eFishery Boyong Tim DycodeX ke Perusahaan untuk Perkuat Lini Pengembangan Produk [UPDATED]

eFishery mengumumkan telah melakukan acquihire terhadap tim dari startup IoT DycodeX. Founder Andri Yadi dan timnya kini akan bergabung ke eFishery di Divisi Produk AIoT & Cultivation Intelligence.

Divisi tersebut menjadi kunci di balik pengembangan produk eFeeder, inovasi pemberian pakan otomatis untuk budidaya ikan dan udang. Dengan memanfaatkan teknologi IoT, eFeeder telah membuktikan kemampuannya untuk meningkatkan produktivitas pembudidaya serta petambak dan memungkinkan efisiensi penggunaan pakan hingga 30%, sambil memberikan wawasan berharga kepada pembudidaya dan petambak mengenai perencanaan pakan dan hasil panen.

Angkat Andri jadi VP

Andri Yadi juga diangkat menjadi VP Divisi Produk AIoT & Cultivation Intelligence di eFishery. Timnya akan ditempatkan sesuai dengan keahlian mereka dalam pengembangan perangkat keras IoT, firmware, kecerdasan buatan (AI), platform, dan aplikasi. Dalam struktur tim baru ini, ada rencana ambisius untuk mengembangkan produk AI & IoT dalam 2-3 tahun ke depan.

Rencana ini juga bertujuan untuk meluncurkan lebih dari 10 produk inovatif pada tahun 2024, termasuk perangkat IoT baru dan platformnya, produk berbasis GenAI, serta solusi kecerdasan aquaculture lainnya.

Keputusan strategis acquihiring ini bertujuan untuk memperkuat posisi eFishery di pasar, meningkatkan kemampuan perusahaan, dan mendorong pertumbuhan serta inovasi yang berkelanjutan

“Andri Yadi dan timnya dapat memperkuat dan mempercepat implementasi AI dan IoT dalam ekosistem eFishery, memungkinkan kami untuk memenuhi kebutuhan dan tantangan di industri akuakultur melalui inovasi teknologi yang terus berkembang. Khususnya dalam bidang AI & IoT, kami berharap bahwa inovasi yang lahir dari kolaborasi ini dapat memberikan solusi yang tepat sasaran untuk keberlanjutan dan pertumbuhan industri akuakultur dan bisnis yang dihadapi oleh para pembudidaya dan petambak,” ujar Co-Founder & CEO eFishery Gibran Huzaifah.

Sekilas DycodeX

Andri Yadi dan tim sebelumnya fokus ke DycodeX, sebuah startup yang didirikan di Bandung sejak tahun 2015. Ada sejumlah produk yang dihasilkan, seperti SMARTernak, Smarterbike, DytraX, dan Smart Gallon — semua layanan ini memanfaatkan kapabilitas AI dan IoT untuk automasi. Jauh sebelum itu,  sejak 2007 Andri juga adalah Founder & CEO Dycode yang lebih fokus ke pengembangan aplikasi mobile.

Startup ini juga telah mendapatkan pendanaan dari sejumlah investor dan angel dengan nilai tidak disebutkan. Terkhir mereka membukukan putaran seri A di tahun 2018.

“eFishery secara konsisten telah menemukan penerapan tepat guna untuk teknologi tersebut dalam bidang akuakultur. Saya yakin bahwa dengan bergabungnya kami ke eFishery, perusahaan akan lebih siap untuk pertumbuhan bisnis yang pesat, didukung oleh fondasi teknologi yang kuat. Dalam sinergi ini, baik AI maupun IoT, yang melebur menjadi AIoT, akan menjadi teknologi pendukung utama,” kata Andri Yadi.

Sejak menerima pendanaan seri D dan menjadi unicorn, eFishery terus bergerak lincak menggandakan pertumbuhannya. Akhir tahun lalu mereka juga sudah mantapkan ekspansinya ke India, dengan debut awal menjangkau 1000 hektar kolam dan 3000 metrik ton pakan.

Di Indonesia sendiri, eFishery mengklaim telah membantu lebih dari 200 ribu pembudidaya dan petambak. Adapun produk yang dimiliki juga semakin menyeluruh, mulai dari menyediakan akses terhadap pakan, pendanaan, hingga pasar untuk pembudidaya.

*Update: kami mengubah judul artikel, pihak eFishery mengatakan tidak mengakuisisi DycodeX secara perusahaan, hanya memboyong timnya

Application Information Will Show Up Here

Amartha Accelerates Product Innovation, Acqui-hiring Surabaya Based Software House

P2p lending startup Amartha announced an acquisition of a Surabaya based software company, Twiscode (PT Dapur Rumah Sejahtera) with an undisclosed value. Twiscode talents will join Amartha’s engineer team to accelerate product and technology development plans.

Amartha‘s Chief Commercial Officer, Hadi Wenas explained to DailySocial, the company is currently in need for engineer talent to proceed with innovation and expansion plans after securing the latest fund. Twiscode is considered a perfect fit for the business’ demand.

Moreover, both companies maintain adequate relationship through several collaborations, therefore, Twiscode’s talents have proven reputation and quality. “As we’ve already work together, the chemistry is there, they also want to be part of Amartha to realize the mission,” Wenas said.

Amartha’s Senior Vice President of Engineering, William Notowidagdo added, the pandemic and the work from home (WFH) policy have proven the fact that digital talent demand can be fulfilled without having to rely only to Jakarta’s supply.

“Today’s local talents throughout Indonesia have the same opportunity to contribute to startups like Amartha,” he said. After the acquisition, the entire Twiscode team of 47 people became part of Amartha’s R&D office, named “Amartha Development Center Surabaya”.

Technology development plans

Wenas also mentioned a lot of technological scope at Amartha that could be improved. They are currently focusing on three segments from lender, internal and borrower.

For example, in terms of lender, every one lender will be possible to fund each project in Amartha starting from Rp100 thousand from the previous minimum rate of Rp5 million. “Furthermore, there are some things can be accelerated from the lender registration and verification in the future.”

Moreover, in the internal side, as 1/3 of the borrowers do not have a smartphone, Amartha requires a field officer for the verification process and fund disbursement through a separate application. The company is to launch the latest technology for cashless loan disbursement.

“We want to increase our coverage field officers, therefore, increase their productivity.”

William mentioned another technology to assist borrower verification and attendance is to provide a face recognition feature, enough with the manual process using signature. This solution is to overcome the field conditions, where most of these borrowers are illiterate and whose fingerprints unrecognized using a biometric machine.

To comply with TKB, aside from field officers and absenteeism, Amartha applies four groups with 92 parameters for credit scoring, including business parameters, demographics, ability to pay, and willingness to pay. All of these parameters are made specifically for the underserved segment, it will be different from most p2p players.

“Our survey is not whether he can pay or not, but a survey based by looking at the house condition, for example whether they’re using LPG or kerosene, the presence of refrigerator, dirt or tile based floor, and so on. In the future, we will definitely evolve.”

One of the popular scoring parameters is borrowers’ awareness towards smartphone. The one supporting factor is for the children to study. This should gradually made the increase of social media awarness to borrowers.

“When social media usage increases, we will attit with 92 parameters considering that digital adoption in the village will increase in the future,” Wenas said.

The company released Amartha Plus with three features, Warung Loan Non Mitra, Warung Loan Mitra, and Amartha Pulsa/PPOB. In the first feature, the company becomes a financial partner for paylater products for stall partners registered in the Sampoerna Retail Community (SRC) network. This collaboration allows SRC’s stall partners to pay the due date for each stock purchase.

Next, for the Warung Loan Mitra, it allows stall partners in the Amartha network to purchase FMCG product stocks wholesale through Tanihub, company’s agritech partner. Currently, it has available at 11 points in East Java, there are more than 100 partners shop regularly, and offering more than 4 thousand SKUs .

Last, Amartha Pulsa, whose service is more straight forward for balance top-up and PPOB. This service has been used in 93 points out of 497 Amartha network points.

The growth of fintech lending

Indonesia’s fintech lending statistic per May 2021 / OJK

Throughout 2021, the fintech lending industry continues to growth rapidly. Based on OJK’s statistics as of May 2021, there are 118 conventional and 9 sharia fintech lending providers. The total assets owned reach 4.1 trillion Rupiah. The platforms also managed to accommodate around 8.7 million lender accounts (p2p) channeling 13.8 trillion Rupiah of funds.

In order to maximize this momentum, the company has taken a number of strategic actions. Most recently, they appointed former Minister of Communication and Information Rudiantara as Commissioner. In June 2021, they received 107 billion Rupiah investment from Norfund which is an institution owned by the Norwegian government. It follows the previous round of IDR 405 billion led by WWB Capital Partners II and MDI Ventures.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Percepat Inovasi Produk, Amartha “Acquihire” Perusahaan Piranti Lunak Asal Surabaya

Startup p2p lending Amartha mengumumkan acquihire terhadap perusahaan piranti lunak asal Surabaya Twiscode (PT Dapur Rumah Sejahtera) dengan nilai dirahasiakan. Talenta Twiscode sepenuhnya akan bergabung sebagai tim engineer Amartha untuk mempercepat rencana pengembangan produk dan teknologi.

Kepada DailySocial, Chief Commercial Officer Amartha Hadi Wenas menjelaskan, perusahaan membutuhkan talenta engineer dalam waktu cepat untuk merealisasikan seluruh rencana inovasi dan ekspansi Amartha pasca-mengantongi pendanaan. Pihaknya melihat Twiscode memenuhi seluruh kriteria yang dibutuhkan perusahaan.

Terlebih itu, keduanya memiliki relasi bisnis yang cukup baik lewat sejumlah kerja sama yang pernah dijalin sebelumnya, sehingga reputasi dan kualitas talenta Twiscode telah terbukti. “Karena kami sudah saling kenal jadi ada chemistry, mereka pun ingin jadi bagian dari Amartha untuk mewujudkan misi itu,” ucap Wenas.

Senior Vice President of Engineering Amartha William Notowidagdo menambahkan, pandemi dan tren work from home (WFH) menjadi pembuktian bahwa pemenuhan talenta digital dapat dilakukan tidak harus bergantung lagi pada suplai di Jakarta saja.

“Sekarang talenta di daerah juga punya kesempatan yang sama untuk berkontribusi di startup seperti Amartha,” ucapnya. Setelah acquihire, seluruh tim Twiscode yang berjumlah 47 orang menjadi bagian dari kantor R&D Amartha, dinamai “Amartha Development Center Surabaya”.

Rencana pengembangan teknologi

Wenas melanjutkan masih banyak ruang lingkup teknologi di Amartha yang bisa ditingkatkan jadi lebih baik. Di Amartha sendiri ada tiga segmen teknologi yang difokuskan, yakni dari sisi lender, internal, dan borrower.

Misalnya, untuk segmen lender, nantinya memungkinkan per lender dapat mendanai setiap proyek di Amartha mulai dari Rp100 ribu dari sebelumnya minimal Rp5 juta. “Lalu dari registrasi lender dan verifikasinya ada yang bisa lebih dipercepat lagi ke depannya.”

Kemudian, dari sisi internal, karena 1/3 borrower belum memiliki smartphone, maka Amartha membutuhkan kehadiran field officer untuk proses verifikasi dan pencairan dana yang dibantu lewat aplikasi tersendiri. Teknologi teranyar yang tengah disiapkan adalah proses pencairan dana pinjaman secara cashless.

“Kami ingin meningkatkan coverage field officer kami sehingga produktivitas mereka jadi lebih tinggi.”

William menyebutkan teknologi lainnya untuk membantu verifikasi dan absensi borrower adalah menghadirkan fitur face recognition, tidak lagi harus proses manual dengan tanda tangan. Solusi ini untuk mengatasi kondisi di lapangan, yang mana para borrower ini mayoritas buta aksara dan sidik jari yang tidak bisa terbaca bila memakai mesin biometrik.

Dalam menjaga TKB, selain memanfaatkan kehadiran field officer dan absensi, Amartha menerapkan empat grup dengan 92 parameter untuk skoring kredit, di antaranya parameter bisnis, demografis, kemampuan untuk bayar, dan kemauan untuk bayar. Seluruh parameter ini dibuat khusus untuk segmen underserved, sehingga berbeda dengan pemain p2p kebanyakan.

“Jadi survei kita itu bukan dia bisa bayar atau enggak, tapi dari survei dengan melihat kondisi rumahnya, misalnya pakai LPG atau minyak tanah, ada kulkas atau tidak, lantai rumahnya masih tanah atau ubin, dan sebagainya. Ke depannya pasti akan kita evolve.”

Salah satu parameter skoring yang tengah melonjak adalah awareness borrower terhadap kebutuhan smartphone. Faktor penunjangnya tak lain untuk anak-anak para peminjam untuk sekolah. Kebutuhan tersebut lambat laun membuat kesadaran borrower terhadap media sosial meningkat.

“Ketika usage media sosial naik, akan kita kawinkan dengan 92 parameter mengingat adopsi digital di desa bakal meningkat ke depannya,” pungkas Wenas.

Perusahaan merilis Amartha Plus dengan tiga fitur, yakni Warung Loan Non Mitra, Warung Loan Mitra, dan Amartha Pulsa/PPOB. Pada fitur pertama, perusahaan menjadi mitra finansial produk paylater untuk mitra warung yang masuk dalam jaringan Sampoerna Retail Community (SRC). Kerja sama ini memungkinkan mitra warung SRC dapat membayar tempo untuk setiap belanja stok.

Berikutnya untuk fitur Warung Loan Mitra, memungkinkan mitra warung di jaringan Amartha dapat melakukan pembelian stok produk FMCG secara grosir melalui Tanihub, mitra agritech yang digandeng perusahaan. Terhitung saat ini telah beroperasi di 11 poin di Jawa Timur, ada lebih dari 100 mitra yang belanja secara rutin, dan tersedia lebih dari 4 ribu SKU.

Terakhir adalah Amartha Pulsa yang layanannya lebih straight forward untuk pembelian pulsa dan PPOB. Layanan ini sudah dipakai di 93 poin dari 497 poin jaringan Amartha.

Perkembangan fintech lending

Statistik Fintech Lending Indonesia Mei 2021 / OJK

Sepanjang tahun 2021 ini, industri fintech lending masih terus memperlihatkan geliat pertumbuhan. Menurut data statistik OJK per Mei 2021, ada 118 penyelenggara fintech lending konvensional dan 9 syariah. Secara total, total aset yang dimiliki mencapai 4,1 triliun Rupiah. Para platform juga berhasil mengakomodasi sekitar 8,7 juta rekening pemberi pinjam (p2p) menyalurkan dana 13,8 triliun Rupiah.

Untuk memaksimalkan momentum tersebut, sejumlah aksi strategis telah dilakukan. Teranyar mereka menunjuk mantan Menkominfo Rudiantara sebagai Komisaris. Pada Juni 2021 lalu mereka juga baru mendapatkan investasi 107 miliar Rupiah dari Norfund yang merupakan lembaga milik pemerintah Norwegia. Ini melanjutkan perolehan sebelumnya senilai 405 miliar Rupiah dari putaran yang dipimpin WWB Capital Partners II dan MDI Ventures.

Application Information Will Show Up Here

KoinWorks Rampungkan Akuisisi Pengembang Piranti Lunak di Yogyakarta

KoinWorks telah merampungkan akuisisi penuh pengembang piranti lunak di Yogyakarta dengan nilai yang tidak disebutkan. Seluruh talenta dari perusahaan tersebut dilebur menjadi tim engineering untuk KoinWorks — prosesnya dikenal dengan istilah acquihire.

Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO KoinWorks Benedicto Haryono menerangkan akusisi ini telah rampung sekitar dua bulan lalu. Sejak saat itu, perusahaan tersebut telah dilebur sepenuhnya dengan KoinWorks.

“Sudah jalan, ada kantor barunya di Yogya. Mereka fungsinya untuk full engineering saja, suasananya dibuat ‘kampus banget’ sehingga bisa bekerja dengan rileks,” terang dia, saat ditemui di NextICorn International Summit 2019, Kamis (14/11).

Ada 40 tambahan talenta engineering dari sana. Hanya saja, ia enggan menyebut nama perusahaan yang ia akuisisi dengan alasan sensitif.

Dia beralasan mengakuisisi perusahaan tersebut, lantaran memiliki talenta yang cukup baik. Terlebih internal KoinWorks sendiri memang tengah memperkuat jajaran tim.

Sebelumnya, Benedicto sudah menyampaikan rencana akuisisi ini pada awal tahun pasca mengantongi pendanaan Seri A+ dari Quona Capital. Kala itu misinya untuk pengembangan pusat R&D.

Selain perkuat tim engineering, perusahaan sedang menambah tim baru untuk level menengah ke atas untuk produk dan legal compliance. KoinWorks saat ini memiliki sekitar 200 karyawan, berada di Jakarta dan Yogyakarta.

Awal bulan ini, KoinWorks mengumumkan perolehan tambahan pendanaan Seri B dan Seri B2 senilai SG$18,5 juta (setara 190 miliar Rupiah) dari Saison Capital, fund khusus yang dibentuk Credit Saison. Pendanaan ini menjadikan perusahaan portofolio pertama dari Saison Capital di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Gojek Acquires AirCTO, an India Based Recruitment Platform Developer

Gojek acquires startup from Bengaluru, India called AirCTO. After the acquisition, the whole team will join Gojek. The startup is known as an Artificial Intelligence (AI)-based recruitment platform developer for high-quality talents.

“It’s in line with Gojek’s focus to hire premium talents to support the Super App,” Gojek’s representative said as quoted from YourStory.

“AirCTO has a great team and recruitment solution in automating recruitment for the best engineer. Our team is to focus on innovation on the recruitment process, specifically to develop and implement the technology solution to simplify the process,” Gojek India’s Managing Director, Sidu Ponnapa said.

AirCTO’s Founder, Atif Haider stated the compatible side with Gojek and said his commitment to contribute for business development in Southeast Asia.

Currently, Gojek is one of the Indonesian startups with very rapid growth. Not only in its origin, but Gojek is also now trying out their luck in the Southeast Asia region, such as Vietnam, Thailand, Singapore, and the Philippines.

In the journey, Gojek has made some strategic acquisitions to tighten its position. Either to expand the service segment or recruiting talents. Some of the acquisitions are Coin.ph, Midtrans, Kartuku, Mapan, and Promogo. In India, they previously acquired a health startup, Pianta and a mobile app developer consultant, LeftShift.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Gojek Akuisisi AirCTO, Pengembang Platform Perekrutan Asal India

Gojek mengakuisisi startup asal Bengaluru, India bernama AirCTO. Pasca akuisisi ini seluruh tim AirCTO akan bergabung dengan Gojek. Startup tersebut dikenal sebagai pengembang platform perekrutan yang memanfaatkan Artificial Intelligence (AI) untuk mendapatkan talenta berkualitas.

“Menyesuaikan dengan fokus Gojek untuk mempekerjakan talenta premium untuk mendukung pengembangan Super App,” terang juru bicara Gojek seperti dikutip dari YourStory.

“AirCTO memiliki tim yang hebat dan solusi rekrutmen yang mengotomatisasi pencarian talenta engineer terbaik. Tim akan fokus pada inovasi di proses rekrutmen kami, terutama untuk mengembangkan dan mengimplementasikan solusi teknologi yang merampingkan seluruh proses rekrutmen,” terang Managing Director Gojek India Sidu Ponnappa.

Sementara itu Founder AirCTO Atif Haider menjelaskan bahwa ia menemukan kecocokan dengan Gojek dan berkomitmen untuk ikut berkontribusi dan pada pertumbuhan perusahaan di Asia Tenggara.

Sejauh ini Gojek merupakan salah satu startup asal Indonesia dengan pertumbuhan sangat pesat. Tak hanya di negara asalnya, kini Gojek juga mencoba peruntungan di regional Asia Tenggara, seperti di Vietnam, Thailand, Singapura, dan Filipina.

Dalam perjalanannya Gojek sudah beberapa kali melakukan strategi akuisisi untuk memperkuat bisnisnya. Baik untuk memperluas segmen layanannya maupun mendapatkan talenta. Beberapa startup yang sudah diakusisi Gojek antara lain adalah Coin.ph, Midtrans, Kartuku, Mapan, dan Promogo. Sedangkan untuk India, Gojek sebelumnya juga telah mengakusisi startup kesehatan Pianta dan konsultan pengembang aplikasi mobile LeftShift.

Application Information Will Show Up Here

Bukalapak “Acquires” Prelo’s Talents and Technology

Bukalapak has taken a strategic step this year by performing acquihire acquiring Prelo’s talents and technology. We’ve been informed that Fransiska Hadiwidjana, Prelo’s Founder, is now Bukalapak’s Head of Business.

There’s no further information following this strategic step, whether Prelo will be closed or keep running independently. Prelo’s operation is still active by the time this article is published.

Teddy Oetomo, Bukalapak’s Chief Strategy Officer, confirmed to DailySocial, “Bukalapak didn’t acquire Prelo, we only acquire the talents with unique and special skills according to Bukalapak’s requirements.”

“Sorry, we can’t share the further plan or strategy just yet,” he said.

This isn’t Bukalapak’s first acquisition or acquihire. Previously, M. Fajrin Rasyid, Bukalapak’s Co-Founder and President, explained that they had begun to acquire several software houses (in terms of acquihire).

On the occasion, he said the company is on progress to explore the acquisition of e-commerce players which already synergised and Prelo was one of the first target. Prelo and Bukalapak have similar C2C market segment.

Prelo is a marketplace for pre-loved or secondhand items. Prelo is based in Bandung and Bukalapak has already opening R&D center in the region.

Update: Bukalapak insists the correct term is “a creative scheme to acquire Prelo’s talents and technology”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Bukalapak Lakukan “Akuisisi Terhadap Talenta dan Teknologi” Prelo

Layanan marketplace Bukalapak melakukan langkah strategisnya tahun ini dengan melakukan acquihire “akuisisi terhadap talenta dan teknologi” Prelo. Informasi yang kami peroleh memastikan Founder Prelo Fransiska Hadiwidjana kini menjadi Head of Business Bukalapak.

Belum ada informasi lebih lanjut tentang nasib Prelo sebagai bisnis pasca langkah strategis ini, apakah akan ditutup atau tetap berjalan secara independen. Juga siapa saja talenta yang mengikuti jejak Fransiska. Saat tulisan ini dimuat, situs Prelo masih aktif beroperasi.

Kepada DailySocial, Chief Strategy Officer Bukalapak Teddy Oetomo mengonfirmasi, “Bukalapak tidak mengakuisisi Prelo, namun kami hanya mengakuisisi talenta-talenta dari Prelo yang memiliki talenta unik  dan istimewa yang sesuai dengan kebutuhan Bukalapak.”

“Mohon maaf terkait rencana maupun strategi ke depan kami belum bisa share,” ujarnya.

Ini bukanlah skema akuisisi atau acquihire pertama yang dilakukan Bukalapak. Sebelumnya Co-Founder dan President Bukalapak M. Fajrin Rasyid menjelaskan bahwa pihaknya sudah mulai melakukan akuisisi terhadap beberapa software house.

Di kesempatan tersebut Fajrin menyebutkan, pihaknya tengah dalam tahap penjajakan akuisisi terhadap pemain e-commerce yang bersinergi dengan perusahaan dan tampaknya Prelo yang menjadi sasaran pertamanya. Prelo dan Bukalapak memiliki segmen pasar yang beririsan sebagai marketplace C2C.

Prelo merupakan marketplace yang memiliki semangat memerangi barang palsu dengan menghadirkan platform jual beli barang-barang pre-loved atau barang tangan kedua. Prelo berbasis di Bandung dan kebetulan tahun ini Bukalapak membuka pusat R&D baru di Kota Kembang ini.

Update: Bukalapak bersikukuh langkah yang diambil bukan merupakan akuisisi atau acquihire, melainkan “skema kreatif” untuk mengakuisisi talenta dan teknologi Prelo

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Tahun Ini Go-Jek Berencana Lipatgandakan Jumlah Engineer India

Agar bisnis Go-Jek makin mulus, perusahaan berencana untuk melipatgandakan jumlah engineer dari India menjadi lebih dari 200 orang. Saat ini engineer-nya di sana berjumlah 100 orang, hasil akuisisi terhadap 4 startup sepanjang tahun 2016. Angka tersebut bakal jadi jumlah engineer terbanyak yang dimiliki Go-Jek, dibandingkan di Indonesia (100 orang) dan Singapura (10 orang).

Go-Jek juga berencana untuk kembali melanjutkan aksi acquihire startup asal India, setelah sukses melakukan hal serupa pada Pianta, C42 Engineering, CodeIgnition, dan LeftShift tahun lalu.

CEO dan Founder Go-Jek Nadiem Makariem mengatakan rencana tersebut menjadi langkah Go-Jek yang ingin memperkuat layanan fintech Go-Pay serta jasa kurir makanan dan parsel. Sejak GoPay diluncurkan, transaksi yang menggunakan Go-Pay mendominasi lebih dari 50% dari total transaksi yang masuk ke perusahaan.

“Kami tidak pernah melihat adopsi Go-Pay yang begitu cepat di masyarakat,” ucap Nadiem seperti dikutip dari Bloomberg.

Dia melihat pembayaran digital jadi kunci utama Go-Jek memenangkan kompetisi dan membangun bisnis yang berpotensi menguntungkan. Go-Pay yang terintegrasi dengan aplikasi Go-Jek dapat menyimpan uang pengguna di ponsel mereka. Pengguna dapat top up dana lewat transfer dari rekening bank atau ATM.

Bila pengguna tidak memiliki rekening bank, mereka dapat top up secara offline dari pengemudi Go-Jek. Go-Pay bisa digunakan untuk seluruh transaksi dari layanan yang tersedia di Go-Jek. Rencananya perusahaan akan membuka layanan ini untuk merchant yang sudah bekerja sama dengan GoJek tahun ini.

Perkembangan Go-Pay

Masifnya tingkat penggunaan Go-Pay oleh pengguna Go-Jek didorong berbagai promo, seperti diskon 50% untuk setiap pengguna menggunakan jasa Go-Ride atau jasa lainnya. Selain diskon, kini Go-Pay akan terus memperkenalkan use-case baru di dalam ekosistem Go-Jek, salah satunya yang terkini adalah meluncurkan fitur Go-Points.

Fitur ini adalah bentuk apresiasi Go-Jek terhadap pengguna yang setia memanfaatkan berbagai layanan yang ditawarkan perusahaan. “Melalui fitur ini, pelanggan dapat memperoleh poin loyalti dari setiap transaksi layanan yang dibayar menggunakan Go-Pay. Pengguna yang menukarkan poin tersebut akan mendapat reward menarik,” terang Head of Go-Pay Filman Ferdian kepada DailySocial.

Meski demikian, pihaknya enggan membeberkan lebih detil pencapaian dari Go-Pay terkini. Dia hanya mengungkapkan penggunaan Go-Pay terus tumbuh dengan sangat pesat baik dalam hal top up, transaksi, maupun pengguna. Perusahaan akan terus membuat proses isi ulang dana Go-Pay semudah mungkin.

“Kami tidak bisa memberikan informasi terkait penggunaan Go-Pay, akan tetapi yang dapat kami sampaikan adalah Go-Pay meningkatkan loyalitas pengguna Go-Jek itu sendiri. Pelanggan yang menggunakan Go-Pay lebih sering menggunakan jasa Go-Jek dibandingkan pelanggan yang belum menggunakan Go-Pay,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Go-Jek Akuisisi LeftShift India untuk Perkuat Tim Aplikasi Mobile

Go-Jek mengumumkan akuisisi terhadap LeftShift, sebuah konsultan pengembang aplikasi mobile yang berbasis di India. Dengan akuisisi, atau lebih tepatnya acqui-hire ini, para pengembang LeftShift akan bergabung dengan Go-Jek Engineering India yang berpusat di Bangalore. Hal ini bakal menambah kembali jajaran pekerjaan teknis yang “diekspor” ke India.

LeftShift sebelumnya merupakan konsultan Go-Jek dalam pengembangan aplikasi mobile. Managing Director Go-Jek Engineering India Sidu Ponnappa dalam pernyatannya mengungkapkan Go-Jek telah menjadi klien Leftshift selama setahun terakhir dan menyanjung Leftshift dalam jajaran pengembang aplikasi mobile terbaik di negara tersebut.

Go-Jek bukanlah satu-satunya startup Indonesia yang menggunakan jasa LeftShift. Tokopedia juga masuk ke dalam jajaran portofolionya.

Seperti dikutip dari e27, Pendiri dan CEO Leftshift Sudhanshu Raheja dalam pernyataannya mengungkapkan, “Peluang dan tantangan di Go-Jek sangat luar biasa. Memahami cara kerja operasionalnya, kami tahu bahwa sumberdaya dan teknologi kami bakal menjadi komplemen dan mengakselerasi pengembangan produk Go-Jek.”

Tidak pernah akuisisi layanan pengembang di Indonesia

Go-Jek setidaknya sudah 3 kali mengakuisisi layanan konsultan teknologi (dan satu layanan teknologi kesehatan) di India, sedang di Indonesia kemungkinan besar dia baru mengakuisisi sebuah pemilik lisensi e-money. Mengapa mereka memilih mengembangkan tim teknis di India dan tidak mengakuisisi konsultan lokal?

Dengan track record Go-Jek yang sebelumnya juga pernah menggandeng sejumlah konsultan lokal saat pengembangan aplikasi Go-Jek di masa awal, bisa jadi ada standar tertentu yang sayangnya tidak cocok dengan Go-Jek. Entah itu kualitas pekerjaan ataupun harga yang perlu dibayar, pendirian Go-Jek Engineering India merupakan sinyalemen kuat bahwa pekerjaan-pekerjaan teknis tersebut tidak akan kembali ke Indonesia dalam waktu dekat.

Application Information Will Show Up Here