Ayoconnect Umumkan Pendanaan Pra-Seri B Senilai 143 Miliar Rupiah

Startup pengembang platform fintech API, Ayoconnect, hari ini (01/9) mengumumkan telah menutup putaran pendanaan pra-seri B senilai $10 juta atau setara 143 miliar Rupiah. Kabar ini sekaligus mengonfirmasi informasi yang sebelumnya kami dapat, terkait penggalangan dana yang tengah dilakukan Ayoconnect pada awal Agustus kemarin.

Sejumlah investor bergabung dalam putaran ini, termasuk Mandiri Capital Indonesia, Patamar Capital, dan angel investor meliputi Ilham Akbar Habibie, Paul Bernard, Jeff Lin, dan beberapa lainnya. Selain itu turut bergabung juga investor sebelumnya meliputi BRI Ventures, AC Ventures, Kakaku, dan Finch Capital.

Disampaikan dana segar akan difokuskan untuk meningkatkan pertumbuhan perusahaan, perekrutan, dan pengembangan produk. Dengan investasi baru ini, secara total perusahaan berhasil mengumpulkan $15 juta dalam pendanaan. Lalu, menurut sumber yang kami dapat, estimasi valuasi perusahaan telah mencapai sekitar $34 juta.

“Ayoconnect kini menjadi satu dari sedikit perusahaan di Indonesia yang mendapat investasi dari dua bank terbesar di Indonesia, yaitu Bank Mandiri dan Bank BRI. Kehadiran mereka sebagai investor merupakan sokongan besar dalam upaya kami membangun lapisan infrastruktur yang memungkinkan interoperabilitas antara berbagai perusahaan Indonesia penyedia jasa keuangan, seperti institusi keuangan, fintech, dan startup,” ujar Co-Founder & CEO Ayoconnect Jakob Rost.

Ayoconnect didirikan sejak tahun 2016 oleh Jacob bersama dua rekannya Chiragh Kirpalani (Co-Founder dan COO) dan Adi Vora (Co-Founder dan CTO) dengan fokus membangun solusi berbasis API untuk pembayaran tagihan dan produk digital lainnya. Kini perusahaan menyediakan layanan API untuk berbagai kebutuhan, yang mereka sebut sebagai API Full Stack (meliputi: Financial APIs, Bill APIs, Open Finance APIs, dan Insights APIs).

Saat ini, Ayoconnect mengklaim telah memiliki lebih dari 100 klien API, sekaligus menghubungkan lebih dari 1000 perusahaan lewat jaringan API yang dimiliki.

Era baru fintech melalui open finance

Layanan fintech berbentuk API mulai berkembang dewasa ini, membentuk ekosistem open finance untuk sistem keuangan yang lebih mudah diakses. Selain Ayoconnect, ada beberapa pemain lain di Indonesia yang sajikan solusi serupa dengan fokus yang unik, mulai dari Brick, Brankas, Finantier, dan lain-lain.

Model ini memungkinkan pengembang aplikasi untuk menyisipkan berbagai kapabilitas teknologi finansial secara lebih efisien, alih-alih mengembangkan sendiri yang akan memakan waktu dan biaya besar, belum lagi harus memastikan sesuai standar regulator.

Potensi bisnis ini makin menarik diamati, terlebih Bank Indonesia telah meresmikan standar nasional Open API  beberapa waktu lalu. Adanya standardisasi Open API Pembayaran tersebut, menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, dapat menciptakan industri sistem pembayaran yang sehat, kompetitif, dan inovatif, sehingga dapat menyediakan layanan sistem pembayaran kepada masyarakat yang efisien, aman, dan andal.

Rancangan standar open API Bank Indonesia yang dirangkum Fintech Report 2020 / DSInnovate

Dengan solusi API, para fintech tersebut dapat menjangkau berbagai kalangan, mulai dari perusahaan digital, bahkan sampai perbankan.  Layanan Autobilling API dari Ayoconnect misalnya, telah digunakan Bank mandiri untuk mendorong kinerja kartu kredit mereka. Memungkinkan nasabah melakukan pembayaran berbagai transaksi tagihan secara otomatis di lebih dari 200 merchant dari 8 kategori produk.

“Visi Ayoconnect untuk mendemokratisasi open finance di Indonesia telah memantapkan kami untuk mengambil peran dalam investasi ini. Kepercayaan kami terhadap Ayoconnect juga terbentuk dari  pengalaman panjang dalam membangun API, kemampuan mereka dalam menjalin kerja sama dengan berbagai perusahaan terkemuka, serta upaya berkesinambungan mereka dalam memasuki segmen bisnis open banking,” ucap CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro.

ALAMI Reportedly Bags 252 Billion Rupiah Series B Funding Led by Quona Capital

ALAMI P2p lending startup is reportedly received $17.5 million (approximately 252 billion Rupiah) series B funding led by Quona Capital through the Accion Quona Inclusion fund.

According to DailySocial’s source, some Middle East venture capitalists and angel investors are participated in this round. It was also backed by East Ventures, AC Ventures, and K9 Industries.

We tried to contact ALAMI’s representative, however, they declined to comment on the matter.

Quona Capital is ALAMI’s existing investor of a $20 million funding round in equity and debt earlier this year. The round was led by AC Ventures and Golden Gate Ventures.

Quona has also led and been involved in several fundings for other local startups, including KoinWorks (2019, 2020), Julo (2019), Ula (2020, 2021), and BukuWarung (2020).

Developing digital bank

In a previous interview with DailySocial, ALAMI’s Co-Founder Dima Djani explained that the group is preparing to launch Bank Hijra to the public. Currently, the waiting list still open for interested prospective customers.

ALAMI’s existing customers will be the main target of Bank Hijra’s early market acquisition. They can make savings easier and the integration process more seamless. The yield offered is claimed to be higher for the average fixed income instruments such as sharia deposits, state sukuk, and sharia P2P.

In terms of SME banking segment, Bank Hijra and ALAMI will synergize business, from financing channeling and cross selling other Islamic financial products. The synergy is in compliance with OJK’s regulation and guidance. Therefore, Bank Hijra is not just ALAMI’s institutional lender for SME.

Statistically, based on OJK’s data, the market share of Islamic banking in Indonesia is still around 5.99%. Many believe that the large Muslim population can offer big potential in the future.

Sharia banking market share in Indonesia / OJK

Performance-wise, ALAMI users grew by 1,000% year-on-year (yoy) with total distribution of Rp200 billion in the first quarter of 2021. The distribution rate is claimed to be positive with the ratio of loss or default at 0%.

The company has collaborated with eFishery and BukaPengadaan to widen the range of its credit distribution. In addition to individual lenders, ALAMI is supported by a range of institutional lenders, such as Bank Syariah Indonesia (BSI), BPR Syariah, and seven other BPRs.

OJK noted that as of April 2021, out of 381 licensed and registered fintechs in Indonesia, only 17 of those adopted the sharia economic system. Ten fintechs are engaged in p2p lending and the rest are in digital financial innovation (IKD).

With the current limited number, the opportunity is quite large for sharia-based fintech to grow and develop. Supported by the rapid development of fintech, the Islamic economic system could be the trend in Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

ALAMI Dikabarkan Terima Pendanaan Seri B 252 Miliar Rupiah Dipimpin Quona Capital

Startup p2p lending ALAMI dikabarkan memperoleh pendanaan seri B senilai $17,5 juta (sekitar 252 miliar Rupiah) yang dipimpin Quona Capital melalui fund Accion Quona Inclusion.

Menurut informasi yang diperoleh DailySocial, sejumlah pemodal ventura dan angel investors asal Timur Tengah turut berpartisipasi dalam putaran tersebut. Putaran ini turut didukung East Ventures, AC Ventures, dan K9 Industries.

Saat dihubungi, perwakilan ALAMI menolak untuk berkomentar soal kabar tersebut.

Quona Capital adalah investor existing di ALAMI dalam putaran pendanaan senilai $20 juta dalam bentuk ekuitas dan debt pada awal tahun ini. Putaran tersebut dipimpin oleh AC Ventures dan Golden Gate Ventures.

Quona juga sempat memimpin dan terlibat di beberapa pendanaan ke startup lokal lain, termasuk KoinWorks (2019, 2020), Julo (2019), Ula (2020, 2021), dan BukuWarung (2020).

Siapkan bank digital

Sebelumnya, dalam wawancara bersama DailySocial, Co-Founder ALAMI Dima Djani menjelaskan ALAMI Group tengah mempersiapkan peluncuran Bank Hijra untuk publik. Saat ini masih membuka waiting list untuk calon nasabah yang berminat.

Nasabah existing ALAMI akan menjadi target utama akuisisi nasabah Bank Hijra pada tahap awal. Mereka dapat membuat tabungan dengan mudah dan proses integrasi yang lebih seamless. Imbal hasil yang ditawarkan diklaim lebih tinggi untuk rerata instrumen fixed income seperti deposito syariah, sukuk negara, dan P2P syariah.

Untuk segmen SME banking, Bank Hijra dan ALAMI akan bersinergi bisnis, dimulai dari financing channeling dan cross selling produk-produk keuangan syariah lainnya. Sinergi tersebut sesuai dengan arahan panduan yang disampaikan OJK. Jadi Bank Hijra tidak hanya sekadar lender institusi untuk ALAMI dalam penyaluran pinjaman ke UKM.

Secara statistik, menurut data OJK, market share perbankan syariah di Indonesia masih berkisar 5,99%. Banyak pihak meyakini bahwa populasi muslim yang besar dapat menghadirkan potensi di kemudian hari.

Market share perbankan syariah di Indonesia / OJK

Secara kinerja, pengguna ALAMI pertumbuhan pengguna ALAMI naik 1.000% secara year-on-year (yoy) dan total penyaluran sebesar Rp200 miliar pada kuartal I 2021. Kualitas penyaluran diklaim baik dengan rasio macet atau gagal bayar masih berada di angka 0%.

Perusahaan telah berkolaborasi dengan eFishery dan BukaPengadaan untuk memperlebar jangkauan penyaluran kredit. Selain pendana individu, ALAMI didukung jajaran pendana institusi, seperti Bank Syariah Indonesia (BSI), BPR Syariah, dan tujuh BPR lainnya.

OJK mencatat per April 2021, dari 381 fintech berizin dan terdaftar di Indonesia, hanya 17 di antaranya yang mengadopsi sistem ekonomi syariah. 10 fintech bergerak di ranah p2p lending dan sisanya bergerak di inovasi keuangan digital (IKD).

Meski jumlahnya masih terbatas, masih ada ruang yang lebar untuk fintech berbasis syariah untuk tumbuh dan berkembang. Didukung dengan perkembangan fintech yang pesat, sistem perekonomian syariah bisa lebih populer di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Kiprah Nayoko Wicaksono: Mengurusi Algoritma dan Menjadi “Angel Investor”

Cukup lama malang melintang di industri teknologi informasi Indonesia, Nayoko Wicaksono kini makin asyik dengan peranan sebagai angel investor dan advisor di sejumlah startup. Ia juga masih sibuk mengembangkan platform pembelajaran online Algoritma yang fokus mencetak lebih banyak talenta data scientist di Indonesia.

Kepada DailySocial, Nayoko membagikan suka duka pengalaman sebagai angel investor dan membesarkan startup.

Advisor dan angel investor

Nayoko Wicaksono saat memberikan pelatihan / Algoritma

Nayoko memulai perkenalan dengan industri startup teknologi Indonesia dengan menjadi bagian ekspansi Rocket Internet. Ketika bekerja di Emtek, dia menjadi jembatan perusahaan dengan salah satu portofolio digital terbesarnya, Bukalapak. Sisanya telah menjadi sejarah.

Berbekal pengalamannya menjadi founder startup dan mentor di sejumlah program inkubator dan akselerator, Nayoko mulai merambah sebagai angel investor. Meskipun mengklaim masih di skala kecil, ia ingin terlibat lebih dalam membantu startup baru mengembangkan bisnis mereka.

“Dengan memanfaatan disposible income, saya kemudian mulai berinvestasi kepada startup yang saya percaya. Dalam hal ini saya tertarik untuk berinvestasi setelah melihat passion dan keyakinan pendiri startup tersebut,” kata Nayoko.

Belajar dari pengalaman mendirikan startup sendiri, Nayoko melihat chemistry yang tercipta antara founder dan investor menjadi krusial saat melakukan penggalangan dana. Investor perlu diyakinkan oleh pendiri startup bahwa mereka memiliki visi dan misi yang kuat dalam membangun startup mereka. Beberapa startup yang menjadi portofolionya adalah Ajaib, ZIPMEX dan KitaLulus.

Tentu saja tidak semuanya berlangsung mulus. Nayoko menyebutkan ada startup di dalam portofolionya yang tidak sukses bertahan lama.

Kegiatan lain Nayoko adalah menjadi advisor. Dari jajaran portofolionya, Nayoko mengklaim terlibat secara langsung dan siap membantu hal-hal yang dibutuhkan para pendiri. Selain sebagai advisor independen, Nayoko juga menjadi Venture Partner Artesian, sebuah firma venture capital as a service.

Dilakukan secara paruh waktu, Nayoko membantu Artesian mengelola investasi korporasi yang ingin berinvestasi ke startup. Salah satunya adalah Amatil X milik Coca Cola. Startup yang didanai Amatil X termasuk Wahyoo dan Kargo.

“Bantuan yang saya berikan bukan hanya nasihat, namun juga networking hingga bantuan lainnya yang dibutuhkan oleh startup–memanfaatkan jaringan dan pengalaman saya sebagai entrepreneur,” kata Nayoko.

Berkembang bersama Algoritma

Algoritma data career Day / Algoritma

Didirikan bersama Co-Founder Samuel Chan, sejak tahun 2017 lalu Algoritma memiliki misi mencetak tenaga kerja data science berkualitas di Indonesia. Meskipun di awal peluncuran proses pelatihan kebanyakan dilakukan secara offline, saat pandemi kondisinya mulai beralih sepenuhnya secara online.

Pandemi telah mendorong lebih banyak masyarakat umum mempelajari dan mengikuti program yang ditawarkan Algoritma. Tercatat sejak tahun 2018  Algoritma telah memiliki sekitar 16 ribu siswa di seluruh Indonesia yang telah lulus mengikuti program pelatihan dengan kurun waktu 3 sampai 4 bulan.

“Algoritma berhasil mengembalikan dana investasi dari investor yang misi dan visinya kurang aligned. Kita melihat apakah investor tersebut membawa value atau tidak, jika tidak kami memutuskan untuk mengembalikan uang mereka dan mengembalikan kontrol perusahaan. Dengan demikian tim Algoritma bisa lebih fokus memikirkan sustainability,” kata Nayoko.

Algoritma diklaim memiliki tingkat retention yang baik. Untuk memudahkan siswa bergabung bersama Algoritma namun kesulitan untuk melakukan pembayaran, dihadirkan juga program beasiswa untuk 40 siswa setiap tahunnya.

“Kami mendapat feedback dari calon siswa yang ingin begabung dengan Algoritma namun kekurangan biaya karena pandemi tahun 2020 lalu. Algoritma sendiri menyiapkan dana sekitar Rp8 miliar untuk program beasiswa ini untuk 4 tahun ke depan,” kata Nayoko.

Algoritma juga telah menjalin kemitraan dengan berbagai universitas di Indonesia untuk memberikan kurikulum dan peluang beasiswa kepada mereka yang ingin memahami lebih lanjut tentang data science. Saat ini perusahaan telah memperluas kehadiran mereka di Singapura.

Mereka juga mengembangkan layanan dengan memberikan kesempatan kepada  lulusan terbaik bekerja sebagai data scientist di Jepang, Inggris Raya, dan  Amerika Serikat melalui sister company mereka, Supertype. Kegiatan ini telah berlangsung selama setahun terakhir.

“Harapannya kita bisa memberikan impact agar skill bisa didemokratisasi, terutama bagi mereka yang terkena dampak automasi agar bisa memiliki skill baru yang bermanfaat ke depannya,” tutup Nayoko.

East Ventures Pimpin Pendanaan Tahap Awal Startup D2C “mohjo”

East Ventures memimpin pendanaan tahap awal dengan nilai dirahasiakan untuk startup D2C (direct-to-consumer) asal Singapura, mohjo. iSeed Southeast Asia, K3 Ventures, dan sejumlah angel investor ternama turut berpartisipasi dalam putaran tersebut. Mohjo akan memanfaatkan dana segar ini untuk membangun kapasitas perusahaan, meluncurkan lebih banyak produk, memperkuat tim, dan meningkatkan penetrasi pasar.

mohjo didirikan pada Januari 2021 oleh Juhi Dang. Startup ini fokus menyajikan produk makanan dan minuman nabati yang 100% bersih. Perusahaan meluncurkan lini produk pertamanya, yaitu susu almond dan minuman berbahan dasar susu almond di Singapura. Produk ini dibuat dengan bahan-bahan berkualitas tinggi dan bebas dari bahan penstabil, pengental, pemanis buatan, dan bahan kimia lainnya.

Dang menjelaskan, sebagian besar produk alternatif susu yang tersedia secara komersial itu rendah nutrisi dan mengandung zat penstabil. Produk tersebut mengandung 95%-98% air, dicampur dengan zat aditif, dan rasanya kurang enak atau tidak berasa sama sekali.

“mohjo dibuat berdasarkan pengalaman saya sebagai konsumen produk alternatif susu. Sejak kecil, saya minum susu segar, tapi ketika saya mengetahui bahwa saya tidak toleran laktosa, saya tidak dapat menemukan susu nabati yang rasanya enak. Ketika saya pindah ke Singapura, saya pikir saya akan menemukan alternatif susu yang enak dan bersih di sini, tapi ternyata tidak. Yang bisa saya temukan hanyalah cairan yang tampak seperti susu tanpa nutrisi atau rasa,” ucapnya, Senin (16/8).

Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, seiring dengan pertumbuhan populasi intoleransi laktosa di seluruh dunia, pihaknya melihat peluang besar dari alternatif dari nabati (plant-based alternatives). Pasar ini mendapat momentum dan mengalami peningkatan permintaan karena orang mulai mengevaluasi kembali pola makan mereka.

“Sebagai perusahaan D2C, mohjo didirikan untuk melayani konsumen yang mencari makanan dan minuman yang lebih sehat namun lezat. Kami percaya bahwa mohjo dapat tumbuh dengan membawa inovasi ke pasar,” terangnya.

mohjo adalah digital native brand yang memiliki tim dengan pengalaman yang luas dalam inovasi, branding dan strategy. Dang memiliki latar belakang lebih dari 13 tahun di inovasi produk konsumen langsung. Selain itu, para profesional di bidang branding dan pemasaran digital menduduki kepemimpinan senior perusahaan.

mohjo sedang memperluas dan memperkuat operasi, penjualan dan pemasaran di Singapura. “Kami mencari orang-orang yang bersemangat dan memiliki ambisi serta percaya bahwa kita dapat mengubah planet ini dengan pilihan yang kita buat saat makan. mohjo sedang membangun tempat kerja yang inklusif di mana bisnis dilakukan dengan cara yang benar,” tambahnya.

Alternatif susu memiliki market size secara global senilai sekitar $23 miliar, dan diperkirakan CAGR akan tumbuh sebesar sekitar 12,5% di tahun 2021 hingga 2028. Wilayah Asia Pasifik mendominasi pasar ini dengan market share sebesar 44%, menurut Grand View Research.

Pasar produk alternatif susu sedang booming karena meningkatnya jumlah orang dengan intoleransi laktosa dan flexitarian, kesadaran masyarakat untuk fokus pada pilihan yang lebih sehat, serta perhatian terhadap etika dan lingkungan dalam mengonsumsi produk susu.

Alasan investor tertarik startup D2C

Mohjo menambah jajaran startup D2C yang mengantongi pendanaan dari investor lokal. Dari pantauan DailySocial, modal ventura lokal lain juga mulai mengalokasikan dana untuk startup nondigital. Beberapa di antaranya Alpha JWC Ventures, Intudo Ventures, Teja Ventures, Salt Ventures, dan lain-lain. Startup kecantikan merupakan salah satu vertikal D2C yang kian hari diminati investor.

Head of Investor Relations & Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li mengatakan, ada sejumlah faktor mengapa pelaku startup kecantikan menarik bagi VC. Pertama, brand lokal masa kini menggunakan model D2C untuk membidik segmen digital native.

Kedua, konsumen produk kecantikan cenderung memiliki user stickiness dan repeat purchase yang tinggi. Artinya, bisnis ini dapat mengantongi pertumbuhan bisnis dengan cepat. Tentu bagi VC, masuk ke vertikal ini dapat menjadi sebuah diferensiasi bisnis. Akan tetapi, investasi tetap memerlukan scalibility.

Sementara Senior Investment Analyst Kolibra Capital William Auwines menyoroti perspektif lain. Banyak brand kecantikan lokal mengembangkan strategi marketing yang berbeda untuk membangun brand equity-nya. Selain itu, yang cukup menonjol adalah produk kecantikan terbilang memiliki biaya produksi rendah sehingga keputusan untuk membeli produk menjadi lebih mudah dan nature bisnisnya akan selalu membutuhkan constant repurchasing.

Ia menilai kehadiran e-commerce seperti Tokopedia, Shopee, dan Lazada menjadi game changer bagi industri ini karena mereka mampu mengantongi consumer purchasing journey. Alhasil, tak hanya pelaku industri kecantikan saja yang meningkat, tetapi juga bisnis pendukungnya, seperti sales, marketing, dan logistik untuk segmen SME. Dari paparan ini, industri kecantikan menjadi vertikal yang menarik bagi VC karena berhasil menunjukkan pertumbuhan yang mengesankan dalam beberapa tahun terakhir.

“Sebagai VC, biasanya kami mengabaikan perusahaan tradisional, seperti fashion dan retail. Bagi kami, ada banyak perusahaan teknologi baru yang tumbuh eksponensial dengan menjaga biaya tetap rendah, menjangkau pasar lewat pemasaran online, dan meningkatkan layanan logistiknya untuk memperoleh keuntungan. Faktor ini membuat valuasinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan tradisional,” paparnya.

Payment Startup Durianpay Secures 28 Billion Rupiah Funding Led by Surge

Payment solutions startup Durianpay announced $2 million (over 28 billion Rupiah) funding led by Surge from Sequoia Capital India. Also participated in this round AC Ventures, Kenangan Fund, and a series of angel investors. They are including Ankiti Bose (Zilingo), Ankit Jain, Harshet Lunani (Qoala), Joe Wadakethalakal (ex-Brilio), Reynold Wijaya (Modalku), Sai Srinivas (MPL), and Tanay Tayal (Moonfrog).

Durianpay is to channel the fresh funds to develop more solutions and deepen its business penetration to reach more users.

Durianpay is a one-stop payment provider that enables businesses to grow and thrive through a one-stop solution for seamless checkout, APIs and modern dashboards that are easy to integrate. This startup was founded by Antara Sara Mathai, Kumar Puspesh, and Natasha Ardiani in September 2020 in Jakarta.

The three have deep backgrounds in the fintech industry. Mathai used to lead the product team at Citrus Pay and OnlinePajak. While Puspesh was previously the founder of Moonfrog, an India based game development company. Also, Natasha has experience leading ShopeePay, Shopee PayLater, and OVO’s loan and collection business.

“Durianpay offers a one-stop solution for businesses in the region to better manage its payment processes. We built our payment products and solutions with both business and developer comprehension, with a vision to modernize payments by providing a secure and customizable next-generation product experience,” Durianpay’s Co-Founder Natasha Ardiani said in an official statement, Thursday (12/8).

The increasing e-commerce transaction

This service was initiated as the recent significant increase of e-commerce transactions in the Southeast Asia region. However, it is not followed by the development of payment solutions, especially in Indonesia, which is still fragmented, manual, and yet to be optimal.

It causes a high drop off rate at checkout, verification and reconciliation processes for merchants that are still using manual system, prone to errors, and fraud.

The founders saw a significant opportunity for businesses of all sizes to benefit from an easy-to-operate, fully integrated and whole payment system. Durianpay as a payment aggregator works with several payment gateways and fund transfer providers to build solutions for various types of businesses.

For example, automatic reconciliation features, instant payment links, promos, and other features that aim to optimize transactions between sellers and buyers. Through a single integration, Durianpay offers businesses and developers access to a wider range of payment options, a codeless interface, therefore, businesses can create workflows that deploy automatic payment infrastructure.

Checkouts and payments are now fully customizable directly by merchants. Using this solution, businesses have the ability to change its payment infrastructure without external intervention. This includes the ability to connect third-party solutions for fraud detection, KYC, CRM, business intelligence directly into the system without additional burden on product, finance or tech teams.

Since the launching, Durianpay has been adopted by more than 15 businesses in Indonesia by leveraging innovations such as split payments and multi-branch settlement. Kopi Kenangan, Alta School, and Chilibeli are some companies that using Durianpay solution.

Durianpay is part of Surge’s fifth cohort, consisting of 23 companies with developed state-of-the-art digital solutions that help companies and individuals in the Southeast Asia region. The company has headquarters in Singapore and Indonesia.

In the cohort, apart from Durianpay, participated also two other local companies. Those are Rara Delivery (revolutionary instant delivery for e-commerce brands) and Bukugaji/Vara (easy staff management platform for MSMEs in Southeast Asia).

Digital payment potential

One of the factors that forces businesses to adopt a system similar to Durianpay is the high adoption of digital payment services in the community. It is mostly to fulfill the daily needs, not a few people, especially in urban areas, are using digital wallets through their smart phones.

Based on data, the adoption of electronic applications in Indonesia also continues to increase from year to year – both in terms of adopters and the value of the transactions generated.

The increasing adoption of digital payments in Indonesia / Source: The Asian Banker

In terms of this potential, the fintech payment platform also continues to sharpen its products. Aside from Durianpay, other payment provider platforms have also been available in Indonesia. From Midtrans, which is now listed unde Gojek’s financial group, also Xendit, Doku, Xfers (Fazz Financial Group), Faspay, and others.

Midtrans has recently introduced a Payment Link product to accommodate social commerce players to process digital payments by sharing a special link. Unlike the previous models which had to integrate APIs, users simply created a unique link to accommodate each payment.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup Pembayaran Durianpay Kantongi Dana 28 Miliar Rupiah Dipimpin Surge

Startup solusi pembayaran Durianpay mengumumkan pendanaan sebesar $2 juta (lebih dari 28 miliar Rupiah) dipimpin oleh Surge dari Sequoia Capital India. Turut andil dalam putaran tersebut AC Ventures, Kenangan Fund, serta angel investor terkemuka lainnya. Jajaran angel investor tersebut, di antaranya Ankiti Bose (Zilingo), Ankit Jain, Harshet Lunani (Qoala), Joe Wadakethalakal (ex-Brilio), Reynold Wijaya (Modalku), Sai Srinivas (MPL), dan Tanay Tayal (Moonfrog).

Dana segar akan dimanfaatkan Durianpay untuk mengembangkan lebih banyak solusi dan perdalam penetrasi bisnisnya agar diterima lebih banyak pengguna.

Durianpay adalah penyedia pembayaran menyeluruh yang memungkinkan berbagai usaha untuk tumbuh dan berkembang melalui solusi satu atap untuk proses checkout tanpa kendala, API, dan dasbor modern yang mudah terintegrasi. Startup ini didirikan oleh Antara Sara Mathai, Kumar Puspesh, dan Natasha Ardiani pada September 2020 di Jakarta.

Latar belakang ketiganya sudah lama berkecimpung di industri fintech. Mathai pernah memimpin tim produk di Citrus Pay dan OnlinePajak. Sementara Puspesh sebelumnya adalah pendiri Moonfrog, salah satu perusahaan pengembang game dari India. Serta, Natasha yang pernah memimpin ShopeePay, Shopee PayLater, dan bisnis pinjaman dan penagihan di OVO.

“Durianpay menawarkan solusi satu atap bagi beragam jenis usaha di kawasan untuk mengelola proses pembayaran mereka secara lebih baik. Kami membangun produk dan solusi pembayaran kami dengan mempertimbangkan aspek bisnis dan pengembang, dengan visi untuk memodernisasi pembayaran dengan menyediakan pengalaman produk generasi terbaru yang aman dan mudah disesuaikan,” terang Co-Founder Durianpay Natasha Ardiani dalam keterangan resmi, Kamis (12/8).

Ditengarai peningkatan transaksi e-commerce

Layanan tersebut juga hadir karena di regional Asia Tenggara telah terjadi peningkatan volume transaksi e-commerce yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Akan tetapi peningkatan tersebut tidak dibarengi dengan perkembangan solusi pembayaran khususnya di Indonesia yang masih terfragmentasi, manual, dan belum optimal.

Hal inilah yang menyebabkan tingkat drop off yang tinggi pada saat checkout pembayaran, proses verifikasi dan rekonsiliasi bagi merchant yang masih manual, rawannya kesalahan, serta penipuan.

Para founder melihat peluang yang signifikan untuk semua usaha dari berbagai skala mendapatkan keuntungan dari sistem pembayaran yang mudah dioperasikan, utuh, dan terintegrasi secara penuh. Durianpay sebagai agregator pembayaran bekerja sama dengan beberapa payment gateway dan penyelenggara transfer dana untuk membangun solusi-solusi yang dibutuhkan beragam jenis usaha.

Misalnya, fitur rekonsiliasi otomatis, link pembayaran instan, promo, dan fitur lainnya yang bertujuan untuk mengoptimalkan transaksi antara penjual dan pembeli. Melalui integrasi tunggal, Durianpay menawarkan bisnis dan developers akses ke pilihan pembayaran yang lebih luas, interface tanpa kode sehingga bisnis dapat membuat alur kerja yang menempatkan infrastruktur pembayaran secara otomatis.

Checkout dan pembayaran kini sepenuhnya dapat disesuaikan secara langsung oleh merchant. Dengan solusi ini, berbagai bisnis memiliki kemampuan untuk mengubah infrastruktur pembayaran mereka tanpa memerlukan intervensi dari pihak eksternal. Hal ini mencakup kemampuan untuk menghubungkan solusi pihak ketiga untuk pendeteksian penipuan, KYC, CRM, business intelligence secara langsung ke dalam sistem tanpa menimbulkan beban tambahan pada tim produk, keuangan, atau teknologi.

Sejak diluncurkan, Durianpay telah diadopsi oleh lebih dari 15 usaha di Indonesia dengan memanfaatkan inovasi seperti pembayaran terpisah dan penyelesaian multi-cabang. Kopi Kenangan, Alta School, dan Chilibeli adalah sejumlah pengguna solusi Durianpay.

Durianpay termasuk bagian dari kohort kelima Surge, yang terdiri dari 23 perusahaan yang telah mengembangkan solusi digital terkini yang membantu perusahaan dan individu di kawasan Asia Tenggara. Perusahaan memiliki kantor pusat di Singapura dan Indonesia.

Dalam kohort tersebut, selain Durianpay, terdapat dua perusahaan lokal lainnya yang lolos sebagai peserta. Mereka adalah Rara Delivery (pengiriman instan revolusioner untuk brand e-commerce) dan Bukugaji/Vara (platform manajemen staf yang mudah untuk UMKM di Asia Tenggara).

Potensi pembayaran digital

Salah satu faktor yang memaksa bisnis harus mengadopsi sistem serupa Durianpay karena tingginya adopsi layanan pembayaran digital di masyarakat. Khususnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, saat ini tak sedikit masyarakat terutama di perkotaan yang lebih memanfaatkan dompet digital melalui ponsel pintarnya.

Menurut data, adopsi aplikasi yang elektronik di Indonesia juga terus meningkat dari tahun ke tahun — baik dari sisi pengadopsi maupun nilai transaksi yang dihasilkan.

Kenaikan adopsi pembayaran digital Indonesia / Sumber : The Asian Banker

Melihat potensi ini, platform fintech pembayaran juga terus menajamkan produk-produknya. Selain Durianpay, di Indonesia juga sudah terlebih dulu hadir platform penyedia pembayaran lainnya. Mulai dari Midtrans yang sudah menjadi keluarga grup finansial Gojek, kemudian ada Xendit, Doku, Xfers (Fazz Financial Group), Faspay, dan lain-lain.

Midtrans juga belum lama ini menghadirkan produk Payment Link untuk memudahkan pelaku social commerce memproses pembayaran digital dengan membagikan tautan khusus. Tidak seperti model sebelumnya yang harus mengintegrasikan API, pengguna cukup membuat sebuah tautan unik untuk mengakomodasi setiap pembayaran.

Aplikasi Pencatat Keuangan “Moni” Debut, Didukung Achmad Zaky sebagai Investor

Memanfaatkan sumber data yang relevan, platform pencatatan keuangan gaya hidup “Moni” resmi meluncur. Didirikan oleh Ahmad Faiz Nasshor, alumni University of Manchester sekaligus ex-Product Manager Bukalapak, beserta dengan beberapa rekan yang mempunyai pengalaman bekerja di perusahaan unicorn, aplikasi tersebut ingin memberikan kemudahan masyarakat untuk mengelola keuangan.

Versi awal Moni memanfaatkan data dari notifikasi aplikasi dan email — terkait transaksi keuangan. Misalnya pengguna melakukan transaksi di Tokopedia, beli makanan di GrabFood, dan transfer uang melalui Bank Jago, Moni akan mencatat semua transaksi tersebut secara otomatis. Saat ini Moni telah terintegrasi dengan lebih dari 15 produk aplikasi; di akhir tahun nanti targetnya bisa mencapai hingga minimal 25 produk.

“Berbagai macam sumber data yang tersedia diharapkan bisa membantu mencapai visi Moni untuk menjadikan pengelolaan keuangan pribadi menjadi hal yang mudah dan menyenangkan. Ke depannya, Moni bisa menjadi one-stop solution untuk segala topik terkait dengan pengelolaan keuangan pribadi dan pencatatan otomatis merupakan fondasi untuk mencapai impian tersebut,” kata Faiz.

Setelah menerima pendanaan dari angel investor Achmad Zaky, ke depannya Moni juga memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana tahap lanjutan. Saat ini perusahaan masih melakukan penjajakan dengan beberapa investor.

“Ada banyak sekali rencana yang ingin kami capai pada tahun ini, namun secara umum target kami adalah membuat proses pencatatan otomatis Moni menjadi lebih akurat dan mendukung lebih banyak produk,” kata Faiz.

Keunggulan fitur

Untuk saat ini Moni belum melancarkan strategi monetisasi dalam platform. Fokus mereka adalah membuat produk untuk menyelesaikan permasalahan yang dimiliki oleh 60 juta milenial dan middle-class di Indonesia dalam hal pengelolaan keuangan pribadi.

“Ke depannya perusahaan telah mengidentifikasi beberapa potential revenue stream. Salah satunya adalah adanya premium member yang akan memberikan benefit khusus untuk pengguna Moni dalam hal fitur ataupun program lainnya,” kata Faiz.

Berbeda dengan platform serupa lainya, Moni fokus pada pencatatan otomatis gratis. Sebagian besar aplikasi pencatatan keuangan yang tersedia saat ini tidak menyediakan pencatatan secara otomatis.

Moni juga mengedepankan cita rasa lokal. Dari aplikasi yang menyediakan pencatatan otomatis, hanya sedikit sekali integrasi dengan produk lokal. Padahal saat ini di Indonesia telah memiliki banyak sekali produk keuangan baru seperti GoPay dan OVO.

“Variasi sumber data yang digunakan akan membuat data yang dapat disediakan oleh Moni menjadi semakin lengkap. Ke depannya kami akan terus mencari sumber data baru yang digunakan untuk membuat pencatatan otomatis yang dimiliki oleh Moni menjadi semakin akurat,” kata Faiz.

Hingga saat ini sudah ada ribuan pengguna yang terdaftar di Moni dengan growth yang diklaim cukup tinggi. Setelah meluncurkan fitur integrasi dengan email pada akhir Mei 2021, jumlah pengguna baru yang terdaftar naik hingga 3x per bulannya dengan peningkatan jumlah transaksi yang tercatat lebih dari 10x. Hal ini karena dengan adanya integrasi email, Moni bisa mencatat transaksi otomatis dari lebih dari 15 produk yang biasa digunakan pengguna, mulai dari e-commerce hingga ojek online.

“Saat ini Moni baru tersedia dalam versi Android, namun kami sudah memiliki rencana untuk mengembangkan versi iOS. Moni saat ini sudah tersedia di Play Store dan bisa di-download secara bebas,” kata Faiz.

Pandemi dorong pertumbuhan transaksi online

Pandemi memiliki dampak yang signifikan terhadap bisnis Moni. Salah satunya adalah, semakin banyak orang yang mengalihkan transaksinya dari offline menjadi online, termasuk pergeseran mode pembayaran dari tunai menjadi QRIS yang semakin meningkat. Bank Indonesia mencatat tahun 2020 lalu, pertumbuhan penggunaannya semakin meningkat.

Pertumbuhan penggunaan QRIS tahun 2020 / Sumber : Bank Indonesia
Nilai Transaksi Uang Elektronik / Sumber : Katadata

Data dari BI juga mencatatkan kenaikan transaksi digital yang mencapai 201 triliun Rupiah di tahun 2020, naik 38,62% dari 192 triliun Rupiah pada tahun 2019. Perubahan behaviour dari masyarakat tersebut berdampak positif terhadap platform seperti Moni, karena pencatatan otomatis hanya bisa dilakukan dari transaksi yang dilakukan secara digital.

Tercatat juga dengan penggunaan uang elektronik yang jumlah transaksinya mencapai 24 triliun Rupiah selama Juni 2021, naik 60% dibandingkan periode yang sama di tahun 2020.

“Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa penggunaan Moni sebagai aplikasi pengelolaan keuangan pribadi saat ini menjadi semakin relevan seiring dengan meningkatnya kebutuhan dari masyarakat,” kata Faiz.

Kenaikan adopsi pembayaran digital Indonesia / Sumber : The Asian Banker

Meningkatnya transaksi pembayaran digital mencerminkan perkembangan literasi keuangan digital penduduk Indonesia. Hal ini juga menunjukkan meningkatnya penerimaan layanan fintech dan e-commerce di tanah air. BI memperkirakan bahwa penyerapan transaksi digital akan berlanjut dengan e-commerce dan pembayaran elektronik masing-masing tumbuh 33,2% dan 32,3% pada tahun 2021.

Application Information Will Show Up Here

Menyambut Generasi Baru “Angel Investor” di Indonesia, Siap dengan Risiko Tinggi Investasi Startup

Pentingnya peran serta angel investor terlibat dalam ekosistem startup, terutama saat tahap awal, tidaklah terbantahkan. Selain membantu startup itu sendiri, bagi investor berinvestasi ke startup tahap awal tergolong “masih murah”, sehingga “ramah budget”. Pesona ini belakangan menarik investor individu yang berlatar belakang sebagai founder startup.

Dalam laporan ANGIN bertajuk “Angel Investment Network 2020”, jumlah angel investor di Indonesia masuk dalam fase bertumbuh (growing), bersama dengan Filipina, Thailand, dan Vietnam. Adapun, Malaysia dan Singapura berada dalam fase dewasa (mature).

Impact Investment Lead ANGIN Benedikta Atika mengatakan, di segi kuantitas, kini angel investor terbagi menjadi dua kelompok: aspiring and new angel investors dan experienced angel investors. Untuk kelompok pertama, menurutnya, secara umum pihaknya melihat antusiasme dari individual untuk masuk sebagai angel investor pada tahap awal.

ANGIN sendiri turut merasakan jumlah angel investor yang bergabung ke dalam jaringannya meningkat hingga 40% dalam dua tahun terakhir. Tren tersebut diperkirakan akan semakin kuat ke depannya dengan lebih banyak mantan pengusaha (misalnya founder startup) yang lebih aktif dalam berinvestasi. Juga bergabung para profesional muda, diaspora, dan generasi berikutnya dari keluarga terkemuka.

“Sementara untuk experienced angel investors, terjadi pergeseran di mana angel investor yang lebih berpengalaman kini maju sebagai LP/menjadi fund manager. Maka mereka tidak lagi aktif lagi sebagai angel investor,” ucap Atika kepada DailySocial.

Dari sisi kualitas, dengan semakin banyak individu yang terjun, makin beragam pula bentuk dukungan yang lebih baik diberikan kepada para founder.

Saat ini ANGIN memiliki lebih dari 130 klien investor yang di dalamnya mencakup sekitar 80 angel investor individu dan sisanya investor institusi. Dari jumlah tersebut, ANGIN berhasil mengumpulkan lebih dari 200 investor tahap awal yang terlibat dalam pendanaan melalui jaringannya. Sejak ANGIN berdiri di 2014, secara akumulasi telah berinvestasi ke 60 startup.

Statistik ini menjadikan ANGIN organisasi jaringan angel investor terbesar di Indonesia. Di luar itu, terdapat ANGEL EQ (kini bernama ALTIRA) dan Angel.ID.

Dalam jajaran angel investor yang bergabung di ANGIN, terdapat investor institusi yang datang dari VC, keluarga konglomerat, korporat, impact investor, dan organisasi. Sementara dari kalangan individu, datang dari pengusaha, HNWI (High-Net-Worth-Individuals), dan figur publik. Sebesar 80% dari total klien ANGIN adalah orang Indonesia.

Di luar jaringan ANGIN, dalam catatan DailySocial, setidaknya dalam beberapa tahun belakangan mulai muncul nama-nama angel investor yang datang dari founder startup tersohor. Berikut daftarnya:

No

Nama Investor Posisi saat ini

Startup yang diinvestasikan

1 Arya Setiadharma CEO Prasetia Dwidharma Wallez (angel round, 11/2016)
2 Arip Tirta Co-Founder Urbanindo Bobobox, Evermos
3 Derianto Kusuma Co-Founder Traveloka AllSome Fulfillment (venture round, 8/19)
4 Reynold Wijaya Co-Founder Modalku Brick (tahap awal, 03/21)
5 Haryanto Tanjo Co-Founder MOKA Greenly (tahap awal, 7/21)
6 Edy Sulistyo Co-Founder Loket Undisclosed
7 Kevin Aluwi Co-Founder Gojek – LoveLocal, rebrand dari m.Paani (12/19)
8 Aldi Haryopratomo Co-Founder Mapan BukuWarung (seri A, 06/21)
9 Edward Tirtanata Co-Founder Kopi Kenangan – BukuKas,

– GudangAda,

– OtoKlix,

– Medigo (pra-Seri A, 12/20),

– Noice

*Pendanaan melalui  Kenangan Fund

10 Rohan Monga CEO Zenius – Zenius (Seri A, 10/19),

– Ula (tahap awal, 06/20)

12 Achmad Zaky Co-Founder Bukalapak – Eduka (tahap awal, 04/20),

– IDCloudHost (tahap awal, 03/21),

– Codemi (tahap awal, 10/20)

 

*Pendanaan melalui VC Init-6

13 Heriyadi Janwar EVP B2B Corp Solution Blibli – Printera,

– Job2Go,

– x0swab

14 Willy Arifin Co-Founder KoinWorks – BukuKas,

– Ula (tahap awal, 06/20),

– Dedoco (tahap awal, 07/21)

15 Christian Sutardi Co-Founder Fabelio BukuKas
16 James Pranoto Co-Founder Kopi Kenangan BukuKas
17 Filippo Lombardi Co-Founder Fabelio BukuKas
18 Sebastian Wijaya Serial investor x0swab
19 Alexander Rusli Serial investor Digiasia, dan 11 startup lainnya
20 Hendra Kwik Co-Founder Payfazz Payfazz, Shipper, Pahamify, Verihubs

 

*Pendanaan sebagai LP di Number

 

Dalam jaringan ANGIN

No

Nama investor

Posisi saat ini

  (Seasoned investor)
1 Shita Kamdani CEO Sintesa Group
2 Noni Purnomo Direktur Utama PT Blue Bird Tbk
3 Jefrey Joe Co-Founder & Managing Director Alpha JWC
4 Mariko Asmara CEO Ango Ventures
(New generation investor)
1 James Prananto Co-Founder Kopi Kenangan
2 Evelyn Grace Png Founder Sunflower Ventures Asia
3 Bianca Belnadia Lie Country Head Love, Bonito
Portofolio ANGIN Burgreens, Kitabisa.com, Siklus, Binar Academy, dan lainnya.

Fungsi dan peran angel investor

Belakangan jumlah VC yang turut berinvestasi dengan ticket size seperti angel investor mulai ramai, ada yang dimulai dari $25 ribu sampai $50 ribu. Kendati begitu, menurut Atika, mau bagaimanapun peran angel investor itu berbeda dengan VC dan tetap relevan dengan kebutuhan startup tahap awal.

Alasannya 1) angel investor memberikan dukungan di luar kapital, walaupun lebih banyak VC yang high-touch, tapi angel investor masih lebih fleksibel. Nilai tambah inilah yang membuat angel investor lebih unggul; 2) angel investor mempelopori dukungan kepada founder di sektor niche (misalnya less-tech enabled model, memiliki misi berdampak sosial) yang sering dianggap terlalu dini atau kurang menarik bagi investor pada umumnya.

Pernyataan Atika didukung penuh oleh Edy Sulistyo (CEO GoPlay) dan Heriyadi Janwar (EVP B2B Corp Solution Blibli). Keduanya adalah penggiat startup sekaligus angel investor.

Edy menyampaikan kehadiran sosok angel investor tidak hanya sebagai pendukung finansial perusahaan, tetapi juga sebagai validasi eksternal dan sosok pertama yang percaya dengan ide founder. “Hampir kebanyakan founder masih berhubungan baik dengan para angel investor yang juga menjadi mentor, tak hanya bagi perjalanan bisnis tetapi juga kehidupan mereka.”

Sepak terjang Edy sebagai angel investor dimulai sejak 2012, ia pun juga berkesempatan menjadi advisor untuk beberapa perusahaan dan startup yang didorong oleh motivasi besar untuk berbagi dan menumbuhkan ekosistem startup Indonesia.

Heriyadi menambahkan, mau bagaimanapun sosok angel investor itu tetap dibutuhkan karena kebanyakan startup tahap awal butuh dana tahap awalnya, untuk scale up dan validasi. Kondisi tersebut tidak berlaku apabila founder datang dari keluarga berada dan tidak memiliki limitasi kapital. “Ini sesuatu yang dibutuhkan, lagipula startup di Indonesia itu bukan tipe yang kalau butuh dana pinjam ke bank,” ucapnya.

Berinvestasi ke founder

Sumber: Depositphotos

Mengutip dari sebuah tulisan yang dibuat Arya Setiadharma di Asean Business, playbook angel investor di Asia Tenggara berbeda dengan negara maju yang ekosistemnya sudah jauh lebih matang dan peraturan yang mendukung (seperti aturan pasar tunggal di EU). Makanya, biasanya para angel investor di kawasan ini sudah akrab dengan kultur di pasar ASEAN. Hal tersebut juga berdampak pada lebih riskan risiko gagalnya.

Seringkali pula, angel investor menemukan diri mereka harus berurusan dengan founder baru yang belum memiliki pandangan 360 derajat terkait startup. Oleh karenanya, menurut Arya, ada tiga tanda bahaya yang harus segera diidentifikasi angel investor sebelum menimbulkan masalah di kemudian hari: kepemimpinan yang tidak stabil, tidak ada pengakuan persaingan, dan harapan yang tidak realistis.

“Jika Anda sebagai angel dapat meramalkan mimpi founder jadi kenyataan, patut bertaruh bahwa mereka dapat menggunakan kisah itu lagi nanti saat mengumpulkan lebih banyak modal dari investor lain. Ini mungkin terdengar terlalu sederhana, tetapi setidaknya dalam kasus saya, ini terbukti benar dalam banyak kesempatan,” kata Arya.

Edy turut menyampaikan bahwa investor itu berinvestasi ke founder adalah benar adanya, terlebih bagi startup tahap awal. Sebab pada fase ini, belum banyak hal yang bisa dilihat, sehingga alangkah penting untuk mendalami seluk beluk si founder dan timnya.

Perlu untuk menanyakan, siapakah dia, apa latar belakangnya, visi dan misinya, lalu bagaimana susunan tim founder dari startup, dan bagaimana mereka menjalankan bisnisnya. Hal tersebut perlu dilakukan untuk melihat kecocokan antara satu sama lain. Layaknya mencari pasangan hidup.

Edy merujuk pada pengalamannya terdahulu. Dia bilang, sebelum mengkaji hal-hal seperti model bisnis dan potensi pasar, penting untuk memahami “Masalah apa yang ingin founder selesaikan.”

“Karena saya percaya, apabila founder telah menemukan apa problem atau pain point bagi konsumen, product/services yang dia hasilkan akan jauh lebih kuat. Semakin kuat pain point dan passionate para founders dengan masalah tersebut, maka akan lebih baik, apabila mereka berhasil menghadirkan solusi yang dapat menjawab hal tersebut.”

Heriyadi ikut menambahkan, mengenal founder itu adalah filtering pertama sebelum ia memutuskan untuk berinvestasi ke startup. “Saya lebih suka kalau founder-nya sudah saya kenal. Tidak mau kalau tidak kenal sama sekali, minimal dalam jajaran founder-nya ada satu yang saya kenal. Atau saya dikenalkan dari jaringan saya sendiri,” katanya.

Filter berikutnya yang biasa ia lakukan adalah memahami seberapa besar ide bisnis tersebut bisa di-scale up dan seberapa besar pangsa pasarnya. “Kalau validasi market-nya terlalu besar atau kekecilan, menurut saya jadinya tidak realistis.”

Seluruh topik pertanyaan Edy dan Heriyadi ini akan terjawab dengan membaca pola pikir founder tersebut dan respons-respons yang diberikan. Apabila founder keras kepala, tidak mau cepat beradaptasi, akan susah untuk berkembang. Sebab, menurut Heriyadi, terjun ke startup itu artinya harus fleksibel.

“Sebab dari pendanaan angel investor ini runway-nya hanya cukup untuk 6 bulan-1 tahun, setelah itu harus melakukan raise funding lagi. Kalau tidak dapat funding dalam kurun waktu tersebut, kita harus tanyakan mereka akan bagaimana karena perusahaan harus tetap ada bisnis untuk cashflow,” tutur Heriyadi.

Ia juga menekankan suntikan dari angel investor tersebut, sebaiknya bukan untuk menggaji karyawan yang sudah ada. Investor harus tahu dana tersebut akan digunakan untuk apa saja. “Duitnya harus buat bikin produk, caranya dengan hiring orang produk dan sebagainya. Itu kasusnya kalau founder-nya bukan orang teknikal.”

Di tengah antusiasme hadirnya angel investor baru, Edy tetap menekankan bahwa investasi di sektor ini menghasilkan big-gain, pasti high-risk. Untuk itu, investasi di startup merupakan investasi jangka panjang yang benar-benar harus terukur. Khusus untuk startup tahap awal, kalkulasi yang bisa dilakukan adalah perlunya keterlibatan (hands-on) dengan melakukan mentoring dan diskusi secara intens.

“Karena pada tahap awal itulah kita masih berkesempatan memberikan arah jalan perusahaan, memberikan saran pengembangan produk berdasarkan pengalaman-pengalaman kita.”

Sementara itu, bagi Heriyadi, adalah investor perlu mendapat progress rutin terkait bisnis startup tersebut apakah sesuai dengan rencana awal atau tidak. Bila ada kendala, biasanya ia akan bantu dengan mengandalkan jaringan-jaringan yang sudah dibangun.

Terhitung Heriyadi telah berinvestasi untuk enam startup sebagai angel investor. Beberapa namanya adalah Printera, Job2Go, dan x0swab. Selain itu, ia aktif sebagai LP untuk fund yang dibuat sejumlah VC.

Risiko tinggi dan tantangan lainnya

Atika mengatakan, dengan lebih banyak investasi yang dikucurkan ke startup, pihaknya melihat bahwa mencari startup yang berkualitas tak lagi menjadi tantangan buat angel investor. Saat ini ada begitu banyak program kesiapan investasi, matchmaking, speed dating, dan acara startup yang membantu angel investor mendapatkan akses ke founder.

Namun, masalah utama yang terus menjadi isu adalah mengenai eksekusi (penataan kesepakatan/deal structuring, negosiasi, dan closing), termasuk di dalamnya mengenai struktur investasi (investment structure). Angel investor punya keterbatasan untuk berpartisipasi dalam kesepakatan dengan struktur tertentu.

Misalnya karena tempat tinggal mereka, terbatasnya akses/pengetahuan terhadap dukungan hukum atau alternatif badan hukum yang tersedia. Hal ini membuat angel investor tidak efisien untuk berinvestasi, terutama mengacu pada ticket size yang berukuran lebih kecil.

Dalam menyelesaikan isu tersebut, pihaknya didukung oleh Frontiers Lab Asia, saat ini sedang mengembangkan solusi untuk mengatasi masalah ini dan membuka peluang angel investor dapat berinvestasi di level Asia. “Kami sedang mengerjakan solusi yang dapat diskalakan untuk membuat angel investment lebih efisien dan relevan di seluruh wilayah.”

Isu ini juga dikemukakan Co-Founder Payfazz Hendra Kwik, yang kini juga terlibat sebagai LP dan Partner MAGIC. MAGIC adalah VC global untuk pendanaan tahap awal yang dikelola oleh sekelompok founder startup. Menurut Hendra, dirinya cenderung masuk sebagai LP daripada berinvestasi secara langsung karena ia ingin lebih terstruktur dan profesional.

“Jadi saya ingin mencegah [tidak profesional], semua harus profesional [proses pendanaannya],” kata Hendra.

Dalam melakukan pendanaan, ANGIN memiliki tiga lapisan penilaian ini sebelum dihubungkan ke angel investor yang masuk ke dalam jaringannya. “Kami memiliki kartu skor sendiri, tetapi selama peninjauan, kami pasti akan melihat orang-orangnya (misalnya motivasi, komitmen, kecocokan pendiri/pasar, dan struktur tim), kecocokan masalah/solusi, dan kecocokan produk/pasar.”

Hal lainnya yang masuk dalam proses analisis ANGIN adalah bagaimana memahami founder apakah cocok dengan minat dan selera risiko angel investor di ANGIN. Dengan profil yang beragam antar individu, cara tersebut memberikan proses analisa di ANGIN lebih kaya karena memberikan tambahan perspektif.

Arya melanjutkan, di tengah risiko yang lebih tinggi di ASEAN, para angel di kawasan ini dapat menggunakan kesepakatan awal untuk berinvestasi melalui instrumen SAFE (simple agreement for future equity) atau convertible notes.

Menurutnya, instrumen ini memberikan tingkat perlindungan jika startup mengalami penurunan karena kreditur diprioritaskan daripada pemegang saham, sambil menghasilkan saham ekuitas yang lebih besar jika startup berhasil dalam putaran pendanaan di masa depan.

“Sama seperti yang mereka lakukan dengan kelas aset lainnya, para angel harus berusaha seproduktif mungkin saat mendukung startup untuk mendiversifikasi risiko.”

Ia juga menyarankan agar angel investor jangan membatasi diri, melainkan bangun portofolio dari berbagai tema industri. Pilihan lainnya adalah coba bergabung dengan jaringan angel yang tepat dan co-invest dengan angel lainnya.

“Di atas segalanya, jangan berkecil hati ketika startup dalam portofolio Anda gagal, atau investasi tertentu tidak berjalan dengan baik. Angel perlu dipersiapkan untuk membuat banyak taruhan. Jika ini tidak sesuai dengan Anda, saran sederhana saya: jangan mencoba menjadi angel di ASEAN,” tutup Arya.


*Foto header: Depositphotos.com

A Starter Kit to Become Angel Investor

Based on data compiled by DailySocial, there are at least seven deals in Indonesia that have announced to receive funding from angel investors in 2020.

In a recent conversation with DailySocial, Edward Tirtanata once mentioned the landscape of angel investors in Indonesia. He said, the current angel investor ecosystem is not very developed. In fact, quite a few startups seek access to early-stage funding through this route.

Indonesia currently has an angel investment network through ANGIN (Angel Investment Network Indonesia), however, if you refer to information from a number of startup founders, there is not much access to connect with angel investors. The existence of angel investors in Indonesia is not actually non-existent, it’s just that they tend to avoid exposure.

In addition to access, there is another issue that is quite interesting and gain much attention, the amount of investment value to become an angel investor. Can someone who was not quite rich, be an angel investor? If the answer is yes, what is the ideal value should one has to become an angel investor?

Angel Investor’s definition

In a blog written by journalist and investment observer Chris Muller, there are some tips that can be implemented by anyone who wants to try their luck as an angel investor, even though they may not be rich.

Before we get there, let’s clarify what an angel investor is. Muller defines it as someone who has enough money to invest in an early-stage business or an existing business that is already growing. Similar to investors in general, angel investors crave a return on investment which is usually in the form of equity in the company or revenue sharing.

As citing Entrepreneurs, their motivation to invest is not solely for profit, but based on the desire to help new business. Angel investors can come from various professions, such as doctors, lawyers, suppliers, or business partners. Unlike the VC which stands as an institution to invest other people’s money.

When referring to regulations in the United States (US), anyone can become an angel investor as long as they meet the requirements as an “accredited investor” by the Securities and Exchange Commission (SEC) Stock Exchange Commission, which is to have a net worth of $1 million or more (excluding residence principal) and earns $200,000 per year.

How much capital required?

Back to the first question, is it possible to invest in a small amount of money? How much does it take to become an angel investor? Muller revealed, referring to recommendations from experienced investors, investors allocate up to 10% of the portfolio for angel investment.

This might not answer how much is actually required. The easiest answer that can be given is that it depends on the type and size of the targeted investment. If you copy the references to the television show Shark Tank, you can start with an investment of hundreds of thousands of US dollars.

In fact you could have invested on a smaller scale, says $10,000. However, Muller highlighted that the smaller the investment, the smaller the shares owned (and of course the profits). This amount can also be a factor that affects the involvement of investors in making business decisions.

He gave an example, if the total investment in the portfolio is $100,000, this will fulfill the 10% portion as mentioned earlier. However, if you want to invest in a good startup business, he recommends having at least $50,000 – meaning your overall portfolio can be close to $500,000.

Meanwhile, quoted from Pluang blog, Angel Capital Association data noted that investors with entrepreneurial backgrounds invest an average of $39,000. There are also those who invest an average of $28,000. There is no specific amount, it all depends on the investor and the targeted business.

Collectively, global angel investors set aside up to $24 billion to invest in 64,000 startups each year.

Pros and cons of angel investors

Basically, investing is not just a way to enjoy profits. It’s a risky movement and you could lose probably all of the money – even if the company underperforms or goes bankrupt. Other data from the Angel Capital Association shows that at least 50% of angel investors lost half of their funds.

Moreover, we need to underline that this is an investment, not a loan. One of the reasons why businesses prefer angel investment is because it is not recorded as a loan on their balance sheet. Angel investors buy part of the company. This means that there is another way if the business fails and you lose money than bothering to take action if it is a loan that cannot be repaid.

On the other hand, angel investment can also potentially generate very high returns. Muller gave an example, Peter Thiel’s investment in Facebook has become one of the most popular angel investments. Thiel injected $500,000 into Facebook in 2004 before Mark Zuckerberg’s platform went public. If only Thiel hadn’t sold his 80% stake by now, Thiel’s stake could be worth $10 billion today.

Another plus side is that you can build your company the way you want. Angel investment makes it possible to acquire ownership of the company, which automatically enables you to be involved in making decisions. However, this is all provided that it refers to the size of the investment and the agreement you make with the business owner.

What is also important is investment diversification. Muller said, angel investing gives investors the option to expand their investment portfolio, such as stocks, bonds, and exchange traded funds (ETFs). Investors can become part owners of the company and pocket returns in the form of company profits.

Does angel investment profit?

Still referring to the Pluang blog, a number of angel investors reported returns ten times higher than their initial investment after selling their shares in the company.

Based on a number of studies, only 5-10% of angel investments are recorded for profit. On average, 11% of funded companies generate positive exits. It also has a variety of exit results.

Thus, not all exits are profitable for angel investors. All of this goes back to the research conducted by investors regarding the company and the business category to be funded. First understand the business you want to fund before deciding to invest.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian