also on broadband and home cable services spreading throughout Indonesia, claims that engagement actually occurs more through the channel. However, in terms of downloads and users, Hooq noted recorded more interaction in the application.

Regarding big data and data analytics, Hooq will also apply it to improve services, Guntur said the plan was included in the company’s roadmap. After proposing the liquidation at the end of last month, currently,  Hooq Indonesia is still waiting for the company’s decision to continue or stop its services in Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

 

Coca-Cola’s CVC, “Amatil X” Pours Its First Investment to Kargo Technology

After its official launch in early 2019, Coca-Cola Amatil Indonesia (Amatil Indonesia) through the Amatil X corporate venture capital (CVC) initiative, has established strategic partnerships with some startups in Indonesia.

The latest collaboration is with Kargo Technologies, it is said to help them expand the business strategy and logistics digitization process in Indonesia. This collaboration also led to Amatil X’s first investment in Indonesian startups, which is expected to improve Amatil’s overall logistics capabilities.

“As the main support behind Indonesia’s favorite beverage brand, we believe that our investment in Kargo Technologies will support Amatil Indonesia’s ambition to become a leading player in Indonesia’s digital ecosystem,” Coca-Cola Amatil Indonesia’s President Director Kadir Gunduz said.

There is no further detail on the investment value provided by Amatil X to Kargo Technologies. However, adjusting its commitment, Amatil X not only enhances the company’s competitive advantage through CVC, but also wants to help and work with local startups that are in line with Amatil Indonesia’s business.

“Currently, Amatil X is focused on investing in startups that offer innovations for consumer product sales strategies, beverage deliveries, help customers grow and reduce their impact on the environment. Amatil X also looking for startups that can support the company’s efforts to solve business challenges and help improve customer service better,” Head of Amatil X, Coca-Cola Amatil Alix Rimington said.

Tighten up logistics service and optimizing supply chain

Kargo Technologies team and management
Kargo Technologies team and management

As Kargo Technologies‘ CEO, Tiger Fang said, technology-supported logistics is a proven trend in other markets, including India, China and the United States. He also welcomed this strategic partnership and hopes to work with Amatil Indonesia to better digitize and optimize their supply chains in Indonesia.

Later, the funding provided by Amatil X will be used by the company to meet the logistical needs needed by Coca Cola Amatil and improve the efficiency of logistics operations with technology owned by Kargo Technologies.

Founded by the former Country Manager of Uber Indonesia Tiger Fang (CEO) and Yodi Aditya (CTO), Kargo Technologies sees the problem of trucks gone home unloaded after delivery at production centers. Kargo Technologies hopes to minimize this while meeting the needs of e-commerce and FMCG companies.

In particular, the company offers a mobile-based platform, on the Android platform to make it easier for users and sender companies to interact and monitor shipment movements in real-time.

“Kargo Technologies connects businesses and their shipping needs with trucking companies that own vehicles, with available cargo space nearby. Most importantly, Kargo can take a lot of cargo for backhaul. It means, trucks can return with fewer empty loads, therefore, enabling them to maximize revenue and distribute funds better,” Tiger said.

Kargo Technologies is a logistics marketplace that connects companies and truck service providers. In the middle of last year, they obtained funding of $7.6 million (more than 107 billion Rupiah) led by Sequoia India and the 10100 Fund – the latter one was founded by Uber Co-Founder Travis Kalanick.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

GoPlay dan Hooq Optimis dengan Perkembangan “Video on Demand” di Indonesia

Meskipun sudah banyak aplikasi Video on Demand (VOD) di Indonesia, namun belum ada yang mampu menjadi pemain utama atau key player. Sifatnya yang kerap berubah, menjadikan layanan VOD tidak bisa dijalankan mengacu kepada formula yang stabil.

Melihat persoalan tersebut, DailySocial melalui sesi #Selasastartup mencoba untuk mengupas tuntas persoalan hingga tantangan yang hingga saat ini masih banyak ditemui pemain layanan VOD lokal hingga asing. Narasumber yang dihadirkan adalah CEO GoPlay Edy Sulistyo dan Country Head Hooq Indonesia Guntur S. Siboro.

Kebiasaan unik masyarakat Indonesia

Selama menjalankan bisnis di Indonesia sejak 4 tahun terakhir, Hooq mencatat kebiasaan unik masyarakat Indonesia. Mulai dari penggunaan kuota data internet di smartphone yang sangat diperhatikan hingga penggunaan wifi untuk mengakses berbagai kebutuhan di internet. Hal tersebut menurut Hooq menyulitkan mereka untuk bisa menghadirkan layanan yang hanya mengandalkan aplikasi.

Dengan alasan itulah Hooq kemudian menjalin kerja sama strategis dengan operator telekomunikasi, layanan broadband, hingga platform super apps. Tujuannya sederhana, agar Hooq bisa diakses di mana saja dan kapan saja.

“Perbedaan yang kami rasakan dulu (2016) sejak Hooq meluncur hingga saat ini adalah, pilihan pembayaran yang masih sangat terbatas jumlahnya. Hanya memanfaatkan kartu kredit saja seperti yang dilancarkan oleh Netflix. Namun kini dengan hadirnya GoPay, Ovo hingga dompet digital lainnya memudahkan pengguna untuk melakukan pembelian,” kata Guntur.

Dari sisi GoPlay yang semua bisnisnya didukung oleh ekosistem Gojek, hal tersebut justru yang menjadi kekuatan mereka. Dengan konsep bundling yang dikemas dalam bentuk voucher, GoPlay mencoba memanfaatkan akses luas hingga distribusi kanal yang lengkap milik Gojek.

Kekuatan tersebut yang kemudian menjadi penawaran menarik kepada konten kreator hingga sineas Indonesia, untuk fokus kepada konten dan mempercayakan aspek lainnya kepada GoPlay.

“Untuk GoPlay sendiri masuk dalam ekosistem di Gojek dan mendukung ekosistem yang ada. Salah satunya adalah penawaran voucher layanan terkait, bundling dengan GoFood hingga GoSend dengan tujuan untuk mengajak lebih banyak orang mengakses konten lokal sekaligus mempromosikan konten ke pengguna yang lebih banyak,” kata Edy.

Meskipun hingga saat ini masih banyak pengguna di Indonesia yang lebih menyukai konten secara gratis, namun mulai banyak pengguna yang memilih untuk berlangganan dan rela membayar, demi mendapatkan konten yang berkualitas.

Konten original dan pengolahan big data

Penerapan data anlytics untuk meningkatkan layanan
Penerapan data anlytics untuk meningkatkan layanan

Satu hal yang kemudian menjadi tujuan yang serupa dari kedua layanan VOD tersebut adalah, untuk mendorong karya-karya terbaik para konten kreator dan sineas Indonesia. Dalam hal ini masing-masing sengaja menjalin kemitraan strategis dengan studio hingga rumah produksi Indonesia, demi menciptakan konten original menarik untuk pengguna.

GoPlay mengklaim kondisi pasar yang demikian melatarbelakangi tujuan mereka sebagai jembatan penonton agar lebih mudah mengakses film-film produksi dalam negeri.

“Paling tidak dengan hadirnya GoPlay bisa memberikan opsi kepada sineas di Indonesia untuk menampilkan karya mereka memanfaatkan layanan digital yang dimiliki oleh GoPlay. Sesuai dengan komitmen dari Gojek untuk menghilangkan friction in daily life,” kata Edy.

Hooq sendiri akhir tahun 2019 lalu telah memperkenalkan produksi 19 konten orisinal baru yang terdiri dari serial dan film di empat negara tempat mereka beroperasi. Dari 19 judul baru, produksi konten orisinal Hooq terbanyak ada di Indonesia dengan 14 judul yang terdiri dari serial, film, dan acara stand up comedy.

Banyaknya slot konten baru di Indonesia tak mengherankan lantaran pasar Hooq di Asia Tenggara mayoritas berasal dari Indonesia. Hal itu dibenarkan Guntur.

Sebagai platform yang sepenuhnya memanfaatkan smartphone untuk pengguna mengakses konten, GoPlay mengklaim berhasil mengumpulkan big data yang kemudian diolah dan bisa dimanfaatkan oleh mitra hingga sineas. Dengan memanfaatkan data tersebut, para sineas bisa melihat konten seperti apa yang menjadi favorit, durasi yang ideal hingga genre atau kategori film seperti apa yang diminati oleh berbagai kalangan. Teknologi dan pengolahan data analytics menjadi kekuatan GoPlay.

Sementara itu, Hooq yang saat ini bukan hanya bisa dinikmati di smartphone namun juga di layanan broadband dan home cable yang tersebar di Indonesia, mengklaim justru engagement lebih banyak terjadi melalui kanal tersebut. Namun untuk jumlah unduhan dan pengguna, Hooq mencatat lebih banyak terjadi di aplikasi.

Disinggung apakah nantinya Hooq juga bakal menerapkan big data hingga data analytics untuk meningkatkan layanan, Guntur menyebutkan rencana tersebut sudah masuk dalam roadmap perusahaan. Setelah mengajukan opsi likuidasi akhir bulan lalu, saat ini Hooq Indonesia masih menunggu keputusan perusahaan untuk meneruskan atau menghentikan layanan mereka di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Ajukan Opsi Likuidasi, Layanan Hooq Indonesia Masih Berjalan

Meluncur sejak tahun 2016 lalu, layanan video on-demand Hooq yang didirikan oleh Singtel, Sony Pictures Television, dan Warner Bros mengajukan opsi likuidasi dengan alasan lambatnya pertumbuhan dan persaingan yang cukup sengit terhadap pemain serupa.

Platform ini dalam beberapa bulan terakhir mulai menunjukkan pertumbuhan yang lambat dengan mulai berkurangnya beberapa konten dan channel unggulan.

Kepada DailySocial, Country Head Hooq Indonesia Guntur S. Siboro mengungkapkan, sesuai dengan keputusan yang diambil Singtel akhir pekan lalu, saat ini Singtel telah menunjuk likuidator. Jika dalam waktu dua minggu tidak ada solusi terhadap kelanjutan perusahaan di Indonesia, layanannya akan dihentikan.

Disinggung tentang kelanjutan masa depan tim lokal, Guntur menegaskan,bisnis masih berjalan seperti biasa dan enggan menyebutkan nasib pegawai selanjutnya.

“Belum ada keputusan final jadi belum ada PHK. Saat ini Hooq Indonesia masih beroperasi seperti biasa, sampai ada keputusan likuidator,” kata Guntur.

Menurut sirkulasi informasi yang diperoleh DailySocial, setidaknya 94 pegawai Hooq terdampak likuidasi ini dengan 17 pegawai di antaranya merupakan pegawai Hooq Indonesia. Detail ini mulai diinfokan secara luas untuk membantu mereka memperoleh pekerjaan baru.

Persaingan ketat di industri

Acara Hooq di Indonesia beberapa waktu lalu
Acara Hooq di Indonesia beberapa waktu lalu

Di awal kehadirannya fokus Hooq adalah menayangkan berbagai konten film dan serial TV dari Hollywood. Dalam setahun terakhir, Hooq Indonesia menghadirkan konten original, pilihan berlangganan konten freemium, dan Live TV di platform mereka.

Hooq Indonesia menjalin kemitraan dengan sejumlah rumah produksi, sehingga setiap film yang didukung akan tersedia secara eksklusif tidak lebih dari 120 hari setelah penayangan di bioskop.

Melihat opsi likuidasi yang harus diambil, bisa dibilang persaingan di industri ini sangat ketat, termasuk dengan para pemain global, seperti Netflix dan Amazon Prime Video. Selain di Indonesia, Hooq juga tersedia di Singapura, Filipina, Thailand, dan India.

Application Information Will Show Up Here

CVC Milik Coca-Cola “Amatil X” Kucurkan Investasi Pertamanya ke Kargo Technologies

Setelah resmi meluncur awal tahun 2019 lalu, Coca-Cola Amatil Indonesia (Amatil Indonesia) melalui inisiatif corporate venture capital (CVC) Amatil X, telah menjalin kerja sama strategis dengan startup di Indonesia.

Kolaborasi terbaru yang diumumkan adalah dengan Kargo Technologies, dilakukan untuk membantu memperluas strategi bisnis dan proses digitalisasi logistik di Indonesia. Kerja sama ini turut membuahkan investasi pertama Amatil X kepada startup Indonesia, yang diharapkan bisa meningkatkan kemampuan logistik Amatil secara keseluruhan.

“Sebagai kekuatan di balik merek minuman favorit Indonesia, kami percaya bahwa investasi kami di Kargo Technologies akan mendukung ambisi Amatil Indonesia untuk menjadi pemain terkemuka dalam ekosistem digital di Indonesia,” kata Presiden Direktur Coca-Cola Amatil Indonesia Kadir Gunduz.

Tidak disebutkan lebih lanjut berapa nilai investasi yang diberikan Amatil X kepada Kargo Technologies. Namun menyesuaikan komitmen mereka, Amatil X tidak hanya meningkatkan keunggulan kompetitif perusahaan melalui CVC, namun juga ingin membantu dan bekerja sama dengan startup lokal yang tepat untuk bisnis Amatil Indonesia.

“Saat ini, Amatil X fokus untuk melakukan investasi pada startup yang menawarkan inovasi untuk strategi penjualan produk pada konsumen, pengiriman minuman, membantu pelanggan untuk tumbuh dan mengurangi dampak pada lingkungan. Amatil X juga mencari startup yang dapat mendukung upaya perusahaan dalam menyelesaikan tantangan bisnis dan membantu meningkatkan pelayanan pelanggan dengan lebih baik,” kata Head of Amatil X, Coca-Cola Amatil Alix Rimington.

Memperkuat logistik dan mengoptimalkan rantai pasokan

Tim dan manajemen Kargo Technologies
Tim dan manajemen Kargo Technologies

Menurut CEO Kargo Technologies Tiger Fang, logistik yang didukung teknologi merupakan tren yang telah terbukti di pasar lain, termasuk India, Tiongkok, dan Amerika Serikat. Pihaknya juga menyambut baik kerja sama strategis ini dan berharap dapat bekerja dengan Amatil Indonesia untuk lebih mendigitalkan dan mengoptimalkan rantai pasokan mereka di Indonesia.

Nantinya pendanaan yang diberikan oleh Amatil X akan digunakan oleh perusahaan untuk memenuhi kebutuhan logistik yang dibutuhkan oleh Coca Cola Amatil serta meningkatkan efisiensi operasional logistik tersebut dengan teknologi milik Kargo Technologies.

Didirikan oleh mantan Country Manager Uber Indonesia Tiger Fang (CEO) dan Yodi Aditya (CTO), Kargo Technologies melihat permasalahan selama ini truk pulang tanpa muatan setelah pengantaran di sentra-sentra produksi. Kargo Technologies berharap bisa meminimalisir hal ini sambil memenuhi kebutuhan perusahaan-perusahaan e-commerce dan FMCG.

Secara khusus perusahaan menawarkan platform berbasis mobile, di platform Android untuk memudahkan perusahaan pengguna dan pengirim berinteraksi dan memantau pergerakan kiriman secara real time.

“Kargo Technologies menghubungkan bisnis dan kebutuhan pengiriman mereka dengan perusahaan angkutan truk yang memiliki kendaraan, dengan ruang kargo yang tersedia di dekatnya. Hal yang terpenting, Kargo dapat mengambil banyak muatan untuk backhaul. Artinya, truk dapat kembali dengan muatan kosong yang lebih sedikit, sehingga memungkinkan mereka untuk memaksimalkan pendapatan dan mendistribusikan biaya dengan lebih baik,” kata Tiger.

Kargo Technologies merupakan marketplace logistik yang menghubungkan perusahaan dan layanan penyedia truk. Pertengahan tahun lalu mereka perolehan pendanaan senilai $7,6 juta (lebih dari 107 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh Sequoia India dan 10100 Fund — yang terakhir ini didirikan oleh Co-Founder Uber Travis Kalanick.

Application Information Will Show Up Here

Baru Dibuka November Lalu, Eatsy Indonesia Tutup Layanan

Baru saja  meluncur bulan November 2019 lalu di Indonesia pasca perolehan pendanaan dari East Ventures, startup Singapura yang memosisikan diri sebagai dining mobile app Eatsy mengumumkan penutupan layanan di Indonesia mulai tanggal 1 April 2020 mendatang.

Dalam pernyataan resminya, alasan utama penutupan dilakukan karena makin masifnya penyebaran virus COVID-19 di Indonesia. Akibatnya makin banyak pemilik bisnis kuliner yang menutup restoran dan tempat makan mereka untuk mengantisipasi penyebaran meluas virus tersebut. Anjuran untuk bekerja di rumah juga menjadi alasan penurunan jumlah orang yang berkunjung ke restoran dan memesan makanan.

Country Manager Eatsy Indonesia Geoffrey Wardiman kepada DailySocial enggan bercerita lebih lanjut soal penutupan ini. Di Indonesia sendiri Eatsy sudah memiliki beberapa anggota tim lokal.

Aplikasi Eatsy membantu pengguna memesan antrean dan makanan di restoran. Ketika sampai di restoran, konsumen tidak perlu lagi menunggu lama untuk antre tempat duduk dan memesan hidangan. Startup yang berbasis di Singapura disebut telah memiliki 400 rekanan merchant di Singapura. Solusi yang ditawarkannya diklaim berhasil mendongkrak penjualan hingga 1,5 kali lipat.

Penurunan bisnis kuliner saat pandemik COVID-19

Aplikasi Eatsy
Aplikasi Eatsy

Makin masifnya penyebaran virus COVID-19 secara langsung berimbas kepada bisnis kuliner di Indonesia. Menurut riset yang dilakukan Moka, daerah Jabodetabek mengalami penurunan pendapatan harian yang cukup signifikan untuk industri F&B, walau tidak setajam Bali dan Surabaya.

Anjuran dari pemerintah untuk tidak keluar dari rumah guna memperlambat laju penyebaran COVID-19, membuat masyarakat tinggal lebih banyak di rumah. Perubahan perilaku ini menyebabkan peningkatan pembelian makanan yang dibawa pulang (take-away food). Meningkat sebesar 7% di bulan Januari hingga Februari 2020.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, pihak manajemen Gojek telah meluncurkan Gojek Partner Support Fund yang bertujuan membantu mitra pengemudi dan merchant restoran tetap bisa berakivitas.

Application Information Will Show Up Here

Platform Analitik Widya Analytic Luncurkan Portal Monitoring COVID-19 Berbasis Analisis “Big Data”

Bertujuan memastikan informasi yang didapatkan masyarakat adalah benar terkait dengan penyebaran virus COVID-19, startup Yogyakarta yang fokus mengembangkan credit scoring system atau social modelling system, Widya Analytic, meluncurkan situs Monitoring & Analysis for Indonesia COVID-19 Mitigation.

Kepada DailySocial, CTO Widya Analytic Mardhani Riasetiawan mengungkapkan, portal ini diluncurkan sebagai bentuk sumbangsih kapabilitas perusahaan dalam mengumpulkan data, melakukan pengolahan data modelling dari sumber yang tidak terstruktur, dan melakukan analisis pada AI engine dengan model credit socring system. Perusahaan mengklaim teknologi yang dimiliki bisa digunakan untuk membantu pemerintah menyediakan informasi dasar dan pemantik agar stakeholder mengetahui situasi saat ini dan menentukan langkah-langkah kedepan.

“COVID-19 adalah musuh bersama saat ini, sehingga kami terpanggil untuk menggunakan teknologi big data dan AI untuk membantu menahan laju persebaran dengan data. Konsep yang kami kenalkan adalah pendekatan 360 derajat dalam melihat suatu data. Khususnya pada big data, maka data tidak hanya dimaknai satu arah/dimensi, tetapi dapat dimaknai berbagai perspektif bahkan 360 derajat,” kata Mardhani.

Nantinya masyarakat bisa memantau secara real time pergerakan dari penyebaran virus, jumlah pasien yang tertular hingga mereka yang dinyatakan sembuh. Semua informasi tersebut dikumpulkan melalui kolaborasi dengan Lab riset sistem komputer dan jaringan di FMIPA UGM.

“Skema pada covid19.gamabox.id fokus kepada data gathering dan manajemen relawan dan dispay hasil analisinya. Kemudian yang tersedia di situs Widya Analytic lebih kepada engine analytics dengan dukungan data center dan display hasil analisisnya. Cara kerja dua engine yag diletakkan di gamabox (UGM) dan Widya Analytic bersama-sama mengidentifikasi data sumbernya dan koleksi data, kemudian dikumpulkan menjadi dataset, dilakukan analisis terhadap dataset, apakah data yang diiginkan ada atau tidak, misalnya jumlah kasus, lokasi, status dan seterusnya,” kata Mardhani.

Selain Widya Analytic, sejumlah startup (termasuk Qlue, Kata.ai, Volantis, dan Qiscus) yang menjadi portofolio MDI Ventures membangun portal Indonesia Bergerak dengan semangat serupa.

Rencana Widya Analytic

Portal monitoring COVID-19 milik Widya Analytic
Portal monitoring COVID-19 milik Widya Analytic

Ke depannya teknologi yang dikembangkan Widya Analytic akan digunakan untuk keperluan berbagai sektor. Hal ini konsisten dengan tujuan awal perusahaan untuk menyediakan platform data analytics yang menunjang credit scoring system dan decision option di berbagai bidang. Saat ini perusahaan sudah mendukung beberapa proyek, termasuk di perusahaan ritel dan distribusi, bidang kesehatan, customer experience, dan product/brand monitoring.

“Dengan case yang sudah kami dukung, diharapkan platform ini bisa dan dapat optimal untuk berbagai use case yang ada, dan secara bersamaan kami membangun AI berbasis use case tadi untuk mendukung smart nation berbasis AI di masa depan,” kata Mardhani.

Didirikan oleh Kiwi Aliwarga (Founder) Alwy Herfian S (Co-Founder), Mardhani (Co-Founder/CEO), perusahaan memiliki beberapa target yang ingin dicapai. Di antaranya berfokus pada pengembangan model bisnis, kolaborasi dan juga scaling up perusahaan. Widya Analytic adalah salah satu portofolio UMG Idealab.

“Dalam kurun waktu 4 bulan kami sudah doubling resource dan terus akan mengoptimalkan. Perusahaan saat ini sangat berfokus untuk masuk dalam social movement yaitu sektor kemasyarakatan dan kemanusiaan sehingga kami menjadi single platform data driven. Akhir kuartal 2 ini layanan-layanan project Wiz dan Orion akan kami luncurkan ke publik sehingga kuartal 3 dan 4 kami akan focus ke customer development,” kata Mardhani.

Lanskap Platform Produk Kecantikan dan Perawatan Pribadi di Indonesia

Salah satu industri yang mulai banyak digarap wirausahawan lokal adalah segmen kecantikan dan perawatan pribadi (personal care). Tercatat saat ini industri kecantikan dan perawatan pribadi dunia pada tahun 2019 dikabarkan bernilai $532 miliar.

Tidak dapat dipungkiri, adanya kemudahan akses informasi tentang tren gaya hidup melalui media sosial mendorong adopsi yang lebih masif, meniru apa yang sudah terjadi di sejumlah negara maju.

Di Indonesia sendiri layanan seperti ini, termasuk yang berbasis teknologi, sebagian besar menyasar kalangan perempuan. Meskipun demikian, mulai ada startup perawatan pribadi yang menyediakan produk perawatan untuk laki-laki.

Meskipun masih harus bersaing dengan brand konvensional yang jauh lebih berpengalaman, kehadiran startup yang menyasar produk kecantikan dan  perawatan pribadi bisa menjadi alternatif bagi masyarakat menikmati layanan dan produk dengan harga terjangkau.

Konsep Direct to Consumer

Nilai pasar industri kecantikan di Indonesia diperkirakan mencapai $5,8 miliar. Pertumbuhan tertinggi, sekitar 9,6%, terjadi di kategori produk perawatan kulit.

Startup seperti Base, Callista, Social Bella, dan Neuffa mencoba menyasar pasar ini dan kebanyakan menerapkan konsep Direct to Consumer (DTC).

Penerapan DTC menjadi solusi agar aktivitas di platform memberikan pengalaman berinteraksi yang berbeda, termasuk personalisasi.

“Dengan DTC, sebagai praktisi bisnis, kami dapat memberikan brand experience yang lebih holistik. Selain itu, kami mengembangkan algoritma berdasarkan jurnal-jurnal sains terkini untuk memberikan hasil analisis kulit kepada konsumen. Hasil analisis ini kemudian akan diolah oleh algoritma kami untuk menentukan bahan baku [active ingredient] apa yang dibutuhkan oleh konsumen,” kata CEO Base Yaumi Fauziah Sugiharta.

Untuk membeli produk Base, konsumen, biasa disebut “Base Friends”, terlebih dahulu melakukan konsultasi kulit secara virtual melalui fitur Skin Test sebelum mengirimkan produk yang sesuai dengan kondisi kulit, “skin goals”, dan gaya hidup mereka.

Sementara bagi Callista, penerapan Direct to Consumer, selain secara online, juga secara langsung melalui personal beauty assistant untuk mempermudah pelanggan mendapatkan paket produk personalisasi yang sesuai dengan masalah dan jenis kulit mereka.

“Setiap bulannya beauty asisstant kami akan melakukan follow up melalui WhatsApp untuk melihat progress dan melakukan optimalisasi pada paket perawatan selanjutnya,” kata Co-Founder & CEO Callista Ryan Narendra.

Di sisi lain, HelloBeauty menyediakan teknologi Software-as-a-Service (SaaS) untuk membantu para beauty artist (penyedia layanan kecantikan) mengelola, mempromosikan, dan mengembangkan layanan atau bisnis kecantikan dengan lebih mudah dengan bantuan teknologi. SaaS ini bisa digunakan dengan sistem berlangganan.

“HelloBeauty tentu menerapkan proses Direct to Consumer dalam menciptakan produk, marketing, penjualan hingga user retention karena dibutuhkan edukasi pengguna dengan benar,” kata CEO HelloBeauty Dennish Tjandra.

Model bisnis seperti ini, menurut Dennish memiliki tantangan yang cukup rumit, dilihat dari banyaknya pemain yang tumbang di Asia Tenggara.

Vanitee dan Vaniday di Singapura dan Bfab di Malaysia sudah tidak beroperasi. Bahkan akhir tahun lalu Go-Glam juga menutup layanannya.

“Hal ini bisa jadi menunjukkan bahwa industri layanan kecantikan digital masih sangat early stage dan menjadi tantangan bagi kami untuk mengedukasi pasar secara baik dan benar,” kata Dennish.

Tren dan tantangan startup lokal

Salah satu alasan tumbuhnya pasar di segmen ini adalah masuknya produk dan tren dari Korea Selatan. Apalagi dengan tren K-Pop dan K-Drama di berbagai negara, termasuk Indonesia.

“Audiens kami cenderung mengenal sosial media sejak dini dan terpapar dengan Korean Wave yang masuk ke Indonesia sejak awal 2006. Hal ini, turut membentuk persepsi audiens kami terhadap gaya hidup ataupun kultur. Sampai hari ini, masih banyak brand kosmetik lokal yang mengeluarkan produk kosmetik ala Korea Selatan seperti bedak cushion yang banyak digunakan oleh artis dan penyanyi dari negara ginseng tersebut,” kata Yaumi.

Hal senada diungkapkan Dennish yang melihat masuknya produk asal Korea Selatan ke Indonesia secara langsung ikut mendorong industri kecantikan di Indonesia. Namun Dennish melihat, produk-produk kecantikan lokal di Indonesia saat ini juga tidak kalah hebat.

Kebutuhan kulit orang Indonesia berbeda dengan orang Korea Selatan atau negara lainnya. Produk lokal dianggap memiliki kesempatan yang besar untuk lebih unggul, karena memahami dan sesuai dengan kebutuhan kulit orang Indonesia.

“Yang kadang disayangkan adalah masih banyaknya konsumen di Indonesia yang memandang bahwa brand luar lebih baik kualitasnya dari brand lokal Indonesia. Padahal belum tentu seperti itu. Banyak produk kecantikan lokal Indonesia yang punya kualitas lebih baik dari produk luar,” kata Dennish.

Persoalan tersebut diklaim masih menjadi tantangan startup yang menyasar industri produk kecantikan dan perawatan tubuh. Untuk bisa bersaing dengan produk luar, Yaumi mengajak para pemain lokal untuk bisa lebih kreatif dalam menjangkau pasar dengan bekal kapital atau modal yang efisien.

Strategi lain yang dianggap ampuh menambah jumlah pelanggan adalah melakukan pendekatan personalisasi. Salah satunya dengan layanan konsultasi.

“Saya melihat saat ini personalized skin care merupakan tren yang sedang terjadi di tahun 2020,” ujar Ryan.

Minat investor

Dukungan investor memiliki peranan penting bagi startup. Selain untuk mempercepat pertumbuhan, menemukan investor sebagai mitra yang tepat dan mengerti industri kecantikan penting untuk perkembangan bisnis ke depannya.

Meskipun belum banyak jumlah startup yang menawarkan produk dan layanan kecantikan saat ini, beberapa investor mulai banyak melirik model bisnis yang mereka tawarkan, termasuk venture capital seperti East Ventures dan program akselerasi Gojek Xcelerate.

Salah satu alasan mengapa sejumlah investor tertarik berinvestasi ke startup teknologi yang berkutat di industri kecantikan adalah pendekatan personalisasi ke pelanggan dan pemahaman yang kuat akan industri yang mereka sasar.

Beauty merupakan sektor yang menarik, karena masyarakat indonesia mencari produk-produk beauty inovasi baru yang bagus namun terjangkau. Selain itu, potensinya juga besar, bukan ‘industry winner takes all‘ tetapi bisa ada beberapa pemain besar,” kata Partner East Ventures Melisa Irene.

East Ventures telah memberikan pendanaan tahap awal tahun lalu ke Base, sementara marketplace Social Bella (dengan brand Sociolla) telah mendapatkan sejumlah pendanaan lanjutan dan termasuk dalam jajaran startup bervaluasi di atas $100 juta (centaur).

“Kami mengerti bahwa setiap investor memiliki preferensi masing-masing mengenai jenis industri ataupun lini bisnis yang ingin digeluti. Sampai saat ini, kami sudah bertemu dengan investor yang memang memiliki fokus ataupun ketertarikan di bidang kecantikan, wellness, consumer goods, e-commerce, dan retail. Sejauh ini, kami mendapatkan respon dan masukan positif,” kata Yaumi.

Sementara itu, Gojek Xcelerate melihat pencapaian Callista yang signifikan dalam menciptakan produk dan layanan kecantikan. Mereka terus mendorong Callista untuk memperluas skala bisnis dan mencapai pertumbuhan yang signifikan.

Tahun ini Callista memiliki sejumlah target yang ingin dicapai, termasuk fokus ke jalur offline melalui program beauty ambassador. Hal tersebut dilakukan berdasarkan pengalaman, karena banyak pelanggan yang membeli produk Callista apabila direkomendasikan teman atau keluarganya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Introducing Attendance Application to Support Work From Home System

In supporting the work from home (WFH) system as recommended by the government to avoid the Corona Virus outbreak, Talenta by Mekari has launched the mobile app to manage employee attendance in a practical and simple way named Attendance by Talenta.

Mekari’s CEO, Suwandi Soh told DailySocial that the application is now available on Play Store and allows free access for everyone working remotely in time of this pandemic.

This app offers free access for 120 days after the activation within March 17-31, 2020. However, it’s possible to extend the period whether the work-from-home notice is still ongoing.

“Furthermore, the Attendance by Talenta app will use the freemium format, there is the possibility of additional charges for accessing certain features or services. In addition, Attendance can also be linked to the Talenta application which has more complete HR support features such as payroll or employee benefits management,” Suwandi said.

Attendance by Talenta introduced with aims to be the practical and transparent attendance management solution for business owners and employees. It was designed to be more flexible for companies without such term as to involve the whole company, there can be just 1 team to use it for employee management and monitoring, the most-mobile division, for example, the sales team.

“This application uses all mobile-based technology, therefore, employee monitoring can be done in real-time by the company’s admin via a smartphone. There will be two types of users, admin and employee. This monitoring will be seen on users who log in as the admin,” he added.

There are some leading features to be utilized by companies, including Live Attendance, Real-Time Monitoring, Automatic Attendance Recap to Shifting Management. With the selfie check-in and check-out feature and GPS-based location recording, employees will be able to make an absence directly from their cellphone.

“Most smartphone users in Indonesia are currently using the Android operating system, therefore, we put this application first on Playstore. However, it will soon be available on iOS,” Suwandi said.

In fact, other than attendance, business owners can also do other things to make a successful WFH system. For example, Kata.ai provides a technology-based workspace that makes it easier for teams to produce and measure their output. Instead of attendance, they choose to hold meetings through video calls to ensure smooth communication in order to complete tasks on the day.

It’s agreed by eFishery, increasing collaboration through digital media became a choice. Collaboration indirectly supports the presence of each employee. Using the to-do list application will also ensure that every division in the company is always on a measurable productivity path.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here