Lewat Aksesori Baru DualShock 4, Sony Adopsi Fitur Terbaik di Controller Xbox One Elite

Controller Xbox One Elite merupakan salah satu varian gamepad termahal, tapi ada alasan kuat mengapa Microsoft membanderolnya di harga tinggi. Melengkapi fitur semi-modular yang diterapkan pada desain familier, produsen membubuhkan rangkaian paddle analog dengan resistensi yang bisa dikustomisasi. Kelengkapan ini tampaknya menginspirasi sang rival untuk me-upgrade perangkat miliknya.

Minggu ini, tim PlayStation memperkenalkan Back Button Attachment, yaitu aksesori tambahan untuk DualShock 4 khusus bagi mereka yang membutuhkan sistem input lebih presisi, sangat cocok bagi gamer kompetitif. Pengoperasiannya dijanjikan sederhana dan kehadirannya tidak mengganggu kenyamanan serta merusak aspek ergonomis dari DualShock 4. Singkat cerita, Back Button Attachment ialah jawaban Sony atas paddle analog di controller Xbox One Elite.

Back Button Attachment dirancang untuk dibubuhkan di area bawah DualShock 4. Aksesori tersambung ke controller via colokan EXT (charging) dan audio 3,5mm. Penampilannya ramping dan di sana ada dua buah tombol tactile serta layar OLED ‘high-fidelity‘. Setelah terhubung, Anda bisa mengatur fungsi dua tombol Back Button Attachment sesuai keinginan. Ia mampu membaca 16 tombol esensial yang ada di DualShock 4, seperti segitiga, lingkaran, R1 serta R2 dan lain-lain.

Back Button Attachment 1

Selanjutnya, layar OLED akan menyediakan informasi langsung dari fungsi tombol yang sedang aktif. Misalnya jika tombol kiri Back Button Attachment sedang difungsikan sebagai input alternatif tombol silang, sedangkan menekan tombol kanan akan mengaktifkan L2. Kustomisasi dapat dilakukan langsung ketika game sedang dimainkan dan Anda dipersilakan untuk menyimpan maksimal tiga buah profil berbeda.

Back Button Attachment 2

Back Button Attachment tidak lupa dibekali port audio 3,5mm pass-through, sehingga kita tetap bisa menyambungkan headset berkabel ke unit controller. Sony juga bilang bahwa aksesori ini sudah lulus proses uji coba dan dijanjikan kompatibel dengan seluruh permainan PlayStation 4, termasuk judul-judul PlayStation VR. Buat saya pribadi, tombol tactile akan sangat berguna di permainan-permainan yang membutuhkan keakuaratan tinggi seperti Sekiro, Nioh, dan Jedi: Fallen Order.

Back Button Attachment 3

Sejauh ini, Sony belum membahas konsumsi daya dari Back Button Attachment, namun saya berasumsi ia akan menguras baterai DualShock 4 lebih cepat. Anda juga harus melepasnya jika ingin melakukan pengisian ulang lewat charging station/dock. Pertanyaan lainnya adalah, apakah Back Button Attachment juga akan kompatibel dengan DualShock ‘5’ ketika tersedia nanti?

Rencananya, Sony akan meluncurkan Back Button Attachment terlebih dulu di wilayah Amerika Serikat dan Kanada pada tanggal 23 Januari 2020. Produk dibanderol seharga US$ 30.

Series X Hanyalah Nama Model, Console Next-Gen Microsoft Cukup Disebut Xbox

Salah satu kejutan terbesar di acara The Game Awards 2019 minggu kemarin ialah pengumuman resmi console next-gen Microsoft. Sang produsen menamainya Xbox Series X, memperkenalkannya secara kasual sembari memperlihatkan wujudnya. Hilang sudah desain pipih yang biasanya lekat dengan produk home console. Xbox Series X lebih menyerupai PC small form ala Corsair One.

Setelah melepas Xbox One X – versi lebih canggih dari console current-gen Microsoft – penamaan Series X terasa membingungkan. Mengapa Microsoft tampak terobsesi dengan huruf X? Nyatanya bukan begitu. Kepada Business Insider, seorang perwakilan Microsoft menyampaikan bahwa kita cukup menyebut produk anyar mereka ‘Xbox’, tak berbeda dari perangkat gaming perdana yang perusahaan luncurkan 18 tahun silam.

Langkah ini pada dasarnya merupakan re-branding terhadap lini produk, membuatnya jadi terdengar lebih sederhana, sekaligus menggarisbawahi niatan tim Xbox ke depan. Sang perwakilan Microsoft mengonfirmasi agenda untuk menambah jumlah model console next-gen, seperti yang mereka sudah lakukan di generasi ini lewat Xbox One X, One S dan Xbox One S All Digital. Betul sekali, Series X hanyalah satu dari varian yang Microsoft tengah siapkan.

Khusus untuk Series X, Microsoft menjanjikan kemampuan olah data empat kali lipat dibanding Xbox One X. Berbekal teknologi baru AMD, console next-gen tersebut kabarnya sanggup menghidangkan game di setup 4K 60fps, atau jika Anda menginginkannya, menikmati permainan di resolusi 8K atau di refresh rate 120Hz. Kapabilitas ray tracing (yang belakangan dipopulerkan Nvidia lewat GPU RTX) katanya juga hadir di sana.

Banyak orang menduga, sulit bagi Microsoft untuk membanderol Xbox Series X di harga yang terjangkau. 4K 60fps saat ini masih menjadi standar ‘mewah’ bagi mayoritas gamer dan hanya dapat diakses oleh sebagian kecil pemain PC. Melihat dari perspektif console, produsen biasanya tidak mengambil untung besar dari penjualan hardware. Sebagai perbandingan, di PC, setting 4K 60fps di game-game baru menuntut modal ribuan dolar. Itu berarti, Microsoft memerlukan tipe dasar dengan harga yang lebih merakyat sebagai tulang punggung penjualan.

Di bulan Juli 2018, Thurrott sempat melaporkan bahwa setidaknya Microsoft sudah menyiapkan dua tipe hardware untuk console next-gen mereka: satu model disajikan secara tradisional (waktu itu disebut Scarlett), kemudian alternatifnya adalah Scarlett Cloud yang mengusung metode streaming – disuguhkan lewat set-top box dan ditopang oleh teknologi cloud serta data center Microsoft.

Namun selain Xbox Series X, belum ada lagi varian Xbox next-gen yang Microsoft umumkan. Perwakilan Microsoft bilang, “Kami sangat bersemangat untuk memperlihat pada gamer seperti apa pengalaman gaming di masa depan lewat Xbox Series X. Tapi untuk sementara ini, tidak ada lagi yang bisa kami ungkap.”

Dana Crowdfunding Game Star Citizen Kini Melampaui $ 250 Juta

Ketika sebuah game diumumkan, menanti perilisannya memberikan sensasi tersendiri. Di waktu ini, developer biasanya mengungkap update dan para gamer akan menginterpretasikan informasi itu sembari berharap tim pengembang sanggup menepati seluruh janjinya. Namun ada pula permainan yang dikembangkan dengan begitu ambisius, sehingga kita tidak tahu lagi kapan ia siap meluncur. Star Citizien ialah satu contohnya.

Pengerjaan Star Citizen dimulai di tahun 2011, dipimpin oleh Chris Roberts selaku pencipta seri Wing Commander yang populer di tahun 90-an bersama studio barunya, Cloud Imperium Games. Proyek tersebut didanai melalui metode crowdfunding, dan dalam waktu singkat (di tahun 2012), developer berhasil mengumpulkan modal US$ 6 juta. Dan delapan tahun sesudah mulai digarap, Cloud Imperium Games mengumumkan bahwa dana pengembangan Star Citizen telah melampaui US$ 250 juta terlepas dari belum adanya jadwal rilis.

Berbeda dari permainan lain, pengembangan Star Citizen dilakukan secara ‘terdistribusi’. Prosesnya dilakukan oleh Cloud Imperium Games dan Foundry 42 dengan studio yang tersebar di Austin, Frankfurt, Santa Monica, Wilmslow dan Derby. Masing-masing tim fokus pada ‘modul’ berbeda yang nantinya akan jadi komponen Star Citizen. Menggunakan MMO sebagai basisnya, permainan ini mencoba mengombinasikan genre berbeda: simulasi pertempuran ruang angkasa, trading, hingga first-person shooter.

Uang US$ 250 juta tersebut berasal dari 2,45 juta lebih pemain. Angka ini begitu besar, melampaui modal yang dibutuhkan dalam pembuatan mayoritas permainan blockbuster. Sebelumnya, dana crowdfunding Star Citizen menembus US$ 200 juta di bulan November 2018. Developer juga memperoleh investasi privat senilai US$ 46 juta, tapi mereka tidak menyertakannya di informasi funding. Itu berarti, rata-rata gamer/backer mengeluarkan uang US$ 130 ribu per hari untuk membeli konten virtual (berupa pledge atau pesawat).

Bulan kemarin, Star Citizen juga memperoleh pemasukan sebesar US$ 9,5 juta sebelum ajang CitizenCon 2019 di kota Manchester dilangsungkan. Di sana, Chris Roberts memamerkan planet baru yang tertutup salju bernama microTech. Pemain dipersilakan menjelajahinya melalui rilis versi alpha 3.8, rencananya akan tersedia di bulan Desember ini. Selain itu, Cloud Imperium juga menyingkap Theatres of War, yakni mode multiplayer 20v20 yang memadukan shooter dengan formula pertempuran berbasis kendaraan.

Tahun depan, developer berniat untuk memulai uji coba beta mode single-player Star Citizen bertajuk Squadron 42 yang peluncurannya lama tertunda. Mode ini dirancang sebagai ‘penerus spiritual’ permainan Wing Commander, akan dibagi menjadi beberapa episode. Bagian pertamanya menyuguhkan 70 misi, menjanjikan waktu bermain kurang lebih 20 jam. Squadron 42 juga dimeriahkan oleh aktor-aktor Hollywood seperti Gary Oldman, Mark Hamill, Gillian Anderson, Mark Strong, Liam Cunningham serta Andy Serkis.

Via Eurogamer & GamesIndustry.

Half-Life: Alyx Bahkan Belum Bisa Meyakinkan Tim Xbox Buat Berkecimpung di VR

Beberapa tahun setelah tersedianya head-mounted display virtual reality kelas konsumen, bermunculan-lah banyak game berkualitas. Mereka bukan lagi tech demo yang dirancang buat memperkenalkan VR, namun menyajikan konten eksklusif virtual reality yang tak kalah dari permainan-permainan blockbuster. Judul-judul seperti Lone Echo dan Asgard’s Wrath ialah beberapa contohnya.

Dan Anda mungkin sudah tahu, Valve Corporation saat ini tengah mencurahkan perhatiannya untuk mengembangkan satu permainan VR raksasa, yaitu Half-Life: Alyx. Alyx merupakan game khusus virtual reality yang menjanjikan durasi bermain setara Half-Life 2, dengan konten dan dunia berskala besar demi mendorong pemain buat berjelajah. Lewat virtual reality, Valve bermaksud memperkenalkan formula gameplay baru berbasis controller motion Index.

Pengembangan Half-Life: Alyx sudah berlangsung cukup lama, dan para tester wajib menjaga kerahasiaan eksistensinya. Seorang tester bahkan telah terlibat proses pengujian selama 4,5 tahun. Beberapa individu seperti bos Xbox Phil Spencer juga diberikan kesempatan untuk mencicipinya lebih dulu sebelum game dirilis di bulan Maret nanti. Namun dengan premis yang begitu menarik, Spencer masih belum yakin game virtual reality seperti Half-Life: Alyx betul-betul diinginkan gamer.

Pernyataan tersebut diungkap sang bos Xbox pada wawancara bersama Stevivor terkait mengapa Xbox belum mengintegrasikan VR ke layanannya. Spencer bilang bahwa beberapa aspek di virtual reality terasa masih mengganjal. Menurutnya, VR mengisolasi pengguna padahal seharusnya permainan video bersifat komunal dan dapat dinikmati bersama-sama. Meski begitu, ia mengaku sangat menghargai upaya para pionir teknologi, dari mulai ahli AI, fisik, 3D, ray tracing, termasuk augmented dan virtual reality.

Spencer menyampaikan, dalam menghadirkan produk, Microsoft selalu berusaha merespons keinginan pelanggan dan sejauh ini gamer Xbox belum meminta produk VR. Mayoritas konsumen tahu jika mereka menginginkan konten virtual reality, ada platform lain yang lebih baik buat menyuguhkannya: PC. Kemudian dilihat dari sisi komersial, belum ada satu produsen perangkat VR pun yang mampu menjual produknya dalam hitungan jutaan unit.

Xbox dan VR sejauh ini punya hubungan yang tidak biasa. Dahulu sebelum Xbox One X resmi diumumkan, Microsoft sempat bilang bahwa performa hardware Project Scorpio (codename-nya saat itu) tidak kesulitan buat menopang headset virtual reality layaknya PC. Namun ketika dirilis, Xbox One X malah tidak dibekali dukungan ke HMD VR.

Dan dengan pernyataan Phil Spencer tersebut, ada dugaan kuat kompatibilitas ke VR kembali absen di unit Xbox next-gen. Kita tahu, Microsoft tengah mencurahkan perhatiannya untuk mengekspansi pengalaman bermain melalui pengembangan layanan cloud gaming. Sementara itu, Sony sebagai rival utamanya memilih buat tetap mempertahankan kapabilitas VR di PlayStation 5. PSVR ‘generasi pertama’ akan kompatibel dengan console anyar mereka.

Kabarnya Amazon Akan Luncurkan Layanan Cloud Gaming Dengan Integrasi Twitch Tahun Depan

Google Stadia akhirnya resmi meluncur minggu ini lewat Founder’s dan Premiere Edition. Ia memang bukan layanan cloud gaming pertama, namun mayoritas khalayak mempercayai pengalaman Google di ranah teknologi. Tapi meski Stadia beroperasi seperti yang Google inginkan, banyak pakar merasa bahwa platform ini belum sepenuhnya siap – apalagi sejumlah fitur penting belum ada di sana.

Ada banyak hal yang harus Google lakukan agar Stadia mampu merangkul lebih banyak pengguna, apalagi dalam waktu ke depan, kompetisi dipastikan akan jadi kian ketat. Ketika Stadia baru mampu menawarkan 22 game, Microsoft xCloud sudah didukung oleh 50 permainan di masa uji coba dan ia dijadwalkan untuk tiba di PC tahun depan. Dan Anda juga mungkin telah mendengar agenda Amazon buat menyediakan layanan gaming on demand serupa.

Berdasarkan laporan CNET, raksasa teknologi asal Seattle itu berencana untuk memperkenalkan platform cloud gaming-nya tahun depan. Langkah tersebut boleh katakan sebagai ekspansi bisnis mereka di ranah gaming. Lewat kanal eCommerce-nya, Amazon sudah lama menjual game, console/hardware resmi serta segala macam aksesori pendukung gaming. Dan kita tahu, Amazon telah mengambilalih Twitch di 2014 – salah satu layanan video streaming game terbesar di dunia.

Dalam pengembangan platform cloud gaming, Amazon sudah mulai merekrut talenta-talenta berpengalaman yang sempat bekerja di perusahan gaming besar, seperti Microsoft. Mereka juga membuka lowongan di tim Amazon Web Services untuk mengeksekusi ‘inisiatif baru’. Menurut pengakuan dua narasumber pada CNET, semua ini berkaitan dengan ekspansi layanan gaming Amazon di masa depan.

Dan tidak tanggung-tanggung, Amazon turut mengakui niatannya untuk mengintegrasikan Twitch dan layanan-layanan lain milik perusahaan ke platform gaming on demand mereka.

Di salah satu posting lowongan pekerjaan, Amazon sempat bilang, “Kami percaya evolusi yang dahulu dicetus oleh komunitas arcade telah berkembang menjadi tren live stream dan esports yang sangat populer sekarang. Industri gaming akan terus tumbuh hingga semua orang dapat jadi gamer, dan tiap gamer bisa berkreasi, bertanding, berkolaborasi dan saling berhubungan dengan sesamanya dalam skala masif.”

Sekali lagi, gaming bukanlah hal baru bagi Amazon. Di tahun 2012 mereka mendirikan tim developer first-party Amazon Game Studios. Saat ini mereka tengah menggodok Crucible (permainan last man standing berbasis kelas yang mengadu 12 pemain) dan New World (MMO sandbox bertema supernatural). Sayangnya dua permainan ini masih belum dirilis oleh Amazon Game Studio, dan bersamaan dengan ajang E3 2019 kemarin, studio malah diketahui merumahkan sejumlah karyawannya.

Via The Verge. Header: Amazon.

Peran Unreal Engine Dalam Serial Star Wars: The Mandalorian

The Rise of Skywalker rencananya akan jadi film Star Wars ‘terakhir’ sebelum Disney mengistirahatkan sementara franchise sci-fi raksasa ini. Sayang sekali, banyak fans skeptis pada Episode IX setelah dikecewakan oleh arahan sutradara Rian Johnson di The Last Jedi. Namun kabar baiknya, masih ada harapan bagi Star Wars. Perhatian para penggemar kini tertuju pada serial The Mandalorian yang tayang di layanan Disney+.

Jika Anda mengikuti The Mandalorian, mungkin Anda melihat sesuatu yang menarik ketika film ini usai dan bagian credit ditampilkan. Di sana, Lucasfilm/Disney mencantumkan nama yang tidak biasa di ranah perfilman: Epic Games, yaitu studio di belakang permainan Fortnite dan Unreal Tournament. Alasannya? Ternyata Jon Favreau selaku penulis sekaligus pencipta seri ini memanfaatkan teknologi Unreal Engine dalam pembuatan The Mandalorian.

Unreal sendiri ialah engine yang menjadi basis banyak permainan, baik blockbuster maupun independen: The Outer Worlds, We Happy Few, Street Fighter V, Sea of Thieves, hingga Star Wars Jedi: Fallen Order – ada deretan panjang game yang mengusungnya. Engine ini menjadi salah satu pilihan favorit developer karena ‘tingginya portabilitas tinggi’, fleksibilitas, serta kemudahan modifikasi. Pertanyaannya, apa yang dilakukan Unreal di film The Mandalorian?

Di sesi diskusi di konferensi SIGGRAPH 2019, Favreau menjelaskan bagaimana Unreal Engine betul-betul membantu proses previsualisasi. Mereka menggunakan sistem V-cam untuk membuat film dalam bentuk VR, mengirimkannya pada editor dan membiarkan mereka melakukan penyuntingan. Selain itu, kombinasi Unreal Engine serta sejumlah teknologi juga sangat berguna memuluskan alur produksi.

Satu contohnya: Unreal Engine bisa dimanfaatkan untuk membangun lingkungan virtual (computer-generated), kemudian pemandangan tersebut diproyeksikan ke dinding LED. Berdasarkan posisi kamera dan jenis lensa yang digunakan, perspektif pada hasil proyeksi dapat berubah secara natural dan otomatis. Dengan begini, teknologi Unreal dapat memberikan informasi visual langsung untuk para aktor, serta menyediakan sistem pencahayaan akurat bagi tim VFX.

Cara kerjanya seperti ini:

Pada pengambilan adegan tertentu, bergantung dari setting dan jenis lensa, kru dapat melihat jelas letak kamera, seperti apa pencahayaannya, interaksi cahaya terhadap objek/aktor, layout, latar belakang serta horizon. Mereka tidak perlu menyatukan bagian-bagian tersebut lagi karena engine sudah me-render lingkungan/pemandangan secara real-time.

Salah satu keuntungan utama dari metode visualisasi on-set berkat dukungan Unreal adalah, para aktor tak lagi mesti menebak-nebak. Seorang aktor mungkin dapat mendeteksi anomali saat melihat layar LED dari dekat, tapi dalam berakting ia bisa mengetahui jelas kondisi set, letak horison serta pencahayaan berkat pemakaian dinding LED – memastikan proses akting jadi lebih simpel.

Di luar akting, dukungan teknologi Unreal Engine menciptakan situasi yang memperkenankan lebih banyak kru di set memahami adegan yang sedang atau akan diambil. Itu berarti, tiap orang bisa lebih mudah berbagi ide dan saling memberikan masukan.

Peran Unreal Engine di serial The Mandalorian bisa Anda simak lebih lengkap di artikel Venturebeat ini.

Gambar header: StarWars.com.

Ini Dia Permainan-Permainan Finalis The Game Awards 2019

Jurnalis Geoff Keighley memutuskan untuk menciptakan The Game Awards karena acaranya yang sebelumnya ia tangani – Spike Video Game Awards – lama-lama lebih bersifat komersial. The Game Awards dilangsungkan sejak 2014, dan jumlah pemirsanya terus bertambah di tahun-tahun berikutnya. Dan sesuai tradisi, seremoni The Game Awards tahun ini akan digelar di bulan Desember besok.

Menjelang momen seremoni, sudah jadi kebiasaan bagi penyelenggara untuk mengumumkan daftar permainan yang berpeluang merebut gelar-gelar paling bergengsi. Namun tak cuma game, The Game Awards juga menganugerahkan penghargaan pada sosok-sosok yang berkontribusi besar bagi industri. Pemenang nantinya dipilih oleh komite juri, tapi The Game Awards juga mempersilakan para gamer buat memilih langsung permainan-permainan favorit mereka.

The Game Awards 2019 1

Nominasi The Game Awards 2019 terbagi dalam 29 kategori, tapi seperti yang saya bilang sebelumnya, tak semuanya merupakan judul permainan. Ada juga aktor/aktris, kreator konten, tim, hingga pemain esports dengan prestasi yang istimewa. Daftar lengkapnya bisa Anda simak di bawah:

 

Game of the Year

  • Control
  • Death Stranding
  • Resident Evil 2
  • Sekiro: Shadows Die Twice
  • Super Smash Bros. Ultimate
  • The Outer Worlds

 

Action Game

  • Apex Legends
  • Astral Chain
  • Call of Duty: Modern Warfare
  • Devil May Cry 5
  • Gears 5
  • Metro Exodus

 

Action/Adventure Game

  • Borderlands 3
  • Control
  • Death Stranding
  • Resident Evil 2
  • The Legend of Zelda: Link’s Awakening
  • Sekiro: Shadows Die Twice

 

Art Direction

  • Control
  • Death Stranding
  • Gris
  • Sayonara Wild Hearts
  • Sekiro: Shadows Die Twice
  • The Legend of Zelda: Link’s Awakening

 

Audio Design

  • Call of Duty: Modern Warfare
  • Control
  • Death Stranding
  • Gears 5
  • Resident Evil 2
  • Sekiro: Shadows Die Twice

 

Community Support

  • Apex Legends
  • Destiny 2
  • Final Fantasy XIV
  • Fortnite
  • Tom Clancy’s Rainbow Six Siege

 

Family Game

  • Luigi’s Mansion 3
  • Ring Fit Adventure
  • Super Mario Maker 2
  • Super Smash Bros. Ultimate
  • Yoshi’s Crafted World

 

Fighting Game

  • Dead or Alive 6
  • Jump Force
  • Mortal Kombat 11
  • Samurai Shodown
  • Super Smash Bros. Ultimate

 

Fresh Indie Game

  • ZA/UM
  • Nomada Studio
  • Deadtoast Entertainment
  • Mobius Digital
  • Mega Crit
  • House House

 

Game Direction

  • Control
  • Death Stranding
  • Resident Evil 2
  • Sekiro: Shadows Die Twice
  • Outer Wilds

 

Games For Impact

  • Concrete Genie
  • Gris
  • Kind Words
  • Life Is Strange 2
  • Sea of Solitude

 

Independent Game

  • Baba Is You
  • Disco Elysium
  • Katana Zero
  • Outer Wilds
  • Untitled Goose Game

 

Mobile Game

  • Call of Duty: Mobile
  • Grindstone
  • Sayonara Wild Hearts
  • Sky: Children of Light
  • What the Golf?

 

Multiplayer Game

  • Apex Legends
  • Borderlands 3
  • Call of Duty: Modern Warfare
  • Tetris 99
  • Tom Clancy’s The Division 2

 

Narrative

  • A Plague Tale: Innocence
  • Control
  • Death Stranding
  • Disco Elysium
  • The Outer Worlds

 

Ongoing Game

  • Apex Legends
  • Destiny 2
  • Final Fantasy XIV
  • Fortnite
  • Tom Clancy’s Rainbow Six Siege

 

Performance

  • Ashly Burch (The Outer Worlds)
  • Courtney Hope (Control)
  • Laura Bailey (Gears 5)
  • Mads Mikkelsen (Death Stranding)
  • Matthew Porretta (Control)
  • Norman Reedus (Death Stranding)

 

Role-Playing Game

  • Disco Elysium
  • Final Fantasy XIV
  • Kingdom Hearts III
  • Monster Hunter World: Iceborne
  • The Outer Worlds

 

Score & Music

  • Cadence of Hyrule
  • Death Stranding
  • Devil May Cry 5
  • Kingdom Hearts III
  • Sayonara Wild Hearts

 

Sports/Racing Game

  • Crash Team Racing Nitro-Fueled
  • Dirt Rally 2.0
  • Efootball Pro Evolution Soccer 2020
  • F1 2019
  • FIFA 20

 

Strategy Game

  • Age of Wonders: Planetfall
  • ANNO 1800
  • Fire Emblem: Three Houses
  • Total War: Three Kingdoms
  • Tropico 6
  • Wargroove

 

VR/AR Game

  • Asgard’s Wrath
  • Blood & Truth
  • Beat Saber
  • No Man’s Sky
  • Trover Saves the Universe

 

Esports Game of the Year

  • Counter-Strike: Global Offensive
  • Dota 2
  • Fortnite
  • League of Legends
  • Overwatch

 

Content Creator of the Year

  • Jack ‘Courage’ Dunlop
  • Benjamin ‘ Dr. Lupo’ Lupo
  • Soleil ‘Ewok’ Wheeler
  • David ‘Grefg’ Martinez
  • Michael ‘Shroud’ Grzesiek

 

Esports Coach

  • Eric ‘Arden’ Hoag
  • Nu-Ri ‘Cain’ Jang
  • Fabian ‘Grabbz’ Lohmann
  • Kim ‘Kkoma’ Jeong-Gyun
  • Titouan ‘Sockshka’ Merloz
  • Danny ‘Zonic’ Sorensen

 

Esports Host

  • Eefje ‘Sjokz’ Depoortere
  • Alex ‘Machine’ Richardson
  • Paul ‘ Redeye’ Chaloner
  • Alex ‘Goldenboy’ Mendez
  • Duan ‘Candice’ Yu-Shuang

 

Esports Player

  • Kyle ‘Bugha’ Giersdorf
  • Lee ‘Faker’ Sang-Hyeok
  • Luka ‘Perkz’ Perkovic
  • Oleksandr ‘S1mple’ Kostyliev
  • Jay ‘Sinatraa’ Won

 

Esports Team

  • Astralis
  • G2 Esports
  • OG
  • San Francisco Shock
  • Team Liquid

 

Esports Event

  • 2019 Overwatch League Grand Finals
  • EVO 2019
  • Fortnite World Cup
  • IEM Katowice 2019
  • League of Legends World Championship 2019
  • The International 2019

The Game Awards 2019 2

Ada 107 permainan yang ada di daftar finalis The Game Awards 2019, dan jika diteliti lebih jauh, Death Stranding tampak mendominasi dengan masuk ke delapan kategori nominasi berbeda, disusul oleh Control (tujuh nominasi), lalu diikuti oleh Sekiro: Shadows Die Twice (lima nominasi), serta Resident Evil 2 dan The Outer Worlds (masing-masing empat nominasi). Untuk Game of the Year, saya pribadi menjagokan remake Resident Evil 2 dan Sekiro. Dua game tersebut merupakan favorit saya di tahun ini.

Para pemenang rencananya akan diumumkan di tanggal 12 Desember 2019 melalui acara seremoni yang dilangsungkan di Microsoft Theater, Los Angeles.

The Game Awards 2019 3

Paten Ungkap Wujud Controller PlayStation 5

Menyusul rentetan rumor, spekulasi dan bocoran, Sony Interactive Entertainment akhirnya mengumumkan nama resmi console game next-generation mereka dan kapan rencananya perangkat akan meluncur. PlayStation 5 kabarnya siap dilepas di musim libur 2020, menjelang akhir tahun. Meski demikian, hingga kini sang produsen masih belum memperlihatkan seperti apa wujudnya ke publik.

Namun mungkin, info baru ini bisa mengurangi dahaga Anda terhadap PlayStation 5. Berdasarkan paten yang diajukan Sony di Jepang, terungkaplah ilustrasi yang kemungkinan memperlihatkan wujud dari unit controller pendamping PS5. Sementara ini, Sony malah belum memberinya nama formal, tapi banyak orang menduga sang produsen akan melabelinya secara simpel dan menyebutnya sebagai ‘DualShock 5’.

DS5 2

Berdasarkan gambar di paten Sony, controller PlayStation 5 mempunyai penampilan yang hampir tak berbeda dari DualShock 4. Semua pernak-pernik familier ada di sana: Directional pad berada di sebelah kiri dengan rangkaian action button di kanan. Kemudian dua buah thumb stick kembali diposisikan secara sejajar di bawahnya, dan tim desainer Sony juga sama sekali tidak mengubah letak keempat trigger button.

DS5 1

Selain itu, Sony lagi-lagi membubuhkan tombol lingkaran di bawah lubang speaker. Di DualShock 4, tombol ini ditandai oleh logo PS dan berfungsi untuk mengaktifkan console dari jauh, lalu tombol Share dan Options juga berada di area familier. Satu aspek unik yang saya identifikasi dari ilustrasi controller PS5 ini adalah bagian touchpad tampaknya sedikit lebih tinggi dan rata. Pertanyaannya, apakah Sony akan mempertahankan pemakaian touchpad atau mereka berniat untuk menggantinya dengan sesuatu yang baru – misalnya layar sentuh?

Saya juga tidak melihat eksistensi dari lightbar di bagian depan, lalu sepertinya ada dua colokan audio di sisi belakang. Untuk mengisi ulang baterai internalnya, kita dipersilakan mencolokkan kabel ke port di depan, namun kali ini controller memanfaatkan konektivitas USB type-C.

Perlu kita ingat bahwa Sony sewaktu-waktu bisa saja mengubah atau memodifikasi desain controller PlayStation 5 tersebut, membuat produk jadinya berbeda dengan yang ada di gambar.

Walau begitu, ada sejumlah hal yang sudah dikonformasi Sony terkait unit gamepad. Pertama, mereka mengganti sistem rumble (efek vibrasi lewat putaran) dengan haptic feedback. Dan kedua, produsen menanamkan teknologi ‘adaptive trigger‘ di tombol L2 dan R2 agar mampu mensimulasikan adegan di game secara lebih realistis – misalnya ketika karakter Anda sedang menarik busur panah atau menekan pedal gas di kendaraan.

Via The Verge.

Valve Umumkan Half-Life: Alyx, Game VR Blockbuster Pertamanya

12 tahun lebih berlalu sejak Half-Life 2: Episode Two dirilis. Mayoritas fans sudah menerima fakta bahwa Valve kemungkinan tidak akan meneruskan kisah petualangan Gordon Freeman dan membiarkannya menggantung begitu saja. Bukan hanya Half-Life, Left 4 Dead dan Dota bahkan berhenti di angka ‘dua’, dan hal ini memicu lelucon di kalangan gamer: Valve tampaknya takut dengan angka tiga.

Namun minggu ini terdengar kabar yang mengejutkan terkait seri Half-Life. Bukan, Valve tidak mengumumkan Half-Life 2: Episode Three. Yang mereka singkap adalah Half-Life: Alyx, permainan virtual reality kelas blockbuster perdananya. Untuk sekarang, developer belum menginformasikan akan seperti apa permainan ini. Detail mengenai Half-Life: Alyx rencananya diungkap di hari Kamis besok.

Hal menarik dari pengumuman Half-Life: Alyx adalah, Valve melakukannya lewat akun Twitter resmi (dan juga telah terverifikasi) yang baru mereka buat di bulan Juni kemarin. Berita mengenai Half-Life: Alyx merupakan tweet pertamanya. Ada peluang besar, lewat akun inilah developer akan menyingkap informasi mengenai permainan VR anyar mereka ke depannya.

Sedikit penjelasan untuk Anda yang kurang familier dengan Half-Life 2, Alyx, dan petulangan episodik setelahnya:

Half-Life 2 dilepas pada tahun 2004 sebagai sekuel dari permainan shooter yang menjadi debut Valve di industri gaming. Setelah proyek Half-Life 2 rampung, Valve masih berambisi untuk meneruskan petualangan sang tokoh protagonis, Gordon Freeman, namun dengan durasi pengembangan yang lebih singkat (pengembangan Half-Life 2 memakan waktu enam tahun). Akhirnya diputuskanlah, game Half-Life selanjutnya dirilis dalam bentuk episode.

Half Life 2: Episode One meluncur pada tanggal 1 Juni 2006, kemudian disusul oleh Episode Two di bulan Oktober 2007 sebagai bagian dari bundel The Orange Box (ditemani Portal, Team Fortress 2 dan Half-Life 2 orisinal). Sayangnya, Valve tidak bicara banyak mengenai Episode Three di tahun berikutnya dan permainan malah tak kunjung tiba. Di tahun 2011, game akhirnya diberi label vaporware – yaitu software/hardware yang keberadaannya sempat diumumkan ke publik tapi tak pernah diproduksi.

Lalu apa atau siapa itu Alyx? Alyx Vance adalah tokoh non-playable penting di Half-Life 2 serta Episode One dan Two. Alyx setia menemani Freeman dalam perjalanannya dan memperoleh banyak pujian dari media-media game internasional karena karakteristik yang non-mainstream. Selain tangguh, Alyx juga cerdas dan pintar berbicara. Banyak orang menganggap bahwa respons dan ucapan Alyx mewakilkan apa yang dirasakan gamer terhadap tiap kejadian di dunia permainan.

Saya menduga, Half-Life: Alyx akan mempersilakan Anda untuk pertama kalinya bermain sebagai sang NPC favorit. Pertanyaannya adalah, apakah game ini di-setting sebelum Alyx Vance bertemu Gordon Freeman atau malah akan melanjutkan petualangan yang terhenti di Episode Two? Pastinya, Half-Life: Alyx akan jadi game Half-Life pertama yang Valve luncurkan dalam kurun waktu satu dekade.

Via The Verge.

Game Google Stadia Bertambah 10, Kini Ada Metro Exodus dan Final Fantasy XV

Layanan cloud gaming Google Stadia dijadwalkan untuk meluncur minggu ini lewat opsi Founder’s atau Premiere Edition. Demi memeriahkan momen tersebut, Google telah menyiapkan 12 game blockbuster yang dapat segera dinikmati. Namun menelaah lebih jauh, Stadia ternyata tak dibekali sejumlah fitur esensial di hari pelepasannya, dan hal ini membuat banyak orang bertanya-tanya apakah betul Stadia siap dirlis…

Berdasarkan penjelasan Google, fitur-fitur penting tersebut (seperti Achievement, Family Sharing dan Stream Connect) baru akan hadir menyusul di tahun 2020. Tapi sepertinya Google menyadari terlepas dari dukungan judul-judul seperti trilogi reboot Tomb Raider, Red Dead Redemption 2, dan Asssassin’s Creed teranyar, 12 game masih terasa sangat sedikit. Keadaan ini mendorong mereka untuk menambah lagi jumlahnya.

Melalui akun Twitter-nya, general manager sekaligus vice president Google Phil Harrison mengumumkan penambahan 10 game di hari peluncuran Stadia, sehingga totalnya kini adalah 22 permainan. Sayangnya, hal itu kemungkinan besar mengubah agenda awal Google yang berniat buat membubuhkan dukungan 14 game sebelum tahun 2019 berakhir. 10 judul baru tersebut meliputi:

  • Attack on Titan: Final Battle 2
  • Farming Simulator 2019
  • Final Fantasy XV
  • Football Manager 2020
  • Grid (2019)
  • Metro Exodus
  • NBA 2K20
  • Rage 2
  • Trials Rising
  • Wolfenstein: Youngblood

Permainan-permainan di atas akan melengkapi 12 judul yang sempat diumumkan:

  • Assassin’s Creed Odyssey
  • Destiny 2: The Collection
  • GYLT
  • Just Dance 2020
  • Kine
  • Mortal Kombat 11
  • Red Dead Redemption 2
  • Thumper
  • Tomb Raider: Definitive Edition
  • Rise of the Tomb Raider
  • Shadow of the Tomb Raider: Definitive Edition
  • Samurai Shodown

Itu artinya, ‘hutang’ Google pada pengguna Stadia di tahun ini hanya tinggal merilis Borderlands 3, Darksiders Genesis, Dragon Ball Xenoverse 2, dan Ghost Recon Breakpoint. Pertanyaannya, apakah Goolge akan menambah lagi jumlahnya? Kita tahu ada banyak gameupcoming‘ yang dijadwalkan buat mendarat di Stadia dan sebagian dari mereka masih dalam proses pengembangan, misalnya Cyberpunk 2077, Baldur’s Gate 3, Watch Dogs: Legion, Doom Eternal, serta Marvel’s Avengers.

Perlu diketahui bahwa meski aplikasi Stadia tersaji gratis, Anda perlu membeli game-nya terlebih dulu agar bisa menikmati layanan on demand ini. Dan di hari perilisannya, Stadia baru dapat diakses oleh perangkat Pixel 2 hingga 4, tablet ber-Chrome OS atau via browser Chrome di PC Anda. Tanpa memesan Founder’s Edition, Anda perlu membeli Stadia Controller serta Chromecast Ultra agar bisa ber-cloud gaming di layar televisi. Namun Stadia versi ‘dasar’ sendiri baru tiba tahun depan.

Via PCGamer.