NOBI Umumkan Pendanaan Awal 57 Miliar Rupiah Dipimpin AC Ventures

Startup pengembang platform manajemen akset kripto NOBI (PT Enkripsi Teknologi Handal) mengumumkan perolehan pendanaan awal senilai $4 juta atau senilai 57,1 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh AC Ventures, dengan partisipasi Appworks, Skystar Capital Cakra Ventures, Global Founders Capital, dan sejumlah angel investor.

Dana segar akan difokuskan untuk mengembangkan produk, meningkatkan penetrasi dan pemanfaatan Honest Token (HNST), dan menguatkan jajaran tim. Seperti diketahui, NOBI bertujuan membantu investor dalam mendiversifikasi aset ke kripto dan membantu orang yang tidak punya banyak waktu untuk mengelola aset secara akses dengan simpel.

Bukukan transaksi kripto 1 triliun Rupiah

Startup ini didirikan oleh Lawrence Samantha (CEO), Edy Senjaya (CTO), dan Dionisius Evan Alam (CPO). Layanan utama NOBI terdiri dari Staking, Savings, dan Trading Strategy, memungkinkan pengguna menikmati hasil yang menarik dari Bitcoint, Ethereum, dan aset kripto unggulan lainnya.

“Ini adalah tonggak penting bagi kami. AC Ventures dan investor kami lainnya menghadirkan pengalaman mendalam yang tak tertandingi dalam fintech, investasi, dan kripto. Putaran investasi ini menunjukkan kepercayaan dan komitmen mereka terhadap apa yang dapat kami lakukan untuk membuat perbedaan untuk menyatukan ruang kripto dan keuangan,” ujar Lawrence.

Sejak didirikan tahun 2018, NOBI saat ini mengelola aset kripto senilai lebih dari 1 triliun Rupiah. Semua layanan yang dimilik diklaim tumbuh hingga 15x seiring dengan peningkatan pengguna yang signifikan dalam 6 bulan terakhir.

“Sejalan dengan tren global, permintaan aset kripto di Indonesia tumbuh pesat. Volume perdagangan domestik telah meningkat lebih dari 10x hingga melebihi $60 miliar pada tahun 2021 melalui lebih dari 11 juta akun pengguna. NOBI memberi investor berbagai layanan yang memungkinkan pengguna Anda mendapatkan bunga. Platform NOBI yang ramah pengguna dan intuitif memudahkan untuk mulai berinvestasi dalam cryptocurrency,” kata Founder & Managing Partner AC Ventures Michael Soerijadji.

Peminat kripto terus meningkat

Menurut data BAPPEPTI sebagai perpanjangan tangan regulator di Indonesia yang menangani aset kripto, jumlah investor kripto di tanah air tumbuh 2x lebih cepat dibandingkan instrumen lain seperti saham pada tahun 2021, yakni mencapai 11,2 juta. Menarik, karena pertumbuhan ini terjadi di tengah fluktuasi harga kripto yang sangat dinamis.

Sepanjang tahun 2021 nilai transaksi aset kripto di Indonesia juga telah mencapai $61,4 miliar atau lebih dari 859 triliun Rupiah, meningkat lebih dari 1222% dibanding tahun sebelumnya.

Pesatnya adopsi kripto berada di tengah tren pertumbuhan platform wealthtech di tengah masyarakat. Hal ini ditengarai meningkatnya inklusi dan literasi keuangan, membuat masyarakat mulai sadar pentingnya melakukan investasi.

Kendati masih dalam hitungan jari, sejumlah platform lokal mencoba sajikan aplikasi yang memudahkan masyarakat untuk berinvestasi ke kripto, misalnya INDODAX, Tokocrypto, Pintu, dan Pluang. Semakin menarik karena tren produk blockchain lain juga mulai dikenal dan bertumbuh peminatnya di Indonesia, misalnya NFT yang juga melibatkan aset kripto untuk transaksi.

Application Information Will Show Up Here

Resmikan T-Hub di Bali, Tokocrypto Ingin Dorong Penetrasi dan Literasi Aset Kripto di Indonesia

Penetrasi pasar aset kripto di Indonesia kini tengah berkembang pesat menjadi salah satu pasar terbesar di Asia Tenggara. Dengan lebih dari 273 juta orang yang tersebar di negara kepulauan terpadat ini, Indonesia layak menjadi lahan subur bagi teknologi dan bisnis apa pun yang beroperasi di atasnya dengan daya tarik yang optimal.

Di sisi lain, hal ini juga didukung oleh literasi yang semakin inklusif oleh para stakeholders yang berkecimpung di dalam ekosistem. Salah satunya platform marketplace aset kripto, Tokocrypto, dengan meluncurkan inisiatif barunya, T-Hub, di Bali. Hal ini juga disebut sebagai bentuk dukungan upaya pemulihan perekonomian daerah, sekaligus diharapkan membawa multiplier effect untuk membangkitkan ekonomi nasional melalui pengembangan ekonomi digital dan akselerasi industri berbasis wisata dan hospitality.

Dipilihnya Bali, karena memiliki potensi ekonomi digital dan kreatif, serta respons atas besarnya animo dan permintaan pasar investasi aset kripto di Pulau Dewata tersebut. Belum lama ini, Tokocrypto juga mendukung realisasi dari salah satu galeri offline NFT di Bali oleh Superlative Secret Society.

T-Hub merupakan inisiatif Tokocrypto dalam menghadirkan ‘rumah’ yang terbuka bagi para antusias dan komunitas untuk berdiskusi dan mengembangkan berbagai ide guna mendorong perkembangan investasi aset kripto di Tanah Air. Bali menjadi T-Hub kedua Tokocrypto setelah sebelumnya hadir di Patal Senayan, Jakarta.

CMO Tokocrypto Nanda Ivens melihat bahwa Bali memiliki potensi pengembangan pasar kripto yang cukup besar ke depannya. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan jumlah investor aset kripto yang signifikan. Tokocrypto mencatat jumlah investor aset kripto di Pulau Dewata pada tahun 2020 sebanyak kurang lebih 900 pengguna yang berinvestasi di Tokocrypto lalu meningkat sangat pesat di tahun 2021, yaitu lebih dari 28.000 pengguna yang berinvestasi di Tokocrypto.

Melalui T-Hub, Tokocrypto bukan hanya menjadi sebuah platform, tetapi juga ekosistem yang mewadahi komunitas yang membutuhkan sarana kumpul, edukasi dan diskusi sekaligus mengembangkan berbagai ide tepat guna untuk mendorong perkembangan investasi aset kripto dan penggunaan teknologi blockchain di berbagai sektor digital di Indonesia.

“Sesuai misi kami, menjadikan crypto legitimate dan mainstream dan dengan value yang dimiliki Tokocrypto yaitu; trust, transparency, and synergy menjadi kekuatan kami untuk terus mengedukasi, mengadvokasi dan meng-empower demi perkembangan industri aset kripto dan teknologi blockchain,” tutup Nanda.

COO Tokocrypto Teguh Kurniawan Harmanda mengatakan, pihaknya secara aktif berdiskusi dan berkolaborasi untuk membangun kesamaan value (trust, transparency & synergy) dengan berbagai stakeholders. Bukan hanya dengan pemerintah, tetapi juga dengan asosiasi, media dan komunitas.

T-hub, tambah Manda, merupakan wujud komitmen Tokocrypto untuk memperluas kolaborasi demi mendukung perkembangan industri aset kripto dan blockchain melalui medium diskusi-diskusi untuk penguatan regulasi dan pengawasan agar industri dan ekosistem kripto dan blockchain lebih aman dan lebih dipercaya masyarakat Indonesia.

Dukungan pemerintah

Regulasi aset kripto beserta turunannya di Indonesia masih memiliki banyak celah dan butuh lebih dielaborasi. Namun, satu yang pasti, fungsi yang bisa diamalkan oleh aset kripto saat ini hanyalah sebagai komoditas atau aset, bukan alat pembayaran. Hal ini turut dipertegas oleh Wakil Menteri Perdagangan Indonesia, Jerry Sambuaga, “[..] Bahwa alat pembayaran yang sah hanya Rupiah.”

Dalam kesempatan ini, Jerry  juga mengungkapkan pertumbuhan dan perkembangan aset kripto yang luar biasa di Indonesia. Hingga Desember 2021 lalu, terdapat sekitar 11,2 juta pengguna aktif aset kripto di bulan Desember 2021 dengan total transaksi mencapai 859 triliun rupiah dengan rata-rata 2,7 triliun transaksi per hari.

Selain itu, pihak Kementerian Perdagangan kembali menegaskan bahwa bursa untuk aset kripto sedang dalam proses finalisasi dan akan segera diresmikan dalam waktu dekat. Pendirian bursa ini dirasa penting untuk menghidupkan serta menggairahkan ekosistem aset kripto di Indonesia. Di samping lebih terintegrasi, juga untuk memberikan rasa aman bagi para shareholder.

Lebih lanjut, Jerry menyinggung bahwa Bappepti sebagai bagian dari Kementerian Perdagangan akan bertugas untuk memastikan operasional bursa sehingga semuanya bisa terintegrasi. Hal ini semata-mata untuk meminimalisir risiko terjadinya kecurangan atau kelalaian oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. “Jadi semua akan melihat ke bursa sebagai acuan dan instrumen utama. Ini merupakan komitmen pemerintah untuk memastikan bahwa perlindungan konsumen adalah yang utama,” tambahnya.

Menurut data yang dikeluarkan oleh Bappepti, hingga saat ini, terdapat 11 penyelenggara aset kripto yang terdaftar di serta 229 aset kripto yang dapat diperdagangkan di Indonesia.

Sehari sebelum peresmian T-Hub Bali, Tokocrypto melakukan penandatanganan MoU dengan BRI Ventures, perusahaan modal ventura milik PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI), menciptakan TSBA (Tokocrypto Sembrani Blockchain Accelerator) untuk bersama-sama membangun ekosistem inkubasi berbagai startup yang didukung teknologi blockchain.

Application Information Will Show Up Here

Tokocrypto dan BRI Ventures Resmikan Program Akselerator Blockchain

Setelah peluncuran TokoLaunchpad versi 2.0 di akhir 2021 lalu, Tokocrypto kini berkolaborasi dengan BRI Ventures melalui inisiatif Sembrani Wira Akselerator mengembangkan Tokocrypto Sembrani Blockchain Accelerator (TSBA). Program ini bertujuan untuk memberdayakan proyek startup dengan teknologi blockchain dan tokenisasi di Indonesia.

CEO Tokocrypto Pang Xue Kai menyebut kolaborasi ini sebagai pencapaian karena berhasil mendapatkan kepercayaan dari salah satu CVC di bawah naungan bank pelat merah Indonesia, BRI Ventures. Harapannya untuk program akselerator ini dapat mengembangkan ekosistem dan memberi dampak bagi industri startup dan blockchain di Indonesia.

“Kami berharap, kolaborasi ini dapat menjadi akselerator dari berbagai inisiatif Web3 dan perkembangan ekosistem metaverse. Terlebih kami memiliki dua dana ventura yang tengah berkembang yaitu Sembrani Nusantara dan Sembrani Kiqani yang berfokus pada pendanaan di sektor-sektor non-fintech,” ungkap CEO BRI Ventures Nicko Widjadja dalam pernyataan resmi.

Program akselerator dan kriteria pesertanya

Melalui TSBA, kedua perusahaan membentuk program akselerator yang menyediakan modul ekstensif khusus dirancang demi membawa proyek dan startup blockchain untuk muncul ke panggung dunia. Program ini meliputi berbagai aspek seperti pengembangan teknologi blockchain itu sendiri, nilai ekonomi atau tokenomics, pembentukan budaya tim, pendampingan untuk listing, serta fundraising.

Adapun kriteria proyek blockchain untuk program ini adalah startup yang sudah memiliki validasi dari sisi kapital atau pendanaan tahap awal. Lalu, perusahaan juga diwajibkan untuk memiliki teknologi blockchain sendiri serta rencana pengembangan secara smart contract. Lalu, perusahaan harus sudah memiliki working products atau white paper secara tokenomics. 

Markus Liman Rahardja, VP of Investment dan Business Development BRI Ventures yang turut hadir dalam acara penandatanganan MoU di Seminyak, Bali (20/1) menyoroti bahwa dua sisi aspek penggalangan dana yaitu crypto fundraising dan venture fundraising akan menjadi fokus dari partisipasi BRI Ventures.

BRI Ventures sendiri telah melakukan investasi ke lebih dari 18 startup baik fintech maupun non-fintech dan meluncurkan dua dana ventura yang diikuti oleh Grab Ventures, Celebes Capital, Mahanusa Capital, Buana Investment, Pulau Intan, dan beberapa bisnis keluarga.

Dana Ventura Sembrani Nusantara yang diluncurkan pada awal 2021 telah melakukan investasi di bidang agritech seperti Sayurbox, sektor new retail seperti Haus!, Brodo, Yummy Corp, dan sektor logistik seperti Andalin. Sedangkan, Dana Ventura Sembrani Kiqani yang baru diluncurkan awal tahun 2022 dengan fokus di sektor D2C atau consumer brands serta metaverse.

Menyediakan hub bagi para penggiat kripto

Selama tahun 2021, Tokocrypto dengan gerilya meluncurkan berbagai inisiatif untuk mengembangkan ekosistem aset kripto di Indonesia. Mulai dari meluncurkan token sendiri (TKO) di bulan April lalu, meresmikan platform marketplace NFT (TokoMall) di bulan Agustus, hingga menggandeng Bekind untuk mengembangkan berbagai CSR program melalui TokoCare.

Bersamaan dengan peluncuran TSBA, Tokocrypto resmi mengenalkan T-Hub yang berlokasi di Batubelig, Bali. Ini diharapkan bisa menjadi sarana edukasi dan berkumpulnya komunitas untuk berdiskusi dan mengembangkan berbagai ide guna mendorong perkembangan investasi kripto di Bali. Sebelumnya, Tokocrypto telah lebih dulu mengoperasikan T-hub yang berlokasi di Senayan, Jakarta.

Sebagai marketplace aset kripto yang legitimate, Tokocrypto merasa adalah sebuah keharusan untuk bisa mewadahi setiap kegiatan yang berpotensi untuk mengembangkan ekosistem aset kripto, “Karena salah satu cara agar blockchain dan aset kripto bisa mengakar dan bertumbuh dalam industri ini adalah dengan koneksi. Maka dari itu, Tokocrypto ingin menjembatani semua kebutuhan terkait pengembangan aset kripto di tengah sistem finansial tradisional yang ada,” tutup Kai.

Di luar TSBA, hingga saat ini, sudah ada berbagai startup maupun proyek yang berpartisipasi program inkubator TokoLaunchpad yang sudah berjalan. Beberapa di antaranya termasuk Play it Forward DAO, Avarik Saga dan Nanovest. Kai juga menyebutkan terdapat lebih dari 15 startup maupun proyek yang masih dalam tahap penjajakan.

Sebagai informasi, proses registrasi program akselerator TSBA akan ditutup pada 10 Februari 2022, lalu peserta yang lolos seleksi akan diumumkan pada 14 Februari 2022, sementara kick-off akselerator akan dimulai pada 21 Februari 2022.

Application Information Will Show Up Here

Pro dan Kontra Game Play-to-Earn dan Keberadaan NFT di Game

Pada Desember 2021, Ubisoft meluncurkan Quartz, platform untuk membeli Digits — playable NFT dari Ubisoft. Dengan begitu, Ubisoft menjadi perusahaan game besar pertama yang mencoba untuk membuat NFT. Namun, keputusan Ubisoft justru disambut dengan protes oleh para gamers.

Ubisoft bukan satu-satunya perusahaan game besar yang tertarik dengan NFT. Di awal tahun 2022, President Square Enix juga mengungkap ketertarikan perusahaan dengan berbagai teknologi baru dalam dunia game, termasuk blockchain dan NFT. Sekali lagi, surat terbuka dari itu disambut dengan protes atau bahkan cemooh dari para gamers. Meskipun begitu, hal ini tidak menghentikan Konami untuk meluncurkan NFT sebagai perayaan dari ulang tahun ke-35 dari seri Castlevania.

Pertanyaannya, apa yang membuat banyak gamers begitu antipati dengan NFT? Dan kenapa perusahaan-perusahaan game tetap tertarik untuk menawarkan NFT walau banyak gamers yang protes?

Serba-Serbi NFT

Sebelum membahas tentang keuntungan dan kerugian dari NFT, mari kita membahas tentang NFT itu sendiri. NFT merupakan singkatan dari Non-Fungible Token (NFT). Secara harfiah, “non-fungible” berarti unik dan tidak bisa digantikan. Sebagai contoh, Bitcoin — atau uang kertas — adalah sesuatu yang “fungible“. Jadi, Anda bisa menukar satu Bitcoin dengan Bitcoin lain dan nilai Bitcoin yang Anda miliki tetap sama. Sama seperti jika Anda menukar uang Rp100 ribu dengan uang Rp100 ribu lainnya. Walau uang yang Anda miliki tidak lagi sama, nilai dari uang itu tidak berubah.

Lain halnya dengan NFT, yang lebih menyerupai collectible atau barang yang diproduksi dalam jumlah terbatas. Misalnya, Anda mengoleksi kartu Yu-Gi-Oh. Kartu 2002 Blue Eyes White Dragon 1st Edition PSA 10 dan 2002 LOB 1st Edition Exodia The Forbidden One PSA 10, keduanya sama-sama kartu Yu-Gi-Oh paling mahal di dunia. Meskipun begitu, keduanya tetaplah kartu yang berbeda, yang punya nilai yang berbeda pula. Contoh lainnya, walau Lamborghini Veneno dan Koenigsegg CCXR Trevita merupakan mobil yang diproduksi dalam jumlah terbatas, keduanya bukanlah mobil yang sama.

Koenigsegg CCXR Trevita. | Sumber: SindoNews

NFT adalah industri yang masih sangat muda. Banyak orang mulai tertarik dengan NFT pada tahun lalu. Meskipun begitu, menurut laporan CNBC, total nilai jual-beli NFT telah mencapai miliaran dollar sejak beberapa tahun lalu. Misalnya, pada 2017, total nilai jual-beli NFT mencapai US$6,2 miliar. Sebagai perbandingan, total penjualan digital art ketika itu hanya mencapai US$1,9 miliar. Data itu diungkap oleh NonFungible, yang melacak data penjualan NFT.

“Saya merasa, karya seni dan barang koleksi kini menjadi komoditas terbesar dari NFT. Karena, barang-barang itu memang memiliki kriteria yang sesuai,” kata Jon McCormack, Professor of Computer Science, Monash University, pada CNBC. “Produk digital bisa ditiru dengan mudah. Memiliki Certificate of Aunthencity menjadi penting, karena ia bisa menjadi bukti bahwa Anda merupakan pemilik yang sah dari sebuah barang digital.”

Dalam satu tahun terakhir, industri NFT juga tumbuh pesat. Menurut analisa dari DappRader — perusahaan yang bertujuan untuk melacak NFT dan aset terdesentralisasi lainnya — pada Q3 2021, volum penjualan NFT naik 38.000%. Meskipun begitu, sebagian ahli khawatir, popularitas NFT yang meroket dengan begitu cepat akan menciptakan gelembung layaknya Dotcom Bubble.

Sebagian ahli khawatir NFT akan menciptakan bubble baru. | Sumber: Flickr

Seiring dengan semakin populernya NFT, semakin banyak perusahaan yang tertarik untuk ikut serta. Tak terkecuali perusahaan game, seperti Ubisoft dan Square Enix. Sayangnya, keputusan perusahaan game untuk membuat NFT menimbulkan reaksi yang terpolarisasi dari para gamers. Sebagian gamers mendukung keputusan perusahaan game untuk membuat NFT, sementara sebagian yang lain menentang.

Melalui artikel ini, saya mencoba untuk melihat sudut pandang dari kedua kubu; baik orang-orang yang pro pada NFT, maupun orang-orang yang menentang keberadaan NFT, khususnya di bidang game.

Pro dari NFT di Game

Dulu, jika Anda ingin memainkan sebuah game, Anda harus membelinya terlebih dulu. Jadi, dengan mengeluarkan uang dalam jumlah tertentu, seseorang akan bisa mendapatkan pengalaman bermain dari game yang dia beli. Namun, seiring dengan berkembangnya teknologi, muncul model bisnis baru. Salah satunya adalah free-to-play. Sesuai namanya, game free-to-play bisa dimainkan dengan gratis. Hanya saja, game free-to-play biasanya memiliki item yang bisa dibeli oleh pemain, baik item kosmetik maupun item powerup.

Dan jangan salah, model bisnis free-to-play terbukti sangat menguntungkan. Mari kita bandingkan Legend of Zelda: Breath of the Wild dengan Genshin Impact. Ketika Genshin Impact diluncurkan, banyak orang yang menganggap game buatan miHoYo itu sebagai “tiruan” dari Breath of the Wild. Sejauh ini, Breath of the Wild telah terjual sebanyak 24,13 juta unit. Di toko digital resmi Nintendo, game tersebut dihargai US$60. Jadi, total pendapatan dari game tersebut adalah US$1,45 miliar. Sebagai perbandingan, dalam waktu satu tahun, pemasukan dari Genshin Impact diperkirakan mencapai US$3,7 miliar.

Walau harus diakui, Genshin Impact juga menggunakan model bisnis gacha — yang menyerupai judi dan bisa mendorong pemainnya untuk menghabiskan jutaan atau bahkan puluhan juta rupiah. Dan model bisnis ini memang menimbulkan kontroversi sendiri, yang pernah kami bahas di sini. Terlepas dari model bisnis yang kontroversial, keberadaan game seperti Genshin Impact menunjukkan bahwa gamers tidak segan-segan untuk menghabiskan uang demi mendapatkan karakter atau item dalam game. Sayangnya, saat ini, tidak peduli berapa banyak uang yang seseorang habiskan untuk membeli item dalam game, item itu akan hilang ketika server game ditutup.

Golden Pharaoh X-Suit. | Sumber: Facebook

Sebagai contoh, jika seseorang membeli skin X-Suit Firaun Emas di PUBG Mobile — yang dihargai Rp32 jutaskin tersebut akan hilang begitu saja jika PUBG Mobile tutup. Nah, di sinilah salah satu keuntungan NFT dalam game. Jika item dalam game dibuat menjadi NFT, maka pemilik akan tetap bisa menyimpan item tersebut dalam bentuk NFT di wallet mereka walau game sudah tutup. Dalam kasus skin X-Suit Firaun Emas yang saya contohkan, pemilik skin akan tetap memiliki versi NFT dari skin tersebut meski PUBG Mobile telah tutup.

Keuntungan lain yang bisa didapat oleh gamers dengan adanya NFT dalam game adalah munculnya model bisnis play-to-earn. Dengan memainkan game play-to-earn, pemain bisa mendapatkan uang, bahkan tanpa harus menjadi pemain profesional. Bagaimana mekanisme game play-to-earn? Sederhananya, pemain akan mendapatkan aset digital ketika bermain game. Aset digital itu bisa ditukar dengan cryptocurrency, yang nantinya, bisa ditukar dengan mata uang tradisional. Untuk lebih lengkapnya, Anda bisa membaca artikel kami tentang blockchain gaming di sini.

Keuntungan NFT untuk Developer Game

Adanya NFT di game tidak hanya bisa menguntungkan pemain, tapi juga kreator game. Salah satu keuntungan untuk developer game adalah potensi sumber pemasukan baru, yaitu biaya transaksi. Jika pemain bisa memperjual-belikan NFT di sebuah game, developer bisa memungut biaya dari setiap transaksi yang pemain lakukan. Dan hal ini bisa menjadi pemasukan baru untuk sang developer.

Keuntungan lain yang bisa didapat oleh developer adalah pemain punya alasan untuk bermain game. Selama ini, biasanya, orang-orang bermain game sebagai pelepas penat. Namun, dengan adanya model bisnis play-to-earn, ada hal lain yang bisa mendorong orang-orang untuk bermain game, yaitu untuk mendapatkan uang. Hal ini sempat dibahas oleh President Square Enix, Yosuke Matsuda, dalam sebuah surat terbuka.

“Baik dalam game online atau game single-player, pada awalnya, hubungan antara gamers dan kreator game adalah hubungan satu arah: kreator seperti kami menciptakan game yang akan dimainkan oleh konsumen,” kata Matsuda. “Sementara itu, blockchain game — yang baru muncul dan kini sedang tumbuh, –dibangun berdasarkan konsep token economy, yang membuka potensi untuk mendorong pertumbuhan industri game yang mandiri dan berkelanjutan.”

Yosuke Matsuda. | Sumber: VG247

Lebih lanjut Matsuda menjelaskan, salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan industri blockchain game adalah keberagaman, baik dalam cara pemain berinteraksi dengan game maupun alasan pemain bermain game. “Perkembangan token economy akan mendorong momentum dari keberagaman ini,” ujarnya. “Contohnya adalah konsep ‘play to earn‘ yang membuat orang-orang menjadi tertarik untuk bermain game.”

Axie Infinity adalah salah satu contoh game dengan model bisnis play-to-earn. Game itu sangat populer di Filipina. Menurut laporan Niko Partners, per April 2021, Axie Infinity telah diunduh sebanyak 70 ribu kali dan sebanyak 29 ribu downloads berasal dari Filipina. Sementara per Oktober 2021, jumlah pemain Axie Infinity di Filipina naik menjadi sekitar 300 ribu orang. Di bulan yang sama, total volum jual-beli di game itu telah menembus US$25 juta. Setiap harinya, total NFT yang terjual di Axie Inifity melebihi 50 ribu tokens.

Axie Infinity menjadi sangat populer di Filipina sehngga pemerintah pun memutuskan untuk mengeluarkan regulasi tentang cryptocurrency yang didapat pemain dari game tersebut. Hal ini menjadi bukti bahwa keberadaan game play-to-earn memang bisa mendorong orang-orang untuk bermain game demi mendapatkan uang. Pada saat yang sama, model play-to-earn juga menciptakan masalah tersendiri, yang saya akan bahas dalam segmen berikut.

Argumen Kontra tentang NFT di Game

Menyertakan NFT dalam game memang memiliki keuntungan tersendiri. Namun, sebagian gamers tampaknya justru tidak suka jika perusahaan game membuat atau berencana untuk memasukkan NFT ke game mereka. Sebagai contoh, ketika Ubisoft meluncurkan platform Quartz — bersamaan dengan tiga NFT pertama mereka — reaksi gamers terpolarisasi.

Sebagian gamers, khususnya yang percaya dengan masa depan blockchain, menganggap bahwa keputusan Ubisoft akan membawa perubahan besar ke industri game. Karena, Ubisoft menjadi publisher game besar pertama yang memutuskan untuk membuat NFT. Di sisi lain, tidak sedikit gamers yang justru mengecam Ubisoft. Buktinya, video peluncuran Quartz — yang sekarang sudah menjadi menjadi video unlistedmendapatkan 40 ribu dislikes dan hanya 1,6 ribu likes.

Ubisoft Quartz dapat protes dari para gamers.

Salah satu hal yang membuat gamers tidak suka dengan potensi adanya NFT dalam game adalah karena keberadaan NFT membuka peluang bagi developer untuk mendorong pemain mengeluarkan uang. Seperti yang disebutkan oleh Economic Times, ketika bermain game, khususnya game AAA, pemain tidak hanya harus mengeluarkan uang, tapi juga menginvestasikan waktunya.

Tentunya, gamers ingin mendapatkan pengalaman bermain yang memuaskan. Dan pengalaman bermain itu bisa berkurang ketika developer masih mengharuskan pemain untuk membeli NFT. Masalah ini serupa dengan keberadaan microtransactions atau lootbox dalam game premium. Sebagai contoh, Star Wars Battlefront II. Game itu dijual dengan harga Rp479 ribu di Steam. Namun, game tersebut masih dipenuhi dengan lootbox dan microtransactions. Dan hal itu ini menuai kontroversi ketika Electronic Arts meluncurkan game tersebut di 2018.

Masalahnya, game NFT dengan model play-to-earn memang didesain sedemikian rupa agar gamers mau melakukan jual-beli dari aset digital yang ada. Alhasil, tujuan pemain untuk bermain tak lagi untuk bersenang-senang, tapi untuk mendapatkan uang. Pada akhirnya, hal ini bisa membuat kepuasan bermain game menjadi berkurang.

Tiga “pendiri” Fame Lady Squad. | Sumber: InputMag

Alasan lain mengapa para gamers tidak suka akan keberadaan NFT dalam game adalah karena banyaknya penipuan di ranah NFT. Jenis penipuan yang ada pun beragam, mulai dari giveaways palsu di Twitter untuk mendapatkan banyak retweets dan followers, tautan berbahaya yang disebarkan agar orang-orang mengklik tautan tersebut, sampai metode rug pull.

Secara sederhana, skema penipuan rug pull adalah ketika developer membawa lari uang investor tanpa menyelesaikan proyek yang mereka janjikan. Salah satu contoh model penipuan rug pull adalah Fame Lady Squad, yang mengklaim sebagai proyek NFT untuk pemberdayaan perempuan. Proyek itu diklaim dibuat oleh tiga perempuan, yaitu Cindy, Andrea, dan Kelda.

Ketiga perempuan itu memiliki avatar yang dibuat ke dalam NFT, yang kemudian bisa dibeli. Secara total, Fame Lady Squad berhasil mengumpulkan hampir US$1,5 juta dari investor dan komunitas sebelum mereka melarikan diri. Dan setelah diselidiki, diketahui bahwa Fame Lady Squad bahkan tidak didalangi oleh tiga perempuan, tapi oleh sekelompok pria asal Rusia, seperti yang dilaporkan oleh InputMag.

Pada awalnya, Evil Ape berjanji akan membuat fighting game, Evolved Apes. Dalam game itu, para pemain akan mengadu kera yang mereka miliki dengan satu sama lain. Pemain yang keluar sebagai pemenang akan mendapatkan Ethereum sebagai hadiah. Untuk bisa bermain, pemain harus membeli NFT dari karakter Evolved Apes, yang dijual di marketplace NFT, OpenSea.

Namun, untuk bisa membangun game Evolved Apes, Evil Ape akan memerlukan biaya. Karena itu, mereka menjual NFT dari karakter di Evolved Apes. Uang itu diklaim akan digunakan untuk biaya pengembangan dan marketing game. Namun, Evil Ape justru membawa kabur uang yang terkumpul — senilai US$2,7 juta — tanpa pernah meluncurkan game yang dijanjikan. Kabar baiknya — jika hal ini bisa disebut kabar baik — pemain yang sudah terlanjur membeli NFT masih dapat menyimpan NFT tersebut.

Evolved Apes. | Sumber: PC Gamer

Masalah penipuan terkait NFT diperburuk oleh fakta bahwa belum ada banyak regulasi yang mengatur teknologi tersebut. Faktanya, Evil APe dilaporkan ke kepolisian di Inggris, yang merupakan markas dari kru Evolved Apes. Dan pihak kepolisian menyebutkan bahwa kasus ini mungkin akan sulit untuk diprotes. Karena, orang-orang yang sudah membeli NFT memang mendapatkan NFT yang mereka inginkan. Sementara masalah janji untuk membuat game yang tidak terpenuhi, pihak kepolisian menyebutkan bahwa game itu memang tidak menjadi bagian dari apa yang pemain beli, seperti dikutip dari PC Gamer.

Dampak Buruk NFT ke Seniman dan Lingkungan

Selain gamers, kelompok yang cenderung menentang NFT adalah digital artists dan aktivis lingkungan. Bagi para digital artists, NFT memang sering disebutkan akan bisa menjadi mata pencaharian baru. Hanya saja, keberadaan NFT juga menimbulkan masalah tersendiri, yaitu membuat pencurian seni menjadi semakin marak. Memang, sebelum keberadaan NFT pun, pencurian karya digital adalah hal yang lumrah. Meskipun begitu, setelah NFT menjadi populer, tidak sedikit orang yang mencuri karya digital orang lain untuk menjadikannya sebagai NFT.

Masalah pencurian karya ini begitu marak sehingga salah satu comic artist dari DC Comics, Liam Sharp, memutuskan untuk menutup akun DevianArt miliknya. Melalui Twitter, dia menjelaskan, dia mengambil langkah drastis itu karena ada banyak karyanya yang dijadikan NFT tanpa izinnya. Seolah hal ini tidak cukup buruk, ketika dia melaporkan masalah ini ke pihak DeviantArt, laporannya justru diacuhkan, seperti yang dilaporkan oleh Futurism.

Sementara bagi aktivis lingkungan, alasan mereka menjadi antipati dengan NFT adalah karena ia memberikan dampak buruk pada lingkungan. Seperti yang disebutkan oleh Wired, marketplace besar untuk menjual NFT — seperti MakersPlace, Nifty Gateway, dan SuperRare — menggunakan Ethereum. Sama seperti Bitcoin, proses penambangan Ethereum memerlukan komputer yang bisa memproses kriptografi kompleks. Dan komputer itu biasanya membutuhkan energi besar.

Sebagai ilustasi, energi yang dihabiskan oleh penambang Bitcoin setiap tahunnya diperkirakan mencapai empat sampai lima terawatt-jam, atau sama seperti listrik yang dihabiskan oleh Hong Kong pada 2017. Sementara itu, daya listrik yang dihabiskan oleh penambang Ethereum setiap tahunnya diperkirakan sama seperti penggunaan listrik Libia. Dan semakin besar listrik yang penambang cryptocurrency habiskan, semakin banyak pula polusi yang dihasilkan.

Penutup

Teknologi baru biasanya menciptakan disrupsi di industri yang sudah ada. Namun, masyarakat cenderung enggan untuk mengadopsi teknologi baru. Sebagai contoh, sekarang, orang-orang sudah terbiasa untuk berbelanja melalui platform e-commerce. Tapi, beberapa tahun lalu, platform e-commerce sibuk untuk melakukan edukasi, meyakinkan konsumen bahwa mereka tidak akan tertipu jika mereka berbelanja secara online.

Saya rasa, hal yang sama juga berlaku untuk NFT. Mengingat betapa barunya industri NFT, tidak heran jika banyak orang yang masih sangat was-was, apalagi karena belum banyak atau bahkan belum ada regulasi yang mengatur tentang industri tersebut. Kabar baiknya, industri NFT masih terus berevolusi. Jadi, tidak tertutup kemungkinan, masalah-masalah yang muncul saat ini bisa diselesaikan di masa depan.

Satu hal yang harus diingat, tidak semua teknologi baru akan diadopsi secara massal. Tidak peduli seberapa besar hype dari teknologi baru, terkadang, teknologi itu memang hanya bisa menargetkan pasar niche. Salah satu contohnya adalah teknologi mixed reality. Jadi, walau industri NFT memang tengah menarik perhatian saat ini, tidak ada jaminan bahwa industri itu akan bertahan atau menjadi mainstream di masa depan. Saya rasa, hal ini akan tergantung pada pelaku industri NFT itu sendiri.

Sumber header: Pixabay

Bos Square Enix Beri Sinyal Perusahaannya Bakal Seriusi Tren NFT dan Blockchain Gaming

Desember kemarin, Ubisoft meluncurkan platform NFT bernama Quartz sekaligus koleksi aset NFT untuk game Ghost Recon Breakpoint. Langkah tersebut menuai cukup banyak kritik, akan tetapi itu rupanya tidak mencegah nama besar lain di industri video game untuk menunjukkan ketertarikannya terhadap tren NFT dan metaverse.

Adalah Square Enix yang baru-baru ini memberi sinyal bahwa mereka bakal mendalami tren blockchain gaming. Lewat sebuah surat terbuka untuk karyawan, Yosuke Matsuda selaku bos besar Square Enix mengatakan bahwa salah satu langkah strategis yang bakal mereka jalankan mulai tahun ini adalah “menambahkan decentralized game ke portofolionya.”

Menurutnya, fondasi teknologi yang memungkinkan game blockchain sudah eksis, dan aset crypto juga semakin dikenal dan semakin diterima dalam beberapa tahun terakhir. Tidak menutup kemungkinan ke depannya Square Enix bakal memiliki mata uang crypto-nya sendiri, sebab menurut Yosuke ini punya potensi untuk mewujudkan pertumbuhan game yang bisa berjalan dengan sendirinya (self-sustaining).

Square Enix sejauh ini memang belum punya rencana yang betul-betul spesifik, dan Yosuke pun sama sekali belum bicara soal bagaimana mereka bakal mengimplementasikan teknologi blockchain ke portofolionya. Mereka mungkin tidak akan merilis aset NFT buat Final Fantasy XIV dalam waktu dekat, tapi kita juga tidak bisa bilang itu mustahil bakal terjadi.

Yosuke pun menyadari bahwa tidak semua gamer setuju dengan pergeseran tren ini, khususnya mereka yang “bermain game untuk bersenang-senang”. Kendati demikian, ia percaya ke depannya bakal ada banyak orang yang motivasi bermainnya adalah untuk berkontribusi dan membuat game yang dimainkannya jadi lebih menyenangkan lagi, dengan NFT dan cryptocurrency sebagai insentifnya.

Pasar NFT dan game blockchain memang terlalu besar untuk diabaikan, terutama oleh perusahaan sebesar Square Enix. Namun seperti halnya banyak tren baru lain, NFT dan game blockchain juga punya tantangan-tantangannya sendiri, dan Square Enix pun akan terus memantau perkembangan di ranah ini sebelum mengambil langkah konkret.

Via: Video Games Chronicle.

Lippo Group dan Luno Bangun JV Garap Aset Kripto

MPC (dulu bernama Multipolar), perusahaan investasi milik Lippo Group, mengumumkan pendirian perusahaan patungan (joint venture) dengan Luno untuk menggarap potensi aset kripto di Indonesia. Belum disebutkan identitas dari JV tersebut, mengingat sedang berusaha memperoleh izin operasional dari Bappebti.

Country Manager Luno Indonesia Jay Jayawijayaningtiyas menuturkan, pihaknya antusias dengan kemitraan ini, mengingat pesatnya pertumbuhan pasar aset kripto di Indonesia pada tahun ini. Luno akan terus melanjutkan program-program edukasi kripto, agar semakin banyak masyarakat awam bisa mengenal dengan lebih baik.

“Kami percaya bahwa pengalaman panjang MPC di segmen ritel dan pasar Indonesia akan menjadi aset besar dalam kolaborasi ini,” ujar Jay dalam keterangan resmi, Rabu (15/12).

Menggabungkan kekuatan dari masing-masing entitas, Luno di bidang pengetahuan dan keahlian di bidang industri kripto global dan MPC dengan wawasan dan pemahaman yang luas terhadap karakter pasar Indonesia, diharapkan menghasilkan kolaborasi yang efektif, serta mampu mendongkrak kepercayaan investor baru.

Menurut survei yang dilakukan Luno dan YouGov menunjukkan, bahwa alasan utama masyarakat Indonesia belum berinvestasi di kripto karena kurangnya pemahaman atau informasi yang komprehensif (62%). Kendati begitu, sebanyak 30% orang Indonesia mengaku familiar dengan kripto, jauh melebih aset investasi yang lain, seperti obligasi negara (20%) dan P2P (18%).

Luno sendiri merupakan salah satu portofolio dari Venturra, CVC dari Lippo Group. Venturra memimpin putaran pendanaan Seri A pada 2015 dengan nominal dirahasiakan. Setelah Luno diakuisisi oleh Digital Currency Group pada 2020, dukungan dari Venturra terus diberikan untuk Luno.

CEO MPC Adrian Suherman mengatakan, sejak 2015 MPC terus mendukung Luno karena memiliki kesamaan visi dalam hal kripto, sama-sama ingin menggencarkan literasi finansial terkait aset kripto dan menghapuskan stigma bahwa aset kripto bukanlah bisnis yang rill.

“Industri ini memiliki potensi yang sangat besar hingga bertahun-tahun yang akan datang. Karena itu, kami ingin masyarakat Indonesia, termasuk yang masih awam, bisa melakukan investasi serta jual beli aset digital dengan mudah, aman, dan percaya diri,” kata Adrian.

Potensi pasar kripto di Indonesia diperkirakan akan terus bertumbuh. Berdasarkan data dari Bappebti, jumlah pengguna kripto di Indonesia per Juli 2021 mencapai angka 7,4 juta orang. Angka tersebut meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Tak hanya jumlah investor, volume perdagangan kripto pun melonjak tajam hingga enam kali lipat, dari Rp60 triliun di tahun 2020 menjadi Rp370 triliun per Mei 2021.

Sejauh ini di 2021, Luno sendiri telah mencatatkan total volume transaksi dengan pertumbuhan sebesar empat kali lipat di Indonesia dibandingkan dengan total volume transaksinya di sepanjang 2020. Secara global, Luno juga telah memiliki lebih dari 9 juta pelanggan, dan menjadi platform keenam perdagangan kripto terbaik di dunia versi CryptoCompare. Luno menjadi satu-satunya platform perdagangan kripto di Indonesia yang berhasil masuk ke ranking Top 10 dan mendapatkan skor Grade A.

“Ke depannya, untuk meningkatkan literasi kripto di Indonesia, kami akan terus menjalankan program edukasi melalui Luno Academy, yang dapat diakses dengan mudah oleh semua orang melalui website dan aplikasi. Dengan pengalaman dan keahlian nama besar seperti MPC, kami percaya bahwa kemitraan ini dapat menciptakan pengalaman jual-beli aset kripto yang terbaik di Indonesia,” tutup Jay.

Selain bersama Luno, MPC juga telah mendirikan JV lainnya yang bergerak di p2p lending bersama Ping An bernama Ringan. Ringan fokus menyediakan pinjaman dana cepat (cash loan) dan belakangan mulai merambah segmen kredit produktif.

Kongsi Binance-Telkom

Selang sehari sebelumnya, kerja sama startup dengan korporasi pelat merah telah dilaksanakan oleh Binance dan Telkom melalui MDI Ventures. Bentuknya tidak sekadar membentuk platform jual beli aset kripto saja, namun mengembangkan ekosistem blockchain dan turunannya ke tahap lebih lanjut. Bagi Telkom, semua hal ini akan memainkan peran penting dalam keuangan dan infrastruktur digital lainnya di masa depan.

Hal menarik yang patut dilihat adalah bagaimana bila dilihat dari kacamata regulasi pemerintah Indonesia. Di kancah global, Binance ramai-ramai di blokir banyak negara karena dikhawatirkan tidak memiliki upaya yang cukup dalam mencegah pencucian uang dan kejahatan keuangan lainnya di plaformnya sebagai bentuk kepatuhan dalam memenuhi aturan di tiap negara.

Singapura, Jerman, Amerika Serikat, Inggris, India, Jepang, Hong Kong, Italia, Malaysia, Thailand, dan Belanda adalah negara-negara yang sudah menutup akses Binance di negara masing-masing. Akibatnya, pengguna Binance Hong Kong misalnya, tidak bisa membuka produk derivatif di Binance dan diberikan waktu tenggang (grace period) sampai 90 hari untuk menutup akunnya.

Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Satgas Waspada Investasi sudah memasukkan Binance ke dalam daftar investasi ilegal sejak Oktober 2020. Alasannya karena melakukan perdagangan kripto tanpa izin. Sementara itu, portofolio Binance di Indonesia, Tokocrypto adalah pedagang aset kripto yang sah dan telah memiliki tanda terdaftar di Bappebti.

Application Information Will Show Up Here

Binance dan MDI Ventures Bentuk Konsorsium untuk Bangun Platform Pertukaran Aset Digital

Platform pertukaran mata uang kripto Binance membentuk konsorsium melalui joint venture dengan MDI Ventures untuk mengembangkan platform pertukaran aset digital di Indonesia. Kolaborasi ini merupakan bagian dari strategi lebih luas Binance untuk membangun ekosistem blockchain di Indonesia.

Dalam keterangan resminya, Founder &  CEO Binance Changpeng Zao mengungkap ambisinya untuk mendorong pertumbuhan ekosistem blockchain dan mata uang kripto (cryptocurrency) secara global.

“Dengan kecepatan adopsi teknologi dan potensi ekonomi yang kuat, Indonesia dapat menjadi salah satu pusat ekosistem blockchain dan kripto yang memimpin kawasan Asia Tenggara. Dengan pengalaman mendalam mereka di pasar, kami yakin dapat memberikan produk unggulan bagi pengguna,” ungkap Zao.

Sementara itu, CEO MDI Ventures Donald Wihardja mengatakan, sebagai kendaraan investasi Telkom, pihaknya ingin berpartisipasi dalam perjalanan mengembangkan blockchain, aset kripto, mata uang kripto, dan teknologi turunannya. Menurutnya, semua itu akan memainkan peran penting dalam keuangan dan infrastruktur digital lainnya di masa depan.

“Kami tidak sabar untuk tumbuh bersama Binance dan mitra investasi kami, serta menjembatani segala kesempatan dan teknologi dengan Telkom untuk membantu upgrade kapabilitas infrastruktur digital di Indonesia,” papar Donald.

Sebagai informasi, Binance merupakan penyedia infrastruktur blockchain dan cryptocurrency global yang menawarkan berbagai produk keuangan, mencakup pertukaran aset digital berbasis volume. Binance memiliki misi untuk meningkatkan kebebasan uang bagi pengguna dan menampilkan portofolio produk kripto, termasuk trading, keuangan, pendidikan, hingga investasi.

Sementara, MDI Ventures merupakan kendaraan investasi dengan nilai $830 juta milik operator telekomunikasi terbesar di Indonesia PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (IDX: TLKM), yang juga anak usaha BUMN. MDI berinvestasi di vertikal bisnis startup yang bervariasi, mulai dari logistik, fintech, consumer tech, hingga deep IT.

Secara kolektif, konsorsium ini telah mengembangkan ekosistem teknologi digital dan keuangan terbesar di Indonesia, serta memiliki akses ke lebih dari 170 juta konsumen di negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia ini.

Kerja sama korporasi

Menarik melihat upaya Binance merangkul Telkom melalui MDI Ventures. Pasalnya, Binance kebanyakan menggandeng startup, baik melalui aksi akuisisi, kemitraan, dan investasi, untuk beroperasi. Salah satunya adalah investasinya ke platform jual-beli kripto Tokocrypto pada 2020.

Sementara, Telkom termasuk perusahaan korporasi berskala besar yang juga dimiliki pemerintah. Per semester I 2021, Telkom memiliki 8,3 juta pengguna broadband dan 169,2 juta pelanggan mobile dari anak usahanya Telkomsel. Di luar bisnis telekomunikasi, Telkom melalui MDI Ventures telah mendanai lebih dari 50 startup di 12 negara, di mana 28 di antaranya berasal dari Indonesia.

Binance sendiri belum memiliki izin beroperasi di negara manapun. Beberapa negara sudah mengeluarkan peringatan terkait aksi Binance, seperti di Belanda dan Malaysia. De Nederlandsche Bank (DNB) sempat mengeluarkan surat peringatan kepada Binance terkait kegiatan operasionalnya yang dianggap ilegal.

Tindakan serupa juga dilakukan oleh pemerintah Malaysia. Meski sudah masuk ke dalam Daftar Peringatan Investor pada Juli 2020, Binance telah dianggap beroperasi secara ilegal karena mengoperasikan crypto exchange.

Sebuah Aset NFT Super-Langka untuk The Sandbox Berhasil Terjual Seharga $650.000

Seberapa serius respon publik terhadap hype seputar game play-to-earn, NFT, cryptocurrency, metaverse, dan pada dasarnya semua komponen yang terkait dengan teknologi blockchain? Cukup serius untuk mengeluarkan dana ratusan ribu dolar buat sebuah aset digital di dalam game yang masih setengah jadi.

Belum lama ini, beredar kabar bahwa sebuah kapal pesiar digital bernama Metaflower Super Mega Yacht berhasil terjual seharga 149 ETH, atau kurang lebih setara $650.000. Kapal pesiar digital tersebut merupakan aset NFT untuk game/metaverse The Sandbox.

Tentu saja ini bukan pertama kalinya kita mendengar berita tentang in-game item yang laku dijual dengan harga selangit. Kalau statusnya benar-benar sangat langka, bahkan skin senjata di CS:GO pun bisa dihargai lebih dari $100.000. Namun perlu diingat, CS:GO merupakan game yang sudah eksis selama hampir satu dekade, dengan skena esport berskala global yang amat sukses. The Sandbox di sisi lain masih berstatus closed alpha.

Metaflower Super Mega Yacht merupakan kreasi Republic Realm, sebuah perusahaan yang aktif mengembangkan ekosistem metaverse untuk berbagai game P2E. Salah satu proyek NFT terbesarnya di The Sandbox adalah Fantasy Islands, yang terdiri dari 100 pulau virtual yang masing-masing merupakan aset NFT. Semuanya sudah terjual habis dalam waktu 24 jam, dan harga terendah untuk sebuah pulau saat ini disebut mendekati $300.000.

Kenapa bisa ada orang yang rela menggelontorkan uang sebanyak itu demi sebuah objek digital yang pixelated di dalam game yang belum selesai digarap? Entahlah, tapi toh ini bukan NFT teraneh yang pernah terjual dengan harga luar biasa mahal. Agustus lalu, sempat beredar berita mengenai sebuah gambar batu yang terjual seharga $1,3 juta. Benar-benar sebuah gambar batu dalam format JPEG yang oleh penciptanya sendiri disebut tidak ada fungsinya.

Setidaknya kapal pesiar digital tadi masih punya nilai fungsional sebagai sebuah playable asset.

Sumber: Hypebeast dan Republic Realm.

Apa Sebenarnya yang Dimaksud dengan Game Play-to-Earn?

Belakangan ini, game play-to-earn terus membombardir media dan dunia gaming dengan seluruh hype dan keterkaitannya dengan cryptocurrency. Tentu saja, Anda mungkin bertanya-tanya apa sebenarnya jenis game baru ini dan mengapa ia tiba-tiba menjadi begitu populer.

Kalau mau disederhanakan, play-to-earn tidak lebih dari sebuah model bisnis gaming. Anda mungkin pernah mendengar game free-to-play atau pay-to-play sebelumnya. Nah, play-to-earn hanyalah iterasi lain dari model-model tersebut. Definisi dari model bisnis ini juga terkandung dalam namanya — para pemain memainkan game-nya dengan harapan memperoleh sejumlah uang dalam bentuk cryptocurrency.

Anda mungkin menyadari kalau hampir semua game yang memiliki fitur perdagangan (trading) secara tak langsung mengimplementasikan sejumlah elemen play-to-earn. Di CS:GO, Anda bisa mendapatkan dan menjual skin di Steam Market. Apabila skin-nya luar biasa langka, biasanya Anda juga bisa menjual (menukarnya) dengan mata uang asli. Sejumlah skin bahkan bisa mencapai $100.000 atau lebih dalam beberapa kasus.

Skin “Howl” untuk senjata M4A4 ini berharga lebih dari $100.000 / Sumber: esports.net

Di World of Warcraft, Anda bisa menjual akun dengan uang asli dan menaikkan harganya berdasarkan level dari barang-barang (item) yang dimiliki. DotA dan game-game kompetitif serupa juga dibanjiri kasus pembeli akun, dengan pemain-pemain amatiran yang membeli akun-akun berperingkat tinggi dan bermain di luar jangkauan peringkat Elo mereka. Jadi ya, disengaja atau tidak, hampir semua game sebenarnya memiliki sejumlah elemen play-to-earn.

Kendati demikian, game play-to-earn sepenuhnya mengimplementasikan elemen ini sebagai fitur dan mendorong pemain untuk meningkatkan item atau karakter mereka guna menaikkan daya tarik pasarnya. Semakin banyak waktu yang pemain habiskan di game, semakin besar hadiah yang didapatnya dari karakter atau aset bernilai tinggi; main lebih banyak untuk dapat lebih banyak. Game-nya juga akan menyediakan alat dan ruang yang diperlukan bagi pemain untuk memperdagangkan aset-aset ini. Tentu saja, alat-alat ini tidak ada pada game-game sebelumnya, dan situs pihak ketiga biasanya diperlukan untuk merampungkan transaksi. Seperti yang bisa Anda lihat, game play-to-earn pada dasarnya memanfaatkan NFT untuk menjalankan model bisnis baru ini.

Market di Axie Infinity, salah satu game play-to-earn paling populer saat ini / Sumber: rappler.com

Korelasi NFT dan crypto dengan game P2E

Memahami NFT sangatlah penting ketika Anda ingin memahami semua tentang game play-to-earn. Jika Anda sudah tahu apa itu NFT, Anda bisa langsung lompat ke seksi berikutnya dari artikel ini. Jika belum, NFT, atau non-fungible token, pada dasarnya adalah bentuk modern dari menukar cryptocurrency dan ditunjang oleh teknologi blockchain. NFT biasanya diasosiasikan dengan benda-benda “internet” seperti foto, video, GIF, atau dalam kasus ini, aset dalam game. Tentu saja, tidak butuh banyak untuk membuat salinan dari benda-benda ini di internet, dan itulah kenapa NFT juga menyertakan bukti kepemilikan yang dijamin oleh teknologi blockchain.

Di titik ini, Anda semestinya sudah bisa cukup memahami koneksi antara NFT crypto dengan game play-to-earn. Jadi Anda memainkan game-nya untuk memperoleh barang-barang langka. Barang-barang ini direpresentasikan sebagai NFT, yang memverifikasi kepemilikan Anda atas aset tertentu dalam game. Anda kemudian bisa menjual atau menukarkan barang-barang ini ke pemain lain dengan cryptocurrency. Siklusnya berulang dan pada akhirnya menciptakan ekosistem atau ekonomi crypto-nya sendiri dalam game tersebut.

Gambar header: Freepik. Diterjemahkan oleh: Glenn Kaonang

Platform Investasi Kripto Pintu Meluncurkan Token “PTU”

Platform jual-beli dan investasi kripto Pintu resmi meluncurkan Pintu Token (PTU). Untuk tahap awal, pengguna baru dapat memperjualbelikan aset kripto PTU di platform Pintu, FTX, dan ByBit.

Dalam keterangan resminya, Founder & CEO Pintu Jeth Soetoyo mengatakan bahwa kehadiran PTU dapat membantu mendukung ekosistem aset kripto yang tengah berkembang pesat di Indonesia. Di samping itu juga melengkapi ekosistem aset kripto yang sudah tersedia di aplikasinya.

Saat ini, Pintu tercatat telah memiliki lebih dari satu juta pengguna dengan lebih dari 30 aset kripto diperdagangkan di platformnya.

“Kami meyakini jumlah investasi aset kripto terus meningkat, di mana sejak kehadiran Pintu di 2020 kami mengalami pertumbuhan positif. Pertumbuhan ini tidak terlepas dari peran masyarakat yang memercayakan Pintu sebagai platform untuk berinvestasi aset kripto,” tutur Jeth.

PTU adalah token investasi aset kripto yang dihadirkan untuk mendukung pengembangan ekosistem aplikasi Pintu. Ke depanya, Pintu akan memperluas ketersediaan PTU di berbagai mitra exchange lain.

Token tersebut dibangun di atas ekosistem Ethereum dan menggunakan standar ERC-20 dengan total suplai maksimal token yang beredar sebanyak 300 juta. Jeth menyebut bahwa perancang PTU memiliki latar belakang pengalaman yang kuat dalam membangun proyek berbasis blockchain, dan berkomitmen dalam mengembangkan industri kripto di Indonesia melalui aplikasi Pintu.

Lebih lanjut, pengguna akan mendapat berbagai keuntungan dengan memegang aset PTU, mulai dari bonus dari program referral, kuota untuk mengirim aset kripto via blockchain secara gratis, hingga berbagai bonus lain dari kampanye yang diselenggarakan Pintu.

“Kami harap dapat memperkuat komunitas pengguna PTU dengan ketersediaan PTU beserta nilai dan manfaat yang diberikan,” ucapnya.

Sebagai informasi, Pintu merupakan platform jual-beli dan investasi aset kripto berbasis aplikasi mobile yang diklaim pertama di Indonesia. Pintu telah terdaftar dan berlisensi resmi dari Badan pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) dan Kementerian Komunikasi dan informatika.

Sebelumnya pada Agustus 2021 lalu, Pintu juga baru mengumumkan perolehan pendanaan seri A+ sebesar $35 juta atau setara 503 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Lightspeed Venture Partners, serta didukung oleh Alameda Ventures, Blockchain.com Ventures, Castle Island Ventures, Intudo Ventures, dan Pantera Capital.

Potensi pasar kripto

Antusiasme masyarakat Indonesia terhadap aset kripto terus tumbuh dari tahun ke tahun. Terlihat dari masih tingginya minat pasar Indonesia terhadap aset kripto, seperti Bitcoin, Ethereum, dan Cardano.

Untuk mendorong antusiasme masyarakat dan komunitas kripto, banyak platform jual-beli dan investasi kripto yang meluncurkan token sendiri, seperti misalnya koin kripto Toko Token (TKO) dan Kala Coin yang nantinya dapat bersaing dengan token-token lain di skala global.

Pemerintah pun menyambut antusiasme tersebut dengan menyiapkan bursa khusus aset kripto Indonesia di akhir 2021. Berdasarkan pemberitaan terakhir, Bappebti telah menyiapkan sebanyak 229 jenis aset kripto yang dapat ditransaksikan di 13 pedagang aset kripto terdaftar di Bappebti

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, nilai transaksi aset kripto di Indonesia mencapai Rp478,5 triliun dari Rp65 triliun di 2020. Sementara, jumlah pengguna kripto tercatat sebanyak 7,4 juta atau naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya sebesar 4 juta.