Pandemi Reda, Telemedisin Makin Bermakna

Pandemi Covid-19 merombak dinamika industri medis dan lanskap layanan kesehatan pun ikut berubah. Ketika itu, ketegangan yang signifikan terjadi di rumah sakit dan sistem kesehatan. Kepadatan di rumah sakit jadi hal biasa karena tenaga kesehatan kekurangan sumber daya.

Pandemi menimbulkan tantangan baru, namun juga mempercepat percepatan inovasi layanan kesehatan. Ketimpangan jumlah dokter masih akan terjadi, namun penyedia layanan kesehatan harus cari cara untuk berbuat lebih banyak dengan sumber daya yang ada.

Salah satu subsektor yang saat itu dibutuhkan adalah telemedisin, memungkinkan pasien konsultasi jarak jauh dengan dokter tanpa tatap muka. Analisis Bain & Company terbaru menegaskan bahwa tingkat penggunaan telemedisin yang tinggi di Asia bertahan pada 2022 dan tetap jauh di atas tingkat penggunaan pada 2020.

Laporan tersebut juga memprediksi ruang adopsi dapat bertumbuh di beberapa negara. Pengguna di Malaysia, Thailand, dan Filipina tercatat tumbuh pesat, tapi jauh tertinggal dibandingkan pengguna di Singapura, India, dan Indonesia.

“Perkembangan [adopsi] sangat signifikan dari tahun ke tahun. Kalau ada yang mengira saat endemi menurun karena sudah tidak ada pandemi, justru sekarang lebih meningkat karena orang mulai terbiasa dan lebih nyaman menggunakan telemedisin, juga percaya mengutarakan permasalahannya ke dokter,” ucap Co-founder dan Presiden Direktur Alodokter Suci Arumsari kepada DailySocial.id.

Dibandingkan saat Alodokter baru berdiri di 2014, layanan telemedisin baru mulai terdengar oleh sebagian orang, hanya saja masih enggan menggunakannya. Artinya telemedisin ini punya peluang untuk bertumbuh lebih besar ke depannya.

“Sehingga perkembangannya naik 200% dari sebelum pandemi dan even sekarang pun perkembangannya tetap signifikan,” tambah dia.

Kenaikan adopsi juga dirasakan oleh Good Doctor Managing Director Good Doctor Technology Indonesia Danu Wicaksana mengatakan adopsi antara pengguna individu, maupun korporat dan asuransi terus meningkat. Terhitung perusahaan sudah bekerja sama dengan lebih dari 60 perusahaan asuransi dan lebih dari 2.500 perusahaan.

Menurut Danu, ada dua hipotesis dibalik terus berkembangnya telemedisin pasca pandemi. Pertama, diyakini terjadi fase adopsi oleh masyarakat akan layanan telemedisin yang memberikan solusi dan kenyamanan selama masa pandemi. Ini menyebabkan adopsi telemedisin tidak menurun, malah justru meningkat.

Kedua, tidak hanya masyarakat yang melihat benefit dari telemedisin, namun juga pihak pembayar (payor), yakni perusahaan asuransi dan klien korporatnya.

“Mengacu pada industri asuransi di luar negeri juga, seperti di Amerika Serikat dan Tiongkok, mereka melihat bahwa telemedisin sangat layak untuk dimasukkan sebagai salah satu provider utama, khususnya di pelayanan lapis pertama (primary care) untuk memberikan layanan yang lebih prima kepada pelanggannya, sekaligus dalam upaya mereka untuk menjaga rasio klaim,” terang Danu.

Suci menuturkan adopsi yang meningkat ini mengindikasikan naiknya tingkat kepuasan masyarakat. Kebiasaan mereka perlahan berubah, bukan lagi konsultasi ke dokter saat sudah sakit, tapi jadi preventif sebelum jatuh sakit. Proses pembelajaran ini sangat terdorong saat terjadi pandemi, tren positif ini terus berlanjut hingga sekarang.

“Kita berikan pembelajaran ke mereka, bukan hanya cari informasi tapi bicara yuk ke dokter. Kalau ada masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan telemedisin, baru diarahkan ke offline untuk langsung ditangani. Telemedisin ini buat masyarakat jadi paham, jadi langkah preventif awal apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. […] bahwa telemedisin bukan untuk menggantikan peran dokter maupun layanan kesehatan.”

“Masyarakat jadi lebih aware dan perilakunya mulai pintar dan responsif, kalau ngerasa sakit selalu cari second opinion tentang apa yang mereka rasakan. Jadi potensi telemedisin di Indonesia akan jauh jauh lebih besar ke depannya, apalagi didukung teknologi jadi ekosistemnya akan fully dari A-Z,” sambung Suci.

Co-founder dan Presiden Direktur Alodokter Suci Arumsari / Alodokter

Kebiasaan untuk dorong masyarakat bertanya ke dokter juga “dipaksakan” untuk Aloproteksi, produk asuransi kesehatan yang menyasar pengguna individu dan korporasi. Manfaat yang ditawarkan adalah perlindungan Rp100 juta per tahun cashless biaya rawat jalan, rawat inap & obat-obatan. Produk ini hadir sejak 2022 berkat kerja sama dengan Sequis Life dan Cermati Protect.

Walau ‘dipaksakan’, namun berkat ekosistem Alodokter sudah lengkap (telemedisin, buat janji, Aloshop), pengguna dapat memanfaatkan telemedisin tanpa potong limit, berkonsultasi dengan banyak dokter meski tidak sakit. Obat pun akan langsung dikirim begitu sudah konsultasi ke dokter tanpa dikenai biaya lagi. Kalau benar-benar tidak dapat ditangani, dokter akan berikan surat rujukan.

“Kita mau ubah perilaku. Aloproteksi bukan hanya produk yang berikan manfaat tapi juga memberikan edukasi dan informasi. Kalau sakit jangan asal minum obat, jangan ambil tindakan sendiri, lebih baik cerita ke dokter. Ini yang membedakan kita dengan asuransi. Awalnya memang repot [harus konsultasi dulu], tapi ini sangat ekonomis. Mau sakit atau tidak tetap bisa konsultasi ke dokter terus menerus, jadi enggak ada ruginya.”

Saat ini, pengguna aktif bulanan Alodokter tembus ke angka 30 juta orang, didukung dengan 1.000 dokter umum dan 500 dokter spesialis, serta 1.500 rumah sakit dan klinik tersebar di seluruh Indonesia.

Menjaga relevansi

Baik Alodokter dan Good Doctor sama-sama yakin bahwa dukungan teknologi dapat membawa adopsi telemedisin jauh lebih pesat lagi. Suci menyampaikan teknologi dan medis adalah dua aspek penting yang diutamakan perusahaan. Beberapa yang sudah diluncurkan adalah rekam medis elektronik (Electronic Medical Record/EMR), Alni –asisten virtual interaksi percakapan dengan dokter bertenaga AI, tes batuk (remote diagnostic) bekerja sama dengan ResApp.

Diklaim ketiga inovasi ini membuat proses telemedisin jadi lebih cepat penanganannya. Alni misalnya, dikembangkan sebagai clinical decision tool yang mampu berinteraksi dengan pasien terkait kondisi kesehatan, untuk langkah awal konsultasi dan membantu alur kerja dokter dalam penanganan pasien. Alni juga sudah terhubung dengan EMR.

“Alni bukan menggantikan dokter tapi sebagai asisten, dokter tetap memutuskan diagnosis akhirnya. Alni jadi signifikan buat dokter karena lebih efisien dan mempercepat waktu.”

Sementara, tes batuk ResApp ini juga ditenagai AI dapat mendeteksi suara batuk melalui smartphone pengguna. Fitur ini akan membantu dokter melakukan pemeriksaan secara remote dengan mencocokkan ciri-ciri dari suara batuk berdasarkan enam diagnosis: infeksi paru, asma, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), ISPA, batuk rejan, dan bronkitis. Tes ini punya tingkat efisiensi 95%-97%.

“Tes batuk ini hanya bisa dipakai oleh pasien yang mendapat rekomendasi dari dokternya. Metode ini juga dipakai oleh dokter saat mengambil tindakan konvensional di rumah sakit, tapi lebih efisien karena dilakukan dari smartphone pengguna saja.”

Bagi Suci, inovasi dan transparansi perusahaan terhadap publik itu memegang peranan penting untuk setiap bisnis yang bermain di ranah online agar dapat terus berkembang. Pihaknya selalu membuka jalur komunikasi dengan seluruh ekosistem (pasien, dokter, pemain industri) untuk mendapatkan umpan balik.

“Riset itu penting agar kita punya produk yang relevan. Kalau buat bisnis tidak bisa dari apa yang saya/kita rasa bisa. Tapi lihat dari pasar butuh atau enggak. Selain itu riset [harus kontinu] baik sebelum dan setelah produk di launch.”

Tak jauh berbeda, Good Doctor memfokuskan inovasinya berdasarkan konsumen utamanya, yakni korporat. Beberapa di antaranya:

  • fitur plug-in: integrasi aplikasi ke berbagai aplikasi dari perusahaan-perusahaan asuransi ataupun aplikasi marketplace pada umumnya di Indonesia,
  • co-payment: mitra asuransi bisa menerapkan kebijakan co-payment untuk benefit tertentu, misalnya 80% ditanggung asuransi dan 20% ditanggung oleh karyawan,
  • surat sakit elektronik: karyawan perusahaan bisa mendapatkan surat sakit elektronik secara resmi dari dokter di Good Doctor ketika sakit dan harus melaporkannya ke direktorat SDM perusahaan tersebut.
  • Population Health Management (PHM): solusi pencegahan penyakit bagi karyawan korporasi melalui medical check-up.

“Seiring dengan semakin bertumbuhnya klien perusahaan asuransi dan korporat, kami mengembangkan beberapa fitur-fitur yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Inovasi tidak pernah berhenti sampai disini, dan akan terus kami kembangkan ke depannya,” ujar Danu.

Dalam menjaga kepuasan pengguna, Good Doctor secara rutin melakukan survei pelanggan dan mitra (dokter, apotek, RS, dll) secara regular per kuartal, disebut sebagai NPS survey (Net Promoter Score). Hal ini dibutuhkan demi mendapatkan saran-saran yang konstruktif dari pelanggan dan mitra agar Good Doctor dapat terus mengerti dan memahami apa yang mereka butuhkan dari waktu ke waktu.

“Kedua, kami selalu mencoba personalisasi layanan agar konsumer mendapatkan layanan yang lebih personal dan sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Yang ketiga, kami juga melakukan studi banding secara reguler, melihat tren pelayanan kesehatan digital yang sedang berkembang di seluruh dunia dan kita coba mengadopsikan ke pasar Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Prospek telemedisin

Danu mengungkapkan dengan strategi gaet pengguna B2B, mampu menunjang kontribusi dari bisnis telemedisin terhadap keseluruhan bisnis. Diklaim secara kuantitatif, persentasenya mencapai 60%-70%. Pendapatan yang diperoleh dari pembelian dan pengiriman obat, serta kolaborasi dengan berbagai perusahaan FMCG dan farmasi.

“Secara absolut, kami melihat perkembangan yang baik juga setiap tahun, di mana beberapa lini bisnis di dalam telemedis ini mampu tumbuh kurang lebih dua kali lipat dari tahun 2022 ke tahun 2023 ini.”

Alodokter juga mencatatkan bisnis yang positif dari masing-masing produknya. Pendapatan terbesar datang dari bisnis telemedisin sebesar 30%-40% setiap bulannya, lalu disusul bisnis dari buat janji dengan dokter. Kinerja baik ini membawa perusahaan dapat cetak laba pada tahun ini, walau Suci tidak bersedia merinci lebih lanjut nominalnya.

“Sudah profit official mulai tahun ini, tahun depan mau profitable lebih besar lagi. Bisnis Alodokter ini sangat berhubungan satu sama lain karena berbentuk ekosistem, makanya monetisasi kami saling bersinergi.”

Bagi Suci, kesempatan untuk memperluas adopsi masih sangat besar karena akses kesehatan itu juga dibutuhkan oleh orang-orang di kota lapis dua, tiga, hingga pedalaman. Maka dari itu, dukungan pemerataan jaringan internet yang baik sangat dibutuhkan. Di satu sisi, kini layanan telemedisin tidak hanya digunakan saat sakit saja. Salah satu konsultasi yang banyak digunakan pengguna adalah kesehatan mental dan hidup sehat.

“Saya percaya ini bisnis yang sangat menjanjikan, asalkan disokong dengan teknologi yang mempermudah sehingga bisa bawa manfaat digitalisasi bagi masyarakat. Sebab kalau telemedisin tidak dibarengi dengan teknologi, misal chat dokter tapi balasnya lama jadinya itu tidak efektif.”

Dukungan regulasi juga diberikan dari pemerintah. Danu menyampaikan tindak lanjut dari UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 yang telah diresmikan, diharapkan Kemenkes dapat memimpin aturan turunnya secara baik agar adopsi teknolodi di sektor kesehatan semakin mudah, khususnya layanan telemedisin yang sudah terbukti dapat membantu memberikan layanan kesehatan yang baik saat pandemic dan di tahun ini pasca pandemi.

“Kami berpartisipasi langsung dalam Regulatory Sandbox yang diinisiasikan oleh Digital Transformation Office (DTO) Kemenkes untuk memastikan keselamatan dan privasi pasien. Good Doctor sudah memasuki tahap sebagai mitra yang diawasi oleh Kemenkes dan saat ini sedang memasuki proses tahap akhir menuju mitra yang dibina oleh Kemenkes.”

Antusiasme investor

Investment Associate AC Ventures Giovanni Wilson menyampaikan dalam bidang healthtech, AC Ventures berfokus pada startup penyedia infrastruktur penunjang kesehatan yang dapat mengembangkan utilisasi dari para tenaga kesehatan dan jangkauan dari layanan kesehatan, baik perawatan maupun pengobatan.

Hal ini selaras dengan permasalahan utama industri kesehatan di Indonesia, yakni rendahnya tingkat pelayanan kesehatan yang terindikasi oleh rasio tempat tidur rumah sakit, rasio tenaga kesehatan, dan rasio tenaga apoteker terhadap jumlah penduduk.

Dia melanjutkan, teknologi layaknya aplikasi smartphone, dapat digunakan sebagai akses dan membuka pintu layanan untuk daerah-daerah yang belum terjangkau oleh gerai ritel misalkan cabang bank atau cabang klinik dan farmasi. Dengan memberikan pelayanan melalui internet, tenaga kesehatan dan produk yang tersedia di kota besar dapat juga dinikmati oleh pengguna yang jauh, tanpa harus menghabiskan biaya untuk mengunjungi secara langsung.

“Teknologi digital juga dapat memberikan informasi yang akurat dan langsung kepada semua pengguna mengenai suatu produk kesehatan, misalnya vaksin, obat-obatan, dan prosedur pembedahan yang baru. Selain itu, dapat juga menjadi platform edukasi terhadap kesehatan, gaya hidup, dan resiko-resiko penyakit baru,” kata Giovanni.

Selain dukungan teknologi digital, lanjut dia, sebenarnya tingkat partisipasi asuransi kesehatan sebagai unsur penopang industri kesehatan juga penting dalam memfasilitasi konsumsi kesehatan. Misalnya, program BPJS sangat berdampak positif terhadap keperluan dasar kesehatan bagi golongan pekerja.

“Penduduk Indonesia yang diproyeksikan akan terus bertambah penghasilannya dan masuk ke middle-income country akan memberikan dorongan positif ke penetrasi asuransi kesehatan yang akhirnya membuka akses dan pola pikir konsumsi layanan kesehatan dari yang bersifat mengobati (treatment) ke pencegahan (preventif).”

Sejauh ini, ACV belum memiliki dana kelolaan khusus untuk healthtech. Dana yang diinvestasikan berasal dari AC Ventures Fifth Investment V (ACV Fund V) senilai $250 juta, untuk seluruh startup tahap awal, termasuk healthtech. Subsektor healthtech yang sudah masuk ke dalam portofolio ACV adalah wellness (Sirka) dan klinik digital (KLAR).

Startup Healthtech Good Doctor Beberkan Strategi Masuk ke Lini Korporat

Good Doctor Technology Indonesia mengumumkan telah menerima pendanaan seri A senilai $10 juta atau setara 156,6 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin  MDI Ventures dengan keterlibatan investor sebelumnya, yakni Grab. Suntikan investasi ini akan dimanfaatkan untuk memperluas jangkauan Good Doctor, termasuk dengan meningkatkan kemitraan bersama lebih banyak institusi kesehatan.

“Dengan dukungan kuat ini, kami siap mengambil langkah selanjutnya dalam meningkatkan dan memperluas layanan kesehatan di Indonesia. Selain inisiatif kuratif yang kami lakukan saat ini, perusahaan bermaksud untuk menerapkan langkah-langkah pencegahan dan promosi kesehatan yang sejalan dengan prioritas Kementerian Kesehatan,” ujar CEO Good Doctor Danu Wicaksana.

Optimalkan momentum pertumbuhan telemedis

Berdasarkan data McKinsey yang dihimpun pada Q3 2023, terdapat perubahan signifikan dalam perilaku perawatan kesehatan masyarakat Indonesia, hal ini didorong tren yang terbentuk selama pandemi Covid-19 berlangsung. Lebih dari 70% masyarakat berniat untuk menggunakan layanan telemedis, walaupun pandemi sudah dinyatakan usai.

Melihat kondisi pasar yang ada, ekosistem layanan telemedis memang sudah mulai matang. Konsumen dimanjakan dengan cara yang sangat efisien untuk terhubung dengan dokter yang mereka inginkan kapan pun. Variasi produknya juga lengkap, termasuk ke bantuan psikologis, ahli gizi, hingga konsultasi medis yang membutuhkan penanganan dokter spesialis.

Di sisi lain, platform telemedis juga mulai terhubung dengan ekosistem kesehatan yang lebih luas. Misalnya dengan apotek untuk memudahkan pengguna menebus obat yang disarankan dokter.

Tren permintaan telemedis yang tetap kencang turut diamini oleh para pemain di industri tersebut, tak terkecuali Good Doctor.

Danu mengatakan, “sesudah pandemi, kami mengamati tiga perubahan penting dalam perilaku pengguna Good Doctor. Pertama, selama pandemi, orang-orang mencari layanan kami terutama untuk masalah terkait Covid-19, namun kini mereka berkonsultasi dengan kami untuk berbagai penyakit lain seperti demam, gangguan pencernaan, maag, batuk dan alergi.”

Danu melanjutkan, “Kedua, ketika pandemi, konsultasi banyak dilakukan secara individual dan didanai sendiri, kini kami melihat banyak perusahaan yang memfasilitasi karyawannya untuk mengakses layanan Good Doctor secara gratis, dengan lebih dari 55 perusahaan asuransi dan lebih dari 2500 korporasi telah bermitra dengan kami. Ketiga, mereka yang menggunakan layanan Good Doctor selama pandemi masih mengandalkan telemedisin bahkan setelah pandemi berakhir karena mereka merasa nyaman dengan layanan tersebut dan sudah menjadi bagian dari layanan kesehatan rutin mereka.”

Good Doctor kini telah berkembang positif dalam satu tahun terakhir. Mereka kini memiliki lebih dari 15 juta pengguna dan secara khusus bisnis B2B telah tumbuh pesat bermitra dengan lebih dari 60 perusahaan asuransi dan lebih dari 2500 korporasi/startup/berbagai organisasi lainnya.

Perdalam fitur B2B untuk pelanggan korporat

Dari sejumlah layanan yang ada, Danu bercerita, bahwa yang cukup diminati akhir-akhir ini adalah vaksinasi. Good Doctor banyak membantu pelanggan individu dan korporat dalam mendapatkan vaksin demam berdarah, flu, dan lain sebagainya.

Sejumlah fitur baru juga banyak dikembangkan untuk memanjakan pelanggan korporat, seperti:

  • Plug-in; integrasi Good Doctor ke berbagai aplikasi dari perusahaan asuransi di Indonesia.
  • Co-payment; fitur yang memungkinkan mitra asuransi bisa menerapkan kebijakan co-payment untuk benefit tertentu, misalnya 80% ditanggung perusahaan dan 20% ditanggung oleh karyawan.
  • Surat sakit elektronik; karyawan perusahaan bisa mendapatkan surat sakit elektronik secara resmi dari dokter di Good Doctor ketika mereka sakit dan harus melaporkannya ke direktorat SDM perusahaan tersebut.

Good Doctor mencoba menghadirkan proposisi nilai yang kuat dengan menghadirkan ekosistem kesehatan yang paling lengkap dengan lebih dari 4500 jaringan apotek, rumah sakit, lab, klinik; dan kemampuan pengiriman obat instan di lebih dari 200 kota di Indonesia.

“Tahun depan kita berencana meluncurkan beberapa fitur dan layanan baru […] Kita berencana melakukan ekspansi bisnis ke segmentasi pelanggan yang lebih luas (misalnya lebih banyak korporat dan partner asuransi; ataupun segmen pelanggan lain); menambah fitur/layanan baru untuk meningkatkan customer engagement; dan juga memperkenalkan program-program preventif untuk membantu klien-klien perusahaan kami untuk menjaga kondisi kesehatan karyawannya dengan lebih baik sehingga biaya kesehatan perusahaan ke depan dapat terjaga dengan baik,” imbuh Danu.

Kini menjadi unit independen

Ketika hadir di Indonesia pada 2019 sebagai hasil joint-venture Ping An Good Doctor dan Grab, layanan Good Doctor menyatu sebagai telehealth yang terintegrasi dengan superapp Grab. Kemudian pada tahun 2021 Good Doctor hadir sebagai aplikasi terpisah dengan harapan bisa mengakselerasi pertumbuhan pengguna dan fitur-fitur di dalamnya.

Disampaikan dalam rilis pendanaan, bahwa kini Good Doctor sepenuhnya independen dengan porsi saham tertinggi dipegang oleh jajaran manajemen, sehingga membuat mereka lebih percaya diri untuk bisa bergerak lebih lincah dalam berinovasi.

“Hingga saat ini manajemen memiliki saham mayoritas sehingga bisa bergerak secara lebih independen dan agile. Dengan masuknya MDI, ini semakin menguatkan posisi Good Doctor, di mana mayoritas kepemilikan perusahaan dimiliki pemegang saham lokal Indonesia juga,” jelas Danu.

Terkait dengan masuknya MDI, Danu juga mengatakan bahwa akan banyak sinergi yang sedang direncanakan bersama grup konglomerasi telekomunikasi terbesar di Indonesia tersebut. Kerja sama tersebut akan menyentuh berbagai perusahaan yang berada di bawah Telkom. Bahkan disampaikan ada sejumlah kerja sama yang sudah berjalan, salah satunya dengan Admedika sebagai perusahaan TPA (Third Party Administrator) terbesar di Indonesia.

“Kami juga merupakan penyedia layanan kesehatan digital rawat jalan bagi beberapa perusahaan Telkom Group, seperti Telkom Akses, Metra, Telkomsel, dan beberapa [anak] perusahaan lain,” imbuh Danu.

CEO MDI Ventures Donald Wihardja mengatakan, “Kami mengakui kemajuan yang telah dicapai Good Doctor dan ketahanan model bisnis Good Doctor di Indonesia, khususnya di segmen korporasi. Dedikasi mereka dalam menyediakan layanan kesehatan yang mudah diakses dan berkualitas tinggi dengan memanfaatkan teknologi telah menarik perhatian kami. Kami melihat potensi pertumbuhan yang sangat besar dalam upaya ini.”

Rencana berikutnya

Danu percaya bahwa sektor healthtech di Indonesia sangat besar potensinya, karena jumlah populasi Indonesia yang besar dan penyebaran warganya di 13 ribu pulau lebih yang menjadi tantangan tersendiri. Kekurangan jumlah dokter, penyebaran dokter dan nakes yang belum merata, serta tekanan biaya kesehatan nasional yang terus meningkat di atas laju inflasi akan menjadi landasan penggunaan/adopsi teknologi yang lebih luas lagi ke depannya.

“Kami di Good Doctor siap membantu pemerintah Indonesia untuk memberikan layanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau untuk seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali,” ucap Danu.

Selain itu turut disampaikan bahwa ke depan Good Doctor juga tidak menutup kemungkinan untuk masuk ke segmen biotech, dengan melihat affordability dan scalability-nya. Danu dan tim melihat genomic, biotech dll akan sangat berguna untuk program preventif kesehatan ke depannya.

“Seperti yang disampaikan Pak Menkes, biaya kesehatan akan terus naik dan membebani APBN jika cara penanganan kesehatan kita hanya selalu dengan kuratif. Sehingga pendekatan preventif akan sangat dibutuhkan, dari yang paling simpel dahulu –diagnostik secara reguler, gaya hidup sehat, dan lainnya,” pungkas Danu.

Application Information Will Show Up Here

Good Doctor to Strengthen Its Position as a Holistic Health Ecosystem in Southeast Asia

This year marks Good Doctor’s third year operation in Indonesia. Since its debut in 2019, Good Doctor is said to record various significant achievements, including 14.2 million users with up to 40 times growth in the country.

In addition, Good Doctor has partnered with more than 45 insurance companies, 500 corporate partners and a major network of third-party administrators (TPA), more than 1,000 hospitals and laboratories, and 2,500 pharmacies throughout Indonesia. The rapid growth of Good Doctor’s network in Indonesia is said to have driven annual business growth up to 864%.

According to the Managing Director of Good Doctor Technology Indonesia, Danu Wicaksana, his team is exploring a Health-as-a-Service partnership, one of the focuses in the pipeline. “We don’t want to offer just a solution, but to create an ecosystem of various stakeholders including the government, laboratories, and clinics,” he told DailySocial.

Good Doctor Technology (GDT) is a joint venture of Ping An Healthcare and Technology (formerly Ping An Good Doctor), Grab, and SoftBank. Initially, Good Doctor was present in Indonesia as a feature called GrabHealth which was embedded into the Grab application in 2019. Then, this service officially became a separate platform in March 2021. Currently, Good Doctor is present in Indonesia and Thailand with regional operations based in Singapore.

In an exclusive interview with DailySocial, Regional CEO of Good Doctor Technology, Melvin Vu said that the platform is currently preparing to become a telehealth provider with a holistic ecosystem in Southeast Asia. The momentum of digital acceleration is fully utilized to develop various health services, therefore, they can accommodate a wider network.

What are Good Doctor’s next steps and strategies?

B2B and Health as a Service

Based on Dukcapil data as of the end of 2021, the number of health workers (nakes) in Indonesia was recorded at 567,910 people, or 0.21% of the total population of 273.87 million people. Meanwhile, health spending through digital platforms in Indonesia is predicted to be $973 million (around Rp. 14.4 trillion) in 2023.

With the uneven distribution of doctors, Melvin believes that telehealth can overcome challenges for a market like Indonesia with large population and geographical condition. He also believes that telehealth can balance the health ecosystem in Indonesia.

In order to stay at the forefront of the telehealth sector, Good Doctor has two main strategies. First, to reach more people by expanding services to the B2B segment. Second, offering Health-as-a-Service (HaaS) solutions by leveraging the strong support for technology, ecosystem, and partners of Good Doctor.

Technology leverage and localization

In the healthcare industry, including virtual health, technology allows wider exploration. Melvin said that Good Doctor has a strong position to execute it due to the technology and experience built by the parent company over the last seven years. For example, the implementation of AI to help doctors in Indonesia understand symptoms, provide diagnoses, and issue drug prescriptions for their patients.

In addition, Melvin said Good Doctor has another added value as it has an in-house doctor whose expertise can be used to carry out quality control services. One of them is developing clinical pathways. For your information, a clinical pathway is a guideline used to carry out evidence-based clinical actions in health care facilities. Every disease has different guidelines.

In general, health service demand is almost the same in all countries in the Southeast Asian region. In this case, Good Doctor developed a solution from Thailand, then customized it for the Indonesian market.

“We are fortunate that Ping An has been in this field for a long time, therefore, we can leverage its proven technology in China. Being a regional player allows us to understand healthcare issues in different markets, learning from each other. With our technology, everything is conceived on how we deliver healthcare virtually,” he said.

However, Melvin also highlighted the essence of being integrated with various stakeholders. Collaborations will enable Good Doctor to deliver a variety of services and create a holistic health ecosystem in the future, whether through hospitals, clinics, companies, or digital platforms.

“Leveraging technology is one thing, it is also important that we customize to localize. We can have different points of view with service integration. Furthermore, this allows us to minimize fault for every integration, every platform is different. Therefore, we can integrate fast. We can deliver a better customer journey to our clients,” he said.

Transition to endemic

Responding to Good Doctor’s move in welcoming endemic, Melvin said that telemedicine or other virtual health services will continue to play a significant role. He said, services for sick care will always be available, but preventive care is no less important.

“We want [Good Doctor] to transcend sick care services to preventive care in order to keep people healthy. We also want to help control and treat chronic diseases. Related products and services that will be developed, also allow them to be connected to IoT devices. Good Doctor has We are in a strong position to do this because we have the technology and understand how to deliver products,” he said.

Furthermore, Melvin ensures that his team will explore new expansions while focusing on working on existing markets in Singapore, Thailand, and Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Good Doctor Perkuat Posisi Sebagai Penyedia Ekosistem Kesehatan Holistik di Asia Tenggara

Tahun ini menandai tiga tahun Good Doctor melayani masyarakat Indonesia. Sejak beroperasi di 2019, Good Doctor menyebut telah mencatatkan berbagai pencapaian signifikan, yakni 14,2 juta pengguna dengan pertumbuhan hingga 40 kali lipat di Indonesia.

Selain itu, Good Doctor telah bermitra dengan lebih dari 45 perusahaan asuransi, 500 mitra korporasi dan jaringan administrator pihak ketiga (TPA) utama, lebih dari 1.000 rumah sakit dan laboratorium, serta 2.500 apotek di seluruh Indonesia. Pesatnya jaringan kemitraan Good Doctor di Indonesia disebut telah mendorong pertumbuhan bisnis secara tahunan hingga 864%.

Menurut Managing Director Good Doctor Technology Indonesia Danu Wicaksana, pihaknya juga sedang menjajaki kemitraan Health-as-a-Service, yakni salah satu agenda yang tengah mereka siapkan. “Kami tidak hanya ingin menawarkan solusi saja, tapi menciptakan ekosistem dari berbagai stakeholder, baik itu pemerintah, laboratorium, dan klinik,” ujarnya kepada DailySocial.

Good Doctor Technology (GDT) merupakan perusahaan patungan antara Ping An Healthcare and Technology (sebelumnya bernama Ping An Good Doctor), Grab, dan SoftBank. Awalnya, Good Doctor hadir di Indonesia sebagai fitur bernama GrabHealth yang di-embed ke dalam aplikasi Grab pada 2019. Kemudian, layanan ini resmi menjadi aplikasi terpisah pada Maret 2021. Saat ini, Good Doctor telah hadir di Indonesia dan Thailand dengan operasi regional berbasis di Singapura.

Dalam sesi wawancara eksklusif dengan DailySocial, Regional CEO Good Doctor Technology Melvin Vu menyebutkan tengah mempersiapkan diri untuk menjadi penyedia telehealth dengan ekosistem holistik di Asia Tenggara. Momentum akselerasi digital dimanfaatkan penuh untuk mengembangkan berbagai layanan kesehatan sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan lebih luas.

Bagaimana langkah dan strategi Good Doctor selanjutnya?

B2B dan Health-as-a-Service

Berdasarkan data Dukcapil per akhir 2021, jumlah tenaga kesehatan (nakes) di Indonesia tercatat sebanyak 567.910 orang atau 0,21% dari total penduduk yang mencapai 273,87 juta jiwa. Sementara, pengeluaran kesehatan melalui platform digital di Indonesia diprediksi sebesar $973 juta (sekitar Rp14,4 triliun) di 2023.

Dengan sebaran dokter yang tidak merata, Melvin menilai telehealth dapat mengatasi tantangan bagi pasar seperti Indonesia yang memiliki populasi dan kondisi geografis luas. Ia juga meyakini telehealth dapat menyeimbangkan ekosistem kesehatan di Indonesia.

Agar tetap terdepan di sektor telehealth, Good Doctor memiliki dua strategi utama. Pertama, menjangkau lebih banyak orang dengan memperluas layanan ke segmen B2B. Kedua, menawarkan solusi Health-as-a-Service (HaaS) dengan memanfaatkan dukungan kuat pada teknologi, ekosistem, hingga mitra yang dimiliki Good Doctor.

Leverage teknologi dan lokalisasi

Di industri kesehatan, termasuk virtual health, ada banyak yang dapat dieskplorasi dengan teknologi. Melvin menilai Good Doctor punya posisi kuat untuk mengeksekusinya berkat teknologi dan pengalaman yang dibangun oleh induk usaha selama tujuh tahun terakhir. Misalnya, implementasi AI untuk membantu para dokter di Indonesia memahami gejala, memberi diagnosis, dan membuat resep obat bagi pasiennya.

Selain itu, ungkap Melvin, Good Doctor juga memiliki nilai tambah lain karena memiliki dokter in-house yang ekspertisnya dapat dimanfaatkan untuk melakukan quality control layanan. Salah satunya adalah mengembangkan clinical pathway. Sekadar informasi, clinical pathway merupakan sebuah pedoman yang digunakan untuk melakukan tindakan klinis berbasis bukti pada fasilitas layanan kesehatan. Setiap penyakit punya pedoman berbeda.

Umumnya, kebutuhan layanan kesehatan hampir sama di semua negara di kawasan Asia Tenggara. Dalam kasus ini, Good Doctor membawa solusi yang ada di Thailand, kemudian dikustomisasi untuk pasar Indonesia.

“Kami beruntung Ping An telah lama di bidang ini sehingga kami dapat leverage teknologinya yang sudah terbukti di Tiongkok. Menjadi pemain regional juga membuat kami dapat memahami isu healthcare di pasar berbeda, learning each other. Dengan teknologi kami, everything is conceived on how we deliver healthcare virtually,” tuturnya.

Kendati demikian, Melvin juga menyoroti pentingnya untuk terintegrasi dengan berbagai stakeholder. Kolaborasi akan memampukan Good Doctor untuk menghadirkan berbagai layanan dan menciptakan ekosistem kesehatan holistik di masa depan, baik melalui rumah sakit, klinik, perusahaan, maupun platform digital.

Leveraging technology is one thing, but it is important that we customize to localize. Kami dapat memiliki berbagai sudut pandang ketika melakukan integrasi layanan. Dan ini memungkinkan kami untuk membuat kesalahan minim karena setiap integrasi, setiap platform itu berbeda. Jadi kami bisa integrasi dengan cepat. We can deliver a better customer journey to our clients,” jelasnya.

Transisi ke endemi

Menjawab langkah Good Doctor menyambut endemi, Melvin menilai telemedicine atau layanan kesehatan virtual lainnya akan tetap memainkan peran signifikan. Menurutnya, layanan bagi perawatan sakit (sick care) akan selalu ada, tetapi layanan pencegahan (preventive care) juga tak kalah penting.

“Kami ingin [Good Doctor] transcend layanan sick care ke preventive care agar menjaga orang tetap sehat. Kami juga ingin membantu mengontrol dan menangani penyakit kronis. Produk dan layanan terkait yang akan dikembangkan, juga memungkinkan agar dapat terhubung ke perangkat IoT. Good Doctor punya posisi kuat untuk melakukannya karena kami punya teknologi dan memahami cara deliver produk,” ujarnya.

Langkah selanjutnya, Melvin memastikan bahwa pihaknya akan menjajaki ekspansi baru sambil fokus menggarap pasar existing di Singapura, Thailand, dan Indonesia.

Pandemi dan Vaksinasi Akselerasi Adopsi Platform Good Doctor Technology Indonesia

Layanan Good Doctor Technology Indonesia (selanjutnya disebut Good Doctor) hadir pertama kali di akhir tahun 2019 sebagai bagian dari Grab. Sebagai joint venture Grab dan raksasa keuangan dan asuransi digital Tiongkok Ping An, Good Doctor, dengan branding GrabHealth, memberikan layanan on-demand untuk hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan, termasuk telekonsultasi dan pembelian dan pengantaran obat.

Di awal tahun ini, Good Doctor mulai tersedia secara independen, terpisah dari Grab. Perusahaan mengalami akselerasi adopsi yang pesat setelah menjadi mitra pemerintah untuk memberikan vaksinasi COVID-19 di berbagai kota.

Kepada DailySocial, Managing Director Good Doctor Technology Indonesia Danu Wicaksana menjelaskan, tahun ini masih ada sejumlah rencana yang ingin dilakukan Good Doctor, termasuk menyukseskan kegiatan vaksinasi, menghadirkan inovasi baru untuk pengguna, dan mempererat kerja sama dengan Grab.

Kolaborasi dan inovasi teknologi

Fitur aplikasi Good Doctor

Good Doctor tidak bisa menampik bahwa adopsi layanan mereka yang cepat sangat didukung Grab sebagai salah satu induk perusahaan.

“Dukungan dari Grab Indonesia [..], mulai dari layanan yang ada dalam GrabHealth dan juga kini dalam penyelenggaraan sentra vaksinasi sehingga layanan kami semakin dikenal oleh masyarakat luas,” kata Danu.

Di masa pandemi, layanan telekonsultasinya diklaim meningkat hingga sepuluh kali lipat menurut survei Nielsen tentang penggunaan telemedis di tahun 2020. Perusahaan menyebu telah mengakomodasi lebih dari 10 ribu telekonsultasi setiap harinya, sekitar 10%-20% di antaranya konsultasi dengan psikiater yang berhubungan dengan kesehatan jiwa.

“Layanan kami yaitu adanya konsultasi kesehatan, hadir di lebih dari 80 kota di Indonesia. Good Doctor [untuk layanan pengantaran obat] bekerja sama dengan lebih dari 2.000 jaringan apotek resmi dengan harga tetap artinya pengguna akan membayar dengan harga yang tertera di platform bukan dalam kisaran harga,” kata Danu.

Tahun ini Good Doctor mencoba memperluas akses kesehatan untuk masyarakat Indonesia yang lebih komprehensif. Tidak hanya kuratif tetapi juga preventif.

Perusahaan juga berkomitmen terus bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dalam menjalankan kebijakan kesehatan yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat, serta menghadirkan inovasi-inovasi baru melalui teknologi agar layanan kesehatan yang berkualitas semakin terjangkau oleh lebih banyak masyarakat Indonesia.

“Kehadiran Good Doctor baik di dalam aplikasi maupun GrabHealth, diharapkan dapat mempermudah akses masyarakat tehadap layanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas melalui teknologi digital,” kata Danu.

Kegiatan vaksinasi COVID-19

Kegiatan vaksinasi Covid-19

Good Doctor dan Grab menjadi salah satu mitra swasta Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang melaksanakan program vaksinasi secara walk-in dan drive through di lebih dari 8 kota dan membantu vaksinasi lebih dari 25.000 orang, yang terdiri dari lansia dan petugas publik yang memiliki interaksi sosial tinggi, seperti pekerja di bidang transportasi, pariwisata dan ekonomi kreatif, serta segmen target lain yang disasar Pemerintah.

Danu menyebut tantangan vaksinasi adalah rendahnya kemauan kaum lansia  untuk mengikuti program ini. Perusahaan mengupayakan strategi “jemput bola” agar mereka mau divaksinasi.

“Kami bersama dengan Grab, siap untuk terus mendukung pemerintah dalam menyukseskan program vaksinasi nasional ini, maupun untuk Vaksinasi Gotong Royong di masa yang akan datang [..] sehingga dapat memulihkan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia,” tutup Danu.

Application Information Will Show Up Here

Good Doctor Resmikan Aplikasi Terpisah dari Grab

Good Doctor Technology Indonesia, perusahaan patungan dari Ping An Good Doctor dan Grab, meresmikan aplikasi terpisah “Good Doctor” setelah satu tahun hadir di aplikasi Grab, mendukung infrastruktur digital untuk fitur GrabHealth. Kehadiran aplikasi sebenarnya sudah direncanakan perusahaan sejak awal pendiriannya dan telah digulirkan sejak Oktober tahun lalu sebelum acara peresmian.

Di sisi fitur dan layanan, sebenarnya tidak ada yang jauh berbeda dengan Good Doctor di Grab, seperti telekonsultasi, pembelian obat dan produk kesehatan, janji medis, dan artikel kesehatan. Fitur tersebut juga tidak jauh berbeda dengan para pemain sejenisnya.

Dalam konferensi pers virtual yang digelar kemarin (1/3), Managing Director Good Doctor Technology Indonesia Danu Wicaksana menjelaskan, dengan aplikasi terpisah diharapkan dapat mengakselerasi penggunaan aplikasi healthtech jauh lebih masif hingga ke pelosok daerah.

“Setelah kami amati, masih banyak masyarakat yang butuh akses telemedis baik itu melalui Grab ataupun di luar Grab. Untuk itu kami ingin jangkau hingga seluruh Indonesia, agar misi kami satu dokter untuk satu keluarga dapat tercapai,” papar Danu.

Mengutip dari survei Nielsen pada September 2020, disebutkan dari total populasi pengguna internet di Indonesia, diestimasi hanya 47% pengguna yang sudah menggunakan aplikasi telemedis, sementara sisanya belum. Ditambah, dari publikasi World Bank pada 25 Januari 2021 disebutkan konsultasi kesehatan melalui telepon dan saluran daring masih tergolong jarang di Indonesia.

Dari rumah tangga yang memerlukan pelayanan kesehatan, hanya 7% melakuan konsultasi melalui telepon atau saluran daring. Sebesar 40% lainnya tidak menggunakan karena tidak mengetahui ketersediaan atau tidak tahu cara menggunakannya. Sementara 17% sisanya memilih konsultasi secara fisik bertemu dengan dokter. Sisanya, tidak mengakses karena kendala teknologi atau akses internet yang terbatas, dan alasan lainnya.

Data-data tersebut menunjukkan masih besarnya ruang bagi aplikasi telemedis untuk terus tumbuh, turut serta dalam meningkatkan akses kesehatan yang berkualitas dan terjangkau.

Danu menjelaskan, Good Doctor memosisikan diri sebagai aplikasi untuk semua segmen kebutuhan masyarakat, mulai dari orang tua, ibu hamil & menyusui, skin and beauty enthusiast, dan anggota masyarakat dengan penyakit kronis, dengan beragam fitur pendukungnya.

Semenjak pandemi, layanan Good Doctor mengalami lonjakan bisnis antara 8 sampai 10 kali lipat yang dikontribusikan terbesar dari layanan telekonsultasi. Perusahaan mengakomodasi lebih dari 10 ribu telekonsultasi setiap harinya, sekitar 10%-20% di antaranya konsultasi dengan psikiater yang berhubungan dengan kesehatan jiwa.

Sejak hadir pada Desember 2019, kini Good Doctor telah bermitra dengan ribuan dokter yang terdiri dari 26 spesialisasi, lebih dari 1 ribu mitra rumah sakit, klinik dan laboratorium, serta 2.000 apotek.

Dalam upaya meningkatkan penetrasi, bersama Grab, perusahaan bermitra dengan pemerintah untuk menjalankan program vaksinasi secara drive-thru. Langkah pertama hadir di Bali, kemudian perluas hingga ke Bali dan Tangerang Selatan mulai bulan untuk ini.

Application Information Will Show Up Here

LinkAja Introduces New CFO and Plans for Series B Funding in 2020

The e-money platform LinkAja aims for doubling its business growth by next year. As the CEO, Danu Wicaksana said, the company has now acquired 40 million registered users per November 2019.

“We’ve seen the e-money industry is getting crowded next year. We’ll be more expansive, especially with the current achievement,” he said at the launching of LinkAja Outlook 2020, Tue (2/17).

In order to accelerate expansion, Wicaksana added, the company is to add more talents, from only 80 people in the beginning until now become 400 people on board, 250 of them are engineers.

In terms of service, LinkAja’s Chief Marketing Officer, Edward Kilian said there will be more “use case” development in 2020, including features/services for consumers and merchants. The latest one to be launched is LinkAja Syariah.

“The financial service must be around the wealth, loan, and protection product. Our use case development will be around that too and focused on transportation. For us, building a complete ecosystem is very important,” Kilian said.

LinkAja is to increase the number of cash-in corners which is currently reached 1 million. For the local ecosystem, the company will enter the 35 clusters in micro and ultra micro segment.

Post the commercial as an e-payment product in February, LinkAja is moving faster with the maneuver as a solution platform, not just an option.

Since its debut, LinkAja is targeting “mass and aspirant” market which is defined as the underbanked and unbanked segment looking at e-money as a solution for daily needs.

Some initiative use case as LinkAja’s main target is products related to daily usage, such as transportation, bill payment, and gas shopping.

In terms of product, LinkAja has secured 200 payment transactions for telco products, 400 bill payment transactions, 3,000 transactions for donation and religious building, 250 thousand offline merchants, 380 e-commerce partners, and also an option at 2,500 gas station.

In the transportation line, LinkAja is now available in Gojek, Grab, Bluebird, Commuter Line, Damri, KAI Access, soon to be available in MRT Jakarta.

Based on Fintech Report 2019, Gopay has been the most used digital wallet with 83.3%, followed by Ovo (81.4%), DANA (68.2%), and LinkAja (53%).

The new CFO and fundraising plan

In the Outlook 2020 disclosure, Ikhsan Ramdan as the new Chief Financial Officer has ensured that Series B Funding is to be held next year.

“We’re still in the growth stage, and need funding to expand. Direction from our shareholder is to be open with private partners. It can be through partnership or capital injection,” he added.

Mentioning the strategy to burn money which also been adopted by some leading players, he emphasized on the company’s strategy that is going to be focused on the vision and mission, not the valuation for becoming unicorn,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

LinkAja Perkenalkan CFO Baru dan Siapkan Pendanaan Seri B di Tahun 2020

Platform uang elektronik LinkAja akan mengejar pertumbuhan bisnis hingga dua kali lipat tahun depan. Sebagaimana disampaikan CEO Danu Wicaksana, perusahaan kini sudah mengantongi 40 juta pengguna terdaftar per November 2019.

“Kami lihat industri e-money akan semakin marak tahun depan. Kami akan lebih ekspansif, terutama dengan pencapaian saat ini,” ujarnya saat membuka acara LinkAja Outlook 2020, Selasa (17/2).

Untuk mempercepat upaya ekspansi, ungkap Danu, perusahaan bahkan menambah jumlah SDM yang ada, dari 80 orang dari awal didirikan hingga sekarang mencapai 400 orang, dengan 250 di antaranya adalah engineer.

Sementara dari sisi layanan, Chief Marketing Officer LinkAja Edward Kilian menyebutkan akan ada pengembangan use case lebih banyak di 2020, termasuk fitur/layanan untuk consumer dan merchant. Salah satu yang akan diperkenalkan dalam waktu dekat adalah layanan LinkAja Syariah.

”Layanan finansial pasti berkutat pada produk wealth, loan, dan protection. Pengembangan use case kami akan mengikuti itu dan fokus di transportasi. Bagi kami, membangun ekosistem lengkap itu sangat penting,” ucap Edward.

LinkAja akan meningkatkan jumlah titik cash-in dari saat ini yang mencapai 1 juta titik. Untuk ekosistem lokal, perusahaan akan masuk ke 35 kluster di segmen mikro dan ultra mikro.

Pasca komersial sebagai produk pembayaran elektronik pada Februari lalu, LinkAja bergegas memulai manuver untuk menjadikan platform-nya sebagai solusi bukan sebatas opsi.

Sejak awal, LinkAja membidik pasar “mass and aspirant” yang didefinisikan sebagai segmen underbanked dan unbanked yang melihat e-money sebagai solusi untuk kebutuhan sehari-hari.

Sejumlah inisiatif use case yang menjadi sasaran utama LinkAja adalah produk yang penggunaannya berkaitan dalam kehidupan sehari-sehari, seperti transportasi, pembayaran tagihan, dan pembelian bensin.

Per November 2019, pertumbuhan Gross Transaction Value (GTV) atau nilai transaksi yang berputar mencapai 4,8 kali per bulan dibandingkan pada awal beroperasi di Februari 2019. Kemudian, pengguna aktif bulanan tumbuh mencapai 5,1 kali dan transaksi bulanan berkisar 4,7 kali dibanding Februari 2019.

Dari kategori produk, LinkAja telah mengantongi 200 transaksi pembayaran produk telekomunikasi, 400 transaksi pembayaran tagihan, 3.000 transaksi untuk donasi dan rumah ibadah, 250 ribu merchant offline, 380 mitra e-commerce, dan tersedia sebagai opsi pembayaran di 2.500 SPBU.

Dari lini tranportasi, saat ini LinkAja sudah bisa dipakai di Gojek, Grab, Bluebird, Commuter Line, Damri, KAI Access, dan menyusul segera di MRT Jakarta.

Berdasarkan Fintech Report 2019, saat ini GoPay menjadi digital wallet paling banyak dipakai sebesar 83,3 persen, diikuti OVO (81,4%), DANA (68,2%), dan LinkAja (53%).

CFO baru dan rencana penggalangan dana

Pada paparan Outlook 2020, Ikhsan Ramdan yang didapuk sebagai Chief Financial Officer memastikan rencana penggalangan pendanaan Seri B yang akan dilakukan tahun depan.

“Kami masih tahap pertumbuhan, butuh modal untuk ekspansi. Arahan dari shareholder kami adalah membuka diri ke pihak swasta. Caranya bisa partnership atau injeksi capital,” ungkapnya.

Disinggung soal strategi bakar uang yang banyak dilakukan oleh pemain dominan, ia menegaskan bahwa strategi yang akan dijalankan perusahaan akan tetap mengacu pada visi dan misi perusahaan, yakni meningkatkan inklusi finansial.

Sementara Edward justru menilai bahwa LinkAja sebagai produk pembayaran memiliki posisi yang menguntungkan karena lebih netral. Ia mencontohkan bahwa LinkAja tersedia juga sebagai opsi pembayaran Gojek.

Kami bisa masuk lintas use case. Jadi kami tidak perlu bakar uang lebih banyak di posisi kami saat ini. Goal kami adalah bagaimana mencapai visi-misi perusahaan, bukan valuasi untuk menjadi unicorn,” tambahnya.

LinkAja Segera Rilis Fitur PayLater, Gandeng Beberapa Pemain Fintech

LinkAja turut masuk ke ranah kartu kredit digital dengan merilis fitur PayLater bersama Kredivo sebagai mitra perdana. Perusahaan akan menggaet pemain lainnya sebagai mitra agar pengguna punya lebih banyak pilihan dalam bertransaksi.

CEO LinkAja Danu Wicaksana saaat ini belum bersedia untuk mengonfirmasi lebih lanjut terkait mitra lain selain Kredivo. Menurutnya, saat ini mereka masih dalam proses integrasi sistem yang masih memakan waktu. “Ditunggu ya update-nya lagi. Butuh waktu integrasi,” ujarnya kepada DailySocial, Selasa (3/12).

Pertimbangan untuk menggaet lebih dari satu pemain agar konsumen semakin diuntungkan karena punya banyak pilihan provider. “LinkAja ingin memberikan berbagai pilihan terbaik untuk penggunanya.”

Danu mengatakan peresmian kerja sama antar kedua perusahaan akan dilakukan bulan ini. Kredivo sudah menjadi opsi pembayaran di aplikasi LinkAja, namun belum bisa digunakan.

Selain Kredivo, LinkAja bakal memungkinkan opsi menambah saldo secara langsung dari kartu debit bank pelat merah, yaitu BTN, BNI, Bank Mandiri, dan BRI.

Dikonfirmasi secara terpisah, Co-Founder & CTO Kredivo Alie Tan belum bisa memberi info detail seperti apa pengalaman yang ditawarkan Kredivo di dalam aplikasi LinkAja.

Sebelumnya dia menuturkan selain merilis produk paylater, perusahaan meningkatkan pengalaman konsumen baru dengan permudah akuisisi pengguna baru tanpa mengunduh aplikasi buat registrasinya. Caranya dengan mendaftar langsung dari aplikasi merchant, misalnya dari situs e-commerce yang sudah bekerja sama.

“Nanti di aplikasi e-commerce-nya bisa langsung daftar Kredivo, proses approval-nya di kita secara real time,” tuturnya.

Dengan penguatan sistem back-end, diklaim proses registrasi di Kredivo hanya membutuhkan waktu satu menit. Pengguna cukup menggunggah KTP dan menghubungkan salah satu akun e-commerce ke Kredivo untuk proses analisis kreditnya.

Hasil Fintech Report 2019

Riset DailySocial menunjukkan fitur pembayaran dengan mencicil tanpa kartu atau paylater yang paling banyak digunakan sepanjang tahun ini adalah milik OVO Paylater. Sebanyak 51,9% responden dari 347 orang menyatakan memakai layanan tersebut. Produk populer berikutnya adalah GoPay PayLater dan Shopee PayLater.

Di sektor multifinance, khususnya yang beroperasi secara digital, Kredivo menjadi satu dari dua platform terpopuler untuk pengenalan dan penggunaan.

Gambaran hasil riset ini memperlihatkan bahwa PayLater menjadi salah satu tren yang menarik perhatian milenial. Wajar jika banyak pemain melirik pengembangan fitur ini karena kemudahan proses untuk mendapatkan limit kredit.

Application Information Will Show Up Here

LinkAja Mulai Uji Coba Fitur Syariah

LinkAja kini mulai uji coba fitur LinkAja Syariah untuk sebagian penggunanya. Fitur ini terdapat di dalam aplikasi LinkAja, sehingga tidak menjadi aplikasi terpisah.

“LinkAja Syariah belum kami luncurkan, yang sekarang masih sedang testing,” terang CEO LinkAja Danu Wicaksana kepada DailySocial.

Danu menjelaskan, dalam fitur teranyarnya ini ada perbedaan perlakuan untuk penyimpanan dana (floating fund) yang di-top up pengguna menggunakan bank syariah yang berafiliasi dengan bank BUKU IV. Akad transaksi, produk, layanan, dan promosi sudah disesuaikan dengan ketentuan syariah.

Dipastikan seluruh merchant LinkAja bisa menerima pembayaran dengan LinkAja Syariah. Diskon dan cashback yang diberikan ke pengguna sepenuhnya ditanggung merchant, bukan LinkAja.

Oleh karena itu, dia memastikan, dari segi pengalaman konsumen tidak ada yang berbeda. Seluruh proses tersebut terletak di back end sistem untuk pengguna yang mengaktifkan fitur ini.

Tampilan LinkAja Syariah
Tampilan LinkAja Syariah

LinkAja juga menyediakan opsi untuk menonaktifkannya atau mengaktifkan kembali lewat tautan khusus. “Akan kembali ke normal, bila pengguna menonaktifkan fitur syariah.”

Untuk mengaktifkan fitur ini, pengguna bisa membuka tab “Akun”. Lalu buka bagian LinkAja Syariah, akan ditemukan tombol “Aktifkan”. Tidak perlu waktu lama, pada saat itu seluruh sistem LinkAja dari pengguna akan beralih sepenuhnya ke syariah.

Berencana galang dana eksternal

Dikutip dari Katadata, Danu menyebut akan menyelesaikan pendanaan Seri A pada akhir tahun ini. Pada tahun selanjutnya akan menggalang seri berikutnya dengan membuka opsi melibatkan investor eksternal.

“Belum tahu akan dari sektor mana saja, karena belum mulai,” kata Danu.

Sebelumnya, ia sempat mengatakan bahwa perusahaan tidak pernah menutup pintu bagi swasta yang ingin menjadi investor. “Kami terbuka dengan siapapun, kami tidak pernah bilang tidak mungkin swasta (bisa masuk). Kenapa tidak?,” katanya di sela-sela Perbanas Indonesia Banking Expo 2019, Rabu (6/11).

Saat ini, ada sekitar delapan BUMN yang tertarik berpartisipasi dalam pendanaan Seri A yang tengah digalang, termasuk Garuda Indonesia, Angkasa Pura I & II, Pegadaian, Taspen, Jasa Marga, Kereta Api Indonesia, dan Perum Damri. Seluruh calon ini akan masuk melalui penerbitan saham baru.

Saat ini 25% saham LinkAja dikuasai Telkomsel. Bank Mandiri, BNI, BRI masing-masing memegang 20%. Lalu BTN dan Pertamina masing-masing 7%, dan Asuransi Jiwasraya 1%.

Application Information Will Show Up Here