Dorong Industri Lebih Kondusif, Tiga Asosiasi Fintech Teken Kode Etik Bersama

Tiga asosiasi fintech yakni Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), dan Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI), menandatangani kode etik bersama atau joint code of conduct untuk perkuat aspek perlindungan konsumen dan iklim industri p2p lending yang jauh lebih sehat.

Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi menjelaskan, masing-masing asosiasi sebenarnya sudah memiliki kode etik, namun dengan penyatuan ini diharapkan bisa saling menguatkan satu sama lain. Sebab semangat akhir yang ingin dituju adalah pelayanan masyarakat yang lebih baik, untuk proteksi data mereka dan perlindungan konsumen itu sendiri.

“Ada yang kami bagian yang kami tambahkan agar kode etik ini saling melengkapi satu sama lain dan bisa diimplementasi oleh tiga asosiasi fintech,” katanya, Selasa (24/9).

Ketua Umum AFSI Ronald Yusuf Wijaya menambahkan, “Asosiasi sepakat bahwa kita harus payungi inovasi yang bergerak sangat cepat sekali ini dengan norma-norma dan etika dalam berbisnis fintech.”

Lewat kode etik bersama ini, ada sejumlah penyempurnaan, misalnya terkait privasi data dan perlindungan konsumen. Keseluruhan poin yang terangkum dalam kode etik ini berisi semua prinsip, proses, dan panduan yang mengikat semua anggota fintech dan penyelenggara pendukungnya.

Bila terbukti ada melanggar, ada hukuman yang siap diberikan. Terparah adalah dikeluarkan dari keanggotaan asosiasi.

Payung sementara sebelum regulasi resmi terbit

Kehadiran kode etik ini sebenarnya sangat dibutuhkan oleh industri untuk menekan praktik ilegal, mengingat UU perlindungan data pribadi yang belum disahkan oleh pemerintah. Itu di luar kuasa OJK maupun asosiasi.

Maka, tindakan preventif yang perlu dilakukan adalah membuat kode etik. Dari sisi OJK, hanya mensyaratkan para pemain fintech lending yang terdaftar boleh akses kamera, lokasi, dan mikrofon dari perangkat konsumen. Di luar ketiga itu, akan ada tindak tegas oleh regulator.

Pada intinya, kode etik ini punya empat prinsip dasar yang meliputi: perlindungan konsumen termasuk transparansi produk dan harga, penawaran layanan atau metode produk yang bertanggung jawab, penyebaran informasi terkait risiko, penanganan keluhan dan standar sistem manajemen, dan lain-lain; mitigasi dan manajemen risiko; tata kelola perusahaan yang baik; anti pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menjelaskan, keberadaan UU perlindungan data pribadi tidak hanya dibutuhkan oleh fintech saja, tapi juga seluruh perusahaan teknologi.

Pasalnya, ada era teknologi 4.0 ini seluruh transaksi sudah dilakukan tanpa tatap muka. Alhasil data pribadi akan terekam dan ini yang dikhawatirkan bisa terjadi kebocoran. Lantaran belum ada payung hukum yang jelas, bisa mengakibatkan tidak ada hukuman buat pelaku yang setimpal.

“UU PDP saat ini belum gol. Jadi jangan heran kebocoran airline [Lion Group] terjadi karena ini sulit ditangani. Kami khawatir ke depannya [hal-hal sejenis] bisa ada lagi di kemudian hari, jadinya kontradiktif dan tidak ada pertanggungjawaban dari pelakunya,” pungkas dia.

Investree Segera Rambah Filipina dan Buat Beberapa Anak Usaha Baru

Investree mengincar Filipina sebagai negara ketiga yang akan disasar perusahaan, rencana ini akan direalisasikan pada tahun depan. Di samping itu, perusahaan menyiapkan strategi dengan membentuk beberapa anak usaha patungan untuk mengakselerasi penyaluran pembiayaan UKM.

Co-Founder dan CEO Investree Adrian A. Gunadi menjelaskan, rangkaian ekspansi ke ASEAN ini memperlihatkan isu yang sama dialami oleh pengusaha UKM di manapun mereka berada, bahwa semua masih underserved belum terlayani oleh bank. Peluang tersebut menjadi kesempatan untuk digarap oleh Investree.

“Masalahnya di sana sama, banyak UKM yang belum terlayani oleh bank. Ini jadi cukup menarik, bahwa fintech Indonesia bisa ke ASEAN. Sebab banyak dari mereka yang akhirnya mencontoh apa yang sudah dilakukan di Indonesia baik dari segi produk dan tatanan regulasi,” ucapnya, kemarin (21/5).

Ekspansi ke Filipina bakal dilakukan pada tahun depan, namun sekarang perusahaan sudah bertemu dengan calon mitra lokal yang akan bantu operasionalnya. Bahkan calon mitra tersebut sudah melakukan kunjungan ke Indonesia untuk melihat langsung kondisi di lapangan.

Pada awal tahun ini, Investree sudah mengumumkan Thailand sebagai negara tujuan pertama. Di sana, dengan brand eLoan, perusahaan telah menggandeng mitra lokal dan melakukan soft launch sebulan lalu.

Sembari menunggu, perusahaan aktif bangun koneksi dengan beberapa ekosistem dengan teknologi agar lebih cepat. Kendati demikian, belum melakukan bisnis karena harus masuk ke dalam regulatory sandbox dari otoritas Thailand.

“Bulan ini kita mau daftar ke dalam regulatory sandbox agar bisa mulai menyalurkan pembiayaan.”

Vietnam, sambungnya, jadi negara kedua yang disambangi perusahaan. Akan tetapi, regulasi di sana belum ada sehingga model bisnis yang dipakai adalah masih manual, belum ada integrasi teknologi. Namun di sana, Investree mengklaim telah menyalurkan pembiayaan hingga US$10 juta (sekitar Rp144 miliar).

“Vietnam belum host-to-host karena belum ada regulasinya jadi seperti Investree di empat tahun lalu, masih manual saat upload datanya. Namun di sana regulatornya mau percepat buat sandbox di semester dua ini karena mereka tidak mau ketinggalan dari Indonesia.”

Menurut Adrian, ketika seluruh rencana ekspansi ini lancar tentunya perusahaan akan melakukan pendanaan seri C. Adapun untuk tahap awal masih menggunakan dana dari pendanaan seri B pada tahun lalu yang dipimpin SBI Holdings.

Bangun beberapa anak usaha

Untuk pengembangan bisnis Investree di Indonesia, perusahaan akan mendirikan beberapa anak usaha patungan dengan mitra yang memiliki ekosistem di bidang logistik, supply chain, dan lainnya yang prospektif sebagai jalur pembiayaan ke UKM.

Adrian tidak menyebut secara spesifik berapa anak usaha yang akan dibangun, dia hanya menuturkan beberapa anak usaha, sehingga bisa lebih dari dua perusahaan baru. Namun dia memastikan pengumuman akan dilakukan setelah Juni 2019.

“Nanti akan bentuk kerja sama strategis, sehingga sifatnya strategis. Jadi kita punya pangsa pasar captive.”

Dengan anak usaha ini, perusahaan dapat lebih efisien dalam mengakuisisi UKM karena tidak perlu mendatangi satu per satu. Ketika masuk dalam ekosistem, tentunya bisa beri nilai tambah buat jaringan yang ada di dalamnya.

Dari segi capex pendirian usaha pun, menurutnya, akan lebih mudah terkontrol karena perusahaan yang akan digaet Investree sudah berbasis teknologi. Hanya cukup saling mengintegrasikan sistemnya antara satu sama lain.

Secara kumulatif hingga April 2019, Investree telah menyalurkan pembiayaan sampai Rp2,1 triliun, tumbuh 82% secara year-on-year. Sementara, Investree Syariah sendiri terhitung telah menyalurkan Rp69 miliar tumbuh 311% sejak diluncurkan pertama kali delapan bulan lalu.

Jumlah pemberi pinjaman ritel di Investree mencapai 14.375 orang dan terdapat beberapa datang dari institusi seperti BRI dan Credit Saison. Sementara jumlah penerima pinjaman mencapai 1.084 usaha, sekitar 70% diantaranya adalah repeat consumer.

Application Information Will Show Up Here

Four Fintech Lending Startup Acquired License from OJK

Indonesian Fintech Lenders Association (AFPI) announces its four members, Investree, Amartha, Dompet Kilat, and Kimo to acquire license from OJK as fintech lending. In total, with Danamas, there are only five out of 113 AFPI members listed in OJK.

“We appreciate our four members to acquire OJK’s license after the long process to make sure the fintech lending industry was build upon a strong infrastructure,” AFPI’s Head of Institutions and Public Relation, Tumbur Pardede said.

He continued, the four startups reflect all fintech lending’s business models. Investree with the SME’s productive sector and supply chain, Amartha focused on women’s micro businesses. Dompet kilat aims for consumptive sector with quick loan, and Kimo runs payment for balance top-up sellers.

In order to fasten the other members to acquire business license, AFPI is to build a special working group for license. Therefore, all startups which already listed are encouraged to share insights for members that suits their respective segments.

Therefore, they should be faster in completing requirements from OJK, the positive image will built among society.

Investree’s Co-Founder and CEO, Adrian A Gunadi said, the company needs two years to complete the requirements, as for Amartha. In the process, there are series of agreements in terms of administration or risk management that is completely essential.

One of those is to comply with ISO 27001, it doesn’t apply to every tech-based startup. The license isn’t simple and requires so things, particularly for startup working in financial service. Confidentiality is one of the example.

Furthermore, the integration system must adapt per OJK request, devices to monitor in order to run along the APU PPT (anti money laundering) it should be perfect, the auditor must be included in OJK.

“Any [requirements] to be integrated with system must be prioritized and meet the OJK standard. Some product development plans should be ‘hold’ for it,” he added.

After acquiring license, the company’s build up its confidence for partnership with all classes, either the government or private company. Also, there are companies and financial industries in need for partner with official license from regulator to guarantee their users.

“I think what we’ve been planning this year should worked. Starting to expand agressively with new partners is to be realized next year for we’ve grown confident through license,” Amartha’s Founder and CEO, Andi Taufan Garuda Putra said.

In terms of industry, fintech lending has distributed Rp33 trillion loans per April. For further detail, Amartha is claimed to distribute more than Rp 1 trillion for 230 thousand entrepreneurs with 98,26% payment success rate (TKB).

While, Dompet Kilat has distributed more than Rp10 billion loans for 20 thousand active consumers, the payment success rate has reached 97%. Investree has distributed over Rp2 trillion for 4 thousand borrowers. There are 66 thousand lenders with payment success rate up to 90,99%.

Lastly, Kimo has distributed Rp1 trillion loans since founded in 2016 with 10 thousand balance top-up partners.

Success payment rate is OJK’s requirement for all p2p lending entities with license to display success rate in the 90th day of its operation. It intends to improve transparency and help the lenders to know the risk of its funding placement.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Empat Startup Fintech Lending Terima Izin Usaha dari OJK

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengumumkan empat anggotanya, yakni Investree, Amartha, Dompet Kilat, dan Kimo telah mengantongi izin usaha dari OJK sebagai perusahaan fintech lending. Bila ditotal, ditambah Danamas, baru ada lima startup sudah berizin dari total 113 anggota AFPI yang sudah berstatus terdaftar.

“Kami mengapresiasi kepada empat anggota kami yang berhasil memperoleh izin OJK setelah melalui serangkaian proses panjang demi memastikan industri fintech lending dibangun dengan infrastruktur yang kuat,” terang Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas AFPI Tumbur Pardede, Kamis (16/5).

Dia melanjutkan, keempat startup ini mencerminkan semua bisnis model yang diterapkan oleh fintech lending. Investree bergerak di sektor produktif UKM dan supply chain, Amartha fokus untuk pembiayaan mikro usaha perempuan. Dompet Kilat menyasar sektor konsumtif dengan layanan pinjaman kilat, dan Kimo bergerak pembiayaan untuk penjual pulsa.

Untuk mempercepat anggota AFPI lainnya memperoleh izin usaha, asosiasi akan membuat working group khusus mengenai perizinan. Jadi setiap startup yang sudah berizin didorong untuk berbagi catatan apa saja yang harus dipenuhi anggota, sesuai dengan segmen usahanya masing-masing.

Dengan demikian, mereka akan semakin cepat memenuhi ketentuan dari OJK, citra positif industri pun lambat laun akan semakin positif di mata masyarakat.

Co-Founder dan CEO Investree Adrian A Gunadi menerangkan, perusahaan butuh waktu dua tahun untuk memenuhi ketentuan dari OJK, sama seperti Amartha. Dalam prosesnya, ada serangkaian ketentuan baik dari tata kelola dan manajemen risiko yang harus betul-betul dijaga perusahaan.

Di antaranya adalah memenuhi ISO 27001, aturan ini belum tentu diberlakukan buat startup berbasis teknologi lainnya. Lisensi ini tidak sederhana dan mencakup banyak hal yang harus dipatuhi perusahaan, apalagi buat startup yang bergerak di jasa keuangan, misalnya tentang kerahasiaan data pengguna.

Kemudian, dari sisi integrasi sistem harus menyesuaikan dengan apa yang OJK minta, perangkat untuk monitor agar sejalan dengan APU PPT (anti pencucian uang) harus sempurna, auditor pun harus masuk ke dalam daftar rekanan OJK saat audit.

“Apapun [ketentuan] yang harus integrasi ke sistem itu harus didahulukan dan harus memenuhi aturan OJK. Bahkan ada beberapa rencana pengembangan produk harus di-hold demi OJK,” terangnya.

Dari sisi perusahaan, pasca memperoleh izin usaha tentunya menambah kepercayaan diri untuk lebih gencar melakukan kemitraan dari berbagai kalangan baik dari pemerintah maupun swasta. Pasalnya, banyak perusahaan dari industri keuangan yang butuh mitra dengan status izin resmi dari regulator demi meyakini para konsumennya.

“Buat kami apa yang sudah direncanakan tahun ini tetap akan dijalankan. Mulai melebarkan sayap lebih agresif dengan cari mitra baru akan dilakukan pada tahun depan karena kami sudah percaya diri lewat izin resmi,” tambah Founder dan CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra.

Secara industri, fintech lending per April telah menyalurkan pinjaman sekitar Rp33 triliun. Dirinci lebih dalam, Amartha diklaim telah menyalurkan lebih dari Rp1 triliun untuk 230 ribu pengusaha dengan tingkat keberhasilan bayar (TKB) 98,26%.

Sementara, Dompet Kilat menyalurkan lebih dari Rp10 miliar pinjaman untuk 20 ribu konsumen aktif, TKB-nya 97%. Investree menyalurkan lebih dari Rp2 triliun untuk 4 ribu peminjam. Terdapat 66 ribu pemberi pinjaman dengan TKB 90,99%.

Terakhir, Kimo telah menyalurkan pinjaman Rp1 triliun sejak berdiri di 2016 dan memiliki 10 ribu mitra penjual pulsa.

TKB adalah kewajiban dari OJK untuk seluruh entitas p2p lending yang terdaftar untuk menampilkan tingkat keberhasilan pengembalian pada hari ke-90 di situsnya. Maksudnya untuk meningkatkan transparansi sekaligus membantu calon pemberi pinjaman untuk mengetahui risiko penempatan dananya.

Asosiasi Fintech Resmikan Pedoman Perilaku, Muat Tiga Pilar Perlindungan Konsumen

Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) akhirnya merilis Pedoman Perilaku Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) yang Bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Lending). Pedoman ini sekaligus menegaskan komitmen pelaku usaha dalam menerapkan standar praktik bisnis yang bertanggung jawab untuk melindungi nasabah.

Ada tiga acuan yang menjadi prinsip dasar dalam mengembangkan pedoman tersebut. Pertama, transparansi produk dan metode penawaran. Penyelenggara wajib mencantumkan seluruh biaya yang timbul dari hutang, termasuk biaya yang timbuk di muka, bunga, biaya keterlambatan, dan lainnya.

Metode ini terbukti mampu memberdayakan konsumen untuk menerima hutang secara bertanggung jawab dan dapat meminialisasi risiko penipuan dan praktik tidak etis. Transparansi juga berarti keterbukaan informasi oleh penyelenggara sehingga pelaku usaha juga diwajibkan untuk mencantumkan alamat, email, dan nomor telepon pengaduan nasabah.

Kedua, pencegahan pinjaman berlebih. Penawaran hutang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan ketahanan ekonomi konsumen dan bukan untuk menjerumuskan ke jeratan hutang. Penyelenggara dilarang memberikan hutang secara langsung kepada peminjam tanpa persetujuan terlebih dahulu, melakukan penelitian dan verifikasi yang memadai, dan dilarang melakukan manipulasi data konsumen.

Ketiga, prinsip itikad baik terkait praktik penawaran, pemberian, dan penagihan hutan yang manusiawi tanpa kekerasan fisik dan non fisik, termasuk cyber bullying. Penyelenggara dilarang menggunakan pihak ketiga pelaksana penagihan yang memiliki reputasi buruk berdasarkan informasi dari otoritas maupun asosiasi.

LPMUBTI merupakan hasil kerja sama dari Kelompok Kerja Inklusi Keuangan Aftech yang berisi seperangkat prinsip dan proses yang disepakati bersama dan secara sukarela oleh para perusahaan anggota Aftech yang memberikan layanan pinjam meminjam online.

Tergabung pula sebagai anggota kelompok kerja yang berasal dari penyelenggara atau platform jual beli barang dengan layanan cicilan, gadai, platform komparasi, serta multifinance dan bank.

“Merupakan kebanggaan bagi Aftech bahwa hari ini semakin banyak pemimpin industri fintech secara proaktif mengambil langkah tegas dan nyata dalam membangun industri secara lebih baik dan berkelanjutan. Pedoman ini dapat mengikat seluruh pelaku usaha anggota yang menawarkan dan/atau memberikan pinjaman online untuk patuh dan bermain sesuai aturan,” ujar Wakil Ketua Umum Aftech Adrian Gunadi, Kamis (23/8).

Menurut Adrian, pedoman tersebut telah ditandatangi lebih dari 43 anggota Aftech. Diharapkan 64 perusahaan fintech yang telah terdaftar di OJK dapat turut menandatangani LPMUBTI pada bulan ini. Sebelum diumumkan ke publik, pedomen perilaku ini sudah mendapatkan dukungan penuh OJK.

Muat lima larangan saat menagih

Tidak hanya menganut tiga pilar perlindungan konsumen, pedoman tersebut juga memuat lima larangan saat menagih utang yang harus dipatuhi oleh penyelenggara. Pertama, penyelenggara dilarang menagih dengan kata-kata tidak sopan. Kedua, menagih secara provokatif, agresif, menghina, intimidasi, dan sejenisnya terhadap peminjam dan pihak terkait.

Ketiga, menyebarkan informasi terkait data pribadi peminjam. Keempat, mengaku sebagai orang lain atau pihak penegak hukum. Terakhir, pengembalian penagihan pinjaman di luar perjanjian awal.

“Dari lima larangan ini bisa diturunkan lebih detil secara teknis. Sedang kami diskusikan,” terang Ketua Bidang Pinjaman Cash Loan Aftech Sunu Widyatmoko, dikutip dari Katadata.

Untuk semakin menekan kemungkinan negatif, Aftech juga sedang mengkaji kebijakan sertifikasi bagi para debt collector. Hal ini bertujuan supaya penagih hutang memahami kode perilaku yang berlaku dan menagih sesuai ketentuan.

“Jangan sampai ada pemain yang menyalahkan oknum dan benar-benar bisa dicari tahu siapa yang bertanggung jawab.”

Dalam kesempatan yang sama, Aftech sekaligus mengumumkan penunjukan resmi tiga anggota Komite Etika Independen, yaitu Andre Rahadian, Maria Sagrado, dan Abadi Tinsnadisastra sebagai pengawas yang mengawal penerapan inisiatif Aftech.

Turut bergabung Rachmat Waluyanto (mantan Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK) sebagai Dewan Penasihat Aftech bersama M Chatib Basri, Mahendra Siregar, dan Budi Rahardjo.

Investree dan Tanamduit Bermitra, Tambah Varian Akses Berinvestasi

Bertujuan  menambah pengguna dan menambah kolaborasi dengan layanan P2P lending, platform reksa dana online Tanamduit yang merupakan produk PT Star Mercato Capitale hari ini meresmikan kemitraan dengan Investree. Kerja sama ini diharapkan bisa memberdayakan idle money yang dimiliki lender (pemberi pinjaman) Investree dengan melakukan investasi reksa dana di Tanamduit. Produk reksa dana yang ditawarkan adalah reksa dana pasar uang.

“Selama ini cukup banyak para lender yang kehabisan borrower (peminjam) untuk kemudian dana yang dimiliki bisa diinvestasikan. Kerja sama ini memungkinkan para lender di Investree melakukan investasi uang mereka dalam bentuk reksa dana,” kata Direktur Tanamduit Muhammad Hanif.

Sebagai platform reksa dana yang telah mengantongi izin OJK, Tanamduit aktif mengembangkan infrastruktur, menambah talenta dan kemitraan dengan perusahaan asset management. Secara keseluruhan saat ini Tanamduit telah memiliki delapan mitra perusahaan asset management, 2500 pengguna aktif, dan aplikasi untuk platform Android dan iOS.

Tanamduit juga berencana mengumumkan pendanaan baru dari investor lokal dan asing. Masih dalam tahap penjajakan, nantinya dana baru ini akan digunakan untuk menambah infrastruktur Tanamduit.

“Saat ini Tanamduit sudah memiliki sekitar 20 anggota tim. Jumlah tersebut masih kita maksimalkan sambil mengembangkan teknologi dan produk kami,” kata Hanif.

Idle money dan aturan OJK

Perihal idle money tersebut ternyata mendapat sorotan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator. Rencananya dalam waktu dekat peraturan terkait uang tersimpan dalam investasi yang tidak dimaksimalkan dan mengendap akan diatur OJK dalam peraturan khusus.

“Kami melihat hal tersebut bisa menjadi peluang bagi Tanamduit untuk melancarkan kegiatan penjualan dan pemasaran kami dengan menjalin kolaborasi dengan layanan fintech seperti Investree,” kata Hanif.

Hanif menambahkan, selama ini Tanamduit dan platform serupa lainnya masih kesulitan melakukan edukasi untuk mulai melakukan investasi dalam bentuk reksa dana. Dengan kolaborasi ini, Tanamduit berharap bisa menambah jumlah pengguna sekaligus melakukan edukasi lebih masif lagi terkait produk reksa dana online.

“Untuk saat ini jenis reksa dana yang kita jual adalah tipe pasar uang, namun tidak menutup kemungkinan ke depannya kerja sama akan dikembangkan dalam bentuk produk dan layanan yang berbeda,” kata Hanif.

Alternatif bagi lender Investree

Lender Investree yang telah terdaftar akan mendapatkan notifikasi untuk bisa berinvestasi dalam bentuk reksa dana. Setelah pilihan dan verifikasi dilakukan, lender bisa melakukan proses tersebut hanya dalam tiga langkah mudah. Dengan nilai investasi yang terjangkau, mulai dari Rp 100 ribu, lender nantinya bisa mendapatkan return yang dikelola manajer investasi profesional sehingga dapat menjaga lender dari risiko pendanaan tunggal secara online.

Layanan reksa dana ini tidak mengenakan biaya apapun untuk keseluruhan prosesnya. Kerja sama yang dijalin antara Investree dan Tanamduit merupakan kolaborasi pertama yang dilakukan oleh layanan fintech P2P lending dan agen penjual efek reksa dana (APERD). Menurut CEO Investree Adrian Gunadi, ke depannya akan lebih banyak lagi kolaborasi antara layanan fintech dengan bank dan institusi keuangan lainnya.

Reksa dana for lender merupakan layanan khusus yang dihadirkan Investree sebagai nilai tambah dan alternatif bagi lender untuk mendiversifikasi portofolio dan cash-in-hand di akun Investree mereka.

“Saya melihat kolaborasi ini sangat ideal untuk Investree. Menggandeng Tanamduit yang sudah memiliki pengalaman dan kredibilitas dalam hal manajemen aset, kami berharap bisa memberikan pilihan lebih kepada lender,” kata Adrian.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

OJK Tegaskan Dukungan untuk Layanan Fintech di Indonesia

Melihat perkembangan layanan financial technology saat ini, Indonesia sudah menjadi pasar yang memiliki potensi sangat cerah dan banyak dilirik oleh startup fintech, baik lokal maupun asing. Masih sulitnya pelaku UKM untuk meminjam tambahan modal ke bank dinilai menjadi pemicu banyaknya layanan peer-to-peer (p2p) lending di Indonesia.

Dalam acara Fintech Inclusion Forum, Deputi Komisioner Institute OJK Sukarela Batunanggar menegaskan, perlunya perubahan yang cukup drastis dilakukan bank untuk bisa memberikan layanan yang lebih baik ke pelaku UKM. Makin maraknya layanan fintech saat ini diharapkan bisa menjadi pemicu bagi bank untuk bisa merevisi aturan mereka.

“Saat ini Bank Indonesia sudah menetapkan peraturan kepada bank untuk memberikan pinjaman 20% kepada pelaku UKM. Namun masih banyaknya aturan yang diterapkan untuk mereka masih menyulitkan pelaku UKM untuk mendapatkan pinjaman modal dari bank,” kata Sukarela.

Di situlah akhirnya layanan fintech mulai masuk dan memanfaatkan celah yang ada. Menurut Co-Founder & CEO Investree Adrian A. Gunadi, mengedepankan teknologi dan data alternatif layanan fintech mampu untuk memberikan solusi mudah dan cepat kepada peminjam yang kebanyakan berasal dari kalangan UKM.

“Bukan hanya pelaku bisnis tapi kalangan individu untuk berbagai kebutuhan sudah banyak memanfaatkan layanan fintech, karena kemudahan dan akses cepat yang ditawarkan,” kata Adrian.

Namun demikian, agar layanan fintech bisa berjalan dengan baik, harus tetap melakukan koordinasi dan kolaborasi dengan regulator, dalam hal ini adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan kerangka dan struktur yang ditetapkan, bisa meminimalisir terjadinya layanan fintech yang terlalu banyak dan tidak terdaftar seperti yang terjadi di Tiongkok.

Untuk itu OJK berencana untuk mendirikan fintech center pada pertengahan bulan Agustus 2018 mendatang. Nantinya semua peraturan OJK yang akan diterbitkan bakal diumumkan secara terbuka dan transparan di fintech center tersebut.

Konsolidasi bank dan layanan fintech

Agar pertumbuhan layanan fintech bisa sempurna, teknologi tidak selalu menjadi andalan. Dalam hal ini Sukarela menyebutkan peranan agen untuk melakukan verifikasi calon nasabah juga bisa membantu akuisisi nasabah yang terdaftar dengan tepat. Perusahaan fintech harus bisa melakukan verifikasi data untuk bisa menyediakan layanan keuangan kepada pelaku UKM. Kolaborasi antara bank dengan layanan fintech juga bisa membantu mempercepat pertumbuhan layanan fintech dibawah naungan regulatory sandbox dari OJK.

“Tantangannya bagaimana mengimplementasikan dengan bank, saat ini saya melihat sudah ada 10 bank ternama di Indonesia yang mulai ‘open’ dan bersedia untuk melakukan kolaborasi dengan layanan fintech,” kata Adrian.

Untuk memastikan kolaborasi antara bank dan layanan fintech bisa berjalan dengan baik, OJK akan melakukan monitoring sekaligus memberikan saran kepada bank agar bisa lebih open. Tidak hanya kepada layanan fintech, tetapi juga persaingan dengan bank lain.

“Bagi kami di OJK penting bisa memfasilitasi kompetisi, dalam hal ini melakukan konsolidasi dengan bank dan menyediakan bank “ruang” untuk melakukan konsolidasi. Kami juga meminta bank untuk melakukan revisi dan membuat framework open policy,” kata Sukarela.

Asosiasi Fintech Merasa “Diasingkan” OJK

Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) merasa “diasingkan” oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) jika dibandingkan perlakuannya terhadap lembaga jasa keuangan lainnya. Hal itu dipicu pernyataan Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, pekan lalu (3/3), yang menuturkan penggunaan logo OJK tidak diperkenankan sebagai bentuk validasi kegiatan p2p lending.

Aftech menilai pernyataan Wimboh tersebut kontradiktif dengan POJK Nomor 77 Tahun 2016. Di dalam aturan tersebut, tepatnya pasal 35 ayat B, disebutkan bahwa perusahaan yang terdaftar harus mencantumkan logo OJK dalam kegiatan bisnisnya.

“Logo itu sejalan dengan POJK 77. Semua pemain yang terdaftar harus menampilkan logo. Bila melarang pencantuman logo, berarti bertolak belakang dengan landasan hukum yang diterbitkan oleh OJK sendiri,” ucap Wakil Ketua Aftech Adrian A. Gunadi, Selasa (6/3).

OJK berpendapat pelarangan pencantuman logo ini karena perusahaan fintech tidak dikategorikan sebagai lembaga keuangan. OJK tidak akan tanggung jawab jika nantinya ada perusahaan fintech yang bangkrut atau terjadi fraud.

Terkait hal tersebut, Adrian sepakat bahwa perusahaan p2p lending lebih tepat disebut sebagai penyedia layanan keuangan. OJK memang tidak menanggung risiko yang ditimbulkan kegiatan usahanya, namun pemain tetap memenuhi syarat dan ketentuan yang sama seperti lembaga keuangan formal yang telah beroperasi.

Contohnya perusahaan p2p lending diminta memenuhi standar setara ISO 27001 yang menjadi acuan perbankan.

“Saat susun POJK, perusahaan p2p lending jadi bagian yang tidak terpisahkan dengan lembaga keuangan formal, sebab dalam praktik bisnisnya kami tetap menstandarkan diri dengan lembaga keuangan yang sudah ada.”

Adrian melanjutkan, OJK sebaiknya memperketat pengawasannya daripada lepas tangan. Caranya dengan menguatkan aturan apa saja yang bisa didetailkan lewat aturan turunan untuk menentukan kesungguhan operasi dan kinerja sebuah usaha p2p lending.

Aturan turunan yang bisa ditelaah OJK adalah yang terkait dengan pembuatan tata kelola yang baik, transparansi transaksi, dan pelaporan yang melibatkan auditor independen.

Ada pula aturan tentang manajemen risiko yang tertata rapi untuk melindungi konsumen dan pelaku usaha, juga untuk menekan angka NPL. Kontrol yang baik dari regulator, sambungnya, akan otomatis menyeleksi pelaku usaha yang tidak sungguh-sungguh.

“Kegiatan usaha yang diatur dan dilindungi oleh regulasi OJK justru menjaga pelaku tekfin dari kemungkinan menyalahgunakan dana masyarakat. Mengingat penyaluran dananya dipantau melalui mekanisme perbankan. Potensi kolaborasi fintech dan institusi keuangan lainnya bahkan terus meningkat dalam waktu dekat.”

Sentil bunga tinggi

Selain menyinggung soal pencabutan logo OJK, Wimboh juga menyentil pemberian bunga yang relatif lebih tinggi daripada perbankan, sehingga menjulukinya dengan sebutan rentenir. Sebutan inu ditolak mentah-mentah oleh Aftech.

Adrian bilang p2p lending tidak beroperasi seperti rentenir yang memberikan pay day loan (bunga harian) kepada nasabahnya. P2p lending hadir karena didasari semangat inklusi keuangan dan besarnya kebutuhan masyarakat terhadap akses pinjaman dana.

Menurut Adrian, OJK perlu memahami lebih baik bahwa terdapat berbagai model bisnis fintech lending dengan segmentasi nasabah yang berbeda-beda. Dalam pemberian bunga, biasanya pemain merujuk pada tingkat bunga pinjaman bank atau lembaga keuangan lainnya.

Untuk fintech lending yang bergerak di usaha mikro seperti Amartha, benchmark-nya menggunakan BPR dengan standar bunga di kisaran 27%-28%. Sedangkan untuk lending di usaha menengah, seperti Investree, menggunakan benchmark di bank BUKU I dan II dengan kisaran bunga di kisaran 14%-15%.

“Sayang banget kalau OJK menggeneralisir. Bunga di p2p lending memang susah untuk ditentukan langsung oleh OJK karena segmen bisnis kami itu beda-beda.”

Bunga yang diberikan kepada penerima pinjaman, tidak masuk ke kantong perusahaan, melainkan langsung diterima pemberi pinjaman. Perusahaan lending itu sendiri hanya menerima pemasukan dari komisi yang berasal dari proyek yang berhasil didanai. Umumnya kisaran komisi yang diterima perusahaan sebesar 3%-5%.

“Kita dapat fee dari borrower untuk setiap proyek yang berhasil didanai, itu hak kita sebagai platform. Bunga kredit itu masuk langsung ke pemberi pinjaman.”

Aturan pembatasan bunga

Pasca disinggung OJK, Ketua Kelompok Kerja P2P Lending Aftech Reynold Wijaya menuturkan saat ini asosiasi sedang menyusun “Pedoman Perilaku Layanan Pinjam Meminjam Daring yang Bertanggung Jawab”. Rencananya pedoman ini akan dikeluarkan paling lambat April 2018 mendatang.

Dalam pedoman ini nantinya asosiasi akan menyepakati batas bunga pinjaman maksimal. Ada beberapa acuan yang dipakai untuk menentukan batas atas suku bunga kredit p2p lending, seperti bunga KTA di bank, multifinance, BPR, hingga bunga di bank BUKU I dan II.

“Kami akan buat cap pricing (batas bunga) berdasarkan subsektor. Misalnya batas (bunga) untuk kredit UMKM itu berapa persen dan untuk ke individu atau konsumen berapa persen,” ucap Reynold.

Dia melanjutkan, “Aftech terus berkomitmen dan bekerja secara intensif untuk mendukung terbentuknya regulasi yang bijak, baik dari sisi advokasi penyusunannya maupun dari sisi implementasi operasional, serta melakukan edukasi kepada publik agar mereka dapat bertransaksi dengan aman dan nyaman.”

Perum Jamkrindo dan Investree Bermitra, Mitigasi Risiko Gagal Bayar

Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia, atau juga dikenal dengan nama Perum Jamkrindo, menandatangani kerja sama dengan Investree, salah satu perusahaan teknologi finansial Indonesia di sektor peer-to-peer (p2p) lending. Kerja sama keduanya bertujuan memitigasi risiko gagal bayar dan merealisasikan manfaat hadirnya teknologi pada industri keuangan dalam rangka memberdayakan UMKM di Indonesia.

Perum Jamkrindo sendiri saat ini merupakan BUMN penjamin kredit yang memiliki fokus yang sama dengan Investree, membantu peminjaman untuk UMKM di Indonesia. Bentuk kerja sama kedua institusi ini adalah dengan memberikan penjaminan atas transaksi pembiayaan piutang untuk proyek atau pengadaan barang dan/atau jasa yang berada di wilayah Indonesia dengan jumlah maksimal Rp2 Miliar dan dengan jangka waktu paling lama 12 bulan.

Plt. Direktur Utama Perum Jamkrindo I. Rusdonobanu dalam rilisnya menyatakan:

“Penandatanganan perjanjian kerjasama Jamkrindo dengan Investree merupakan salah satu bentuk dukungan terhadap perkembangan teknologi finansial, khususnya peer to peer lending di Indonesia. Kami menyadari bahwa teknologi finansial merupakan inovasi digital yang berpengaruh besar terhadap pertumbuhan sektor UMKM serta mampu memberikan dorongan finansial bagi masyarakat unbankable agar menjadi bankable di era serba modern ini, sehingga kami sangat antusias dapat berpartisipasi dalam hal ini.”

Sementara itu, CEO Investree Adrian Gunadi menyambut baik kerja sama yang terjalin antara kedua institusi ini. Harapannya kolaborasi keduanya mampu meningkatkan rasa percaya dan loyalitas masyarakat terhadap layanan teknologi finansial dan p2p lending.

Adrian mengungkapkan pihaknya optimis kerja sama dengan Jamkrindo tidak akan terbatas pada saat ini saja, tetapi akan berkembang seiring dengan pertumbuhan tren dan model bisnis. Salah satunya penyediaan sistem host-to-host agar proses menjadi lebih singkat dan mudah namun tetap aman.

“Membangun kepercayaan publik membutuhkan komitmen strategis. Selain melalui implementasi transparansi dan pemeliharaan produk dan layanan yang konsisten, dalam mencapai hal tersebut, kita juga perlu mengadakan sistem penjaminan. Tujuannya agar masyarakat merasa aman dan nyaman dalam melakukan investasi dan transaksi di Investree,” terang Adrian.

Investree Segera Ekspansi ke Vietnam dan Luncurkan Pembiayaan Syariah

Pasca mendapatkan surat tanda resmi terdaftar dari OJK, perusahaan peer-to-peer lending Investree mengumumkan akan segera ekspansi ke Vietnam pada tahun depan dengan mendirikan anak usaha patungan bersama mitra lokal yang berasal dari negara tersebut.

Co-founder dan CEO Investree Adrian Gunadi mengatakan dari segi regulasi, dia mengaku tidak terganjal oleh aturan resiprokal sebagaimana umumnya terjadi ketika suatu perbankan ingin membuka cabang di luar negeri. Dalam kondisi tersebut, regulator dari kedua negara harus melakukan suatu kesepakatan bersama untuk membuka pintu sebelum perbankan dari masing-masing negara ekspansi regional secara resmi.

“Dari sisi kami, tidak terkena regulasi karena yang muncul bukan nama Investree melainkan nama lokal. Lagipula resiprokal itu lebih ke arah untuk perbankan, sementara fintech itu borderless,” terangnya, Kamis (15/6).

Adapun identitas mitra yang akan digandeng perusahaan, masih dirahasiakan identitasnya. Adrian hanya menyebut, mitra tersebut berasal dari perusahaan keuangan yang paham dengan kondisi pasar di sana. Saat ini, pembentukan anak usaha tersebut masih dalam proses, ditargetkan akan diresmikan pada tahun depan.

“Jadi nantinya kami sebagai penyedia platform, sementara mitra lokal akan jadi pemainnya karena mereka yang mengerti pasar. Ini seru, kami akan dapat gambaran banyak tentang Vietnam, dapat datanya juga.”

Luncurkan pembiayaan syariah

Selain mengumumkan rencana ekspansi regional perdananya, Investree juga akan meluncurkan pembiayaan berbasis syariah. Rencananya unit ini akan mulai beroperasi pada akhir Juli 2017 mendatang.

Investree Syariah akan dapat diakses dalam situs utama Investree. Saat ini perusahaan sedang memproses izin sertifikasi dari Dewan Syariah Nasional (DSN).

Adrian mengatakan rencana peluncuran unit bisnis ini dilakukan karena adanya permintaan dari sisi pendana (lender) maupun peminjam (borrower). Menurutnya, sudah ada komitmen dari tiga UKM untuk menjadi peminjam yang bersedia menjadi pilot project saat peluncuran nantinya. Adapun lokasinya, satu UKM berasal dari Surabaya dan dua lainnya dari Jakarta.

Sementara dari sisi pendana, perusahaan telah mendapat komitmen dari berbagai pihak. Salah satunya dari luar negeri, satu mewakili individu dari Singapura dan satu dari institusi perusahaan asuransi yang berlokasi di Jepang.

Dua pendana yang berasal dari luar negeri ini, terang Adrian, diperbolehkan dalam POJK No.77. Di sana disebut, perusahaan penyedia dapat menarik pendana dari luar negeri untuk dukung pengembangan industri fintech p2p syariah.

“Sekarang masih proses izin sertifikasinya ke DSN. Ini sesuai arahan dari OJK saat kami temui, mereka bilang karena ini belum diatur regulator sebaiknya langsung proses ke DSN saja.”

Nantinya akad (perjanjian) yang akan digunakan dalam Investree Syariah memakai akad wakalah bil ujrah, dengan skema pembagian komisi atau lebih dikenal ujrah. Dalam akad tersebut ada perjanjian transfer wewenang atau pemberi kuasa kepada pihak lain melakukan suatu pekerjaan tertentu untuk kepentingan pihak pertama.

Dengan peluncuran unit bisnis ini, Adrian berharap dapat meningkatkan potensi layanan keuangan syariah di Indonesia yang selama ini masih terbelakang dibandingkan bisnis konvensional.

Pemain keuangan syariah masih terkendala dalam empat empat yakni pricing mahal, layanan yang konvensional jauh dari unsur inovasi, kantor cabang terbatas, dan sumber daya manusia yang terbatas.

“Empat tantangan ini yang masih menyebabkan bisnis keuangan syariah di Indonesia masih terbelakang. Dengan fintech, kami akan tes respons pasar dengan memberikan berbagai kesamaan dari segi produk, pricing, akses, strukturnya juga sama dengan konvensional. Kami buat tidak berbeda karena sumber dananya sama,” pungkas Adrian.

Sejak setahun berdiri, Investree telah menyalurkan pinjaman sebanyak Rp214 miliar untuk 626 UKM. Jumlah pinjaman yang telah cair sebanyak Rp160 miliar, kemudian pinjaman yang sudah lunas sebanyak Rp121 miliar.

Untuk rata-rata imbal hasil yang diterima pendana sebesar 17,4%. Sedangkan rata-rata waktu terdanai sejak aplikasi diajukan adalah tiga hari. Adapun untuk kredit macet diklaim tidak ada atau 0%.

Perusahaan menargetkan sampai akhir tahun ini dapat menyalurkan pinjaman sebesar Rp400 miliar. Tak hanya itu, perusahaan juga berambisi ekspansi ke beberapa kota di Pulau Jawa. Kota pertama yang segera disambangi adalah Semarang.

Untuk dukung target, Investree siap menambah dua produk baru yakni seller financing yang menyasar UKM e-commerce dan merchant cash advance, sebuah produk pre-invoice loan yang diperuntukkan untuk korporasi.