Startup Agritech B2B “Elevarm” Dikabarkan Bukukan Pendanaan Pra-Awal Dipimpin Insignia Ventures

Startup agritech B2B Elevarm dikabarkan membukukan pendanaan tahap pra-awal yang dipimpin Insignia Ventures. Berdasarkan data yang dimasukkan ke regulator, nominal yang diterima dalam putaran ini telah mencapai $1,39 juta (sekitar 21,6 miliar Rupiah).

Selain Insignia, terdapat 500 Southeast Asia (dulu bernama 500 Durians) serta jajaran angel investor, yakni Fajrin Rasyid (Telkom), Gibran Huzaifah (eFishery), dan Arip Tirta (Evermos), yang berpartisipasi dalam putaran tersebut.

DailySocial.id telah meminta konfirmasi dari founder Elevarm terkait informasi ini.

Dalam keterangan yang dihimpun, Elevarm adalah startup agritech yang berfokus di sisi hulu, memberikan solusi pasokan kepada pelanggan bisnis dengan menggabungkan dan mengangkat petani kecil dengan teknologi. Startup ini masih dalam “stealth mode” alias belum beroperasi, situsnya belum bisa diakses.

Elevarm didirikan pada Februari 2022 di Bandung, Jawa Barat oleh Bayu Syerli. Dalam rekam jejaknya, Bayu pernah bekerja di Mamikos sebagai Co-founder & COO dan di Bukalapak sebagai VP of Marketing.

Insignia sendiri, dalam wawancara bersama DailySocial.id sebelumnya, menyampaikan bahwa mereka memang mengincar untuk lebih agresif berinvestasi pada sektor potensial berikutnya, seperti web3, teknologi iklim, perawatan kesehatan, dan pertanian. Langkah tersebut diambil pasca membukukan dana kelolaan ketiga sebesar $516 juta yang telah diumumkan pada awal Agustus 2022.

Founding Managing Partner Yinglan Tan mengatakan, dampak yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan terbesar di luar Asia Tenggara dalam dekade terakhir akan menjadi permulaan baru dibandingkan dengan dampak yang akan dibuat ooleh pembuat pasar pada dekade berikutnya.

Pendanaan startup agritech mulai dominasi

Menurut catatan DailySocial.id, sepanjang kuartal III 2022 ini, sektor fintech memimpin di urutan pertama berdasarkan jumlah dan nilai transaksi. Sektor berikutnya yang menarik adalah logistik dan agritech. Minat investor terhadap kedua sektor tersebut meningkat dibandingkan periode sebelumnya.

Pada kuartal tersebut, terjadi penurunan dari jumlah transaksi dan nominal yang dibukukan dibandingkan periode sebelumnya. Pada kuartal III 2022, terdapat 62 transaksi dengan nilai yang diumumkan sebesar $983 juta. Angka tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya, yakni 68 transaksi senilai $974 juta.

Sementara itu, pada kuartal II 2022, terdapat 71 transaksi pendanaan bernilai lebih dari $1,4 miliar. Adapun pada kuartal I 2022, terdapat 50 putaran pendanaan bernilai lebih dari $1,22 miliar. Tahapan pendanaan yang dikucurkan pada kuartal III 2022 ini didominasi oleh pendanaan tahap awal (pre-seed sampai seri A).

Evermos Announces Over 427 Billion Rupiah Series B Funding, Social Commerce Is in Its Peak

Social commerce startup Evermos has announced its series B funding of $30 million or the equivalent of 427.3 billion Rupiah. This round was led by UOB Venture Management through the Asia Impact Investment Fund II. Several other investors involved include MDI Ventures, Telkomsel Mitra Innovation, Future Shape, and supported by previous investors, including Jungle Ventures and Shunwei Capital.

The fresh funds will be used to strengthen the leadership team, expand and develop technology. We previously reported the Evermos series B round since August 2021, including the participation of 2 Telkom Group’s CVCs.

“Our vision is to empower one million micro-entrepreneurs in the next five years. One of the main factors influencing the way we do business is by measuring the sustainability and social impact of our platform,” Evermos’ Co-Founder & President, Arip Tirta said.

He also said that the company’s income has been mostly supported by individuals and SMEs in tier-2 and 3 cities. In order to strengthen its presence in the area, they are currently running a pilot program “Evermos Village”, involving nearly 100 villages. In this program, less productive local residents are empowered to become reseller partners — including being trained on entrepreneurial principles.

Evermos social commerce concept

Was founded in November 2018 by Arip, Ghufron Mustaqim, Iqbal Muslimin, and Ilham Taufiq; Evermos has acquired around 100 thousand active resellers in 500 cities. They partner with more than 500 brands with 90% of them coming from curated local SMEs.

The products offered are mostly Muslim clothing commodities, halal health/beauty products, food and beverages, and others — most of them prioritize halal products. From a business perspective, they claim to have grown up to 60 times in the last two years.

Evermos facilitates people who want to become resellers. These users can sell the products in the application to their network, via WhatsApp or social media. There is a profit sharing or reward applied. Evermos alone, in addition to providing products, also helps in terms of logistics management, customer support, and technology.

Evermos’ Co-Founder & Deputy CEO, Ghufron Mustaqim said that his business philosophy is based on ‘Economy Gotong Royong‘, prioritizing collaborative economic empowerment. Through the existing reseller network, Evermos wants to be a vehicle for local SMEs to grow their business, on the other hand, it will generate additional income for resellers.

Social commerce potential in Indonesia

The total GMV generated from online trading business continues to grow rapidly in Indonesia – to date, it still has the largest proportion in the region. According to Bain & Co. data, as visualized by Statista, in 2020 the total GMV for online trading businesses in Indonesia has reached $47 billion.

Although the majority come from e-commerce or online marketplaces, social commerce services have quite a big contribution, which is around $12 billion.

Meanwhile, according to McKinsey, the social commerce business is projected to experience rapid growth of up to $25 billion by 2022. Pandemic becomes one of the catalysts, this is related to changes in the way people shop and the job opportunities offered by social commerce.

UOB Venture Management’s Senior Director, Clarissa Loh explained, Evermos’ social commerce model can be a bridge in answering this gap, by enabling its resellers to market the products of local SMEs.

“The Evermos platform also empowers local brands and creates a source of income for the lower middle class people with minimal access and opportunities, but already own and use smartphones (underserved communities),” Clarissa added.

Social commerce players in Indonesia

In Indonesia, there are already several platforms that offer similar services. Throughout 2021, several other social commerce startups also received funding from investors, including:

Startup Funding
RateS Series A
Raena Series A
KitaBeli Series A, 114 billion Rupiah
Super Series B, 405 billion Rupiah
Dagangan Pre-Series A

Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Application Information Will Show Up Here

Evermos Umumkan Pendanaan Seri B Lebih dari 427 Miliar Rupiah, Bisnis Social Commerce Menggeliat

Startup social commerce Evermos mengumumkan telah menutup pendanaan seri B senilai $30 juta atau setara 427,3 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh UOB Venture Management melalui Asia Impact Investment Fund II. Beberapa investor lain yang terlibat termasuk MDI Ventures, Telkomsel Mitra Inovasi, Future Shape, dan turut didukung investor sebelumnya yakni Jungle Ventures dan Shunwei Capital.

Dana segar yang diperoleh akan digunakan untuk memperkuat tim kepemimpinan, melakukan ekspansi, dan mengembangkan teknologi. Kabar putaran seri B Evermos sebelumnya kami beritakan sejak Agustus 2021 lalu, termasuk adanya keterlibatan 2 CVC milik grup Telkom.

“Visi kami adalah memberdayakan satu juta pengusaha mikro dalam lima tahun ke depan. Salah satu faktor utama yang memengaruhi cara kami menjalankan bisnis adalah dengan mengukur keberlanjutan dan dampak sosial dari platform kami,” ujar Co-Founder & President Evermos Arip Tirta.

Ia juga mengatakan, bahwa selama ini pendapatan perusahaan banyak disokong dari individu dan UKM d kota tier-2 dan 3. Untuk menguatkan keberadaannya di wilayah tersebut, saat ini mereka tengah menjalankan percontohan program “Desa Evermos”, melibatkan hampir 100 desa. Di program itu, warga lokal yang masih kurang produktif diberdayakan menjadi mitra reseller — termasuk dilatih dengan prinsip kewirausahaan.

Konsep social commerce Evermos

Sejak didirikan pada November 2018 lalu oleh Arip, Ghufron Mustaqim, Iqbal Muslimin, dan Ilham Taufiq; saat ini Evermos telah memiliki sekitar 100 ribu reseller aktif di 500 kota. Mereka bermitra dengan lebih dari 500 brand dengan 90% di antaranya datang dari kalangan UKM lokal yang dikurasi.

Produk yang disediakan kebanyakan adalah komoditas busana muslim, produk kesehatan/kecantikan halal, makanan dan minuman, dan lain-lain — sebagian besar mengutamakan produk bernuansa halal. Dari sisi bisnis, dalam dua tahun terakhir mereka mengklaim mendapati pertumbuhan hingga 60 kali.

Aplikasi Evermos memfasilitasi masyarakat yang ingin menjadi reseller. Para pengguna tersebut selanjutnya bisa menjual produk yang ada di aplikasi ke jaringannya, melalui WhatsApp atau media sosial. Ada bagi hasil atau imbalan yang diterapkan. Pihak Evermos sendiri, selain menyediakan produk, juga membantu dari sisi pengelolaan logistik, dukungan konsumen, dan teknologi.

Co-Founder & Deputy CEO Evermos Ghufron Mustaqim menyatakan bahwa dasar filosofi bisnisnya adalah ‘Ekonomi Gotong Royong‘, mengedepankan pemberdayaan ekonomi kolaboratif. Melalui jaringan reseller yang ada, Evermos ingin menjadi sarana bagi UKM lokal untuk mengembangkan bisnis mereka, di sisi lain akan menghasilkan pendapatan tambahan bagi reseller.

Potensi social commerce di Indonesia

Total GMV yang dihasilkan dari bisnis perdagangan online memang terus bertumbuh pesat di Indonesia – sampai saat ini masih memiliki proporsi terbesar di regional. Menurut data Bain & Co., seperti divisualisasikan Statista, pada tahun 2020 total GMV untuk bisnis perdagangan online di Indonesia telah mencapai angka $47 miliar.

Kendati mayoritas datang dari e-commerce atau online marketplace, layanan social commerce memiliki sumbangsih yang tidak kecil, yakni sekitar $12 miliar.

Sementara itu menurut McKinsey, bisnis social commerce diproyeksikan akan mengalami pertumbuhan pesat hingga $25 miliar pada tahun 2022 mendatang. Kondisi pandemi menjadi salah satu katalisator, hal ini terkait perubahan cara orang berbelanja dan kesempatan kerja yang ditawarkan oleh social commerce.

Senior Director UOB Venture Management Clarissa Loh menjelaskan, model social commerce Evermos dapat menjadi jembatan dalam menjawab kesenjangan ini, dengan memungkinkan para reseller-nya untuk memasarkan produk para UKM lokal.

“Platform Evermos juga memberdayakan brand lokal dan menciptakan sumber pendapatan bagi masyarakat menengah ke bawah yang minim akses dan kesempatan, namun memiliki dan menggunakan smartphone (underserved community),” imbuh Clarissa.

Pemain social commerce di Indonesia

Di Indonesia saat ini sudah ada beberapa platform yang menawarkan layanan serupa. Bahkan sepanjang tahun 2021 ini, beberapa startup social commerce lain turut mendapatkan pendanaan dari investor, meliputi:

Startup Tahapan Pendanaan
RateS Seri A
Raena Seri A
KitaBeli Seri A, 114 miliar Rupiah
Super Seri B, 405 miliar Rupiah
Dagangan Pra-Seri A
Application Information Will Show Up Here

Arip Tirta: Teknologi Bisa Mengubah Orang dan Bisnis Secara Cepat dan Signifikan

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Silicon Valley menjadi ‘surga’nya industri startup dan Arip Tirta sempat menjajal kawasan ini selama hampir 7 tahun, menganalisis pasar untuk perusahaan pasar modal terkemuka yang berbasis di AS yang memberikan pinjaman kepada perusahaan teknologi, ilmu hayati, dan teknologi berkelanjutan.

Pada tahun 2011 ia memutuskan untuk pulang dan membangun usahanya sendiri. Ia memulai debut di bidang properti bersama UrbanIndo, sebuah layanan online yang membantu penggunanya untuk memasarkan, menjual, dan membeli properti di Indonesia. Setelah diakuisisi oleh startup proptech lain 99.co, Arip melanjutkan berjalanan bisnisnya di sektor akomodasi, Bobobox. Selain membangun usaha, dia juga aktif berinvestasi di startup, termasuk terlibat langsung dalam operasional perusahaan di beberapa startup.

Saat ini, Arip sedang fokus pada Evermos, sosial commerce pertama yang memberdayakan Usaha Kecil Menengah dan individu, dengan menghubungkan pemilik merek ke pengecer hingga konsumen akhir melalui platform. Ia memiliki semangat yang luar biasa dalam mengembangkan ekosistem UKM, juga berperan menjadi bagian dari komisaris BRI Ventures untuk membantu membangun ekosistem VC di Indonesia.

Selain pengalamannya di Silicon Valley, Arip Tirta memiliki spesialisasi di bidang modal ventura, pinjaman ventura, perusahaan ekuitas, start-up, wirausahawan, manajemen keuangan, dan model bisnis. Tim DailySocial berkesempatan untuk berdiskusi mengenai bisnis dan ekspektasi masa depan industri teknologi Indonesia.

Kapan pertama kali Anda menyadari ketertarikan pada industri teknologi?

Saya memiliki latar belakang pendidikan di bidang komputasi ilmiah. Sebuah ilmu kombinasi dari matematika terapan, statistik, dan ilmu komputer. Selama di kampus, saya selalu bermimpi untuk masuk ke Wall Street dan menjadi seorang trader. Namun, hidup tak selalu berjalan sesuai rencana. Di tahun terakhir kuliah saya, saya mendapat kesempatan wawancara dengan salah satu perusahaan modal ventura & ekuitas swasta yang berbasis di Palo Alto. Saat itu, sudut pandang saya tentang industri teknologi masih terbatas, namun, akhirnya saya diterima karena kemampuan teknis.

Perjalanan awal saya di industri teknologi adalah menjadi analis untuk perusahaan pasar modal terkemuka yang berbasis di AS yang memberikan pinjaman kepada perusahaan teknologi, ilmu hayati, dan teknologi berkelanjutan. Selama beberapa tahun pertama, saya adalah generalis sampai pada akhirnya memutuskan untuk fokus pada industri teknologi di tahun ketiga. Saat itu, semuanya mulai terasa lebih menarik. Selama hampir 7 tahun menganalisis pasar di Silicon Valley, saya memutuskan untuk pulang serta mengaplikasikan apa yang sudah saya pelajari di sana.

Pertemuan tahunan Hercules Capital tahun 2008

Setelah menghabiskan waktu cukup lama di Silicon Valley, apa yang meyakinkan Anda untuk meninggalkan kawasan itu dan pulang ke Indonesia?

Jika ada satu hal yang saya pelajari di Silicon Valley, teknologi dapat mengubah orang dan bisnis secara cepat dan signifikan. Contohnya, dalam hal pemasaran. Pada era ketika internet sangat eksklusif, orang harus mengeluarkan banyak uang untuk iklan. Saat ini, pilihan semakin banyak, banyak hal yang bisa dilakukan bahkan dengan keterbatasan finansial. Teknologi mengubah cara kerja pemasaran dan hal ini akan terus berkembang.

Pada tahun 2010, Indonesia mengalami era ledakan internet yang pertama, salah satu momen bersejarah adalah akuisisi Koprol oleh Yahoo! Saya menyaksikan pertumbuhan perusahaan teknologi Indonesia dari jauh dan cukup terkesan. Dengan beberapa pertimbangan serius, saya akhirnya mengambil keputusan besar dan meninggalkan Silicon Valley untuk berkontribusi dalam kapasitas saya dengan pengalaman saya ke pasar Indonesia.

Bagaimana pengalaman pertama Anda dalam membangun startup?

Ketika kita ingin memulai sesuatu, tidak yang namanya perfect timing. Beberapa bulan sebelum berangkat ke kampung halaman, saya sudah mengerjakan beberapa ide dan rencana bisnis, salah satunya adalah industri real estate.

Penampakan Indonesia di tahun 2010 adalah seperti wild wild west dimana infrastruktur dasar sangat terbatas. Oleh karena itu, kami [penggiat teknologi] secara kolektif berusaha mengembangkan fondasinya. Saya melakukannya di sektor properti, lalu yang lain juga melakukannya di berbagai sektor. Pada saat yang sama, kita pun perlu mengedukasi pasar. Dalam kasus ini, pasar tidak hanya mewakili pengguna akhir tetapi juga pemerintah, termasuk keluarga alias masyarakat.

Ketika menginjakkan kaki kembali di tanah air, saya sadar bahwa tidak seharusnya membandingkan kultur kerja di sini dengan yang ada di Silicon Valley. Oleh karena itu, semua saya lakukan tanpa ekspektasi tinggi, yang penting bisa berjalan lancar. Kami mendirikan UrbanIndo pada tahun 2011, layanan online yang membantu pengguna memasarkan, menjual, dan membeli properti di Indonesia.

Kegiatan akhir tahun UrbanIndo tahun 2014

Pertama, saya melihat dunia properti Indonesia kekurangan data pasar dan memutuskan untuk melakukan disrupsi agar lebih banyak orang dapat memiliki lebih banyak wawasan di sektor ini. UrbanIndo dibangun untuk menjadi situs properti terbaik di Indonesia dengan mendefinisikan ulang cara pandang masyarakat Indonesia terhadap properti. Dengan demikian, seluruh masyarakat Indonesia dapat mengambil keputusan terbaik terkait investasi properti. Kami fokus pada wawasan pasar, perubahan harga, proyeksi, undervalued property yang tersedia, dan sebagainya.

Kami melakukan segalanya dalam kapasitas kami untuk membangun platform ini, didukung oleh Gree Ventures, IMJ Fenox, East Ventures, dan angel investor terkemuka. Sebuah masa yang menyenangkan selama hampir 7 tahun membangun bisnis sampai pada akhir tahun 2017, kami akhirnya memutuskan untuk menerima unsolicited offer dari startup pencarian properti Singapura 99.co.

Diketahui aktif sebagai angel investor, Anda juga salah satu Co-Founder Bobobox serta secara langsung berkontribusi dalam operasionalnya sebagai Managing Director selama hampir satu tahun. Bagaimana Anda mengelola waktu dan kepentingan?

Ketika di UrbanIndo, saya juga menjalankan angel investing. Ada beberapa sektor yang rentan disrupsi. Dengan bobobox, saya terlibat sejak awal. Saya melihat industri travel sedang dalam puncak kejayaan. Banyak orang bepergian, sekedar untuk konten atau dengan harapan mendapat ketenangan pikiran. Lalu kami menemukan bahwa akomodasi yang memakan banyak biaya menjadi masalah besar di segmen ini. Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan memaksimalkan ruang sehingga menghasilkan penawaran harga yang hemat biaya.

Bobobox didirikan pada tahun 2018, solusi akomodasi baru, muda, ramping, gesit, dan cerdas untuk semua orang. Bobobox menjadi akomodasi alternatif bagi para pelancong milenial dan smart traveler yang ingin mencoba sesuatu yang baru dan berbeda. Platform ini dibangun untuk merevolusi kebiasaan tidur dan membantu orang tidur lebih baik dan menyajikan pengalaman lebih banyak melalui teknologi.

Angel Investing di Indonesia semakin populer karena banyak pendiri startup telah exit dan individu dengan kekayaan berlimpah yang semakin tertarik untuk berinvestasi langsung di startup. Berbeda halnya dengan Silicon Valley, karena di sana sudah terjadi siklus penuh dari pendirian startup hingga exit. Sementara di Indonesia, tahun ini bisa terjadi full cycle ketika unicorn/decacorn nasional berhasil exit di bursa luar negeri.

Sebagai social commerce, Evermos fokus untuk memberdayakan UMKM dan individu pada platformnya, secara khusus brand-brand Muslim. Mengapa anda memutuskan menggunakan pendekatan seperti ini?

Kilas balik ke Silicon Valley, dulu saya sempat berpikir untuk memulai usaha di ranah e-commerce. Di setiap daerah, sektor yang biasanya lebih dulu take off adalah e-commerce, juga yang pertama menjadi unicorn. Namun, ketika saya melihat situasi di Indonesia saat itu, sudah ada beberapa pemain papan atas dan jika harus menambahkan, tidak akan ada perbedaan yang signifikan dalam hal value proposition.

Melaju ke 2018, saya melihat ada banyak pain points di industri ritel. Ada banyak perantara yang dibutuhkan untuk menyelesaikan siklus dari pemilik merek hingga pengguna akhir. Dan saya berpikir, bagaimana mendisrupsi pasar ritel ini? Bertahun-tahun telah berlalu sejak e-commerce berkembang di seluruh Indonesia, tetapi persentase pembelian online masih terhitung tidak cukup besar. Ada beberapa alasan, salah satunya adalah manusia sebagai makhluk sosial dan budaya.

Saat itu, perdagangan sosial belum menjadi sesuatu. Bahkan, kami juga berusaha membawa dampak positif e-commerce ke pasar yang lebih besar. Didirikan pada November 2018, Evermos menjadi social commerce pertama yang memberdayakan Usaha Kecil Menengah dan individu, dengan menghubungkan pemilik merek ke pengecer hingga konsumen akhir melalui platform kami.

Kami ingin menciptakan ekonomi dan kesejahteraan yang inklusif dengan memberikan akses, kesempatan, dan pelatihan bagi individu dan UKM untuk lebih mandiri secara finansial.

Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, oleh karena itu, kami memutuskan menjadi platform yang berbasis syariah. Namun, ini tidak eksklusif dan terbuka untuk semua jenis pedagang terlepas dari basis syariah tersebut. Pendekatan ini semata-mata demi membuat platform lebih inklusif.

Saya memutuskan fokus dengan UKM karena industri ini telah menyumbang 60% dari PDB kita dan menyerap sekitar 97% tenaga kerja domestik. Belum dihitung dengan pekerja unskilled. Evermos dianggap mengambil jalan yang sulit, jauh lebih mudah menjangkau merek global dengan pola pikir yang berkembang dan teknologi yang canggih. Namun, kami mempertanyakan diri sendiri, dampak seperti apa yang ingin diberikan, apakah itu menghasilkan keuntungan jangka pendek atau keuntungan jangka panjang. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk fokus pada merek lokal yang dapat memberikan dampak bagi perekonomian bangsa.

Kami percaya sekelompok orang atau UKM yang bekerja sama dengan platform dan insentif yang tepat, dapat mencapai sesuatu yang substansial. Itulah mengapa kami menaruh kepercayaan pada social commerce, karena ini adalah ekonomi kerakyatan, di mana kami dapat menjadi jembatan bagi UKM di tahap awal. Dengan Evermos, mereka dapat fokus pada produksi untuk menciptakan harga yang kompetitif dengan pemain global. Saluran penjualan kami tersebar di seluruh Indonesia, sehingga merek lokal otomatis akan memiliki jangkauan nasional. Inilah yang menjadi proposisi nilai kami.

Ketakutan terbesar saya dari sisi startup teknologi atau UKM adalah negara kita menjadi konsumen tunggal. Kita harus bisa membangun nilai, bukan menjadi pedagang tunggal. Perekonomian Indonesia harus memiliki dampak positif, itu adalah bagian penting dari bangsa ini.

Perjalanan pitching pertama Evermos di 2018

Anda telah mengarungi sektor properti, akomodasi, lalu social commerce. Apa yang menjadi tantangan terbesar atau pelajaran berharga dari semua pengalaman tersebut?

Setiap industri memiliki masalah yang berbeda. Sebenarnya, ada beberapa masalah serupa yang harus kita waspadai dan tingkatkan secara kolektif. Di Indonesia, beberapa startup biasanya mengalami kesulitan dalam monetisasi. Kesalahan kami sebelumnya adalah memikirkan pangsa pasar dan menjadi yang terdepan lebih dulu, lalu memikirkan tentang monetisasi. Strategi ini telah terbukti di banyak negara. Nyatanya, Indonesia adalah bangsa yang unik, banyak orang berpendapat solusi internet seharusnya gratis. Strategi seperti ini mungkin berhasil di negara lain tetapi di Indonesia adalah sebuah peruntungan.

Kedua, sumber daya manusia. Hingga saat ini, Indonesia masih mengalami krisis karena kurangnya pekerja di lapisan tengah. Dari sisi suplai, talenta masih cukup langka, terutama yang berlatar belakang teknologi. Saya pikir kedua masalah ini terjadi di hampir semua sektor.

Berpengalaman sebagai venture capitalist serta venture builder, bagaimana Anda melihat iklim investasi di Indonesia serta proyeksi pertumbuhan industri teknologi Indonesia beberapa tahun terakhir?

Seperti yang saya katakan sebelumnya, Indonesia belum pernah menciptakan satu siklus penuh dalam hal investasi ventura. Mulai dari investasi hingga panen. Tahun ini akan menjadi tahun validasi bagi unicorn/decacorn yang sudah memiliki rencana IPO. Semoga exit tersebut juga bisa menjembatani startup lain untuk kegiatan M&A. Indonesia sudah menjadi pasar yang sangat menarik, ini adalah cara kita untuk memicu lebih banyak kisah sukses yang berdampak pada seluruh ekosistem.

Di era pandemi, banyak orang mencari modal, sementara VC semakin selektif dengan investasinya. Melalui dua perspective, bagaimana menurut Anda sebuah bisnis layak mendapat investasi serta apa value utama yang dicari investor dari sebuah bisnis/seorang founder?

Pandemi ini adalah sebuah anomali dan yang menjadi reaksi pertama adalah menunggu dan mengamati. Seiring berjalannya waktu, investor semakin beradaptasi dan menyesuaikan dengan kondisi saat ini, melihat beberapa perusahaan dapat melewatinya dengan pertumbuhan yang sehat. Lagipula, ada sejumlah uang yang harus dikucurkan ke perusahaan. Ketika masa menunggu dan mengamati berlalu, para investor mulai masuk secara selektif.

Saat ini, banyak startup yang juga sedang menggalang dana, dan situasinya diharapkan semakin membaik. Mengenai penilaian VC, itu sangat tergantung pada pasar dan pengalaman pribadi. Ada kalanya pertumbuhan menjadi hal yang mendasar,  dewasa ini, bukan lagi perihal pertumbuhan dengan cara apapun, tetapi pertumbuhan yang sehat.

Sebagai salah satu komisaris di BRI Ventures, saya pribadi memiliki dua hal. Pertama, perusahaan ingin membangun ekosistem VC di Indonesia. Karena banyak VC membangun kantor di negara ini, uangnya tidak tinggal di sini. Hal ini adalah tentang bagaimana membuat VC dan uangnya bisa tinggal untuk membangun ekosistem. Kedua, BRI sebagai bank yang fokus pada UKM sangat selaras dengan passion saya terhadap UKM.

Para direktur dan komisaris BRI Ventures di 2020

Sebagai salah seorang yang layak disebut seasoned entrepreneur, apa hal yang dapat Anda sampaikan untuk para penggiat teknologi yang saat ini sedang berjuang membangun bisnis di era pandemi?

Untuk membuat startup teknologi, diperlukan pola pikir tertentu serta tidak menunggu waktu yang tepat. Selalu pikirkan jalan keluar terbaik dari situasi apa pun. Bagaimana kita bisa membuat kartu yang jelek bisa bekerja. Faktanya, ketika kita memutuskan untuk membangun usaha, tantangan adalah sesuatu yang sudah diantisipasi. Jika Anda harus menunggu waktu yang tepat, bagaimana Anda bisa menghadapi lebih banyak tantangan di depan.

Saya pribadi suka tangan saya kotor, itulah mengapa saya selalu terlibat di level operasional. Namun, saya mengerti bahwa inilah saatnya bagi kaum muda untuk berkembang. Saat ini saya sedang memfokuskan energi saya untuk membimbing dan sudah waktunya untuk menyerahkan tongkat estafet ini. Kita hidup di masa yang sangat menyenangkan. Sekitar 400 tahun yang lalu, hampir tidak mungkin menciptakan dampak besar dalam waktu sesingkat itu. Teknologi menciptakan kesempatan yang sama dan menarik kesenjangan lebih dekat bagi orang-orang untuk menciptakan dampak yang besar.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Arip Tirta: Technology Can Change People and Business in a Fast and Significant Way

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Silicon Valley is the paradise of the startup industry and Arip Tirta spent nearly 7 years analyzing the market for the US-based leading capital market company that lends to technology, life sciences, and sustainable technology companies. He has specialties in venture capital, venture lending, private equity, start-ups, entrepreneurs, financial structuring, and business models.

In 2011 he decided to come home and built his own venture. His startup debut is in the property sector, with UrbanIndo, an online service that helps its users to market, sell, and buy property in Indonesia. After being acquired by another proptech startup 99.co, Arip moved to the next venture in the accommodation sector, Bobobox. Aside from building a venture, he also actively invest in startups, he also directly involved in some of the startups.

Arip’s current focus now lies in Evermos, the first social commerce to empower Small Medium Enterprises and individuals, by connecting brand owners to resellers to end consumers through the platform. He’s currently very passionate about cultivating the SME ecosystem, also become a part of BRI Ventures’ commissioner to help to build the VC ecosystem in Indonesia.

Aside from his experience in Silicon Valley, Arip Tirta has specialties in venture capital, venture lending, private equity, start-ups, entrepreneurs, financial structuring, and business models. DailySocial team has an opportunity to discuss his venture and future expectations of the Indonesian tech industry.

When was the first time you realize that you’re in the tech industry?

I have an educational background in scientific computing. It’s a combination of applied math, statistics, and computer science. During my campus life, I always dreaming about making it into Wall Street and become a trader. Then, life got in the way. In my last year of college, I got an interview with one of the venture capital & private equity-based in Palo Alto. My viewpoint of the tech industry was limited at that time, however, I managed to pass the interview with my technical skill.

My first attempt in the tech industry was being an analyst for the US-based leading capital market company that lends to technology, life sciences, and sustainable technology companies. During my first few years, I was being a generalist until I decided to focus on the tech industry in my third year. I think that was when it all started to become more interesting. I spent 7 years analyzing the market in Silicon Valley and leaving with the finest seeds to plant in the home country.

Hercules Capital annual meeting circa 2008

You’ve had the time of your life in Silicon Valley, what makes you leave the “it” city and decided to come home?

If there is one thing I’ve learned in Silicon Valley, technology can change people and business in a fast and significant way. In terms of marketing, back in the day when the internet is very exclusive, people have to pay loads of money for ads. Nowadays, when there are options, everything is made possible even with just a little money. Technology is changing the way marketing works and still counting.

In 2010, Indonesia was having its first internet boom, one of the historical moments was Koprol’s acquisition by Yahoo! I was watching Indonesian tech companies’ growth from afar and quite impressed. With some serious considerations, I finally pull the trigger and leave Silicon Valley to contribute more in my capacity with my experience to the Indonesian market.

How was your first experience building a startup?

When we want to start anything, there is no such thing as perfect timing. Few months before leaving for my hometown, I’ve already worked on some ideas and business plans, one of which is the real estate industry.

Indonesia circa 2010 is like a wild wild west where basic infrastructure is very limited. Therefore, we [tech enthusiasts] collectively trying to develop the foundation. I did it in the property sector, there are others in different sectors. At the same time, we need to educate the market. Market in this sense not only stands for end-users but also the government, including families a.k.a societies.

When I set my foot back in this archipelago, I’m aware that I shall not compare how things work in here with the way things are in Silicon Valley. Therefore, I did it all without high expectation, just try to make it work. We founded UrbanIndo, an online service that helps users market, sell, and buy property in Indonesia in 2011.

UrbanIndo year-end event circa 2014

First, I see the Indonesian property lacks market data and decided to disrupt this industry for more people can have more insights on this sector. UrbanIndo was build to become the best property site in Indonesia by redefining the way Indonesians looking at properties. Therefore, all Indonesian people can make the best decision regarding investment in property. We’re focused on market insights, changing prices, projections, available undervalued property, and so on.

We did everything in our capacity to build this platform, it was backed by Gree Ventures, IMJ Fenox, East Ventures, and prominent angels. It was an exciting nearly-7-years time of making business work until in late 2017, we finally decided to accept an unsolicited offer from Singapore’s property search startup 99.co.

It is said that you are also an active angel investor. With Bobobox, you become the Co-Founder and directly contribute to managing day-to-day operations as Managing Director for almost a year. How did you manage?

While I was working with UrbanIndo, I also did some angel investing. There are several sectors that are worth disrupting. With bobobox, I was involved since the beginning. I see the travel industry is at its peak. Many people are traveling a lot, despite for content or just for peace of mind. We then found out that accommodation becomes a big cost-related issue in this segment. One of the ways to solve this problem is to maximize space resulting in cost-effective price.

Bobobox was founded in 2018, a new, young, sleek, nimble, and smart accommodation solution for everyone. Bobobox becomes the alternative accommodation for millennial adventurers and smart travelers who crave something new and refreshing. The platform was built to revolutionize sleeping habits and help people sleep better and experience more through technology.

Angel investing in Indonesia is getting popular as many startup founders have exited with high net worth individuals growing interested to invest directly in startups. In Silicon Valley, it’s different indeed as they have passed some full cycle from startup founding to exit. Meanwhile in Indonesia, it’ll make its full cycle this year when the nation’s unicorn/decacorn succeeded to exit in the overseas stock exchange.

As social commerce, Evermos focuses to empower SMEs and individuals on its platform, especially Muslim brands. Why do you take this approach?

Throwback to Silicon Valley, I used to think I would start my venture with e-commerce. In every region, the sector that is usually taking off first is e-commerce, the first one to make it into a unicorn. However, when I examine the current situation in Indonesia, there are already some leading players and if I added one more, there will not be a significant difference in terms of a value proposition.

Fast forward to 2018, I see the there are lots of pain points in our retail industry. It requires many middlemen to complete the cycle from brand owners to end-users. And I think to myself, how to disrupt this retail market? Years have passed since e-commerce expanding all around Indonesia, but the percentage of online purchasing is considered not big enough. There are several reasons, including people as a social being and culture.

Back then, social commerce is yet to be a thing. In fact, we also tried to bring the positive impact of e-commerce to a bigger market. Founded in November 2018, Evermos is the first social commerce to empower Small Medium Enterprises and individuals, by connecting brand owners to resellers to end consumers via our platform.

We want to create inclusive economy and prosperity by giving access, opportunity and training for individuals and SMEs to become more financially independent.

Indonesia is a country with the largest Muslim population in the world, therefore, we decided our platform be sharia compliance. However, it is not exclusive and it’s open for all kinds of merchants regardless of the sharia compliance. The approach is to make the platform more inclusive.

SME becomes one of my focus since it contributes to 60% of our GDP and absorbs around 97% of domestic employment. Try counting the unskilled workers, too. Evermos is considered to take the hard road as it is easier to deal with global brands with a growth mindset and sophisticated technology. However, we did questioning ourselves about the impact we want to create, is it to make a short term gain or long term gain. Thus, we decided to focus on local brands that can create an impact on the nation’s economy.

We believe whether the group of people or SMEs work together with the right platform and incentives, we can achieve something substantial. That is why we put our trust in social commerce because this is people’s economy, where we can be the bridge for SMEs in the early stage. With Evermos, they can focus on production to create a competitive price with global players. Our sales channels are distributed throughout Indonesia, therefore, the local brands automatically become national companies. This has become our value proposition.

My biggest fear in terms of tech startups or SME is that our country became a sole consumer. We have to be able to build the value, instead being a sole trader. Indonesian economy should have the positive impact, it’s an essential part of this nation.

Evermos first pitch to investor trip circa 2018

You’ve been venturing in the property sector, accommodation, and now the social commerce, Evermos. What is the biggest challenge or the lesson learned from all your experiences?

Every industry holds different issues. In fact, there are some similar concerns we should be aware of and collectively improve. In Indonesia, some startups are usually having difficulty with monetization. Our previous blunder was thinking of market share first and being the leading one, then we can turn on monetization. This strategy has proven in many countries. After all, Indonesia is indeed a unique nation that some people are not willing to pay a certain amount for an internet solution. It might work in other country but it’s a leap of faith in Indonesia.

Second, it’s the human resources. To date, Indonesia still experiences a crisis due to the lack of a middle layer. In terms of supply, talent is still quite rare, especially in a tech background. I think both issues are happening in almost every sector.

You’ve had experience as a venture capitalist and venture builder, what do you think of Indonesia’s investment climate, and how do you see the Indonesian tech industry’s growth for the past few years?

As I said previously, Indonesia is yet to create one full cycle in terms of venture investment. From investing to harvesting. This year will be the year of validation for the unicorn/decacorn which already have plans for IPO. Hopefully, the exit can also bridge other startups for M&A activities. Indonesia is already a very attractive market, it’s how we trigger more success stories to impact the whole ecosystem.

In this time of the pandemic, people are looking for capital everywhere, and VCs have been tight and selective with their investment. Using both perspectives, what do you think a business can do to get funding and what kind of value most investors are seeking for in a founder/business.

The pandemic is an anomaly and people’s first reaction is to wait and see. In time, investors are getting adapt and adjust to the current condition seeing some companies can make it through with healthy growth. Also, there’s a certain amount of money to be planted to companies. When the wait-and-see season is finally passed, they started to chip in selectively.

There are also lots of startups fundraising at this moment, hopefully, the situation gets better. Regarding VC’s assessment, it’s really depend on the market and personal experience. There are times when growth becomes the fundamental, today, it’s not really about growing at any cost, but growing in a healthy way.

As one of the commissioners in BRI Ventures, I personally have two things. First, the company wants to build VC ecosystem in Indonesia. As many VCs build offices in this country, the money did not stay here. It’s about how to make VCs and its money can stay to generate the ecosystem. Second, BRI as an SME-focused bank is very aligned with my passion for SMEs.

BRI Ventures directors and commissioners circa 2020

As a seasoned entrepreneur, do you have anything to say to those tech enthusiasts who tried to start something in this time of pandemic?

In order to create tech startup, it requires certain mindset and no perfect timing. Always think of the best way out of any situation. How can we make an unfortunate card works. In fact, when we decided to venture, challenge is something expected. If you have to wait for the perfect timing, how can you face the more challenges ahead.

I personally like my hands dirty, that’s why I involved in the operation level. However, I understand that this is the time for young people to blossom. I’m currently focusing my energy to mentor and it’s already time to pass the baton. We live in a very exciting time. About 400 years ago, it’s almost impossible to create big impact in such short time. Technology creates equal opportunity and pulling the gap closer for people to create a big impact.

Pasca Akuisisi UrbanIndo oleh 99.co, Arip Tirta Lepaskan Jabatan CEO

Portal properti lokal UrbanIndo resmi menjadi bagian dari 99.co Group, portal properti yang berbasis di Singapura. Proses akuisisi ini telah berjalan sejak kuartal kedua 2017 lalu. Akuisisi dilakukan oleh 99.co untuk memperluas ekspansi layanannya di Indonesia, memanfaatkan data yang dimiliki oleh UrbanIndo.

Dalam acara jumpa pers hari ini (22/01), Country Manager 99.co untuk Indonesia Irvan Ariesdhana mengklaim kepada media, selama ini UrbanIndo telah membuktikan prestasinya sebagai portal properti nomor satu di Indonesia, dengan jumlah pengunjung aktif sebanyak 2 juta per bulannya dan jumlah listing sebanyak 1,2 juta lebih.

“Alasan itu yang pada akhirnya memperkuat rencana kita melakukan akuisisi UrbanIndo, nantinya model bisnis yang dimiliki oleh 99.co akan digabungkan dengan UrbanIndo yang selama ini memiliki data yang lumayan besar,” kata Irvan.

Meskipun masih memiliki kantor pusat di Bandung, UrbanIndo yang saat ini telah menjadi bagian dari 99.co Group, tidak akan memindahkan kantornya ke Jakarta. Untuk jajaran C-Level dari UrbanIndo sendiri, disebutkan oleh Irvan mengalami perubahan. Pendiri dan CEO UrbanIndo Arip Tirta, tidak lagi menjabat sebagai CEO UrbanIndo. Secara langsung posisi CEO akan dipimpin oleh Darius Cheung CEO 99.co. Sementara itu Petra Barus masih menjabat sebagai CTO UrbanIndo.

“Restrukturisasi ini harus kita lakukan sebagai bagian dari rencana ke depan 99.co dan UrbanIndo, untuk menjadi portal properti terbesar di Indonesia dan tentunya Asia Tenggara,” kata Irvan.

Fokus 99.co pasca akuisisi

Diluncurkan pada tahun 2015, 99.co mengklaim telah menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik, meraih popularitas di kalangan konsumen dengan desain dan algoritma pencarian yang mengutamakan kepuasan pengguna. Setelah melakukan pertemuan, riset dan evaluasi, pada kuartal ke empat 2017, proses akuisisi UrbanIndo oleh 99.co disepakati.

Disinggung tentang berapa jumlah nilai akuisisi tersebut, pihak 99.co enggan menyebutkan secara pasti. Masih fokus kepada wilayah Jabodetabek, Bandung dan Surabaya, 99.co didukung dengan UrbanIndo menargetkan pertumbuhan pengguna hingga 10 kali lipat.

“Tim kami sangat percaya dengan sinergi antara perusahaan teknologi properti terkemuka di kedua negara, kami akan memberikan lebih banyak produk baru yang menarik di masa depan untuk melayani pembeli, agen, dan pemain real estate utama di tingkat regional,” kata CTO UrbanIndo Petra Barus.

Sebelum di akuisisi oleh 99.co, UrbanIndo telah menjadi portal properti bersaing dengan sekitar 7 portal properti lainnya di tanah air, dengan jumlah pelanggan sebanyak 350 ribu, 75 ribu agen terdaftar dan 25 juta halaman di situs di klik per bulannya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Urbanindo Berencana Ekspansi ke Negara Tetangga (UPDATED)

Setelah meluncurkan fitur UrbanIndo Finance dan UrbanIndo Commercial beberapa waktu yang lalu, Portal online jual beli properti UrbanIndo saat ini mulai melancarkan kegiatan penggalangan dana dengan mengundang investor lokal hingga asing berinvestasi di UrbanIndo. Jika diperoleh, UrbanIndo akan memasuki tahap pendanaan Seri C.

UrbanIndo sendiri sempat dikabarkan dilirik oleh sebuah layanan marketplace properti global. Menanggapi kabar tersebut, CEO dan Founder UrbanIndo Arip Tirta menyanggahnya.

“Sejak akhir Desember 2016 lalu UrbanIndo sudah mulai melancarkan kegiatan penggalangan dana, namun saat ini masih proses pengenalan dan pertemuan namun belum final,” kata Arip.

UrbanIndo sendiri saat ini mengklaim telah mengalami peningkatan dari sisi active listing, diprediksi bulan Febuari 2017 mendatang jumlah active listing di UrbanIndo bakal menyentuh angka 1 juta active listing. Prestasi yang dicapai oleh UrbanIndo sebagai startup lokal yang ingin membuktikan bahwa model bisnis yang dimiliki ternyata mampu diterima dengan baik oleh masyarakat dan sustainable.

“Sulitnya untuk mendapatkan informasi terkini tentang properti di Indonesia membuat UrbanIndo mampu menjalankan bisnisnya dan diterima oleh pengguna, model bisnis itulah yang nantinya bisa direplika di emerging market seperti Thailand dan Filipina,” kata Arip.

Ekspansi ke regional

Meskipun masih tahap pengenalan dari berbagai investor yang ada, Arip mengungkapkan jika pendanaan nantinya final dan telah didapatkan akan dimanfaatkan untuk ekspansi ke negara Asia Tenggara seperti Filipina dan Thailand. Sementara untuk negara maju seperti Singapura, menurut Arip akan sulit diimplementasikan.

“Pemerintah Singapura selama ini cukup generous memberikan informasi tentang harga properti dan informasi lainnya yang dibutuhkan oleh warga. Dengan demikian akan sulit UrbanIndo melancarkan bisnis di negara tersebut,” kata Arip.

Untuk rencana eskpansi sendiri Arip enggan untuk menyebutkan kapan ekspansi akan dilakukan, namun fokus dari UrbanIndo saat ini adalah terus melakukan uji coba dan pembuktian kepada publik, bahwa layanan yang diberikan oleh UrbanIndo terbukti bisa menguntungkan dan bertahan.

“Fokus kita tahun ini adalah melakukan monetisasi sambil terus melancarkan kegiatan penggalangan dana dengan menargetkan strategic investor, agar lebih mudah melancarkan rencana ekspansi,” tutup Arip.

Update: Dilakukan koreksi terhadap judul

Application Information Will Show Up Here

Echelon Indonesia 2015 Roadshow Bandung Berlangsung Seru

Setelah Jakarta (4/3), Bandung (5/3) mendapat kesempatan mengikuti rangkaian diskusi Echelon Indonesia 2015 Roadshow. Acara yang bertempat di Bandung Digital Valley (BDV) ini menghadirkan empat pembicara, yaitu Executive Director Bandung Digital Valley Indra Purnama, Pendiri e-Fishery Gibran Huzaifah, CEO Urbanindo Arip Tirta, dan Pendiri Revasi Suriafur Ken.

Continue reading Echelon Indonesia 2015 Roadshow Bandung Berlangsung Seru

Bagaimana Menganggarkan Modal untuk Mendirikan Sebuah Startup

Ilustrasi Pebisnis Menghitung Biaya Pengeluaran / Shutterstock

Pertanyaan paling umum bagi setiap orang yang mempunyai ide atau rencana mendirikan startup adalah “Berapa biaya yang saya butuhkan untuk mendirikan startup?” Tentu saja jawabanya akan sangat tergantung dari jenis bisnis yang akan didirikan. Meskipun demikian, ada beberapa hal yang perlu disiapkan, terkait pemodalan, untuk mendirikan sebuah startup.

Continue reading Bagaimana Menganggarkan Modal untuk Mendirikan Sebuah Startup

Arip Tirta Tinggalkan Karier Mapan di Silicon Valley untuk Mulai dari Nol di Tanah Air

Hidup dan tinggal di negara maju bisa jadi merupakan impian bagi kebanyakan orang. Lain halnya dengan founder Urbanindo Arip Tirta yang justru meninggalkan kariernya yang mapan di Amerika Serikat untuk kembali ke tanah air dan mendirikan startup. Sebelumnya Arip telah bekerja selama tujuh tahun di Hercules Technology Growth Capital yang berbasis di Palo Alto. Posisinya yang ia tinggalkan di tahun 2011 adalah Director of Investment Analysis and Strategy.

Continue reading Arip Tirta Tinggalkan Karier Mapan di Silicon Valley untuk Mulai dari Nol di Tanah Air