Pilihan “Work From Home” Seterusnya Jadi Opsi Menarik Sejumlah Startup Pasca Pandemi

Sebagai salah satu jenis perusahaan yang telah terbiasa menerapkan skema remote working, startup di berbagai lini bisnis tidak menemui banyak kendala ketika aturan bekerja di rumah dan PSBB diberlakukan pemerintah. Dinamika dan rutinitas bekerja di rumah berjalan secara seamless, didukung tools yang selama ini sudah biasa digunakan. Setelah hampir 3 bulan aturan bekerja di rumah diterapkan, sejumlah perubahan dan kebijakan baru kemudian diambil.

Twitter menjadi perusahaan teknologi pertama yang kemudian memberikan pilihan kepada pegawai di seluruh dunia, tempat Twitter beroperasi, untuk bekerja di rumah seterusnya.

“Perlu diingat, bahwa ‘bekerja dari rumah selamanya’ adalah salah satu opsi yang ditawarkan, bukan sebuah keharusan. Jika memang ada pegawai yang ingin melakukan hal tersebut, tentunya perlu melalui diskusi lebih lanjut dengan atasan masing-masing,” kata Country Industry Head Twitter Indonesia Dwi Adriansah.

Sebelum Covid-19 merebak, Twitter telah memiliki opsi serupa–pegawai bisa bekerja dari mana saja. Terbuka, kolaboratif, dan multitasking merupakan kultur bekerja yang diklaim diterapkan di Twitter Indonesia. Menurut Dwi, tiga kata tersebut sangat merepresentasikan bagaimana tim bekerja selama ini.

“Sejak dibuka secara resmi di Indonesia 5 tahun lalu, tim kami terbilang gesit dan multitasking. Seperti kata pepatah, ‘kecil-kecil cabe rawit’, situasi itulah juga yang terjadi di tim kami,” kata Dwi.

Selain Twitter, DailySocial mencoba untuk melihat seperti apa kebijakan startup Indonesia dalam memberilakukan Work From Home (WFH) saat ini dan nanti ketika (suatu saat) pandemi berakhir.

Menyesuaikan tanggung jawab pegawai

Sebagai startup teknologi, praktik kerja dari rumah sudah diterapkan Sirclo sebelum masa pandemi, meski pada umumnya hanya berlaku untuk pegawai yang sesekali membutuhkan fleksibilitas untuk bekerja sembari mengurus keperluan pribadi dari rumah. Perusahaan menjunjung tinggi budaya kolaborasi, ketika berbagai aktivitas, seperti meeting atau diskusi grup, sesungguhnya jauh lebih produktif saat bertemu tatap muka.

Meskipun demikian, karena alasan kesehatan dan keselamatan pegawai merupakan prioritas utama, Sirclo berupaya agar menerapkan kebijakan WFH untuk mayoritas tim hingga situasi kondusif kembali. Perusahaan juga terus memaksimalkan penggunaan teknologi yang merupakan solusi untuk #PulihkanJarak antar sesama anggota tim, dengan pelanggan, dan dengan rekan bisnis.

“Sebagian dari tim operasional Sirclo yang tetap berkantor secara fisik di fulfillment centre kami yang berlokasi di Taman Tekno BSD, dikarenakan bisnis e-commerce enabler Sirclo turut bertanggung jawab dalam pemenuhan pesanan online melalui marketplace. Sebagai langkah preventif, kami menerapkan kebijakan berikut, melakukan pengecekan suhu, pemakaian masker secara wajib, menjaga jarak fisik, aktif memantau kondisi kesehatan karyawan secara langsung. Karyawan yang bertugas melakukan pemenuhan pesanan juga masuk kerja secara bergilir dengan sistem shift, agar keamanan dan produktivitas tetap terjaga,” kata CEO Sirclo Brian Marshal.

Hal serupa diberlakukan PrivyID. Sebagai startup yang wajib mengikuti aturan regulator, kebijakan untuk bekerja di rumah tidak semua diberlakukan kepada pegawai. Untuk kantor yang berlokasi di Jakarta, misalnya, kebijakan WFH diterapkan secara keseluruhan. Namun untuk kantor di Yogyakarta, ada beberapa pegawai yang tetap wajib bekerja di kantor.

“Saat pandemi saat ini kantor Jakarta sudah melakukan WFH secara total. Namun untuk kantor di Yogyakarta, WFH diberlakukan kecuali untuk verifikator dan customer service yang tetap bekerja di kantor untuk memenuhi standar ISO 27001 tentang manajemen keamanan informasi, terutama data pelanggan. Hanya spacing tempat duduk diubah menjadi berjarak 2 kali lipat, PC untuk kerja didesinfektan setiap pergantian shift, [dilakukan] cek suhu, [dan] mereka yang sakit tidak dibolehkan bekerja di kantor,” kata CEO PrivyID Marshall Pribadi.

Mengamini kedua pernyataan di atas, sebagai platform jasa desain interior dan konstruksi, Dekoruma memberlakukan kebijakan serupa. Beberapa pegawai, terutama mereka yang bertugas di bagian operasional, tidak memungkinkan untuk bekerja di rumah.

So far, kami masih belum merasakan kendala productivity yang berarti. Ada hal-hal atau aktivitas yang sebenarnya jauh lebih efisien, tapi ada juga beberapa bagian dari aktivitas yang menjadi challenging. Terutama untuk simple and short discussion. Contohnya kalau dulu sesama tim bisa diskusi lebih cepat, sekarang tidak bisa dan semakin sulit karena harus melalui chatting/call,” kata CEO Dekoruma Dimas Harry Priawan.

Tools pendukung produktivitas bekerja

Salah satu alasan kegiatan bekerja di rumah efektif dilakukan adalah ketersediaan berbagai tools pendukung, mulai dari platform video conference, platfrom messaging, organizer, dan calendar untuk memaksimalkan pekerjaan pegawai di rumah.

“Karena meeting dan presentasi dilakukan melalui video call, atasan kemudian bisa ikut di setiap meeting. Sebelumnya hanya mendapatkan laporan dari mereka setelah kembali ke kantor. Kemudian manajemen juga bisa berkomunikasi lebih sering lewat concall. Sebelumnya pertemuan jarang dilakukan, karena banyak meeting di luar dan kemacetan lalu lintas yang menyulitkan mereka untuk kembali ke kantor,” kata Marshall.

Penggunaan tools juga menjadi hal yang wajib dilakukan pegawai Mekari. CEO Mekari Suwandi Soh mengungkapkan, online meeting dan sinkronisasi komunikasiseperti internal memo, secara rutin dilakukan. Perusahaan juga menyediakan lebih banyak data ke tim yang relevan, sehingga mereka bisa mengambil keputusan. Hal ini ternyata mampu meminimalisir kegiatan yang kurang produktif, seperti diskusi ringan tanpa agenda, ataupun watercooler chat.

“Untuk tim yang selama ini tidak membutuhkan banyak kolaborasi, WFH menjadi lebih efektif. Selama ini kami juga sudah memiliki metriks untuk tiap pekerjaan, sehingga standar produktivitas bisa terus dipantau. Tetapi untuk yang membutuhkan diskusi dengan tim di pelanggan, ada banyak tantangan karena tidak semua pelanggan memiliki infrastruktur dan teknologi memadai,” kata Suwandi.

Untuk layanan fintech seperti Akseleran, selama WFH perusahaan mengedepankan nilai-nilai yang sudah dipegang sebelumnya, khususnya terkait excellence, reliability, dan kerja sama tim.

“Kami percaya bahwa orang-orang yang berkualitas baik akan bisa memaksimalkan performanya bila diberikan kepercayaan tanpa harus melakukan micro manage. Yang penting kita tentukan strategi dan tujuan yang ingin diraih, dan kita komunikasikan hal tersebut dengan baik kepada seluruh tim. Setelah itu tim dapat memenuhi pekerjaan mereka masing-masing tanpa harus diatur terlalu detail termasuk tanpa harus bertatap muka,” kata CEO Akseleran Ivan Tambunan.

Perusahaan lain, seperti Tokopedia, menggunakan parameter Objectives and Key Results (OKR) saat memberlakukan kebijakan bekerja di rumah. Untuk menjaga produktivitas seluruh Nakama (sebutan karyawan Tokopedia), setiap karyawan sudah memiliki OKR pribadi, tim, dan perusahaan yang sejalan. Di sisi lain, praktik bekerja dari rumah sudah lumrah dilakukan, bahkan jauh sebelum sebelum adanya pandemi.

“Demi memastikan efektivitas lebih dari 4.900 Nakama dalam melayani kebutuhan masyarakat Indonesia di tengah pandemi, kami mewajibkan setiap pegawai untuk tetap menjalankan komunikasi virtual antar tim secara berkala sesuai dengan jadwal yang ditentukan,” kata juru bicara Tokopedia.

Penerapan WFH jika pandemi usai

Menanggapi kebijakan WFH selamanya yang Twitter terapkan, manajemen startup Indonesia melihat kemungkinan itu ada, namun dengan beberapa catatan.

“Selama beberapa bulan terakhir, kami pun bersyukur dapat memenuhi target dari segi pertumbuhan jumlah klien dari seluruh lini bisnis, karena semakin banyak pelaku usaha yang berminat masuk ke ranah e-commerce. Dengan segala kapasitas/resources yang telah kami bangun untuk menunjang produktivitas saat WFH, kami terbuka untuk menerapkan sistem kerja yang paling efektif untuk mendukung kinerja pegawai di masa yang akan datang. Hingga hari ini, tim Sirclo berjumlah lebih dari 350 pegawai,” kata Brian.

Sementara itu, kebijakan WFH di PrivyID masih akan diberlakukan hingga akhir Mei 2020 sambil dievaluasi lebih lanjut. Marshall melihat proses WFH cukup efektif–ada karyawan yang semakin produktif, namun ada pula yang menurun. Salah satu faktornya adalah kondisi rumah mereka dengan gangguan yang bersifat domestik.

“Jumlah karyawan PrivyID saat ini sekitar 160 orang. Kami membuat aturan dalam jam kerja setiap karyawan harus merespon chat/email maksimal dalam 30 menit kecuali sedang concall. Nanti setelah pandemi berakhir pun, kami arahkan tim sales/BD untuk tetap menghindari meeting in person dengan klien. Dari segi waktu dan biaya transport, jauh lebih hemat [ketika WFH] dan malah deal bisa dicapai relatif lebih singkat,” kata Marshall.

Dukungan perusahaan juga menjadi fokus Mekari agar kegiatan bekerja di rumah saat ini dan selanjutnya bisa berjalan secara efektif. Perusahaan memastikan tim memiliki teknologi yang tepat untuk mendukung pekerjaan.

“Bahkan kami juga memberikan tunjangan, seperti paket data sebagai benefit yang kami sesuaikan dengan kondisi saat ini, yang dapat diakses karyawan dengan mudah di fitur Mekari Benefit dalam Talenta Mobile,” kata Suwandi.

Untuk meningkatkan produktivitas pegawai setelah pandemi usai, Akseleran akan tetap bekerja bersama-sama sebagai satu tim yang diharapkan bisa menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Hingga 18 Mei 2020, jumlah karyawan Akseleran mencapai 157 orang atau naik 51% dibandingkan Mei 2019.

“Di Dekoruma kami masih dalam proses diskusi untuk policy setelah PSBB. Namun kebijakan work from home akan menjadi opsi. Hanya saja implementasi dan pengaturannya belum rampung. Masih ada beberapa divisi di Dekoruma yang tidak memungkinkan untuk WFH, seperti operasional dan lainnya,” kata Dimas.

Beberapa Startup Inisiasi Produk Tur Virtual, Coba Gairahkan Kembali Bisnis Pariwisata

Hari ini (20/5) marketplace digital agen umrah dan tur religi Travalal meluncurkan layanan baru. Disebut dengan “Virtual Reality Tourism“, merupakan program tur yang dikemas secara online, memanfaatkan teknologi video 360° dan live tour menggunakan aplikasi video conference. Ada berbagai destinasi wisata yang ditawarkan, baik lokal maupun luar negeri, termasuk mencantumkan wisata religi umrah virtual .

Founder & CEO Travalal Joyo Diharjo mengungkapkan, inisiatif ini dikembangkan sebagai langkah bertahan perusahaan di tengah pandemi. Seperti diketahui, terpaan Covid-19 berdampak cukup signifikan bagi industri perjalanan dan pariwisata di seluruh dunia.

“Kami berharap dengan virtual tourism ini, para pelaku industri pariwisata dapat memiliki potensi pekerjaan dan penghasilan baru sebagai penyelenggara wisata virtual. Kami tidak ingin berdiam diri tanpa solusi. Kami siap memberikan pelatihan bagi mereka. Nantinya, setelah terlatih, Travalal akan ikut membantu memasarkan jasa mereka,” imbuh Joyo.

Antourin juga tawarkan layanan serupa di tengah pembatasan sosial-fisik yang diberlakukan di banyak wilayah. Platform yang menawarkan perencanaan perjalanan liburan tersebut suguhkan berbagai paket tur virtual berbagai objek wisata di Indonesia dengan tarif yang relatif terjangkau.

Layaknya wisata betulan, tur virtual juga dilengkapi dengan pemadu wisata yang siap menerangkan dan menjawab pertanyaan soal objek-objek yang dikunjungi. Aplikasi konferensi seperti Zoom, Google Maps, dan Street View digunakan dalam pelaksanaannya.

Pemain global seperti Airbnb, TripAdvisor dan beberapa lainnya juga usung inisiatif serupa. Untuk Airbnb, melalui Online Experience-nya, tidak hanya program mengunjungi tempat wisata saja, namun menyajikan kegiatan bersama, misalnya memasak makanan khas Bali, yang dapat diikuti secara virtual.

Laman Online Experiences milik Airbnb
Laman Online Experiences milik Airbnb

Sejauh ini belum ada data komprehensif yang berhasil memvalidasi efektivitas dari kegiatan tur virtual, khususnya untuk pangsa pasar di Indonesia. Terlebih untuk menjawab “apakah mereka mau membayar untuk melakukan tur virtual?” Kendati secara konsep dasar sebenarnya mirip dengan konversi kegiatan belajar di kelas dengan kegiatan belajar virtual — yang mulai tervalidasi penerimaannya di kalangan pengguna. Bisnis yang terdampak pandemi memang tengah dipaksa untuk berinovasi menghadirkan “the new normal”-nya.

Ada yang tidak berhasil bertahan

Terjegal pandemi, bulan ini Airy memilih untuk menutup operasionalnya. Sejak awal tahun, saat pandemi Covid-19 mulai menghantui kawasan Asia Tenggara, terjadi penurunan yang cukup tajam untuk pengguna layanan Airy. Diperburuk dengan insiatif lockdown dan physical distancing di hampir semua negara yang menjadikan kegiatan bepergian (ke luar kota atau luar negeri) nyaris tidak dilakukan oleh orang-orang.

Mengamati kondisi yang terjadi saat ini, kepada DailySocial ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet yakin pelaku OTA di Indonesia pasti terpukul akibat Covid-19. Akan tetapi Yusuf melihat mereka bukan tanpa harapan dalam situasi genting seperti sekarang.

“Menurut saya mereka bisa memanfaatkan potensi wisatawan domestik tapi yang sifatnya lebih lokal, seperti wisata kuliner,” ucap Yusuf.

Peran dan Strategi Insurtech di Tengah Pandemi

Penerapan PSBB di situasi pandemi telah mendorong banyak bisnis untuk beralih ke ranah digital. Hal ini menjadi momentum bagi industri bisa mempercepat laju transformasi digital, salah satunya di sektor asuransi. Sebelum pandemi melanda negeri ini, sudah ada beberapa platform insurtech yang meluncur di tanah air menawarkan berbagai macam asuransi mulai dari yang paling dasar kesehatan, perjalanan hingga perangkat lainnya. Beberapa di antaranya adalah Qoala, Futuready, PasarPolis, dan Igloo.

Tim DailySocial berdiskusi dengan sejumlah pemain dan pengamat industri mengenai dampak dan peran insurtech dalam situasi pandemi ini. Beberapa di antaranya sudah muncul dengan inovasi baru guna berkontribusi dalam masyarakat serta melanjutkan bisnis di tengah krisis.

Bergerak secara digital

CEO Futuready Indonesia Keet Peng Onn menyampaikan bahwa dampak pandemi ini belum terlalu signifikan pada perusahaannya, jika dibandingkan dengan industri lainnya, salah satunya adalah travel. Saat ini, pihaknya mengaku sedang fokus membantu menjembatani para pemegang polis untuk memperoleh refund (pengembalian dana) atas produk asuransi perjalanan yang mengalami pembatalan akibat pembatasan travel.

COO Qoala Tommy Martin menyebut pihaknya turut merasakan dampak pandemi pada aspek bisnis dan operasional perusahaan. Karena itu, pihaknya menerapkan beberapa strategi untuk bisa tetap beroperasi secara digital. Pertama, dengan mengikuti anjuran pemerintah dan menerapkan full WFH policy. Kedua, melancarkan strategi keuangan dengan fokus pada pengurangan anggaran operasional daripada mengambil jalur PHK. Ketiga, memaksimalkan pemasaran di jalur online serta melakukan inovasi produk untuk tetap dapat menjangkau masyarakat.

Igloo, perusahaan rebranding Axinan yang belum lama ini mendapatkan pendanaan, mengaku dengan keterbatasan aktivitas offline serta traffic e-commerce yang semakin padat, asuransi terkait transaksi online menjadi esensial.

“Kami memahami bahwa ini adalah masa yang sulit, karenanya Igloo, bersama dengan mitra asuransi kami, membuat beberapa perubahan pada klaim kebijakan untuk mengakomodasi perkembangan rantai pasok dalam ekosistem kami,” ujar Country Manager Igloo Indonesia Pradityo Anggoro Kusumo.

Kolaborasi menciptakan inovasi

Seperti diketahui, pandemi ini telah membatasi banyak sekali aspek bisnis dan operasional perusahaan. Dibutuhkan inovasi untuk mengatasi isu-isu yang muncul selama situasi pandemi ini berlangsung, salah satunya melalui kolaborasi.

Qoala, berbekal pendanaan Seri A yang baru saja didapat, bekerja sama dengan perusahaan asuransi menyediakan layanan asuransi yang mencakup risiko terjangkit Covid-19 untuk konsumen dan UMKM di seluruh Indonesia. Selain itu, Qoala juga bekerja sama dengan sejumlah asuransi kredibel terkait Covid-19 melalui sejumlah platform, salah satunya GrabKios.

Sementara itu, dalam rangka berkontribusi di masa pandemi, Futuready telah memfasilitasi beberapa produk asuransi terkait Covid-19, salah satunya yang mengakomodasi Uang Santunan Harian pada nasabah yang dirawat, serta turut membagikan 500 polis asuransi kesehatan secara cuma-cuma.

Pengamat asuransi dan pengajar Sekolah Tinggi Asuransi Trisakti Azuarini Dyah berpendapat pemasaran asuransi melalui digital bisa meningkatkan kesadaran untuk berasuransi dengan tren masyarakat yang mulai melek teknologi. Ia  menyampaikan beberapa hal yang harus diperhatikan. “Regulator diharapkan bisa membuat batasan batasannya mana yang bisa dijual via digital atau tidak. Menurut saya, tidak bisa semua aspek asuransi bergerak via digital karena tergantung jenis perlindungan, mekanisme penutupan, dan preminya,” sebut Azuarini dalam pesan singkat kepada DailySocial.

Inovasi Selama Pandemi, Frame A Trip Buat Layanan “Virtual Photoshoot”

Frame A Trip, online marketplace jasa fotografer, merilis layanan virtual photoshoot sebagai inovasi teranyar. Tren pemotretan yang tengah menjadi populer selama pandemi ini dilakukan tanpa pertemuan fisik antara fotografer dan model.

“Virtual Photoshoot by Frame A Trip ini merupakan produk pertama kalinya di Indonesia yang empowering para fotografer untuk bisa berkarya dan scale-up tanpa jarak dan waktu travel, sehingga ke depannya pun kami juga akan menambah dan mengundang para fotografer professional untuk bergabung,” ucap CEO Frame A Trip Patricia Rose kepada DailySocial, Jumat (15/5).

Dia menerangkan berbeda dengan sesi foto biasanya, sesi foto virtual ini sangat mengandalkan komunikasi fotografer dan model. Melalui beberapa aplikasi video conference, kedua belah pihak akan mengomunikasikan pencahayaan, latar, busana, riasan wajah, sekaligus tata rambut.

Layanan tersebut memberikan kesempatan unik bagi semua orang untuk merasakan pengalaman sesi foto bersama fotografer dari kalangan selebriti. Di antaranya, Gading Marten, Dion Wiyoko, Tommy Siahaan, Michael Cools, dan Ana Octarina.

“Namun tidak semua fotografer di sini adalah selebriti. Kami juga mengundang fotografer professional untuk bergabung bersama kami, namun kami juga tetap kurasi untuk menjaga kualitas hasil fotonya.”

Model bisnis dari layanan ini tergolong cukup simpel. Patricia menerangkan, pengguna bisa melakukan pemesanan melalui situs resmi atau melalui tim Frame A Trip.

Setelah itu, pihaknya akan memberikan sejumlah panduan singkat sebelum sesi foto dimulai dan beragam tips untuk sesi virtualnya. Sesi foto dilakukan selama satu jam penuh dengan biaya yang dipatok mulai dari 1 jutaan Rupiah.

Personal assistant kami akan menghubungi klien untuk ensure mendapatkan brief yang jelas sesuai dengan request client, sehingga bisa kami sampaikan ke fotografer dan sesi bisa berjalan lancar.”

Patricia juga memastikan bahwa layanan ini akan menjadi produk permanen, yang tidak hanya hadir selama pandemi saja, karena punya nilai jual unik bukan dari hasil fotonya saja. Dari sisi gaya hasil editing dan arahan gaya dari tiap fotografer punya ciri khas masing-masing. “Kami percaya bahwa produk baru Virtual Photoshoot ini bisa menjadi produk permanen kami.”

Cari pendanaan

Patricia menuturkan perusahaan berencana untuk melakukan penggalangan dana. Bukan hanya sekadar cari dana segar saja, perusahaan ingin mencari partner strategis yang bisa mengakselerasi pertumbuhan perusahaan.

Sejak berdiri pada tahun 2017, Frame A Trip belum melakukan penggalangan dana eksternal, alias masih bootstrap dari kantong sendiri para pendirinya. Startup ini dirintis oleh Dian Sastrowardoyo, Michael Tampi, Arief Subardi, Hermawan Sutanto, dan Damon Hakim.

Diklaim perusahaan telah menjaring lebih dari 400 ribu fotografer di seluruh dunia.

Dia juga mengungkapkan dampak pandemi terhadap bisnisnya, terjadi penurunan yang sangat signifikan, selaras dengan industri perjalanan. “Namun, kami juga bersyukur karena sampai saat ini belum mengurangi karyawan,” pungkasnya.

Nasib yang berbeda, dialami pemain sejenisnya yakni SweetEscape. Perusahaan tersebut melakukan pengurangan karyawannya secara besar-besaran karena ada tim in-house, sehingga tidak hanya bersifat marketplace fotografer. Mereka tengah berusaha untuk menghidupkan bisnis dengan merilis layanan fotografi untuk usaha kuliner “Fotto”.

Meneropong Relasi Fintech dan UKM di Masa Pandemi

Teori dan pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa UKM kerap menjadi pelindung perekonomian Indonesia ketika musim paceklik menyergap. Contoh yang sering disertakan adalah krisis moneter pada 1998 dan resesi global pada 2008. Selama dua kejadian besar itu, UKM selalu disebut menjadi kekuatan ekonomi Indonesia yang bertahan ketika sektor lain ambruk.

Namun pandemi Covid-19 memberi pukulan yang berbeda. UKM tak bisa kebal menghadapi risiko-risiko ekonomi yang dibawa oleh wabah ini. Ketersediaan modal adalah salah satu faktor terpenting bagi bisnis UKM. Jika riwayat penjualan, arus kas, dan catatan pinjaman merupakan syarat kelayakan yang lazim berlaku bagi fintech lending sebelum menyalurkan kredit, maka itu semua mungkin tak lagi sepenuhnya berarti.

Co-founder & COO Modalku Iwan Kurniawan menjabarkan bagaimana peran fintech memperkuat eksistensi UKM dan apa saja yang terjadi pada industri ini selama pandemi berlangsung. Simak pandangan Iwan selengkapnya di edisi #SelasaStartup terbaru.

Sistem validasi anyar di masa pandemi

Situasi yang tidak pasti mengharuskan lembaga penyalur kredit termasuk fintech lebih cermat melakukan penilaian. Hal ini tak terkecuali bagi Modalku. Iwan menyebut ada perbedaan mencolok dalam mekanisme penyaluran kredit antara sebelum dan setelah Covid-19 merebak. Menurut Iwan umumnya stabilitas omzet jadi ukuran sebelum mereka memutuskan memberi kredit kepada UKM. Arus kas, aktivitas penjualan, dan riwayat kredit merupakan indikator yang mereka pegang teguh. Namun hal itu bergeser saat ini.

Ketidakpastian selama wabah menambah unsur kehati-hatian dalam melakukan scoring. Namun indikator yang dipakai pun bergeser banyak. Menurut Iwan pihaknya kini lebih mengedepankan prospek suatu bisnis terutama terkait dengan masa depan suatu sektor.

History itu jadi tidak penting, justru kita lebih ke future, apakah kami yakin di indisutri ini, prodok apa yang mereka jual, dan destinasi jualan mereka,” ucap Iwan.

Seperti yang kita ketahui sebelumnya, pandemi Covid-19 memukul banyak bisnis yang tersebar di sejumlah sektor. Manufaktur, perbankan, minyak dan gas, transportasi, serta pariwisata adalah contoh sektor-sektor yang dibuat hampir tak berdaya oleh Covid-19.

“Jadi cara penilaiannya ada pre-Covid-19 yang normal yang mana lebih fokus di cash flow daripada collateral. Tapi dengan adanya Covid-19 harus lebih hati-hati, forward looking dan sesuai dengan kondisi sekarang,” imbuhnya.

Memaksimalkan peluang yang ada

Meski ada banyak sektor yang tumbang sebagai dampak dari Covid-19, ada pula sektor yang terus tumbuh beberapa bulan terakhir. Sektor kesehatan dan e-commerce adalah dua contoh industri yang performanya meningkat. Ini juga terjadi pada Modalku.

Untuk sektor kesehatan, Modalku mengumumkan kerja sama mereka dengan BPJS Kesehatan. Menurut Iwan, kerja sama itu untuk menjembatani lebih banyak akses masyarakat ke layanan tersebut. Sementara di sektor e-commerce, mereka menggandeng dengan nama-nama besar seperti Bukalapak, Tokopedia, Lazada, hingga Zilingo.

Dengan langkah-langkah itu, Iwan mengklaim pihaknya mengalami lonjakan permintaan Modalku. “Ada kenaikan sekitar 10 kali lipat jumlah aplikasi untuk meminjam modal kerja atau personal,” tukas Iwan.

Kendati lonjakan permintaan akan modal naik tajam, Modalku tidak lantas lebih mudah memberi persetujuannya. Iwan mengakui persetujuan untuk permintaan pinjaman itu sangat sedikit yang mereka penuhi karena ada lebih banyak tolok ukur yang dipakai.

Di saat bersamaan, Modalku punya pekerjaan rumah agar kondisi ideal bagi mereka dapat tercapai. Pertama adalah soal edukasi. Edukasi menjadi penting karena menurut Iwan masyarakat kerap salah paham dalam menilai pinjaman modal kerja. Misalnya saja ada anggapan bahwa bunga fintech lebih mahal ketimbang bunga dari bank. Padahal bunga itu menurut Iwan relatif kecil dibandingkan untung yang bisa diperoleh UKM.

Persoalan kedua adalah keterjangkauan akses. UKM di Indonesia umumnya masih banyak yang belum menyentuh transaksi online. Beban yang harus ditanggung fintech untuk menjangkau UKM yang tradisional ini biasanya lebih mahal dan memakan waktu. Namun sedikit keberuntungan bagi mereka, kondisi wabah saat ini mengharuskan banyak usaha tetap berjalan dan artinya akan lebih banyak usaha yang berjalan secara online tanpa perlu mereka dorong.

“Saya lihat selama Covid-19 ini tantangan itu makin terpecahkan. Kita bisa lebih efisien menyentuh atau support mereka [UKM].”

Kondisi ideal setelah pandemi

Modalku saat ini masih salah satu fintech lending terbesar di Indonesia. Total kredit yang sudah mereka salurkan sejauh ini mencapai Rp14 triliun. Belum lama mereka juga mengumumkan penggalangan dana seri C senilai US$40 juta atau sekitar Rp625 miliar.

Dengan segala bentuk adaptasi yang terjadi selama wabah Covid-19 berlangsung, Iwan menuturkan pihaknya sedang bersiap segala bentuk normal baru yang akan terjadi. Ini meliputi menyaring sektor-sektor mana saja yang akan menguat di masa depan dan mencari mitigasi risiko yang paling tepat.

Industri kesehatan, online commerce, serta supply chain tampak akan menjadi sektor yang menjadi fokus Modalku mulai saat ini. Iwan menegaskan Modalku harus bersiap sejak sekarang untuk memenuhi kebutuhan modal UKM di sektor-sektor tersebut. Sementara dari manajemen risiko, mereka melakukan perombakan peran di tubuh perusahaan. Contoh perombakan peran itu adalah memindahkan sejumlah anggota tim sales dan marketing untuk membantu tim manajemen risiko untuk melayani kebutuhan layanan-layanan seperti memperpanjang tenor pinjaman ataupun mempercepat masa pelunasan.

“Kita sudah ada SOP yang jelas dengan UKM ketika di masa depan ada kebutuhan untuk bantu adjustment, kita bisa siap manajemen risikonya,” pungkas Iwan.

Practicing the New Normal for Fintech Lending Business

The pandemic effect on most business sectors also lies in the fintech lending industry, which must prepare a number of initiatives to prevent default on its borrowers. Fintech players are required to prepare themselves for “the new normal”.

To discuss this topic, DailySocial invited CMO KoinWorks Jonathan Bryan as the speaker for the #SelasaStartup first week edition of May 2020.

KoinWorks is one of the pioneers of fintech p2p lending startups in Indonesia. In February 2020, the company announced new funding in two schemes, loans and equity with a total value of $20 million or equivalent to 316 billion Rupiah.

Here’s the summary:

Credit restructuring

Following the regulator instruction, KoinWorks also applied credit restructuring for borrowers affected by the pandemic. However, the relaxation cannot be used equally for all borrowers. Indeed, platform players cannot act like banks.

They’re positioned between borrowers and lenders. Platform players position themselves to help businesses run still and not to cause a loss for lenders.

The Borrower must present data to demonstrate the validity that the business is really affected by Covid-19. Whether it’s from a bank book report, if they are in the form of an offline business, it can show the closing store.

“The business must not end, what we build is adjusting the schedule to the borrowers by extending the tenor. It aims to ensure that the business can pay and survive,” he explained.

More selective and exploring other business potential

Jonathan continued that one of the products available at KoinWorks is loans for online sellers. This line still shows a positive trend as in the previous year.

The trend of increasing loan demand usually occurs at the beginning of the year, both when one e-commerce celebrates its anniversary, the Eid moment, and as we enter the year-end moment and national online shopping day (harbolnas).

Towards that moment, there will be a significant increase in loans about two to three months before. The seller needed loans to stock up when there’s a massive purchase.

“The increase [in loans] can be 1-2 times [year-on-year] in high season, especially during Eid. This year, we are tightening up, as giving to the most affected segments of Covid-19 such as tourism. We’ve done some mapping.”

Prepare for the new normal in fintech

When restructuring and scoring are tightened, the final step is to anticipate the second wave of the pandemic impact. From the results of the company’s internal research, Jonathan said there are many findings that can be drawn from the investment climate in various developed countries.

“In our opinion, this pandemic is to end after Eid. However, it is the second wave we feared because of its easy spread. After entering the recovery phase, there are strategies on how to be defensive and aggressive. Therefore, you have to pick the right battle for each business.”

When the recovery time is done, it’s time to return to the initial mission, which is to help SME businesses grow more aggressively. “All businesses that make it past the post-pandemic, can be sure to get up and jump for multiple times for it has passed the worst part. That is what we want to provide, it might be until the end of this year the recovery will take time,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mempersiapkan “The New Normal” untuk Bisnis Fintech Lending

Efek pandemi mendera sebagian besar sektor bisnis, turut dirasakan oleh industri fintech lending yang harus mempersiapkan sejumlah langkah preventif demi mencegah gagal bayar oleh para peminjamnya. Pemain fintech dituntut untuk bersiap diri menuju “the new normal”.

Untuk membahas topik ini, DailySocial mengundang CMO KoinWorks Jonathan Bryan sebagai pembicara untuk #SelasaStartup edisi pekan pertama Mei 2020.

KoinWorks termasuk salah satu pionir startup fintech p2p lending di Indonesia.
Pada Februari 2020, perusahaan mengumumkan pendanaan baru dalam dua skema, yakni pinjaman dan ekuitas dengan total nilai $20 juta atau setara 316 miliar Rupiah.

Berikut ringkasannya:

Melakukan restrukturisasi kredit

Mengikuti anjuran regulator, KoinWorks juga menerapkan restrukturisasi kredit untuk bisnis peminjam yang terkena dampak pandemi. Namun, relaksasi ini tidak bisa dimanfaatkan secara merata buat semua peminjam. Dikarenakan, pemain platform tidak bisa bertindak seperti bank.

Posisi mereka ada di tengah-tengah, di antara peminjam dan pemberi pinjaman. Pemain platform memosisikan diri untuk membantu bisnis agar tetap bisa berjalan dan tidak merugikan pemberi pinjaman.

Peminjam harus menunjukkan data untuk memperlihatkan keabsahan bahwa bisnisnya benar-benar terdampak Covid-19. Entah itu dari laporan buku bank, jika mereka berupa bisnis offline bisa menunjukkan penutupan tokonya.

“Jangan sampai bisnisnya benar-benar mati, maka yang kita bangun adalah penyesuaian jadwal kepada para peminjam dengan perpanjang tenor. Itu tujuannya untuk memastikan bisnis tersebut bisa bayar dan tetap survive,” terangnya.

Lebih selektif dan cari potensi bisnis lain

Jonathan melanjutkan salah satu produk pinjaman yang tersedia di KoinWorks adalah pinjaman untuk penjual online. Lini ini masih menunjukkan tren positif seperti yang terjadi di tahun sebelumnya.

Tren kenaikan permintaan pinjaman biasanya terjadi saat awal tahun, baik itu saat salah satu e-commerce merayakan hari jadinya, momen lebaran, dan pada akhir tahun masuk ke momen akhir tahun dan harbolnas.

Menjelang momen tersebut tiba, sekitar dua sampai tiga bulan sebelumnya kenaikan pinjaman akan banyak bermunculan. Penjual pada saat itu butuh dana pinjaman untuk menyetok barang dagangannya agar aman ketika pembelian membludak.

“Kenaikannya [pinjaman] bisa 1-2 kali lipat secara yoy saat high season, terutama saat lebaran. Tahun ini kita lakukan pengetatan, misalnya tidak memberikan ke segmen yang paling terdampak Covid-19 seperti pariwisata. Ada pemetaan yang kita buat.”

Bersiap menuju “the new normal” fintech

Ketika restrukturisasi dan pengetatan scoring dilakukan, maka langkah terakhirnya adalah mengantisipasi terjadinya second wave dari dampak pandemi. Jonathan bertutur dari hasil riset internal perusahaan, banyak temuan yang bisa ditarik dari iklim investasi di berbagai negara maju.

“Menurut kita, pandemi ini selesai setelah lebaran. Tapi yang ditakutkan adalah second wave karena penyebarannya yang begitu mudah. Setelah itu baru masuk ke fase recovery, ada strategi bagaimana untuk defensif dan agresif. Jadi harus pick the right battle untuk masing-masing bisnis.”

Ketika kondisi pemulihan berhasil dilewati, maka saatnya untuk kembali ke misi awal, yakni membantu bisnis UKM tumbuh lebih agresif. “Semua bisnis yang berhasil melewati pasca pandemi, bisa dipastikan dia bisa terbang dan jump berkali-kali lipat karena sudah melewati bagian terburuknya. Itu yang mau kita bawa, mungkin sampai akhir tahun ini baru benar-benar recover,” pungkasnya.

[Infografik] Tren Konsumsi Media Selama Pandemi Berdasarkan Usia Konsumen

Sulit membayangkan bagaimana jadinya seandainya pandemi COVID-19 terjadi 20 atau bahkan 30 tahun yang lalu. Internet kala itu belum se-mainstream sekarang, dan layanan streaming macam Netflix maupun Spotify belum eksis.

Skenario khayalan ini sejatinya bisa kita jadikan bahan untuk mensyukuri keadaan sekarang. Sesulit apapun masa swakarantina yang kita hadapi, kita masih punya begitu banyak akses ke beragam jenis media, baik untuk mencari informasi atau menghibur diri.

Cara kita mengonsumsi berbagai bentuk media selama pandemi tentu berbeda-beda, dan ini ternyata bisa dikategorikan berdasarkan usia. Global Web Index belum lama ini melakukan survei terhadap hampir 4.000 orang di Amerika Serikat dan Inggris dengan rentang usia 16 – 64 tahun. Datanya kemudian disadur menjadi infografik yang sangat apik oleh Visual Capitalist.

Media Consumption Gen Z

Kita mulai dari yang paling muda, yakni Gen Z (16 – 23 tahun). Seperti yang bisa kita lihat, lebih dari separuh mengaku menonton lebih banyak konten video online sejak pandemi melanda. Layanan streaming film menjadi jenis media andalan kedua buat mereka, disusul oleh video game, layanan streaming musik, dan siaran TV tradisional.

Media Consumption Millenials

Tren serupa juga ditunjukkan oleh kalangan Millenial (24 – 37 tahun). Menariknya, generasi ini adalah yang konsumsinya paling merata, alias tidak ada satu jenis media yang benar-benar mendominasi sangat jauh. Platform video online seperti YouTube atau TikTok masih berada di urutan pertama, diikuti oleh layanan streaming film dan musik.

Milennial bisa dibilang merupakan generasi yang paling haus informasi. Ini terbukti dari besarnya konsumsi mereka terhadap media online, podcast dan radio. Kendati demikian, ketertarikan Millenial terhadap video game tetap tidak kalah dari kalangan Gen Z.

Media Consumption Gen X

Lanjut ke kalangan Gen X (38 – 56 tahun), mereka adalah konsumen terbesar saluran TV tradisional, bahkan jauh melebihi konsumsi platform video online. Setelah TV, radio merupakan medium terpopuler kedua di kalangan Gen X, sama porsinya seperti layanan streaming film.

Media Consumption Baby Boomer

Tanpa harus terkejut, generasi Baby Boomer (57 – 64 tahun) juga paling memercayakan saluran TV tradisional ketimbang medium lainnya. Pada kenyataannya, cara mereka mengonsumsi media adalah yang paling sedikit berubah selama pandemi berlangsung.

Balik ke gagasan di awal, kalangan Millenial dan Gen Z bakal menjadi yang paling kesulitan di masa pandemi seandainya tidak ada internet. Tidak terlalu mengejutkan mengingat sebagian besar dari mereka memang belum lahir pada skenario khayalan tersebut.

Quarantine Internet Activities

Seandainya tidak ada internet, apa saja aktivitas yang bakal hilang dari keseharian kita selama masa pandemi? Jawabannya bisa kita temukan pada infografik terakhir ini, dan yang paling berkurang drastis adalah aktivitas mencari informasi seputar wabah COVID-19, kecuali Anda masuk kalangan Gen Z, yang ternyata lebih banyak menghabiskan waktu untuk streaming musik.

Sumber: Visual Capitalist. Gambar header: Mollie Sivaram via Unsplash.

Sederet Aplikasi Belanja Online Terpopuler Selama Pandemi

Melanjutkan rangkaian survei yang dibuat DailySocial dan platform riset pasar Populix, artikel kali ini membahas aktivitas belanja online selama pandemi. Menggunakan sampel yang sama, responden memilih kegiatan ini di urutan ketiga (52%), setelah aplikasi produktivitas (68%), dan aplikasi hiburan (66%).

Dipicu oleh faktor pemberlakuan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan karantina di rumah, membuat pemenuhan kebutuhan rumah tangga mayoritas beralih ke platform online. Baik itu belanja melalui platform e-commerce, layanan yang lebih spesifik (niche), atau layanan pesan antar makanan.

Pertanyaan pertama yang kami ajukan adalah aplikasi e-commerce mana yang paling banyak diakses?. Aplikasi teratas yang dipilih adalah Shopee (85%), disusul Tokopedia (66%), Lazada (49%), Bukalapak (41%), JD.id (27%), Blibli (27%), dan lainnya (2%).

Pertanyaan kedua adalah aplikasi apa yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan (bahan makanan atau sebagainya) sehari-hari?. Mayoritas responden memilih HappyFresh (41%), Sayurbox (31%), FreshBox (15%), TaniHub (23%), TukangSayur.co (15%), Brambang (10%).

Berikutnya, Wahyoo Mart (8%), Chilibeli (8%), Kecipir (7%), RegoPantes (6%), Etanee (6%), lainnya (3%), dan terakhir tidak menggunakan aplikasi untuk membeli bahan makanan (33%).

Pertanyaan terakhir adalah layanan pesan antar makanan apa yang dipilih?. Responden menjawab GrabFood (48%), lalu GoFood (51%), dan lainnya (1%). Anggaran yang dihabiskan untuk belanja melalui layanan tersebut, terbanyak menjawab antara Rp50 ribu-Rp100 ribu (59%), di bawah Rp50 ribu (30%), dan di atas Rp100 ribu (11%).

Kami menanyakan alasan responden menggunakan GrabFood atau GoFood. Mereka kompak menyatakan bahwa layanan tersebut memberikan layanan tersebut memberikan potongan harga lebih besar (74%), promo gratis ongkos kirim (60%), dan lainnya (11%).

Kondisi ini selaras dengan hasil survei yang dilakukan oleh Nielsen, seperti dirangkum GDP Venture bertajuk “The Impact of Covid-19 Pandemic”. Dinyatakan sebanyak 30% responden berencana untuk belanja lewat platform online lebih sering.

Meski kontribusi dari jalur online relatif kecil untuk FMCG, tapi niat untuk belanja online dapat digiring oleh produk FMCG karena konsumen berencana mengurangi kunjungan ke toko grosir atau toko modern.

Mendukung temuan di atas, Brandwatch, dan dikompilasi dari sumber lainnya, aplikasi e-commerce mencatat kenaikan aktivitas belanja hingga 30% untuk pembelian produk kesehatan dan medis, bahan makanan, dan pesan antar makanan.

Dari hasil survei lain yang dikumpulkan JakPat, disebutkan mayoritas responden di berbagai lokasi memilih untuk menyiapkan santapannya di rumah, entah untuk diri sendiri (67%) maupun keluarga (44%).

Sementara responden yang menyantap makanan dari luar rumah, entah lewat aplikasi atau take-out, kebanyakan dilakukan oleh responden yang bertempat tinggal di luar Jakarta. Hal ini dipicu kebijakan PSBB di wilayah Jabodetabek yang menjadi titik pusat persebaran Covid-19.

Temuan lainnya menyatakan bahwa responden yang bekerja di Pulau Jawa (termasuk Jakarta) cenderung menggunakan aplikasi pesan antar makanan. Sementara mereka yang ada di luar Jawa cenderung memilih untuk menyiapkan santapannya sendiri. Di samping itu, ibu rumah tangga di Pulau Jawa (di luar Jakarta) memiliki persentase pemesanan terbesar melalui aplikasi online.

Pasar besar

Layanan pesan antar makanan bukan hal baru, tapi berkat aplikasi dan smartphone ada perluasan jangkauan pengiriman. Secara global, pangsa pasarnya bernilai lebih dari $35 miliar per tahun dan diperkirakan akan mencapai $365 miliar pada 2030 mendatang.

Salah satu manfaat dari pengiriman online adalah konsumen dimanja oleh pilihan karena mereka dapat memesan berbagai menu melalui satu aplikasi. Alhasil tiap hari mereka dapat mencoba makanan baru, termasuk menyesuaikan pilihan menu untuk pelanggan yang sadar kesehatan.

Laporan Google dan Temasek “e-Conomy SEA 2019” menyatakan pangsa pasar sektor ini bakal terus menggeliat hingga $8 miliar pada 2025 dari $2 miliar di 2018. Gojek dan Grab yang ikut serta di sektor ini menggunakan keunggulan mereka berkat mereknya yang sudah tersohor dan basis pengguna yang besar untuk bersaing dengan “pemain murni” pengiriman makanan, seperti Deliveroo dan Foodpanda.

Pengaruh pandemi memaksa banyak bisnis terpengaruh untuk cepat beradaptasi atau harus gulung tikar, termasuk bisnis restoran dari berbagai skala bisnis. Salah satu opsi tercepat adalah bergeser ke jalur online, menjadi penjual di platform e-commerce karena sudah ada traksi dan banyak digunakan konsumen, atau menjadi merchant di GoFood dan GrabFood.

Tokopedia mencatat terjadi kenaikan transaksi yang eksponensial, baik dari pembelian maupun jumlah penjual yang bergabung. Tidak disebutkan secara rinci kenaikannya. Namun, diberikan gambaran bahwa tahun lalu penjual di Tokopedia sekitar 5 juta, sementara saat ini sudah mencapai 7,8 juta.

AVP of Product Tokopedia Priscilla Anais mengatakan kenaikan ini dipicu banyaknya bisnis yang terpaksa menutup toko fisiknya dan membatasi operasionalnya karena pandemi. Akhirnya mereka perlahan mengalihkan bisnisnya ke online dari offline.

“Jadi pertumbuhannya eksponensial. Kita mengalami kenaikan penjual baru yang cukup drastis di masa-masa Covid-19. Kebanyakan adalah penjual offline yang migrasi ke online,” ujarnya.

Dari kategori produk yang banyak dibeli, dijelaskan yang mengalami kenaikan adalah perawatan dan kesehatan pribadi, produk hiburan, dan produk untuk mendukung kerja dan belajar dari rumah.

Temuan Shopee, pilihan tertinggi dari responden survei DailySocial bersama Populix, kurang lebih mirip dengan Tokopedia. Dalam keterangan resmi, perusahaan menyatakan kenaikan permintaan terjadi untuk kategori perlengkapan rumah, makanan dan minuman, hingga kebutuhan ibu & bayi selama pandemi.

Selama bulan Ramadan, Shopee mengamati ada tren kenaikan untuk kategori fesyen musim dan ponsel & aksesoris menjadi yang terpopuler. Di samping itu, ada kenaikan permintaan untuk kategori dekorasi rumah dan home & living.

Menariknya, baik Tokopedia dan Shopee, sama-sama mengembangkan kurasi kategori populernya menjadi lebih tersegmentasi sesuai jenisnya dan lokasi terdekat dari pembeli. Kategori makanan, belanja bahan pokok, hingga makanan beku kini ada kategorinya sendiri. Layanan ini, dibandingkan vertikal bisnis pesan antar makanan milik Gojek dan Grab, bisa dikatakan bersaing.

Pergeseran pola konsumsi masyarakat yang drastis memaksa pebisnis terus beradaptasi dengan cepat, meski sebenarnya ini bukan sesuatu yang mudah. Menurut BCG Henderson Institute, implikasi karantina di rumah, bagi sejumlah bisnis ada yang merana ada yang panen untung. Aktivitas belanja online masuk ke bagian terakhir.


Disclosure: Artikel ini didukung oleh platform market research Populix

Airy to Shut Down Business Permanently, Putting other OTAs in Jeopardy

Such unfortunate news came from the local OTA (Online Travel Agency) industry. Airy or Airy Rooms will terminate its operations permanently by the end of May 2020. We receive the news from a source involved in the company’s operations. It was later discovered that several property partners had received official notification emails regarding the service termination.

DailySocial has been trying to reach the management since Wednesday (5/6), yet the information still sealed – although they didn’t deny the rumor.

The layoff situation has gone wild in the Airy ecosystem, the number is monitored through SEAcosystem.com – a collaborative worksheet initiated by some Southeast Asia’s venture capitalists to help affected talents and startups due to Covid-19. A reliable source has confirmed the layoff.

In addition, as we observed, Airy is currently not displaying any property listings after May 31st, 2020.  It applies to the flight ticket, there will be no search results as per June 1st, 2020.

Since the beginning of the year, when the Covid-19 pandemic began to haunt the Southeast Asian region, there was a sharp decline for Airy service users. Exacerbated by the lockdown and physical distancing initiatives in almost all countries resulting in the declining number of traveling (out of town or abroad).

As general notes, in addition to offering low-cost lodging accommodations, Airy also provides a flight ticket booking feature.

Penurunan trafik kunjungan situs Airy, di platform dekstop dan mobile / Similarweb
The declining number of Airy’s traffic, in PC and mobile platform / Similarweb

Earlier this year, the company had a succession by appointing Louis Alfonso Kodoatie as the new CEO. With 30 thousand rooms spread across 100 cities, they are confident enough to continue to penetrate the market. Particularly, after launching Airy for Business at the end of last year as a new initiative offering online services for company official travel management.

All OTAs afflicted, no exception

Last month, a news spread regarding Traveloka’s significant staff reduction. The temporary halt of inter-city public transportation modes, such as planes and trains, certainly has an impact on the decline in company revenue. Nearly zero tourist visits also make bookings for accommodation services such as hotels or recreation tickets drop sharply.

Penurunan trafik kunjungan situs Traveloka, di platform dekstop dan mobile / Similarweb
The declining traffic of Traveloka’s site, in PC and mobile platform / Similarweb

Unlike Airy, Traveloka’s unicorn status ideally provides a longer runway. Particularly since last year, the company has been intensifying fundraising up to 7 trillion Rupiah. It was said by Co-Founder & CEO Ferry Unardi that the startup he founded was planned to take dual IPO listings in the next 2-3 years – it was before the pandemic.

Observing the current conditions, the Center of Reform on Economics (CORE) member, Yusuf Rendy Manilet told DailySocial that he believes all OTA players in Indonesia are devastated by Covid-19. However, Yusuf did not see this as hopeless.

“In my opinion, they can explore domestic tourists with more local potential, like culinary tourism,” Yusuf said.

A Traveloka representative, who was contacted separately, said he was concerned about the situation. But they refused to break down the whole impact. “Currently, our focus is to prioritize the safety and comfort of users in planning their trips,” Traveloka’s Head of Marketing, Transport, Andhini Putri said.

Pegipegi also facing a similar issue. The company’s response is not much different. They are still busy accommodating the needs of travelers who use their services, including in canceling reservations. “Currently, for customers who want to cancel their order, it can be done easily through the Pegipegi application using the Online Refund feature,” Pegipegi’s Corporate Communications Manager, Busyra Oryza told Dailysocial.

OTA in Indonesia

The local OTA business is filled with local and outside players, however, from the previous year’s trends, local players have a larger share of users. Of the many players, five of them have the biggest traction, including Traveloka, Pegipegi, Tiket, Airy, and Nusatrip.

Platform OTA lokal populer di Indonesia / DSResearch
Most popular local OTA platforms in Indonesia / DSResearch

The e-Conomy SEA 2019 report also shows that online travel is still the second most influential digital sector after e-commerce. In 2019 the industry recorded GMV at US$10 billion and is projected to grow to US$25 billion in the next five years.

The situation could change, after the end of the pandemic, “new normal” will be a challenge in all business sectors. In order to stay in the game while reaching its highest potential, every business must be able to adapt and innovate, including travel. The good thing is that this industry has grown rapidly, OTA players are no longer just about ticketing. More than that, each is transformed into a service with a variety of integrated features.

This is about how companies survive. Basically, traveling is a necessity, both for personal and business interests. When the dust settles, sooner or later, this sector will return to its pace.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here