Strategi Omnichannel Atome Bawa 60% Total Transaksi Paylater dari Gerai Offline

Buy-Now-Pay-Later (BNPL) atau akrab disebut paylater kini menjadi salah satu varian fintech yang cukup diminati di pasar Indonesia. Berdasarkan hasil survei yang diterbitkan dalam Fintech Report 2021, paylater menjadi produk favorit kedua (68,9%) setelah e-money (80,2%). Lebih tinggi dari pada cashloan (53,1), wealthtech (44,7%), dan fintech lending (38,3%). Hal tersebut juga ditengarai penetrasi kartu kredit yang masih minim, sementara kebutuhan metode pembayaran cicilan meningkat.

Atome (PT Mega Shopintar Indonesia) hadir menyajikan platform paylater untuk menangani beragam kebutuhan pembayaran, baik di gerai online maupun offline. Sejak hadir di September 2020, Atome telah bermitra dengan 400 merchant online/offline, termasuk 5.500 gerai milik MAP Group, Giordano Group, Matahari, M&M, dll; juga layanan e-commerce seperti iStyle, JD.id, Agoda, Zalora dll.

Pasar paylater di Indonesia juga telah dilayani oleh beberapa pemain lainnya, seperti GoPaylater, Shopee Paylater, Kredivo, dan beberapa lainnya. Namun demikian, setiap pemain memiliki proposisi nilai tersendiri yang dihadirkan untuk penggunanya.

Untuk menggali terkait strategi dan nilai unik yang coba dihadirkan Atome di Indonesia, DailySocial.id berkesempatan untuk berbincang dengan General Manager Atome Indonesia Winardi Wijaya.

Pendekatan omnichannel

Sejak awal hadir, Atome mengambil pendekatan berbeda dengan menangani pembayaran ke e-commerce dan gerai di pusat perbelanjaan – kendati beberapa pemain kini juga mengikuti langkah tersebut.

Terkait strategi ini, Winardi mengatakan, “Saya menyoroti bagaimana kami adalah platform layanan omnichannel sejak hadir pertama kali. Layanan kami dapat dengan mudah diintegrasikan ke dalam point-of-sales fisik, situs web, atau bahkan aplikasi seluler. Biasanya pemain lain mungkin berfokus pada pembayaran bagi e-commerce, namun kami juga mendukung mitra-mitra kami secara offline.”

Hadirnya layanan Atome di sistem pembayaran gerai ritel tradisional juga turut dipandang sebagai upaya untuk membantu para pelaku bisnis untuk bertransisi ke kanal online, terlebih untuk menanggulangi kunjungan yang menurun akibat pandemi. “Untuk partner merchant yang kurang memiliki pengetahuan teknologi, kami menyediakan dukungan integrasi omnichannel melalui platform seperti Shopify, Woocommerce, dan penyedia layanan pembayaran lainnya untuk mendigitalkan dan mengarahkan trafik ke toko mereka.”

Pendampingan turut dilakukan tim Atome dengan menghadirkan petugas khusus di merchant untuk memastikan proses pemanfaatan teknologi berjalan mulus. Dan tidak hanya menyediakan platform, turut disampaikan bahwa antara Atome dan mitranya juga ada inisiatif untuk melakukan kegiatan pemasaran dam branding bersama.

“Saat ini 60% dari keseluruhan transaksi kami berasal dari mitra merchant offline, sementara transaksi online mencapai sekitar 40%. Saat kita keluar dari pandemi Covid19, kita melihat para konsumen yang kembali ke pusat perbelanjaan dan gerai ritel secara fisik. Dalam kampanye program 11/11 & 12/12 baru-baru ini di tahun 2021, Atome juga mendorong penjualan untuk mitra merchant kami hingga 10 kali lipat,” imbuh Winardi.

Adopsi paylater di toko fisik

General Manager Atome Indonesia Winardi Wijaya / Atome

Alasan lain mengapa Atome memilih pendekatan ini, mereka meyakini bahwa kegiatan belanja offline masih memiliki peranan besar dalam keseluruhan transaksi di Asia, termasuk Indonesia. Belanja secara fisik dinilai tetap menjadi aktivitas sosial yang banyak diminati masyarakat — misalnya untuk mendapatkan pengalaman langsung melihat dan menyentuh produk sebelum membeli. Selain itu, model omnichannel juga dirasa makin dibutuhkan oleh pembeli muda masa kini untuk menghasilkan pengalaman belanja yang lebih fleksibel.

“Pembeli muda yang cerdas dan terbuka secara digital saat ini yang sedang melalui berbagai tahap kehidupan (misalnya pernikahan, pekerjaan pertama, rumah pertama, anak pertama). Mereka juga menginginkan pengalaman berbelanja yang bersifat omnichannel yang dapat memungkinkan mereka untuk memiliki fleksibilitas untuk berbelanja dan membeli produk berkualitas lebih baik, mengelola anggaran mereka namun tidak ingin berutang.”

Winardi melanjutkan, “Para konsumen dari Atome Indonesia bisa mendapatkan banyak sekali keuntungan. Dengan mudah para konsumen dapat melakukan pembayaran melalui aplikasi seluler dengan hanya melakukan check out situs web atau di depan kasir merchant kami dengan membagi pembayaran selama tiga atau enam bulan, tanpa DP dan bunga 0%.”

Ia menjelaskan contoh mekanisme pembayarannya. Ketika seseorang melakukan transaksi untuk pakaiannya, mereka biasanya dikenakan pembayaran secara penuh sebesar Rp900.000,00. Namun apabila menggunakan aplikasi Atome sebagai metode pembayaran, total transaksi dapat dipecah menjadi tiga kali pembayaran: Rp300.000,00 dalam 30 hari setelah transaksi berlangsung; Rp300.000,00 lagi akan dibayarkan dalam 60 hari setelah bertransaksi; pelunasan Rp300.000,00 sisanya akan dibayarkan 90 hari setelahnya. Lalu, merchant dibayar penuh Rp900.000,00 yang dikurangi biaya transaksi dalam jangka waktu H+1 hari kerja.

“Bagi kacamata konsumen, jelas ini dapat memberikan mereka fleksibilitas dan kenyamanan untuk melakukan pembayaran secara digital, dan dengan platform yang dapat membantu mereka mengelola keuangan dan mengatur pengeluaran secara cerdas,” terangnya.

Proses pembayaran dengan aplikasi Atome / Atome

Model bisnis Atome

Atome mengatakan bahwa layanannya benar-benar gratis dengan DP dan bunga 0% untuk digunakan oleh pengguna dengan pembayaran tepat waktu dan ini berlaku untuk transaksi pada mitra merchant dan online.

Biaya admin yang dikenakan hanya untuk pembayaran yang terlewat dari waktu yang tersedia, yakni Rp80.000,00.

Diterangkan lebih detail, model bisnis Atome bekerja dengan menagih mitra merchant untuk layanan, bukan konsumen. Inilah perbedaan mendasar antara Atome dan produk pinjaman/kartu kredit P2P lainnya.

“Kami membebankan tingkat diskonto pedagang (MDR) dengan nominal untuk setiap transaksi yang diselesaikan. Tetapi sebagai imbalannya, mitra merchant menerima pembayaran penuh (dikurangi MDR) dalam waktu kurang dari 2 hari kerja, dan hal ini sudah terbukti berkali-kali bahwa Atome membantu mendorong pertumbuhan bisnis dan trafik untuk mitra merchant kami,” jelas Winardi.

Dari praktik yang sudah ada, mitra merchant mengalami peningkatan hingga 30% dalam average order size — serta peningkatan konversi untuk membeli, karena pelanggan telah diberi pilihan untuk melakukan pembayaran dengan metode yang lebih mudah. Di sisi lain, average basket size yang dilayani senilai Rp500.000,00 s/d Rp700.000,00 sehingga risiko akumulasi hutang besar dapat diminimalkan.

“Kami memiliki cakupan pasar terluas di Asia, dan dapat mendukung merchant besar kami di Indonesia yang ingin melakukan ekspansi di seluruh wilayah. Contohnya mendukung IUIGA untuk berkembang dari Singapura ke Indonesia […] Kami juga mendorong prospek organik ke mitra merchant kami melalui konten yang kami berikan. Bukan hanya memberikan tips berbelanja, namun bisa memberikan inspirasi bagi para pengguna.”

Target selanjutnya

Atome ingin perluas cakupan di berbagai jenis merchant / Atome

Atome merupakan bagian dari Advance Intelligence Group yang turut mengoperasikan layanan p2p lending Kredit Pintar dan platform e-commerce enabler Ginee. Grup perusahaan tersebut juga saat ini telah memiliki valuasi melebihi $2 miliar setelah pendanaan seri D pada September 2021 lalu senilai lebih dari $400 juta dari Softbank, Warburg Pincus, Northstart, dan investor lainnya.

“Salah satu kekuatan utama kami juga pada teknologi manajemen risiko dan profil kredit yang kuat dan akurat, dan itulah keahlian inti dari Advance Intelligence Group. Melalui teknologi, kami dapat meminimalkan risiko sekaligus mendorong inklusi keuangan dan akses serta ketersediaan layanan dari merek-merek berkualitas,” jelas Winardi.

Berbekal model bisnis yang sudah tervalidasi dan dukungan dari induk perusahaan, banyak agenda yang akan ditargetkan bisa tercapai oleh Atome di Indonesia tahun 2022 ini.

“Kami akan terus memperkuat brand awareness untuk Atome di Indonesia dan memperdalam jaringan merchant kami di fesyen, gaya hidup, serta mitra e-commerce. Kami melihat permintaan yang kuat dari konsumen dan akan memperluas kehadiran kami untuk bekerja sama dengan mitra merchant dari sektor elektronik, F&B, kesehatan, dan pembayaran untuk transportasi. Selain itu, kami akan memperluas penawaran termasuk di kota tingkat 3 dan tingkat 4,” kata Winardi.

Untuk mendukung target tersebut, sejumlah kolaborasi juga terus diperkuat. Saat ini sudah ada beberapa kemitraan strategis yang dijalin, misalnya dengan StanChart untuk penyaluran pembiayaan senilai $500 juta. Kerja sama ini sudah berlangsung 10 tahun bersama grup perusahaan. Selain itu kerja sama dengan bank lokal juga digalakkan, misalnya dengan Motion Banking.

Sejauh ini aplikasi Atome telah diunduh lebih dari 5 juta pengguna di Indonesia. Dari statistik yang ada, 70% pengguna Atome berusia antara 26 hingga 45 tahun, dan lebih banyak adalah pengguna perempuan. Kebanyakan dari mereka  merupakan pengguna media sosial aktif yang paham digital dan menggunakan ponsel pintar.

Application Information Will Show Up Here

Akulaku Obtains Strategic Investment of 1.4 Trillion Rupiah from Siam Commercial Bank

Akulaku to receive strategic investment of $100 million or over Rp1.4 trillion from Siam Commercial Bank (SCB), a leading commercial bank in Thailand. This agreement follows last year’s successful funding of $125 million led by Akulaku’s existing investor, Silverhorn Group, which also acts as a financing partner since 2018.

Akulaku’s subsidiary, Bank Neo Commerce (BNC), has finalized a public offering on the Indonesia Stock Exchange with a value around $175 million (over Rp2.5 trillion) in the fourth quarter of 2021. Reportedly, this is the closing of the pre-IPO fundraising series through the SPAC. According to reports on DealStreetAsia, Akulaku will be listed on the stock exchange in 2022.

In an official statement, Akulaku’s CEO, William Li said, the fresh money will be used to continue expanding the geographic coverage of its products and services throughout Southeast Asia and develop innovation. “We established Akulaku to fulfill the daily financial of underserved customers in emerging markets,” Li said, Tuesday (2/15.

Siam Commercial Bank’s President, Dr. Arak Sutivong said this investment marks SCB’s continued commitment and strong belief in Indonesia’s long-term prospects as one of the fastest growing digital economies in the region. The company considers Akulaku as having a dominant market position and well positioned with its innovative technology and superior product offerings.

“We are excited about investing in this company and look forward to leveraging our deep expertise in Thailand’s financial services sector to support its expansion. Investments in Akulaku fit within our regional theses to serve underserved markets using digital innovation. We look forward to partnering with Akulaku as the company grows,” Sutivong said.

Credit disbursement to 6 million users

Founded in 2016, Akulaku has grown into a Buy Now Pay Later (BNPL) and consumer finance platform in Indonesia, claiming to have disbursed more than $2.2 billion in credit to more than 6 million users by 2021. Akulaku’s coverage is not merely in Indonesia, but also in the Philippines, Vietnam, and Malaysia.

Building on this success, BNC launched its mobile digital banking service in March 2021, and is now the fastest growing digital bank in Indonesia with more than 13 million users to date. The company has another financial subsidiary group engaged in lending, Assetku, which operates in Indonesia, and a similar BNPL service that is present in Europe called Wisecart.

With more than 80% of consumers now participating in e-commerce, Southeast Asia’s digital retail market is growing exponentially. Akulaku’s digital credit service is poised to further accelerate the digital transformation of retail in Southeast Asia, providing new markets for consumers with access to flexible banking services.

Akulaku alone is said to have reached the unicorn status since 2019 with a valuation of more than $1.1 billion, according to a report compiled by Credit Suisse entitled “ASEAN Unicorn, Scaling the New Height”. The company is yet to disclose this status to the public.

BNPL to rise after pandemic

A special report on the paylater ecosystem in Indonesia released by DSInnovate stated that paylater became the second favorite service in 2020 (72.5%) or slightly below digital wallet platforms which had recognition of 82.2%.

On the other hand, the e-commerce’s positive trend which strongly accelerated by the pandemic has also triggered the high adaptation of paylater products in the community. In fact, ResearchAndMarkets has released a research at the end of 2020 stated that the Gross Merchandise Value (GMV) is predicted to grow at US$8.5 billion in 2028 and estimated to help boost paylater facilities by approximately 76.7% annually. .

Likewise, the latest research by Kredivo and the Katadata Insight Center entitled “Consumer Behavior of E-Commerce Indonesia 2021” also shows an increase in paylater users. There are 55% new users who use the Kredivo paylater feature.

The high number of paylater users also has a positive impact on the supply side, where this feature is able to help merchants increase AoV (average order value), increase sales by offering credit without a credit card, and also increase sales conversions by reducing friction during the shopping process.

While paylater has two classifications: paylater owned by digital startups (e-commerce, OTA, ride-hailing service, and others) and the paylater service owned by fintech startups. In Indonesia, there are many fintech companies that provide paylater services. The implementation is not limited, paylaters made by fintech generally become “online” credit platforms that can be used anywhere, from e-commerce to retail outlets.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Akulaku Peroleh Investasi Strategis 1,4 Triliun Rupiah dari Siam Commercial Bank

Akulaku mengumumkan perolehan investasi strategis senilai $100 juta atau lebih dari Rp1,4 triliun dari Siam Commercial Bank (SCB), bank umum terkemuka di Thailand. Kesepakatan ini mengikuti keberhasilan pendanaan yang diterima Akulaku sebesar $125 juta pada tahun lalu dipimpin oleh investor Akulaku sebelumnya Silverhorn Group, yang sekaligus menjadi mitra pembiayaan (financing partner) sejak 2018.

Anak usaha Akulaku, yakni Bank Neo Commerce (BNC), juga menyelesaikan penawaran umum hak publik di Bursa Efek Indonesia dengan nilai sekitar $175 juta (lebih dari Rp2,5 triliun) pada kuartal IV 2021. Dikabarkan, pendanaan yang diterima Akulaku ini merupakan penutupan penggalangan dana pra-IPO melalui jalur SPAC. Menurut pemberitaan di DealStreetAsia, Akulaku akan melantai di bursa pada 2022.

Dalam keterangan resmi, CEO Akulaku William Li menyampaikan, dana segar memungkinkan perusahaan untuk melanjutkan visinya memperluas jangkauan geografis produk dan layanannya ke seluruh Asia Tenggara dan terus berinovasi. “Kami mendirikan Akulaku untuk memenuhi kebutuhan keuangan sehari-hari dari pelanggan yang kurang terlayani di pasar negara berkembang,” ucap Li, Selasa (15/2).

Presiden Siam Commercial Bank Dr. Arak Sutivong mengatakan, langkah investasi yang diambil SCB ini menandai komitmen berkelanjutan dan keyakinan kuatnya terhadap prospek jangka panjang Indonesia sebagai salah satu ekonomi digital dengan pertumbuhan tercepat di kawasan ini. Ia melihat Akulaku memiliki posisi pasar yang dominan dan memiliki posisi yang baik dengan teknologi inovatif dan penawaran produk unggulannya.

“Kami sangat antusias dengan investasi di perusahaan ini dan berharap dapat memanfaatkan keahlian mendalam kami di sektor jasa keuangan Thailand untuk mendukung ekspansinya. Investasi di Akulaku cocok dalam tesis regional kami untuk melayani pasar yang kurang terlayani menggunakan inovasi digital. Kami berharap dapat bermitra dengan Akulaku seiring dengan pertumbuhan perusahaan,” kata Sutivong.

Telah menyalurkan kredit ke 6 juta nasabah

Didirikan pada tahun 2016, Akulaku telah berkembang menjadi platform Buy Now Pay Later (BNPL) dan pembiayaan konsumen di Indonesia, mengklaim telah menyalurkan kredit lebih dari $2,2 miliar pada 2021 ke lebih dari 6 juta pengguna. Cakupan layanan Akulaku tidak hanya Indonesia, tapi juga Filipina, Vietnam, dan Malaysia.

Berangkat dari kesuksesan itu, BNC meluncurkan layanan mobile digital banking pada Maret 2021, dan kini menjadi bank digital dengan pertumbuhan tercepat di Indonesia dengan lebih dari 13 juta pengguna saat ini. Perusahaan juga memiliki grup anak usaha keuangan lain yang bergerak di lending, yakni Asetku yang beroperasi di Indonesia, dan layanan BNPL sejenis yang hadir di Eropa bernama Wisecart.

Dengan lebih dari 80% konsumen yang sekarang berpartisipasi dalam e-commerce, pasar ritel digital Asia Tenggara tumbuh secara eksponensial. Layanan kredit digital Akulaku siap untuk lebih dipercepat transformasi digital ritel di Asia Tenggara, menyediakan pasar baru akses konsumen ke layanan perbankan yang fleksibel.

Akulaku sendiri disebut-sebut sudah mencapai status unicorn sejak 2019 dengan valuasi lebih dari $1,1 miliar, menurut laporan yang disusun Credit Suisse bertajuk “ASEAN Unicorn, Scaling the New Height”. Perusahaan sendiri belum menyampaikan statusnya tersebut hingga kini ke publik.

BNPL melesat semenjak pandemi

Laporan khusus mengenai ekosistem paylater di Indonesia yang dirilis DSInnovate yang mengemukakan, paylater menjadi layanan favorit peringkat kedua pada tahun 2020 (72,5%) atau sedikit di bawah platform dompet digital yang memiliki rekognisi sebesar 82,2%.

Di sisi lain, tren positif e-commerce yang kian terakselerasi oleh pandemi turut menjadi pemicu tingginya adaptasi produk paylater di masyarakat. Bukan tanpa alasan, riset yang dirilis oleh ResearchAndMarkets di penghujung 2020 kemarin menyatakan, prediksi pertumbuhan Gross Merchandise Value (GMV) yang bakal mencapai angka US$8,5 miliar di 2028 diperkirakan bakal turut mendongkrak fasilitas paylater sebesar kira-kira 76,7% setiap tahunnya.

Pun dengan halnya riset terbaru yang dirilis oleh Kredivo dan Katadata Insight Center berjudul “Consumer Behavior of E-Commerce Indonesia 2021”, juga menunjukkan peningkatan pengguna paylater, yakni terdapat 55% pengguna baru yang menggunakan fitur paylater Kredivo.

Tingginya penggunaan paylater juga memberikan dampak positif dari sisi supply, di mana fitur tersebut mampu membantu merchant dalam peningkatan AoV (average order value), meningkatkan penjualan dengan menawarkan kredit tanpa kartu kredit, dan juga meningkatkan konversi penjualan dengan mengurangi friksi selama proses belanja.

Sementara paylater sendiri memiliki dua klasifikasi, yaitu: paylater yang dimiliki oleh startup digital (e-commerce, OTA, ride-hailing service, dan lainnya) dan yang kedua adalah layanan paylater yang dimiliki oleh startup fintech. Di Indonesia sudah banyak perusahaan fintech yang menyediakan layanan paylater, implementasinya tidak terbatas, paylater besutan fintech umumnya menjadi platform kredit “online” yang dapat digunakan di mana saja, mulai dari e-commerce, hingga gerai ritel.

 

Mengenal Kredivo, Pionir Sekaligus Pemimpin Pasar “Buy Now Pay Later” di Indonesia

Berbicara mengenai industri fintech di Indonesia, tentu selalu tidak ketinggalan dengan berbagai kabar menarik di dalamnya. Perkembangan industri fintech yang bertumbuh sangat pesat dipicu oleh banyak hal. Yang teranyar, salah satunya adalah temuan dari laporan DSInnovate yang mengemukakan, nilai GMV (Gross Merchandise Value) tanah air yang mencapai US$70 miliar diyakini menjadi salah satu sebab fintech kian populer di masyarakat Indonesia.

Wujud fintech yang ada di Indonesia hadir dengan berbagai macam layanan. Di antara layanan yang ada, salah satu layanan yang kini digemari oleh konsumer Indonesia adalah layanan BNPL (Buy Now Pay Later). Sesuai istilahnya, layanan itu memfasilitasi konsumen untuk menikmati fasilitas cicilan tanpa kartu kredit untuk berbelanja di platform e-commerce.

Tatkala hadir hanya sejak beberapa tahun ke belakang, adopsi layanan BNPL berkembang secara signifikan. Hal itu tentu tidak tercipta secara instan. Tren pertumbuhan konsumen e-commerce di Indonesia dari tahun ke tahun, dan juga rendahnya kepemilikan kartu kredit menjadi dua faktor utama mengapa layanan paylater menjadi layanan andalan dalam memanfaatkan layanan kredit – khususnya untuk keperluan belanja online.

Dari dua faktor tadi, alhasil beberapa penyedia layanan BNPL mulai bermunculan. Salah satu pionir yang patut diperhatikan adalah Kredivo. Startup fintech yang berada di bawah naungan FinAccel – sebuah perusahaan teknologi finansial asal Singapura ini berhasil memperkenalkan konsep “Buy Now Pay Later” (BNPL) pertama kali di masyarakat Indonesia sejak 2016 silam.

Tanpa perlu waktu lama, Kredivo dinilai mampu tampil memimpin pasar bagi pangsa pasar yang membutuhkan fasilitas kredit konsumtif, tanpa harus memiliki kartu kredit perbankan yang hingga kini penetrasinya sangat rendah. Kebutuhan itu kemudian disempurnakan pula oleh kenyamanan dan fleksibilitas layanan yang ditawarkan.

Bukan tanpa alasan. Dalam risetnya, Kredivo mengklaim, pengguna paylater yang dikelolanya menyatakan memberi respon kepuasan yang baik, terkait dengan proses pengajuan yang mudah, pengalaman bertransaksi, hingga syarat administratif yang cenderung tidak berbelit.

Hasil riset itu sejalan pula dengan fleksibilitas kredit paylater yang ditawarkan Kredivo, dengan sejumlah product unique selling point berupa limit kredit tinggi (hingga 30 juta rupiah), tenor cicilan hingga 12 bulan, hingga ketersediaan layanan di lebih dari 1000 merchant di Indonesia. Tak ketinggalan, keamanan transaksi dan data pengguna juga turut menjadi fokus pengembangan produk dengan fitur keamanan berupa data pengguna yang terenkripsi. Di samping itu, secara legalitas Kredivo juga telah terdaftar dan diawasi secara resmi oleh OJK.

Melalui upaya optimal di atas, tak heran jika Kredivo mampu menguasai pasar BNPL dengan mudah. Dalam studi paylater yang dirilis DailySocial.id, platform Kredivo telah terintegrasi di hampir seluruh e-commerce terkemuka di Indonesia seperti Bukalapak, Lazada, Tokopedia, Blibli, Elevenia, JD.id, Ralali, iLotte, Jakmall, Bhinneka, Matahari.com, Fabelio, dan juga Sociolla.

Dari sisi pengguna dan bisnis, Kredivo juga berhasil dipercaya oleh lebih dari 5 juta pengguna. Dalam keterangannya, basis pengguna Kredivo diklaim tumbuh hingga dua kali lipat selama 10 bulan terakhir, begitu pula dengan pendapatan tahunan yang juga tumbuh dua kali lipat selama 7 bulan terakhir.

Hal tersebut menjadi menarik, tatkala di tengah tantangan perlambatan ekonomi akibat pandemi, Kredivo justru berhasil meraih pertumbuhan yang signifikan, dan berhasil memimpin pasar BNPL dengan “wallet share” yang mencapai setidaknya 50% di mayoritas merchant e-commerce tanah air.

Hal ini senada dengan apa yang dikatakan CEO Kredivo Indonesia, Umang Rustagi, dalam fintech report 2021 yang akhir tahun lalu diterbitkan. “Kredivo sebagai e-commerce enabler mendapatkan keuntungan juga dari tren e-commerce karena pasar yang terus tumbuh dengan cepat. Sebagai e-commerce enabler yang fokus pada layanan paylater, ada kenaikan permintaan untuk jasa ini. Selama sepuluh bulan terakhir, customer Kredivo meningkat hingga 2x lipat.” terang Umang.

Perjalanan Kredivo dalam mengakselerasi pertumbuhan yang signifikan diperkirakan bakal terus berlanjut. Selain mengantongi angka jumlah pengguna dan wallet share yang gemilang, kabar rencana “go public”, diikuti dengan raihan pendanaan terbaru dan kemitraan strategis dengan berbagai entitas (salah satunya dengan Bank Sampoerna merilis kartu “Paylater” Flexi Card) diyakini bakal menjadi amunisi Kredivo, dalam mengukuhkan posisinya sebagai pionir, sekaligus pemimpin pasar kredit online di Indonesia.

Advertorial ini didukung oleh Kredivo.

Paylater Berkembang Pesat Selama Pandemi, Seiring Perkembangan E-Commerce dan Transaksi Digital

Seiring berkembangnya teknologi, ada aspek lain yang terus tumbuh dan berkembang, yaitu pertumbuhan e-commerce dan juga maraknya perusahaan financial technology (fintech), sebuah industri yang bergerak dalam layanan keuangan. Dua aspek ini menggeser kebiasan masyarakat dalam preferensi pembayaran, di mana pembayaran tunai beralih menjadi pembayaran digital atau yang biasa disebut cashless, yang merupakan pengaruh dari meningkatnya penetrasi internet dan adopsi konsumen digital.

Pembayaran digital juga membuka sektor transportasi, layanan pengiriman makanan, transportasi online, dan media online untuk mengadopsi sistem transaksi digital. Bahkan, sektor-sektor tersebut diprediksi oleh laporan e-Conomy SEA 2021 mampu menyumbang angka sebesar $70 miliar pada tahun 2021.

Paylater melesat untuk menjangkau berbagai kalangan

Seiring meningkatnya transaksi digital, perusahaan fintech memiliki kesempatan baru untuk melebarkan sayapnya dalam menghadirkan fasilitas paylater. Hal ini tersirat dari laporan khusus mengenai ekosistem paylater di Indonesia rilisan DSInnovate yang mengemukakan, paylater menjadi layanan favorit peringkat kedua pada tahun 2020 (72,5%) atau sedikit di bawah platform dompet digital yang memiliki rekognisi sebesar 82,2%.

Di sisi lain, tren positif e-commerce yang kian terakselerasi oleh pandemi turut menjadi pemicu tingginya adaptasi produk paylater di masyarakat. Bukan tanpa alasan, riset yang dirilis oleh ResearchAndMarkets di penghujung 2020 kemarin menyatakan, prediksi pertumbuhan Gross Merchandise Value (GMV) yang bakal mencapai angka US$8,5 miliar di 2028 diperkirakan bakal turut mendongkrak fasilitas paylater sebesar kira-kira 76,7% setiap tahunnya.

Pun dengan halnya riset terbaru yang dirilis oleh Kredivo dan Katadata Insight Center berjudul “Consumer Behavior of E-Commerce Indonesia 2021”, juga menunjukkan peningkatan pengguna paylater, yakni terdapat 55% pengguna baru yang menggunakan fitur paylater Kredivo..

Tingginya penggunaan paylater juga memberikan dampak positif dari sisi supply, di mana fitur tersebut mampu membantu merchant dalam peningkatan AoV (average order value), meningkatkan penjualan dengan menawarkan kredit tanpa kartu kredit, dan juga meningkatkan konversi penjualan dengan mengurangi friksi selama proses belanja.

Sementara paylater sendiri memiliki dua klasifikasi, yaitu: paylater yang dimiliki oleh startup digital (e-commerce, OTA, ride-hailing service, dan lainnya) dan yang kedua adalah layanan paylater yang dimiliki oleh startup fintech. Di Indonesia sudah banyak perusahaan fintech yang menyediakan layanan paylater, implementasinya tidak terbatas, paylater besutan fintech umumnya menjadi platform kredit “online” yang dapat digunakan di mana saja, mulai dari e-commerce, hingga gerai ritel.

Pionir paylater di Indonesia, Kredivo, akan melayani puluhan juta pelanggan di Indonesia.

Di antara banyaknya perusahaan fintech di Indonesia yang bergerak di bidang paylater, Kredivo semakin menjadi yang terdepan dalam layanan paylater di Indonesia, terutama setelah mengumumkan rencana go public melalui skema SPAC. Dengan demikian Kredivo akan mencapai penilaian ekuitas sebesar $2,5 miliar dan berhasil menjadi “unicorn” di tahun 2021.

Menurut Umang Rustagi selaku CEO Kredivo Indonesia, dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat di Indonesia, membuat investor asing dan pasar global paylater juga semakin melirik.

“Populernya e-commerce dan transaksi digital, serta rendahnya penetrasi kartu kredit di Indonesia menyebabkan paylater justru menjadi pintu masyarakat ke akses kredit yang terjamin. Hal ini terlihat lewat riset internal yang menunjukkan bahwa 60% pengguna kami mendapatkan kredit pertamanya lewat Kredivo,“ ujarnya.

Sebagai pionir paylater di Indonesia, tentunya layanan paylater yang dimiliki oleh Kredivo sudah menjamur di banyak platform e-commerce seperti Tokopedia, Bukalapak, Lazada, JD.id, Blibli, dan Elevenia. Selain itu juga, bunga yang ditawarkan Kredivo menjadi yang terendah (per September 2021) dibandingkan penyedia layanan paylater lainnya.

Sumber: DSInnovate Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021 (09/2021)

Kredivo melalui PT FinAccel Finance Indonesia beroperasi dengan lisensi perusahaan pembiayaan (multifinance) di bawah naungan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), diperoleh melalui akuisisi PT Swarna Niaga Finance.

Advertorial ini didukung oleh Kredivo.

Perkuat Layanan di Indonesia, PPRO Gandeng Kredivo

Setelah meluncur di pasar Indonesia akhir tahun 2020 lalu, platform pembayaran PaaS asal Inggris “PPRO” berencana untuk menjalin kolaborasi lebih luas lagi dengan platform pembayaran digital di Indonesia.

Setelah OVO dan Doku, kini PPRO kembali mengumumkan kerja sama strategis dengan Kredivo. Besarnya penggunaan metode pembayaran Buy Now Pay Later (BNPL) alias paylater di Indonesia menjadi salah satu alasan mengapa kerja sama ini dilancarkan.

“Kami melihat pilihan pembayaran BNPL banyak dipilih oleh pengguna layanan e-commerce secara global bukan hanya di Indonesia. Memanfaatkan sekitar 5 juta pengguna Kredivo, diharapkan kolaborasi ini bisa berguna untuk pasar di Indonesia,” kata VP Partnerships, Head of APAC PPRO Tristan Chiappini.

PPRO mencatat sekitar 55% pengguna layanan e-commerce memilih untuk melakukan pembayaran dengan cara BNPL. Dengan menawarkan metode pembayaran BNPL kepada konsumen saat checkout, merchant dapat meningkatkan tingkat konversi mereka, menghasilkan transaksi rutin dari konsumen yang menggunakan metode pembayaran, dan berpotensi melihat ukuran keranjang yang lebih besar.

“Integrasi kami dengan PPRO memungkinkan lebih banyak merchant untuk menawarkan pelanggan mereka opsi untuk membayar dengan Kredivo. Melalui mereka, kami dapat memperkuat komitmen kami untuk memberikan konsumen kesempatan untuk mengakses lebih banyak pasar e-commerce dunia,” kata VP Business Development Kredivo Krishnadas.

Sebelumnya PPRO juga telah melakukan integrasi dengan Jenius Pay dan LinkAja. PPRO dalam waktu dekat juga berencana untuk mengumumkan kerja sama strategis dengan platform dompet digital terbesar di Indonesia. Disinggung apakah GoPay yang akan menjadi mitra baru PPRO dalam waktu dekat, Tristan enggan untuk memberikan informasi lebih lanjut.

Pandemi dan pertumbuhan layanan e-commerce

Pandemi secara langsung telah mempercepat akselerasi layanan e-commerce di Indonesia. PPRO juga mencatat terdapat 3 negara yang kemudian banyak mendapatkan permintaan dari merchant di Indonesia. Di antaranya adalah Tiongkok, Amerika Serikat, hingga Singapura. Dilihat dari negara Top 3 tersebut menjadi relevan bagi PPRO untuk memperluas kemitraan dengan pemain lokal di Indonesia.

“Kami melihat 23% layanan e-commerce di Indonesia sudah lintas batas. Indonesia menjadi pasar yang menarik bagi kami untuk melakukan konsolidasi pasar. Kita sudah mempunya live traffic dengan payment menthod di Indonesia,” kata Tristan.

Selama 2 tahun terakhir PPRO mengklaim menjadikan Indonesia sebagai pasar prioritas mereka. Namun demikian karena pandemi, PPRO belum memiliki rencana untuk menempatkan tim di Indonesia. Selanjutnya PPRO akan terus fokus di PSP dan memenuhi demand dari para merchant. Selain pasar di Indonesia, PPRO juga memiliki rencana untuk memperluas layanan di negara lain seperti India hingga Malaysia.

PPRO adalah perusahaan fintech yang mengglobalisasikan platform pembayaran untuk bisnis, sehingga memungkinkan bagi mereka untuk menawarkan lebih banyak pilihan pembayaran pada saat checkout di berbagai platform dan meningkatkan penjualan lintas batas.

“Klien kita adalah global mulai dari Asia Tenggara hingga Amerika Serikat, ada potensi melakukan cross border untuk Indonesia.,” kata Tristan.

Alpha JWC Participates in the Funding for “Pace” Paylater Startup

Pace paylater aka BNPL (buy now pay later) startup announced $40 million (over 569 billion Rupiah) funding in series A round. Several investors joining the round, including UOB Venture Management, Marubeni Ventures, Atinum Partners, AppWorks, and a series of family business from Japan and Indonesia.

Previous investors, such as Vertex Ventures Southeast Asia, Alpha JWC Ventures, and Genesis Alternative Ventures also participated. All three chipped in a seven-figure value for the early-stage funding this year.

In an official statement, Pace’s Founder & CEO, Turochas ‘T’ Fuad explained, this round of investments came from some of the most successful and established investors which signifies their belief that Pace is the leading BNPL player in Asia.

“This area is expected to be the fastest growing BNPL market in the world. This funding will support Pace in achieving its mission to democratize financial services for all, and help us expand into Japan, Korea and Taiwan,” said T.

UOB Venture Management’s Executive Director, Paul Ng added, “We are impressed by Pace’s founders’ clear vision, rapid growth and experience not only in BNPL payments, but in its progress in creating financial inclusion, and remain confident in their ability to revolutionize financial services.”

After this investment round, Pace is said to be the fastest growing multi-region BNPL player from Singapore. The company will use its fresh funding to expand technology, operations and business development, to achieve a $1 billion Gross Merchandise Value by 2022 and grow its user base by 25 times over the next 12 months.

To date, Pace has more than 3 thousand points of sale throughout the region, engaged in various types of businesses, from fashion, fitness, F&B, education, jewelry, hobbies, services, electronics, and others. The company leveraged its technology to increase overall sales by up to 25% by leveraging local customer insights, while driving repeat purchases from a rapidly growing user base.

T launched Pace earlier this year. It has successfully expanded its overseas operations in collaboration with regulators and adapting ultra-local approaches, such as integrating payment methods in frequently used markets to build resonance with merchants and buyers. This strategy will continue to replicate the hyperlocal framework as it rolls out in new countries.

Pace enables consumers to split their purchase bill into three interest-free payments over 60 days, through an omnichannel experience that helps consumers for sustainable shopping.

Pace aims to create financial inclusion for consumers in the region, by helping them control and shop at their own pace, while helping merchants meet growing consumer demand and increase sales efficiency. Currently, Pace operates in Singapore, Malaysia, Hong Kong and Thailand.

Yet to enter the Indonesian market

Pace is yet to plan expansion to Indonesian market. However, this market segment is already crowded with players from both local and overseas. Its implementation appears in many applications, from digital wallets, ticket bookings, to the most popular on e-commerce platforms and/or online marketplaces.

BNPL is one of the promising fintech segments in Southeast Asia. According to research conducted by Google, Temasek Holdings and Bain & Co., about half of Southeast Asia’s nearly 400 million adults are unbanked.

Over 90 million people are “underbanked”: They have bank accounts but do not have adequate access to investment, insurance or credit products. Millions of small and medium-sized businesses also face significant funding gaps, according to the study. This problem is getting spiky in Indonesia, where more than 70% of adults—about 140 million people—are unbanked or unbanked.

Data rewritten by Nikkei Asia


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Alpha JWC Ventures Kembali Berpartisipasi dalam Pendanaan Startup Paylater “Pace”

Startup paylater alias BNPL (buy now pay later) Pace mengumumkan telah mengumpulkan $40 juta (lebih dari 569 miliar Rupiah) dalam putaran pendanaan seri A. Investor yang bergabung dalam putaran tersebut adalah UOB Venture Management, Marubeni Ventures, Atinum Partners, AppWorks, dan serangkaian kantor keluarga dari Jepang dan Indonesia.

Investor sebelumnya, Vertex Ventures Southeast Asia, Alpha JWC Ventures, dan Genesis Alternative Ventures juga berpartisipasi. Ketiganya menyuntik Pace dalam pendanaan tahap awal dengan nilai tujuh digit pada awal tahun ini.

Dalam keterangan resmi, Founder & CEO Pace Turochas ‘T’ Fuad menerangkan, putaran investasi ini datang dari beberapa investor paling sukses dan mapan yang menandakan keyakinan mereka bahwa Pace adalah pemain BNPL terkemuka di Asia.

“Kawasan ini diharapkan menjadi pasar BNPL dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Pendanaan ini akan mendukung Pace dalam mencapai misinya untuk mendemokratisasi layanan keuangan untuk semua, dan membantu kami ekspansi ke Jepang, Korea, dan Taiwan,” ujar T.

Direktur Eksekutif UOB Venture Management Paul Ng menambahkan, “Kami terkesan dengan visi yang jelas dari pendiri Pace, pertumbuhan yang cepat, dan pengalaman tidak hanya dalam pembayaran BNPL, tetapi dalam kemajuannya dalam menciptakan inklusi keuangan, dan tetap percaya diri dengan kemampuan mereka untuk merevolusi layanan keuangan.”

Setelah putaran investasi ini, diklaim Pace menjadi pemain BNPL multi-wilayah dengan pertumbuhan tercepat dari Singapura. Pendanaan baru ini akan digunakan perusahaan untuk memperluas teknologi, operasi, pengembangan bisnis, untuk mencapai nilai Gross Merchandise Value sebesar $1 miliar pada 2022 dan menumbuhkan basis penggunanya sebesar 25 kali pada 12 bulan ke depan.

Hingga saat ini, Pace memiliki lebih dari 3 ribu titik penjualan di seluruh wilayah, bergerak dari berbagai jenis usaha, mulai dari fesyen, fitness, F&B, edukasi, perhiasan, hobi, jasa, elektronik, dan lainnya. Perusahaan memanfaatkan teknologinya untuk meningkatkan penjualan secara keseluruhan hingga 25% dengan memanfaatkan wawasan pelanggan lokal, sambil mendorong pembelian berulang (repeat purchase) dari basis pengguna yang berkembang pesat.

Pace diluncurkan oleh pada awal tahun ini oleh T. Ia berhasil mengembangkan operasinya di luar negeri bekerja sama dengan regulator dan mengadaptasi pendekatan ultra-lokal, seperti mengintegrasikan metode pembayaran dalam pasar yang sering digunakan untuk membangun resonansi dengan pedagang dan pembeli. Strategi ini akan terus mereplikasi kerangka kerja hiperlokal saat diluncurkan di negara-negara baru.

Pace memungkinkan konsumen untuk membagi tagihan pembelian mereka menjadi tiga kali pembayaran bebas bunga selama 60 hari, melalui pengalaman omnichannel yang membantu konsumen berbelanja secara berkelanjutan.

Pace bertujuan untuk menciptakan inklusi keuangan bagi konsumen di wilayah tersebut, dengan membantu mereka mengendalikan dan berbelanja sesuai keinginan mereka, sambil membantu pedagang memenuhi permintaan konsumen yang meningkat dan meningkatkan efisiensi penjualan. Saat ini, Pace beroperasi di Singapura, Malaysia, Hong Kong, dan Thailand.

Belum ada rencana masuk Indonesia

Belum dipaparkan kapan rencana Pace untuk hadir di Indonesia. Namun, segmen pasar ini sudah ramai diisi oleh banyak pemain baik dari lokal maupun luar negeri. Implementasinya muncul di banyak aplikasi, mulai dari dompet digital, pemesanan tiket, sampai yang paling populer di platform e-commerce dan/atau online marketplace.

BNPL adalah salah satu segmen fintech yang menjanjikan potensinya di Asia Tenggara. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Google, Temasek Holdings dan Bain & Co., sekitar setengah dari hampir 400 juta orang dewasa di Asia Tenggara tidak memiliki rekening bank.

Lebih dari 90 juta lebih “underbanked”: Mereka memiliki rekening bank tetapi tidak memiliki akses yang memadai ke produk investasi, asuransi, atau kredit. Jutaan usaha kecil dan menengah juga menghadapi kesenjangan pendanaan yang signifikan, menurut penelitian tersebut. Masalah ini lebih pelik di Indonesia, di mana lebih dari 70% orang dewasa—sekitar 140 juta orang—tidak memiliki rekening bank atau unbanked.

Grafik dioleh kembali oleh Nikkei Asia
Application Information Will Show Up Here

Paper.id to Complete Series B Funding Round, Launching a B2B Paylater Service

The B2B invoicing and payment platform “Paper.id” is currently fundraising for series B round and to be announced in early 2022. Paper.id’s Co-Founder & CEO, Jeremy Limman said to DailySocial that the company is currently in the process of finalizing and plan to use the fresh funds to support product developments that have proven to be growing rapidly during this pandemic.

Paper.id’s latest funding was in 2019 for the series A round from Modalku fintech and Golden Gate Ventures. In early 2018, they also received seed funding from Golden Gate Ventures.

Pandemic elevating business

The number of Paper.id users has grown almost 3 times since the beginning of the pandemic last year. The invoices that have been processed has reached the highest level over Rp9 trillion, this number is claimed to have increased by 2 times from the same period last year. ​Currently, Paper.id has 300 thousand users and is spread across more than 300 cities and regencies in Indonesia.

“In general, the pandemic has negatively impacted the MSMEs, especially the tourism and retail sectors. However, Paper.id users belong to the sector-agnostic segment, therefore, several industries can still survive and continue to grow, such as logistics, FMCG and online sellers,” Jeremy said.

In order to increase financing options for users, Paper.id collaborates with a strategic investor, Buana Sejahtera Group, a group of companies engaged in finance, logistics, and hospitality to expand Paper.id’s capabilities in business funding and penetration into the conventional supply chain.

“Later on, we will ask our strategic investors about what business sector they want. Then Paper.id will recommend businesses that are eligible to get financing from the multifinance,” Jeremy said.

Launching a B2B Paylater

Aiming to help SMEs make their business easier, Paper.id launched its latest product, the B2B Paylater or Buy Now, Pay Later (BNPL). For buyers, they can get benefits in the form of an extension of time. Suppliers can also experience other benefits from this product through a new feature called “Get Paid Faster”.

Prioritizing the aggregator concept, Paper.id will later recommend business owners who want to use BNPL for fintech lending services to banks that have become strategic partners. Currently, there are 10 fintech service and banking partners, including Modalku, Bank Jago, and Pinjam Modal.

“In terms of financing, we cannot provide services for all. Thus, we have good partnerships with P2P, multi-finance and banking services. Everything will be tailored to the needs of the business,” Jeremy added.

In ensuring the business to run good track record, Paper.id conducts a curation process for businesses with intention to use BNPL through data invoicing on Paper.id. Therefore, banking partners and fintech services are guaranteed to get business recommendations with the best quality. Since the launching, Paper.id has validated more than 3000 invoices for BNPL products.

“With our experience that has channeled productive funding of more than Rp. 175 billion for MSMEs, BNPL is a feature that is much requested by our users and is expected to drive the MSME business development and help them manage cash flow better,” Jeremy said.

B2B Paylater in Indonesia

In a report titled “Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021” published by DSInnovate, the paylater services that focus on business consumers is said to start mushrooming. The scheme is in the form of collaboration, between fintech lending and business service providers.

Indonesia’s B2B Paylater players

In contrast to productive loan products in the style of P2P Lending, B2B paylaters do not provide cash to improve business operations. They finance the expenditure of goods or services that are channeled directly to the provider.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Segera Rampungkan Penggalangan Dana Seri B, Paper.id Luncurkan Layanan Paylater B2B

Platform invoicing dan payment B2B “Paper.id” tengah melakukan penggalangan dana tahapan seri B yang rencananya akan diumumkan awal tahun 2022 mendatang. Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Paper.id Jeremy Limman menyebutkan, saat ini perusahaan dalam proses finalisasi dan rencananya dana segar tersebut digunakan untuk mendukung perkembangan produk yang sudah terbukti berkembang pesat selama pandemi ini.

Pendanaan terakhir yang diterima oleh Paper.id adalah tahun 2019 lalu untuk tahapan seri A dari perusahaan fintech Modalku dan Golden Gate Ventures. Awal tahun 2018 mereka juga telah mengantongi pendanaan awal dari Golden Gate Ventures.

Pandemi mendongkrak bisnis

Tercatat sejak awal pandemi tahun lalu jumlah pengguna Paper.id telah berkembang hampir 3x lipat dari sebelumnya. Jumlah invoice yang telah diproses pun mencapai level tertinggi hingga Rp9 triliun lebih, angka tersebut diklaim naik 2 kali lipat dari periode yang sama di tahun lalu. ​Saat ini Paper.id memiliki 300 ribu pengguna dan tersebar di lebih dari 300 kota dan kabupaten di Indonesia.

“Secara umum, pandemi memberikan dampak buruk yang hebat kepada UMKM, terutama sektor pariwisata dan ritel. Namun, pengguna Paper.id termasuk segmen sector-agnostic, sehingga tetap ada beberapa industri yang bertahan dan tetap bertumbuh seperti logistik, FMCG dan online seller,” kata Jeremy.

Untuk menambah pilihan pembiayaan kepada pengguna, Paper.id menggandeng investor strategis, Buana Sejahtera Group sebuah grup perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, logistik, dan perhotelan guna memperluas kapabilitas Paper.id dalam pendanaan bisnis dan penetrasi ke dalam
supply chain konvensional.

“Nantinya kita akan bertanya kepada investor strategis kita kira-kira sektor usaha apa yang mereka inginkan. Kemudian Paper.id akan merekomendasikan usaha yang layak mendapatkan pembiayaan dari multifinance tersebut,” kata Jeremy.

Luncurkan paylater B2B

Bertujuan untuk membantu UKM  mempermudah usaha, Paper.id meluncurkan produk terbaru paylater atau Buy Now, Pay Later (BNPL) B2B. Bagi buyer, mereka bisa mendapatkan manfaat berupa perpanjangan tempo. Supplier juga bisa merasakan manfaat lainnya dari produk ini melalui fitur baru bernama “Get Paid Faster”.

Mengedepankan konsep agregator, nantinya Paper.id akan merekomendasikan pemilik usaha yang ingin memanfaatkan BNPL kepada layanan fintech lending hingga perbankan yang telah menjadi mitra strategis. Saat ini tercatat sudah ada 10 mitra layanan fintech hingga perbankan, di antaranya adalah Modalku, Bank Jago, dan Pinjam Modal.

“Di financing kita tidak bisa memberikan layanan untuk semua. Dengan demikian kemitraan kami jalin baik dengan layanan P2P, multifinance, hingga perbankan. Semua disesuaikan dengan kebutuhan dari usaha tersebut,” kata Jeremy.

Untuk memastikan usaha tersebut memiliki track record yang baik, Paper.id melakukan proses kurasi bagi usaha yang ingin memanfaatkan BNPL melalui data invoicing melalui Paper.id. Dengan demikian mitra perbankan dan layanan fintech telah dijamin mendapatkan rekomendasi usaha yang memiliki kualitas terbaik. Sejak diluncurkan, Paper.id telah memvalidasi lebih dari 3000 invoice untuk produk BNPL.

“Dengan pengalaman kami yang sudah menyalurkan pendanaan produktif lebih dari Rp 175 miliar bagi UMKM, BNPL ini adalah fitur yang banyak diminta oleh pengguna kami dan diharapkan dapat mendorong roda perkembangan bisnis UMKM serta membantu mereka dalam mengelola arus kas lebih baik,” kata Jeremy.

Paylater B2B di Indonesia

Dalam laporan bertajuk “Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021” yang diterbitkan DSInnovate terungkap, layanan paylater yang fokus kepada konsumen bisnis mulai berkembang. Skemanya berbentuk kolaborasi, antara fintech lending dengan penyedia layanan bisnis.

Pemain paylater B2B di Indonesia

Berbeda dengan produk pinjaman produktif ala P2P Lending, paylater B2B tidak memberikan dana tunai untuk meningkatkan operasional bisnis. Mereka membiayai belanja barang atau layanan yang disalurkan langung kepada penyedia.

Application Information Will Show Up Here