Apple Beli Bisnis Modem Smartphone Intel Senilai $1 Miliar

Berbeda dari mayoritas pabrikan smartphone lain, Apple tidak perlu bergantung terlalu banyak terhadap Qualcomm. Chipset yang mengotaki iPhone maupun iPad merupakan hasil bikinan mereka sendiri, bukan yang dibeli dari Qualcomm seperti yang dilakukan oleh produsen-produsen lain.

Namun ini bukan berarti Apple sama sekali tak membutuhkan Qualcomm. Selama ini, Qualcomm masih berperan sebagai pemasok modem untuk iPhone dan iPad, dan relasi bisnis ini jugalah yang pada akhirnya mengakibatkan perseteruan di antara kedua perusahaan; Apple pada dasarnya menuduh Qualcomm memanfaatkan statusnya sebagai pemimpin di industri modem smartphone dengan mematok biaya lisensi yang kelewat tinggi.

Apple bahkan sempat menerima pasokan modem untuk iPhone XS secara eksklusif dari Intel sebagai dampak dari perselisihannya dengan Qualcomm. Ini bukan masalah seandainya modem bikinan Intel sama bagusnya seperti buatan Qualcomm. Namun pada kenyataannya, sejumlah laporan menunjukkan bahwa modem buatan Qualcomm masih jauh lebih unggul kinerjanya.

Hubungannya dengan Qualcomm kian memburuk, ditambah lagi alternatif yang tersedia dari Intel ternyata kurang bisa diandalkan, lalu apakah Apple terus tinggal diam dan menerima nasib begitu saja? Tidak. Mereka sudah punya solusinya, yakni dengan membeli sebagian besar dari bisnis modem smartphone milik Intel.

Tidak tanggung-tanggung, Apple menyiapkan mahar senilai $1 miliar untuk menggaet perlengkapan dan properti intelektual Intel terkait modem smartphone, tidak ketinggalan juga 2.200 karyawan Intel di divisi tersebut. Ya, Apple sudah pasti berniat untuk mengembangkan modem smartphone-nya sendiri dengan memanfaatkan bekal aset dari Intel.

Akuisisi ini jelas bakal semakin mengurangi ketergantungan Apple terhadap Qualcomm. Bukan hanya itu, iPhone dan iPad nantinya punya peluang untuk memiliki keunggulan tersendiri dalam hal teknologi modem. Ini sudah mereka tunjukkan di konteks chipsetchipset A-series yang terdapat pada iPhone dan iPad selalu unggul perihal performa dibanding seri Snapdragon – jadi wajar apabila banyak yang berharap mereka dapat mengulanginya di konteks modem.

Lalu bagaimana dengan Intel sendiri? Akuisisi ini bukan berarti mereka bakal meninggalkan bisnis modem sepenuhnya. Mereka masih akan mengembangkan teknologi modem untuk PC, perangkat IoT, maupun perangkat-perangkat lainnya yang bukan smartphone. CEO Intel, Bob Swan, menambahkan bahwa akuisisi ini juga berarti Intel jadi lebih bisa berfokus mengembangkan teknologi 5G di area selain smartphone.

Sumber: Apple dan The Verge.

Vivo Pamerkan Smartphone 5G Versi Konsumen, Kacamata AR, dan Teknologi Charging Generasi Terbaru

Ajang MWC Shanghai tahun ini mengambil tema “Intelligent Connectivity”, dan itu Vivo manfaatkan untuk mendemonstrasikan sejumlah inovasinya terkait konektivitas 5G. Yang pertama tentu saja adalah smartphone 5G yang siap menembus pasar komersial mulai kuartal ketiga nanti.

Vivo sejauh ini belum menamai smartphone tersebut, dan spesifikasinya pun juga sama sekali belum dirincikan. Vivo memilih menggunakan kesempatan ini untuk memberikan gambaran terkait faedah-faedah yang bisa konsumen nikmati dari teknologi 5G.

Yang paling menarik menurut saya adalah penggunaan 5G untuk konteks cloud gaming atau game streaming. Nantinya, smartphone 5G ini dapat menjalankan beragam game tanpa perlu mengunduh apa-apa. Semuanya berjalan di cloud (server) dan di-stream oleh smartphone dalam kecepatan sangat tinggi sekaligus latency yang amat rendah.

Vivo 5G smartphone for cloud gaming

Berhubung yang diandalkan hanya sebatas koneksi saja, tentunya game bisa berjalan dengan mulus tanpa harus terbatasi oleh performa smartphone itu sendiri. Menariknya kalau menurut saya, kita mungkin membayangkan bahwa konektivitas 5G yang begitu cepat bakal semakin memudahkan kita untuk mencoba banyak game, mengingat waktu download yang dibutuhkan sangat pendek.

Namun skenario yang lebih ideal justru adalah dengan metode streaming seperti ini, sebab kapasitas penyimpanan smartphone jadi bisa dimaksimalkan untuk hal lain, semisal koleksi foto dan video. Menurut saya ada korelasi yang cukup kuat antara dimulainya implementasi teknologi 5G dan maraknya layanan cloud gaming macam Google Stadia.

Vivo AR Glass

Produk kedua yang Vivo pamerkan adalah sebuah prototipe kacamata augmented reality yang dijuluki Vivo AR Glass. Perangkat ini mengemas sepasang display, serta teknologi tracking 6DoF (six degrees of freedom) yang sudah bisa dianggap sebagai standar di ranah ini.

Vivo tidak berbicara terlalu banyak soal perangkat ini, tapi yang pasti mereka memproyeksikan kegunaan kacamata AR-nya di lima skenario yang berbeda: mobile gaming, mobile office, “5G theatre”, facial recognition dan object recognition.

Vivo Super FlashCharge 120W

Terakhir, MWC Shanghai 2019 juga menjadi saksi atas pengungkapan teknologi Vivo Super FlashCharge 120W. Sesuai namanya, teknologi charging ini sanggup menghasilkan output sebesar 120 W (20V/6A) via sambungan USB-C yang telah dimodifikasi.

Dalam konteks sehari-hari, Vivo mengklaim teknologi charging ini mampu mengisi ulang 50% dari baterai smartphone berkapasitas 4.000 mAh dalam waktu 5 menit saja, atau 13 menit untuk charging hingga penuh. Jujur saya pribadi sama sekali tidak tertarik dengan wireless charging kalau memang proses pengisian ulang ponsel bisa dilakukan secepat ini.

Sumber: Vivo via Mashable.

Mediatek Perkenalkan Teknologi AI dan Chipset P70

Belakangan ini, beberapa vendor smartphone ramai-ramai mengeluarkan perangkat dengan chipset buatan Mediatek. Sampai saat ini di Indonesia, smartphone dengan cip Mediatek sudah menggunakan versi Helio P70. Sayangnya, masih banyak yang belum mempercayai vendor yang satu ini.

Mediatek P70 - Launch

Pada hari Kamis tanggal 2 Mei 2019, Mediatek mengundang para wartawan untuk melakukan sebuah sesi perkenalan. Selama ini, Mediatek hampir tidak pernah memperkenalkan diri dihadapan para awak media. Acara yang diadakan pada ballroom hotel Fairmont tersebut pun bertujuan untuk memperkenalkan cip mereka yang saat ini sudah banyak digunakan pada beberapa smartphone.

Mediatek Helio P70

Mediatek menyatakan bahwa cip mereka yang sebelumnya, Helio P60, sudah sukses diterima di pasaran. Hal tersebut dapat dilihat dengan hasil penjualan dari smartphone OPPO F7, OPPO F9, Realme 3, Vivo V11, Nokia 5.1 Plus, dan Luna X Prime di Indonesia. Secara global pun, masih banyak merek yang mengeluarkan perangkatnya dengan menggunakan Helio P60.

Saat ini Mediatek memperkenalkan Helio P70. Cip yang satu ini digadang memiliki kinerja yang lebih baik dari Helio P60. CPU, GPU, dan mesin AI merupakan tiga hal yang ditingkatkan pada Helio P70. Keduanya pun masih menggunakan proses pabrikasi 12nm. Beberapa smartphone pun juga telah menggunakan cip Helio P70 tersebut, seperti OPPO F11/Pro, Realme U1, serta VIVO V15.

Mediatek juga mengklaim bahwa mesin kamera mereka lebih baik dari para pesaingnya. Hal tersebut dapat tercapai dengan menggunakan tiga inti Image Signal Processing (ISP) dan dua inti AI Processing Unit (APU) dibandingkan dengan menggunakan sebuah DSP.

Mesin AI mereka sendiri diklaim memiliki kinerja yang tinggi. Pada saat melakukan benchmark dengan menggunakan ETH Zurich Benchmark, Helio P90 mampu mengungguli semua cip pesaing dari Mediatek. Hal inilah yang membuat Mediatek yakin bahwa mesin AI mereka paling baik untuk semua perangkat.

Internet of Things

Cip Mediatek saat ini sudah tertanam ke dalam beberapa televisi yang dijual oleh merek-merek terkenal, salah satunya adalah televisi Sony Bravia. Selain itu, Mediatek juga menempati urutan pertama dalam pemasok cip tablet Android, perangkat networking, Bluray, dan ponsel candy bar. Saat ini, mereka melebarkan sayapnya dengan memasok cip ke beberapa perangkat IoT.

Saat ini perangkat dari Amazon sudah memenuhi pasar dan menggunakan cip dari Mediatek. Perangkat speaker pintar dari Sony pun juga menggunakan teknologi dari Mediatek.

AI dari Mediatek memiliki platform open source dengan nama Mediatek NeuroPilot. Platform ini dikembangkan lebih lanjut karena pada tahun lalu di Google I/O, Android Things sudah mulai dicanangkan oleh Google dan Mediatek merupakan salah satu partner mereka.

Diremehkan

Mediatek selalu diremehkan di pasar Indonesia. Namun menurut Pang Sui Yen, Senior Manager Corporate Sales Asia Afrika MediaTek, hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia saja, namun diseluruh dunia. Mereka pun sadar bahwa cip dari Mediatek selalu diremehkan.

Mediatek P70 - Talk

Pang Sui Yen mengatakan bahwa hal tersebut hanya dikarenakan kurangnya marketing mereka. Kedepannya, Mediatek bakal lebih sering memaparkan keunggulan-keunggulan yang mereka miliki dibandingkan dengan para pesaingnya.  Beliau pun mengatakan bahwa pada tahun ini Mediatek bakal mengeluarkan cip baru pada Computex 2019.

Pang Sui Yen juga mengatakan bahwa mereka bakal mengeluarkan cip yang pasti cocok untuk para konsumen. Hal tersebut tentu saja bakal diluncurkan dengan harga yang lebih murah.

Pemerintah Siapkan Regulasi Perangkat IoT, Penyamaan Harga Sertifikasi Jadi Isu

Kementerian Komunikasi dan Informatika segera menandatangani regulasi mengenai perangkat IoT, sebagai lanjutan dari Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang penggunaan spektrum frekuensi radio berdasarkan izin kelas untuk teknologi 4G LTE Advance Pro yang telah terbit pada awal April 2019.

Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Kemkominfo Ismail menerangkan, dalam membuat aturan ini pemerintah berusaha untuk tetap generik, tidak menunjuk untuk salah satu teknologi saja, sehingga bisa diaplikasikan untuk teknologi apapun yang sudah mempersiapkan diri menuju IoT.

Dia merinci aturan ini akan mengatur soal sertifikasi perangkat, yang salah satunya memuat mengenai harga. Sensor dan gateway pun akan ikut masuk dalam komponen perangkat yang akan disertifikasi. Harga sertifikasi akan relatif tidak jauh berbeda dengan perangkat radio biasa.

“Aturan akan diteken dalam waktu dekat, mudah-mudahan enggak sampai tengah tahun karena sudah hampir final,” terangnya, Selasa (23/4).

Sebelumnya, RPM menetapkan alat-alat atau perangkat telekomunikasi yang beroperasi pada spektrum frekuensi radio berdasarkan izin kelas.

Mereka adalah Wireless Local Area Network (WLAN), peranti jarak dekat (Short Range Device), Low Power Wide Area Nonseluler (LPWA Nonseluler), Dedicated Short Range Communication (DSRC), LAA. Serta, alat-alat yang beroperasi pada pita frekuensi radio yang digunakan berdasarkan izin kelas yang sejenis sesuai tingkat teknologi dan karakteristiknya.

4G LTE Advance Pro, lebih dikenal 4.9G atau satu tingkat di bawah 5G, menggunakan jaringan License Assisted Access (LAA). Jaringan ini memanfaatkan frekuensi tak berizin di rentang 5.150-5.350 MHz dan 5.725-5.825 MHz. Sehingga berdampak pemain non operator seluler dapat segera mengimplementasikan IoT secara lebih masif.

Wacana penyamaan harga jadi isu

Menanggapi wacana harga sertifikasi, sebenarnya pemerintah ikut melibatkan Asosiasi IoT Indonesia untuk diskusi bersama sehingga belum ada putusan akhir. Wakil Ketua Asosiasi IoT Andri Yadi agak menyayangkan dan terbebani apabila pemerintah memutuskan untuk menyamakan harga sertifikasi perangkat dengan radio biasa.

Pihaknya pernah membuat simulasi singkat bahwa harga sertifikasi untuk satu startup bisa memakan biaya hingga Rp25 juta. Hitungan tersebut belum mengikuti harga pasar apabila dijual ke konsumen.

“Tidak bisa disamakan [harganya]. Ambil contoh untuk ponsel 4G itu jual batangannya bisa sampai Rp10 juta, tapi bicara perangkat IoT itu bisa sampai Rp400 juta. Sebab di dalamnya itu ada banyak teknologi, seperti short range pakai bluetooth dan WiFi,” katanya.

Country Manager Qualcomm Indonesia Shannedy Ong menambahkan, meski perusahaan secara tidak langsung berdampak mengingat Qualcomm adalah penyedia teknologi, namun pada akhirnya ada dampak tidak langsung yang terasa apabila wacana tersebut terealisasi karena perusahaan termasuk dalam ekosistem.

“Kita ini bagian dari ekosistem sehingga harus kerja sama dengan industri dan asosiasi untuk memikirkan win win solution. Jangan sampai ada regulasi yang menghambat karena kita mau IoT ini bisa diakselerasi. Indonesia harus maju ke step berikutnya, ada solusi baru, komersialkan, dan konsumen bisa mendapatkan manfaatnya,” ujar Shannedy.

Menunggu putusan frekuensi 5G

Teknologi IoT ini sebenarnya bisa dijalankan lewat jaringan 4G, namun alangkah lebih sempurna apabila didukung oleh teknologi 5G. Pemerintah belum menetapkan frekuensi apa yang akan dipakai, lantaran menunggu World Radio Conference 2019 di Mesir yang akan berlangsung pada Oktober 2019 mendatang. Ini adalah konferensi empat tahunan yang digelar ITU (International Telecommunications Union).

Ismail menjelaskan, pada konferensi ini akan diputuskan frekuensi resmi yang digunakan untuk jaringan 5G secara global. Pemerintah akan berkiblat ke sana agar bersifat world wide platform, tidak khusus untuk Indonesia saja. Diharapkan hal ini akan membuat harga perangkat lebih murah dan memudahkan para pemain operator yang ingin berinvestasi ke 5G.

“WRC itu konferensi empat tahunan untuk menentukan pita frekuensi suatu teknologi baru. Jadi kita tunggu acara itu, kira-kira akan menentukan frekuensi 5G setelah acara tersebut,” terangnya.

Secara garis besar pemerintah sudah membuat perkiraaan ada tiga blok spektrum jaringan, yakni lower, middle, dan upper. Untuk upper, dia menjamin tidak ada masalah, karena frekuensinya tersedia dan belum digunakan untuk 26 GHz dan 28 GHz.

Sementara untuk middle, berjalan di frekuensi 3,5 GHz yang sudah dipakai oleh satelit. Sehingga pilihannya mau co-existing dengan satelit agar bisa digunakan bersama 5G. Belum ada perbincangan lebih lanjut soal ini karena pemerintah harus bicara lebih dalam para pemilik satelit, di antaranya Telkom dan Indosat Ooredoo.

Penentuan frekuensi 5G ini cukup genting untuk mendukung ekosistem IoT di Indonesia. Andri menambahkan frekuensi adalah basis awal bagi para pemain sebelum uji perangkat. Seberapa canggih perangkat yang sudah dibuat tapi apabila belum bisa terhubung karena ketiadaan frekuensi akan percuma.

Hal ini diamini Shannedy. Dia menerangkan antara IoT dan 5G memiliki hubungan yang erat. Ada beberapa use case yang bisa ditangani oleh IoT dengan bantuan jaringan 5G yang sangat berdampak untuk industri.

Operator telekomunikasi dan OEM (Original Equipment Manufacturer) skala global telah bermitra dengan perusahaan-perusahaan teknologi untuk menciptakan banyak solusi baru, berbasiskan IoT dan 5G, di industri pertanian, kota pintar, dan transportasi.

MWC19 Shanghai Segera Digelar, Hadirkan Beragam Sesi untuk Bantu Pemimpin Bisnis Lakukan Transformasi

GSMA pada tanggal 26 – 28 Juni 2019 akan mengadakan Mobile World Congress ke 19 di Shanghai (MWC19 Shanghai) di Shanghai New International Expo Center. Ada beragam acara menarik yang akan dihadirkan, beberapa di antaranya Digital Leaders Programme, Matercass Programee dan Exhibition. Acara ini ditargetkan akan dihadiri lebih dari 60 profesional dan 550 perusahaan dari di 110 negara.

Digital Leaders Programme sendiri didesain untuk membawa para pemimpin bisnis untuk mengulas tantangan di ekosistem bisnis seluler dan vertikal digital. Tujuannya agar perusahaan dapat memberikan layanan yang dibutuhkan konsumen di masa sekarang dan masa mendatang. Beberapa eksekutif dari perusahaan seperti Foxconn, HTC, Huawei, McKinsey Digital Qualcomm, Shanghai Mobile, ZTE dll akan tergabung dalam acara ini.

“Untuk menghadirkan potensi penuh dari konektivitas cerdas dan menavigasi lanskap teknologi yang terus berubah, kami membutuhkan para pemimpin bisnis digital baru dari semua industri untuk membantu membentuk visi di masa depan dan memberikan advokasinya,” ujar CEO GSMA Ltd. John Hoffman.

Konferensi MWC19 Shanghai akan diadakan selama tiga hari. Tema-tema yang akan dibawakan mulai dari 5G, kecerdasan buatan, konvergensi perbankan dan telekomunikasi, blockchain, keamanan data, kota pintar, dan lain-lain. Adapun pemateri yang akan mengisi di panggung keynote meliputi Hooi Ling Tan (Co-Founder Grab Group), Mats Granryd (Director General GSMA), Ken Hu (Deputy Chairman Huawei), Greg Wyler (Chairman OneWeb), Sigve Brekke (President & CEO Telenor Group) dan Xu Ziyang (CEO ZTE).

Selain itu masih ada program lain yang coba dihadirkan dalam MWC19 Shanghai. Salah satunya GSMA bermitra dengan INSEAD, salah satu sekolah bisnis terkemuka, untuk menghadirkan Masterclass Programme. Professor Thomas Mannarelli dengan spesialisasinya dalam inovasi dan kepemimpinan akan menjadi instruktur dalam program yang dirancang untuk membantu pemimpin bisnis melakukan transformasi.

Informasi lebih lanjut mengenai rangkaian MWC19 Shanghai dapat dilihat melalui situs resminya: https://www.mwcshanghai.com.

Disclosure: DailySocial merupakan media partner MWC19 Shanghai

8 Smartphone Android 5G yang Meluncur di 2019

Di ajang MWC 2019 tahun ini 5G dan ponsel tekuk jadi dua topik paling banyak dibicarakan sepanjang perhelatan akbar tersebut. Seolah memahami keinginan konsumen, berbagai brand kenamaan dunia menjawab ekspektasi publik dengan meluncurkan serangkaian smartphone 5G yang dipastikan jadi suguhan di tahun 2019 ini. Apa saja mereka? Ini dia daftar lengkap smartphone 5G keluaran 2019.

Samsung Galaxy S10 5G

 

Samsung Galaxy S10+
Samsung Galaxy S10+

Samsung Galaxy S10 5G mengusung layar Curved Dynamic AMOLED dengan resolusi Quad HD+ dalam rasio layar 19:9 dan penampang selebar 6,7 inci. Yap benar sekali, jika dibandingkan dengan dua saudara kandungnya, varian ini adalah yang paling bongsor dan mengemas fitur yang lebih komplet, salah satunya adalah kehadiran teknologi 5G yang secara default tersedia.

LG V50 ThinQ

Selain peningkatan jaringan 5G, LG V50 ThinQ juga membawa baterai yang lebih besar yang tampaknya sebagai kompensasi kebutuhan daya saat terkoneksi ke jaringan generasi kelima itu. Kehadiran Snapdragon 855 tentunya juga memberikan kecepatan dan kemampuan multi-tasking yang lebih baik.

LG V50 ThinQ

Smartphone yang datang bersama LG G8 ThingQ ini dibalut layar QHD + OLED 6,4 inci dan juga memiliki sistem kamera tiga lensa di bagian belakang. Jika tak aral merintang, LG V50 ThinQ akan dirilis pada bulan Maret ini.

Xiaomi Mi MIX 5G

Xiaomi-Mi-Mix-3-5G-specs

Xiaomi tak mau ketinggalan pesta dengan meluncurkan varian baru dari Mi MIX 3 dengan imbuhan 5G di bagian belakang, maka jadilah Mi MIX 3 5G. Untuk spesifikasi lainnya, praktis hanya jeroan yang berbeda jika dibandingkan dengan Mi MIX 3 standar.

ZTE Axon 10 Pro 5G

ZTE mungkin bukan brand top seperti Samsung. Tetapi sepanjang tahun mereka konsisten melahirkan perangkat dengan inovasi yang tak bisa disebut medioker. Bahkan jauh sebelum Galaxy Fold muncul, ZTE sudah mengeluarkan smartphone tekuk terlebih dahulu. Jadi, hanya nasib yang membuat ZTE selalu berada di bawah bayang-bayang Samsung ataupun Huawei.

ZTE Axon 10 Pro 5G
ZTE Axon 10 Pro 5G

ZTE Axon 10 Pro 5G ini pun datang dengan sejumlah kemampuan yang menarik, seperti kamera berjumlah tiga di punggung, sensor sidik jari di layar dan material logam kombinasi kaca.

Smartphone 5G yang Masih Prototype

Selain keempat nama di atas, ada beberapa nama lain yang juga menyita perhatian audiens MWC 2019. Tetapi seluruh smartphone ini masih berlabel prototipe yang artinya segala sesuatu di dalamnya bisa berubah sewaktu-waktu. Mereka adalah

  • Sony 5G
  • Oppo 5G
  • OnePlus 5G
  • Alcatel 7 5G

Sumber berita T3 dan Theverge.

OpenSignal Report: 4G Is Yet to Stable

OpenSignal, a company engaged in the analysis of mobile user experience, issued a report on the 4G network. It highlights the 4G network performance which are considered to be less consistent and talks about 5G network to be the solution.

From 77 countries observed, the download speed ranged from 31.2 Mbps and 5.8 Mbps. As the best / fastest time is at night. The jammed 4G network makes 5G network increasingly on demand.

Indonesia, listed at the bottom of the average internet speed through 4G. At busy hours (18.00-21.00), Indonesia’s 4G internet speed is at 5.7 Mbps. While the fastest is at (00.00 – 04.00) the speed is 18.5 Mbps.

In OpenSignal report, this number is only one level up from Thailand with 6 Mbps at busy hours and the fastest is at 11.7 Mbps; India with 3.7 Mbps at busy hours and the fastest is at 14.6 Mbps; and Algeria with 2.6 Mbps at busy hours and the fastest 16.4 Mbps.

OpenSignal

In the top three, there are South Korea, Singapore, and Norway, with the average of 40 Mbps at busy hours and 54 Mbps the fastest.

OpenSignal highlighted the speed difference phenomenon between busy / peak hours and off-peak hours

The use of 5G is not only expected to provide speed to 4G, but also a strong foundation for capacity and solving consistency problem.

OpenSignal will also underlined the speed inconsistency of 4G to have impact on the future app innovation, such as augmented reality and so on.

The 5G network is said to be able to increase network capabilities to support more users and simultaneus (streaming) data at high speed. For example, using high-definition quality streaming.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Laporan OpenSignal: Kecepatan 4G Belum Konsisten

OpenSignal sebuah perusahaan yang bergerak di bidang analisis pengalaman pengguna mobile mengeluarkan sebuah laporan mengenai jaringan 4G. Laporan tersebut menyoroti kinerja jaringan 4G yang dirasa masih kurang konsisiten dan membahas bagaimana jaringan 5G bisa menjadi solusi.

Dari 77 negara yang diteliti, kecepatan unduhan berkisar antara 31,2 Mbps dan 5,8 Mbps. Dengan waktu terbaik/tercepat ketika jam malam. Kemacetan jaringan 4G yang sedang berlangsung ini membuat kebutuhan untuk jaringan 5G semakin disoroti.

Indonesia, termasuk dalam urutan terbawah dalam rata-rata kecepatan internet yang dihasilkan melalui jaringan 4G. Di jam-jam padat (18.00 – 21.00), kecepatan internet 4G di Indonesia berada di angka 5,7 Mbps. Sedangkan di jam-jam cepat (00.00 – 04.00) kecepatan Indonesia berada di angka 18,5 Mbps.

Dalam laporan OpenSignal Angka ini hanya unggul dari Thailand dengan kecepatan di jam-jam padat 6 Mbps dan di jam-jam paling cepat di angka 11, 7 Mbps; India dengan kecepatan di jam-jam padat 3,7 Mbps dan di jam-jam paling cepat berada di angka 14, 6 Mbps; dan Aljazair dengan kecepatan di jam-jam padat 2,6 Mbps dan di jam-jam paling cepat berada di angka 16,4 Mbps.

Grafik OpenSignal

Sementara untuk tiga teratas diisi Korea Selatan, Singapura, dan Norwegia, yang rasio di jam padat dan jam-jam paling cepat berkisar di angka 40 Mbps dan 54 Mbps.

OpenSignal menyoroti fenomena perbedaan kecepatan antara jam sibuk/padat dengan jam-jam lengang. Bahkan untuk dua negara tercepat sekalipun, Korea Selatan dan Singapura, terjadi penurunan kecepatan hingga 13 Mbps. Indikasi bahwa kecepatan jaringan mobile 4G masih belum konsisten dan bergantung pada kapasistas jaringan. Masalah ini yang diharapkan bisa diselesaikan oleh jaringan 5G.

Pemanfaatan jaringan 5G tidak hanya diharapkan mampu memberikan kecepatan yang lebih dibanding 4G, tetapi juga landasan yang kuat untuk kapasitas dan menyelesaikan masalah konsistensi jaringan 4G yang ditemui.

OpenSignal juga menggarisbawahi bahwa kecepatan yang tidak konsisten pada jaringan 4G akan berdampak pada inovasi aplikasi yang akan datang, seperti augmented reality dan semacamnya.

Jaringan 5G juga disebut akan mampu meningkatkan kemampuan jaringan untuk mendukung lebih banyak pengguna dan data simultan (streaming) dengan kecepatan tinggi. Seperti penggunaan streaming dengan kualitas high-definition.

Benarkah Wi-Fi Selalu Lebih Cepat dari Jaringan Seluler?

Wi-Fi sekarang sudah bisa dianggap sebagai salah satu kebutuhan pokok. Bahkan warung kopi kecil pun sekarang hampir pasti menyediakan sambungan Wi-Fi kepada para pelanggannya. Masalahnya, tidak selamanya jaringan Wi-Fi itu bisa digunakan; ada yang sangat lambat koneksinya, ada pula yang sama sekali tidak bisa tersambung ke internet.

Pada kenyataannya, menggunakan koneksi LTE sering kali jauh lebih lancar dan cepat ketimbang jaringan Wi-Fi yang ada di tempat-tempat umum. Ini berdasarkan pengalaman saya pribadi, tapi ternyata studi yang dilakukan OpenSignal juga menyimpulkan demikian.

Hasil studi mereka menunjukkan bahwa di 33 negara, jaringan seluler rata-rata lebih cepat ketimbang jaringan Wi-Fi, dan perbedaannya terkadang bisa sangat jauh. Bahkan di negara maju seperti Australia pun, jaringan seluler bisa lebih cepat hingga 13 Mbps dibanding Wi-Fi.

Sayangnya Indonesia tidak termasuk salah satu negara yang diamati, tapi di negara Asia Tenggara seperti Myanmar, selisih kecepatan jaringan seluler dan Wi-Fi juga nyaris mencapai angka 10 Mbps. Wi-Fi sendiri hanya bisa menang jauh di negara-negara seperti Hong Kong, Singapura, Korea Selatan dan Amerika Serikat, alias negara yang terkenal dengan kecepatan koneksi internetnya.

Di Eropa, tepatnya di negara seperti Norwegia dan Belanda, jaringan seluler dan Wi-Fi tampak berimbang kecepatannya. Pertanyaannya, kenapa bisa begini situasinya? Kita semua tahu bahwa selama ini Wi-Fi selalu menjadi pilihan yang lebih ideal untuk menyambungkan smartphone ke internet.

Persepsi seperti itu rupanya hanya berlaku sampai era jaringan 3G saja. Di saat jaringan LTE sudah begitu matang seperti sekarang, Wi-Fi tak lagi bisa dianggap lebih superior, meski tetap saja dibutuhkan untuk keperluan local networking maupun ekosistem smart home.

Kemenangan jaringan seluler atas Wi-Fi soal kecepatan ini jelas akan semakin jauh lagi ketika era 5G sudah datang dan menjadi mainstream nanti. Jadi kalau Anda sering nongkrong dan dibuat frustrasi dengan jaringan Wi-Fi di sana, mungkin berlangganan paket internet seluler adalah langkah yang lebih bijak.

Sumber: Engadget. Gambar header: Pixabay.

Indosat Ooredoo Demonstrates 5G Technology with Ericsson

In order to celebrate its 51st birthday, Indosat Ooredoo partners with Ericsson to demonstrate 5G by presenting the way to use its technology. Both companies highlighted two main products, the test bed for 5G and 3D-AR (Augmented Reality).

Arief Musta’in, Indosat Ooredoo’s Director & Chief Innovation Officer, said the 5G technology has the potential to accelerate digital transformation in various industries in Indonesia, and readiness to use 5G technology is one of Indosat Ooredoo’s visions to build a competitive video quality network.

“5G has the potential to accelerate digital transformation in various industries in Indonesia, and empower consumers with innovative implementation. The preparation of 5G is in our vision to build a video quality network. Indosat Ooredoo partners with Ericsson proudly present study case demonstration of 5G usage, particularly the first 3D Augmented Reality experience in Indonesia which allows innovation in various industries, such as education and health care,” he explained.

The 5G technology’s test bed has reached 10Gbps per EU (User Equipment) of a total 20Gbps. It also has beam tracking, 5G’s top skill that allows higher capacity and performance. In addition, this technology also provides 4K videos to the EU via 5G radio.

On the other hand, 3D-AR technology intends to present deeper interaction and experience with virtual objects looking alive like a realistic photo of human’s anatomy and 360-degree images of planet Earth.

Indosat Ooredoo and Ericsson also introduced a demo of 5G deployment considerations and connected drones to be tested from long distance or using the current flight path.

“5G represents major cellular technology evolution that allows new possibility and application. We believe the 5G technology to play a leading role in the digital transformation in Indonesia. Ericsson partners with Indosat Ooredoo to improve network and quality for customers. In this demonstration, we expect a crystal figure of 5G benefits in our lives, and how Ericsson and Indosat Ooredoo to continue this partnership in bringing our best work to improve network quality in Indonesia,” Jerry Soper, Ericsson Indonesia’s President Director, said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian