Accenture Report: 84% Gamers Jadikan Game Sebagai Alat Bersosialisasi

Gamers sering dianggap sebagai penyendiri. Bagi sebagian gamers, asumsi itu  memang benar. Namun, sekarang, game tidak hanya menjadi media hiburan. Game juga bisa menjadi alat komunikasi, jembatan yang menghubungkan para gamers dengan satu sama lain. Lockdown yang ditetapkan pada tahun lalu juga memperkuat tren tersebut.

Pertumbuhan Industri Game

Pemasukan industri game mencapai US$200 miliar, menurut data Accenture. Sementara jumlah pemain game di dunia diperkirakan mencapai 2,7 miliar orang. Tiongkok, Amerika Serikat, dan Jepang menjadi tiga negara dengan industri game terbesar. Tiongkok memiliki 929 juta gamers. Sementara besar nilai industri game di negara tersebut mencapai US$51 miliar. Di AS, ada 219 juta gamers. Industri gaming di AS bernilai US$48 miliar.

Dari segi populasi, Jepang memang tidak sebesar Tiongkok ataupun Amerika Serikat — negara dengan populasi terbesar pertama dan ketiga di dunia. Namun, industri game di Jepang juga cukup besar. Dengan total gamers mencapai 75 juta orang, industri game di Jepang memiliki pemasukan sebesar US$24 miliar. Selain Tiongkok, AS, dan Jepang, masih ada 17 negara lain yang industri game-nya memiliki nilai lebih dari US$1 miliar. Beberapa negara tersebut antara lain Inggris, Italia, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Prancis, dan Spanyol.

Pembagian gamers berdasarkan gender. | Sumber: Accenture

Selama ini, banyak orang percaya, tidak banyak perempuan yang bermain game. Asumsi ini salah. Data dari Accenture menunjukkan, 46% gamers merupakan perempuan, 52% laki-laki, dan 2% sisanya masuk dalam kategori non-binary atau tidak mau menyebutkan gendernya. Dari segi pengalaman bermain game, Accenture membagi empat ribu respondennya ke dalam dua kategori, yaitu gamers dengan pengalaman bermain lebih dari lima tahun dan gamers yang baru bermain satu sampai empat tahun belakangan.

Menariknya, gamers baru punya karakteristik yang berbeda dengan gamers lama. Dari segi umur, gamers baru lebih muda dari gamers yang lebih berpengalaman. Umur rata-rata gamers baru adalah 32 tahun, dan umur rata-rata gamers lama adalah 35 tahun. Sebanyak 30% gamers baru berumur di bawah 25 tahun. Dari kelompok gamers lama, hanya 25% orang yang berumur di bawah 25 tahun. Selain itu, kebanyakan gamers baru merupakan perempuan. Sebanyak 60% dari total gamers baru merupakan perempuan. Di kalangan gamers yang telah lebih lama bermain, jumlah gamers perempuan hanya mencapai 39%.

Industri yang Terkena Dampak tak Langsung dari Industri Game

Industri game tumbuh begitu besar sehingga ia juga memunculkan berbagai industri baru, termasuk esports. Secara total, industri-industri baru yang muncul berkat pesatnya pertumbuhan industri game bernilai US$100 miliar. Berikut daftar dari industri-industri yang tumbuh berkat industri game:

Esports, bernilai US$1,3 miliar
– Aksesori gaming untuk PC, bernilai US$12 miliar
– Hardware PC gaming, bernilai US$39,3 miliar
– Perangkat mobile, bernilai US$39,7 miliar
– Konten gaming, bernilai US$9,3 miliar

Besar industri yang terpengaruh dari industri game. | Sumber: Accenture

Tak melulu soal uang, game juga mempengaruhi dunia hiburan dan budaya di dunia. Misalnya, dalam industri perfilman, cukup banyak film yang dibuat berdasarkan pada game, mulai dari Angry Birds sampai War of Warcraft — walau harus diakui, banyak film adaptasi game yang justru menuai kritik dan bukannya pujian. Selain industri film, game juga punya dampak pada industri mainan dan menumbuhkan industri esports. Sementara itu, inovasi dalam industri game juga bisa digunakan di industri lain, mulai dari edukasi, kesehatan, sampai militer. Faktanya, edukasi merupakan salah satu kategori dengan pertumbuhan paling cepat di Roblox.

Konsep gamifikasi juga banyak digunakan oleh orang-orang di luar industri game. Misalnya, dengan menerapkan sistem poin atau ranking. Sebaliknya, saat ini, game juga tidak hanya digunakan sebagai media hiburan, tapi juga sebagai temapt untuk berkumpul dan bersosialisasi. Buktinya, konser virtual Travis Scott di Fortnite “dihadiri” oleh 12 juta pemain game battle royale itu. Selama lockdown akibat pandemi, orang-orang juga menggunakan game untuk mengadakan perayaan dari momen penting, seperti ulang tahun dan pernikahan.

Fitur Sosial Mendorong Pertumbuhan Industri Game

Salah satu hal yang mendorong pertumbuhan industri game adalah keberadaan perangkat mobile. Jika dibandingkan dengan harga PC gaming atau konsol, harga smartphone relatif lebih murah. Selain itu, banyak mobile game yang bisa dimainkan dengan gratis. Hal ini memungkinkan lebih banyak orang untuk bermain game. Menariknya, kemunculan mobile game tidak menganibal pasar game konsol dan PC, dan justru mendorong para kreator game untuk fokus pada fitur sosial dari sebuah game. Jadi, jangan heran jika semakin banyak gamers yang menganggap bermain game sebagai kegiatan sosial.

Menurut data dari Accenture, 84% gamers mengatakan, bermain game merupakan cara mereka untuk bersosialisasi dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan yang sama dengan mereka. Tak hanya itu, juga banyak gamers yang menjadi game sebagai alat untuk mencari teman-teman baru. Tren ini diperkuat oleh pandemi COVID-19. Sebanyak 75% gamers mengaku, interaksi sosial mereka terjadi dalam game atau platform terkait game, seperti Discord.

Pentingnya fitur sosial dalam game. | Sumber: Accenture

Bagi gamers, dunia game memiliki peran penting dalam kehidupan sosial mereka. Menurut data dari Accenture, gamers menghabiskan sekitar 16 jam per minggu untuk bermain game. Tak hanya itu, mereka juga berinteraksi dengan komunitas game, baik melalui forum game maupun dengan menonton konten game. Rata-rata, gamers menghabiskan waktu 8 jam dalam seminggu untuk menonton konten game dan 6 jam per minggu untuk aktif dalam komunitas dan forum game.

Sayangnya, komunitas game terkadang toxic. Jadi, penting bagi gamers untuk menemukan komunitas yang sesuai. sebanyak 84% responden survei Accenture mengatakan, bermain bersama teman yang cocok sangat penting dalam bermain game online. Sementara 76% responden menyebutkan, dalam satu tahun terakhir, mereka menjadi sering bermain game online. Dan 74% mengaku, mereka menjadi semakin sering bersosialisasi melalui game karena pandemi COVID-19.

Menemukan teman yang cocok saat bermain game itu penting. | Sumber: Accenture

Data di atas menunjukkan bahwa fitur sosial dalam game menjadi semakin penting di mata para gamers. Hal itu berarti, sekedar membuat game menarik dari franchise populer tak lagi cukup. Para kreator game juga harus fokus untuk memberikan pengalaman bermain yang menyenangkan para gamers.

Targetkan Pertumbuhan Tiga Kali Lipat, Travelio Perluas Kemitraan

Salah satu platform proptech yang cukup berhasil melakukan diversifikasi saat pandemi adalah Travelio. Berdiri sejak tahun 2015 lalu, layanan yang disuguhkan adalah platform manajemen properti untuk mengelola beragam apartemen fully furnished terstandardisasi yang disewakan secara online.

Awal Q4 2020, Travelio resmi memperluas bisnis ke penyewaan apartemen unfurnished dan rumah dengan tempo penyewaan menengah hingga jangka panjang. Ekspansi ini merupakan hasil kerja samannya dengan sederet pengembang properti ternama di Indonesia seperti Intiland, Ciputra Group, Trans Property, PP Property, Meikarta, dan Adhi Commuter Properti.

“Travelio dipercaya karena track record yang bagus. Kita punya 5 tahun pengalaman mengelola properti khususnya apartemen. Bisnis ini juga tadinya belum ada. Saat ini kita berinovasi untuk mengolah dan menyediakan apartemen unfurnished dan rumah,” kata Co-Founder CEO Travelio Hendry Rusli.

Pandemi dan bisnis Travelio

Sebelumnya sejak awal pandemi tahun lalu, Travelio juga telah memperkenalkan Travelio Mart. Situs yang berisikan produk sayuran, buah, daging, dan lainnya yang dibutuhkan oleh pengguna; memanfaatkan makin besarnya permintaan pembelian grocery secara online. Langkah strategis ini dilakukan Travelio untuk mengakali turunnya bisnis mereka di awal pandemi.

Travelio mencatat di kisaran Q2 2020 bisnis merosot tajam, terutama di segmen sewa apartemen harian. Banyak dari pengelola apartemen juga menutup sewa harian untuk meminimalisir mobilisasi penghuni. Namun, Travelio berinisiatif untuk mendorong booking jangka panjang (bulanan dan tahunan). Travelio juga memberlakukan pembersihan unit menggunakan disinfektan untuk menjamin keamanan tamu.

Hingga saat ini Travelio memiliki tiga produk utama, di antaranya adalah Ready to Rent (RTR), Travelio Property Management (TPM) dan Realty. Secara keseluruhan dari ketiganya Travelio telah memiliki lebih dari 8000 properti yang telah disewakan. Untuk TPM sendiri hampir 4300 properti. Mereka juga mengklaim terdapat dua juta lebih pengguna yang telah mengunduh aplikasi, sementara lebih dari 100 ribu orang sudah menjadi pelanggan.

Tahun ini Travelio memiliki target pertumbuhan bisnis hingga tiga kali lipat. Upaya yang telah mereka lakukan di antaranya adalah, memaksimalkan produk yang sudah ada dan berencana untuk meluncurkan layanan jual beli apartemen di kuartal ketiga tahun ini.

“Kita berharap bisa jadi market leader. Hal ini bisa mendukung visi besar Travelio untuk menjadi perusahaan berbasis teknologi terbesar di Asia Tenggara yang menyediakan pengelolaan dan penyewaan properti terintegrasi,” kata Hendry.

Application Information Will Show Up Here

Adaptasi dan Peluang Pertumbuhan Bisnis Logistik di Tengah Pandemi

Bisnis logistik sempat mengalami masa surutnya di awal pandemi Covid-19 melanda tanah air. Ketidakpastian pada sektor transportasi dan pembatasan aktivitas sosial sempat menjadi penghalang untuk industri ini bisa bertumbuh pesat. Namun seiring waktu, para pemain mulai bisa beradaptasi dan menemukan peluang di tengah situasi pandemi.

Budi Handoko, selaku Co-Founder dan COO Shipper, startup pengembang platform agregator logistik, mengakui timnya cukup kewalahan menghadapi keterbatasan yang tercipta karna pandemi, yang juga dipengaruhi oleh pemangku kebijakan. Di samping itu juga harus menjaga kelangsungan bisnis tanpa melanggar peraturaan serta kesehatan para karyawan.

Di tengah tantangan yang terus bermunculan, berbagai inovasi diciptakan demi beradaptasi dan mencari peluang untuk bisa tetap bertumbuh di tengah kondisi “yang tidak pasti. Dalam sesi #SelasaStartup, Budi berbagi beberapa insights menarik tatkala pandemi menggangu bisnis logistik di Indonesia.

Mutualisme di tengah pandemi

Semakin berkembang industri e-commerce di suatu negara, akan berdampak juga bagi pertumbuhan bisnis logistik di negara tersebut. Dari sisi ritel, banyak sekali penjual tradisional yang beralih ke pangsa pasar “online” untuk beradaptasi dengan situasi pandemi. Kesuksesan e-commerce pun erat kaitannya dengan dukungan dari industri logistik.

Hubungan timbal-balik ini juga menciptakan lingkaran konsumen yang beririsan antara e-commerce dan logistik. Maka dari itu, ketika perilaku konsumen di e-commerce mengalami pergeseran, industri logistik pun juga akan mendapat “feeling” yang tidak jauh berbeda.

Budi mengungkapkan, tiga hal menarik yang ia temukan ketika mengamati perilaku konsumen di masa pandemi. Pertama, banyak penjualan di sektor tersier yang anjlok pada masa awal pandemi. Hal ini menciptakan animo penjualan alat kesehatan. Kedua, banyak para penjual online yang cenderung memilih untuk membatasi interaksi dengan kurir. Terakhir, banyak yang mulai melirik bisnis di food industry. Ketiga hal tersebut menciptakan peluang yang bisa dimanfaatkan oleh bisnis logistik tanah air.

Pengembangan SDM

Pertumbuhan yang pesat pada industri logistik akan  menciptakan kebutuhan yang semakin banyak akan talenta di bidang terkait. Pihak Shipper menyadari hal itu dan sudah menyiapkan inisiatif untuk mendukung pengembangan SDM logistik di Indonesia.

Terdapat tiga skenario yang ditawarkan, yaitu Shipper Trainee Program, pihaknya akan merekrut intern/fresh graduate yang akan diberi pelatihan mengenai industri logistik. Kedua, Shipper Academy, merupakan program beasiswa untuk pihak-piak yang tertarik di bidang logistik untuk diberi pelatihan selama 3 minggu mengenai teori dan praktik. Untuk hasil terbaik akan disertakan penawaran kerja di perusahaan. Terakhir, ada Shipper Hack, diperuntukkan bagi talenta IT yang tertarik bekerja di bidang logistik dan menciptakan inovasi terkait.

Selain itu, Shipper juga memaparkan rencana bisnisnya di 2021 yang ingin mengembangkan jaringan pergudangan dan first-mile atau proses penjemputan barang dari customer.

Pendanaan sektor logistik

Terkait investasi, sudah banyak investor yang melirik industri logistik dengan harapan bisa memecahkan masalah e-commerce. Tahun lalu, sudah ada beberapa nama yang mengumumkan perolehan pendanaan, termasuk Shipper, Logisly, dan Andalin. Budi berpendapat tahun ini akan tidak jauh berbeda melihat pertumbuhan industri logistik yang akan terus naik di tahun 2021.

Selain itu, Shipper merupakan alumni dari program akselerator Y Combinator yang berbasis di AS. Dalam diskusi ini, Budi turut membagikan beberapa tips untuk startup early-stage yang juga ingin ikut mengakselerasi pertumbuhan bisnisnya dengan mengikuti program seperti ini.

Sebelumnya, Budi menegaskan bahwa para penggiat startup dianjurkan untuk fokus terlebih dahulu dengan produknya, serta seberapa besar masalah yang ingin diselesaikan. Bahwa semua hal yang diperoleh dari program akselerator merupakan “ekstra” yang bisa mempercepat pertumbuhan bisnis, bukan semata-mata sebagai jalan keluar dan sebuah pencapaian.

Selain itu, proporsi saham, susunan perusahaan [founder & team member] serta potensi pasar juga menjadi salah satu yang sangat dipertimbangkan untuk bisa mengikuti program akselerator.

Terkait pendanaan, Shipper masih aktif berkomunikasi dengan investor hingga saat ini. Budi menegaskan bahwa menjalin relasi yang baik dengan investor tidak hanya ketika mencari pendanaan, karna tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan.

East Ventures Paparkan Pemetaan Daya Saing Digital Indonesia di 2021

East Ventures (EV) kembali merilis edisi kedua laporan Digital Competitiveness Index (DCI) yang memetakan daya saing digital pada 34 provinsi dan 25 kota di Indonesia. Laporan ini banyak menyoroti bagaimana pandemi Covid-19 mengakselerasi digitalisasi di Indonesia secara signifikan.

Salah satunya adalah kenaikan penetrasi internet yang luar biasa. Dalam laporannya, EV-DCI menyebutkan bahwa pengguna internet Indonesia bertambah 25 juta hanya dalam kurun waktu delapan bulan (Mei-Desember 2020). Sementara, Indonesia membutuhkan 10 tahun sejak 2009 hingga 2019 untuk mendapatkan 30 juta pengguna internet menjadi 167 juta.

Menurut Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca, pertumbuhan ekonomi digital Indonesia akan sulit dikebut apabila infrastrukturnya tidak merata. Jika infrastruktur dan layanan digital tersebar di setiap provinsi, Indonesia dapat ‘menyetir’ ekonomi digital dengan baik.

“Ibarat dalam ketapel, ekonomi digital kita adalah bola. Gara-gara Covid-19, bola ketapel kita tertahan ke belakang. Di sini terjadi akumulasi power di mana pelaku startup disiplin dan merespons situasi dengan baik. Dengan infrastruktur yang dibangun bertahun-tahun dan populasi internet bertumbuh, potensi ekonomi digital kita terkumpul dalam peregangan ketapel. Artinya, bola ini akan melesat begitu situasi Covid-19 mereda,” ujarnya dalam paparan virtual EV-DCI.

Gambaran analogi ketapel yang disampaikan Willson dalam pemaparannya / East Ventures

Untuk memetakan daya saing digital tersebut, EV-DCI menggunakan pengukuran yang mengacu pada sembilan metode pada tiga pilar, antara lain input (sumber daya manusia, penggunaan TIK, pengeluaran TIK), output (perekonomian, kewirausahaan & produktivitas, ketenagakerjaan), dan penunjang (infrastruktur, keuangan, regulasi & kapasitas pemerintah daerah).

Skor daya saing digital Indonesia

Secara keseluruhan, indeks daya saing digital Indonesia di 2021 berada di angka tengah 32,05 atau meningkat dari skor sebelumnya 27,92 di 2020. Ada beberapa temuan yang disoroti dari capaian indeks ini.

Pertama, skor pada pilar SDM semakin melandai dari 77,3 poin di 2020 menjadi 58,4 poin di 2021. Artinya, daya saing ke-34 provinsi dalam menyiapkan SDM semakin merata. Pada pilar infrastruktur digital, laporan ini mencatat kenaikan signifikan hingga 7,5 poin dari semula 46,8 poin di 2020 menjadi 54,3 di 2021.

Secara keseluruhan, DKI Jakarta masih mengungguli provinsi dengan daya saing digital terbesar. Namun, kali ini Bali dan Riau sama-sama naik tiga peringkat dengan masing-masing ke posisi empat dan tujuh di tahun ini. Kenaikan ini dipicu oleh peningkatan infrastruktur internet yang semakin menjangkau pedesaan sehingga mendorong pertumbuhan usaha.

“Alasan kenaikan skor di Riau adalah karena konsentrasi di SDM semakin membaik. Kerja sama Indonesia dan Singapura untuk membangun Nongsa Digital Park di Batam otomatis memberikan spillover effect sehingga mendorong pertumbuhan talenta digital. Demikian juga di Bali yang kini menjadi destinasi digital nomad yang bekerja remote, baik di Thailand, Malaysia, atau negara lain. Makanya ada pergerakan ekonomi yang signifikan di sana,” jelasnya.

Kendati demikian, ketimpangan digital masih sangat terasa di luar Jawa. EV-DCI melaporkan bahwa hampir semua wilayah Indonesia, kecuali Jawa, terwakili dalam sepuluh provinsi dengan daya saing terendah. Ada tujuh provinsi non-Jawa di posisi ini antara lain Kepulauan Bangka Belitung, Lampung, Aceh, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Kalimantan Barat, Maluku Utara, Sulawesi Barat, dan Papua

Pentingnya akses dan SDM

Dari sejumlah laporan yang disoroti di atas, Willson menekankan bahwa akses dan SDM menjadi salah satu elemen penting dalam meningkatkan daya saing digital. Misalnya, daerah membuka akses investasi dari luar.

Di luar itu, ada juga variabel lain yang dapat mendorong daya saing digital per daerah, seperti pengembangan edukasi dan kapabilitas. Willson menilai bahwa penyerapan digital terhadap UMKM bisa lebih cepat apabila setiap wilayah di Indonesia memiliki SDM yang baik. Artinya, ada akselerasi yang membuat output menjadi lebih besar.

“Pemerataan digital itu tidak berkaitan dengan keharusan memiliki startup di setiap wilayah. Startup itu pasti terkonsentrasi di kota besar seperti Jakarta, tetapi mereka bisa membuka cabang tanpa harus menunggu di daerah itu ada startup baru. Apa yang dibangun di Jakarta dapat dipakai tempat lain, makanya jalannya harus dibangun supaya bisa kencang dan dinikmati,” jelas Willson.

Dampak pandemi

Transportasi dan travel online menjadi dua sektor yang terdampak signifikan akibat Covid-19. Dampak ini terlihat dari jumlah kunjungan per Januari 2020 yang mencapai 1,29 juta kunjungan, anjlok 89% menjadi 141.269 per Januari 2021.

Kendati demikian, perubahan pola masyarakat Indonesia ke perjalanan domestik diprediksi mendongkrak bisnis OTA hingga lima kali lipat di 2025. Terutama dengan distribusi vaksin lebih luas, confidence level terhadap bisnis OTA akan perlahan-lahan pulih.

Di sisi lain, dampak positif juga dialami pada sektor lain, seperti infrastruktur digital, e-commerce, dan edtech. Pada kasus Tokopedia, unicorn ini mengantongi sebanyak 2,5 juta merchant di sepanjang 2020. Padahal, Tokopedia membutuhkan waktu 10 tahun untuk mendapatkan 7 juta merchant.

“Semua bisnis dipaksa online karena tidak bisa jualan offline saat pandemi. Makanya pengeluaran pulsa juga turut naik. Di Indonesia, ada 30 juta pengguna internet baru yang pertama kali bertransaksi di e-commerce selama masa pandemi. Tetapi, apakah setelah go online, ekonomi digital bisa langsung melesat? Di sini mengapa O2O penting. Behavior akan tetap stay, begitu vaksin didistribusikan, offline dan online jalan, akselerasi akan lebih cepat,” katanya.

Tren digital selanjutnya

Willson juga mengungkap beberapa tren digital selanjutnya yang bakal semakin terakselerasi karena Covid-19. Pertama, sektor yang berkaitan dengan media (game, media sosial, video, etc) akan semakin meningkat dan mendorong terciptanya kategori baru, yakni creator economy.

“Semua orang bisa menciptakan konten sendiri ke depannya sejalan dengan tren perilaku konsumen yang beralih dari [konsumsi] TV. Eyeball semua tadinya di TV, kini konsumen bisa [menciptakan] konten mengikuti tren pasar,” tutur Willson.

Selanjutnya adalah tren investasi di dompet digital. Menurutnya, bisnis dompet digital sudah mendominasi pasar Indonesia. Jika bicara investasi ke dompet digital, tren ini dinilai tak lagi menarik. “Justru yang menarik adalah bagaimana isi dompetnya. Makanya, semua [pelaku startup] masuk ke bank digital,” ucapnya.

Terakhir, konsep remote working dan Work From Home (WFH) yang sudah mulai terbiasa diadaptasi perusahaan selama masa pandemi, akan semakin meningkatkan adopsi Software-as-a-Service (SaaS), misalnya cloud based computing.

XWORK and New Business Opportunity Amidst Pandemic

The pandemic has directly affected the dynamics of the marketplace business to the platform for providing office space or coworking space. However, as a marketplace for providing space in Indonesia, XWORK claims to have experienced positive business growth.

XWORK’s Co-founder, William Budihardjo revealed to DailySocial that there was an increasing demand for certain needs during the pandemic, including content creation, casting, and video products, and live streaming.

“This change is powered by the acceleration of creative digitization during the pandemic. Our services are not reduced. We are getting focused on serving the increasing demand for this new need. We are also doing several promos for customers in the midst of a pandemic such as a 6 months free 6-month virtual office promo and others. Also, we’ve collaborated with ShopeePay to provide cashback.”

To date, XWORK has a total of 6 thousand rooms for rent, from 650 partners. XWORK has served more than 3 thousand B2B clients, consisting of companies (58%), MSMEs (15%), and early-stage startups (14.8%).

“XWORK is here to bridge the void that exists in the market. We see an opportunity to help venue providers in Indonesia to maximize their potential assets. In a way by providing an easy and practical online booking system for prospective tenants, as well as expanding space utility – for example, from which is usually a wedding venue, can now be a meeting venue as well,” William said.

Developing new feature and fundraising plan

Until now, XWORK is still focused on serving the Jabodetabek area only. In terms of service and client trust who have taken advantage of the XWORK platform, there are several leading technology companies. Among them are Grab, Tokopedia, and corporations such as Deloitte, Astra International, and Ericsson. This is what differentiates XWORK from other similar platforms.

“In addition, I come from a family that focuses on developing property for events, therefore my experience and understanding of the industry is quite well,” said William.

This year, XWORK plans to prepare several new features to provide needs besides room rental. Currently, William is reluctant to elaborate on the feature’s function. Meanwhile, when talking about the fundraising plan, William said that he is still in the process of raising funds.

“We want to invite all players with property assets to XWORK, from restaurants, sports fields, to business premises. This will complement our digital assets and offerings to make them more optimal. We will also strive to improve ordering, payment, and comparison capabilities, the venue, even scheduling a site survey, making it easier for all parties interested in renting a room,” William concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

XWORK dan Peluang Bisnis Baru di Tengah Pandemi

Pandemi secara langsung telah mempengaruhi dinamika bisnis marketplace hingga platform penyedia ruangan kantor atau coworking space. Namun sebagai marketplace penyediaan ruang di Indonesia, XWORK mengklaim mengalami pertumbuhan bisnis yang positif.

Kepada DailySocial, Co-founder XWORK William Budihardjo mengungkapkan, selama pandemi mereka mendapati bahwa ada permintaan yang meningkat untuk keperluan tertentu. Salah satunya seperti pembuatan konten, casting, dan produk video serta live streaming.

“Perubahan ini didukung oleh akselerasi digitalisasi kreatif semasa pandemi. Tidak ada layanan kami yang dikurangi. Kami justru lebih fokus melayani permintaan yang meningkat untuk keperluan baru ini. Kami juga melakukan beberapa promo untuk customer di tengah pandemi seperti promo virtual office 6 bulan gratis 6 bulan dan lainnya. Ditambah kami juga sudah bekerja sama dengan ShopeePay untuk memberikan cashback.”

Hingga kini XWORK telah memiliki total 6 ribu ruangan untuk disewakan, yang berasal dari 650 mitra. XWORK juga telah melayani lebih dari 3 ribu klien B2B, yang terdiri dari kalangan perusahaan (58%), UMKM (15%), dan startup tahap awal (14,8%).

“XWORK hadir untuk menjembatani kekosongan yang ada di pasar. Kami melihat adanya kesempatan untuk membantu para penyedia venue di Indonesia untuk memaksimalkan potensi aset mereka. Caranya adalah dengan menyediakan sistem pemesanan online yang mudah dan praktis untuk calon penyewa, serta memperluas utilitas ruangan – misalnya dari yang biasanya venue acara pernikahan, sekarang bisa menjadi venue rapat juga,” kata William.

Mengembangkan fitur baru dan rencana penggalangan dana

Hingga saat ini XWORK masih fokus untuk melayani kawasan Jabodetabek saja. Dari sisi layanan dan kepercayaan klien yang telah memanfaatkan platform XWORK, terdapat beberapa perusahaan teknologi terkemuka. Di antaranya adalah Grab, Tokopedia, serta korporasi seperti Deloitte, Astra International, dan Ericsson. Hal tersebut yang kemudian membedakan XWORK dengan platform serupa lainnya.

“Selain itu, saya berasal dari keluarga yang fokus mengembangkan properti untuk event, sehingga pengalaman dan pemahaman terhadap industri sudah cukup baik,” kata William.

Tahun ini XWORK berencana untuk mempersiapkan beberapa fitur baru untuk melayani kebutuhan di luar penyewaan ruangan. William enggan untuk menjelaskan lebih lanjut fungsi fitur tersebut untuk saat ini. Sementara itu disinggung tentang rencana penggalangan dana, William mengungkapkan saat ini masih dalam proses penggalangan dana.

“Kami hendak mengundang semua pemain dengan aset properti ke XWORK, mulai dari restoran, lapangan olahraga, hingga tempat usaha. Ini akan melengkapi aset digital dan penawaran yang kami miliki agar menjadi lebih maksimal. Kami juga akan berupaya meningkatkan kapabilitas pemesanan, pembayaran, dan komparasi venue, bahkan hingga menjadwalkan survei tempat, sehingga mempermudah semua pihak yang tertarik menyewa ruangan,” tutup William.

SHAREit Indonesia: Menyeimbangkan Pengalaman Pengguna Jadi Strategi Krusial saat Monetisasi Konten Digital

Di tengah pandemi, tren peningkatan konsumsi konten digital terbentuk akibat kebiasaan-kebiasaan baru yang dilakukan masyarakat. Menurut beberapa riset, salah satunya e-Conomy SEA 2020, sektor online media masih disorot memberikan sumbangsih besar untuk GMV ekonomi digital nasional. Di tahun 2020 nilainya diperkirakan $4,4 miliar atau setara 61,7 triliun Rupiah.

Untuk membahas hal ini lebih jauh, DailySocial berkesempatan secara mewawancara Country Sales Director SHAREit Indonesia Aat Pangestu Hadi. SHAREit adalah salah satu platform penyedia konten digital global yang juga sudah menjangkau 200 negara.

Country Sales Director SHAREit Indonesia Aat Pangestu Hadi / SHAREit
Country Sales Director SHAREit Indonesia Aat Pangestu Hadi / SHAREit

Mengawali perbincangan, Aat memaparkan, perubahan perilaku yang terjadi di tengah pembatasan sosial akibat Covid-19 cukup berpengaruh pada peningkatan konsumsi aplikasi. Di SHAREit sendiri, ia melihat peningkatan yang cukup signifikan dari layanan transfer data dan konsumsi video. Bahkan kondisi tersebut juga berhasil membentuk audiens baru dari kalangan yang mungkin sebelumnya tidak terlalu intensif dalam mengonsumsi konten digital.

Lockdown membuat masyarakat harus memenuhi kebutuhan konsumsi dan hiburannya secara online, [hampir] semua kegiatan ekonomi offline dilarang atau dibatasi. Orang yang tinggal di rumah harus mengambil bentuk hiburan lain dan melawan kebosanan yang dibawa oleh virus, yang dalam arti merangsang sejumlah besar hiburan online dan lonjakan permintaan konsumen,” ujarnya.

Tahun 2021, ia cukup optimis bahwa permintaan konten digital masih akan terus meningkat. Untuk itu, bagi perusahaan penyedia konten harus bisa memaksimalkan momentum, salah satunya dengan tetap menjaga kualitas, membawa nuansa yang lebih lokal, dan memberikan pengalaman yang apik di aplikasi.

“Kami melihat peningkatan waktu dan permintaan konsumsi konten yang terus meningkat, tapi kami yakin tidak ada yang mau menonton video yang membosankan dan berulang-ulang. Artinya, persyaratan dan standar produk konten juga akan meningkat bersamaan dengan itu,” jelas Aat.

Strategi monetisasi yang relevan

Jumlah pengguna internet yang terus bertambah dan konsumsi digital yang tinggi nyatanya tidak menjamin para pelaku pasar meraup untung. Ada beberapa perusahaan atau startup yang justru mengalami turbulensi di tengah pandemi – terlebih bagi model bisnis yang lamban dalam bertransformasi.

Aat pun turut melihat hal tersebut. Di tengah peningkatan konsumsi, tidak hanya melahirkan peluang, namun juga tantangan yang cukup besar pagi pelaku industri. Lantas, ketika disinggung tentang strategi monetisasi yang paling relevan saat ini, menurutnya ada beberapa variabel yang harus dilihat.

“Untuk monetisasi konten, pasar Indonesia memiliki banyak variabel yang terlibat dan sangat dinamis. Di SHAREit, pengalaman pengguna selalu menjadi perhatian pertama kami, pendekatan yang paling sesuai dan relevan akan didasarkan pada minat konten. Karena hanya ketika pengguna memiliki loyalitas dan rasa kepercayaan kepada produk, brand yang direkomendasikan dapat memenangkan hati pengguna dan membawa klien mencapai dampak yang mereka inginkan,” jelas Aat.

Ia melanjutkan, “Kami menghabiskan banyak waktu dan investasi untuk mempelajari kebutuhan konten dan konsumsi pengguna lokal di Indonesia, termasuk kultur dan kebiasaan pengguna di pasar tersebut, untuk menjawab ‘bagaimana cara membuat SHAREit dan layanan monetisasi bisnis kami lebih cocok untuk pasar lokal?’. Karena, hanya dengan memenuhi poin ini kami dapat mencapai komersialisasi yang sukses. itulah sebabnya kami memperkerjakan banyak tim lokal.”

Selain itu, ia juga menggarisbawahi pentingnya menyeimbangkan pengalaman pengguna dan monetisasi konten. Dalam strategi yang disusun bersama perusahaan, ia tidak menganjurkan metode “langsung dan kasar” untuk menghasilkan uang — misalnya melakukan kampanye iklan yang terlalu mencolok dan berlebihan. Pelaku bisnis perlu mengeksplorasi proposisi yang pas sembari menghadirkan cara yang memuaskan untuk mengakomodasi kebutuhan mitra bisnis.

“Bagi pengguna, penggambaran cerita brand yang dapat dipercaya dan cara rekomendasi yang tepat, tidak akan merusak pengalaman mereka. Dan untuk mitra bisnis, basis pengguna yang kuat dan kepercayaan pengguna menjadi favorit mereka.”

Pentingnya pelokalan

Aplikasi SHAREit tawarkan berbagai jenis konten hiburan / SHAREit
Aplikasi SHAREit tawarkan berbagai jenis konten hiburan / SHAREit

SHAREit adalah aplikasi yang menyajikan beragam konten digital, mulai dari video, game, musik, dan lain-lain. Pangsa pasarnya di negara berkembang, dengan basis pengguna terbesarnya di Indonesia. Untuk mitra bisnis, mereka pemilik bisnis mempromosikan brand mereka dengan pendekatan unik melalui fitur-fitur di aplikasi.

Di sini, SHAREit juga sudah memiliki tim lokal untuk di berbagai lini, termasuk komersial, konten, dan pengembangan bisnis. “Kami percaya langkah pertama pelokalan adalah memahami dan menghormati budaya, humaniora, kondisi industri, kebiasaan komunikasi pasar lokal, dll., Dan tidak ada cara yang lebih efektif dan efisien daripada mendirikan kantor lokal secara langsung.”

“Di satu sisi, kami memiliki pemahaman yang baik tentang budaya dan peraturan bisnis Indonesia melalui karyawan lokal kami. Di sisi lain, kami mendorong perkembangan dan persaingan industri yang lebih baik. Melalui karyawan lokal ini, kami juga dapat membuat pasar Indonesia mengenal SHAREit lebih baik. Pelokalan selalu saling menguntungkan,” imbuhnya.

Diklaim pertumbuhan bisnis SHAREit konsisten meningkat dari tahun ke tahun. Terakhir, aplikasi tersebut menempati peringkat pertama di Google Play beberapa negara untuk kategori Tools, termasuk Indonesia. Salah satu konten yang diminati adalah video berkualitas tinggi dengan bahasa lokal, terutama bergenre komedi.

Aat meyakini, tahun ini akan menjadi waktu yang krusial bagi seluruh industri konten digital. Pandemi berhasil mendorong perkembangan industri konten lokal hingga taraf tertentu. Tahun 2021 dampak dari rangsangan ini akan semakin nyata. “Bagi SHAREit, cara cepat memenangkan kepercayaan pengguna dan mitra bisnis, serta mengembangkan strategi Indonesia dan global selama periode ini akan menjadi poin utama kami. Membuat konten digital dapat diakses oleh semua orang selalu menjadi tujuan untuk dikejar.”


Gambar Header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here

Cerita Startup: Nusantics dalam Usaha Memanjukan Penelitian Mikrobioma demi Menopang Struktur Kehidupan

Sharlini Eriza Putri, Vincent Kurniawan, dan Revata Utama adalah tiga anak muda dari berbagai latar belakang yang memiliki rasa ingin tahu sangat besar: Putri merupakan ahli kimia, Kurniawan ahli di bidang teknik industri, dan Utama merupakan lulusan ilmu biomedis dengan pengalaman di bidang teknologi genomik. Ketiganya memiliki kepedulian yang sama: Masalah kesehatan yang disebabkan oleh degradasi lingkungan yang semakin hari semakin parah dan membahayakan masyarakat.

Para sahabat ini ingin mengetahui lebih lanjut tentang alasan di balik masalah tersebut, yang membuat mereka mempelajari dunia mikrobioma, ekosistem mikroorganisme yang kompleks termasuk bakteri, jamur, dan virus yang hidup di dalam dan di dalam setiap makhluk hidup di Bumi, termasuk tubuh manusia. Setiap orang memiliki profil mikrobioma yang unik. Hal ini memainkan peran penting dalam pengembangan sistem kekebalan.

Para ilmuwan percaya bahwa kombinasi mikrobioma yang sehat dari semua elemen di planet ini — lautan, tanah, manusia, hewan, dan tumbuhan — menopang struktur kehidupan. Oleh karena itu, memahami pentingnya keseimbangan mikrobioma dapat mengarah pada cara hidup yang lebih berkelanjutan bagi manusia dan lingkungan. Atas dasar pemikiran tersebut, grup ini mendirikan Nusantics pada tahun 2019, startup teknologi genom pertama dan satu-satunya di Indonesia.

(ki-ka): Vincent Kurniawan sebagai COO, Sharlini Eriza Putri sebagai CEO, dan Revata Utama selaku CTO Nusantics / Nusantics.
(ki-ka): Vincent Kurniawan sebagai COO, Sharlini Eriza Putri sebagai CEO, dan Revata Utama selaku CTO Nusantics / Nusantics.

“Genom adalah ‘cetak biru’ dari organisme. Kita tahu bahwa tubuh manusia terdiri dari sel-sel yang membangun organ dan kemudian sistem organ, yang akhirnya menjadi satu manusia. Yang tidak diketahui banyak orang adalah bahwa 52% tubuh manusia terdiri dari mikrobioma, dan tanpa mikrobioma, kita tidak akan menjadi manusia yang berfungsi sepenuhnya,” kata CTO Nusantics Revata Utama kepada KrASIA.

“Kami menggunakan teknologi genom untuk mempelajari interaksi dan hubungan antara keanekaragaman mikrobioma dan manusia.”

Startup ini pertama kali memperkenalkan teknologinya ke industri kecantikan. Di labnya, Nusantics Hub, startup tersebut melakukan tes usap wajah bagi konsumen untuk menilai dan menilai keragaman mikrobioma kulit. Mereka juga menyediakan layanan konsultasi untuk perawatan keseimbangan mikrobioma kulit. Menurut Nusantics, mikrobioma yang beragam dan seimbang sangat penting untuk kulit yang sehat, jadi memahami keseimbangan mikrobioma dapat menghasilkan pilihan yang tepat tentang produk perawatan kulit yang sesuai dengan kondisi fisik alami seseorang.

“Kami memilih industri kecantikan karena itu merupakan sektor yang sangat menguntungkan dan tidak memiliki regulasi yang rumit. Penerapan teknologi skin microbiome juga relevan dengan kehidupan konsumen sehari-hari,” ungkap CEO Nusantics Sharlini Eriza Putri.

Langkah selanjutnya startup ini adalah berkolaborasi dengan berbagai pemain di industri, seperti perusahaan perawatan kulit dan kosmetik, untuk mengembangkan produk ramah mikrobioma.

Bisnis inti Nusantics terletak pada kapabilitas R&D. Selain membudidayakan produk dan layanan kecantikan, Nusantics berencana bekerja sama dengan pemangku kepentingan di bidang kesehatan dan pendidikan untuk memproduksi test kit untuk menganalisis dan memantau profil mikrobioma.

Terlibat dalam produksi alat tes COVID-19

Saat virus Corona mulai menyebar di Indonesia, sangat sulit untuk melakukan tes karena minimnya alat. Karena CTO Nusantics memiliki pengalaman dalam metode polymerase chain reaction (PCR), startup tersebut memutuskan untuk mendekati Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Indonesia (BPPT) dan dengan sukarela membuat prototipe test kit COVID-19. Kemudian, mereka bergabung dengan satuan tugas virus korona nasional BPPT bidang penelitian dan inovasi teknologi (TFRIC-19).

“Sebelum Nusantics, saya bekerja di sebuah perusahaan yang berfokus pada diagnostik molekuler, di mana saya terlibat dalam penelitian dan pengembangan teknologi chip-in-a-tube, PCR digital, serta mikrobioma. Dasar dari teknologi genom adalah PCR,” ujar CTO Nusantics Revata Utama.

Pemetaan genom sangat penting karena virus terus bermutasi untuk beradaptasi dengan inang dan lingkungannya, dan sekuensing seluruh genom sangat penting untuk penelitian dan pengembangan vaksin COVID-19 di Indonesia.

Pandemi telah memberi startup ini tujuan baru. Nusantics telah mengembangkan dua generasi alat uji COVID-19. Jenis pertama didistribusikan ke 19 provinsi di seluruh Indonesia sebagai bagian dari gerakan Indonesia Pasti Bisa, program yang diprakarsai oleh perusahaan modal ventura tahap awal East Ventures bekerja sama dengan BPPT dan perusahaan farmasi milik negara Bio Farma untuk mendukung produksi 100.000 COVID -19 alat uji. Proyek ini mendistribusikan 100.020 alat uji RT-PCR Juni lalu.

“Karena generasi pertama diciptakan pada awal pandemi, tujuan utama kami adalah menyediakan alat tes dengan cepat. Kami membuatnya dengan desain singleplex, sedangkan generasi kedua dibuat dengan desain multipleks yang membuat proses diagnostiknya tiga kali lebih cepat dan relevan dengan mutasi terkini,” kata Utama.

Bio Farma telah memproduksi dan mengkomersialkan kedua generasi test kit tersebut, dengan kapasitas produksi 1,5 juta test kit per bulan. Jika diperlukan, hasilnya bisa digandakan.

Tanpa kepastian akan akhir dari pandemi, Nusantics terus mengembangkan alat tes generasi ketiga yang dapat mendeteksi virus SARS-CoV-2 dari sampel air liur.

“Kami masih dalam proses meneliti apakah sampel air liur bisa digunakan sebagai pengganti swab. Pengalaman menjalani tes usap bisa jadi tidak nyaman, bahkan menyakitkan bagi sebagian orang. Hidung pasien mungkin gatal setelahnya dan mereka akan bersin, yang membuat petugas kesehatan yang melakukan tes berisiko terkena virus. Karena itu mereka perlu memakai alat pelindung diri, ”kata Utama.

“Mengambil sampel dari air liur tentu lebih mudah, tidak melukai pasien dan lebih aman bagi praktisi medis. Secara teori, tes ini juga lebih murah karena membutuhkan lebih sedikit tenaga medis, ”kata Utama. Pengembangan test kit generasi ketiga ini direncanakan akan selesai pada akhir Maret.

Nusantics baru-baru ini mengumumkan pendanaan Seri A dengan jumlah yang tidak diungkapkan yang dipimpin oleh East Ventures. Dana tersebut akan digunakan untuk meningkatkan kemampuan R&D dengan analisis mikrobioma dan diagnostik medis. Penasihat usaha East Ventures Triawan Munaf juga akan bergabung dengan dewan komisaris Nusantics.

“Riset terkait mikrobioma bermanfaat bagi konsumen, mitra industri, serta pemerintah. Visi jangka panjang kami adalah menjaga keanekaragaman hayati di Indonesia dengan melakukan penelitian dan diagnosis terkait mikrobioma. Dengan begitu, kita bisa mencegah kerusakan lingkungan di masa mendatang,” kata Putri.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Mendukung Pertumbuhan Startup Bioteknologi dan “Life Science” Indonesia

Salah satu sektor yang masih sangat niche di Indonesia adalah sektor biotech (bioteknologi) dan life science. Dengan aturan yang begitu kompleks, tidak banyak pemain baru yang ingin masuk ke sektor ini. Angin segar hadir ketika selama setahun terakhir mulai hadir startup-startup yang mendapat dukungan investor untuk mencoba memberikan warna baru. Sebut saja startup seperti Nusantics, Nalagenetics, dan Sensing Self.

DailySocial mencoba memahami seperti apa peluang, tantangan, dan masa depan startup bioteknologi dan life science saat ini. Lebih jauh, bagaimana dukungan investor menyikapi dan menangkap peluang yang ada.

Pasar yang “niche”

Tim Nalagenetics
Tim Nalagenetics

Bagi Nalagenetics, salah satu portofolio East Ventures, menjadi tantangan tersendiri untuk mulai mengembangkan bisnis di Indonesia. Startup yang didirikan oleh Jianjun Liu, Astrid Irwanto, Alexander Lezhava, dan Levana Sani ini hadir menyediakan layanan tes genetik berbiaya murah yang disesuaikan pasar Asia. Penetrasi bisnisnya dimulai di Singapura dan Indonesia.

Co-founder Nalagenetics Levana Sani mengungkapkan, salah satu kendala mengapa startup seperti Nalagenetics kesulitan memperkenalkan produknya ke target pasar adalah kurangnya pengetahuan terkait tes genetik. Proses yang bisa membantu orang banyak beradaptasi dengan obat-obatan yang mereka konsumsi sudah cukup familiar di pasar Amerika Serikat dan Singapura. Untuk Indonesia, kebanyakan belum memahami lebih jauh.

“Karena hal tersebut terkadang menyulitkan kami untuk melakukan pendekatan ke pihak rumah sakit dan pemerintah. Meskipun para dokter kebanyakan sudah mengetahui layanan yang kami sediakan, tapi sebagian besar pihak terkait belum mengenal lebih jauh,” kata Levana.

Saat ini Nalagenetics telah mendapatkan hibah dan menjalin kerja sama dengan berbagai institusi terkait di Indonesia, termasuk FKUI, RSCM, dan Litbangkes. Sementara di Singapura, perusahaan juga telah berkolaborasi dengan NUHS, NNI, GIS. Dukungan yang diterima dari investor membantu perusahaan untuk tumbuh dan berkembang lebih baik lagi.

“Menurut saya, sektor ini masih sangat baru, tetapi lebih banyak dikembangkan di beberapa bidang seperti pertanian. Tingkat implementasi juga bervariasi tergantung pada kompleksitas teknologi yang terlibat. Kebanyakan permintaan yang ada datang dari industri swasta, bukan dari kalangan umum atau arahan pemerintah,” kata Levana.

Tim Nusantics
Tim Nusantics

Menurut CEO Nusantics Sharlini Eriza Putri, meskipun dukungan yang diberikan tidak terlalu besar jumlahnya, namun perhatian investor dan pemerintah telah membantu Nusantics mengembangkan bisnis. Sebagai startup berbasis teknologi, Nusantics fokus pada pengembangan dan penerapan berbagai riset genomika dan mikrobioma untuk memenuhi gaya hidup sehat dan berkelanjutan. Nusantics juga merupakan portofolio East Ventures.

“Menurut saya, pertumbuhan startup biotech dan life science seperti Nusantics dan lainnya masih dalam tahap awal. Potensi yang ditawarkan cukup besar, namun kebanyakan masih kurang dipahami karena istilahnya yang masih sangat asing, sehingga seseorang harus memulai dari suatu tempat dan terus berkontribusi dalam membangun momentum.”

Pandemi mendorong akselerasi

Pandemi telah mengubah semua kebiasaan dan kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi momentum baik bagi startup seperti Nusantics dan Nalagenetics. Bagi mereka, kondisi pandemi menjadi ideal untuk melakukan uji coba dan mempercepat akselerasi, sekaligus ajang pembuktian bahwa teknologi yang mereka tawarkan sangat relevan.

“Pandemi telah meningkatkan kesadaran di kalangan masyarakat yang cukup besar akan pengujian genetik di rumah,” kata Levana.

Hal senada diungkapkan Sharlini. Meskipun pandemi mempengaruhi bisnis mereka secara negatif, terutama layanan pemeriksaan mikrobioma kulit, di sisi lain perusahaan melihat pandemi juga telah memberikan dampak yang positif ke pipeline bisnis baru, yaitu produk lokal komersial pertama untuk COVID-19 PCR Test Kit.

Bulan April lalu produk serupa juga diluncurkan Sensing Self. Sebagai alat tes mandiri untuk Covid-19, alat tes ini diklaim memberikan hasil deteksi yang cepat dan akurat karena menggunakan analisis enzim. Memungkinkan setiap orang melakukan pengetesan di rumah masing-masing, dalam waktu 10 menit, dan harga terjangkau (Rp160 ribu per unit).

“Kehadiran alat tes mandiri ini dapat membantu pemerintah untuk menyediakan akses tes yang lebih aman, praktis, dan terjangkau. Ketika terdapat pasien positif, mereka dapat langsung melakukan isolasi mandiri ataupun mendapatkan perawatan di rumah sakit,” kata Co-Founder Sensing Self Santo Purnama.

Startup yang berbasis di Singapura ini, didirikan Santo dan Shripal Gandhi. Mereka berdua menempatkan Sensing Self sebagai perusahaan yang fokus menciptakan alat tes kesehatan mandiri, agar setiap orang dapat mendeteksi kesehatannya sendiri dan mendapatkan pengobatan di tahap sedini mungkin.

Dukungan investor

Menurut Tania Shanny Lestari dari OpenSpace Ventures, sektor ini masih dalam tahap pertumbuhan di Indonesia, karena proses penemuan obat membutuhkan banyak sumber daya dan kemampuan penelitian. Namun, dengan jumlah penduduk yang secara alami menjadi pasar potensial yang besar, startup bioteknologi Indonesia dapat mengambil peran lebih banyak dalam mengembangkan uji klinis bersama perusahaan-perusahaan farmasi (asing). Jalur kemitraan dengan perusahaan farmasi asing ini secara bertahap akan membangun kapabilitas bioteknologi Indonesia.

“Untuk memfasilitasi uji klinis, ketersediaan Rekam Medis Elektronik (EMR) yang terstruktur menjadi sangat penting. Ini adalah enabler yang akan memungkinkan perusahaan bioteknologi / life science memiliki kumpulan data yang lebih besar dan lebih komprehensif untuk dikerjakan. Ini bisa menjadi peluang langsung untuk bekerja di bidang teknologi kesehatan,” kata Tania.

Sebagai investor, Tania melihat peluang yang besar untuk menyasar bidang ini. Saat ini menjadi waktu yang tepat bagi startup Indonesia untuk membangun rekam medis digital health yang akan menjadi infrastruktur pengembangan bidang bioteknologi dan life science di Indonesia.

“Seperti yang kita saksikan dalam lima tahun terakhir, dua negara di Asia, yaitu Tiongkok dan Korea, telah muncul sebagai pemain global di bidang bioteknologi dan life science. Ini adalah sektor yang secara tradisional didominasi perusahaan AS, Eropa, dan Jepang dengan perusahaan global seperti Amgen, GSK, dan Takeda. Startup di sektor ini juga baru-baru ini menemukan jalannya untuk menjadi perusahaan yang terdaftar, seperti Vir Biotechnology, yang didukung oleh Softbank dan Gates Foundation,” kata Tania.

Sementara itu menurut Sr. Executive Director Vertex Ventures Gary Khoeng, ada beberapa alasan mengapa belum banyak investor yang tertarik untuk menanamkan modal kepada startup yang menyasar biotech dan life science, selain kompleks dan luasnya bidang ini.

Dibutuhkan investasi dalam jangka cukup lama untuk melakukan riset dan membuat produk yang diterima masyarakat.

“Pada akhirnya solusi dan penelitian bioteknologi biasanya memiliki waktu gestation yang sangat lama karena penelitian dan uji coba. Misalnya dengan pengobatan baru untuk penyakit yang menyebar luas atau mengembangkan vaksin baru. Berdasarkan pembayaran dan pendanaan yang ada, harus dipastikan perusahaan dapat bertahan dan juga memiliki rencana akhir yang jelas.”

Sebagai venture capital, Vertex Ventures melihat potensi yang besar untuk berinvestasi ke startup di kategori ini. Salah satu dukungan perusahaan adalah melalui Vertex Healthcare Fund yang fokus ke startup yang menawarkan solusi bioteknologi.

“Dana ini berasal dari Singapura tetapi telah dipindahkan ke Amerika Serikat karena fakta bahwa sebagian besar peluang bioteknologi ada di AS dibandingkan negara lainnya. Meskipun sektor ini cukup tertinggal dan berjalan lambat dibandingkan sektor lainnya, namun memiliki peluang besar yang belum dimanfaatkan oleh startup yang benar-benar memiliki semangat dan kemampuan untuk beroperasi di bidang ini,” kata Gary.

Melihat Bagaimana Pelaku Edtech Mencuri Perhatian di Masa Pandemi

Platform edtech sudah hadir di Indonesia sejak beberapa tahun lalu. Namun, gaungnya mulai meroket secara signifikan di kalangan ekosistem pendidikan di tahun ini. Hal ini terjadi usai pemerintah merumahkan kegiatan belajar mengajar untuk menekan penyebaran Covid-19.

Apa kata salah satu pelaku edtech menanggapi popularitas layanannya di masa pandemi ini? Simak bincang-bincang menarik selengkapnya dari Co-founder & CEO Cakap Tomy Yunus di sesi #SelasaStartup berikut ini:

Perjuangan pelaku edtech terbayar di 2020

Tomy menilai bahwa industri pendidikan dan penunjangnya di Indonesia berkembang pesat selama beberapa tahun terakhir. Memang ketika ia memulai untuk terjun ke bisnis edtech, tak sedikit hambatan yang dialami. Salah satunya adalah ketersediaan infrastruktur internet.

Menurutnya, beberapa tahun lalu internet masih terbilang mahal. Penetrasi 4G masih rendah. Dapat dikatakan pasarnya belum siap bagi pelaku edtech untuk masuk. Namun ia meyakini bahwa kebutuhan pendidikan bakal terus meningkat dan pemerataan internet hanyalah masalah waktu saja.

Di sisi lain, menurut Tomy kualitas pendidikan masyarakat Indonesia masih jauh dibandingkan negara maju, seperti Tiongkok. Akan tetapi, ia melihat tren spending-nya meningkat. Dari sejumlah riset yang ia kutip, pasar pendidikan Indonesia naik 10 persen setiap tahun dan menjadi salah satu yang tertinggi di dunia.

Faktor-faktor ini yang membuat Cakap dan pelaku edtech lainnya bertahan. Perkembangan penetrasi internet menjadi memungkinkan bagi masyarakat di luar Pulau Jawa untuk mengemban pendidikan tanpa perlu ke kota-kota besar. Artinya, iklimnya sudah jauh lebih positif dibandingkan dulu.

“Selama pandemi, para pelaku edtech diuntungkan. Tetapi, ini adalah buah perjuangan kami selama mengembangkan produk [edtech]. Itu semua terbayar di 2020 karena kami diberi kesempatan untuk berbuat lebih banyak. Pendidikan itu industri paling tricky dan tough karena investasinya jangka panjang, bisa sampai 5 tahun, demikian juga teknologi,” jelas Tomy.

Willingness segmen milenial meningkat

Jika dibandingkan dengan Tiongkok, perbedaan paling mendasar pada kebutuhan pendidikan adalah consumer spending. Diakui Tomy, spending Indonesia terhadap pendidikan masih kalah jauh. Di Tiongkok. orang-orang bisa menyisihkan 20-30 persen untuk meningkatkan skill. 

“Saya tidak setuju kalau orang Indonesia tidak suka belajar. Mungkin lebih kepada aspek affordability-nya yang belum seperti negara maju. Tetapi, kami melihat ada tren peningkatan, terutama di bidang specific skill yang ada kaitannya dengan pendapatan,” ungkap Tomy.

Menurutnya, segmen milenial sudah mulai sadar pentingnya investasi pada skill untuk menunjang kariernya di masa depan. Artinya, spending tidak dihabiskan untuk produk consumer, seperti elektronik.

“Sebetulnya solusi untuk mengatasi affordability itu adalah dari produknya. Layanan kami kini tak cuma one-to-one, ada juga yang one-to-many. Di sini kami memberdayakan teknologi agar produk lebih scalable dan bisa affordable. Selebihnya, kami harap internet akan semakin merata karena bagaimanapun juga spending bukan cuma di paket, tetapi juga kuota internet,” paparnya.

Komitmen pelaku edtech lokal memenangkan pasar

Menurut Tomy, pasar edtech di Indonesia masih terbilang early dan vertikalnya pun cukup berjauhan antara satu sama lain, seperti segmen siswa SD hingga perkuliahan atau khusus karyawan.

Karena pemainnya belum banyak, ungkapnya, pasarnya mulai banyak dilirik oleh pelaku edtech asing. Wajar mengingat Indonesia merupakan pasar terbesar di Asia Tenggara.

“Pasarnya belum crowded, tetapi ini dalam artian positif. Saya melihat teman-teman edtech lokal sangat berkomitmen. Makanya, saya meyakini bahwa pelaku edtech lokal yang bakal mengambil benefit paling besar. Kita paling mengerti pasar dan regulasi di Indonesia, bahkan bisa masuk ke segmen retail, corporate, dan governance. Kita lihat apakah [edtech asing] bisa memenangkan pasar Indonesia,” tuturnya.

Pandemi membuka peluang baru

Tak hanya sekolah saja yang terdampak dari pandemi, tetapi juga lembaga kurus/pelatihan dan bimbingan belajar (bimbel). Ketika pemerintah memberlakukan PSBB, sebanyak 80 persen sekolah harus ditutup. Hal ini berdampak pada lembaga bimbel di luar sekolah karena harus tetap beroperasi.

Menurut Tomy, kegiatan seminar dan pelatihan bagi mahasiswa ataupun karyawan yang selama ini digelar secara offline pun juga mau tak mau harus dilakukan secara digital. Namun, ia menilai situasi di atas membuka peluang untuk mengembangkan layanan edtech baru. Terlebih, platform yang ia kembangkan saat ini masih fokus pada pembelajaran bahasa.

“Karena kami melihat ada demand besar, kami memberanikan diri untuk cater market tersebut. Tentu ada sedikit adjusment untuk main ke segmen non- language. Tapi ini peluang baru meski saat ini kami baru fokus di beberapa layanan, seperti marketing dan yang berkaitan dengan ICT,” ucap Tomy.

Momentum emas test case platform edtech

Bagi Tomy, tahun 2020 memberikan kesempatan emas untuk membuktikan bahwa layanan edtech dapat menyelesaikan masalah sesungguhnya yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Menurutnya, pelaku edtech tidak melihat situasi ini sebagai tantangan, melainkan test case dari solusi yang dikembangkan.

Selain membuka peluang untuk masuk ke segmen baru, pandemi juga melahirkan berkolaborasi oleh stakeholder di berbagai ekosistem, tak hanya pendidikan. Pada kasus Cakap, pihaknya bahkan bekerja sama dengan industri pariwisata untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris.

“Kami dikasih battlefield untuk membuktikan produk kami. Di tahun-tahun sebelumnya, mungkin kesempatannya belum ada dan ini sebetulnya yang ditunggu-tunggu oleh pelaku edtech. Tentu ada peningkatan signifikan pada trafik dan pengguna, tapi kami selalu melihat room improvement mengingat pandemi masih akan berlangsung ke depan,” ujarnya.

Application Information Will Show Up Here