Hiruk Pikuk KTA Online, Produk Kartu Kredit Virtual Masa Kini

Dhimas sudah dua kali mencicil smartphone lewat aplikasi Akulaku, yang satu untuk ibunya dan satunya lagi untuk dirinya sendiri. Setelah dihitung-hitung besaran bunga yang ditetapkan, baginya justru lebih murah ketimbang mengambil cicilan di perusahaan multifinance.

Ia membeli smartphone seharga Rp2,1 juta dengan tenor enam bulan. Saat ia hitung, total bunga yang dibayarkan hanya sekitar Rp200 ribu.

“Waktu itu sebenarnya coba dua aplikasi, Akulaku sama Kredivo. Tapi akhirnya ambil yang paling cepat aja verifikasinya, yaitu Akulaku karena cuma dua jam saja tapi limit-nya Rp2,5 juta. Ada plus minus-nya sih. Tapi kalau ambil cicilan handphone di multifinance lebih mahal,” ujar Dhimas kepada DailySocial.

Berkat rekam jejaknya yang baik selama jadi nasabah Akulaku, setelah cicilan pertama lunas tanpa tunggakan ia mendapat kenaikan limit menjadi Rp7 juta saat memutuskan mengambil cicilan kedua.

Dhimas pun juga mulai tertarik untuk membeli pulsa prabayar secara mencicil, artinya dia baru bayar tagihan pulsa sebulan setelahnya. Fitur cicil pulsa itu ada di dalam aplikasi Akulaku. Biasanya dia beli pulsa sekitar Rp100 ribu-Rp200 ribu.

“Lebih enak beli pulsanya di sini [Akulaku] biar nanti pas akhir bulan pengeluarannya cukup sekali saja. Biar kelihatan uang [gajian] ke mana saja.”

Lukman tak jauh berbeda dengan Dhimas. Membeli barang secara mencicil jadi suatu kebiasaan yang ia lakoni saat ini. Lukman terdaftar sebagai nasabah di aplikasi Kredivo, mirip seperti Akulaku, sejak akhir tahun lalu. Limit yang ia dapat Rp14,5 juta. Dengan limit sebesar itu, ia beli kamera mirrorless seharga Rp5 juta, bunga 2,95% flat dan tenor 1 tahun. Beli mainan untuk anak, sampai pulsa pun juga dibeli lewat aplikasi tersebut.

Sama seperti Dhimas, Lukman beralasan belanja kebutuhan justru lebih simpel karena dia hanya sekali membayar semua tagihannya satu kali saja. Tidak harus keluar “uang printilan” setiap harinya.

“Pas gajian semuanya dibayar, jadi lebih simpel. Bunganya juga jauh lebih ringan. Kalau bayar sebelum jatuh tempo bisa enggak kena bunga.”

Potensi KTA online

Pengalaman Dhimas dan Lukman bisa memberi gambaran tentang kondisi produk Kredit Tanpa Agunan (KTA) yang makin merambah ke berbagai segmen masyarakat berkat perusahaan penyedia teknologi, meski bukan dari perusahaan jasa keuangan. Akulaku dan Kredivo adalah dua dari sekian banyak pemain startup fintech di Indonesia yang menggeluti potensi dari produk KTA berbasis smartphone.

Bila diibaratkan, produk KTA yang mereka kembangkan itu seperti kartu kredit virtual, bisa belanja apapun di toko online kapan saja sesuai dengan limit masing-masing. Bayar tagihannya cukup lewat rekening bank. Tak jauh berbeda dengan pengalaman bagi pemegang kartu kredit.

Pengalaman seperti inilah yang ingin diberikan para pemain tersebut kepada seluruh masyarakat Indonesia. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menuturkan, pasar KTA online masih sangat luas terutama di kelas menengah perkotaan.

Budaya konsumtif seperti pembelian barang-barang elektronik dan fesyen jadi pemicu meningkatnya permintaan KTA. Jenis debitur KTA pun kini beragam, bagi segmen yang punya rekam kredit kurang bagus biasanya menghindari bank dan memilih startup fintech.

Mereka yang malas berurusan dengan administrasi bank juga preferensinya lebih condong ke startup fintech, terlebih prosedurnya yang lebih mudah dan cepat. Meski kini bank memiliki fasilitas pengajuan secara online, mengingat bank adalah industri yang diatur dengan ketat, tetap saja banyak aturan yang harus dipenuhi.

“Berarti ada konsekuensi kemudahan dan kecepatan proses pengajuan KTA dari pemain fintech yang memang harus dibayar dengan bunga lebih mahal atau denda keterlambatan yang tinggi. Sehingga dengan kata lain, bank yang masuk ke KTA online tidak bersaing secara langsung dengan fintech. Pasarnya masih berbeda,” terang Bhima.

Tokopedia, sebagai salah satu layanan marketplace terbesar, ingin mendukung penguatan daya beli masyarakat Indonesia. Salah satunya dengan pengembangan produk dan layanan keuangan digital seperti KTA yang sudah meluncur sejak tahun lalu.

Menempatkan diri sebagai platform, Tokopedia menyediakan berbagai pilihan KTA dari mitra-mitra penyedia layanan tersebut dan memilih program sesuai para pengguna Tokopedia. Seluruh proses approval serta penagihan dilakukan sepenuhnya oleh mitra penyedia produk yang bersangkutan. Tokopedia hanya menjadi jalur distribusi pemasarannya.

“Kami melihat potensi besar dalam perluasan pemanfaatan produk dan layanan keuangan. Spesifik untuk KTA online, potensi pengembangannya masih sangat besar. Apalagi saat ini KTA merupakan salah satu jenis pinjaman favorit di antara pengguna Tokopedia,” terang Head of Fintech Tokopedia Samuel Sentana.

Kondisi masyarakat

Pemain KTA online juga unjuk bicara ketika membahas potensi bisnisnya. Co-Founder dan CEO Kredivo Akshay Garg mengatakan Indonesia masih menghadapi kesenjangan dalam hal penetrasi kartu kredit. Hanya 3,2% orang Indonesia yang memiliki kartu kredit dari hampir 260 juta populasi.

Ada 70 -80 juta segmen kelas menengah yang layak mendapatkan pinjaman tapi ditolak oleh bank karena profil pekerjaannya. Ini adalah celah besar untuk diisi pemain KTA berbasis online.

Mendukung pernyataan Akshay, COO TunaiKita Andry Huzain menambahkan berdasarkan data OJK, kebutuhan pinjaman nasional mencapai Rp1.600 triliun, namun baru sekitar Rp600 triliun yang sudah terlayani lewat bank.

TunaiKita merupakan perusahaan patungan antara WeCash Southeast Asia, JAS Kapital, dan Kresna Usaha Kreatif (KUK). Dalam memperoleh pinjaman, TunaiKita bekerja sama lewat skema p2p lending dengan investor dari bank dan lembaga keuangan konvensional yang selama ini tidak terlayani oleh lembaga-lembaga tersebut.

“Pendanaan berbasis fintech hadir sebagai alternatif untuk menjangkau masyarakat yang tidak terlayani oleh instrumen pendanaan konvensional, sehingga menjadi komponen penting dalam upaya meningkatkan inklusi keuangan secara nasional,” ucap Andry.

Masih timpangnya antara potensi dan realisasi pembiayaan, juga tercermin dari kontribusi transaksi e-commerce pada tahun lalu sekitar $10 miliar. Jauh dibandingkan total transaksi ritel offline di Indonesia sebesar $500 miliar.

Pangsa e-commerce masih 2% dari ritel offline. Ini dari pasar sesungguhnya dan masalah inklusi keuangan yang jauh lebih besar untuk dipecahkan,” tambah CEO Awan Tunai Dino Setiawan.

Sama seperti TunaiKita, Awan Tunai juga merupakan salah satu pemain KTA online. Dalam pendekatan bisnisnya, Awan Tunai lebih mengarah ke fasilitas pemberian cicilan untuk nasabah saat berbelanja di toko/agen offline yang sudah bermitra, seperti bengkel, toko susu, apotik, toko HP, dan toko bangunan.

Baik Kredivo, TunaiKita, Awan Tunai, dan Akulaku adalah sebagian dari sekian banyak startup fintech lending yang bergerak di produk KTA berbasis aplikasi.

Coba saja tengok Play Store dan App Store dengan kata kunci pencarian “pinjaman”, “uang”, “kilat”, “cepat”, “tunai”, dan sebagainya. Niscaya, Anda pasti menemukan berbagai aplikasi yang menyediakan jasa KTA online.

Masing-masing perusahaan mengeluarkan berbagai jurus sakti untuk menarik nasabah dengan berbagai penawaran. Entah itu proses verifikasi yang singkat, hanya cukup menggunggah KTP, bisa mendapat fasilitas bunga rendah, limit tinggi, dan sebagainya.

Istilah KTA ini sebenarnya juga ada di perbankan dan multifinance, biasanya di sering lebih dikenal dengan kredit multiguna. Produk ini bisa digunakan untuk kebutuhan konsumsi, renovasi rumah, naik haji, bayar sekolah, dan lainnya.

Dari data OJK, kinerja pembiayaan multiguna di multifinance mencapai Rp252,83 triliun per Mei 2018 atau naik 8,36% secara year-on-year (yoy). Pembiayaan ini mendominasi dibandingkan jenis lainnya seperti pembiayaan investasi Rp126,26 triliun dan pembiayaan modal kerja Rp23,36 triliun.

Sayangnya OJK, tidak merilis secara detail data soal kredit macet di multiguna. Secara keseluruhan NPL di mulfinance sebesar 3,12% di periode yang sama.

Untuk industri perbankan, mengutip data BI, kinerja kredit multiguna sebesar Rp491,49 triliun naik 13,88% secara yoy per April 2018. Di sektor ini saja, kredit macetnya sebesar 1,09%, naik tipis dibandingkan bulan sebelumnya 0,99%.

Survei penetrasi produk KTA

Bekerja sama dengan JakPat, DailySocial melalukan survei singkat terkait penetrasi produk KTA terhadap 1938 responden di Indonesia, mayoritas didominasi oleh kalangan usia 20-25 tahun (37,77%) dan 26-29 (23,43%).

Hasilnya cukup menarik, 55,37% responden mengatakan bahwa mereka pernah belanja online dengan fitur cicilan tanpa agunan. Yang tidak pernah, mereka beralasan memberatkan (38,5%), riba (26,01%), besaran bunga (22,31%), dan lainnya (13,18%).

Responden yang menyatakan pernah memakai, mengaku menggunakan fitur tersebut sekitar 1-3 kali (83,13%). Ada juga yang pernah pakai antara 3-10 kali (13,23%) dan di atas 10 kali (3,63%). Mereka memakainya untuk beli handphone (52,56%), barang elektronik (26,37%), properti (12,4%), barang mewah (2,24%), dan lainnya (6,43%).

Untuk opsi jawaban lainnya, ada yang menjawab untuk beli tiket pesawat, baju, modal usaha, bayar hutang, biaya medis, kendaraan, pulsa PLN, dan sebagainya. Responden menyatakan alasan mengambil produk cicilan ini, lebih ringan (50,89%), sama saja (33,83%), memberatkan (14,54%), dan lainnya (0,75%).

Secara umum responden menyebut proses pengajuan KTA yang ada sejauh ini lebih simpel (83,69%), sisanya menjawab rumit (16,31%). Ketika ditanya pertimbangan saat memilih perusahaan tempat mengambil cicilan, mayoritas dikarenakan penawaran bunga lebih ringan (31,13%), promosi yang ditawarkan menarik (27,59%), referensi orang lain (23,95%), reputasi perusahaan (15,94%), dan lainnya (1,4%).

Terkait perusahaan yang responden pilih untuk mengambil produk, responden mayoritas memilih bank (62,63%), fleksibel tergantung penawaran (21,81%), startup lending (8,48%), lembaga non bank (7,08%).

Terakhir, responden merasa paling familiar atau pernah gunakan pinjaman dari Akulaku (57,5%), Kredivo (44,55%), Home Credit (44,45%), UangTeman (34,4%), TunaiKita (31,8%), Kredit Pintar (29,54%), dan sisanya dari perusahaan seperti Dana Rupiah, Awan Tunai, Go Rupiah, Pinjaman Go, We Cash, dan sebagainya.

Dari hasil survei ini bisa disimpulkan bahwa responden sudah cukup familiar dengan produk KTA. Terlihat dari respons mereka yang mengatakan prosedur pengajuannya yang simpel. Hanya, responden masih mempercayakan bank sebagai institusi pemberi pinjaman, meski mereka masih mempertimbangkan opsi memilih perusahaan di luar bank karena mereka akan kembali melihat penawaran yang ditawarkan.

Mitigasi risiko

Profil beberapa penyedia layanan KTA online
Profil beberapa penyedia layanan KTA online

Produk KTA online dengan segala kemudahannya, juga menyimpan rasa was-was bagi perusahaan penyelenggaranya apabila nasabahnya gagal bayar hutang di kemudian hari. Wajib hukumnya untuk para penyelenggara memitigasi bisnis dengan mengembangan sistem credit scoring sendiri menggunakan teknologi termutakhir demi memastikan nasabah yang mereka pinjami adalah orang yang tepat.

Terlebih mereka bukan lembaga jasa keuangan yang diwajibkan OJK untuk terdaftar sebagai pelapor Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) atau dikenal OJK Checking (dulu BI Checking). SLIK adalah infrastruktur penting dalam industri keuangan untuk mitigasi risiko, terutama risiko kredit sehingga dapat menurunkan tingkat kredit macet.

SLIK menyimpan berbagai data akurat, antara lain data cicilan seperti Telkom, PLN, PDAM, termasuk BPJS. Kemudian nama ibu kandung, nama istri (dulu tidak ada), NPWP, fasilitas pinjaman, agunan, jaminan, informasi keuangan. Informasi penghasilan, data pasangan, informasi keuangan badan usaha yang lebih rinci dan informasi lain-lain.

Mitigasi risiko ini merupakan salah satu upaya para perusahaan penyelenggara untuk menekan kredit macet yang kemungkinan bakal terjadi ke depannya. Dalam ketentuan BI, bank diwajibkan untuk menjaga rasio kredit macet bersih (NPL nett) di bawah 5%. Rasio ini juga menjadi acuan bagi para penyelenggara dalam menunjukkan kualitas penyaluran, terlebih ada beberapa penyelenggara yang mendapat sumber dana pinjaman dari bank atau multifinance.

Andry Huzain menerangkan TunaiKita memanfaatkan lending robot yang mengombinasikan prinsip-prinsip finansial, teknologi mobile, big data, dan machine learning untuk mengevaluasi kredit dan menyetujui pinjaman dengan lebih cepat, berkualitas, dan bekerja 24/7.

Lending robot ini mampu mengelola risiko dalam penyaluran pinjaman secara transparan dan efisien. Proses pengajuan kredit pun bisa dituntaskan dalam hitungan detik jika nasabah tersebut memang punya kelayakan kredit yang tinggi. Nilai pinjaman yang ditawarkan mulai Rp500 ribu sampai Rp20 juta dengan tenor 10 hari hingga 6 bulan. Untuk pinjaman harian, bunganya dimulai 0,95% per hari.

Sejak berdiri tahun lalu hingga Q1 2018, TunaiKita telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp700 miliar dan menargetkan pertumbuhan bulanan 25%-30% setiap bulannya.

Sedangkan dari sisi Kredivo, perusahaan mengusung pelayanan cepat, mulai dari pengunduhan aplikasi sampai proses persetujuan kurang dari 5 menit. Proses checkout belanja hanya memakan dua kali klik saja, sehingga memudahkan konsumen dan mengurangi tingkat pengabaian keranjang bagi pedagang.

Akshay Garg mengatakan perusahaan mengembangkan sistem penilaian kredit dan verifikasi identitas digital yang memenuhi syarat sebagai pengguna potensial berdasarkan ribuan variabel yang berbeda. Ada kombinasi metodologi pembelajaran mesin dan statistik untuk menambang data di berbagai sumber, antara lain ponsel, grafik sosial, akun e-commerce, rekening bank, lokasi, dan sebagainya.

“Cara ini bertujuan untuk menghilangkan sebagian besar data palsu, serta peminjam buruk. Ada pemberitahuan berkala untuk membantu pengguna tetap mengetahui tanggal jatuh tempo mereka.”

Kredivo bekerja sama dengan lebih dari 200 perusahaan e-commerce yang bergerak di bidang marketplace, gadget & elektronik, pulsa, fesyen, perlengkapan rumah, jasa, travel & hotel, lifestyle, dan masih banyak lagi. Akshay mengklaim setiap bulannya dia mengklaim pertumbuhan bisnis secara keseluruhan tumbuh 20%.

Dalam kesempatan sebelumnya, Akshay menargetkan penyaluran pinjaman Kredivo sebesar US$150 juta (lebih dari Rp2 triliun) sepanjang tahun ini atau naik empat kali lipat dibandingkan sebelumnya US$40 juta (sekitar Rp500 miliar). Nasabah Kredivo diungkapkan telah menyentuh angka sekitar 500 ribu orang dan ditargetkan dapat tembus 1 juta.

Tahun lalu Kredivo mencatatkan sebanyak 20-25 ribu transaksi di e-commerce setiap harinya. Diharapkan tahun ini bisa tembus 150 ribu-200 ribu transaksi, seiring makin bertambahnya jumlah mitra e-commerce Kredivo.

Awan Tunai tak mau kalah. Mengingat pendekatan bisnis perusahaan yang berbeda, pihaknya memilih tidak masuk ke pasar e-commerce karena Dino Setiawan menilai pasar ritel offline jauh lebih besar karena juga mencakup pelaku UKM. Dalam mitigasi risiko, perusahaan bekerja sama dengan bank untuk menilai kredit, sementara AwanTunai menyediakan datanya.

“Kami menggunakan teknologi kami untuk membantu bank mengakses 85% orang Indonesia yang saat ini tidak dapat mereka layani. Bank itu sangat pandai dalam mengelola risiko, sedangkan fintech memiliki kekuatan yang dapat memproses pinjaman dengan biaya sangat rendah.”

Nominal pinjaman yang dapat diajukan antara Rp1,5 juta sampai Rp3 juta, tenor 9 bulan dan bunga mulai dari 3%. Hingga kini Awan Tunai menyalurkan ke lebih dari 10 ribu nasabah dari sekitar 150 ribu aplikasi yang mengajukan. Nilai pembiayaan yang telah disalurkan lebih dari Rp20 miliar dengan NPL yang selalu di jaga di bawah 5% sesuai industri.

Saat ini total mitra pengecer Awan Tunai ada lebih dari dua ribu toko yang tersebar di Jabodetabek. Perusahaan memperolah sumber dana pembiayaan dari lembaga keuangan, salah satunya KreditPlus sebesar $30 juta.

Secara industri, OJK mencatat hingga tengah tahun ini, NPL perusahaan fintech berada di kisaran 0,58%. Angka tersebut turun dibandingkan Januari 2018 di level 1%. Penurunan ini diklaim berkat teknologi kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) yang ketat menyeleksi calon peminjam karena banyak data yang diterima dan dikelola.

Buntut cerita Rupiah Plus

Cerita Rupiah Plus yang menjadi sorotan selama beberapa pekan belakangan karena cara penagihan hutang yang “tidak biasa” terhadap nasabahnya yang menunggak, menggerakkan asosiasi dan regulator untuk menenangkan masyarakat.

Rupiah Plus termasuk perusahaan yang menyediakan produk KTA online, mulai dari Rp800 ribu sampai Rp 1,5 juta dengan jangka waktu jatuh tempo 14 hari. Bila terlambat membayar akan dikenakan denda 2% per hari.

Kabar terbaru (13/7), OJK telah mengeluarkan sanksi berupa penangguhan proses izin usaha selama tiga bulan kepada pihak Rupiah Plus, mulai berlaku sejak awal Juli ini. Adapun status perusahaan tersebut baru mengantongi surat tanda terdaftar sebagai perusahaan p2p lending.

Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menuturkan dampak dari sanksi tersebut rencana-rencana perusahaan yang akan dilakukan ketika sudah mendapat izin harus ditunda. Mereka harus memperbaiki internal perusahaan dan persyaratan lainnya yang diminta OJK.

“Kami sudah evaluasi, penyelenggara sudah punya SOP yang spirit-nya mirip dengan SE OJK. Tapi karyawannya dan pihak ketiga tidak bertindak sesuai SOP. Artinya ada kesalahan pengendalian internal yang lemah, sanksi tetap ada untuk mereka,” kata Hendrikus, Jumat (13/7).

Di pihak lain, OJK juga menemukan kesalahan debitur Rupiah Plus. Debitur itu menunjukkkan kesengajaannya menghindar dari kewajiban membayar tagihan dengan menonaktifkan nomor ponselnya, sehingga sulit dihubungi. Menurut Hendrikus, solusi yang baiknya dilakukan penyelenggara adalah melaporkannya ke OJK karena sudah ada itikad tidak baik di sini, bukan dengan memakai data pribadi di luar persetujuan.

“Kami coba lihat dari dua sisi, jadilah penyelenggara yang adil dan transparan, kerahasiaan data konsumen harus dijaga. Jadi jalan tengahnya bisa laporkan ke OJK atau ke asosiasi, kumpulkan data debitur bermasalah dalam satu pusat data biar direkam.”

Entah sanksi dari OJK ini bisa dikatakan membuat timbulnya efek jera atau tidak. Terpampang jelas di laman situs Rupiah Plus di Pusat Bantuan, pihak Rupiah Plus berjanji tidak akan mengungkapkan informasi pribadi nasabah pada pihak ketiga tanpa persetujuan Anda. Namun janji tersebut akan diingkari bila nasabah menunggak dan kebutuhan layanan. Apakah pernyataan ini sejalan dengan aturan OJK?

Tak hanya OJK yang bisa memberi sanksi, asosiasi pun demikian. Menurut Legal Coordinator Fintech Lending Division Aftech Chandra Kusuma, asosiasi bisa memberikan surat teguran kepada Rupiah Plus bahkan sampai dikeluarkan dari keanggotaan asosiasi.

“Kepercayaan masyarakat perlu dijaga. Selama ini industri fintech lending sangat dipercaya masyarakat dan terbukti telah berkontribusi bagi perekonomian negara. Kami sangat yakin konsumen akan tetap percaya pada bidang usaha fintech, pelaku usaha lain masih banyak yang bersikap baik, patuh hukum, dan beretika,” kata Chandra.

Bhima Yudhistira ikut menambahkan, fintech dapat dengan mudah bagi-bagi kredit ke debitur lewat teknologi. Namun untuk penagihan biasanya berat dan mahal, akhirnya melakukan outsource ke pihak ketiga, mirip dengan yang terjadi di mulfinance. Akhirnya menimbulkan konflik antara debitur dan debt collector.

“Di sini OJK tidak bisa tinggal diam. Jangan karena fintech lalu pengawasan yang berkaitan dengan nasabah lalu diperlonggar. Atau kalau sudah ada aduan baru diproses, itu kurang bijak,” katanya.

Bila kembali ke cerita Dhimas dan Lukman, mereka mengaku proses pembayaran tagihan sangat mudah. Dhimas misalnya, dia bisa bayar tagihan lewat virtual account yang bisa dibayarkan di bank manapun. Lukman pun selalu berusaha bayar tepat waktu agar tidak dikenakan bunga sama sekali bila membayar di bawah 30 hari.

Sebenarnya seperti apa prosedur penagihan yang dilakukan oleh startup fintech? Tunai Kita misalnya, hanya menagih ke nomor kontak yang diberikan nasabah. Keseluruhan proses dilakukan tim Tunai Kita dan tidak melibatkan pihak ketiga.

“Tata cara kami mengikuti regulasi OJK tentang penagihan utang yang diterapkan di perbankan dan lembaga keuangan,” kata Andry Huzain.

Kredivo pun sependapat. Akshay Garg menginginkan Kredivo berjalan sebagai perusahaan untuk jangka panjang. Untuk itu perusahaan sangat menjunjung standar profesionalisme yang ketat.

“Rating aplikasi kami yang mewakili indeks kepuasan kepuasan adalah salah satu yang tertinggi di industri ini [4,5 bintang di Play Store dan 4,7 di App Store],” terang Akshay.

Founder dan CEO Uang Teman Aidil Zulkifli menambahkan, apabila ada nasabah yang kredit macetnya di atas 60 hari dari tanggal jatuh tempo, pihaknya baru akan menggunakan jasa pihak ketiga yang bersertifikasi dari APPI (Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia). Di bawah kurun waktu tersebut, perusahaan tetap menggunakan SOP sesuai standar berlaku di OJK.

“Jatuh tempo di Uang Teman dimulai dari 10-30 hari setelah tanggal tagihan, hitungannya bunga harian. Kalau di atas 60 hari baru kita pakai jasa pihak ketiga yang bersertifikasi. Ada track record bermitra dengan bank BUKU IV. Bila gagal baru di-write off, jadi kami tetap jaga image nasabah,” terang Aidil.

Aidil mengklaim dengan metode penagihan ini, perusahaan berhasil menjaga rasio NPL di bawah kisaran 3%. Saat ini perusahaan telah menyalurkan pinjaman lebih dari Rp500 miliar untuk sekitar 50 ribu nasabah. Uang Teman berharap tahun ini dapat tembus Rp1 triliun untuk penyaluran pinjamannya.

Apa yang dilakukan Awan Tunai juga tak jauh berbeda. Hanya saja Dino Setiawan menekankan bahwa industri fintech lending masih menjadi industri yang baru. Untuk beroperasi di skala besar, jelas bahwa perusahaan harus menyesuaikan diri dengan peraturan collections yang sudah ada.

“Industri baru, apalagi yang mencari inovasi baru pasti akan coba macam-macam. Jelas jika ada yang melanggar, itu perlu diperbaiki, atau ada hal jelek yang belum dilarang oleh peraturan, ya mekanisme seperti media atau lapor ke asosiasi atau regulator perlu dilakukan. Konsekuensi tidak bayar pinjaman pasti ada, mau di mana pun itu,” terang Dino.

Tindakan preventif Aftech

Peresmian acara Fintech Fair 2018 di Jakarta
Peresmian acara Fintech Fair 2018 di Jakarta

Pasca kejadian Rupiah Plus, Aftech makin gencar memformalkan dokumen “Pedomen Perilaku Layanan Pinjam Meminjam Daring yang Bertanggung Jawab” yang sempat molor dari jadwal pengesahan yang semestinya April 2018.

Direktur Kebijakan Publik Aftech Ajisatria Suleiman menuturkan, dokumen tersebut sebenarnya sudah disahkan secara informal untuk antar anggota asosiasi. OJK pun sudah memberikan restu. Namun pihaknya ingin diformalkan dengan membentuk komite etik yang terdiri atas tiga advokat idependen.

“Minggu depan [pekan ketiga Juli] kita akan angkat dewan komite etik, sudah ada nama-nama advokatnya. Kemudian kita juga sudah buat coworking grup khusus pinjaman harian. Mereka akan buat standarisasi SOP penagihan, semuanya sudah kita rapatkan dengan 18 anggota,” kata Aji, Jumat (13/7).

Berikutnya asosiasi juga telah menetapkan pilot project untuk sharing data yang dimulai dengan delapan perusahaan fintech. Sharing data ini dimaksudkan untuk memeriksa daftar blacklist dan fraud debitur. Ini mirip seperti SLIK yang sudah berlaku di industri jasa keuangan.

“Kita inginnya semua perusahaan ikut, tapi kan ini isunya lagi sensitif jadi dimulai dulu dari yang mau dulu. Sekarang sistemnya masih dibentuk, tapi sudah ada PIC-nya, Pak Izak Jenie.”

Lebih cerdas beri akses data

Pada dasarnya apapun aplikasi yang sudah diunduh di smartphone, ada data digital yang telah diambil oleh perusahaan pengembang aplikasi tersebut. Data digital tersebut bisa digunakan untuk credit scoring, membaca kebiasaan pengguna, verifikasi data, dan lainnya.

Seluruh data baru bisa diambil pemilik aplikasi ketika pengguna mendapat pertanyaan, meminta pengguna untuk memberi akses daftar kontak, SMS, lokasi, foto/dokumen, kamera, koneksi internet, nomor IMEI smartphone, dan riwayat panggilan. Lalu menjawab “ya” dari pop up tersebut.

“Ketika pakai smartphone dan pakai aplikasi apapun pasti ada pertanyaan yang meminta izin dibuka aksesnya terhadap smartphone Anda. Ketika pilih Yes, data Anda akan pindah ke pemilik aplikasi. Harus sadar sesadar-sadarnya bahwa data digital Anda sudah berpindah, terserah mau diapakan. Jadi jangan dikira hanya fintech online saja yang ambil data,” ungkap Hendrikus Passagi.

Dengan kata lain, sambung Hendrikus, apa yang dilakukan Rupiah Plus juga dilakukan perusahaan fintech lainnya dan seluruh aplikasi pada umumnya. Hanya saja ada kesalahan internal Rupiah Plus yang menyalahgunakan daftar kontak pengguna untuk kebutuhan penagihan.

DailySocial mencoba membandingkan dan menjabarkan akses data apa saja yang diminta berbagai aplikasi fintech kepada penggunanya. Agar adil, kami hanya membandingkan antar aplikasi yang bergerak di produk KTA online. Ada Kredivo, Akulaku, Awan Tunai, TunaiKita, Rupiah Plus, dan Uang Teman.

Data pribadi pengguna yang diminta penyedia layanan KTA online
Data pribadi pengguna yang diminta penyedia layanan KTA online

Kesimpulannya keenam aplikasi secara detail meminta informasi data digital pengguna, mulai dari informasi perangkat dan aktivitas aplikasi, riwayat panggilan, membaca kontak pengguna, mengirim dan melihat pesan SMS, kamara, foto dan dokumen baik di perangkat maupun eksternal, hingga koneksi Wi-Fi yang dipakai.

Namun yang sedikit berbeda, Akulaku dan Rupiah Plus juga mensyaratkan akses untuk mikrofon di perangkat. Kredivo, Awan Tunai, dan TunaiKita tidak meminta akses tersebut. Kemudian, hanya Kredivo yang mensyaratkan akses untuk kalender. Aplikasi lainnya tidak meminta akses itu.

Pada akhirnya, kemudahan yang ditawarkan produk KTA online jangan membuat Anda lengah. Tetap kritis saat memilih pinjaman, jangan sampai lengah untuk terperangkap ke layanan yang “abal-abal”. Harus bertanggung jawab atas segala risiko yang sudah dipilih dan tertib membayar angsurannya.

Saat mengunduh aplikasi baru, perhatikan apa saja data yang diminta oleh pemilik aplikasi. Pencurian data saat ini semakin mudah, bahkan bisa tidak disadari sama sekali. Pemilik layanan pun harus lebih berhati-hati dalam menyimpan data digital pengguna, jangan sampai jatuh ke pihak yang tidak bertanggung jawab.

Asosiasi Fintech Merasa “Diasingkan” OJK

Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) merasa “diasingkan” oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) jika dibandingkan perlakuannya terhadap lembaga jasa keuangan lainnya. Hal itu dipicu pernyataan Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, pekan lalu (3/3), yang menuturkan penggunaan logo OJK tidak diperkenankan sebagai bentuk validasi kegiatan p2p lending.

Aftech menilai pernyataan Wimboh tersebut kontradiktif dengan POJK Nomor 77 Tahun 2016. Di dalam aturan tersebut, tepatnya pasal 35 ayat B, disebutkan bahwa perusahaan yang terdaftar harus mencantumkan logo OJK dalam kegiatan bisnisnya.

“Logo itu sejalan dengan POJK 77. Semua pemain yang terdaftar harus menampilkan logo. Bila melarang pencantuman logo, berarti bertolak belakang dengan landasan hukum yang diterbitkan oleh OJK sendiri,” ucap Wakil Ketua Aftech Adrian A. Gunadi, Selasa (6/3).

OJK berpendapat pelarangan pencantuman logo ini karena perusahaan fintech tidak dikategorikan sebagai lembaga keuangan. OJK tidak akan tanggung jawab jika nantinya ada perusahaan fintech yang bangkrut atau terjadi fraud.

Terkait hal tersebut, Adrian sepakat bahwa perusahaan p2p lending lebih tepat disebut sebagai penyedia layanan keuangan. OJK memang tidak menanggung risiko yang ditimbulkan kegiatan usahanya, namun pemain tetap memenuhi syarat dan ketentuan yang sama seperti lembaga keuangan formal yang telah beroperasi.

Contohnya perusahaan p2p lending diminta memenuhi standar setara ISO 27001 yang menjadi acuan perbankan.

“Saat susun POJK, perusahaan p2p lending jadi bagian yang tidak terpisahkan dengan lembaga keuangan formal, sebab dalam praktik bisnisnya kami tetap menstandarkan diri dengan lembaga keuangan yang sudah ada.”

Adrian melanjutkan, OJK sebaiknya memperketat pengawasannya daripada lepas tangan. Caranya dengan menguatkan aturan apa saja yang bisa didetailkan lewat aturan turunan untuk menentukan kesungguhan operasi dan kinerja sebuah usaha p2p lending.

Aturan turunan yang bisa ditelaah OJK adalah yang terkait dengan pembuatan tata kelola yang baik, transparansi transaksi, dan pelaporan yang melibatkan auditor independen.

Ada pula aturan tentang manajemen risiko yang tertata rapi untuk melindungi konsumen dan pelaku usaha, juga untuk menekan angka NPL. Kontrol yang baik dari regulator, sambungnya, akan otomatis menyeleksi pelaku usaha yang tidak sungguh-sungguh.

“Kegiatan usaha yang diatur dan dilindungi oleh regulasi OJK justru menjaga pelaku tekfin dari kemungkinan menyalahgunakan dana masyarakat. Mengingat penyaluran dananya dipantau melalui mekanisme perbankan. Potensi kolaborasi fintech dan institusi keuangan lainnya bahkan terus meningkat dalam waktu dekat.”

Sentil bunga tinggi

Selain menyinggung soal pencabutan logo OJK, Wimboh juga menyentil pemberian bunga yang relatif lebih tinggi daripada perbankan, sehingga menjulukinya dengan sebutan rentenir. Sebutan inu ditolak mentah-mentah oleh Aftech.

Adrian bilang p2p lending tidak beroperasi seperti rentenir yang memberikan pay day loan (bunga harian) kepada nasabahnya. P2p lending hadir karena didasari semangat inklusi keuangan dan besarnya kebutuhan masyarakat terhadap akses pinjaman dana.

Menurut Adrian, OJK perlu memahami lebih baik bahwa terdapat berbagai model bisnis fintech lending dengan segmentasi nasabah yang berbeda-beda. Dalam pemberian bunga, biasanya pemain merujuk pada tingkat bunga pinjaman bank atau lembaga keuangan lainnya.

Untuk fintech lending yang bergerak di usaha mikro seperti Amartha, benchmark-nya menggunakan BPR dengan standar bunga di kisaran 27%-28%. Sedangkan untuk lending di usaha menengah, seperti Investree, menggunakan benchmark di bank BUKU I dan II dengan kisaran bunga di kisaran 14%-15%.

“Sayang banget kalau OJK menggeneralisir. Bunga di p2p lending memang susah untuk ditentukan langsung oleh OJK karena segmen bisnis kami itu beda-beda.”

Bunga yang diberikan kepada penerima pinjaman, tidak masuk ke kantong perusahaan, melainkan langsung diterima pemberi pinjaman. Perusahaan lending itu sendiri hanya menerima pemasukan dari komisi yang berasal dari proyek yang berhasil didanai. Umumnya kisaran komisi yang diterima perusahaan sebesar 3%-5%.

“Kita dapat fee dari borrower untuk setiap proyek yang berhasil didanai, itu hak kita sebagai platform. Bunga kredit itu masuk langsung ke pemberi pinjaman.”

Aturan pembatasan bunga

Pasca disinggung OJK, Ketua Kelompok Kerja P2P Lending Aftech Reynold Wijaya menuturkan saat ini asosiasi sedang menyusun “Pedoman Perilaku Layanan Pinjam Meminjam Daring yang Bertanggung Jawab”. Rencananya pedoman ini akan dikeluarkan paling lambat April 2018 mendatang.

Dalam pedoman ini nantinya asosiasi akan menyepakati batas bunga pinjaman maksimal. Ada beberapa acuan yang dipakai untuk menentukan batas atas suku bunga kredit p2p lending, seperti bunga KTA di bank, multifinance, BPR, hingga bunga di bank BUKU I dan II.

“Kami akan buat cap pricing (batas bunga) berdasarkan subsektor. Misalnya batas (bunga) untuk kredit UMKM itu berapa persen dan untuk ke individu atau konsumen berapa persen,” ucap Reynold.

Dia melanjutkan, “Aftech terus berkomitmen dan bekerja secara intensif untuk mendukung terbentuknya regulasi yang bijak, baik dari sisi advokasi penyusunannya maupun dari sisi implementasi operasional, serta melakukan edukasi kepada publik agar mereka dapat bertransaksi dengan aman dan nyaman.”

Co-working Fintech Space Officially Launches, UnionSpace Marked Its Presence in Indonesia

Co-working space operator UnionSpace (previously known as Cre8) officially introduce its service in Indonesia by launching co-working Fintech Space in Jakarta specifically for fintech. The new office is targeted to officially operate in June 2018.

In its presence, UnionSpace partners with locals such as Indonesia’s Fintech Association (Aftech), Kejora Ventures and Gan Konsulindo. Through the strategic alliance, UnionSpace will develop partnership network includes GK-Plug and Play Indonesia and Founder Institute. Soon to be launched, a few international level startup accelerate programs.

“We are excited to be a part of business economic growth in Indonesia. One of which is in fintech. We believe that Indonesia will be a promotor for Southeast Asia’s market growth. Through Fintech Space, we support a rapid growth of fintech and an enormous wave of entrepreneurial revivals in fintech segment.” said UnionSpace’s CEO Albert Goh in the official statement.

For him, Fintech Space is expected to be a platform for collaboration among fintech stakeholders, including members of associations, regulators, finance companies, venture capital firms and the startup itself.

Besides, this venue will hold the number of fintech activities in the form of educational and sharing knowledge sessions to support capacity building of business players.

Aftech’s Chairman, Niki Luhur, added that Fintech Space could be a place for collaboration, exchange ideas and solutions as a means to create new innovations, and become the center of network development to accelerate fintech industry growth in Indonesia.

“Such public places are necessary to help accelerating fintech players work, in order to fulfill the priority of the national financial inclusion agenda for opening access to the financial services to at least 75% Indonesia’s population.” he said.

The registered members in Aftech has reached 137 people, bring together 114 fintech startup companies and 23 financial institutions.

UnionSpace itself first came up with the name Cre8 Community + Workspace. In October 2017, it receives invvestment from Kejora Ventures and Gan Konsulindo with undisclosed value. After the new investor, Cre8 in Indonesia with several other brands in Southeast Asia are fully transformed into UnionSpace.

Currently, UnionSpace is available in five locations around Jakarta, three locations in Manila and one located in Malaysia. In addition, it also has an online community platform “Enterprenity” which holds about 24 thousand users throughout the world.

Related to UnionSpace expansion, Albert Goh is targeting this year to add more than 20 locations in major Southeast Asia’s cities to be managed independently.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Resmikan Co-working Fintech Space, UnionSpace Tandai Kehadiran di Indonesia

Operator co-working space UnionSpace (sebelumnya bernama Cre8) meresmikan kehadirannya di Indonesia dengan meluncurkan co-working space Fintech Space di Jakarta khusus menaungi fintech. Kantor baru ini ditargetkan dapat beroperasi resmi pada Juni 2018.

Dalam kehadirannya, UnionSpace menggandeng mitra lokal seperti Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), Kejora Ventures, dan Gan Konsulindo. Melalui aliansi strategis ini, UnionSpace akan mengembangkan jejaring kerja sama yang mengikut sertakan GK-Plug and Play Indonesia dan Founder Institute. Juga segera meluncurkan beberapa program akselasi startup bertaraf internasional.

“Kami antusias untuk menjadi bagian dari pertumbuhan ekosistem bisnis di Indonesia. Salah satunya di industri fintech. Kami percaya Indonesia akan menjadi salah satu motor bagi pertumbuhan pasar Asia Tenggara. Melalui Fintech Space, kami mendukung kemajuan fintech yang begitu pesat dan gelombang kebangkitan wirausaha di bidang fintech yang begitu besar,” ujar CEO UnionSpace Albert Goh dalam keterangan resmi.

Menurut Albert, Fintech Space diharapkan dapat menjadi wadah kolaborasi antara para pemangku kepentingan bidang fintech, meliputi para anggota asosiasi, regulator, perusahaan keuangan, perusahaan modal ventura, dan startup itu sendiri.

Di samping itu, tempat ini akan menjadi kegiatan diselenggarakannya sejumlah aktivitas fintech dalam bentuk sesi edukasi dan berbagi pengetahuan untuk mendukung peningkatan kapasitas para pelaku usaha.

Ketua Umum Aftech Niki Luhur menambahkan, Fintech Space dapat menjadi tempat kolaborasi, bertukar gagasan dan solusi sebagai sarana untuk melahirkan inovasi baru, serta menjadi pusat pengembangan jejaring untuk mempercepat pertumbuhan industri fintech di Indonesia.

“Ruang publik semacam ini dibutuhkan untuk membantu mengakselerasi kerja para pelaku fintech, agar dapat memenuhi prioritas agenda inklusi keuangan nasional yaitu membuka akses layanan keuangan kepada sedikitnya 75% penduduk Indonesia,” kata Niki.

Adapun anggota terdaftar dalam Aftech saat ini menghimpun 137 anggota, terdiri atas 114 perusahaan startup fintech dan 23 lembaga keuangan.

UnionSpace sendiri pertama kali hadir dengan nama Cre8 Community + Workspace. Pada Oktober 2017 lalu, menerima investasi dari Kejora Ventures dan Gan Konsulindo dengan nilai yang tidak disebutkan. Pasca investor baru masuk, Cre8 di Indonesia dan sejumlah merek lainnya di Asia Tenggara bertransformasi penuh menjadi UnionSpace.

Sejauh ini, UnionSpace beroperasi di lima lokasi di Jakarta, tiga lokasi di Manila, dan satu lokasi di Malaysia. Selain itu, juga memiliki platform komunitas online “Enterprenity” yang menampung sekitar 24 ribu pengguna dari seluruh dunia.

Terkait ekspansi UnionSpace, Albert menargetkan pada tahun ini dapat menambah lebih dari 20 lokasi di kota besar Asia Tenggara yang akan dikelola secara mandiri.

OJK Beri Kelonggaran Pendaftaran Layanan P2P Lending Sampai Akhir Tahun

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan kelonggaran proses pendaftaran kepada pemain p2p lending sampai akhir tahun ini, dari awal batas waktu yang ditentukan sampai 29 Juni 2017.

Padahal bila mengacu dari isi POJK Nomor 77 disebutkan bahwa tenggat waktu yang diberikan untuk mengantongi surat tanda bukti terdaftar adalah enam bulan sejak aturan diberlakukan atau 29 Juni 2017. Setelah itu, mereka diharuskan menaikkan modal disetor menjadi Rp2,5 miliar untuk mengajukan perizinan maksimal satu tahun setelah perusahaan terdaftar di OJK.

“Menimbang-nimbang dari bisnis fintech p2p lending yang kebanyakan adalah perusahaan startup, yang notabenenya memiliki tingkat gagal yang tinggi. Maka dari itu kami beri relaksasi proses pendaftaran sampai akhir tahun ini,” terang Direktur Pengawasan Lembaga Pembiayaan OJK Tuahta Aloysius Saragih, Selasa (23/5).

Aloysius menerangkan relaksasi itu akan diberlakukan untuk seluruh perusahaan fintech p2p lending yang saat ini tengah mengajukan proses pendaftaran. Apabila dalam kurun waktu akhir tahun ini, masih ada perusahaan yang belum memperoleh surat tanda bukti terdaftar regulator akan memeriksa kembali perusahaan tersebut.

Sumber OJK
Sumber OJK

“Bila nanti waktunya [pendaftaran] sudah habis, namun masih ada perusahaan yang belum dapat surat tanda bukti, kami akan periksa mereka dan mengeceknya kembali.”

Sekadar informasi, dari 28 perusahaan yang mengajukan proses pendaftaran, baru ada tiga perusahaan yang sudah mengantongi surat tanda bukti terdaftar. Yakni PT Pasar Dana Pinjaman (Danamas), PT Danakita Data Prima, dan PT Lunaria Annua Teknologi (KoinWorks).

Jangan dipersulit

Di samping itu, Asosiasi fintech Indonesia (AFTECH Indonesia) meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk tidak mempersulit proses pendaftaran p2p lending yang dinilai terlalu teknis.

Direktur Kebijakan Publik AFTECH Indonesia Ajisatria Sulaeiman mengatakan pihaknya menyayangkan persyaratan yang harus dipenuhi OJK terlalu teknis karena harus melampirkan berbagai bukti.

Dia mencontohkan, salah satu ketentuan yang harus dipenuhi adalah bukti modal disetor sebesar Rp1 miliar. Pelaku harus melampirkan bukti tanda transfer, meski sebenarnya bisa dicek dalam rekening koran.

“Karena harus melampirkan berbagai surat bukti, membuat banyak perusahaan jadi tersendat dalam mengajukan proses pendaftaran. Padahal kami merasa persyaratan seperti itu sangat teknis dan tidak substansial. Kami meminta regulator untuk tidak persulit,” pungkas Aji.