AC Ventures Secured 823 Billion Rupiah Fund, Targeting 30 Early-Stage Startups in Indonesia

AC Ventures (ACV) today (12/10) announced the first close of ACV III Capital L.P. worth of $56 million or the equivalent of 823 billion Rupiah. It is said to be invested in 30 potential startups over the next three years. ACV III is targeted to reach $80 million or the equivalent of 1.1 trillion Rupiah for early-stage startup investment in Indonesia.

ACV is particularly interested to explore investment opportunities in startups in the fields of e-commerce, fintech, supporting SMEs, and digital media. Some of their previous portfolios include Shipper, Kargo, Stockbit, BukuWarung, ESB, CoLearn, KitaBeli, Aruna, and Soul Parking.

“Our fund LPs include leading digital and strategic corporates, local Indonesian conglomerates, as well as technology entrepreneurs who have scaled billion-dollar businesses,” the Managing Partner, Adrian Li said.

ACV is a partnership venture capital firm, consisting of 3 partners, 6 professional investors, and supporting teams. Prior to becoming ACV, Convergence Ventures and Agaeti Ventures managed funds through CVI (’15) and AVI (’18) with respective returns of 31% and 48%.

Investment in time of the pandemic

Indonesia’s digital economy is growing at an unprecedented rate in 2020 due to the “disruption” of the Covid-19 pandemic. Next, many venture capitalists have to revisit the condition of the ecosystem. Regarding this, the ACV team told DailySocial that they had witnessed several interesting trends developing in all startup portfolios. This certainly raises enthusiasm to continue investing in sectors in the investment thesis.

“[Due to Covid-19] We don’t have a stringent criterion, as for every company, business model, and sector, we need to have a different approach in doing the due diligence. We evaluate companies based on market potential, founders, and traction/proof of product-market fit perspective. However, we do want to see companies that can scale but also have a path to positive unit economics,” Adrian added.

As conditions vary, including demographics, ACV is quite confident that the startup ecosystem in Indonesia will be quite promising. The market will continue to accelerate in adopting technology support. For this reason, it is an opportunity for digital startups to become a billion-dollar company, especially in critical sectors such as fintech, logistics, also education, health, agriculture, and SME support.

“We look for founders that demonstrate resilience and willingness to adapt the businesses in the face of adversity. As for competition, it is not unusual to see many players in a particular space, since it just reaffirms the opportunity of the sector. The markets we invest in tend to be large enough to accommodate a few players. It’s not always a winner takes all outcome. We are confident that our founders have incredible potential to succeed in their respective sectors,” Adrian added.

Besides Adrian Li, as the founder partner of ACV, there are Michael Soerijadji and Pandu Sjahrir who represent Indies Capital. It is said that ACV’s ambition is to take advantage of the founders’ industry insights, provide support, and a global network to empower founders to build businesses that are able to democratize various fields in Indonesia and Southeast Asia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

AC Ventures Bukukan Dana Kelolaan 823 Miliar, Targetkan 30 Startup Tahap Awal di Indonesia

AC Ventures (ACV) hari ini (12/10) secara resmi mengumumkan penutupan pertama ACV III Capital L.P. Di penutupan pertama, dana senilai $56 juta atau setara 823 miliar Rupiah berhasil dikumpulkan dan akan diinvestasikan ke 30 startup potensial selama tiga tahun ke depan. ACV III ditargetkan mencapai $80 juta atau setara 1,1 triliun Rupiah untuk investasi startup tahap awal di Indonesia.

Secara khusus ACV berminat mencari peluang investasi di startup bidang e-commerce, fintech, pendukung UKM, dan media digital. Beberapa portofolio mereka sebelumnya termasuk Shipper, Kargo, Stockbit, BukuWarung, ESB, CoLearn, KitaBeli, Aruna, dan Soul Parking.

“LP dana kami mencakup perusahaan digital dan strategis terkemuka, konglomerat lokal Indonesia, dan wirausahawan teknologi yang telah mengembangkan bisnis miliaran dolar,” ujar Managing Partner Adrian Li.

ACV adalah perusahaan modal ventura kemitraan, terdiri dari 3 mitra, 6 investor profesional, dan tim pendukung. Sebelum menjadi satu dalam ACV, Convergence Ventures dan Agaeti Ventures telah mengelola dana melalui CVI (’15) dan AVI (’18) dengan tingkat pengembalian masing-masing 31% dan 48%.

Investasi di masa pandemi

Ekonomi digital Indonesia tumbuh pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya di tahun 2020 ini akibat “gangguan” pandemi Covid-19. Kemudian, banyak pemodal ventura harus melihat ulang kondisi ekosistem. Terkait hal itu, kepada DailySocial tim ACV mengatakan, pihaknya menyaksikan beberapa tren menarik yang berkembang di seluruh startup portofolio. Hal itu tentu memunculkan semangat tersendiri untuk terus berinvestasi pada sektor-sektor yang dalam tesis investasinya.

“[Karena Covid-19] kami tidak mengetatkan kriteria investasi, karena untuk setiap perusahaan, model bisnis, dan sektor kami memerlukan pendekatan berbeda dalam melakukan due diligence. Kami mengevaluasi perusahaan berdasarkan potensi pasar, pendiri, dan daya tarik/pembuktian product-market fit. Kami tidak hanya ingin melihat perusahaan yang dapat melakukan skalabilitas, tapi juga memiliki jalur menuju unit ekonomi yang positif,” ujar Adrian menambahkan.

Melihat berbagai kondisi, termasuk demografi, ACV cukup yakin bahwa ekosistem startup di Indonesia akan menjanjikan. Pasar akan terus melakukan percepatan dalam mengadopsi dukungan teknologi. Untuk itu, menjadi peluang tersendiri bagi startup digital untuk bisa menjadi perusahaan miliaran dolar, khususnya di sektor-sektor kritis seperti fintech, logistik dan tidak menutup kemungkinan pendidikan, kesehatan, pertanian, dan pendukung UKM.

“Kami mencari pendiri yang menunjukkan ketangguhan dan kemauan untuk menyesuaikan bisnis dalam menghadapi kesulitan. Mengenai persaingan, tidak jarang melihat banyak pemain di ruang tertentu, karena itu menegaskan kembali peluang sektor tersebut. Pasar tempat kami berinvestasi cenderung cukup besar untuk menampung beberapa pemain. Tidak selalu pemenang mengambil semua hasil. Kami yakin para pendiri kami memiliki potensi luar biasa untuk sukses di bidangnya masing-masing,” imbuh Adrian.

Selain Adrian Li, selaku founder partner ACV terdapat Michael Soerijadji dan Pandu Sjahrir yang mewakili Indies Capital. Dikatakan ambisi ACV adalah memanfaatkan wawasan industri pada pendiri, memberikan dukungan dan jaringan global untuk memberdayakan para founder dalam membangun bisnis yang mampu mendemokratisasi berbagai bidang di Indonesia dan Asia Tenggara.

KitaBeli Optimis Model “Team Buying” Bisa Diterima di Tengah Kematangan Pasar E-commerce

Berdasarkan laporan yang dibuat Econsultancy bersama Magento dan Hootsuite pada bulan Oktober 2019 berjudul “The State of Social Commerce in Southeast Asia”, industri social commerce diproyeksikan akan bertumbuh signifikan. Dengan lebih dari 350 juta pengguna internet di Asia Tenggara dan 90% masyarakat terhubung ke internet menggunakan smartphone, peluang untuk bertransaksi sangatlah besar.

Pandemi juga menjadi pemancing positif kepada startup yang menyasar social commerce. Besarnya demand dilengkapi dengan penggunaan media sosial hingga model pembelian secara bersama (team buying), menjadi sangat ideal bagi startup yang menyasar social commerce untuk tumbuh secara positif. Salah satu startup yang mencoba untuk menghadirkan layanan tersebut adalah KitaBeli.

Fokus kepada konsep “team buying”

KitaBeli didirikan oleh Prateek Chaturvedi, Ivana Tjandra, Subhash Bishnoi, dan Gopal Singh Rathore pada Maret 2020. Platform tersebut memfasilitasi pembelian barang kebutuhan pokok, FMCG, dan produk kebutuhan rumah tangga lain—secara berkelompok (team buying). Pengguna aplikasi KitaBeli mengundang kenalannya untuk membentuk grup, kemudian membeli produk bersama dengan potongan harga.

“Memperhatikan bahwa platform lain tidak fokus pada berbagi dan aspek sosial pembelian, kami memutuskan untuk memulai KitaBeli dan memungkinkan pengguna Indonesia untuk melakukan hal ini dengan lebih baik secara online,” kata Co-founder KitaBeli Prateek Chaturvedi.

Pendekatan yang langsung ke pelanggan akhir (direct-to-consumer) membuat KitaBeli berbeda dengan pemain social commerce lain di Indonesia. Pengguna langsung memesan barang di aplikasi, bukan melalui agen atau reseller. Cara ini membuat KitaBeli mampu membangun loyalitas pelanggan dan model bisnis yang lebih menguntungkan. Di platform lain kebanyakan pengguna diharuskan untuk berbicara dengan pemasok, mengonfirmasi stok, dan lainnya. Proses tersebut dapat memakan waktu berjam-jam.

“Kami juga melakukan pengiriman cepat. Semua pesanan dikirim dalam 2 hari dengan biaya yang sangat rendah. Dengan konsep berbagi dan mengajak teman Anda untuk bergabung dengan aplikasi, pengguna kami mendapatkan lebih banyak diskon. Mereka juga bisa melihat apa yang dibeli temannya, dan bergabung dengan grup teman tersebut, untuk mendapatkan harga yang lebih murah,” kata Prateek.

KitaBeli kini telah beroperasi di area Jabodetabek, dengan jumlah pelanggan yang tumbuh dengan pesat. Model pembelian berkelompok mendorong pengguna untuk mengajak kenalannya untuk bergabung dan mengunduh aplikasi KitaBeli. Selain itu, nilai transaksi per pengguna di aplikasi KitaBeli terus tumbuh setiap bulan.

“Pengguna KitaBeli suka dengan fitur sosial KitaBeli. Mereka juga puas dengan kecepatan pengiriman barang, 95% dari pesanan diantar dalam 2 hari. Dari Jakarta, kami berencana untuk segera memperluas layanan ke kota-kota lain, termasuk kota tier 2-4,” kata Co-founder KitaBeli Ivana Tjandra.

Pendanaan tahapan awal

Akir bulan Agustus 2020, KitaBeli mengumumkan pendanaan tahapan awal dengan nilai yang tidak dipublikasikan. Dalam putaran yang dipimpin oleh East Ventures, AC Ventures bergabung ronde pendanaan tersebut dengan partisipasi dari beberapa angel investor. Selain memperluas area layanan ke kota tier 2-4, penerapan teknologi dengan mengembangkan produk menjadi rencana dari perusahaan selanjutnya.

“Kami berfokus untuk menciptakan pengalaman pengguna yang luar biasa, dan meningkatkan loyalitas pengguna. Pengguna kami sangat menyukai aplikasi ini. Setiap bulan mereka membeli lebih banyak dari kami, dan sangat sering membeli. Ini lebih penting bagi kami sekarang daripada jumlah pengguna,” kata Prateek.

Tim KitaBeli berbasis di India dan Indonesia, terdiri dari tim teknologi di Bengaluru serta tim operasional dan tim pemasaran di Jakarta. Sebelum mendirikan KitaBeli, Prateek adalah founder Getfocus.in, perusahaan SaaS penyedia solusi pemasaran B2B asal India yang diakuisisi Moka pada 2018. Adapun, Ivana berpengalaman mengembangkan bisnis dan vertikal baru untuk Bridestory dan Handy.

“KitaBeli memperkenalkan team buying ke salah satu pasar ecommerce dengan pertumbuhan paling pesat. Kami antusias untuk bermitra dengan Prateek dan Ivana, membawa cara berbelanja baru ini ke konsumen Indonesia,” kata Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

“Pengalaman ini mendorong pembelian barang kebutuhan pokok harian dengan frekuensi tinggi. Prateek dan Ivana adalah entrepreneur yang berpengalaman dan visioner dengan keahlian operasional di pasar lokal. Mereka ada di posisi terbaik untuk membangun cerita teknologi consumer selanjutnya di Indonesia,” kata Managing Partner AC Ventures Adrian Li.

Application Information Will Show Up Here

Aruna Memperoleh Suntikan Dana Senilai 81 Miliar Rupiah

Aruna berhasil mengamankan pendanaan anyar senilai $5,5 juta atau sekitar 81 miliar Rupiah. Startup bidang kelautan dan perikanan ini memperoleh suntikan modal anyar dari investor-investor mereka terdahulu.

Melalui pernyataan resmi disampaikan bahwa East Ventures, AC Ventures, dan SMDV merupakan nama-nama yang terlibat dalam pendanaan Aruna ini. Dana segar tersebut ditengarai berkat pertumbuhan Aruna yang mencapai 86 kali lipat di tengah pandemi.

“Selama pandemi ini, pendapatan Aruna pada semester I/2020 tumbuh 86 kali dibanding semester I/2019. Aruna adalah salah satu perusahaan yang terdampak positif oleh krisis. Hal ini membuat kami bersemangat,” ucap Co-Founder & Managing Partner East Ventures, Willson Cuaca.

Alokasi dana

Aruna sudah memiliki sejumlah rencana dalam pemanfaatan dana segar tersebut. Co-Founder & CEO Aruna Farid Naufal Aslam menjelaskan, perluasan ekspansi jadi fokus pertama perusahaan. Aruna sendiri saat ini sudah menggandeng ribuan nelayan di 31 lokasi pesisir dari Sumatera hingga Papua.

Ekspansi yang dimaksud oleh Farid adalah memperbanyak titik-titik penyerapan ikan di dalam satu provinsi. Penambahan jangkauan ke daerah-daerah baru juga dilakukan seperti ke Kalimantan Timur, Sulawesi, dan Papua.

Farid menyebut dana itu juga akan dipakai untuk menjaring talenta-talenta baru, mengembangkan produk-produk baru termasuk penggunaan Internet of Things (IoT) untuk memperkuat kualitas produk mereka. Yang tak kalah penting Aruna juga mengalokasikan dana anyar itu untuk memperkuat basis komunitas nelayan dan peningkatan produktivitas mereka terhadap kualitas dan standardisasi produk.

“Aruna berencana mendukung usaha pemerataan ekonomi dengan menjangkau lebih banyak titik pesisir di berbagai wilayah Indonesia,” tegas Farid.

Permintaan yang tinggi

Farid menyebut ada sejumlah faktor yang menyebabkan Aruna tumbuh cukup pesat meski di masa pandemi begini. Pertama adalah banyaknya nelayan yang memilih bergabung dengan Aruna. Banyaknya nelayan yang baru bergabung itu tak lepas dari faktor kedua yakni permintaan yang meningkat.

Farid mengakui produk mereka tadinya lebih banyak diserap untuk kebutuhan ekspor. Namun sejak pandemi berlangsung, logistik dan transportasi melemah sehingga memaksa Aruna menengok pasar ritel domestik. Di samping itu ia juga menyebut faktor kenaikan harga produk perikanan di awal tahun.

“Karena permintaan yang tetap besar itu kita menambah daerah aktivitas produksi,” imbuh Farid.

Pandu Sjahrir Mengungkap Impian Besarnya untuk Industri Startup Nusantara

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Dalam beberapa tahun terakhir, Pandu Sjahrir menjadi sorotan dalam industri teknologi. Dari Ketua SEA Group Indonesia, Anggota Dewan Gojek, dan yang terbaru ditunjuk menjadi Komisaris BEI termuda.

Dimulai dari hobi yang produktif, investasi kini menjadi bisnis utamanya sebagai profesional juga sebagai salah satu investor terkemuka di Asia Tenggara untuk perusahaan tahap awal dan yang mulai berkembang. Pandu juga menjabat sebagai Managing Partner of Indies Capital yang mengelola Indies Special Opportunities Fund, manajer aset alternatif terkemuka di kawasan ini, serta Indies Pelago, secondary fund teknologi di Asia Tenggara. Dan yang belum lama ini diperkenalkan, adalah entitas baru bernama AC Ventures.

Dengan pola pikir ekonomi yang mengalir dalam gen-nya, Pandu Sjahrir berhasil bertahan melalui perjuangan finansial dan mengakui tidak takut akan kegagalan. Selama ia masih memiliki keluarga yang luar biasa mendukung serta tim yang solid di sisinya. Ia memiliki impian yang cukup besar untuk industri teknologi Indonesia, dan inilah skenarionya.

Sebagai seorang investor yang fokus pada perusahaan berkembang, bagaimana Anda melihat lanskap industri investasi di Indonesia di masa pandemi COVID-19 ini?

Dunia sebelum pandemi COVID adalah dunia yang berbeda dari yang ada saat ini, teknologi telah berkembang jauh lebih besar dari sekadar bisnis. Setiap paruh, perkembangannya semakin pesat karena banyaknya adopsi. Dalam hal belanja, bermain game, bahkan sekarang bekerja dan belajar online. Orang-orang beradaptasi dengan dunia baru ini menggunakan platform teknologi untuk terhubung satu sama lain.

Hal ini turut mengubah cara kita memandang investasi. Mulai dari bisnis yang dapat mengambil manfaat dari cara baru berinteraksi dan berkomunikasi. Namun, kehidupan terus berjalan dan masyarakat tetap harus memenuhi kebutuhannya sehari-hari, tetapi cara untuk memenuhi hal-hal tersebut telah berubah. Kita harus berpikiran terbuka menghadapi dunia baru setelah pandemi COVID-19 ini, bagaimana fase baru ini akan berjalan.

Hal lain yang juga layak dibahas adalah peran deglobalisasi. Apa yang terjadi di perusahaan-perusahaan AS tidak serta merta terjadi di Indonesia. Hal yang sama berlaku untuk perusahaan Cina. Kita telah melihat lebih banyak solusi lokal untuk masalah sehari-hari, tidak melulu tentang solusi global. Hal-hal baik yang terjadi dalam 30 tahun terakhir dari “globalisasi” ini adalah peningkatan aset manusia serta kasta negara, negara-negara berkembang semakin bergerak menjadi negara-negara yang lebih maju.

Menurut Anda, bagaimana posisi Indonesia dalam skema deglobalisasi ini?

Indonesia akan tetap menjadi Indonesia. Ketika globalisasi membentuk perkembangan ekonomi begitu juga di negara besar lainnya, dengan perusahaan bernilai miliaran dolar yang sekarang ada dalam portofolio ekonomi kita, pada akhirnya kita harus bisa menemukan solusi lokal.

Jika ini benar menjadi sebuah tesis, tentu saja, akan memakan waktu. Dalam hal logistik saja, kita tidak bisa lepas dari rantai pasok global karena masih bergantung pada negara lain untuk mengembangkan suatu produk. Bayangkan jika faktanya ada banyak negara yang menerapkan deglobalisasi. Karena itu, muncul satu alasan lagi untuk lebih mendalami penilaian risiko.

Satu hal menarik, jaman dulu ada defisit kepercayaan yang besar pada perusahaan baru di Indonesia. Generasi kita sebelum ini mungkin belum bisa berpikiran digital, tetapi generasi saat ini benar-benar mengadopsi dan mampu memberikan kepercayaan. Tidak hanya untuk perusahaan besar berumur lebih dari 20 tahun yang dijalankan oleh pemerintah atau lembaga milik negara, tetapi juga untuk perusahaan baru yang dirintis 10 tahun terakhir.

Bayangkan apa saja yang bisa dilakukan oleh semua perusahaan teknologi dalam satu dekade terakhir dan juga perilaku generasi muda yang mau mencoba. Saat ini, semuanya jelas sangat berdampak. Kepercayaan itu dibangun tidak dengan waktu singkat.

Anda pertama kali dikenal sebagai pimpinan Toba Bara Sejahtera, juga mengepalai asosiasi terkait. Namun, beberapa tahun terakhir, Anda terlihat aktif dalam industri teknologi dalam negeri. Apa yang mendorong Anda untuk masuk ke dalam industri digital?

Ketika saya akhirnya kembali ke Jakarta untuk meneruskan bisnis keluarga di sektor energi, keluarga saya belum memiliki mindset digital. Karena itu, pada awalnya saya sendiri. Sebagai karyawan pertama di Toba, saya memberi nama Toba Bara dan membawanya public pada tahun 2012.

Sejujurnya, saya mulai berinvestasi dalam teknologi pada tahun 2013-2014, tanpa sorotan. Saat itu, tidak ada yang tahu nama perusahaan kami, mulai dari Garena lalu menjadi SEA, tetapi kemudian Shopee lahir sebagai perusahaan yang mereka rintis. Saya telah berinvestasi selama 7 tahun terakhir, tetapi tidak ada yang tahu sampai beberapa tahun terakhir karena meningkatnya popularitas perusahaan.

Selama itu, saya bertemu banyak teman investor, juga mempelajari berbagai hal seiring perjalanan. Semua dana yang keluar adalah dari kantong saya sendiri sampai sekitar tahun 2017, saya bergabung dengan Indies Capital, manajer aset alternatif terkemuka yang berfokus pada industri di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Dan belum lama ini, ada entitas baru juga di AC Ventures. Sebenarnya itu berawal dari hobi produktif yang berkembang menjadi bisnis utama. Sekarang, orang mengenal saya sebagai investor di tahap awal serta beberapa hal lainnya.

Anda baru saja dilantik sebagai salah satu komisaris BEI, boleh share sedikit mengenai rencana ke depan untuk mendorong industri teknologi Indonesia menjadi lebih baik?

Pandu Sjahrir pada saat pelantikan komisaris BEI
Pandu Sjahrir pada saat pelantikan komisaris BEI

Tujuannya adalah untuk melangkah lebih jauh dalam 10-12 tahun ke depan. Faktanya, sepuluh perusahaan teratas Amerika adalah perusahaan teknologi. Di Indonesia, daftar ini masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan perbankan dan telekomunikasi – persis seperti 10 tahun yang lalu. Adalah tugas kami untuk menangkap nilai ekonomi dari semua perusahaan teknologi ini untuk sampai ke sana. Saya menyebutnya outlier, perusahaan luar biasa yang berkembang sangat cepat, bisa melihat Indonesia, terdaftar, dan menjadikan kita sebagai tujuan utama.

Selanjutnya, untuk menyeriusi pasar modal dan memberikan tempat investasi yang aman dan andal menuju masa depan yang lebih baik. Selalu ada satu atau dua masalah dalam hal ini, intinya berkaitan dengan institusi saat ini. Kita harus proaktif dalam hal mengelola setiap masalah. Kita harus bisa mengatakan, “Kami terbuka bagi setiap investor, tidak terkeciuali investor minoritas, dan kami dapat membuat perusahaan besar terdaftar di Indonesia.” Mengikuti tujuan utama untuk menjadi lima ekonomi teratas di dunia pada tahun 2025, industri pasar modal kita juga harus ada di sana.

Berada pada posisi Anda saat ini, apakah ada kendala untuk berpacu dengan geliat industri yang cenderung cepat? Adakah kisah atau pengalaman sulit selama berkecimpung dalam industri?

Ada sebuah masa kelam, dimana saya sempat mengalami kehilangan anggota keluarga juga penyusutan secara finansial. Lalu saya banyak berinvestasi, namun mengalami beberapa kegagalan. Sepanjang jalan, saya belajar bagaimana mengelola risiko dengan lebih baik dan belajar lebih banyak dalam hal ini. Namun, saya lega mengetahui fakta bahwa hal ini tidak mungkin lebih buruk daripada masa kelam itu. Selama itu tidak melumpuhkan saya, secara finansial, semua akan baik-baik saja. Saya belajar banyak tentang karakter manusia dengan cara ini. Pada akhirnya, saya berinvestasi dalam prinsip, karakter, dan model bisnis.

Kegagalan tidak bisa dihindari, tetapi bagaimana Anda berdiri lagi adalah yang terpenting. Ini sebuah ungkapan klasik, tetapi terbukti. Saya sangat senang memiliki keluarga yang luar biasa, istri yang sangat mendukung juga aktif dalam membangun bisnisnya, dan seorang putri yang cantik. Dalam hal pekerjaan, kami telah membentuk sebuah tim yang solid.

Sejujurnya, situasi Covid-19 seharusnya bisa menjadi alasan saya untuk kecewa, sebaliknya, saya merasa sehat dan bersyukur secara pribadi. Meskipun, seluruh ketidakpastian ini menciptakan efek finansial dimana saya beserta kebanyakan orang tidak dapat menyangkal. Saya selalu mengatakan pada diri sendiri bahwa hal ini layaknya krisis lain yang harus Anda lalui sebelum mulai beradaptasi.

Apa atau siapa yang sudah berjasa dalam kesuksesan serta berbagai pencapaian Anda? Adakah sosok yang menjadi inspirasi atau support system di balik kerja keras selama ini?

Dalam hal teladan, ayah saya adalah nomor satu. Dia adalah seorang yang idealis, dengan cara berpikir beliau yang memiliki efek tersendiri bagi saya. Selain itu, ibu saya juga sosok yang memiliki pendirian kuat, sama seperti paman saya yang sekarang menjabat sebagai salah satu menteri Indonesia. Belian adalah salah satu yang mendorong saya untuk kembali ke Indonesia dan membantu saya memahami negara ini lebih baik melalui sudut pandangnya.

Ada satu kisah yang menarik, ketika orang tua saya mengatakan, “Kami tidak punya warisan apapun untuk kamu selain pendidikan dan etos kerja”. Seketika, rasa takut akan hidup tanpa memiliki apapun menghantam saya dan mendorong saya untuk mulai bekerja sejak dini. Jika saya tidak akan mewarisi kekayaan materi, saya harus bisa mendapatkannya sendiri. Hal ini menjadi awal dari hobi investasi saya. Selain itu, keluarga akan selalu menjadi support system nomor satu saya.

Dari sisi pendidikan, apakah menurut Anda latar belakang studi di luar negeri menjadi sebuah privilege dalam membangun mindset?

Memiliki kedua orang tua yang hanya peduli tentang pendidikan menciptakan perasaan yang campur aduk. Mereka benar-benar prihatin dengan cara saya belajar sehingga mengirim saya ke luar negeri demi memberikan pendidikan terbaik. Saat itu, adalah di Amerika. Saya belajar ekonomi di Chicago, kemudian pergi ke Standford untuk sekolah bisnis. Saya bertemu banyak perusahaan berbasis teknologi juga banyak teman.

Untungnya, tinggal di luar negeri membentuk rasa disiplin saya, dengan biaya tinggi dan segala permasalahannya. Kembali ke Jakarta, menjadi masa-masa sulit bagi yang memiliki mindset New Yorker seperti saya. Selama dua hingga tiga tahun pertama, Indonesia sangat sulit. Namun, dari usaha menjadi pendengar yang baik juga lancar berkomunikasi, saya belajar secara progresif untuk membuat keputusan yang lebih baik. Saya mendapat pelajaran dengan tinggal di luar negeri, tetapi kembali ke Indonesia adalah berkah lain.

Pandu Sjahrir
Pandu Sjahrir

Pernahkan Anda membayangkan menjadi seorang Founder? Melihat banyaknya VC di Indonesia yang dibentuk oleh ex-Founder atau mereka yang bekerja di perusahaan teknologi.

Saya belum berpikir sejauh itu. Saya tidak pernah menempatkan diri saya atau berfikir bahwa akan menjadi seperti itu. Bahkan, saya sudah merasaa bersyukur dengan kesempatan untuk berbincang seperti ini. Saya belum merasa pantas untuk disebut expert dalam marketing. Pola pikir saya selalu tentang berinvestasi dulu. Saya masih harus banyak belajar.


Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Pandu Sjahrir Reveals His Dream Scenario in Indonesia’s Tech Industry

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

In the past few years, Pandu Sjahrir has captured spotlights all over the tech industry. From the Chairman of SEA Group Indonesia, Board Member of Gojek, and the latest one is appointed to be the youngest IDX’s Commissioners.

Starting off with a productive hobby of investing, he currently has a full-time business as a professional and one of Southeast Asia’s leading investors in the seed and early growth stages. He is also the Managing Partner of Indies Capital, which controls Indies Special Opportunities Fund, the leading alternative asset manager in the region, and Indies Pelago, a secondary tech fund in Southeast Asia. And most recent, is the new entity called AC Ventures.

With the economic-mindset runs in his genes, Pandu Sjahrir managed to survive through a financial struggle and admit to not afraid of failure. As long as he has a very supportive family and a strong team on his side. He has quite a big dream for Indonesia’s tech industry, and here’s the scenario.

As an active investor with a focus on the growth companies, how do you see the current investment landscape in Indonesia during COVID-19 pandemic?

Pre-COVID is a different world than today, technology has become a much bigger part of the business. Every quarter, the number increases very strongly because of the adoption. In terms of shopping, playing games, even now working and studying online. People are adapting to this new world using technology platforms to connect to each other. That also changes the way we should look at investing. Starting from businesses that can benefit from this new way of relating, communication, or interacting. In fact, life goes on and people still have to do their daily needs, but the way to deliver has changed. We have to be very open-minded about the new COVID-19 world, on how should we look at the new world stage.

Another thing worth mentioning is the role of deglobalization. What happens in the US companies doesn’t t necessarily translate into happening in Indonesia. The same thing applies to China companies. We’re seeing more local solutions to everyday problems, not necessarily a global solution. What’s good about what has happened within the last 30 years of this “globalization” has been the improvement of human capital as well as tier countries, developing countries turning into more developed countries.

Where do you think Indonesia will be in this deglobalization era?

Indonesia will be Indonesia. As globalization shaped our economic development as well as other large countries, with billion-dollar companies that now exist in our economic portfolios, we will eventually find local solutions. If that makes it a thesis, obviously, it’ll take time. In terms of logistics, our world is actually a global supply chain as we still rely on other countries to develop a product. Imagine if it’s true a lot of countries to become deglobalized. Indeed, it’s another reason to do the risk assessment.

Interestingly, there used to be a big trust deficit in new companies in Indonesia. Our previous generation might not be as digital-minded, but today generation actually adopts and capable of giving trust. Not only for those over-20 year big companies run by the government or state-own institutions but also for the past 10 year companies. Imagine the fact of all these tech companies have done in the last decade and also the behavior of the younger generation willing to give a try. Nowadays, that’s obviously quite prevailing. It takes time to build trust.

You’re first known as the Executive of Toba Bara Sejahtera, also head of the related association. However, in the past few years, you’ve seen quite active in the Indonesian tech sector. What triggers you to chip in the digital industry?

When I finally moved back to Jakarta for the family business in the energy sector, my family was barely into digital. Therefore, it was basically just me. I was the first employee at Toba, built the name Toba Bara and took it public in 2012.

In fact, I started investing in technology in 2013-2014, but quietly. Back then, nobody even knows the name of the companies, starting from Garena turn into SEA, but then Shopee was the company that they built. I’ve been doing it for the last 7 years, but nobody knows until the last couple of years due to the company’s increasing popularity.

During this time, I met fellow investors, also learned this and that along the way. It was practically my own capital until around 2017, I joined Indies Capital, a leading alternative asset manager focusing on Southeast Asia, especially Indonesia. And recently, the new entity called AC Ventures. It was actually just a productive hobby that turned into a full-time business. Now, people know me as an investor, early-stage to many different things.

You’re recently appointed as IDX commissioner, what kind of plans do you have in mind to drive the Indonesian tech business to a better future?

Pandu Sjahrir at IDX Commissioners Inauguration
Pandu Sjahrir at IDX Commissioners Inauguration

The aim goes further in 10-12 years ahead. In fact, America’s top ten companies are technology companies. In Indonesia, it is still being dominated by banking and telco companies –exactly how it was 10 years ago. It is our job to capture the economic value of all these technology companies to get there. I’d like to call them outliers, amazing companies growing really fast, to look at Indonesia, to be listed, and set us as the main destination.

Next, deepening the capital market and providing a safe and reliable investment towards a better future. There’s always this kind or two issues, essentially with today’s institutions.  We have to be proactive in terms of managing that issue. We have to be able to say, “We are investor-friendly, especially minority investors, and we’re able to have great companies listed in Indonesia.” Following our goal to be the top five economies in the world by 2025, our capital market has to be there as well.

At your current position(s), have you had any difficulty to cope up with the fast-moving industry? Would you share some stories, bad decisions, rough season, or any kind of hardships?

It was one of my darkest, after experiencing the loss of a family member also down in financial. I invested a lot, I failed a bit. Along the way, I learn how to manage risk better and more to this lesson. However, I was glad to know the fact that it couldn’t be more at a bottom than that. As long as it doesn’t kill me, financially, I’m okay. I learned a lot about people that way. In the end, I invest in principles, character, and business models.

Failure is inevitable, but how you stand up again is what matters. It’s classic, but it’s true. I’m so glad to have a great family, a supportive wife who also very active in building her business, and a lovely daughter. In terms of work, we’ve turned into a strong team.

To be honest, the Covid-19 situation should’ve let me down, instead, I feel personally healthy and thankful. Although, the whole uncertainty creates such a financial effect that I and most other people can’t deny. I always taught myself that this is just like the other crisis where you have to go through before you start to adapt.

On what or who can you attribute the current success or achievement? Do you have any figure, or role model, that keeps your dream high, or the kind of support system that stops you from giving up?

When it comes to role models, my father is one. He was an idealist, somehow it’s really got to me how he used to think. Also, my mother is also a very strong-minded person, as well as my uncle who is now served as one of the Indonesian ministers. He also the one who encouraged me to moved back to Indonesia and helped me understand this country better through his point of view.

Interesting story, it started off when my parents told me “We have no legacy for you other than education and work ethic”. Instantly, the fear of having nothing to live off hits me and that encouraged me to start working early. If I won’t be inherited anything material, I better make my own. This is also the beginning of my investing hobby. Otherwise, the family will always be my number one support system.

In terms of educational background, do you think it’s a privilege to be able to study abroad and learn about other country’s mindset?

Having both parents who only cared about education is quite a mixed feeling. They’re really concerned about the way I put up with mine that they sent me abroad to provide the best-guaranteed education. Back then it was in the US. I studied economics in Chicago and later went to Standford for business school. I met a bunch of tech-based companies and lots of friends.

Fortunately, living abroad gives me a sense of discipline due to the high-cost and everything in between. Moving back to Jakarta, it was very hard for a New Yorker-minded person like me. For the first two to three years, Indonesia was very difficult. However, from listening well and communicating well, I’m learning progressively to make better decisions. I have my lessons by living abroad, but moving back to Indonesia is another blessing.

Pandu Sjahrir
Pandu Sjahrir

Have you ever picture yourself as a tech founder? Given the circumstances of most VCs in Indonesia also created by ex-Founders or formerly working at tech companies.

I haven’t thought that far. I’ve never put myself or thought of myself that way. It’s simply a blessing the fact that I mattered enough to have this conversation. I don’t think I’m quite enough to be said an expert in marketing. My mindset is always been about investing first. I still have a lot to learn.

Quona Capital Led BukuWarung’s Pre-Series A Fundraising

BukuWarung, which provides a financial reporting application and management for micro-business credit transactions, announced a pre-series A fundraising led by Quona Capital. Several previous investors participate in this round, including East Ventures, AC Ventures, Golden Gate Ventures, Tanglin Venture Partners, and Michael Sampoerna.

There is no detailed information on when the target to close this round, but BukuWarung claims to have raised funds up to 8-digit value.

BukuWarung’s Co-Founder, Abhinary Peddisetty said, “Limited access to banks and other financial institutions makes micro businesses rely on pens, paper, and calculators to report on cash and credit transactions in their stores. Our vision is to build a digital infrastructure for 60 million MSMEs in Indonesia, which began with a simple application for recording financial and digital payments.”

As a new startup arrived in Indonesia, BukuWarung is one that is quite fast in fundraising. Last April, they had just announced seed funding led by East Ventures, the nominal was not mentioned. However, they are confident enough as they have successfully trusted by 250 thousand stalls in 500 cities and districts in Indonesia.

To date, they claim to win the trust of 600 thousand stalls three months later with distribution reaching 750 cities and districts throughout Indonesia.

“We will use the new funds to improve our technology team, go deeper into our product roadmap, increase the number of our traders (users), and meet the initial monetization goals in Q3 2020,” BukuWarung’s Co-founder Chinmay Chauhan said.

BukuWarung also plans to launch digital payments and provide access to financial services to traders, especially access to capital as a further form of innovation.

“We are leading the market in this sector with the strong focus on building superior products and better addressing our traders’ needs. We want to activate more than 1 million traders in the next 2 months,” Chinmay continued.

SME Empowerment services

BukuWarung is one of many new services focused on SME sector. From Mitra Tokopedia, Mitra Bukalapak, GrabKios, PayFazz, BukuKas, WarungPintar, Wahyoo, until recently Ula, are currently focusing on the SME sector with each role. From the digital process and supply chain.

This is quite difficult for BukuWarung, considering the early phase with more innovations from its competitors. In addition, BukuWarung is not offering other services besides reporting, amid the fast-moving startup phase, BukuWarung should further improve.

The company alone is optimistic with the accounting app concept that helps micro-businesses to manage debit and credit transactions. The automatic debt notification is said to help the shop owners to receive payment three times faster.

“We’re both come from micro-business family, therefore, we do have experience the difficulty in cash flow management and loan to expand the business. We designed the product to be useful to business owners with low-end smartphones, storage, or limited connectivity,” Chinmay said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Quona Capital Pimpin Penggalangan Dana Pra-Seri A BukuWarung

BukuWarung startup yang menyediakan aplikasi pencatatan keuangan dan pengelolaan transaksi kredit usaha mikro mengumumkan penggalangan pendanaan pra-seri A yang dipimpin oleh Quona Capital. Beberapa investor terdahulu akan turut terlibat di putaran ini, termasuk East Ventures, AC Ventures, Golden Gate Ventures, Tanglin Venture Partners, dan Michael Sampoerna.

Belum ada informasi kapan target putaran ini ditutup, hanya saja pihak BukuWarung mengklaim telah kumpulkan dana menyentuh angka 8 digit.

Co-founder BukuWarung Abhinary Peddisetty menyampaikan, “Akses yang terbatas ke bank dan institusi keuangan lain membuat pelaku usaha mikro mengandalkan pulpen, kertas, dan kalkulator untuk mencatat transaksi tunai dan kredit di toko mereka. Visi kami adalah membangun infrastruktur digital untuk 60 juta UMKM di Indonesia yang diawali dengan aplikasi sederhana untuk pencatatan keuangan dan pembayaran digital.”

Sebagai startup baru yang muncul di Indonesia, BukuWarung termasuk salah satu yang cukup cepat dalam penggalangan dana. April silam mereka baru saja mengumumkan pendanaan awal yang dipimpin East Ventures, kala itu tidak ada nominal yang disebutkan. Hanya saja mereka sudah cukup percaya diri dengan perjalanannya karena sudah berhasil dipercaya 250 ribu warung di 500 kota dan kabupaten di Indonesia.

Kini tiga bulan setelahnya mereka mengklaim sudah berhasil mendapatkan kepercayaan dari 600 ribu warung dengan sebaran mencapai 750 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia.

“Kami akan menggunakan dana baru untuk meningkatkan tim teknologi kami, masuk lebih dalam pada roadmap produk kami, meningkatkan jumlah pedagang (pengguna) kami, dan memenuhi tujuan monetisasi awal di Q3 2020″, ujar Co-founder BukuWarung Chinmay Chauhan.

BukuWarung juga berencana meluncurkan pembayaran digital dan memberikan akses layanan keuangan ke para pedagang, terutama akses ke permodalan sebagai bentuk inovasi selanjutnya.

“Kami memimpin pasar di ruang ini, karena fokus yang kuat pada membangun produk unggulan dan menyelesaikan kebutuhan pedagang kami dengan lebih baik. Kami ingin mengaktifkan lebih dari 1 juta pedagang dalam 2 bulan ke depan,” ujar Chinmay melanjutkan.

Banyaknya layanan untuk UKM

BukuWarung adalah satu dari banyaknya layanan baru yang fokus menggarap setor UKM. Mulai dari Mitra Tokopedia, Mitra Bukalapak, GrabKios, PayFazz, BukuKas, WarungPintar, Wahyoo, hingga yang terbaru Ula pun mulai menaruh fokus pada sektor UMKM dengan keunggulan masing-masing. Mulai dari digitalisasi proses hingga rantai pasokan atau supply chain.

Ini menjadi tugas berat bagi BukuWarung, mengingat mereka masih tergolong baru dan para pesaingnya yang sudah mulai banyak berinovasi. Ditambah lagi BukuWarung saat ini belum banyak meluncurkan layanan lain selain pencatatan, di tengah iklim startup yang serba cepat BukuWarung harusnya bisa dengan segera berbenah.

BukuWarung sendiri cukup optimis dengan konsep aplikasi akuntansi yang membantu pemilik usaha mikro untuk mengelola transaksi tunai dan kredit. Adanya fitur notifikasi utang yang dikirim secara otomatis diklaim mampu membuat pemilik usaha yang telah menggunakan BukuWarung menerima pembayaran utang tiga kali lebih cepat.

“Kami berdua berasal dari keluarga pemilik usaha mikro sehingga memahami kesulitan mereka dalam mengelola arus kas dan mengakses pinjaman untuk mengembangkan bisnis. Kami mendesain produk yang bisa digunakan dengan mulus oleh pelaku usaha pemilik ponsel low-end, kapasitas penyimpanan yang sedikit, atau konektivitas data terbatas,” terang Chinmay.

Application Information Will Show Up Here

Shipper Announces Series A Funding Led by Prosus Ventures

The logistics platform aggregator and marketplace, Shipper, today (18/6) announced the series A funding with undisclosed value, this investment was led by Prosus Ventures (formerly Naspers Ventures) with the participation of Lightspeed, Floodgate, Y Combinator, Insignia Ventures, and AC Ventures.

In fact, the rumor has been circulating since last month, a source says the value obtained is up to US$20 million or equivalent to 283 billion Rupiah. However, Shipper and its investors are reluctant to comment on this.

The company closed its seed round in September 2019, secured US$5 million from Lightspeed Ventures Partners, Floodgate Ventures, Insignia Ventures Partners, Convergence Ventures, and Y Combinator. Shipper is also part of the Y Combinator startup accelerator program for the 2019 Winter batch.

Debuted in 2017, Shipper was founded by Budi Handoko and Phil Opamuratawongse. The services enable SMEs to have a logistics dashboard, exploring the most efficient and cheapest shipping service based on the goods/destination. They also provide API-based services, to be integrated into a digital application.

“Using this investment, Shipper will continue to grow and look for local talents to join us in building strong data through technology to develop logistics and shipping requirements which has not been well structured,” Shipper’s Co-Founder & COO Budi Handoko said.

Shipper is to expand the coverage area and help consumers find the best shipping partner; without having to waste time comparing costs, orders, tracking, and insurance. To date, Shipper has worked with more than 100 express couriers.

Challenges in logistics

According to data summarized by ResearchAndMarkets.com, the Indonesian logistics market is projected to reach US$240 billion in 2021, it is quite similar to the logistics market projection in India of US$215 billion in 2020. It is also driven by the growth of the e-commerce business, especially the SME sector.

Despite the big number, according to Shipper, the logistics market in Indonesia is still classified as very inefficient. In tier 2 and tier 3 cities, shipping costs often add up to 40% of total transactions in e-commerce, thus becoming a major barrier for people in these cities to adopt e-commerce in whole.

“Shipper comes as a solution to the three main problems of logistics aspects in Indonesia, from shipping services options, complex warehousing, lack of price transparency, and the below-average ability to track routes,” Budi added.

In Indonesia, the e-logistics platform continues to develop. For the platform aggregator, besides Shipper, there is also Anjelo which was launched at the end of 2019. The types of logistics services offered include last-mile delivery, cargo via air and sea, customs services, and warehousing.

In addition, using a more integrated model into its platform, Bukalapak also launched BukaSend. It aggregates services from logistics partners registered in the company to make it easier for consumers to make shipments and order couriers.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Shipper Umumkan Pendanaan Seri A, Dipimpin Prosus Ventures

Startup pengembang platform aggregator dan marketplace logistik Shipper hari ini (18/6) mengumumkan perolehan pendanaan seri A. Tidak disebutkan nilai yang diperoleh, investasi ini dipimpin oleh Prosus Ventures (sebelumnya Naspers Ventures) dengan dukungan Lightspeed, Floodgate, Y Combinator, Insignia Ventures, dan AC Ventures.

Sebenarnya rumor pendanaan ini sudah beredar sejak bulan lalu, sumber mengatakan nilai yang didapat hingga US$20 juta atau setara 283 miliar Rupiah. Kendati demikian pihak Shipper dan investor enggan untuk memberikan komentar tentang ini.

Perusahaan menutup seed round mereka pada September 2019, bukukan dana senilai US$5 juta dari Lightspeed Ventures Partners, Floodgate Ventures, Insignia Ventures Partners, Convergence Ventures, dan Y Combinator. Shipper juga tergabung dalam program akselerator startup Y Combinator untuk periode Winter 2019.

Debut sejak tahun 2017, Shipper didirikan oleh Budi Handoko dan Phil Opamuratawongse. Layanan mereka memungkinkan UKM memiliki dasbor logistik, untuk menemukan layanan pengiriman yang paling efisien dan murah sesuai dengan barang/tujuan. Mereka juga sediakan layanan berbasis API, untuk diintegrasikan ke dalam sebuah aplikasi digital.

“Dengan investasi ini, Shipper akan terus berkembang dan terus mencari talenta lokal berkualitas untuk bergabung dengan kami dalam membangun data yang kuat melalui teknologi untuk menyusun pemenuhan kebutuhan logistik dan pengiriman yang belum terstruktur dengan baik,” ungkap Co-Founder & COO Shipper Budi Handoko.

Dengan investasi terbaru ini Shipper akan memperluas jangkauan solusi mereka dan membantu konsumen dalam menemukan mitra pengiriman terbaik; tanpa perlu menghabiskan waktu dalam mempertimbangkan perbandingan biaya, pesanan, pelacakan, dan asuransi. Saat ini, Shipper telah bekerja dengan lebih dari 100 kurir ekspres.

Tantangan bisnis logistik

Menurut data yang dirangkum ResearchAndMarkets.com, pasar logistik Indonesia diproyeksikan akan mencapai US$240 miliar pada 2021, angka ini hampir sama dengan estimasi pasar logistik di India sebesar US$215 miliar di 2020. Salah satunya didorong oleh pertumbuhan bisnis e-commerce, terutama digerakkan sektor UKM.

Kendati besar, menurut Shipper, pasar logistik di Indonesia masih tergolong sangat tidak efisien. Di kota tier 2 dan tier 3, biaya pengiriman sering kali bertambah hingga 40% dari total transaksi di e-commerce, sehingga menjadi penghalang utama bagi masyarakat di kota-kota tersebut untuk mengadopsi e-commerce secara massal.

“Shipper hadir sebagai solusi atas tiga masalah utama aspek logistik di Indonesia, mulai dari pemilihan jasa pengiriman, pergudangan yang rumit, kurangnya transparansi harga, dan kemampuan pelacakan rute yang masih di bawah rata-rata,” tambah Budi.

Di Indonesia platform e-logistik terus berkembang. Untuk platform aggregator, selain Shipper ada juga Anjelo yang diresmikan akhir 2019 lalu. Jenis layanan logistik yang ditawarkan meliputi last mile delivery, kargo via udara maupun laut, layanan kepabeanan, hingga pergudangan.

Selain itu, dengan model yang lebih terintegrasi dengan platformnya, Bukalapak juga luncurkan BukaSend. Mengagregasi layanan dari mitra logistik yang telah tergabung ke perusahaan untuk memudahkan konsumen melakukan pengiriman dan pemesanan kurir.