Rencana-Rencana Tiket.com Pasca Diakuisisi Blibli

Sebulan yang lalu DailySocial memberitakan GDP Venture terlibat rencana akuisisi terhadap lebih dari 50% saham startup travel Tiket.com. Hal tersebut akhirnya dikonfirmasi melalui acara pengumuman akuisisi 100% saham Tiket.com oleh Blibli, salah satu perusahaan di bawah naungan Global Digital Prima (GDP) Venture.

Kepada media, Co-Founder dan CMO Tiket.com Gaery Undarsa mengungkapkan akuisisi tersebut merupakan bagian rencana besar Tiket.com yang ingin mencari partner untuk melebarkan usaha dengan layanan dan fitur terbaru.

Selama ini Tiket.com termasuk startup yang tidak pernah mencari pendanaan lanjutan dari investor. Dana awalnya diperoleh dari angel investor tunggal yang kabarnya termasuk keluarga pemilik EMTEK.

“Pertemuan kami dengan Blibli bisa dibilang adalah “love at first sight”. Dari beberapa investor yang kami temui, hanya Blibli yang memiliki visi, misi dan tujuan yang sama dengan kami di Tiket.com, kami pun langsung mendapatkan “chemistry” tersebut. Karena alasan itulah kami memutuskan untuk berkolaborasi lebih mendalam dengan Blibli,” kata Gaery.

Kepada DailySocial Gaery memastikan jajaran C-level Tiket.com tetap akan memegang posisi yang sama pasca akuisisi.

Sebelumnya Blibli telah menjual beberapa layanan travel dan telah tumbuh secara organik. Untuk mempercepat pertumbuhan dari layanan tersebut, Blibli akhirnya memutuskan untuk melakukan akuisisi Tiket.com 100%.

CEO baru Tiket.com

Untuk melancarkan kolaborasi Blibli dan Tiket.com, George Hendrata ditunjuk menjadi CEO baru Tiket.com. Sebagai CEO baru yang bertanggung jawab menjadikan Tiket.com sebagai OTA lokal terbesar, George memiliki pengalaman panjang, terakhir menjadi Direktur Pengembangan / Diversifikasi Bisnis Djarum. George memiliki gelar Bachelor of Science dari Columbia University dan MBA dari Harvard Business School dan menjabat sebagai Presiden Harvard Alumni Club Indonesia.

“Dengan pengalaman selama hampir 6 tahun dan customer base yang telah dimiliki oleh Tiket.com saat ini, diharapkan bisa tumbuh lebih baik lagi melalui akuisisi ini,” kata George.

Nantinya baik Blibli dan Tiket.com akan menjalankan kegiatan oprasional setiap harinya secara terpisah. Tidak ada perubahan dari sisi pegawai, cara kerja dan hal-hal terkait lainnya.

“Sinergi nantinya akan lebih dilakukan dari sisi teknologi, karena Blibli memiliki tim engineer yang lebih banyak dari Tiket.com dalam hal ini Blibli akan membantu dari sisi teknologi. Sementara untuk sinergi lainnya akan kami lakukan melihat kondisi yang ada,” kata CEO Blibli Kusumo Martanto.

Fokus ke pelanggan

Disinggung tentang rencana perdana Tiket.com pasca akuisisi, George menyebutkan fokus dari Tiket.com saat ini adalah lebih kepada kepuasan pelanggan. Bagaimana nantinya melalui akuisisi Blibli, Tiket.com bisa menambah pelanggan baru dari customer base Blibli. Di sisi lain, Tiket.com juga memiliki ambisi untuk menjadi layanan OTA lokal terbesar di Indonesia.

Sejak diluncurkan pada tahun 2011, Tiket.com telah menjadi partner pertama dengan PT KAI untuk pembelian tiket kereta api secara online, memiliki 3,4 juta pengguna dan aplikasi telah diunduh oleh 1,7 juta orang, dan merupakan layanan B2B yang memiliki lebih dari 5 ribu partner.

“Dengan semakin sengitnya persaingan layanan OTA di Indonesia saat ini, diharapkan melalui investasi terbaru ini bisa menjadikan Tiket.com lebih kuat lagi untuk bersaing dengan pemain lainnya di Indonesia,” kata Gaery.


Disclosure: GDP Venture, Blibli, Tiket.com, dan DailySocial berada di bawah naungan induk perusahaan yang sama

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

GDP Venture Dikabarkan Terlibat Rencana Akuisisi Tiket.com

Kami memperoleh informasi dari sumber terpercaya bahwa GDP Venture terlibat rencana akuisisi terhadap lebih dari 50% saham startup travel Tiket.com. Jika benar, Tiket.com akan melengkapi portofolio GDP Venture yang selama ini kebanyakan berhubungan dengan media dan e-commerce.

Hal ini adalah langkah investasi strategis kedua GDP Venture dalam sebulan terakhir. Seminggu yang lalu, GDP Venture diberitakan terlibat pendanaan senilai total 7 triliun Rupiah untuk Sea (yang dahulu bernama Garena). Di Indonesia, Sea dikenal sebagai pengelola layanan mobile marketplace Shopee.

Tiket.com adalah startup yang dibangun Wenas Agusetiawan, Gaery Undarsa, Dimas Surya, dan Natali Ardianto. Sejak awal dibangun di tahun 2011, Tiket.com termasuk startup yang tidak pernah mencari pendanaan lanjutan dari investor. Dana awalnya diperoleh dari angel investor tunggal yang kabarnya termasuk keluarga pemilik EMTEK.

Tiket.com dan Traveloka bisa dibilang merupakan dua pemimpin pasar di sektor online travel. Tiket.com saat ini melayani penjualan tiket pesawat, tiket kereta api, tiket event dan atraksi, reservasi kamar hotel, dan penyewaan mobil.

Portofolio lokal GDP Venture yang high profile di antaranya Blibli dan Kaskus.

Pihak GDP Venture dan Tiket.com yang kami minta keterangannya tidak membantah, meskipun tidak pula membenarkan untuk saat ini.


Disclosure: GDP Venture dan DailySocial berada di bawah naungan induk perusahaan yang sama

Bizzy Akuisisi “Alpha”, Andrew Mawikere Jadi CEO Baru

Layanan procurement dan e-commerce B2B Bizzy mengumumkan akuisisi terhadap “Alpha” dengan nilai yang tidak disebutkan dan mengangkat Founder dan CEO Alpha Andrew Mawikere sebagai CEO Bizzy yang baru. Andrew sebelumnya dikenal sebagai Co-Founder dan ex-CEO Mbiz, lini e-commerce B2B Matahari Group yang notabene adalah kompetitor Bizzy. Peter Goldsworthy, CEO Bizzy sebelumnya, bakal mengemban tugas sebagai President.

Nama Alpha bisa dibilang tidak dikenal di khalayak umum, tetapi pihak Bizzy mengungkapkan Alpha memiliki kekuatan di sektor marketplace B2B, khususnya berpengalaman di bahan baku, spare part, dan direct material. Akuisisi terhadap Alpha diharapkan mendorong Bizzy untuk memiliki layanan lengkap di sektor B2B.

“SMDV, Maloekoe Venture, dan Ardent Capital sebagai investor Bizzy percaya bahwa B2B e-Procurement yang komplit (direct dan indirect material) akan segera menjadi the next big thing di Indonesia setelah e-Commerce dan Fintech,” jelas Managing Partner SMDV Roderick Purwana.

Sebelumnya Bizzy telah merekrut Norman Sasono dan Hermawan Sutanto di jajaran C-level yang memiliki latar belakang teknis kuat untuk mendukung usaha Bizzy mengembangkan bisnis ke pengembangan sistem yang bisa custom tailored untuk kebutuhan korporasi.

Andrew dalam penyataannya mengungkapkan:

“Bizzy memiliki teknologi dan platform kelas enterprise yang paling inovatif di industri dan memiliki modal talenta-talenta yang unggul yang akan membantu adopsi B2B e-Procurement di Indonesia, baik untuk direct dan indirect material, lebih cepat lagi.”

 

Setipe Diakuisisi Lunch Actually Group

Layanan perjodohan online Setipe mengumumkan pihaknya telah bergabung dengan Lunch Actually Group Singapura dengan nilai yang tidak diumumkan. Setipe akan menjadi unit bisnis di bawah kelolaan Lunch Actually Group dan CEO Setipe Razi Thalib akan memimpin operasional Lunch Actually Group di Indonesia. Bergabungnya Setipe ke Lunch Actually Group diharapkan bisa mendukung langkah mendominasi industri perjodohan (online dan offline) di Indonesia.

Secara bisnis, Setipe dan Lunch Actually tidak sepenuhnya beririsan. Lunch Actually, yang hadir tahun 2014 di Indonesia, lebih fokus ke kegiatan secara offline meskipun memiliki representasi online. Setipe, di sisi lain, membangun bisnisnya dari awal secara online.

Setipe diawali tahun 2014 oleh Razi Thalib dan Kevin Aluwi. Kevin sendiri sudah tidak aktif di Setipe setelah ikut mendirikan Go-Jek. Keduanya sempat sama-sama bekerja di Zalora Indonesia. Setipe adalah alumni Google Launchpad Accelerator batch kedua.

Sinergi kedua entitas tersebut tidak hanya terjadi akhir-akhir ini. Di tahun 2016, Setipe dan Lunch Actually sempat berkolaborasi meluncurkan situs edukasi perjodohan, meskipun tampaknya situs tersebut tidak bisa diakses lagi.

Kepada DailySocial, Razi tentang keputusan penggabungan bisnis ini mengatakan:

“Kami menyadari monetisasi layanan perjodohan membutuhkan kehadiran [bisnis] offline yang kuat. Kami pernah bermitra dengan Lunch Actually dan hubungan ini berlanjut dari situ. Lunch Actually telah melakukan hal ini selama 13 tahun. Pengalaman mereka dengan [kehadiran] offline / model hibrida, pengalaman penjualan, ambisi regional, dan yang terutama fokus yang sama soal hubungan [perjodohan] serius [mendorong kami merealisasikan hal ini].”

Secara statistik, Razi menyebutkan pencapaian Setipe adalah memiliki lebih dari 800 ribu pengguna dan lebih dari 200 undangan pernikahan (yang terhubung melalui Setipe). Dengan bergabungnya Setipe, secara total Lunch Actually Group memiliki 110 orang pegawai.

Di Indonesia, bisa dibilang pesaing Lunch Actually Group adalah Tinder dan Paktor. Yang terakhir, juga berasal dari Singapura, memiliki kehadiran yang serius di Indonesia.

Bergabungnya dua layanan ini diharapkan menjadi milestone bagi pertumbuhan grup. Setipe akan menjadi bagian produk Lunch Actually Group. Produk lainnya termasuk esync, LunchClick, Lunch Actually Academy, dan Peerage. Disebutkan Lunch Actually telah memiliki 2 juta pengguna di Indonesia.

Co-Founder dan CEO Lunch Actually Group Violet Lim dalam pernyataannya menyebutkan, “Kami terkesan dengan apa yang telah dilakukan Razi dan timnya dalam memperbesar Setipe, dan kami sangat antusias untuk memiliki mereka dalam ekspansi ini di Indonesia.”

“Dengan pengetahuan kuat akan budaya kencan lokal yang dimiliki Setipe dan telah menjadi merek ternama yang pertama kali muncul di dalam benak para single di Indonesia, ditambah dengan pengalaman 13 tahun dari Lunch Actually Group yang telah terbukti, kami percaya dengan bergabung bersama, kami akan mengembangkan bisnis ke tingkat yang lebih tinggi di Indonesia,” ujarnya.

Pasca penggabungan bisnis, Razi menyebutkan:

“Beberapa perubahan telah direncanakan untuk mengintegrasikan layanan Setipe ke dalam ekosistem Lunch Actually. Kami juga akan memperkenalkan sejumlah produk baru dalam beberapa minggu atau bulan ke depan. Kami akan fokus soal pendapatan dan keuntungan.”

Application Information Will Show Up Here

Rencana Kios Digital M Cash Pasca Diakuisisi Kresna Graha

Beberapa hari yang lalu, Kresna Graha Investama dalam keterbukaan informasi mengumumkan aksi korporasi lewat akuisisi 17,6% saham perusahaan kios digital PT M Cash Integrasi (MCI) dengan nilai transaksi yang tidak disebutkan. Lewat aksi tersebut, MCI siap melancarkan sejumlah rencana ekspansif sepanjang tahun ini diantaranya memiliki 1.000 outlet kios digital dan melantai di bursa.

Sekadar informasi, MCI adalah perusahaan distribusi digital dengan produk utama kios yang didirikan sejak 2010. Kios digital yang kembangkan secara mandiri oleh MCI memungkinkan pengguna dapat bertransaksi produk digital mulai dari pulsa, tiket konser, token listrik, pembayaran tagihan.

Tak hanya itu, pengguna dapat membeli kartu SIM dari empat provider dan kartu e-money. Diklaim saat ini MCI sudah bermitra dengan lebih dari 200 diler.

Saat dihubungi DailySocial, CEO MCI Martin Suharlie mengatakan dengan resminya Kresna Graha masuk ke perusahaan diharapkan dapat memperlancar sejumlah rencana perusahaan yang akan direalisasikan pada tahun ini. Perusahaan menargetkan dapat menempatkan 1.000 outlet kios di seluruh Indonesia lewat kemitraan dengan perusahaan ritel modern.

Sementara ini kios digital MCI bisa ditemukan di beberapa gerai Fresh Market dan Ranch Market yang berlokasi di Jakarta dan Bekasi. Ke depannya, kios digital akan segera hadir di gerai Hero, Hypermart, beberapa merek ritel minimarket lokal di Bali, pinggiran Jakarta, dan lainnya.

“Penjualan produk jasa adalah tulang punggung bisnis MCI, kini kami menambah fitur yang lebih bersifat fisik seperti menyediakan starter pack kartu SIM. Itu demand-nya tinggi karena dibutuhkan oleh para turis. Kami juga akan terus mengembangkan teknologi dan fitur lainnya pasca masuknya Kresna Graha,” kata Martin.

Lewat ekspansi ini, perusahaan berharap dapat mengantongi pendapatan dengan kisaran Rp600 miliar sampai Rp700 miliar dari posisi di 2016 sebesar Rp490 miliar. Dengan perolehan pendapatan tersebut, dapat mempermulus jalan MCI yang ingin melantai di bursa pada Oktober 2017 mendatang. Hanya saja, besaran saham yang akan dilepas masih ditutup rapat-rapat oleh perusahaan.

“Ya kami menargetkan pada Oktober ini sudah IPO.”

Martin berharap, dari seluruh rencana ini dapat menggiring perusahaan jadi pemain utama di bidang distribusi digital di Indonesia.

Alasan Kresna Graha berinvestasi di MCI

Managing Director Kresna Graha Investama Suryandy Jahja mengungkapkan alasan pihaknya mengakuisisi MCI karena perusahaan ingin melengkapi saluran distribusi. Sehingga dapat mempertajam penetrasi pasar dari produk digital yang sudah dimiliki Kresna Graha, mulai dari saluran online hingga offline, modern hingga tradisional, dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Bertambahnya MCI dalam portofoli perusahaan, memungkinkan terjadinya kolaborasi baru yang dihadirkan. Beberapa produk yang tersedia dalam Kresna di antaranya Mandiri e-cash (termasuk Line Pay e-cash) dan Padipay sebagai alternatif pembayaran non tunai; Padiciti untuk pemesanan online kereta, pesawat, dan hotel; DominoPOS untuk direktori mal dan promosinya; serta Kesupermarket untuk flash grocery shopping.

“Dengan ini kami percaya MCI akan membawa nilai komersial yang sangat besar dan menghasilkan dampak finansial yang instan bagi kinerja bisnis Kresna,” kata Jahja.

Keputusan Kresna untuk membeli saham MCI juga didukung laporan dari Wellesley, BBC Research berbasis di Massachusetts. Dalam laporan tersebut menyebutkan prediksi pasar dunia untuk teknologi swalayan (self-service) akan mencapai US$59,2 juta pada 2017 dan CAGR tumbuh 8,9% pada lima tahun mendatang jadi US$83,5 miliar di 2021.

Untuk pasar kios, yang merupakan segmen dengan pertumbuhan tertinggi, diperkirakan akan mencapai US$9 miliar pada tahun ini dan tumbuh jadi US$17,2 miliar di 2021.

Laporan lainnya dari Harvard Business Review mengungkapkan bahwa kios-kios swalayan dari toko ritel modern telah membuat kocek para konsumen jauh lebih banyak.

“Kami percaya Indonesia akan mengikuti tren ini juga dan kami ingin menjadi yang terdepan di dalam transformasi gaya hidup digital tersebut,” pungkas Jahja.

LeEco Batal Akuisisi Vizio

Kejutan terjadi ketika LeEco mengumumkan kesepakatan untuk mengakuisisi Vizio, produsen televisi ternama di Amerika Serikat dengan mahar sebesar $2 miliar. Namun sejak pengumuman itu, kesepakatan menghadapi hadangan terjal dari otoritas Tiongkok yang klimaksnya membuat LeEco menyerah dan memutuskan untuk tidak melanjutkan kesepakatan akuisisi.

Kendati demikian, kedua belah pihak sepakat untuk meneruskan kerjasama mereka dalam bentuk yang berbeda. Keduanya mengumumkan telah sepakat untuk meneruskan peluang eksplorasi untuk mengintegrasikan aplikasi dan konten Le di platform Vizio, mendongkrak platform EUI milik LeEco bersama dengan kanal distribusi dan konten eksklusif Vizio, serta untuk menghadirkan produk Vizio ke pasar Tiongkok.

Meski tak mengatakan soal isu finansial, namun beberapa waktu yang lalu beredar kabar kurang sedap yang mengatakan bahwa LeEco kehabisan dana akibat ekspansi yang berlebihan. Sejumlah pihak kemudian menghubung-hubungkan isu itu dengan melambatnya proses akusisi Vizio.

Terlepas dari isu dan alasan larangan dari otoritas Tiongkok, akuisisi Vizio oleh LeEco sejak awal terkesan kurang tepat dipandang dari persepektif strategi produk. Faktanya, LeEco dan Vizio adalah dua perusahaan yang saling bersaing. Seperti diketahui, LeEco merakit TV-nya sendiri menggunakan sistem operasi Android untuk pasar Tiongkok, dan sekarang melakukan ekspansi ke Amerika Serikat. Di sisi lain Vizio juga mengembangkan TV OS dan ekosistem sendiri yang sangat sulit diintegrasikan ke produk-produk LeEco.

Sementara dari sisi brand, Vizio sudah sejak lama dikenal baik oleh konsumen di Amerika Serikat. Sedangkan LeEco tampaknya sudah sangat nyaman dengan brand dan image yang mereka punyai saat ini. Mustahil LeEco mau begitu saja “menghapus” brand mereka kemudian meleburkan diri di brand Vizio demi ambisi memuluskan jalan di pasar Amerika Serikat. Kecuali jika LeEco berencana “membunuh” Vizio, sangat sulit bagi mereka untuk mendapatkan posisi di pasar yang baru mereka tapaki.

Sumber berita Techcrunch, DigitalTrends.

AMD Akuisisi Nitero Guna Berfokus pada Segmen Wireless VR

2017 sepertinya bakal jadi tahunnya wireless VR. Yang saya maksud di sini bukanlah Gear VR dan teman-teman sejawatnya, melainkan headset seperkasa Oculus Rift atau HTC Vive, namun yang tidak perlu tersambung ke PC menggunakan kabel, memungkinkan pengguna untuk lebih leluasa bergerak dalam sesi VR gaming.

Indikasi yang pertama adalah tether-less upgrade kit besutan TPCAST, kemudian ada pula Quark VR yang belum lama ini juga mendemonstrasikan prototipe perangkat serupa. Yang ketiga datang dari nama yang jauh lebih besar, yakni AMD.

Produsen prosesor dan kartu grafis tersebut baru saja mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi Nitero, sebuah perusahaan yang memang tengah mematangkan teknologi wireless virtual reality. Menurut AMD, akuisisi ini bertujuan untuk menyajikan solusi terhadap permasalahan yang kerap dijumpai pada VR headset beserta sederet kabelnya.

Teknologi yang dikembangkan Nitero mencakup sebuah transmitter 60 GHz yang sanggup meneruskan konten dari PC ke VR headset secara nirkabel dengan latency yang minimal, alias hampir tidak ada lag. Sejauh ini baik TPCAST, Quark VR maupun Nitero masih belum benar-benar bisa membuktikan seminim apa latency yang bisa dicapai teknologinya masing-masing.

Sampai titik ini belum ada kejelasan terkait produk seperti apa yang akan AMD luncurkan nanti. Apakah berupa aksesori untuk Rift dan Vive – seperti yang dilakukan TPCAST dan QuarkVR – atau malah sebuah headset baru hasil rancangannya sendiri?

Saya pribadi menduga AMD akan lebih memilih opsi yang pertama, spesifiknya untuk HTC Vive. Bukan karena Vive lebih superior atau apa, tapi karena Valve sendiri merupakan salah satu investor utama di Nitero, dan akuisisi ini dapat berujung pada kerja sama antara AMD dan Valve, yang notabene bertanggung jawab atas sistem tracking pada Vive.

Sumber: UploadVR dan AMD.

Wawancara dengan Group CEO C88 J.P. Ellis soal Akuisisi Otobro, Penambahan Pendanaan, dan Masuknya Marketplace ke Industri Fintech

Minggu lalu layanan fintech Asia Tenggara C88 mengumumkan akuisisi terhadap layanan pembantu pembelian kendaraan secara online Otobro. Dalam waktu yang berdekatan, platform marketplace Bukalapak menjalin kemitraan dengan MobilKamu untuk menjalankan bisnis serupa dalam bentuk BukaMobil. Bagaimana sebenarnya alasan di balik akuisisi ini dan bagaimana C88 melihat geliat marketplace besar memasuki layanan fintech?

DailySocial berbincang dengan Group CEO C88 J.P. Ellis tentang hal ini. Ellis menyebutkan alasan grup memasuki sektor finansial otomotif dan mengakuisisi Otobro berkaitan dengan kematangan produk yang dimiliki (KTA, kartu kredit, dan asuransi) dan usahanya memasuki pasar kredit rumah (KPR) dan kredit kendaraan (KKB).

“Hal ini penting karena menambah seleksi produk ritel, tapi juga membutuhkan langkah khusus karena membantu konsumen memiliki produk ketimbang sekedar menjual fitur finansial produk tersebut. Otobro adalah perusahaan unik yang melakukan hal menarik di ranah [bisnis] kendaraan. Kami yakin bahwa kami bisa membawa bisnis asuransi kendaraan dan KKB secara bersama dan memberikan layanan ke konsumen yang jauh lebih baik. Untungnya para pendiri Otobro memiliki visi yang sama.”

Ellis memastikan Otobro, yang didirikan oleh Patrick Williamson dan Mathew Jones, tetap berjalan seperti saat ini, terpisah dari situs CekAja atau Premiro, dua layanan C88 di Indonesia. Meskipun demikian, ada perubahan di sejumlah detil untuk memastikan layanan sesuai dengan pengetahuan C88 tentang pasar kendaraan.

“Penawaran akan dibungkus dalam penawaran produk finansial dan asuransi yang sudah kami miliki. Kami merasa hal ini akan menjadi pengalaman konsumen yang lebih baik dan cara baru untuk mencari kendaraan dan bagaimana mendanai dan memberikan asuransi terhadap produk tersebut.”

Perolehan pendanaan baru

Pasca perolehan pendanaan Seri B dari Telstra Ventures, C88 kembali mendapatkan pendanaan baru dari Kickstart Ventures dan Socrates Capital. Menurut Ellis, mereka senang memiliki tambahan investor yang mendukung perusahaan sebagai pemimpin pasar di Indonesia dan Filipina.

Ellis mengklaim C88 berbeda dari sekedar agregator atau pembuat lead penjualan (lead generator).

“Kami selalu fokus untuk menyediakan layanan transaksi secara penuh ke konsumen kami dan mitra institusi finansial, Hal ini sangat teknis dan membutuhkan banyak otomasi di belakang layar (back office automation). Apa yang ada di situs dan aplikasi, dalam pembentuk perbandingan, hanya 10% dari rangkaian produk kami.”

Soal transaksional, Ellis menganalogikannya dengan layanan OTA (travel online). Tanpa perlu mengunjungi pemilik layanan, transaksi bisa dilakukan di situs OTA. Kira-kira produk finansial C88 memiliki kebebasan dan kemudahan seperti itu.

Marketplace masuk ke fintech: kompetisi atau kolaborasi?

Tak cuma C88 yang bertransformasi sebagai layanan e-commerce finansial. Marketplace besar mulai membidik hal serupa. Menurut Ellis, hal ini bukan hal yang acak jika mengacu pada perkembangan startup di Tiongkok.

Mulai bermunculan hal yang disebut sebagai “perusahaan platform” di Indonesia. Bayangkan Go-Jek, Tokopedia, dan Bukalapak yang memiliki berbagai layanan di satu aplikasi.

Kebanyakan platform ini menambahkan layanan pembayaran dan finansial ke dalam ekosistemnya, hal ini juga terjadi di Tiongkok dan sudah diprediksi sebelumnya. Saat yang fokus mereka adalah soal pembayaran.

Ellis mengatakan, “C88 bukan perusahaan pembayaran, sehingga kami bisa bermitra dengan siapapun. Ketika sebuah platform menambah layanan finansial, seperti peminjaman, kami melihatnya sebagai sebuah peluang. Konsumen akan bertanya: apakah saya seharusnya mengambil pinjaman dari perusahaan [platform] ini, bank, atau perusahaan lain? C88 akan membantu [memberikan perbandingan].”

“Jika perusahaan platform menawarkan layanan finansial, maka mereka berkompetisi dengan bank dan layanan peminjam/multifinance yang lain, bukan dengan C88. Kami bisa bermitra dengan mereka, sebagaimana kami bermitra dengan lebih dari 100 institusi finansial di kawasan [Asia Tenggara]. Kasus kolaborasi dalam fintech lebih kuat ketimbang kompetisi,” pungkas Ellis.

Sasar Segmen Otomotif, Intel Akuisisi Mobileye Senilai $15,3 Miliar

Perkembangan teknologi kemudi otomatis memunculkan nama-nama yang tidak biasa di industri otomotif. Nama seperti Nvidia dan Qualcomm saat ini memegang peranan besar dalam perkembangan teknologi ini, dan Intel sebagai salah satu produsen prosesor terbesar tampaknya juga tidak ingin ketinggalan.

Mereka saat ini sedang dalam proses mengakuisisi Mobileye, perusahaan asal Israel yang bergerak di bidang pengembangan hardware dan software untuk teknologi driver assistance sekaligus kemudi otomatis. Didirikan pada tahun 1999, Mobileye saat ini memegang sekitar 70 persen pangsa pasar global untuk sistem driver assistance dan anti-collision.

Kalau itu masih belum bisa meyakinkan Anda akan reputasi Mobileye, perusahaan ini juga yang bertanggung jawab atas sistem Tesla Autopilot, meskipun pada akhirnya kontraknya diputus oleh Tesla akibat suatu insiden yang menewaskan seorang Tesla Model S.

Terlepas dari itu, Intel rela mengucurkan dana sebesar 15,3 miliar dolar untuk meminang Mobileye. Investasi besar-besaran ini pada dasarnya merupakan modal Intel untuk bersaing menghadapi Nvidia dan Qualcomm di ranah teknologi kemudi otomatis.

Kendati demikian, Mobileye masih akan beroperasi secara mandiri di markasnya di Israel. Sebaliknya, Intel malah akan ‘menyumbangkan’ divisi otomotif mereka ke Mobileye. Menurut CEO Intel, Brian Krzanich, akuisisi ini ibarat menggabungkan mata mobil tanpa sopir dengan otak yang mengendalikannya.

Kolaborasi kedua perusahaan sebenarnya sudah berjalan sejak BMW mengajak mereka dalam proyek pengujian 40 mobil tanpa sopir, yang rencananya akan dimulai pada babak kedua tahun ini. Mobileye juga dipastikan akan memakai chip buatan Intel untuk mobil kemudi otomatis penuhnya yang rencananya bakal dirilis di tahun 2021.

Sumber: Reuters dan Intel.

Merugi, Vertu Kembali Berpindah Tangan

Vertu dikenal sebagai brand smartphone yang kerap menggunakan material mewah berkelas seperti safir, emas, berlian dan titanium. Tapi pemilihan material tersebut menimbulkan konsekuensi, di mana konsumen harus membayarnya dengan harga yang sangat mahal. Dan tak jarang harganya di luar logika. Pun demikian, konsistensi Vertu bermain di kelas atas membuat posisi mereka di pasar terus menguat seiring waktu.

Sayangnya, bisnis barang mewah tak semengkilap berlian yang menghiasi ponsel-ponsel buatannya. Menurut Gizmochina, Vertu mengalami kerugian mencapai £53 juta dari total penjualan sebesar £110 million, per bulan April 2016. Kondisi ini ditengarai menjadi salah satu faktor yang membuat petinggi Godwin Holdings – perusahaan yang memiliki Vertu melepaskan perusahaannya ke Baferton Ltd, perusahaan asal Cyprus yang didanai oleh Hakan Uzan, konglomerat asal Turki. Untuk mendapatkan Vertu, Uzan disebut merogoh kocek sebesar £50 juta. Dengan demikian, Vertu resmi berpindah tangan untuk keempat kalinya sejak dilepas oleh Nokia pada tahun 2012 silam.

Belum jelas ke mana Baferton Ltd akan membawa nama besar Vertu. Menurut keterangan resmi yang dirilis disebutkan bahwa mereka berkeinginan terus bekerja dengan tim di belakang Vertu dan siap menyuntikkan dana untuk mengoptimalkan potensinya.

Akuisisi ini sendiri terbilang aneh dan penuh tanda tanya. Penyebab tak lain karena nama Hakan Uzan pernah terlibat perseteruan hukum dengan Motorola dan Nokia, perusahaan Finlandia yang menginisiasi Vertu untuk pertama kalinya di era 90-an silam.

Sumber berita Telegraph, Theverge dan gambar header YouTube.