Menunggu Hadirnya Generasi Baru “Angel Investor” di Indonesia

Periode awal menjalankan startup begitu krusial dalam segala aspek. Memperkenalkan produk ke pasar, memvalidasi model bisnis, merekrut SDM yang tepat, dan menjaga keandalan layanan, adalah sedikit dari contohnya. Namun dalam fase awal itu, faktor pendanaan adalah salah satu yang paling penting. Bicara tentang pendanaan di fase awal, maka wajib melihat peran angel investor di sana.

Bisa dibilang angel investor adalah investor dengan risiko terbesar dalam siklus bisnis startup digital. Menaruh modal ke startup anyar berarti bertaruh akan ide dan potensi startup serta kemampuan pendirinya. Seringkali kepercayaan bahkan mereka berikan ketika belum melihat produknya. Namun risiko yang besar ini membawa potensi keuntungan yang sebanding.

Menariknya di Indonesia, eksistensi angel investor masih jauh dari sorotan. Padahal dalam ekosistem startup keberadaan mereka terbilang penting. Masih banyak yang belum diketahui dari angel investor di Indonesia. Kami bicara dengan beberapa angel investor untuk mengenal lebih dalam skena di dalam negeri.

Masih terbatas

Alexander Rusli adalah salah satu pebisnis yang mulai mulai aktif sebagai angel investor. Selesai lengser sebagai pimpinan Indosat Ooredoo, Alex langsung melirik bisnis digital. Alex tercatat sebagai pendiri Digiasia dan investor di 11 perusahaan lain. Ia memperkirakan ada beberapa hal yang menyebabkan nama angel investor tidak begitu terdengar di Indonesia. Pertama karena adalah khawatir kegagalan di satu startup terdengar orang banyak. Kemungkinan lain, menurutnya, adalah mereka tidak ingin “diserbu” oleh orang-orang yang tidak diinginkan.

“Mungkin mereka investasi itu dengan alasan macam-macam, seperti hubungan khusus dengan founder, senang dengan industrinya, [atau] hanya coba-coba. Memang struktur angel investor di Indonesia ini belum matang khususnya untuk digital investment,” ucap Alex.

Venture Partner MDI Ventures Aria Setiadharma membenarkan umumnya lingkungan angel investor di Tanah Air masih didominasi investor tradisional. Mereka adalah pebisnis atau anggota keluarga konglomerat atau yang lama berkecimpung lama di industri besar di Tanah Air. Menurut Aria, dengan latar belakang seperti itu, ekosistem angel investor tidak berkembang secepat di negara-negara lain seperti Singapura contohnya.

Aria bercerita kehadiran kantor raksasa digital di Singapura melahirkan generasi investor baru. Individu yang dulu bekerja di Google, Facebook, ataupun Netflix membuat semacam venture funding untuk membesarkan startup-startup baru yang potensial.

“Siklus itu belum terjadi di Indonesia. Yang punya uang itu kebanyakan masih dari properti, perbankan, dan pertambangan. Dari sana saja mindset-nya sudah berbeda,” imbuh Aria.

Sebastian Wijaya, yang akrab dengan skena angel investment, mengakui tingkat kesulitan startup baru memperoleh pendanaan dari angel cukup tinggi. Menurutnya, pokok permasalahan terletak pada faktor kedekatan seseorang. Ia mengakui untuk mendapatkan investasi dari individu ini bergantung pada kekuatan koneksi ke orang-orang yang tepat.

Masalah ini timbul karena platform ataupun badan yang mengelola angel investment masih terbilang sedikit. Bisa dibilang entitas pengelola paling dikenal di Indonesia sejauh ini hanya Angin.

“Jadi untuk suatu startup mendapatkan angel investing itu benar-benar tergantung kepada koneksi ke orang yg tepat. Setahu saya jika koneksi tersebut sudah terjalin, tingkat kesuksesan startup mendapatkan funding cukup besar,” tukas Sebastian.

Menunggu generasi baru

Walau secara umum angel investor masih banyak berasal dari orang-orang yang tidak berasal dari bisnis digital, saat ini mulai bermunculan gelombang baru angel investor di Indonesia. Mereka ini adalah eksekutif dan pendiri startup yang mencoba peruntungan dengan memutar uangnya di startup baru.

Laporan DealStreetAsia menyebutkan CEO Kopi Kenangan Edward Tirtanata, CEO Adrian Gunadi, dan pendiri Koinworks Willy Arifin sebagai contoh yang mewakili generasi baru tersebut. Dalam laporan itu diketahui, kegiatan Edward sehari-harinya tak lagi diisi Kopi Kenangan, tapi juga mengurus investasinya di sejumlah startup, seperti BukuKas, GudangAda, OtoKlix, dan Klinik Pintar.

Di samping nama-nama tadi, ada juga mereka yang dulunya memegang kursi pimpinan di startup besar namun sudah keluar. Beberapa nama yang cukup mewakili adalah Achmad Zaky dan Rohan Monga.

“Sekarang mereka ingin coba make money dengan investasi di industri serupa. Itu juga satu kategori yang sudah mulai banyak. Seperti para pendiri startup unicorn yang mulai investasi di banyak startup juga,” ujar Alex menanggapi kemunculan generasi baru angel investor.

Gelombang baru investor ini tentu membawa semangat baru di lanskap bisnis digital. Ada beberapa alasan yang mendorong kondisi demikian. Pertama mereka memiliki pengalaman dan pengetahuan relevan di startup mereka. Bagi startup baru, bimbingan yang tepat bagaikan jarum kompas untuk mengarungi berbagai rintangan.

Alasan berikutnya adalah jejaring yang sudah dibangun investor dari kalangan profesional dan pendiri biasanya sudah cukup matang. Hal itu bisa menjadi modal tambahan bagi suatu startup yang ingin menggelar babak pendanaan lebih lanjut. Selain itu, menurut Aria, karakter investor dari kalangan tersebut lebih sabar dengan perkembangan startup yang dimodali, mengingat butuh kepercayaan lebih kepada para pendirinya dalam menahkodai perusahaan.

“Selama angel investor ini masih pakai pemikiran lawas, enggak akan jalan ekosistemnya. Ya tapi bukan berarti tidak ada yang oke. Kalau angel investor-nya di sini bisa ambil backseat, lebih enak untuk startup itu sendiri,” jelas Aria.

Kehadiran gelombang baru angel investor di lanskap bisnis digital Indonesia bukan berarti dapat menyelesaikan semua masalah. Akses ke angel investor di Indonesia masih relatif sulit. Keberadaan organisasi angel investor, seperti Angin, kian dibutuhkan.

“Kita memang belum ada banyak tokoh pendiri yang sukses exit seperti di AS. Kita perlu tunggu beberapa tahun lagi ketika lebih banyak founder yang exit ataupun IPO, pasti suara angel investor di publik akan lebih terdengar,” pungkas Sebastian.

The Future of Impact Investment in Indonesia

How many startups and investors in Indonesia are using an environmental, social, and governance (ESG) approach or better known as impact investment in running their business? The answer is indeed limited. There are many factors to cause this. However, the digital economic entities are recently paying attention to this aspect.

In fact, Indonesia is not as mature as developed countries with regulations that “force” more players to make impactful investments. Apart from the current digital ecosystem which is yet to mature, there are a number of factors that hold the rise of impactful investment.

Piotr Jakubowski founded nafas with a focus on raising public awareness of the importance of clean air. Nafas allows an individual or corporation to participate as a sponsor in providing air quality sensors.

What becomes a challenge, says Piotr, is that often environmental impact initiatives such as the one he built through nafas are associated with company’s charity or CSR program. It is yet to be the main objective of an entity.

“The future of this category is clear. Science has confirmed the urgency of a number of environmental issues that can result in the growth of a for-profit business model that will focus on avoiding harm to our planet,” Piotr explained.

Crowde also nurtured the importance of green business. Head of Impact Investment, Afifa Urfani said that the urgency of holding the value of sustainability is not only for the purposes of company branding which is temporary but also for long-term interests.

Afifa takes an example of how Crowde, which focuses on credit in the agricultural sector, also implements reasonable restrictions on the use of chemicals, analyzes the impact of climate change on agriculture, mitigates risks related to climate change, such as the impact of prolonged drought on capital, and the formation of green scoring to assess the capital of a sustainable plan.

“For example, we invest a certain amount of money for a conventional business. Indeed, the income will be large and quite instant, but investing in a sustainable business looks heavy in the future, it can get low maintenance costs afterward,” Afifa said.

From an investor’s point of view, belief in the importance of impact investing can determine the sustainability of a company both resource and financially. This is held what ANGIN believes in.

ANGIN’s Impact Investment Lead, Benedikta Atika, noticed that impact investment growth in Indonesia maybe around 5-10 years behind other countries with more mature markets, however, there’s still some space for impact investment to grow in Indonesia.

In the early stages of private investment, Atika sees that many digital economy players in the country are starting to look at the environmental impact on the business they are in. The growth of the sustainable agricultural sector, waste management, and circular economy represent a positive movement of impactful investment.

“Apart from that, we also observed that several VCs who previously did not pay special attention to environmental impacts are now starting to have exposure, either having a special team related to impact investment or ESG (Environment, Social, and Governance) investment. They even launching a new fund for this approach,” Atika added.

Bagan di laporan ANGIN yang menemukan investasi berdampak di Indonesia makin bergairah setiap tahun.
ANGIN’s report shows that impact investing in Indonesia gets more excited every year.

Overall awareness

Even though it is called impact investment, the awareness of its importance must start from the business players. Crowde and nafas represent this by implementing sustainability values ​​into its business model.

Atika said, aligning perceptions of investment opportunities with the business entity’s mission of sustainability is a challenge. Based on the Investing in Impact in Indonesia 2020 report, there is indeed a gap in the perceptions of the two parties. One is very focused on how big the impact of the solution they can provide, the other prioritizes the scalability of solutions that can reach a wider market in the hope of bringing greater financial benefits.

Atika believes, as long as the business model and strategy to be implemented by startups are sustainable, investors’ trust will follow.

“In fact, commitment to the environment must come from the startup and be embedded in its business model, not as a “mandate” from investors. This commitment will then be reflected in the business strategy and implementation,” Atika said.

Crowde has applied that. They have won the trust of a number of investors. Trusts earned because their entire team has equal awareness of the importance of the impact of their business on the agricultural environment

Crowde is one of the few startups that has compiled an environmental impact report on the business they run. The distribution of knowledge and awareness is not only held by company officials, but also by all employees.

“For example, the approval of a draft budget for farmers’ costs for capital by using certain chemicals that have passed the dose will not reach the CEO’s ears. It takes awareness not only from agents in the field but also from supervisors at HQ,” Afifa added.

Pandemic accelerates process

The market’s flavor can determine investment appetite. Shifts in community behavior will affect business people in sustainable issues. We can take an example of the increasing public enthusiasm for clean energy products which is finally captured by new energy startups. However, it usually takes a long time to shift human behavior into a new habit.

Pandemic accelerates this process. Piotr said public awareness of clean air began to increase rapidly since the Covid-19 outbreak took place. A study from Harvard University showed there was a higher death rate from Covid-19 in areas with more concentrated PM2.5 pollution.

Afifa also sees the same thing in the agricultural sector. When the pandemic hits the global economy, investment in the food sector comes into the spotlight. Increasing productivity has always been the main focus of the food sector, almost without intersect on the sustainable aspect. In fact, Afifa mentioned, there are quite a lot of incentives from the government and the private sector to encourage investment in startups that hold sustainable issues as stated in the SDGs.

“Before the pandemic, investment in the agricultural sector was considered a ‘futuristic’ concept for future generations – which is clearly a misconception. However, with a huge hit during the pandemic, finally, investment in the food sector has become the main focus for economic growth, not just inclusively but massively,” Afifa said.

Growing awareness in the digital economy ecosystem also requires a long-term approach. Atika noticed that people often only rely on financial reports as a reference for operating expenses. Whereas health, welfare, and access can also be counted as non-financial burdens.

These indicators should be used to measure whether their business can contribute better to their environment. In addition, pursuing sustainability values, according to him, can still go hand in hand with the financial targets of a business entity.

“Again, reflecting on the mission and vision of the organization about what approach is the most feasible to do, both in terms of solutions, value chains, and business processes,” Atika said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Masa Depan “Impact Investment” di Indonesia

Ada berapa banyak startup dan investor di Indonesia yang memakai pendekatan lingkungan, social, dan governance (ESG) atau investasi berdampak (impact investment) dalam menjalankan bisnisnya? Jawabannya tentu belum banyak. Ada banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut. Meskipun demikian, belakangan ini keberadaan entitas ekonomi digital yang memerhatikan aspek itu mulai bermunculan.

Tentu keadaan di Indonesia belum sejauh negara-negara maju yang sudah memiliki regulasi yang “memaksa” lebih banyak pemain membuat investasi berdampak. Selain ekosistem digital di sini yang masih di tahap awal, ada sejumlah faktor yang membuat investasi berdampak masih terbatas.

Piotr Jakubowski mendirikan nafas dengan fokus mengangkat kesadaran masyarakat akan pentingnya udara bersih. nafas memungkinkan individu atau korporasi berpartisipasi sebagai sponsor dalam menyediakan sensor kualitas udara.

Yang jadi tantangan, menurut Piotr, adalah seringkali inisiatif berdampak lingkungan seperti yang ia bangun lewat nafas diasosiasikan sebagai program amal atau CSR suatu perusahaan. Belum sebagai tujuan utama suatu entitas.

“Masa depan kategori ini jelas. Sains sudah memastikan gentingnya sejumlah isu lingkungan yang dapat berakibat pada tumbuhnya model bisnis berorientasi profit yang akan fokus pada menghindari kerusakan terhadap planet kita,” jelas Piotr.

Pentingnya bisnis berwawasan lingkungan juga dipelihara Crowde. Head of Impact Investment Afifa Urfani mengungkapkan, urgensi memegang nilai keberlanjutan tak hanya untuk keperluan branding perusahaan yang sifatnya sesaat, tapi juga untuk kepentingan jangka panjang.

Afifa mencontohkan bagaimana Crowde yang fokus pada kredit sektor pertanian turut melakukan pembatasan secara wajar terhadap pemakaian bahan kimia, analisis dampak perubahan iklim terhadap pertanian, mitigasi risiko terkait perubahan iklim seperti dampak kekeringan berkepanjangan terhadap permodalan, hingga pembentukan green scoring untuk menilai suatu permodalan dari rencana yang berkelanjutan.

“Semisal kita investasikan sejumlah uang untuk bisnis konvensional. Memang pendapatannya akan besar dan hampir selalu instan, tapi investasi pada bisnis berkelanjutan terlihat berat di depan justru dapat memperoleh biaya maintenance yang rendah setelahnya,” ungkap Afifa.

Dari sudut pandang investor, kepercayaan akan pentingnya investasi berdampak dapat menentukan keberlanjutan suatu perusahaan secara sumber daya maupun finansial. Kepercayaan ini dipegang oleh ANGIN.

Benedikta Atika, Impact Investment Lead ANGIN, mengakui pertumbuhan investasi berdampak di Indonesia mungkin tertinggal sekitar 5-10 tahun dari negara-negara dengan pasar yang lebih matang. Namun, karena hal itu pula, tampak ruang pertumbuhan bagi investasi berdampak sangat besar di Indonesia.

Di cakupan private investment tahap awal, Atika melihat mulai banyak pelaku ekonomi digital di Tanah Air yang mulai melirik dampak lingkungan terhadap bisnis yang mereka jalani. Tumbuhnya sektor agrikultur berkelanjutan, pengelolaan limbah, ekonomi sirkular, menjadi representasi pergerakan positif investasi berdampak.

“Selain itu, kami juga mengobservasi beberapa VC yang sebelumnya tidak khusus memperhatikan dampak lingkungan, sekarang mulai memiliki exposure antara dengan memiliki team khusus terkait impact investment atau ESG (Environment, Social, and Governance) investment. Bahkan juga launching fund baru untuk pendekatan ini,” imbuh Atika.

Bagan di laporan ANGIN yang menemukan investasi berdampak di Indonesia makin bergairah setiap tahun.
Bagan di laporan ANGIN yang menemukan investasi berdampak di Indonesia makin bergairah setiap tahun.

Kesadaran menyeluruh

Meskipun bernama investasi berdampak, kesadaran pentingnya hal ini justru harus dimulai dari pelaku bisnisnya. Crowde dan nafas mewakili hal tersebut dengan mengimplementasikan nilai-nilai keberlanjutan ke dalam model bisnisnya.

Menurut Atika, menyelaraskan persepsi tentang peluang investasi dengan misi keberlanjutan dari entitas bisnis merupakan tantangan yang mereka hadapi. Berdasarkan laporan Investing in Impact in Indonesia 2020, memang ada jurang perbedaan persepsi kedua belah pihak. Yang satu sangat memfokuskan seberapa besar dampak dari solusi yang mereka bisa berikan, yang satu lagi lebih memprioritaskan skalabilitas solusi yang bisa menyentuh pasar lebih luas dengan harapan membawa keuntungan finansial lebih besar.

Atika meyakini, selama model bisnis dan strategi yang akan diterapkan oleh startup berwawasan berkelanjutan, kepercayaan dari investor akan datang.

“Justru komitmen terhadap lingkungan harus datang dari startup ini sendiri dan embedded di model bisnisnya, bukan sebagai “mandat” dari investor. Komitmen tersebut kemudian akan tercermin dalam strategi bisnis dan implementasinya,” tukas Atika.

Crowde setidaknya sudah mempraktikkan hal itu. Mereka telah mendapat kepercayaan dari sejumlah investor. Kepercayaan itu diperoleh karena seluruh tim mereka memiliki kesadaran yang setara akan pentingnya dampak usaha mereka terhadap lingkungan pertanian.`

Crowde adalah satu dari sedikit startup yang menyusun laporan dampak lingkungan atas bisnis yang mereka jalankan. Distribusi pengetahuan dan kesadaran pun tak hanya dipegang oleh petinggi perusahaan, tapi juga semua karyawan.

“Seperti penyetujuan rancangan anggaran biaya petani untuk permodalan dengan memakai bahan kimia tertentu yang melewati dosis, tidak akan sampai ke telinga CEO. Butuh kesadaran tidak dari agen di lapangan saja, tapi juga supervisor di HQ,” terang Afifa.

Pandemi mempercepat proses

Selera pasar dapat menentukan selera investasi. Pergeseran perilaku masyarakat akan memengaruhi pelaku bisnis dalam isu berkelanjutan. Kita bisa ambil contoh meningkatnya gairah publik atas produk energi bersih yang akhirnya ditangkap oleh startup new energy. Namun biasanya waktu panjang untuk menggeser perilaku manusia hingga menjadi kebiasaan baru.

Pandemi mempercepat proses ini. Piotr bercerita kesadaran publik akan udara bersih mulai meningkat pesat sejak wabah Covid-19 berlangsung. Sebuah studi dari Universitas Harvard menunjukkan terdapat tingkat kematian lebih tinggi akibat Covid-19 di area dengan polusi PM2,5 lebih pekat.

Afifa juga melihat hal serupa di sektor pertanian. Saat pandemi menghantam ekonomi global, investasi pada sektor pangan tampil sebagai sorotan utama. Peningkatan produktivitas selalu menjadi fokus utama sektor pangan tanpa, nyaris tanpa menyinggung aspek berkelanjutan. Padahal, menurut Afifa, ada cukup banyak insentif dari pemerintah maupun swasta yang mendorong investasi pada startup yang memegang isu berkelanjutan seperti tertuang dalam SDGs.

“Sebelum pandemi, investasi pada sektor pertanian dianggap konsep ‘futuristik’ yang diperuntukkan kepada generasi masa depan — yang mana ini jelas sebuah konsepsi yang salah. Namun dengan pukulan keras selama pandemi, akhirnya investasi pada sektor pangan menjadi sorotan utama untuk kenaikan ekonomi bukan hanya secara inklusif tapi secara masif,” lengkap Afifa.

Menumbuhkan kesadaran di ekosistem ekonomi digital pun butuh pendekatan jangka panjang. Atika menilai orang kerap hanya mengandalkan laporan keuangan sebagai acuan beban usaha. Padahal kesehatan, kesejahteraan, dan akses dapat juga bisa dihitung sebagai beban non-keuangan.

Indikator-indikator inilah yang semestinya bisa dipakai untuk mengukur apakah bisnis mereka dapat barkontribusi lebih baik ke lingkungannya. Tak kalah penting, mengejar nilai-nilai keberlanjutan pun menurutnya tetap bisa berjalan beriringan dengan target finansial suatu entitas bisnis.

“Kembali lagi, berefleksi ke misi dan visi organisasi tentang pendekatan apa yang paling feasible untuk dilakukan, baik dari segi solusi, value chain, maupun proses bisnis,” pungkas Atika.

A Singapore Based Equity & Debt Crowdfunding Platform FundedHere Invests in ANGIN

ANGIN (Angel Investment Network Indonesia) declares itself as an independent early-stage investment platform. They have managed the funds of more than 100 investors, from angel investors, venture capitalists, impact investors, corporations, to foundations from all over the world. Targeting entrepreneurs in various fields in Indonesia.

Over the past four years, they have supported more than 70 startups and entrepreneurs, some of them Kitabisa, Kargo, and most recently Burgreens.

Last year, ANGIN successfully closed its first seed funding round of 500 Startups and three angel investors including Shinta Kamdani (CEO of Sintesa Group), Diono Nurjadin (CEO of Cardig International), and Jefrey Joe (Managing Director & Co-Founder of Alpha JWC Ventures).

Recently, FundedHere has joined the list of shareholders by providing additional funding for ANGIN. FundedHere is an equity and debt crowdfunding platform registered with the Monetary Authority of Singapore. Their business model is almost the same as ANGIN, connecting investors with startups.

“We are very honored to be working with the FundedHere team. They not only believe in our values ​​and vision but can also connect the Singapore startup ecosystem to our investors and entrepreneurs in Indonesia. This will accelerate our mutual footprint in Southeast Asia,” ANGIN’s Managing Director David Soukhasing said.

Meanwhile, FundedHere’s Co-Founder & CEO Daniel Lin said, “Investing in ANGIN will further strengthen our investment thesis [..] Investors on both of our platforms will now have exposure to these cross-border opportunities.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Platform “Equity & Debt Crowdfunding” Asal Singapura FundedHere Berikan Pendanaan ke ANGIN

ANGIN (Angel Investment Network Indonesia) mendeklarasikan dirinya sebagai platform investasi tahap awal independen. Mereka telah mengelola dana lebih dari 100 investor, mulai dari angel investor, venture capital, impact investor, korporasi, hingga yayasan dari seluruh dunia. Menargetkan pengusaha di berbagai bidang di Indonesia.

Selama empat tahun terakhir, mereka telah mendukung lebih dari 70 startup dan pengusaha, beberapa di antaranya Kitabisa, Kargo, hingga yang terbaru Burgreens.

Tahun lalu, ANGIN berhasil menutup putaran pendanaan awal pertamanya dari 500 Startups dan tiga angel investor meliputi Shinta Kamdani (CEO Sintesa Group), Diono Nurjadin (CEO Cardig International), dan Jefrey Joe (Managing Director & Co-Founder Alpha JWC Ventures).

Baru-baru ini, FundedHere turut bergabung ke jajaran shareholder dengan memberikan pendanaan tambahan untuk ANGIN. FundedHere merupakan platform equity dan debt crowdfunding yang terdaftar di Monetary Authority of Singapore. Model bisnis mereka hampir serupa dengan ANGIN, menghubungkan investor dengan perusahaan rintisan.

“Kami merasa sangat terhormat dapat bekerja sama dengan tim FundedHere. Mereka tidak hanya percaya dengan nilai dan visi kami, tapi juga dapat menghubungkan ekosistem startup Singapura kepada investor dan pengusaha kami di Indonesia. Ini akan mempercepat mutual footprint kami di Asia tenggara,” sambut Managing Director ANGIN David Soukhasing.

Sementara itu, Co-Founder & CEO FundedHere Daniel Lin menyampaikan, “Investasi ke ANGIN akan semakin memperkuat thesis investasi kami [..] Investor di kedua platform kami sekarang akan memiliki eksposur terhadap peluang lintas batas ini.”

Cerita Burgreens, Pionir Restoran Makanan Vegan di Indonesia

Dulu, untuk menemukan restoran khusus makanan vegan di Indonesia masih sulit, bahkan Jakarta sekalipun. Alternatif yang ada pada saat itu adalah mengunjungi restoran Cina. Kesulitan tersebut akhirnya menginspirasi Helga Angelina Tjahjadi dan Max Mandias untuk mendirikan Burgreens. Kebetulan keduanya adalah konsumen makanan vegan.

Burgreens merupakan restoran makanan vegan yang dirancang khusus untuk lidah orang Asia. Meski menunya terfragmentasi, menariknya basis pelanggannya terbesar bukan vegetarian, melainkan orang-orang yang sadar terhadap kesehatan dan memilih untuk mengurangi konsumsi daging untuk alasan kesehatan dan lingkungan.

Tidak hanya menjadi restoran, visi dan misi dari Burgreens itu sebenarnya adalah gerakan sadar sosial bahwa makanan yang dipilih itu berasal dari alam dan petani lokal organik. “Sebagian besar bahan makan kami diambil dari petani lokal, salah satunya Yayasan Usaha Mulia dan BSP,” terang Marketing Manager Burgreens Irene Tjhai kepada DailySocial.

Bentuk bisnis Burgreens adalah ritel offline dengan 10 gerai yang tersebar di Jakarta, Bandung, dan Tangerang. Menu yang dikembangkan mulai dari makanan berat, paket katering harian, makanan beku, snack, minuman hingga makanan untuk anak.

Dalam perjalanannya, Burgreens telah menerima investasi dari ANGIN sebanyak dua kali, pada 2016 dan 2017 dengan nominal yang dirahasiakan. Perkembangan perusahaan yang pesat, akhirnya membuat Angin tertarik untuk top up masuk ke putaran terbaru.

Menurut pemberitaan di DealStreetAsia, dikabarkan Burgreens telah mengantongi pendanaan pra Seri A dari ANGIN dan Teja Ventures. Ketika dikonfirmasi ulang oleh DailySocial, Irene hanya mengatakan bahwa sebenarnya putaran tersebut masih berlangsung dan perusahaan akan mengumumkannya secara resmi.

Mulai manfaatkan teknologi digital

Irene menjelaskan sejauh ini perusahaan baru memanfaatkan kehadiran teknologi digital yang disediakan oleh mitra logistik untuk pengiriman pesanan ke konsumen. Situsnya sendiri baru menyajikan informasi mengenai menu dan direktori gerai.

Perusahaan berencana untuk merilis secara resmi aplikasinya sendiri pada dua bulan mendatang. Persiapannya sudah dilakukan sejak tahun lalu. Di dalamnya akan tersedia pilihan menu makanan sesuai preferensi lidah masing-masing, biasanya ada yang anti gluten, hanya mau vegan saja, dan sebagainya.

“Tadinya pilihan seperti itu tidak bisa jika dipesan melalui aplikasi kurir online. Tapi nanti kita bisa rincikan semua permintaan konsumen melalui aplikasi kita dan dikirim oleh kurir internal kita. Selain itu kita juga mau sediakan informasi lengkap terkait makanan organik dalam berbahasa Indonesia.”

Meski belum diresmikan, namun aplikasi ini sudah bisa diakses di Play Store.

Terpukul karena pandemi

Karena perusahaan termasuk pemain kuliner offline, secara langsung ikut terguncang karena pandemi yang saat ini masih berlangsung. Mayoritas gerainya harus ditutup pada awal PSBB diberlakukan. Meski demikian, Irene mengaku perusahaan bertekad untuk tidak mengurangi karyawan dan gaji.

“Saat PSBB, masih ada gerai kami yang tetap dibuka. Menariknya karyawan kami punya solidaritas tinggi jadi mereka memberlakukan share shift, karyawan yang kerja di gerai yang ditutup bisa kerja di gerai yang buka secara bergantian.”

Perusahaan juga terbantu dengan diberlakukannya diskon sewa dari pengelola mal. “Jujur kalau itu enggak ada, kita bakal struggling banget.”

Dalam unggahan di akun media sosial Helga pada lima bulan lalu, dia menyebutkan pandemi berdampak pada menurunnya penjualan hingga 30%. Tak hanya itu harga bahan baku yang naik tajam, penurunan jumlah kunjungan ke gerai, masalah cashflow, dan keterlambatan pembiayaan yang tidak terduga.

“Hari-hari kami dipenuhi oleh pengambilan keputusan yang mendadak. [..] Kami akan mengambil beberapa keputusan yang sangat sulit dan menghancurkan hati: melepaskan anggota baru kami yang seharusnya bekerja di gerai baru kami dan menutup beberapa toko kami,” tulisnya.

Akhirnya, seiring pelonggaran PSBB oleh pemerintah setempat pada awal Juni kemarin, Burgreens kembali membuka gerai yang berdiri sendiri (stand alone) dan menerima makan di tempat (dine-in) dan takeway.

Untuk memesan makanan, konsumen tidak perlu mengunjungi kasir, cukup memindai kode QR untuk memesan menu. Saat pembayaran pun sudah non tunai, konsumen memindai kode QRIS dari nota yang bisa digunakan oleh beragam aplikasi uang elektronik, seperti Gopay, Ovo, dan Dana.

Application Information Will Show Up Here

Menyimak Minat dan Transparansi Venture Capital Berinvestasi Saat Pandemi

Pandemi yang berkepanjangan telah meruntuhkan beberapa startup secara global. Berubahnya gaya hidup hingga kebiasaan, menjadikan startup yang memiliki model bisnis tertentu, harus gulung tikar karena tidak bisa mempertahankan bisnis dan mendapatkan revenue.

Hal menarik yang kemudian menjadi perhatian adalah, runway timeline yang menjadi faktor penentu keberlangsungan startup dan bagaimana startup bisa beradaptasi dengan realitas baru yaitu ‘new normal’.

Berikut adalah rangkuman startup clinic yang menghadirkan Kolibra Capital, Angin, dan Skystar Capital membahas peluang investasi dan potensi bagi startup untuk bisa survive di saat pandemi.

Inisiatif dan inovasi baru founder

Ketika pendapatan bisa didapatkan dan traksi terus tumbuh meskipun pandemi berlangsung, bisa dipastikan masa depan startup akan menjadi positif. Salah satu cara yang bisa dilakukan startup untuk bisa mencapai semua hal tersebut adalah, mengubah mindset dan model bisnis yang sebelumnya mengandalkan faktor offline atau ketergantungan dengan pengguna secara langsung.

Menurut Teezar Firmansyah Partner dari Kolibra Capital, startup bisa memberikan respons positif saat pandemi berlangsung dan bisa beradaptasi dengan kondisi saat ini, tentunya adalah startup yang bisa survive saat pandemi dan ketika pandemi pada akhirnya usai.

Secara khusus Kolibra yang fokus kepada fundamental dan generate revenue bukan kepada GMV, melihat saat ini menjadi saat yang krusial bagi startup untuk menunjukkan jati diri mereka. Apakah mereka bisa bersaing dan menawarkan inovasi baru kepada pelanggan.

“Salah satu portofolio yang kami miliki yaitu Travelio telah menunjukkan pentingnya untuk bisa beradaptasi. Sebagai platform yang mengandalkan pelanggan dengan sumber daya yang dimiliki, Travelio mampu melakukan inovasi dengan melakukan kolaborasi yang relevan dan menawarkan layanan baru yang dibutuhkan oleh pelanggan,” kata Teezar.

Pentingnya bagi para founder untuk bisa beradaptasi juga menjadi perhatian khusus dan sangat dianjurkan oleh Michelle Irawan dari Skystar Capital kepada startup yang masuk dalam portofolio mereka. Menjadi hal yang menarik ketika para pendiri startup bisa tampil dengan inovasi dan produk hingga layanan baru kepada pelanggan.

“Bagi kami yang sudah dilakukan oleh Sweet Escape bisa menjadi contoh yang positif. Bisnis mereka yang sangat bergantung kepada traveller tentunya mengalami impact secara langsung. Namun dengan pilihan layanan yang baru dan memanfaatkan momentum social distancing, mereka mampu menciptakan layanan baru untuk pelanggan saat pandemi berlangsung,” kata Michelle.

Sementara itu bagi David Soukhasing Managing Director Angin, portofolio mereka yang menyasar bisnis kuliner, mulai mengadopsi penjualan secara online dan memanfaatkan kegiatan digital marketing. Meskipun tidak menghasilkan pendapatan yang cukup jika dibarengi dengan gerai offline yang dimiliki, paling tidak bisa mempertahankan bisnis agar terus berjalan.

“Di Burgreens saat ini fokus mereka lebih kepada penjualan secara online memanfaatkan online delivery yang ditawarkan oleh pihak terkait. Di saat bersamaan promosi secara digital juga makin gencar dilakukan untuk menarik perhatian pelanggan melakukan transaksi secara online,” kata David.

Runway startup dan minat investor

Di dunia startup, runway atau landasan pacu adalah berapa lama startup dapat bertahan jika pendapatan dan pengeluaran tetap konstan. Ketika startup mengumpulkan uang, mereka berupaya untuk meningkatkan runway.

Runway ini bisa menentukan keberlangsungan perusahaan berdasarkan uang yang mereka simpan usai penggalangan dana. Menurut investor, timeline runway terbaik bagi startup agar bisa survive adalah untuk satu hingga dua tahun. Semakin panjang runway yang dimiiki, semakin besar potensi startup untuk bertahan.

Meskipun tidak semua startup bisa menerapkan cara ini, paling tidak mereka bisa melakukan penghematan dan memangkas pengeluaran yang dirasakan tidak terlalu penting dalam anggaran mereka. Pada akhirnya ‘cash is king’ menjadi hal yang krusial bagi startup untuk bisa bertahan dengan dana yang dimiliki saat ini, sambil mengantongi pendapatan meskipun jumlahnya mengalami penurunan akibat pandemi.

Cara cerdas yang bisa dilakukan oleh startup untuk bisa memperpanjang usia runway adalah, kesepakatan di awal dengan para investor saat melakukan penggalangan dana. Apakah ketika sebelum pandemi berlangsung atau saat pandemi, pastikan kesepakatan terjadi agar startup bisa bertahan.

“Saya juga menyarankan kepada para investor untuk lebih transparan kepada startup. Apakah mereka memang berniat untuk melakukan penggalangan dana atau tidak. Karena masih banyak investor yang kurang transparan atas niat mereka untuk berinvestasi saat ini,” kata David.

Meskipun kesempatan untuk mendapatkan dana segar dari investor saat ini cukup kecil peluangnya, namun tidak menjadikan venture capital enggan untuk memberikan investasi. Namun tidak dipungkiri, proses kurasi yang ketat dan pemilihan startup yang relevan menjadi faktor pertimbangan para investor.

“Bagi kami di Kolibra Capital tidak pernah memilih kategori industri startup yang menjadi favorit kami. Semua startup menjadi perhatian dari kami asal mereka mengusung konsep generate revenue bukan kepada GMV,” kata Teezar.

Accelerating Asia Naikkan Nilai Investasi hingga 2 Miliar Rupiah untuk Startup Binaannya

Perusahaan modal ventura tahap awal Accelerating Asia mengumumkan perubahan dalam cara investasinya, juga menaikkan nominal investasi hingga 200 ribu dolar Singapura (lebih dari 2 miliar Rupiah), melalui instrumen pendanaan SAFE note, sekitar 7%-10% ekuitas per startup yang akan mengikuti program akselerator batch ke-3.

Bila dirinci, startup akan menerima investasi maksimal 200 ribu dolar Singapura, termasuk dana dukungan 25 ribu dolar Singapura untuk membangun bisnisnya, akses ke program akselerator, dan program tambahan senilai 225 ribu dolar Singapura. Kenaikan ini, membuat Accelerating Asia percaya diri berada dalam posisi yang kuat dalam pertaruhan startup yang berasal dari program akseleratornya.

“Sambil terus menjalankan hubungan baik dengan pendiri startup untuk meningkatkan pertumbuhan mereka, menerima pendanaan, dan meningkatkan bisnis mereka ke tingkat selanjutnya,” ucap Co-Founder dan General Partner Accelerating Asia Amra Naidoo dalam keterangan resmi.

Dibandingkan dua batch sebelumnya, Accelerating Asia berinvestasi sebesar 100 ribu dolar Singapura, juga berbentuk SAFE note. Ini adalah akronim dari Simple Agreement for Future Equity yang diperkenalkan pertama kali oleh Y Combinator pada 2013.

Silicon Valley memilih SAFE sebagai dokumen de facto yang digunakan untuk investasi tahap awal karena modelnya lebih ramping, lebih murah untuk dieksekusi, dan lebih mudah untuk melakukan uji tuntas (due diligence) daripada opsi lainnya.

“Di Accelerating Asia, kami setuju untuk juga menggunakan SAFE untuk investasi awal kami. Kami juga memfasilitasi investasi lain di perusahaan portofolio kami melalui SAFE. Kami percaya bahwa SAFE punya keuntungan baik bagi founder, investor, maupun ekosistem startup secara umum,” terang Co-Founder dan General Partner Accelerating Asia Craig Dixon secara terpisah kepada DailySocial.

Program akseleratornya itu sendiri sudah berjalan sejak dua tahun dan telah berkembang menjadi komunitas dengan lebih dari 39 founder startup dari 19 startup yang tersebar di 9 negara. 40% di antaranya dipimpin perempuan atau mitra pendiri ventura. Saat berpartisipasi dalam program flagship-nya tersebut, seluruh startup binaannya berhasil memperoleh investasi kolektif senilai lebih dari 55 juta dolar Singapura.

Akselerator batch ke-3

Suasana Demo Day Cohort 1 Accelerating Asia
Suasana Demo Day Cohort 1 Accelerating Asia

Dixon melanjutkan dalam batch ke-3 pendaftaran sudah dibuka hingga Mei 2020. Seluruh proses akan berlangsung secara online, sehingga gangguan pandemi tidak menyurutkan ambisi perusahaan untuk menggelar program akseleratornya.

“Program kami dirancang untuk memberikan nilai tinggi dari para ahli pemula, investor dan mentor dalam format yang fleksibel, di mana pun mereka berada. Sebab mengumpulkan semua founder dalam satu tempat yang sama adalah pekerjaan yang sulit.”

Mereka juga tidak secara spesifik menyasar tema tertentu untuk tiap batch-nya. Dixon menyebut, Accelerating Asia adalah VC dan program akselerator yang agnostik vertikal, artinya terbuka untuk startup dari sektor manapun. Untuk dua batch sebelumnya, startup binaannya terdiri dari startup B2B dan B2G. Kendati demikian, mereka juga terbuka untuk startup B2C.

Dalam batch ke-2, ada sembilan startup yang bergerak di bisnis B2B, seperti logistik, big data, edutech, agritech, dan e-commerce. Seluruh startup memperoleh pendanaan yang tinggi dari angel investor, modal ventura, dan perusahaan keluarga dalam pendanaan gabungan sekitar 2,5 juta dolar Singapura. Delapan startup diantaranya memperoleh pendanaan eksternal, seperti iFarmer, Numu, IZY.ai, dan Privoshop, dalam program 100 hari.

“Untuk tahap pendanaan, kami fokus ke startup pra-seri A yang memiliki traksi, produknya berasal dari pengalaman pengguna, dan punya model bisnis yang kuat. Jika Anda tidak yakin apakah Anda cocok untuk ikut program ini, kami mendorong para pemula untuk mendaftar untuk melalui prosesnya, agar dapat pemahaman tentang apa yang dicari investor dan akselerator.”

Dari 19 startup binaan dari batch sebelumnya, 10% di antaranya datang dari Indonesia. Nama-namanya adalah startup SaaS B2B Datanest dan startup travel IZY.ai. “Indonesia adalah pasar yang menjanjikan, kami selalu mencari kesempatan bermitra dengan startup dan mitra.”

Di luar program, Accelerating Asia bekerja sama dengan jaringan angel investor lokal ANGIN untuk membangun jaringan, entah berbentuk webinar, event untuk membangun portofolio, negosiasi kesepakatan dengan angel investor yang tertarik menjadi LP atau berinvestasi bersama. Pihak ANGIN juga memfasilitasi koneksi startup, dan berkomitmen untuk terlibat dengan founder lokal melalui berbagai program.

“Kami juga bekerja erat dengan investor di berbagai tingkatan dalam ekosistem startup Indonesia, seperti family offices, VC, angel investor. Beberapa dari mereka telah berinvestasi ke Fund kami dan/atau co-invest bersama Accelerating Asia di startup portofolio kami,” tutupnya.

ANGIN Secures Seed Funding from 500 Startups and Local Angel Investor

ANGIN (Angel Investment Network Indonesia) is officially announced seed round funding from 500 Startups and three national investors: Shinta Kamdani (Sintesa Group CEO), Diono Nurjadin (Cardig International CEO), and Jefrey Joe (Alpha JWC’s Managing Director & Co-Founder). The value is still undisclosed yet the process has been going on since May.

David Soukhasing, Managing Director of ANGIN, explained that this funding will be focused on ANGIN services scale-up in Indonesia. It includes the launching of new feature/service, making improvements for all members of angel investors, and continuing support for startups in Indonesia.

Until recently, ANGIN has accommodated at least 71 angel investors and distributed funding from investors to more than 33 startups within 2 years. ANGIN makes a commitment not only as investment platform but also to have a role in growing entrepreneurship ecosystem in Indonesia through activities and partnerships.

“We’ve been operating ANGIN in bootstrapped since the beginning and our team wants to make a broader impact and reach. We decided to search for an external funding to support expansion,” Soukhasing said.

ANGIN considers the experience of 500 Startups investing globally can provide valuable knowledge in business scale-up.

Since founded in 2013 led by Shinta Kamdani, ANGIN has been growing rapidly. It currently has several services, such as business research, content, technology, and business consultant.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

ANGIN Dapatkan Pendanaan Awal dari 500 Startups dan Angel Investor Lokal

Hari ini (06/5) ANGIN (Angel Investment Network Indonesia) secara resmi mengumumkan perolehan putaran pendanaan awal (seed round) dari 500 Startups dan tiga investor nasional: CEO Sintesa Group Shinta Kamdani, CEO Cardig International Diono Nurjadin, dan Managing Director & Co-Founder Alpha JWC  Jefrey Joe. Tidak disebutkan nilai dari pendanaan tersebut, hanya saja prosesnya sudah dilakukan sejak bulan Mei lalu.

Dalam penjelasannya David Soukhasing selaku Managing Director ANGIN menyebutkan bahwa pendanaan ini akan difokuskan untuk memperkuat (scale-up) manuver ANGIN di Indonesia. Termasuk dengan meluncurkan fitur/layanan baru, meningkatkan layanan kepada puluhan angel investor yang tergabung, dan melanjutkan dukungannya kepada startup di Indonesia.

Sampai dengan saat ini, ANGIN sudah mengakomodasi sekurangnya 71 angel investor dan telah menyalurkan pendanaan dari para investor di lebih 33 startup selama 2 tahun beroperasi. ANGIN berkomitmen tidak hanya ingin menjadi platform investasi, melainkan juga ingin memiliki peran menumbuhkan ekosistem kewirausahaan di Indonesia melalui kegiatan dan kemitraan yang telah dijalin.

“Kami menjalankan ANGIN secara bootstrapped sejak awal berdiri dan tim kami merasa ingin memberikan dampak dan jangkauan yang lebih luas. Kami memutuskan untuk menemukan dukungan pendanaan eksternal untuk memberikan bahan bakar guna melakukan perluasan,” ujar David Soukhasing.

Pengalaman 500 Startups berinvestasi secara global dinilai ANGIN dapat memberikan pengetahuan berharga dalam melakukan scale-up.

Sejak didirikan pada tahun 2013, dipimpin oleh Shinta Kamdani, ANGIN secara organik telah mengalami pertumbuhan pesat. Saat ini pihaknya juga telah memiliki beberapa layanan seperti konsultan bisnis, teknologi, konten dan riset.