Mengenal Neurafarm, Dokternya Tanaman Pertanian

Memperlakukan tanaman selayaknya pasien dengan artificial intelligence (AI) sebagai “dokternya” merupakan kesan yang paling menonjol dari aplikasi Dr. Tania buatan Neurafarm. Aplikasi ini bisa mengidentifikasi penyakit suatu tanaman cukup melalui foto saja.

Identifikasi masalah pada tanaman baik lewat pesan teks maupun foto merupakan dua fitur utama dari Dr. Tania. Teknologi deep learning yang Neurafarm pakai memungkinkan mereka menemukan gejala dan penyakit dari suatu tanaman dengan akurasi sekitar 80% ke atas. Adapun tanaman yang mereka bisa periksa sejauh ini ada 14 komoditas, mulai dari tomat, jagung, kentang, hingga blueberry.

“Kita rencana nambah cabe, padi, komoditas-komoditas yang lebih pokok,” ucap CEO Neurafarm Febi Agil Ifdillah kepada DailySocial.

Fitur Dr. Tania tak hanya itu saja. Mereka menutupi celah ketidakakuratan AI mereka dengan fitur konsultasi bersama para ahli. Menghubungkan petani dengan pengetahuan pertanian yang umumnya hanya bisa diperoleh dari penyuluh yang jumlahnya terbatas. Fitur lainnya adalah katalog penyakit tanaman dan serba-serbi pertanian lain yang ada di satu aplikasi mereka.

Model bisnis

Agil menyebut, Neurafarm memakai model bisnis freemium yang baru mereka pakai sejak 15 Mei 2020. Dengan berlangganan Dr. Tania, petani bisa mengakses aplikasi tanpa gangguan iklan serta konsultasi dengan kuota pertanyaan lebih besar. Kendati demikian, menurut Agil model freemium ini masih bersifat pilot sementara ini.

Selain menyentuh para petani, Neurafarm turut menjangkau segmen B2B. Dalam model ini, mereka menyediakan solusi berbasis untuk agrikultur. “Baru Oktober dan November kita baru mulai yang ini,” imbuh Agil.

Di saat bersamaan Neurafarm juga mengintip peluang meraih cuan dari tren pertanian urban beberapa tahun terakhir. Agil mengatakan pihaknya berencana meluncurkan produk urban farm kit yang memudahkan petani-petani pemula di perkotaan.

Tantangan agritech di tanah air

Agil mengatakan jumlah pengguna mereka berdasarkan jumlah unduhan sudah lebih dari 7.500. Ia menargetkan angka itu akan berlipat ganda dan retensi penggunaan aplikasi meningkat pada enam bulan ke depan.

“Strategi kita agak berubah sih, tapi masih tetap ingin memperbanyak userbase kita. Tujuan kita juga tetap ingin farmer lebih produktif.”

Perubahan target terjadi karena situasi pandemi yang berlangsung saat ini. Namun seperti diketahui, agrikultur merupakan sedikit sektor yang bertahan dengan baik selama wabah Covid-19. Agil menilai ramainya pemain agritech di Indonesia membuat sektor ini saling mengisi satu sama lain. Agritech yang fokus di supply chain hingga lending menurut Agil telah membantu petani lebih cepat mengadopsi teknologi.

“Lanskap agrikultur ini memang makin ramai terutama di supply chain. Harapannya semakin banyak pemain yang makin besar sehingga market lebih teredukasi dan penyerapan teknologi lebih mudah diadopsi,” pungkas Agil.

Neurafarm sudah berdiri sejak 2018. Mereka cukup dikenal sebagai startup yang berprestasi di sejumlah kompetisi ide startup. Pada Februari kemarin, mereka mengikuti program akselerasi milik Telkomsel. Sementara dari status pendanaan Neurafarm adalah pre-seed.

Neurafarm bisa dikatakan saat ini sebagai satu-satunya startup lokal yang menggunakan AI untuk produktivitas tanaman. Kompetisi mereka justru datang dari pemain luar yang ekspansi ke Indonesia.

Namun terlepas dari semua itu, Agil tetap optimis Neurafarm dapat mengejar misi mereka dalam membantu petani meningkatkan produktivitasnya memakai AI dan berkontribusi dalam menyediakan kebutuhan pangan umat manusia yang terus berlipat ganda di masa depan.

Application Information Will Show Up Here

Agritech Startup Kedai Sayur Officialy Pivot, Currently Serves Supply Chain Delivery

The agritech startup Kedai Sayur announced a business pivot to an online supply chain delivery service since the pandemic began in March 2020. Previously, the company served B2B customers such as hotels, restaurants and cafes, and vegetable vendors in need of a supply chain.

Kedai Sayur‘s CEO, Adrian Hernanto said the food product market has begun to change since the Covid-19 outbreak in early March. Supply demands from hotels, restaurants and cafes dropped by 50%. Whereas the growth of this business was previously more than 20% per month.

Meanwhile, at the same time, demands from vegetable vendors and household customers have significantly increased. It is the reason the company is confident in making business pivot decisions.

On the other hand, operational restrictions on wholesale and local markets disrupt the distribution chain of fresh food products in Indonesia. The situation has affected not only consumers who cannot shop to the market, but farmers also lose the medium to distribute their crops.

“The unexpected pandemic really forced Kedai Sayur as a startup to be able to innovate and take initiatives quickly to continue to carry out its vision and mission to be a solution for the community,” he told DailySocial, Wednesday (5/13).

As further explanation, the business model uses a variety of fleets to reach consumers. One of them, using the services of a vegetable handyman who registered as Kedai Sayur users.

Consumers who want to order vegetables can go through Kedai Sayur app and put on the Partner code. The order will be delivered to the Partner and will be distributed by him. Partners will also receive additional income in the form of commissions and payment of shipping charges from consumers.

“This business model will become permanent, of course, with more upcoming upgrades. For example working with last-mile delivery service, therefore, we can continue to improve our service level. ”

Online Vegetables Kedai Sayur
Kedai Sayur driver partners with Si Komo vehicle for product distribution / East Ventures

Apart from the application, reservations can also be made through Tokopedia and Blibli.

The company also made an initiative to help farmers distribute their crops to customers, in collaboration with the Ministry of Agriculture. Farmers can sell their crops assisted by the government using digital platforms such as Kedai Sayur.

“Now with supply chain expertise and digital platform technology, Kedai Sayur contributes to both sides of the distribution patterns affected by the Corona virus,” he concluded.

However, Adrian was reluctant to mention any achievements after the pivot.

Kedai Sayur is one of East Ventures portfolios. Since it was founded two years ago, the company has received two funding rounds with total of $5.3 million. From the latest data, the company has partnered with more than 5 thousand partners in Jadetabek.

Supply Chain business dynamic

As Kedai Sayur chooses to pivot, it is quite successful to extend the company’s runaway because of the pandemic. Thanks to the change in B2C business focus, the Kedai Sayur application has additional functions. Previously, the application used only by Vegetable Partners and B2B consumers who wanted to stock up on food ingredients to sell.

Another startup with aligning business models, such as Stoqo, was forced to close down due to failure to adapt to the conditions. It is a platform that focuses on providing basic food needs, from meat, vegetables, flour, coffee, and others, but only for B2B consumers.

Before the pandemic, this business model was certainly very sophisticated considering a large pie in the culinary field. What Kedai Sayur did is actually applicable by Stoqo.

Wahyoo’s Founder and CEO Peter Shearer revealed some strategies to maintain a high demand. Wahyoo, on the other hand, tries to help stalls to sell on digital platforms such as GoFood. At the same time, the implementation of large-scale social restrictions (PSBB) in many regions has shifted shopping patterns in the platform.

“The positive effect is that the PSBB situation and Covid-19 has forced food stall owners to adapt faster into digital,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup Agritech Kedai Sayur Pivot, Kini Layani Pesan Antar Bahan Makanan

Startup agritech Kedai Sayur mengumumkan perubahan fokus bisnis menjadi layanan pesan antar makanan online sejak pandemi berlangsung pada Maret 2020. Sebelumnya perusahaan melayani konsumen B2B seperti hotel, restoran, dan kafe, dan tukang sayur yang ingin memasok kebutuhan bahan makanan untuk berjualan.

CEO Kedai Sayur Adrian Hernanto menerangkan pasar produk pangan mulai berubah sejak persebaran Covid-19 merebak pada awal Maret. Permintaan dari hotel, restoran, dan kafe merosot hingga 50%. Padahal sebelumnya pertumbuhan dari bisnis ini lebih dari 20% per bulan.

Sementara, di saat yang bersamaan, permintaan dari tukang sayur dan pelanggan rumah tangga meningkat signifikan. Atas dasar inilah perusahaan percaya diri untuk mengambil keputusan pivot bisnis.

Di sisi lain, pembatasan operasional pasar induk dan pasar lokal mengganggu pola distribusi produk pangan segar di Indonesia. Kondisi tersebut berdampak tidak hanya pada konsumen yang tidak bisa belanja ke pasar, petani pun kehilangan medium untuk menyalurkan hasil panennya.

“Masa pandemi yang tidak terduga seperti ini benar-benar menguji Kedai Sayur sebagai startup untuk dapat berinovasi dan berinisiatif dengan cepat untuk tetap menjalankan visi dan misinya untuk menjadi solusi bagi masyarakat,” ujarnya kepada DailySocial, Rabu (13/5).

Dijelaskan lebih jauh, model bisnis layanan ini menggunakan berbagai armada untuk dapat sampai ke tangan konsumen. Salah satunya, menggunakan jasa tukang sayur yang telah menjadi pengguna Kedai Sayur.

Konsumen yang ingin memesan bahan makanan, bisa melalui aplikasi Kedai Sayur, dapat memasukkan kode Mitra Sayur tersebut. Pesanan tersebut akan diantarkan ke tempat Mitra Sayur dan akan didistribusikan olehnya. Mitra pun akan mendapat tambahan penghasilan berupa komisi dan pembayaran ongkos kirim dari konsumen.

“Model bisnis ini akan menjadi permanen, tentunya dengan berbagai upgrade lagi ke depannya. Misalnya bekerja sama dengan last-mile delivery service, agar bisa terus meningkatkan service level kami.”

Pesan Sayur Online Kedai Sayur
Mitra Kedai Sayur bersama kendaraan Si Komo untuk distribusi produk / East Ventures

Selain melalui aplikasi, pemesanan juga bisa dilakukan lewat Tokopedia dan Blibli.

Perusahaan juga membuat inisiatif yang membantu petani untuk mendistribusikan hasil panen mereka ke pelanggan, melalui kerja sama bersama Kementerian Pertanian. Petani dapat menjual hasil panen mereka dibantu oleh pemerintah dengan menggunakan platform digital seperti Kedai Sayur.

“Kini dengan keahlian supply chain dan teknologi digital platform, Kedai Sayur berkontribusi ke dua sisi pola distribusi yang kena dampak virus Corona,” pungkasnya.

Akan tetapi, Adrian enggan memaparkan pencapaian yang berhasil didapat pasca pivotnya tersebut.

Kedai Sayur merupakan salah satu portofolio di bawah East Ventures. Sejak berdiri dua tahun lalu, perusahaan sudah dua kali mendapat pendanaan, dengan total $5,3 juta. Dari data terakhir, perusahaan sudah bermitra dengan lebih dari 5 ribu mitra di Jadetabek.

Dinamika bisnis supply-chain

Pilihan pivot yang diambil Kedai Sayur bisa dikatakan cukup sukses untuk menyelamatkan perusahaan karena terdampak pandemi. Berkat perubahan fokus bisnis B2C, aplikasi Kedai Sayur punya tambahan fungsi. Sebelumnya, aplikasi tersebut hanya digunakan oleh Mitra Sayur dan konsumen B2B yang ingin menyetok bahan makanan untuk berjualan.

Startup lainnya yang bisnisnya beririsan dengan Kedai Sayur, yakni Stoqo terpaksa harus gulung tikar karena gagal beradaptasi dengan kondisi. Mereka adalah platform yang fokus menyediakan kebutuhan makanan pokok, mulai dari daging, sayur mayur, tepung, kopi, dan lainnya, tapi khusus konsumen B2B saja.

Sebelum pandemi muncul, model bisnis ini tentunya sangat moncer karena kuenya yang besar di bidang kuliner. Apa yang dilakukan Kedai Sayur sejatinya juga bisa dilakukan oleh Stoqo.

Founder dan CEO Wahyoo Peter Shearer menjelaskan siasat yang perlu dilakukan untuk tetap bertahan adalah menjaga tingkat permintaan. Wahyoo sendiri berupaya membantu warung-warung agar dapat berjualan di platform digital seperti GoFood. Di saat yang bersamaan pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di banyak daerah sudah menggeser pola belanja di Wahyoo.

“Positifnya secara tidak langsung dengan adanya PSBB dan Covid-19 ini memaksa adaptasi pemilik warung makan terhadap digital jadi lebih cepat,” imbuhnya.

Sektor Digital yang Berpotensi Kian Perkasa Setelah Pandemi Berakhir

Hari-hari yang berat menggelayuti ekonomi dan bisnis selama masa pandemi. Situasi saat ini diperkirakan bakal memperburuk ekonomi dunia dan memperparah tingkat pengangguran. International Monetary Fund atau IMF memproyeksi dampak ekonomi dari wabah Covid-19 ini akan jauh lebih buruk dari resesi global 2008 silam.

Namun resesi tak melulu hanya diisi oleh kabar buruk. Sejarah mencatat selalu ada bisnis, yang tak hanya sekadar bertahan dari krisis, yang justru performanya meningkat drastis. Selain karena kebutuhan di sektor tertentu yang meningkat, keputusan dan strategi yang tepat menjadi alasan mereka dapat mencuat sebagai jawara di bidangnya.

Airbnb dan Uber bisa jadi contoh yang tepat. Keduanya berdiri ketika badai resesi global yang berpusat di Amerika Serikat sedang berembus kencang. Airbnb yang berdiri Agustus 2008 kini bernilai US$35 miliar. Uber berdiri pada Maret 2009 sejak IPO sekarang bernilai US$82,4 miliar. Sebagai tambahan, ada juga Pinterest yang muncul pada Desember 2009 telah mengantongi valuasi hingga US$10,6 miliar.

Pola tersebut sejatinya tak hanya terjadi pada startup saja. Korporasi besar yang kita kenal saat ini pun tak sedikit yang lahir dari periode paceklik. Amazon dan eBay adalah sedikit dari contoh yang ada. Berpegang pada pola tersebut pola tersebut, maka tak akan mengherankan setelah pandemi ini berakhir akan bermunculan beberapa jenis layanan dan penyedianya tampil sebagai pemenang.

Healthtech

Tak bisa dipungkiri situasi pandemi saat ini berhasil mengetuk kesadaran banyak orang untuk lebih peka terhadap kondisi kesehatannya. Harga jahe yang kini menembus harga Rp100.000, naik hingga lima kali lipat dari harga normal, adalah bukti paling dekat bagaimana masyarakat kian memperhatikan kesehatan mereka.

Begitu pula yang terjadi dengan healthtech. Layanan telemedicine misalnya kian diminati publik. Mereka yang khawatir akan kemungkinan tertular Covid-19 dan sungkan meninggalkan tempat tinggal bisa dengan mudah mengakses chatbot yang disediakan platform healthtech, seperti dari Alodokter, Halodoc, dan Prixa.

Dikutip dari Katadata, Halodoc dikabarkan transaksi untuk suplemen kesehatan dan produk seperti masker naik hingga dua kali lipat. Begitu pula Alodokter yang menyebut traffic platform mereka tembus dua juta kunjungan. Ini menandakan publik bakal terbiasa dengan produk-produk yang ditawarkan oleh platform ini.

Tanda-tanda melejitnya bisnis layanan kesehatan juga terbaca di lantai bursa. Zacks Equity Research di situs Nasdaq meyakini saham-saham layanan kesehatan di Amerika Serikat bakal melampaui perkiraan pendapatan kuartal pertama mereka.

Video conference

Jika harus menarik pelajaran terpenting dari masa isolasi seperti sekarang, jawaban yang paling relevan untuk para pekerja kerah putih adalah rapat virtual tidak sesulit itu. Platform video conference sudah ada sejak bertahun-tahun lalu, tapi baru kali ini rapat virtual diterima sebagai sesuatu yang lazim.

Skype mungkin aplikasi video conference yang paling awal diketahui publik. Tapi selama masa swakarantina tak akan ada yang bisa menyangkal Zoom menjadi pilihan utama banyak orang. Saking populernya, Zoom tak jarang digunakan sebagai sarana pergaulan.

Transparency Market Research menghitung pasar video conference akan tumbuh rata-rata 8,4% dari kurun 2020-2027. Nilai pasar ini secara global sudah mencapai US$6,1 miliar atau sekitar Rp94 triliun pada tahun lalu. Dengan perkiraan tingkat pertumbuhan di atas, maka pasar video conference berkisar US$11,56 miliar atau Rp178 triliun.

Zoom punya peluang besar mendominasi pasar itu. Namun pengamanan data pengguna yang buruk sangat mungkin menjegal Zoom sebagai pemain nomor satu di pasar. Ini artinya peta kompetisi masih terbuka lebar dan opsi lain di luar Google Meet, Microsoft Teams, hingga Cisco Webex, termasuk pemain lokal seperti Telkomsel CloudX.

Gaming

Kegiatan pengisi waktu luang favorit banyak orang. Seiring terbatasnya kegiatan yang bisa dilakukan selama swakarantina, game console dan esports adalah wahana pelarian yang sempurna.

Memang dalam beberapa aspek, ekosistem game tak sepenuhnya membawa kabar baik. Pembatalan dan penundaan turnamen esport adalah contohnya. Namun di luar itu, industri game tumbuh subur.

Kita bisa mulai dari jumlah pemain yang meningkat drastis. Counter Strike Global Offensive misalnya mencatat rekor jumlah pemain yang bermain dalam waktu bersamaan lebih dari 1 juta orang. Di platform yang lain, Animal Crossing jadi fenomena baru. Permainan buatan Nintendo ini menjelma sebagai game paling dibicarakan sejagat dengan rekor penjualan di berbagai negara.

Sementara itu streaming game tak kalah kencang melaju selama musim wabah ini. Twitch sebagai platform streaming game menjadi tolok ukurnya. Twitch berhasil membukukan lebih dari 3 miliar jam tayang selama kuartal pertama. Rekor demi rekor pun dicetak oleh platform streaming lain, seperti YouTube Gaming Live dan Facebook.

Agritech

Selain tenaga kesehatan, tidak ada pekerja yang lebih esensial selama pandemi dibanding mereka. Aktivitas boleh berkurang, tapi perut tak akan bisa kosong. Adu efisien dan kecepatan menjadi penting bagi para pemain agritech di situasi seperti sekarang.

Di Indonesia, pelaku agritech sedang subur-suburnya. Pembatasan aktivitas untuk mencegah penyebaran Covid-19 memperkuat posisi agritech di dalam mata rantai distribusi pangan. Pasalnya kegiatan belanja bahan pangan kini mau tak mau harus dilakukan dari rumah.

Ini pun memengaruhi distribusi akhir produk pertanian. Jika sebelumnya, konsumen harus datang ke pasar, pasar swalayan, atau ritel modern, maka sistem pesan dan antar jadi tren terbaru. Seperti diketahui bersama sistem ini sangat tak lazim sebelum wabah Covid-19 melanda karena selama ini kita hanya memesan makanan jadi. Namun periode musibah saat ini justru memperlihatkan bahwa distribusi akhir bahan pangan bisa dilakukan ke depan pintu rumah.

Etanee Putuskan untuk Mempercepat Rencana Ekspansi

Etanee salah satu startup yang melayani pengantaran bahan/produk pertanian memasuki fase selanjutnya dalam posisinya sebagai sebuah bisnis. Tumbuh dan berkembang adalah kewajiban sebagai startup, dan kini mereka siap untuk mempercepat laju pertumbuhan bisnisnya.

Pihak Etanee menjelaskan bahwa ada beberapa perubahan penting dalam oraganisasinya. Di fase awal, Etanee hanya mengakomodir supply chain management untuk produk daging beku, kini mereka melayani pembelian grosisran dan eceran dengan kategori yang lebih lengkap. Meliputi buah, sayur, daging, bumbu masak, dan sembako kering.

Mereka juga mengklaim tengah membangun ekosistem demand dalam bentuk agen atau dropshipper berbasis komunitas untuk produk segar eceran. Cara ini diambil dengan harapan bisa memberikan dampak sosial karena dengan model ini sharing ekonomi semakin masif.

As of now, number of registered users kami lebih dari 10 ribu, dengan lebih dari 2 ribu pengguna aktif bulanan dan sudah hadir di Jabodetabek dan Bandung,” terang Co-Founder & COO Etanee Herry Nugraha.

Mempercepat ekspansi dan rencana fundraising

Etanee merupakan salah satu startup yang mengalami lonjakan permintaan di tengah pandemi Covid-19 ini. Dengan komitmen untuk bisa menjangkau lebih banyak pengguna, Etane memutuskan untuk melakukan perluasan jangkauan wilayah, mencakup daerah Bogor, Depok, Cibubur, Jakarta Selatan, dan kota Bandung. Rencananya hingga sampai dengan akhir April, Etanee sudah menjangkau seluruh DKI Jakarta dan Tangerang Selatan.

“Efek langsung yang dirasakan Etanee ketika terjadi pandemi Covid-19 adalah kenaikan demand yang sangat tinggi dan menghasilkan growth organik 3x month on month. Karena itu kami justru melakukan ekspansi yang lebih cepat di masa isolasi ini dalam rangka mendukung pemerintah dan membantu masyarakat untuk memberikan ketersediaan pangan melalui mekanisme order online dan home delivery,” sambung Herry.

Di Indonesia salah satu industri yang kemungkinan bakal berubah setelah pandemi ini adalah layanan pembelian produk atau bahan makanan dari petani. Distribusi langsung ke pengguna dan menjangkau petani di daerah-daerah sedikit banyak mulai membuat industri ini semakin matang di tengah meningkatnya permintaan seperti sekarang ini.

Pemain-pemain lain di sektor ini seperti TaniHub, Freshbox, Sayurbox, KedaiSayur, dan lainnya tampaknya telah menyusun ulang strategi untuk bisa memenuhi lonjakan permintaan. Seperti TaniHub misalnya, yang awal bulan ini mendapat pendanaan senilai 285 miliar yang rencananya akan digunakan untuk ekspansi dan membangun sistem otomatisasi.

Etanee, yang sudah tiga tahun berjalan, mulai awal 2020 ini mereka merencanakan untuk fundraising dan berharap untuk bisa menjalin kerja sama strategis dengan venture capital yang sudah memiliki portofolio di industri pangan dan distribusi.

“Fokus Etanee dalam 1-2 tahun ke depan adalah mempercepat ekspansi layanan platform ke 300 kota di seluruh Pulau Jawa, karena permintaan dari mitra distribusi dan logistik sudah banyak dan antre untuk segera digarap. Namun hal ini terkait erat dengan support funding yang saat ini sedang kami targetkan untuk dipenuhi,” tutup Herry.

Application Information Will Show Up Here

Mengenal Freshbox, Layanan Pengantaran Sayur dan Buah Segar

Di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini layanan pembelian hasil panen (online grocery), baik sayur maupun buah, mulai banyak diminati masyarakat. Tak terkecuali FreshBox, mereka mengklaim mengalami peningkatan yang cukup signifikan hingga menyentuh 5 ribu pesanan dalam dua minggu. Ide dan layanan FreshBox mungkin bukan yang pertama, tapi mereka cukup optimis bisa terus tumbuh sambil terus menghadirkan produk berkualitas kepada penggunanya.

Berada di bawah naungan  PT Berkah Tani Sejahtera, FreshBox ingin mencoba mengubah pola makan masyarakat Indonesia melalui penyediaan layanan pembelian makanan sehat dan segar. Sekaligus mendukung petani di Indonesia untuk tetap bertahan dan tumbuh.

Founder FreshBox Matthew James kepada DailySocial bercerita, mereka membawa konsep “farm to table”, yang artinya produk mereka dipanen setiap hari dan datang langsung dari pertanian yang mereka miliki. Selanjutnya setelah diproses, langsung dikirim ke pengguna tanpa perantara.

“Kami dapatkan produk langsung dari kebun sendiri dan mitra petani. Produk segar dikirim ke fasilitas pemrosesan di mana kami lakukan pemilahan order, quality check dan langsung lanjut untuk last mile delivery ke konsumen,” kata Matthew.

Di segmen yang sama ada juga nama-nama seperti HappyFresh, SayurBox, TukangSayur, KedaiSayur, Tanihub, Etanee, dan lainnya. Kondisi sekarang adalah babak baru industri pengantaran produk makanan segar.

Di masa pandemi seperti sekarang ini permintaan melonjak tinggi, banyak pengguna bergabung, pengguna lama juga kini semakin sering transaksi. Ini adalah waktu yang tepat untuk mendapatkan dan meningkatkan kepercayaan pengguna. Itu mengapa selain kesiapan teknologi ketersediaan stok juga jadi tantangan. Bisa jadi setelah ini selesai, masyarakat malah lebih nyaman berbelanja kebutuhan sehari-hari melalui aplikasi.

Freshbox, layanan yang sudah mulai dirintis sejak 2018 ini cukup optimis bisa memberikan yang terbaik bagi para konsumen mereka. Dengan tim, teknologi, dan hasil pertanian yang mereka miliki saat ini mereka cukup optimis untuk bisa memuaskan para pelanggan mereka. Saat ini mereka juga tengah dalam tahap penggalangan dana untuk mengakselerasi bisnis.

Founder Freshbox Matthew James / Freshbox
Founder Freshbox Matthew James / Freshbox

Matthew menjelaskan ada beberapa hal yang mereka unggulkan, di antaranya adalah komitmen pengiriman H+1 untuk menjaga kepuasan pelanggan, memiliki kebun sendiri sehingga produk, baik kualitas maupun ketersediaannya bisa dipastikan, dan juga memiliki in-house fleet sendiri.

“FreshBox dimulai dari sebuah mimpi oleh ibu saya untuk menjual sayur-mayur yang segar dikarenakan beliau sangat menyukai berkebun. Saya percaya akan mimpi beliau dan bersama dengan tim yang luar biasa, kami kembangkan FreshBox sampai apa adanya hari ini,” kisah Matthew.

Ia melanjutkan, saat ini impian Freshbox adalah untuk bisa tersedia di berbagai wilayah di Indonesia. Lengkap dengan kualitas layanan dan produk yang mereka miliki. Mimpi ini akan terus diupayakan seiring berjalannya waktu.

“Mimpi saya adalah untuk memberikan produk dan servis terbaik ke semua pelanggan di Indonesia, termasuk kota-kota dan daerah-daerah besar dan kecil sehingga kehidupan masyarakat Indonesia lebih mudah dan nyaman,” tutup Matthew.

Application Information Will Show Up Here

Indonesian Agritech’s Top Three Bucket List for The First Quarter of 2020

Agritech has become one of the essential segments in the industry for its representation of Indonesian culture. Agriculture held one-third of Indonesian land and workers. Technology has a crucial role to increase productivity in this industry due to the decreasing talent for the last decade.

Otherwise, the country should import more in order to feed its citizen. In 2025, Indonesian population is predicted to increase by 11 million from the current position at 270 million people.

Quoted from CompassList research project report titled “Indonesia Agritech Report 2020” released in March, the world is currently struggling with food supply crisis due to the Covid-19 pandemic. The global food supply chain is tightening for some countries are lockdown and stop exporting.

Most businesses are getting suspended as life continues, amid efforts to curb the spread of the virus. These conditions show the importance of maintaining food security – and national agriculture.

The report shows high optimism for agritech, given the sector is relatively new in Indonesia. As Chilibeli secured series A funding in March 2020, it shows a bright future in this sector. Chilibeli has just launched in less than a year.

“More efficient and equitable agricultural practices will pave the way for sustainable agriculture in Indonesia, benefiting farmers, resources and the community. This helps create a stronger agricultural sector, which in turn will support Indonesia’s food security and economic growth,” the report stated.

Require more deep-tech innovation

CompassList listed four categories for the current operational agritech. It’s based on funding, e-commerce, education and assistance, also technology development. In structural, it shows the highest concentration of agritech startups.

UMG Idealab‘s Investment & Venture Partner, Jefry Pratama said, the act of selling agriculture commodities is the simplest and most certain way for agritech startup to gain profit. Of all the highlighted startups, they utilize the e-commerce sector or market the products offline.

To date, the deep-tech startup in this industry only works with AI, data analytics, and robotics. There is no further deep-tech (a new technology that offers significant improvement of the current issue), such as genetical manipulation.

Source: CompassList
Source: CompassList

Startups took part in this sector includes Habibi Garden, BIOPS, HARA, and JALA. Each startup has a certain tech specialization in data collecting, farmers can translate daily and take action instantly.

JALA, for example, has been using series of sensors to detect water quality in shrimp ponds, salinity, and pH rate to oxygen. The data is to be sent to the cloud-based media analytics for further diagnosed options to improve water quality.

Shrimp farmers can eventually distribute less feed for exceeding feed can impact on the final quality. It should reduce shrimp waste and loss, also increasing yields.

The lack of deep tech innovation might occurs due to various factors. Starting from the lack of available talent, campus support, research institutions, large corporations. These entities have an important role in carrying the development costs (R&D) for certain sectors. This is where most likely the first time innovation has been found.

However, these issues are not impossible to overcome, as UMG Idealab did, the incubator and CVC from the conglomerate from Myanmar UMG. They invested in PT Mitra Sejahtera Pembangunan Bangsa (MSMB), an agritech startup focused on creating sensors, drones, and mobile applications for farmers.

Uniquely, the MSMB was founded by lecturers and students from UGM. The staff consists of students, recent graduates, and lecturers from local campuses in Yogyakarta and surrounding areas.

Other factors are also reflected in supporting infrastructure such as logistics and supply chain. India is more or less the same as Indonesia, although it cannot be generalized. Both are countries with large areas with infrastructure development that are still late in the countryside.

R&D becomes essential

The existence of an R&D center for a business is important, not just for agritech. To encourage more local farmers to increase their crop yields and reduce potential losses, more high-quality seed production is needed, developing better disease diagnosis tools, and new hardware.

Startups are yet to have the resources to create their own R&D, therefore, they become obstacles to entering “deep biotech” in seed development. They will take advantage of collaboration with local universities, such as IPB and UGM. The campus is equipped with expertise and facilities to pursue cross-marriages, genetic engineering and other basic science projects.

Unfortunately, this country still lacks funds to build R&D center. In 2018, the overall R&D budget will be Rp. 25.8 trillion or 0.2% of total GDP.

Source: CompassList
Source: CompassList

This condition encourages each stakeholder to collaborate to create superior seed varieties. Many multinational companies are financially supported through collaboration with local players and the central government, as well as with their own budgets. Collaboration like this can accelerate the discovery of seed development that suits local needs and conditions, such as varieties that are more resistant to drought.

“The government can play a more active role in developing Indonesian agriculture to be more resilient. We need to fund R&D in Indonesia, “added Pamitra Wineka’s Co-Founder & President TaniGroup.

Initiatives to accelerate logistics

The Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) estimates as much as 120 kg to 170 kg of food per capita is lost or wasted every year in South and Southeast Asia. This is homework for Indonesia to improve logistics and supply chain infrastructure to prevent the loss of food.

ADB statistics link 25% -45% of the results of this decay due to poor packaging, inadequate cooling systems, and long delivery times.

Here the role of government and private sector is needed to reduce post-harvest losses. You do this by building a warehouse, a packing place, a cooling place close to agricultural land and fisheries. Food delivery vehicles must also be improved through better road conditions and vehicles that can adjust the temperature.

TaniGroup created a logistics subsidiary, TaniSupply, in September 2019 to address imbalances in the supply chain. Then, 8villages worked with agricultural intermediaries to create VLOGS, gathering data on logistics providers in a platform to help farmers find logistical partners.

If small farmers from neighboring villages can agree to the same logistics provider, for example, they can increase their bargaining power by collectively asking for lower shipping rates.

Tokopedia also made a similar initiation by making a branch store, a smart warehouse that can predict which items sell best in the nearest city. All traders, even micro, can place their stock in warehouses based on predicted purchasing trends.

This model can be adopted for agricultural products because farmers and fishermen have more or less the same challenges as online traders in Tokopedia.

Simplifying modes of transportation and supply chains undoubtedly results in reduced post-harvest losses. There is a need for intensive initiatives from startups and the government to strengthen local food, allowing fresh products to be easily accessible to consumers without any middlemen who bother.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Tiga Catatan Agritech Indonesia Sepanjang Kuartal Pertama 2020

Agritech menjadi salah satu segmen industri yang penting karena melekat erat dengan Indonesia. Pertanian memakan hampir sepertiga dari penggunaan lahan dan tenaga kerja. Keberadaan teknologi sangat dibutuhkan untuk membantu industri ini agar punya produktivitas yang baik karena jumlah tenaga kerjanya terus menurun selama dekade terakhir.

Bila tidak, negeri ini harus mengimpor lebih banyak untuk memberi makan dirinya sendiri. Pada 2025, diprediksi populasi Indonesia bertambah 11 juta orang dari posisi saat ini sekitar 270 juta orang.

Mengutip dari laporan yang dirangkum lembaga riset CompassList bertajuk “Indonesia Agritech Report 2020” dirilis pada akhir Maret lalu, saat ini dunia sedang bergulat dengan ancaman krisis pangan akibat pandemic Covid-19. Rantai pasokan makanan global menjadi tegang karena semakin banyak negara menutup diri dan menghentikan ekspor pangan.

Sebagian besar bisnis juga ditangguhkan bersamaan dengan masih terus berlanjutnya kehidupan, di tengah upaya menahan penyebaran virus. Kondisi tersebut memperlihatkan pentingnya menjaga ketahanan pangan –dan pertanian nasional.

Laporan ini memperlihatkan optimisme yang tinggi untuk agritech, walau masih relatif baru di Indonesia. Pendanaan seri A yang diperoleh Chilibeli pada Maret 2020, menjadi salah satu contoh nyata bahwa sektor ini punya jalan cerah di masa mendatang. Chilibeli sendiri baru dirilis kurang dari setahun.

“Praktik pertanian yang lebih efisien dan adil akan membuka jalan bagi pertanian berkelanjutan di Indonesia, memberi manfaat bagi petani, sumber daya, dan masyarakat. Ini membantu menciptakan sektor pertanian yang lebih kuat, yang pada gilirannya akan mendukung ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia,” tulis laporan tersebut.

Butuh lebih banyak inovasi deep-tech

CompassList menerangkan startup agritech yang beroperasi saat ini terbagi menjadi empat jenis. Yakni seputar pembiayaan, e-commerce, edukasi dan pendampingan, dan pengembangan teknologi. Secara berurutan, sekaligus memperlihatkan konsentrasi startup agritech terbanyak.

Investment & Venture Partner UMG Idealab Jefry Pratama menjelaskan, aktivitas menjual komoditas pertanian adalah cara paling sederhana dan paling pasti buat startup agritech dalam memperoleh pendapatan. Dari seluruh startup yang disoroti, mereka memanfaatkan kehadiran e-commerce atau memasarkannya secara offline.

Startup yang bermain di deep tech sejauh ini memanfaatkan AI, analitik data, dan robotika. Belum ada sampai ke deep tech (teknologi baru yang menawarkan kemajuan signifikan atas yang saat ini sedang digunakan), seperti rekayasa genetika.

Sumber : CompassList
Sumber : CompassList

Startup yang bermain di pengembangan teknologi di antaranya ada Habibi Garden, BIOPS, HARA, dan JALA. Masing-masing punya spesialisasi teknologi dalam pengumpulan data, petani dapat menerjemahkan dengan bahasa sehari-hari dan bisa langsung ambil tindakan.

JALA misalnya, menggunakan serangkaian sensor untuk mendeteksi kualitas air dalam kolam tambak udang, salinitas, dan keasaman terhadap kandungan oksigen. Data dikirim ke media analisis berbasis cloud yang kemudian memberikan saran untuk meningkatkan kualitas air.

Petani udang pada akhirnya bisa mendistribusikan lebih sedikit pakan jika kelebihan pakan karena ini berdampak pada kualitas akhir. Mereka dapat mengurangi pemborosan dan kehilangan udang, meningkatkan hasil panen.

Masih minimnya inovasi deep tech, sebenarnya terjadi karena berbagai faktor. Mulai dari kurangnya ketersediaan talenta, dukungan dari kampus, lembaga riset, korporasi besar. Entitas-entitas ini punya peran penting dalam memikul biaya pengembangan (R&D) untuk sektor tertentu. Di sinilah kemungkinan besar terjadinya pertama kalinya inovasi ditemukan.

Namun isu tersebut dapat diatasi, seperti yang dilakukan oleh UMG Idealab, incubator dan CVC dari konglomerasi asal Myanmar UMG. Mereka berinvestasi ke PT Mitra Sejahtera Membangun Bangsa (MSMB), startup agritech fokus pada menciptakan sensor, drone, dan aplikasi mobile untuk petani.

Uniknya MSMB didirikan oleh dosen dan mahasiswa dari UGM. Pegawainya terdiri dari mahasiswa, lulusan baru, dan dosen dari kampus lokal di Yogyakarta dan sekitarnya.

Faktor lainnya juga terefleksi dari infrastruktur pendukung seperti logistik dan supply chain. India menjadi pembanding yang kurang lebih sama dengan Indonesia, meski tidak bisa disamaratakan. Keduanya sama-sama adalah negara dengan wilayah yang luas dengan pengembangan infrastruktur masih terlambat di pedesaan.

Keberadaan R&D semakin dibutuhkan

Keberadaan pusat R&D bagi suatu bisnis adalah maha penting, tidak hanya buat agritech saja. Untuk mendorong lebih banyak petani lokal yang bisa meningkatkan hasil taninya dan mengurangi potensi kerugian, maka dibutuhkan lebih banyak produksi benih berkualitas tinggi, mengembangkan alat diagnosis penyakit yang lebih baik, dan perangkat keras baru.

Startup kemungkinan besar belum punya sumber daya besar untuk membuat R&D sendiri, sehingga menjadi hambatan masuk ke “deep biotech” dalam pengembangan benih. Mereka akan memanfaatkan kolaborasi dengan universitas lokal, seperti IPB dan UGM. Kampus dilengkapi dengan keahlian dan fasilitas untuk mengejar perkawinan silang, rekayasa genetika, dan proyek ilmu dasar lainnya.

Sayangnya, di negeri ini masih kekurangan dana untuk bangun R&D. Pada 2018, keseluruhan anggaran litbang adalah Rp25,8 triliun atau 0,2% dari total GDP.

Sumber : CompassList
Sumber : CompassList

Kondisi ini mendorong setiap stakeholder saling kolaborasi untuk menciptakan varietas benih unggul. Banyak perusahaan multinasional yang didukung secara finansial melalui kolaborasi dengan pemain lokal dan pemerintah pusat, serta dengan anggaran mereka sendiri. Kolaborasi seperti ini dapat mempercepat ditemukannya pengembangan benih yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat, seperti varietas yang lebih tahan saat kekeringan.

“Pemerintah dapat memainkan peran yang lebih aktif dalam mengembangkan pertanian Indonesia agar lebih tangguh. Kita perlu mendanai R&D di Indonesia,” tambah Co-Founder & Presiden TaniGroup Pamitra Wineka.

Inisiatif percepat logistik kian beragam

Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) mengestimasi sebanyak 120 kg sampai 170 kg makanan per kapita hilang atau terbuang tiap tahunnya di Asia Selatan dan Tenggara. Ini menjadi pekerjaan rumah buat Indonesia untuk memperbaiki logistik dan infrastruktur rantai pasokan untuk mencegah hilangnya makanan tersebut.

Statistik dari ADB mengaitkan 25%-45% dari hasil pembusukan ini karena pengepakan yang buruk, sistem pendingin yang tidak memadai, dan waktu pengiriman yang lama.

Di sini perlu peran pemerintah dan swasta untuk mengurangi kerugian pasca panen tersebut. Caranya dengan membangun gudang, tempat pengepakan, tempat pendingin yang dekat dengan lahan pertanian dan perikanan. Kendaraan pengiriman makanan juga harus ditingkatkan melalui kondisi jalan yang lebih baik dan kendaraan yang bisa menyesuaikan suhu.

TaniGroup membuat anak usaha khusus logistik TaniSupply pada September 2019 untuk mengatasi ketimpangan dalam rantai pasokan. Lalu, 8villages bekerja sama dengan perantara pertanian untuk membuat VLOGS, mengumpulkan data tentang penyedia logistik dalam platform untuk bantu petani mencari mitra logistik.

Jika petani kecil dari desa tetangga dapat menyetujui penyedia logistik yang sama, misalnya, mereka dapat meningkatkan daya tawar mereka dengan secara kolektif meminta tarif pengiriman yang lebih rendah.

Tokopedia juga membuat inisiasi sejenis dengan membuat TokoCabang, gudang pintar yang dapat memprediksi barang mana yang paling laku di kota terdekat. Seluruh pedagang, mikro sekalipun, dapat menempatkan stok mereka di gudang berdasarkan tren pembelian yang sudah diprediksi.

Model ini dapat diadopsi untuk produk pertanian karena petani dan nelayan punya tantangan yang kurang lebih sama dengan pedagang online di Tokopedia.

Menyederhanakan moda transportasi dan rantai pasokan niscaya berdampak pada berkurangnya kerugian pasca-panen. Perlu inisiatif yang gencar dari startup dan pemerintah untuk memperkuat makanan lokal, memungkinkan produk segar semakin mudah terjangkau ke tangan konsumen tanpa ada tengkulak yang mengganggu.

TaniHub Secures 285 Billion Rupiah Worth of Series A+ Funding

TaniHub Group announced to secure series A+ funding worth of US$17 million or around 285 billion Rupiah. This is the follow on round of the series A last May 2019.

The latest round was led by Openspace Ventures and Intudo Ventures. Also involved in this round, UOB Venture Management, Vertec Ventures, BRI Ventures, Tenaya Capital and Golden Gate Ventures. In total, TaniHub has obtained Rp462 billion funding since 2016.

The additional funding will be allocated to tighten business position by expanding services, both for farmers and customers. They will also focus to improve operational, such as the implementation of automation in processing and packaging centers.

TaniHub Group’s Co-Founder & President, Pamitra Wineka said, regeneration is very important for Indonesian agriculture, considering they are one of the country’s biggest economic contributors. Farmers need to increase productivity and income to make sure the easy generation that agriculture is a sector that has bright prospects.

“Our TaniHub Group Ecosystem is designed to help farmers achieve their dreams and consumers can enjoy agricultural products at reasonable prices. This will enable ‘agriculture for everyone’, which is our main goal,” he added.

TaniHub claimed that they had managed to get a threefold increase compared to the previous year. In total there are more than 30,000 small farmers who join their ecosystem. Within their platform there are also 5,000 business customers consisting of SMEs, hotels, restaurants, catering and 115,000 retail customers.

Based on Startup Report data from DSResearch, the TaniHub application is the most downloaded for the agrotech category with a total download of more than 100,000 in 2019. Defeating Winged Beans and iGrow. Meanwhile, in terms of business, the delivery of agricultural products from TaniHub is in the same segment as Sayurbox, Kecipir, etanee, Kedai Sayur, and others.

Aim to be of service throughout Indonesia

Currently, TaniHub has five branch offices in Bogor, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, and Denpasar. The latest news, TanhiHub is currently finalizing PPC (Processing and Packing Center) in Malang with 3,000 sqm area.

For automation solutions, they will install machines that can process and pack automatically. The goal is to reduce the touch of human hands so that the quality and safety of products is guaranteed. After Malang, it is planned that there will also be PPC and DC in other cities.

“TaniHub focuses on building infrastructure and supply chains which are currently the biggest challenges in the Indonesian agriculture sector. We are committed to strengthening our partnerships with partners in the B2B area, including SMEs. We expect better growth for this year and we hope to reach all cities throughout the country by 2020,” TaniHub Group’s CEO & Co-Founder, Ivan Arie Sustiawan said.

In addition to providing agricultural products, TaniHub Group also has a P2P lending service, TaniFund. This service has succeeded in disbursing 100 billion Rupiah in loans since start operating in 2017 ago.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

TaniHub Amankan Pendanaan Seri A+ Senilai 285 Miliar Rupiah

TaniHub Group mengumumkan telah berhasil mengamankan pendanaan seri A+ senilai US$17 juta atau setara 285 miliar Rupiah. Ini merupakan kelanjutan dari putaran seri A yang sebelumnya diumumkan pada Mei 2019 lalu.

Pendanaan kali ini dipimpin oleh Openspace Ventures dan Intudo Ventures. Turut berpartisipasi di dalamnya UOB Venture Management, Vertex Ventures, BRI Ventures, Tenaya Capital dan Golden Gate Ventures. Dengan ini total pendanaan yang diraih TaniHub Group sejak tahun 2016 mencapai Rp462 miliar.

Modal tambahan yang diterima akan dimanfaatkan untuk memperkuat posisi bisnis dengan memperluas cakupan wilayah, baik untuk petani maupun pelanggan. Peningkatan operasional juga jadi fokus, seperti penerapan solusi automasi otomadi pusat pemrosesan dan pengemasan.

Co-founder & Presiden TaniHub Group Pamitra Wineka mengatakan, regenerasi sangat penting bagi pertanian Indonesia, mengingat mereka menjadi salah satu kontributor terbesar ekonomi negara. Petani perlu meningkatkan produktivtas dan pendapatan untuk membuat yakin generasi mudah bahwa pertanian merupakan sektor yang memiliki prospek cerah.

“Ekosistem TaniHub Group kami dirancang untuk membantu para petani mencapai mimpinya dan konsumen dapat menikmati produk pertanian dengan harga yang wajar. Ini akan memungkinkan ‘agriculture untuk semua orang’, yang merupakan tujuan utama kami,” jelas Pramitra.

Pihak TaniHub mengaku bahwa mereka telah berhasil mendapatkan peningkatan tiga kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Secara keseluruhan ada lebih dari 30.000 petani kecil yang bergabung dengan ekosistem mereka. Di dalam platform mereka juga terdapat 5.000 pelanggan bisnis yang terdiri dari UKM, hotel, restoran, katering, dan 115.000 pelanggan ritel.

Berdasarkan data Startup Report dari DSResearch, aplikasi TaniHub paling banyak diunduh untuk kategori agrotech dengan total unduhan lebih dari 100.000 pada tahun 2019. Mengalahkan Kecipir dan iGrow.  Sementara dari segi bisnis pengantaran produk hasil pertanian TaniHub berada di segmen yang sama dengan Sayurbox, Kecipir, etanee, Kedai Sayur, dan lainnya.

Mempunyai mimpi untuk hadir di seluruh Indonesia

Saat ini TaniHub sudah memiliki lima kantor cabang atau regional, yakni ada di Bogor, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Denpasar.  Yang paling baru TaniHub Group sedang melakukan finalisasi PPC (Prosessing and Packing Center) di Malang dengan luas bangunan 3.000 meter persegi.

Untuk solusi automasi, mereka akan memasang mesin yang bias memproses dan melakukan packing secara otomatis. Tujuannya untuk mengurangi sentuhan tangan manusia sehingga kualitas dan keamanan produk terjamin. Setelah Malang, rencananya juga akan ada PPC dan DC di kota-kota lainnya.

“TaniHub berfokus pada membangun infrastruktur dan rantai pasokan yang saat ini merupakan tantangan terbesar di sektor pertanian Indonesia. Kami berkomitmen untuk memperkuat kemitraan kami dengan mitra di area B2B, termasuk dengan UKM. Kami mengharapkan pertumbuhan lebih baik untuk tahun ini dan kami berharap bisa menjangkau semua kota di seluruh negeri pada tahun 2020.” jelas Co-founder & CEO TaniHub Group Ivan Arie Sustiawan.

Selain melayani penjualan hasil pertanian TaniHub Group juga memiliki layanan P2P lending, TaniFund. Layanan ini telah berhasil menyalurkan 100 miliar Rupiah pinjaman sejak beroperasi pada tahun 2017 silam.

Application Information Will Show Up Here