Setelah Bali dan Surabaya, SayurBox Targetkan Bisa Tersedia di Seluruh Jawa

Peningkatan transaksi dan pengguna untuk layanan online grocery di Indonesia tampaknya juga dirasakan oleh SayurBox. Dengan klaim untuk membantu petani lokal dan memenuhi kebutuhan pelanggan, kini mereka resmi hadir di Surabaya dan Bali.

Head of Communications SayurBox Oshin Hernis menyampaikan, selain operasional pihaknya juga sudah memiliki kantor, warehouse, dan tim lapangan di area tersebut.

“Surabaya dan Bali memiliki potensi Agrikultur yang besar. Kami memberikan akses bagi petani lokal untuk menjual hasil panen mereka kepada konsumen. Peluncuran SayurBox di kedua kota ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi kelangsungan bisnis petani lokal. Terlebih lagi di masa pandemi ini, kami mengakomodasi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokok harian dengan aman melalui aplikasi SayurBox,” terang Oshin.

Oshin lebih jauh menjelaskan, setelah Bali dan Surabaya pihak SayurBox sudah menargetkan area baru untuk beroperasi. Bandung dan luar Pulau Jawa secara keseluruhan adalah target selanjutnya. Hal ini menurutnya tak lepas dari permintaan masyarakat di daerah-daerah tersebut.

Pihak SayurBox enggan menjelaskan secara rinci mengenai capaian yang didapat selama masa pandemi ini, hanya saja buah dan sayuran seperti Mangga dan Kangkung menjadi produk unggulan. Banyak dikonsumsi karena mudah untuk mengolahnya.

Ekspansi di waktu yang tepat

SayurBox tercatat sudah empat tahun berkecimpung di ekosistem jual-beli sayur dan buah segar. Secara konsep, mereka menyalurkan langsung hasil panen dari petani ke pelanggan. Tahun ini mereka resmi beroperasi di Surabaya dan Bali, tepatnya pada Agustus 2020.

SayurBox sendiri saat ini menyandang status centaur dengan pendanaan yang didapat dari Insigna Venture, Patamar Capital, East Ventures, dan Tokopedia. Ekspansi di tengah pandemi ini merupakan salah satu keputusan yang tepat. di waktu yang tepat. Selain Sayurbox sudah cukup berpengalaman di industri ini persaingan dengan layanan sejenis juga menjadi menjadi pertimbangan.

Salah satu cara untuk menjangkau lebih banyak tentunya dengan hadir di lebih banyak kota. Mengingat pandemi sukses mendorong pertumbuhan industri online grocery ini adalah waktu yang tepat.

Sebelum industri ini cukup ramai dengan pemain baru atau pemain lama yang mengambil langkah agresif. Etanee, TaniHub, Happy Fresh, atau KedaiSayur (pivot ke layanan pesan antar bahan makanan) adalah beberapa nama yang cukup aktif menjalankan strategi inovasi dan eksoansi.

Sementara itu di Surabaya sendiri pilihan untuk belanja sayur dan buah segar sudah ada beberapa. Ada Happy Fresh, Tanihub, dan TukangSayur.

Application Information Will Show Up Here

Chilibeli Introduces Chilimart, to Start Exploring B2B Model

Chilibeli introduces a special B2B platform called Chilimart targeting micro-entrepreneurs. Chilibeli was previously known as a community-based social commerce platform.

Chilibeli’s B2B Sales Manager Novel Leonardo explained that Chilimart has actually been operating since December last year. Chilimart was first designed to reach SMEs.

“The point is, we want to help MSMEs with Chilimart in terms of supply chain process and availability,” Novel said in a virtual press conference (26/8).

Based on the data collected by Chilibeli , there are nearly 65 million SMEs existed in Indonesia. Of this number, 63 million of those are called micro-enterprises. In other words, this micro-business has a central role in the domestic economy.

Entering the B2B segment

Through Chilimart, they are targeting micro-businesses such as vegetable shops, food stalls, grocery stores as their markets. They claim the products sold on the platform are very affordable because they go through a more efficient process including getting first hand supplies.

“Chilimart can directly take from the first hand, with the farmers or the main supplier so that we can get cheaper prices,” added Novel.

Chilibeli’s entrance into the B2B platform means to stir up the fierce battle in the online grocery vertical. Several other players have already implemented this model, including TaniHub and Kedai Sayur.

Novel explained the differentiation of Chilimart from its competitors is that its products are multi-segmented. That means Chilimart does not only provide food such as vegetables and meat but also fruits, instant food and drinks, spices, staples, to health and hygiene products.

In addition, Novel guarantees that their platform can deliver early in the morning as long as confirmation of orders can be made before three in the afternoon. “We invest in our logistics team, therefore, we can run at such hours,” he explained.

Side to side operation

Chilibeli claims Chilimart currently has 10,000 users from all of their operational areas, from Jabodetabek, Surabaya, Gresik, Sidoarjo, and Bandung. Especially in Jabodetabek, users are claimed to be around 6,000 users.

Nevertheless, Novel highlighted the fact that Chilimart complements the Chilibeli ecosystem. It means, they still maintain the concept of community-based social commerce.

“We are still social commerce after all. You could say we are still going both ways. There is a special team dedicated to the two businesses,” concluded Novel.

In addition, Chilibeli also collaborates with Lazada. It has been ongoing since last June. Through this collaboration, Chilibeli can distribute their food ingredients on the Lazada platform. The available food ingredients include vegetables, fruits, meat, eggs, and salted fish.

“Chilibeli is collaborating with Lazada to provide easier access for our customers. Since joining Lazada, Chilibeli has served hundreds of new customers with an increase of more than 1,500 orders in the last 3 months,” Chilibeli’s B2C Commercial Manager, Fintia said in a written statement.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Perkenalkan Chilimart, Chilibeli Kini Selami Model B2B [UPDATED]

Chilibeli memperkenalkan platform khusus B2B bernama Chilimart. Chilimart ini memilih pengusaha mikro sebagai target pasar mereka. Chilibeli sebelumnya lebih dulu dikenal sebagai platform social commerce berbasis komunitas.

Sales Manager B2B Chilibeli Novel Leonardo menjelaskan bahwa Chilimart sejatinya sudah mulai digulirkan sejak Desember tahun lalu. Chilimart didesain dari awal untuk menjangkau UKM.

“Intinya dengan Chilimart ini kita ingin membantu UMKM dalam segi supply chain process dan ketersediaannya,” ucap Novel dalam konferensi pers virtual (26/8).

Berdasarkan data yang Chilibeli kumpulkan, UKM di Indonesia berjumlah hampir 65 juta unit. Dari angka tersebut, 63 juta di antaranya mereka sebut merupakan usaha mikro. Dengan kata lain usaha mikro ini punya peran sentral terhadap perputaran ekonomi di dalam negeri.

Merambah B2B

Melalui Chilimart, mereka mengincar usaha mikro seperti toko sayur, warung makan, toko kelontong sebagai pasar mereka. Mereka mengklaim produk yang dijual di platform lebih terjangkau karena melalui proses yang lebih efisien termasuk memperoleh pasokan dari tangan pertama.

“Chilimart bisa langsung mengambil dari tangan pertama yakni petani atau supplier utama sehingga kita bisa mendapatkan harga lebih murah,” imbuh Novel.

Masuknya Chilibeli ke platform B2B berarti menambah sengit pertarungan di vertikal online grocery. Beberapa pemain lain yang sudah lebih dulu bermain dengan model ini di antaranya adalah TaniHub dan Kedai Sayur.

Novel menjelaskan yang membedakan Chilimart dengan kompetitor adalah produk mereka multi-segmen. Itu artinya Chilimart tidak hanya sekadar menyediakan pangan seperti sayur mayur dan daging, tapi juga buah-buahan, makanan dan minuman instan, bumbu, bahan pokok, hingga produk kesehatan dan kebersihan.

Di samping itu Novel menjamin bahwa platform mereka dapat melakukan pengantaran pada pagi dini hari asal konfirmasi pesanan dapat dibuat sebelum pukul tiga sore. “Kami investasi di tim logistik kami agar bisa masuk di jam-jam seperti itu,” terangnya.

Berjalan beriringan

Chilibeli mengklaim Chilimart saat ini sudah memiliki 10 ribu pengguna dari semua wilayah operasional mereka yakni Jabodetabek, Surabaya, Gresik, Sidoarjo, dan Bandung. Khusus di Jabodetabek, penggunanya diklaim sekitar 6.000 pengguna.

Kendati demikian, Novel menekankan bahwa Chilimart ini melengkapi ekosistem Chilibeli. Itu artinya, mereka tetap mempertahankan konsep social commerce berdasarkan komunitas.

“Kita tetap social commerce. Bisa dibilang kita tetap jalan dua-duanya. Ada tim khusus yang didedikasikan ke dua bisnis tersebut,” pungkas Novel.

Di samping memperkenalkan platform Chilimart, Chilibeli juga menjalin kerja sama dengan Lazada. Kerja sama keduanya sudah terwujud sejak Juni kemarin. Melalui kolaborasi ini, Chilibeli dapat menyalurkan bahan pangan mereka di platform Lazada. Adapun bahan pangan yang tersedia meliputi sayur-mayur, buah-buahan, daging, telur, hingga ikan asin.

“Chilibeli bergabung dengan Lazada untuk memberikan akses lebih mudah bagi pelanggan kami. Sejak bergabung dengan Lazada, Chilibeli telah melayani ratusan konsumen baru dengan peningkatan hingga lebih dari 1,500 order dalam 3 bulan terakhir,” ucap Commercial Manager B2C Chilibeli Fintia lewat pernyataan tertulis.

 

*Update: Kami menambahkan informasi kerja sama Chilibeli dengan Lazada.

Application Information Will Show Up Here

Memasuki Tahun Keempat, TaniHub Mulai Fokus Ekspansi ke Luar Jawa

Startup agritech TaniHub mulai ekspansi layanan ke luar Pulau Jawa memasuki hari jadinya yang keempat. Rencana tersebut akan didukung dengan memperkuat infrastruktur berupa pusat distribusi dan pusat pemrosesan dan pengemasan produk.

CEO TaniHub Ivan Arie Setiawan menerangkan, saat ini perusahaan memiliki lima pusat distribusi yang lokasinya masih di sekitar Jawa dan Bali, tepatnya di Bogor, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali.

“Kita dalam dua tahun ke depan tidak hanya terfokus di Jawa dan Bali. Tapi juga di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi,” ucap Ivan dalam konferensi pers secara virtual, Senin (24/8).

Ekspansi pusat distribusi ini bertujuan untuk pemerataan penyebaran produk pertanian di seantero Indonesia. Alhasil, rantai pasok komoditas akan lebih efisien dan harga bisa terkendali. “Petani jadi punya kepastian untuk terus budidaya dalam jumlah signifikan agar kesejahteraan mereka meningkat.”

Dalam mendukung itu, TaniHub kini memiliki pusat pemrosesan dan pengemasan produk atau processing packing center (PPC) di Malang yang akan dirilis dalam waktu dekat. Fasilitas tersebut berfungsi untuk menghemat waktu distribusi produk pertanian hingga dua hari.

“Fasilitas ini baru ada di Malang, idealnya di tiap provinsi harus ada PPC. Nanti bakal ada di Jawa Barat, seperti Majalengka, lalu di Medan,” tambah Director of Supply Chain TaniHub Group Sariyo.

Kedua infrastruktur ini akan membuat TaniHub dapat memenuhi standar impor produk pertanian dapat merata, tak hanya ada di Pulau Jawa saja.

Ivan menuturkan, selama empat tahun berdiri, perusahaan sudah fokus untuk memperkuat sisi hulu. Seperti mendirikan TaniFund pada 2017 dan TaniSupply pada dua tahun berikutnya. Hal ini dilakukan agar perusahaan bukan sebatas menjadi penjual dari produk petani, namun ikut membina petani di hulu dalam proses produksi hingga panen.

“Kita juga harus berkolaborasi [dengan banyak mitra] supaya target membina 1 juta petani bisa segera terealisasi sebelum tahun 2023.”

Dampak pandemi

Meski perusahaan termasuk salah satu industri yang “beruntung” di tengah pandemi, sebetulnya ada rencana yang harus tertunda, yakni ekspansi ke luar Indonesia. “Kami memang mau ekspansi global, namun karena pandemi rencana ini agak tertunda namun tetap menjadi rencana besar kami dalam satu tahun depan tergantung situasi di negara tersebut,” jelas Co-Founder & President TaniHub Group Pamitra Wineka.

Sembari menyiapkan rencana besar tersebut, memperkuat pusat distribusi dan PCC menjadi faktor pendukung TaniHub. Pasalnya, kendala yang saat ini dihadapi perusahaan untuk ekspor adalah perlunya konsistensi hasil panen dari petani yang saat ini masih belum optimal, secara timing maupun kuantitas yang grade A.

“Tapi kita sudah mulai meningkatkan intensinya dari TaniFund untuk bantu sediakan bibit dan pupuk terbaik, maupun pengetahuan dari agronomis kita agar hasil panen mereka bisa meningkat kualitasnya.”

Transaksi di TaniHub selama pandemi diklaim mengalami kenaikan. Produk tanaman herbal misalnya, paling banyak dicari konsumen dan kenaikannya mencapai 20%. Jumlah pengguna pun bertambah hingga 20 ribu orang.

Secara keseluruhan, transaksi tumbuh tiga kali lipat setiap tahun. Empat tahun beroperasi, kini TaniHub telah menggaet lebih dari 30 ribu petani kecil yang bergabung ke dalam ekosistem.

Application Information Will Show Up Here

AwanTunai to Facilitate Credit Agriculture for Farmers on Sayurbox

The p2p lending startup AwanTunai is expanding its financing products for farmers who distribute their crops in Sayurbox. Pilot projects are already ongoing for selected farmers located in Bogor, Sukabumi, Bandung, and Indramayu.

The two companies partnered due to the circumstances of sister companies and founded by the same co-founder, Rama Notowidigdo. Both have the same ambition to improve the lives of micro-entrepreneurs.

AwanTunai’s Co-Founder and CEO, Dino Setiawan explained that the company is interested in entering this segment considering it’s in line with the company’s core focus on SME financing in the FMCG and grocery supply chain.

“Downstream we have stalls that sell goods to end consumers and upstream there are farmers. Therefore, farmers are the next SME group we serve,” he told DailySocial.

Before AwanTunai, Sayurbox had never been involved with farmers to finance working capital because the selling system was off. Sayurbox Head of Communication Oshin Hernis explained, when farmers need a loan, the company will usually educate and recommend it to Bank BRI Agro as the company’s partner.

Furthermore, the bank will perform some curation based on historical data from Sayurbox regarding these farmers. The bank will get an overview of determining credit scoring before approving a capital loan.

On the other hand, the company also offers a one-month partnership, when they meet certain requirements. For example, it is in good quality and guaranteed quantity.

“If the two big factors fulfilled, Sayurbox will offer to be a partner as a form of higher commitment and appreciation. This is one of our selections so that our partners’ expectations can be maintained properly in the future,” Oshin added.

Regarding its partnership with AwanTunai, there will be no specific criteria for farmers in Sayurbox to get a loan. The company only ensures that the farmers to be referred are Indonesian citizens as proven by an ID.

“The rest, we provide flexibility for AwanTunai to select farmers who become our suppliers to get a capital loan facility.”

Dino continued, the company provides loans ranging from IDR5 million to IDR 500 million per farmer for this collaboration curated by Sayurbox. The tenor is quite short, between 2 weeks to 1 month and the interest is 0.75% per week.

“Loan repayments through virtual accounts/bank transfers are due to maturity. For every return according to maturity, we will be given cashback,” he said.

In risk mitigation, companies do not provide financing in cash, it is in the form of seeds, fertilizers, or other inputs needed for agriculture. They believe this method can reduce the risk default, as well as learn from previous mistakes.

This method is also used for AwanTempo, a financing product for grocery stores in need of additional capital to buy their shop needs. The company works closely with suppliers to provide financing to the small shop.

“In past agricultural financing programs, loan misuse has become quite a problem. We want to apply our AwanTempo financing program to micro farmers.”

This product has been rolled out for selected farmers located in Bogor, Sukabumi, Bandung, and Indramayu. Dino said that there were interesting insights found in the field, including that some farmers needed advanced payment therefore they could turn the funds into agricultural raw materials such as seeds and pesticides.

“This scheme is similar to cash on delivery (COD) without additional time. Meanwhile, for gardens or paddy fields, some farmers manage land owned by other people through a production sharing system or land rental system. ”

The pandemic effect

Sayurbox is one of the leading e-commerce players for groceries in Indonesia. Was founded in 2016, it has received seeds from Insignia Ventures Partners, Patamar Capital, and Tokopedia.

Oshin explained, since the pandemic happened at the end of March-April, Sayurbox transactions skyrocketed due to panic buying. The company had decided to temporarily close the transaction for a while.

“However, as the new normal began, transactions are quite stable even though the current level of competition is increasing,” Oshin said.

In an interview with Tempo, Sayurbox Co-Founder and CEO Amanda Cole said that the company added more partnerships with farmers from 50 to 100 people during the pandemic as the demand increases.

He said, the company is lucky to become “famous” and continues to grow exponentially because of the recommendation of “word of mouth”. He hopes that after the pandemic ends, it’ll be a new habit for people to shopping for vegetables and fruit online.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

AwanTunai Kini Salurkan Kredit Pertanian untuk Petani di Sayurbox

Startup p2p lending AwanTunai memperluas produk pembiayaan untuk petani yang mendistribusikan hasil panennya di Sayurbox. Pilot project sudah berjalan untuk petani terpilih yang berlokasi di Bogor, Sukabumi, Bandung, dan Indramayu.

Kedua perusahaan ini bermitra tak lain karena menjadi sister company yang dirintis oleh co-founder yang sama, ialah Rama Notowidigdo. Keduanya punya kesamaan ambisi ingin memperbaiki hidup para pengusaha mikro.

Co-Founder dan CEO AwanTunai Dino Setiawan menjelaskan, perusahaan tertarik untuk masuk ke segmen ini karena sejalan dengan fokusnya pada pembiayaan UKM dalam rantai pasokan FMCG dan sembako.

“Di hilir kami memiliki warung yang menjual barang ke konsumen akhir dan di hulu ada petani. Jadi petani adalah kelompok UMKM berikutnya yang kami layani,” katanya kepada DailySocial.

Sebelum AwanTunai masuk, Sayurbox belum pernah terlibat dengan petani untuk pembiayaan modal kerja karena selama ini sistem jual lepas. Head of Communication Sayurbox Oshin Hernis menjelaskan, apabila petani memerlukan pinjaman, biasanya perusahaan akan mengedukasi sekaligus merekomendasikannya ke Bank BRI Agro sebagai mitra perusahaan.

Selanjutnya, pihak bank akan melakukan proses seleksi yang didasari oleh data historikal yang dimiliki Sayurbox mengenai petani-petani tersebut. Bank akan mendapat gambaran untuk penentuan skoring kredit sebelum menyetujui pinjaman modal.

Di sisi lain, perusahaan juga membuka sistem kemitraan dalam waktu satu bulan, bila mereka memenuhi sejumlah persyaratan. Seperti kualitas yang diberikan sesuai ekspektasi dan kuantitas dapat terus dipenuhi oleh petani tersebut.

“Apabila dua faktor besar ini dipenuhi, maka Sayurbox akan menawarkan untuk menjadi mitra sebagai bentuk komitmen dan penghargaan yang lebih tinggi. Hal ini merupakan salah satu seleksi kami agar ekspektasi para pelanggan dapat terus menerus terjaga dengan baik oleh para mitra kami ke depannya,” kata Oshin.

Terkait kemitraannya dengan AwanTunai, setiap petani yang direferensikan oleh Sayurbox, tidak ada kriteria khusus mana petani yang bisa memperoleh pinjaman modal. Perusahaan hanya memastikan bahwa petani yang akan direferensikan ini merupakan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan KTP.

“Selebihnya kami memberikan keleluasaan untuk AwanTunai untuk memilih petani yang menjadi supplier kami untuk mendapat fasilitas pinjaman modal.”

Dino melanjutkan, untuk kerja sama ini perusahaan menyediakan fasilitas mulai dari Rp5 juta sampai Rp500 juta per petani yang direferensikan Sayurbox. Tenornya tergolong pendek antara 2 minggu sampai 1 bulan dan bunganya 0,75% per minggu.

“Pengembalian pinjaman melalui virtual account/transfer bank sesuai jatuh tempo. Untuk setiap pengembalian sesuai jatuh tempo akan diberikan cashback oleh kami,” ucapnya.

Dalam mitigasi risiko, perusahaan tidak memberikan pembiayaan dalam bentuk tunai, melainkan dalam program pembiayaan yang berbentuk benih, pupuk, atau input lain yang dibutuhkan untuk pertaniannya. Cara ini dipercaya dapat mengurangi risiko dari gagal bayar, sekaligus belajar dari kesalahan sebelumnya.

Metode ini juga dipakai untuk AwanTempo, produk pembiayaan untuk toko kelontong yang butuh tambahan modal untuk membeli kebutuhan tokonya. Perusahaan bekerja sama dengan supplier untuk memberikan pembiayaan kepada toko kecil tersebut.

“Dalam program pembiayaan pertanian di masa lalu, penyalahgunaan dana pinjaman telah menjadi masalah. Kami ingin menerapkan keberhasilan dari program pembiayaan AwanTempo warung kami kepada petani mikro juga.”

Produk ini sudah digulirkan untuk petani terpilih yang berlokasi di Bogor, Sukabumi, Bandung, dan Indramayu. Dino mengatakan insight menarik yang ditemukan di lapangan, di antaranya sebagian petani memerlukan pembayaran di depan agar dapat memutar dana untuk melakukan pembelian bahan baku pertanian seperti bibit dan pestisida.

“Secara skema ini mirip dengan cash on delivery (COD) tanpa tambahan waktu. Sementara untuk lahan kebun atau sawah, beberapa petani mengelola lahan milik orang lain yang dilakukan dengan sistem bagi hasil atau sistem sewa lahan.”

Dampak pandemi

Sayurbox menjadi salah satu pemain e-commerce khusus kebutuhan sehari-hari yang terdepan di Indonesia. Sejak dirintis pada 2016, sudah beberapa kali mendapat pendanaan tahap awal dari Insignia Ventures Partners, Patamar Capital, dan Tokopedia.

Oshin menerangkan, sejak pandemi di akhir Maret-April kemarin, transaksi Sayurbox meroket tajam karena ada panic buying dari pengguna baru. Perusahaan sempat memutuskan untuk menutup transaksi sementara waktu karenanya.

“Namun seiring berjalannya new normal saat ini, transaksi dapat dikatakan signifikan stabil walaupun tingkat kompetisi saat ini meningkat,” ujar Oshin.

Dalam wawancara bersama Tempo, Co-Founder dan CEO Sayurbox Amanda Cole menyebut selama pandemi perusahaan menambah jumlah kemitraan dengan petani dari 50 menjadi 100 orang untuk memenuhi lonjakan permintaan.

Menurutnya, perusahaan beruntung menjadi “tenar” dan terus tumbuh secara eksponensial karena rekomendasi “word of mouth”. Dia berharap setelah pandemi berakhir, akan terbentuk kebiasaan baru masyarakat yang sudah terbiasa berbelanja sayur dan buah secara online.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Kredit Pertanian: Disukai Namun Disegani

Kredit pertanian di Indonesia punya margin yang seksi untuk digarap tapi riskan saat dijalankan. Hal ini sudah menjadi cerita lama buat perbankan yang masuk ke sektor ini. Ada begitu banyak isu yang membuat lembaga keuangan tidak berani terlalu dalam bermain di sektor ini.

Faktor gagal panen karena hama, cuaca buruk, dan risiko lain yang disebabkan manusia sendiri merupakan makanan sehari-hari. Meskipun risiko ini seharusnya bisa diatasi jika menggunakan asuransi, faktor kegagalan panen sama dampaknya dengan berkurangnya pasokan bahan pokok/komoditas: melonjaknya harga jual.

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2016 yang melibatkan delapan ribu petani sebagai responden mengungkapkan, 15% petani sudah mengakses kredit bank dan 33% memperoleh bantuan dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Mayoritas petani, sekitar 52%, masih mengandalkan modal sendiri, koperasi, kerabat, dan kembaga keuangan non-bank lainnya.

Ada empat faktor permasalahan program kredit pertanian bila melalui bank, yaitu pemberian kredit yang tidak tepat sasaran, subsidi bunga, prosedur yang birokratis, dan tingginya risiko moral hazard. Muara dari seluruh masalah tersebut adalah potensi gagal bayar yang tinggi.

Perbankan menjawabnya dengan menetapkan bunga yang tinggi karena tingkat pengawasannya yang berbeda, misalnya menaruh orang lapangan untuk memantau dan sebagainya. Pemerintah akhirnya “menginterupsi” dengan mengubah skema penyaluran KUR mulai awal tahun ini. Jadi lebih sederhana karena target utamanya adalah pelaku usaha mikro sudah memiliki usaha tapi belum bankable.

Syarat utamanya pengajuan KUR adalah calon debitur punya usaha produktif yang aktif minimal enam bulan, tidak sedang menerima kredit kecuali kredit konsumtif, dan tidak masuk dalam daftar hitam BI. Berikutnya calon debitur mencantumkan identitas diri, berupa KTP, Kartu Keluarga, NPWP, surat nikah/cerai, surat keterangan usaha mikro atau kecil yang sudah diterbitkan pihak berwenang, dan surat keterangan lunas dan cetakan rekening dari pinjaman sebelumnya.

Jumlah pemain fintech lending di sektor agritech saja masih terbatas. Menurut catatan OJK per Maret 2020, mereka adalah iGrow, iTernak, Crowde, TaniFund, dan DanaLaut.

Sumber : Unsplash
Sumber : Unsplash

Memanfaatkan kekosongan

Pemain fintech terjun ke segmen ini dengan mengumpulkan semua “keberanian” dan dibarengi mitigasi risiko yang sudah diukur matang-matang. Bentuk pendanaan yang mereka tawarkan umumnya berbentuk p2p lending, artinya ada pemberi pinjaman (entah individu atau korporasi) sebagai lender untuk disalurkan sebagai pembiayaan modal usaha ke petani yang sudah diverifikasi.

TaniFund misalnya, entitas bagian dari TaniHub Group ini spesifik menyalurkan pinjaman ke para petani di proyek-proyek pertaniannya. TaniHub (e-commerce), TaniSupply (supply chain), dan TaniFund melengkapi rangkaian solusi end-to-end grup untuk para petani lokal.

Pembeda inilah yang sengaja dibentuk TaniHub Groub. TaniHub membentuk ekosistem menyeluruh buat petani dari sebelum mulai menanam hingga panen. Perusahaan akan menyerap seluruh hasil panen, dalam kualitas apapun, dengan harga yang sudah disepakati dari awal.

Hasil panen itu sepenuhnya dijual ke konsumen TaniHub, entah itu mitra b2b atau b2c (melalui platform e-commerce). Alhasil, petani tidak perlu pusing dengan risiko harus dihadapkan dengan tengkulak.

“Biasanya setelah pinjam dari tengkulak, petani itu bingung mau jual hasil panennya. Ujung-ujungnya mereka jual ke tengkulak yang ngasih harga sampai jatoh, akhirnya mereka rugi. Tapi kami 100% jadi off-taker, dari titik 0 sampai proses jual sudah masuk ke dalam ekosistem TaniHub. Petani hanya perlu memikirkan bagaimana meningkatkan kualitas dan mutu pertaniannya,” terang Direktur TaniFund Edison Tobing.

Dengan membentuk ekosistem demikian, TaniFund berhasil menekan laju kredit macet sampai di level 0,2% dan TKB90 100%. NPL tersebut, menurutnya, bukan karena gagal bayar, melainkan keterlambatan pembayaran karena perusahaan sudah melakukan mitigasi risiko dengan segala cara, sampai memanfaatkan jasa asuransi.

Lambat laun kebutuhan pendanaan di TaniFund semakin tinggi seiring terus bertambahnya jumlah petani yang tergabung. Meskipun demikian, hal ini belum dibarengi dengan banyaknya lender institusi yang bergabung. Baru ada dua yang berasal dari bank. Mayoritas pemberi dana di TaniFund adalah individu.

Edison mengatakan, bank itu rata-rata masih bersifat konvensional. Mereka selalu menanyakan kalau pinjaman seperti ini, jaminannya seperti apa. Dengan izin sebagai p2p lending, pihaknya tidak bisa memberikan jaminan apapun karena hanya bertindak sebagai platform yang mempertemukan peminjam dan pemberi pinjaman.

“Petani itu kenapa akhirnya bekerja sama dengan kami karena mereka gagal bekerja sama dengan bank. Karena bank memberikan funding dan mengharapkan funding balik.”

Salah satu proyek yang dibiayai TaniFund / TaniFund
Salah satu proyek yang dibiayai TaniFund / TaniFund

Dia melanjutkan, “Pada akhirnya yang kami lakukan hanya bisa memperkuat keyakinan mereka, mengajak ketemu langsung dengan petani yang kita bina. Untuk kepastian dana dibalikkan ke lender, kami akan langsung bayarkan ke bank, bukan petani karena kami sendiri kan ambil barangnya dari petani.”

Terkait kemungkinan TaniFund bila terhubung dengan KUR, Edison menyatakan ada beberapa faktor yang kurang memungkinkan. Pertama, program KUR yang berjalan saat ini banyak diarahkan untuk komoditas yang belum menjadi unggulan TaniHub saat masuk ke platform e-commerce-nya.

Ini akan menjadi masalah bila dipaksakan TaniFund. Misalnya pemerintah banyak mendorong petani jagung untuk mengambil KUR, sementara jagung saat ini bukan menjadi produk yang paling dicari konsumen TaniHub.

“Kami tetap jaga risiko karena setelah memberikan funding, kami ada kewajiban untuk menyerapnya. Sementara produk yang dijual itu bukan yang paling dicari konsumen kita.”

Kedua, dari sisi legalitas, p2p lending memiliki ketentuan pinjaman maksimal per proyek sebesar Rp2 miliar. Sementara, program KUR ini per proyeknya menyalurkan kredit di atas angka tersebut. Masalah kedua ini menyambung ke masalah pertama, bahwa TaniFund akan kesulitan dalam menjual hasil panen ke platform-nya, sekaligus melanggar ketentuan regulator.

“Kita kebanyakan masuk ke petani menengah ke bawah yang lahannya di bawah empat hektar, tergantung jenis komoditas. [..] Kebutuhan beras di kami kemungkinan baru 2 ribu ton per bulan, sementara KUR itu serapannya luar biasa besar. Strukturnya harus kita siapkan dulu baru bisa engage [ke kementerian terkait].”

Hingga kini TaniFund telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp129 miliar. Di tahun ini saja, perusahaan telah menyalurkan Rp42,19 miliar. Ditargetkan hingga akhir tahun angka ini dapat mencapai Rp90 miliar.

Sumber: Unsplash
Sumber: Unsplash

Jumlah pemain terbatas

Sebenarnya ada sejumlah pemain lain yang mendedikasikan dirinya sebagai platform fintech lending untuk pertanian, peternakan, atau akuakultur. Konsep yang mereka gunakan tidak jauh berbeda dengan TaniFund, yaitu melakukan pendampingan konsultasi sebagai bentuk pemberdayaan petani agar mereka paham cara menanam bahan pangan dengan baik dan mengelola keuangan dengan tepat.

Crowde, misalnya, menawarkan pinjaman modal bagi petani dengan skema setor hasil panen, yang bernama Gerakan Rakyat Petani (GARAP). Komoditas yang disasar adalah padi, jagung dan cabai. Besaran nilai setoran berbeda-beda, tergantung komoditas pertaniannya.

Setelah diberikan modal kerja, petani akan mengembalikan pinjaman dengan hasil panen menyesuaikan komoditas yang ditanam secara perlahan. Misalnya, untuk komoditas cabai yang dibudidayakan pada lahan dengan luas minimal 2.500 meter persegi (m2), petani harus menyetorkan hasil panen sebanyak 1,75 ton.

Sementara untuk komoditas padi, hasil panen yang harus disetorkan sebesar 5,7 ton di luas lahan minimal 10.000 m2. Apabila hasil panen petani melebihi patokan, hal ini akan menjadi hak petani. Inovasi ini bisa memperluas opsi petani dalam mendapatkan modal kerja.

Di luar segmen fintech, masih banyak pemain agritech lainnya yang menawarkan solusi untuk permasalahan yang berbeda-beda. Ada yang menyentuh ke unsur platform pengelolaan, IoT, hingga blockchain.

Satu segmen agritech yang paling banyak pemainnya adalah platform e-commerce yang menjual produk-produk hasil tani untuk kebutuhan sehari-hari. Tak terhitung berapa banyak pemain yang sudah menjadi pemimpin pasar, bahkan yang tiba-tiba pivot karena terdampak pandemi. Mereka mencoba peruntungan di kue yang sama.

Kue bisnis di industri ini memang besar. Perbankan sendiri belum mampu menyelesaikan kebutuhan pembiayaannya, sehingga peluang platform fintech di sektor ini masih sangat besar.

Cara platform fintech lending dalam memitigasi risiko di industri ini juga beragam. Selain memanfaatkan teknologi, ada yang mencoba menyalurkan pembiayaan lewat perantara, seperti koperasi yang dianggap lebih bersentuhan langsung dan mengerti kondisi para anggotanya. Model inilah yang diadopsi Mekar.

Meskipun demikian, pemain fintech lending masih memiliki keterbatasan dibandingkan bank, yakni ketersediaan dana. Pola channeling antara bank dan platform fintech lending dapat dilanjutkan pemanfaatannya untuk industri yang lebih luas.

Melirik “Urban Farming” Sebagai Peluang Bisnis Baru Agritech

Pandemi memunculkan inisiatif baru dari ruang-ruang individu terkecil hingga bisnis berskala besar. Urban farming adalah satu dari sedikit kegiatan yang mengemuka di masyarakat Indonesia selama wabah Covid-19 ini. Untuk membunuh rasa bosan atau mencari bahan pangan alternatif yang lebih sehat, berkebun tak bisa ditampik sebagai aktivitas pilihan yang makin digemari.

Maraknya peminat urban farming juga dicermati oleh agritech dalam negeri. Berkembangnya kebun-kebun mandiri di perkotaan menjadi celah bisnis baru bagi mereka. Bahkan belum lama e-commerce Tokopedia menyebut alat-alat berkebun menjadi salah satu produk yang paling banyak terjual selama Ramadan kemarin.

Di Jakarta setidaknya sudah ada 900 titik urban farming. Sekitar 600 di antaranya dikelola warga dan sisanya diurus oleh karang taruna. Pertanian urban ini mayoritas tersebar di Jakarta Selatan, Timur, dan Barat.

“Jadi begini itu terbukti banget selama PSBB, permintaan benih meningkat sekali dan begitu saya ke lapangan awalnya mereka ada yang lahan kosong atau hidroponik dan sebagainya ada peningkatan. Benar untuk kebutuhan mereka sehari-hari mereka tidak perlu ke pasar,” ujar Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Perikanan (KPKP) DKI Jakarta, Darjamuni seperti dikutip dari Media Indonesia.

Peluang bisnis baru

Beberapa platform agritech merespons dengan cepat pertumbuhan pertanian urban ini. TaniHub dan Neurafarm adalah dua di antaranya. Meski sama-sama mulai melirik peluang baru ini, keduanya memilih pendekatan yang berbeda.

Neurafarm, yang sebelumnya lebih dikenal dengan teknologi AI untuk membantu petani tradisional mengidentifikasi penyakit tanaman, menawarkan starter kit untuk mereka yang berminat memulai berkebun sendiri. Perlengkapan yang masuk dalam paket Neurafarm ini termasuk 16 jenis bibit yang bisa dipilih, pupuk, polybag, dan media tanam.

Neurafarm membanderol paket tersebut mulai dari harga Rp85.000. Mereka juga menyertakan panduan menanam, akses bertanya ke agronom, dan referensi bertanam lain yang tertuang dalam fitur premium aplikasi mereka, Dr. Tania. Neurafarm percaya kebutuhan akan urban farming dan pertanian tradisional di akan berjalan beriringan dan menjadi masa depan agrikultur di Indonesia.

“Akan ada beberapa lineup produk lainnya yang akan dirilis dalam waktu dekat, termasuk herbs,” jelas CEO Neurafarm Febi Agil Ifdillah.

TaniHub mengambil jalan yang agak berbeda. Perusahaan membuka diri untuk menyerap hasil panen petani urban dan bersedia mendanai mereka yang membutuhkan modal lebih untuk bercocok tanam di rumah.

Meski memberi dukungan terhadap kegiatan ini, TaniHub belum benar-benar menganggap pertanian urban sebagai lahan bisnis yang menjanjikan. Head of Trade Procurement TaniSupply Abednego Gunawan mengatakan, petani urban yang sudah bermitra masih belum sampai 1% dari total mitra mereka yang berjumlah 30.000 petani. Bagi TaniHub, angka tersebut masih tergolong minor. Begitu pula dengan jenis tanaman yang mereka tampung dari petani urban yang umumnya masih dari jenis sayuran hidroponik.

“Dalam hal penyerapan hasil panen dari pertanian perkotaan, saat ini masih tergolong sangat kecil di TaniHub Group,” cetus Abednego.

Tantangan dan potensi

Kecilnya jenis panen yang diserap dan mitra petani urban di TaniHub mencerminkan masih banyak tantangan bagi layanan agritech jika benar-benar ingin menjadikan hasil pertanian kota sebagai komoditas mereka. Abednego menjelaskan, tantangan itu ada di soal volume pasokan yang seringkali tonasenya tidak mencukupi permintaan pasar. Selain itu kesadaran masyarakat akan ketelusuran produk (product traceability) yang masih cukup rendah.

Dua hal teknis ini yang menurut Abednego merupakan tantangan utama bagi perusahaan untuk benar-benar menjadikan pertanian kota sebagai ceruk bisnis baru di TaniHub Group.

Gibran Tagari, yang merintis Sendalu Permaculture di Depok, Jawa Barat, menilai, semakin banyak masyarakat urban berminat mengolah lahannya dengan tanaman produktif, maka semakin baik kesejahteraan diri dan kelestarian lingkungan. Itu termasuk agritech yang melirik pertanian kota.

Namun Gibran mengingatkan bahwa urban farming sejatinya berangkat dari keresehan akan opsi sumber pangan yang lebih baik dan kesadaran atas lingkungan yang berkelanjutan. Apabila pada akhirnya pertanian kota ini menjadi lahan bisnis baru bagi agritech, ia berharap mereka dapat menjalankannya dengan semangat tersebut.

“Menurut saya, urban farming punya prospek dan potensi yang besar, tetapi bukan untuk menghasilkan komoditas seperti pertanian dengan sistem yang sudah ada sekarang. Saya melihat kota tidak memiliki iklim yang serupa dengan rural atau pedesaan. Mungkin kita perlu melihat kota sebagai ruang dengan beragam peluang menuju sistem pangan alternatif, sehingga tidak memberatkan beban desa untuk memproduksi pangan,” ujarnya.

Pandemi memang bukan satu-satunya yang mengangkat pamor pertanian kota. Laporan IndustryARC Analysis menunjukkan, tren tersebut sudah terjadi beberapa tahun terakhir dengan nilai bisnis pertanian kota yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Laporan tersebut menyebut pertanian kota sudah menyumbang 20% dari total produksi pangan dunia. Pada 2017 saja, pendapatan dari bisnis ini menyentuh $210 miliar dan diperkirakan terus tumbuh mencapai $236,4 miliar. Alasan kesehatan, kualitas pangan, edukasi, ketahanan kota, dan tumbuhnya permintaan bahan pangan lokal diperkirakan akan menjadi pendorong utama kian populernya urban farming sebagai lahan bisnis baru.

eFishery Kantongi Dana Hibah dari Barclays dan Unreasonable Group, Bantu Mitra Terdampak Pandemi

Bertujuan untuk membantu petani ikan mengembangkan usaha selama pandemi Covid-19, platform agritech eFishery menerima pendanaan dalam bentuk grant atau hibah dari Barclays and Unreasonable Group. eFishery nantinya berhak mengantongi dana senilai US$100 ribu atau setara 1,4 miliar Rupiah yang diharapkan bisa dimanfaatkan untuk memberikan impact kepada bisnis dan ekosistem yang dimiliki.

Kepada DailySocial CEO eFishery Gibran Huzaifah mengungkapkan, sebelumnya eFishery sudah menjadi bagian dari program tersebut, dan kesempatan serta pendanaan yang diperoleh bukan berdasarkan pilihan secara random namun ditawarkan berdasarkan rencana yang akan di implementasikan.

Disinggung apa rencana jangka pendek eFishery melalui dana ini selanjutnya, Gibran menegaskan akan membantu petani secara langsung yang terkena imbas pandemi Covid-19.

“Selama ini pembudidaya ikan banyak yang sulit menjual hasil panennya dan UKM kuliner juga banyak yang tutup. Jadi kami akan membeli ikan petani, diproses, dibumbui dan di-branding dengan kerja sama UKM kuliner, kemudian dibagikan ke pihak terkait seperti tenaga kerja kesehatan atau informal workers melalui bansos,” kata Gibran.

Untuk proses kurasi bakal dilakukan oleh eFishery melalui data yang dimiliki, terkait dengan petani dan nelayan yang relevan untuk dibantu. Dengan dana segar ini rencana dari eFishery selanjutnya adalah membantu untuk memberikan solusi di sektor perikanan yang terdampak dari Covid-19.

Sebelumnya eFishery juga telah meluncurkan eFisheryFund yang ditujukan untuk membantu para petani ikan/udang mendapatkan tambahan modal, menggandeng Alami Sharia sebagai mitra dan mendorong kehadiran paylater berbasis syariah. Layanan pembiayaan eFishery yang diperkenalkan awal tahun ini juga telah bermitra dengan iGrow, BRI Syariah, Amartha, dan Batumbu.

Logo baru dan eFisheryFresh

Bulan Juni lalu perusahaan juga telah melakukan pembaruan logo, yang diklaim menandai semangat dan komitmen baru perusahaan yang lebih kuat. eFishery telah menjadi ekosistem yang mencakup seluruh aspek aquaculture. Prestasi tersebut tentunya melibatkan seluruh unit bisnis, sesuai dengan tujuan awal perusahaan.

Porudk B2C terbaru mereka, eFisheryFresh, diklaim juga sudah mengalami pertumbuhan yang positif dan dinilai sangat relevan dengan kondisi saat ini. Bermitra dengan platform marketplace dan e-commerce seperti Blibli dan Tokopedia.

Melalui marketplace tersebut, pelanggan bisa langsung membeli ikan segar yang ditawarkan oleh agen eFishery. Mulai dari ikan lele, nila, dori fillet, gurame dan masih banyak lagi.

“Layanan baru paling dari kami adalah eFisheryFresh yang mulai merambah untuk segmen pelanggan B2C. Jadi pembeli retail bisa melakukan pemesanan ikan ke kami juga,” kata Gibran.

Application Information Will Show Up Here

Introducing Neurafarm, The Doctor for Agriculture Plants

Treating plants as patients with artificial intelligence (AI) as “their doctors” is the most prominent impression of Dr. Tania made by Neurafarm. This application is not only able to identify the disease of a plant through chatbot, but also through photos only.

Identification of disease with plants through text messages and photos are two of the main features of Dr. Tania. The deep learning technology that Neurafarm uses allows them to find symptoms and diseases of a plant with an accuracy rate of around 80% and above. The plants capable to identify are include 14 commodities, from tomatoes, corn, potatoes, to blueberries.

“We plan to add more, such as chilies, rice, and other basic commodities,” Neurafarm’s CEO, Febi Agil Ifdillah told DailySocial.

Dr. Tania feature is not only about that. It covers the gap of their AI inaccuracies with the consultation feature involving experts. Connecting farmers with agricultural knowledge which generally can only be obtained from a limited number of instructors. Another feature is the catalog of plant diseases and other agricultural stuff in the application.

Business model

Agil said Neurafarm applied a new freemium business model since May 15, 2020. By subscribing to Dr. Tania, farmers can access the application without any pop-up ads as well as consultation with more space for questions. Nevertheless, according to Agil, this freemium model is still a temporary pilot.

In addition to reaching farmers, Neurafarm also aims for the B2C segment. In this model, they provide solutions based on agriculture. “We’ll start this one in October and November,” Agil said.

Meanwhile, Neurafarm also took a peek at the opportunity to gain profit from urban agriculture trends in recent years. Agil said his team will launch an urban farm kit product that makes it easy for early farmers in urban areas.

Challenges for agritech in the region

Agil reveals the user number based on download was more than 7,500. He targets to double it and increase retention of application usage for the next six months.

“Our strategy has shifted in some ways, but we still want to increase our user base. Our goal is to encourage more productive farmers.”

The change in target occurred because of the current pandemic situation. However, as a general note, agriculture is one of the few sectors that survived during the Covid-19 outbreak. Agil said that the high number of Indonesian agritech players made this sector complement each other. Agritech, which focuses on the supply chain to lending, according to Agil, has helped farmers to adopt technology faster.

“The agricultural landscape is increasingly crowded, especially in the supply chain segment. It is expected more and more players will rise, therefore, the market is more educated and technology is getting easily adopted,” Agil concluded.

Neurafarm has been established since 2018. They are quite well-known as startups with achievements in some startup ideas competitions. In February, they joined Telkomsel’s acceleration program. Their funding status is currently at pre-seed stage.

Neurafarm can be said as the only local startup using AI for crop productivity. They actually come from the overseas player which expands to Indonesia.

Nevertheless, Agil remains optimistic that Neurafarm can pursue its mission in helping farmers increase their productivity using AI and contribute to providing humanity’s ever-increasing food needs in the future.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian