Biznet Gio Perkenalkan NEO WEB, Layanan Komputasi Awan untuk UMKM

Biznet Gio, anak usaha dari Biznet yang bergerak di bidang penyediaan layanan komputasi awan merilis NEO WEB, sebuah platform infrastruktur situs web untuk menjangkau pelaku usaha UMKM dan individu yang ingin bertransformasi digital. Potensi yang masih luas, terlebih momentum yang pas di tengah pandemi, memutuskan Biznet Gio untuk terjun ke segmen ini.

Dalam konferensi pers virtual yang digelar hari ini (31/3), CEO Biznet Gio Dondy Bappedyanto menerangkan, NEO WEB adalah infrastruktur terintegrasi bagi UMKM dengan berbagai layanan yang lengkap dalam sebuah ekosistem. Selain performa dan kecepatan, diperlukan rasa aman pada diri pelanggan saat meletakkan datanya pada Biznet Gio.

“Kita lihat jumlah UMKM di Indonesia ada banyak sekali, kalau ingin melakukan transformasi digital sendiri biayanya akan besar sekali. Maka dari itu kami ingin bantu mereka percepat transformasi digital, apalagi sekarang masih pandemi jadi sudah seharusnya go digital,” kata Dondy.

NEO WEB sudah diluncurkan sejak Februari 2021, memiliki ragam fitur seperti NEO Web Hosting, NEO Dedicated Hosting, NEO Domain, NEO DNS, hingga NEO Web Space yang merupakan layanan pembuatan situs secara mandiri dengan model Graphical User Interface dan Drag & Drop. Harga yang dibanderol mulai dari Rp10 ribu per tahun untuk layanan NEO Domain dan Rp20 ribu per bulan untuk NEO Web Hosting.

Walau harga terjangkau, pada layanan NEO Web Hosting, pelanggan sudah mendapatkan nama domain, kapasitas yang besar untuk meletakkan situs web, hingga sertifikat Secure Socket Layer (SSL). Untuk kebutuhan yang lebih besar, pelanggan dapat upgrade ke layanan NEO Dedicated Hosting atau Cloud Server yang dimiliki Biznet Gio dengan merek NEO.

“Target kita ingin menjangkau UMKM yang butuh infrastruktur digital yang berkualitas dengan harga terjangkau karena banyak dari mereka yang ingin transformasi digital tapi bingung caranya bagaimana dan pakai layanan apa,” tambah VP Sales and Marketing Biznet Gio Cornelius Hertadi.

Diharapkan NEO WEB pada tahun ini dapat menjangkau pelanggan baru antara 80 ribu sampai 100 ribu pelaku UMKM, dari posisi saat ini 20 ribu UMKM.

Resmikan pusat data ketiga

Dalam waktu bersamaan, perusahaan juga mengumumkan kehadiran pusat data ketiga yang berlokasi di Banten untuk memenuhi kebutuhan pelanggan yang memerlukan fitur ketersediaan (availability) yang tinggi serta penyimpanan data pada lebih dari satu pusat data. Pusat data pertama dan kedua berada di Jakarta (MidPlaza) dan Jawa Barat (Technovillage, Cimanggis).

“Pengembangan pada pusat data ketiga yang terletak di Banten merupakan bentuk komitmen untuk menjadi pemain komputasi awan lokal yang dapat bersaing dengan pemain-pemain luar yang mulai berdatangan di Indonesia, dengan terus menghadirkan layanan dan fitur yang sesuai dengan standar industri,” tutur Dondy.

Keunggulan lain yang diusung Biznet Gio adalah konektivitas antar pusat data melalui jaringan tertutup (private network) sebesar 10 Gbps tanpa melewati jaringan internet, yang diberikan tanpa biaya tambahan ataupun instalasi tambahan kepada pelanggan.

Dari sisi lokasi, karena terletak di provinsi yang berbeda, pelanggan dapat membuat lingkungan produksi (production environment) pada satu pusat data dan lingkungan cadangan (backup environment) atau Disaster Recovery Site pada pusat data lain dari layanan Biznet Gio.

Sementara dari sisi keamanan, perusahaan baru mengantongi sertifikasi SOC Type II pada awal bulan ini yang menyatakan bahwa Biznet Gio telah menerapkan aspek trust service service categories untuk privasi dan keamanan pelanggan pada layanan komputasi yang ditawarkan. Sertifikasi ini melengkapi yang sebelumnya yakni ISO 27001 dan PCI-DSS.

Dondy menuturkan akan ada pusat data berikutnya yang sedang disiapkan perusahaan untuk menjangkau lebih banyak pelanggan. “Kami juga sedang mempersiapkan sertifikasi keamanan data tambahan lainnya.”

Saat ini perusahaan dan Biznet Group yang lain, tengah mempersiapkan Edge Computing untuk pemerataan akses konten digital di beberapa kota di Indonesia, yang diharapkan rampung pada akhir 2021.

“Dengan meningkatnya kebutuhan akses konten digital yang terjadi di seluruh daerah di Indonesia, kami ingin mendekatkan konten-konten tersebut kepada para pengguna dengan layanan Edge Computing yang sedang kami kembangkan saat ini. Harapannya pengguna internet di daerah akan merasakan pengalaman akses yang sama dengan pengguna yang ada di Jakarta,” tutup Dondy.

Flou Jadi Diversifikasi Produk Komputasi Awan TelkomSigma, Rambah Segmen UKM

Awal Desember 2020, TelkomSigma memperkenalkan produk cloud baru bernama “Flou”. Solusi ini disebut sebagai pendekatan baru perusahaan untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku usaha di era digital yang cepat berubah. Adapun, solusi ini sudah dapat digunakan pelanggan sejak pertengahan 2020.

Dalam acara peluncurannya, Direktur Business & Cloud TelkomSigma Tanto Suratno mengatakan bahwa pasar cloud semakin meningkat setiap tahunnya. Di 2020 saja, diestimasi berada di kisaran Rp11 triliun dengan pertumbuhan yang menjanjikan. Ia mengestimasi pasar cloud Indonesia meroket hingga Rp24 triliun di 2021.

Menurutnya, solusi cloud hadir untuk mendisrupsi dan mengakselerasi transformasi digital. Namun, dengan situasi pandemi saat ini, pelaku usaha dituntut untuk beradaptasi cepat terhadap perubahan. “Ke depan, kita bakal melihat ada gelombang disrupsi yang lebih besar dan dahsyat, yakni cloud native computing,” papar Tanto.

Sementara, Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi BRI Indra Utoyo yang hadir dalam kesempatan sama menilai bahwa kehadiran Flou menjadi momentum tepat di situasi pandemi ini. “Covid-19 menjadi semacam chief transformation officer yang memaksa kita semua untuk bertransformasi. Esensi digital itu adalah bagaimana bisa create value. Makanya, kita harus beradaptasi dengan cara baru karena pasar dan perilaku konsumen cepat berubah,” ujarnya.

Mendorong konsep “cloud native mindset

Ada beberapa elemen yang difokuskan pada Flou, antara lain customer experience, reliability, dan kecepatan. Flou mengutamakan pengalaman yang seamless dengan sistem pembayaran yang fleksibel (pay-as-you go dan subscription). Kemudian, Flou juga menghadirkan kecepatan lewat agile deployment (API ready) dengan performa tinggi untuk segala sektor industri.

Semua elemen tersebut diprioritaskan untuk mendorong konsep cloud native mindset sebagaimana disebutkan Tanto di atas. Menurutnya, struktur traditional monolithic apps yang banyak digunakan pelaku usaha dinilai tidak mampu lagi mengejar dinamika pasar yang cepat berubah. Artinya, konsep ini dapat menghambat upaya untuk bertransformasi digital.

“Lewat Flou, kami ingin bawa konsep cloud native apps untuk memunculkan paradigma baru dan memberikan agility dalam mendukung pembuatan aplikasi, inovasi, dan ide secara cepat. Saat ini semakin banyak generasi terkini yang lahir di era yang akrab atau di mana resource-nya ada di cloud. Mereka ini yang disebut cloud native mindset,” papar Tanto.

Ia menilai mindset tersebut dapat dibangkitkan melalui fitur dan tools yang disediakan Flou. Salah satunya adalah merealisasikan ide menjadi MVP lebih cepat. “Kalaupun ide ini masuk produksi, elasticity bisa lebih besar. Pada tahap ini, pengguna tidak perlu memikirkan bagaimana scale dan resiliency-nya,” tambahnya.

Kendati demikian, Tanto menegaskan bahwa Flou tidak hanya mengakomodasi kebutuhan segmen pasar yang sudah terbiasa menggunakan cloud, tetapi juga pengguna baru secara seamless, baik UKM dan perusahaan berskala besar.

Sementara dari sisi harga, ia mengklaim bahwa solusi Flou mampu meminimalkan biaya operasional. Ia menyadari bahwa umumnya meningkatnya basis pengguna UKM dapat berdampak terhadap kenaikan biaya sewa cloud dan connevtivity.

“Kami memahami bahwa dinamika pasar yang cepat berubah menjadi tantangan bagi pelaku usaha. Karena mereka dituntut untuk agile, kami mengatur pricing sedemikian rupa supaya pelaku usaha dapat menjaga biaya operasional dan tetap tumbuh menikmati profit. Dengan begitu, mereka bisa mengembangkan bisnis dan inovasi ke depan,” tambahnya.

Di segmen ini sebenarnya sudah ada banyak pemain lokal yang jajakan produk infrastruktur cloud. Sebut saja Biznet Gio, Cloud Kilat, Indonesian Cloud, dan masih banyak lagi. Beberapa juga menyajikan varian produk cloud seperti VPS bersamaan dengan solusi hosting konvensional yang masih banyak dipakai usaha kecil karena biaya yang relatif lebih rendah.

Membidik pangsa 3 besar di Asia Tenggara

Saat ini, TelkomSigma mengklaim telah menguasai sebesar 40 persen pangsa pasar data center dengan total akumulasi seluas 11 ribu meter persegi, kapasitas penyimpanan hingga 41 ribu Terabyte (TB), dan lokasi tersebar di sebanyak 16 titik di seluruh Indonesia. Telkom menjamin cakupan Flou yang lebih luas dengan dukungan fasilitas data center dan konektivitas yang dimilikinya.

Dalam kesempatan tersebut, Director of Enterprise & Business Service TelkomSigma Edi Witjara mengatakan bahwa pencapaian tersebut sebetulnya menjadi tantangan bagi perusahaan untuk mempertahankan posisinya sebagai penyedia solusi ICT di segmen enterprise.

Selain itu, pengembangan Flou dinilai harus dapat menjadi pemacu untuk melahirkan peluang dan model bisnis baru. Menurut catatannya, ungkap Edi, segmen korporasi menyumbang lebih dari 50 persen terhadap pendapatan perusahaan, diikuti segmen pemerintahan (23%), dan SME (21%).

“Cita-cita TelkomSigma dalam 3-5 tahun mendatang adalah menjadi top 3 di Asia Tenggara. Kami yakin peluang ini dapat diupayakan, salah satunya lewat kehadiran Flou. Kami harap, Flou dapat mengakomodasi kebutuhan pelaku usaha di era sekarang yang menginginkan customer experience, realiability, dan agility yang cepat.”

Alibaba Cloud Indonesia’s Main Strategy to Build up Partnership and Local Talents

Alibaba Cloud has planted 21 data centers in various countries worldwide. Two of those located in Indonesia launched in 2018 and 2019. Alibaba Cloud Indonesia Country Manager Leon Chen said, the company is currently in the process of making its third data center in Indonesia, it is to launch in early 2021.

“We see great potential, and Indonesia alone is a strategic market for Alibaba Cloud. That is also the reason why Alibaba Cloud is the first global cloud provider to deliver data centers in Indonesia,” he said.

Partnership strategy

In addition to Alibaba Cloud, DailySocial reported several other large companies have planned investments for the development of local data centers. There are Microsoft to pour funds up to US$1 billion, Amazon with US$2.5 billion, and Google with an undisclosed value (they recently launched the cloud region).

While local providers play an important role in the market share – such as Biznet Gio, Telkom Sigma, and others. In addition to technology solutions, the two brands mentioned are affiliated with other companies engaged in telecommunications and digital.

In his business strategy narrative, Leon said his team has a synergy approach in terms of market penetration. They collaborate with local partners to deliver expertise and technology to strengthen local companies. Also, various training and certification programs to become a ‘talent pool’ strategy, in order to increase the availability of local experts.

“To date, Alibaba Cloud has partnered up with around 100 locals in our ecosystem […] Earlier this year, we also announced training programs initiated with universities, incubators, and training institutions in Indonesia.”

Believe in local talents

In the interview, Max Meiden Dasuki also participated as Alibaba Cloud’s Lead Solutions Architect. The man who graduated from Surabaya Technical College took a role as a consultant for customers from startups and corporations.

“We educate customers on cloud adoption. We work with local partners to provide customized solutions to improve the efficiency of their business operations and overcome their challenges more cost-effectively,” Max said.

Furthermore, he also mentioned an example. One of the customers has a need for a relational database management system solution, they find many challenges using traditional databases. After in-depth discussion and analysis, Max and the team usually provide technical advice, in that case maybe he would suggest implementing a cloud-native database like PolarDB.

“We help them to migrate from traditional databases to PolarDB. So they can manage databases without having to worry about performance since they can measure computing resources quickly and efficiently,” Max explained.

In addition, Max also said that 80% of Alibaba Cloud in Indonesia are local staff. While 20% are female.

Target in 2020

Alibaba Cloud Indonesia has planned to launch 200 training programs this year. Targeting 20 thousand participants, it is expected that 50% of them can continue to the certification stage. In addition, the company plans to recruit 5 thousand new employees globally by the end of the year, including its business units in Indonesia.

“We have achieved three-digit business growth for three years in a row […] supporting customers from various sectors, especially e-commerce, finance, media, education; for example Adira Finance, MNC, JNE, Kopi Kenangan, Investree, Akulaku, and others,” Leon said.

Along with the construction of its third data center, Alibaba Cloud is about to set up its first ‘data scrubbing center’ in Indonesia. The need for data intelligence services is a company consideration in the release of the system – in addition to complying with regulations that require the management of strategic data in local data centers.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Penguatan Mitra dan Talenta Lokal Jadi Strategi Utama Alibaba Cloud Indonesia

Alibaba Cloud saat ini memiliki 21 pusat data (data center) yang tersebar di berbagai negara di dunia. Dua di antaranya berada di Indonesia, diresmikan pada tahun 2018 dan 2019 yang lalu. Country Manager Alibaba Cloud Indonesia Leon Chen bahkan mengatakan, perusahaan saat ini sedang dalam proses pembuatan pusat data ketiganya di Indonesia, ditargetkan rampung awal tahun 2021.

“Kami melihat potensi yang besar di sini; dan Indonesia sendiri merupakan pasar strategis untuk Alibaba Cloud. Hal tersebut pula yang menjadi alasan mengapa Alibaba Cloud menjadi penyedia cloud global pertama yang menghadirkan data center di Indonesia,” ujarnya.

Strategi kemitraan

Tidak hanya Alibaba Cloud, DailySocial mencatat beberapa perusahaan besar lainnya sudah canangkan investasi untuk pengembangan pusat data lokal. Ada Microsoft yang akan gelontorkan dana hingga US$1 miliar, Amazon dengan US$2,5 miliar, dan Google dengan nominal yang tidak disebutkan pasti (belum lama ini mereka rilis cloud region).

Sementara penyedia lokal juga punya andil besar dalam menggarap pangsa pasar – sebut saja nama-nama seperti Biznet Gio, Telkom Sigma, dan lain-lain. Selain solusi teknologi, dua brand yang disebutkan tersebut terafiliasi dengan perusahaan lain yang bergerak di bidang telekomunikasi dan digital.

Menceritakan strategi bisnisnya, Leon mengatakan, untuk penetrasi pasar pihaknya memiliki pendekatan sinergi. Mereka menjalin kerja sama dengan mitra lokal untuk membawa keahlian dan teknologi guna memperkuat perusahaan-perusahaan lokal. Selain itu, berbagai program pelatihan dan sertifikasi untuk menjadi strategi ‘talent pool’, guna meningkatkan ketersediaan tenaga ahli lokal.

“Saat ini, Alibaba Cloud memiliki sekitar 100 mitra lokal pada ekosistem kami […] Awal tahun ini, kami juga mengumumkan program-program pelatihan yang kami inisiasi bersama universitas, inkubator, dan institusi pelatihan di Indonesia.”

Mempercayakan talenta lokal

Dalam wawancara turut hadir Max Meiden Dasuki selaku Lead Solutions Architect Alibaba Cloud. Pria lulusan Sekolah Tinggi Teknik Surabaya tersebut berperan sebagai konsultan bagi para pelanggan dari kalangan startup dan korporasi.

“Kami mengedukasi pelanggan tentang bagaimana mengadopsi cloud. Kami bekerja bersama mitra lokal untuk menyediakan solusi khusus guna meningkatkan efisiensi operasi bisnis mereka dan mengatasi tantangan mereka dengan biaya yang lebih efektif,” ujar Max.

Lebih detail ia mencontohkan mengenai tugasnya. Misalnya salah satu pelanggan mempunyai kebutuhan solusi sistem manajemen basis data relasional, mereka menemukan banyak tantangan menggunakan basis data tradisional. Setelah diskusi dan analisis yang mendalam, Max dan tim biasanya memberikan saran teknis, dalam kasus tadi mungkin ia akan menyarankan penerapan cloud-native database seperti PolarDB.

“Kami membantu mereka untuk bermigrasi dari database tradisional ke PolarDB. Sehingga mereka dapat mengelola database tanpa perlu khawatir dengan kinerja mengingat mereka dapat mengukur sumber daya komputasi dengan cepat dan efisien,” terang Max.

Selain itu Max turut menyampaikan, tim Alibaba Cloud di Indonesia 80% adalah staf lokal. Sementara 20% merupakan staf perempuan.

Target tahun ini

Alibaba Cloud Indonesia telah berkomitmen mengadakan 200 pelatihan tahun ini. Menargetkan 20 ribu peserta, diharapkan 50%-nya bisa melanjutkan sampai ke tahap sertifikasi. Di samping itu, perusahaan merencanakan perekrutan 5 ribu pegawai baru secara global sampai akhir tahun, termasuk untuk unit bisnisnya di Indonesia.

“Kami telah mencapai tiga digit pertumbuhan bisnis selama tiga tahun berturut-turut […] mendukung pelanggan dari berbagai sektor, terutama e-commerce, keuangan, media, pendidikan; contohnya Adira Finance, MNC, JNE, Kopi Kenangan, Investree, Akulaku, dan lain-lain” kata Leon.

Bersamaan dengan pembangunan pusat data ketiganya, Alibaba Cloud juga tentang menyiapkan ‘data scrubbing center’ pertamanya di Indonesia. Kebutuhan akan layanan intelegensi data menjadi konsiderasi perusahaan dalam perilisan sistem tersebut – di samping agar comply dengan regulasi yang mengharuskan pengelolaan data-data strategis di pusat data lokal.

Bisnis Pusat Data: Karena Semua Bisa Buat Awan

Pusat data punya peran esensial buat perusahaan, khususnya yang bergerak di teknologi. Karena Indonesia digadang-gadang sebagai negara ekonomi digital terpesat di Asia Tenggara, hal ini membuat perusahaan teknologi global ramai-ramai mengucurkan investasi untuk mendirikan bisnis pusat data.

Nominal dana yang mereka keluarkan tak tanggung-tanggung besarnya. Kabar teranyar datang dari Microsoft kabarnya siap menggelontorkan dana hingga $1 miliar untuk membangun data center. Kompetitornya, Amazon menyiapkan $2,5 miliar (membangun tiga pusat data akan beroperasi awal 2022) dan Google dalam waktu dekat akan merilis pusat di Indonesia, setelah diumumkan pada 2018.

Alibaba Cloud sudah lebih dahulu mendirikan pusat data pada 2018, delapan bulan kemudian merilis lokasi keduanya.

Kenapa mereka semua gencar bangun pusat data di Indonesia? Jawabannya secara praktis untuk memenuhi kebutuhan bisnis. Dari sisi regulasi, Indonesia dianggap lebih longgar dan terbuka untuk inovasi yang datang dari luar.

Dari sisi teknologi pun, pengalaman pengguna akan jauh lebih baik karena latensi rendah, biaya jauh lebih rumah, ada jaminan compliance dan keamanan, compute dan fitur prosesor, dan sebagai alternatif pemulihan bencana (disaster recovery). Semakin dekat mereka dengan pelanggan, maka akan semakin baik pelayanannya untuk kebutuhan aftersales.

Perusahaan pun dapat membawa variasi produk lainnya ke negara tersebut untuk menyesuaikan dengan permintaan di pasar. Sebab bila ditelaah lebih jauh, bisnis pusat data semakin beragam. Dalam komputasi awan, ada beberapa jenis penyimpanan data dari publik, privat dan hybrid. Masing-masing punya membutuhkan karakter dan risiko yang berbeda.

Kemudian, ada yang memfokuskan untuk cloud business process services (BPaaS), cloud application infrastructure services (PaaS), cloud application services (SaaS), cloud management and security services, dan cloud system infrastructure services (Iaas).

Tak hanya itu, layanan tersebut kini dibekali teknologi tertentu sebagai fitur untuk menyesuaikan kebutuhan perusahaan. Misalnya AI, analitik, IoT, dan edge computing. Seluruh inovasi ini, rata-rata sudah dikembangkan oleh pemain global agar dapat melayani seluruh segmen.

Secara strategis, ketiga perusahaan asal Amerika Serikat ini saling berkompetisi satu sama lain. Menurut laporan Catalys, seluruh perusahaan di seluruh dunia mengelontorkan dana $107 miliar untuk membangun infrastruktur komputasi awan pada 2019, naik 37% dari tahun lalu.

Menariknya, hampir sepertiga dari porsi ini dikuasai AWS sebagai pemimpin pasar komputasi awan dengan pangsa pasar 32,3% dari seluruh total belanja yang telah mereka keluarkan. Posisi kedua ditempati Microsoft Azure dengan pangsa pasar 16,8%, disusul Google Cloud 5,8%, Alibaba Cloud 4,9%, dan lainnya 40%.

Lainnya ini terdiri atas IBM, VMware, Hewlett Packard Enterprise, Cisco, Salesforce, Oracle, SAP, dan pemain lokal dari seluruh negara.

Sumber : Catalys
Sumber : Catalys

Karpet merah untuk pemain asing

Saat memimpin rapat terbatas tentang pusat data di Kantor Presiden pada Jumat (28/2), Presiden menyebut pusat data yang fokus dikembangkan di Indonesia akan mendatangkan banyak manfaat bagi perusahaan startup lokal yang saat ini masih banyak menggunakan pusat data di luar negeri.

Presiden tidak ingin Indonesia hanya menjadi pasar dan penonton bagi industri tersebut. Investasi pembangunan pusat data, menurutnya, harus memberikan nilai tambah dan transfer pengetahuan bagi Indonesia.

“Siapkan regulasinya termasuk yang mengatur soal investasi data center yang ingin masuk ke Indonesia. Kita juga harus memastikan investasi data center di Indonesia memberikan nilai tambah baik dalam pelatihan digital talent, pengembangan pusat riset, kerja sama dengan pemain nasional maupun sharing pengetahuan dan teknologi,” ucapnya.

Tim Microsoft bersama Bank Mandiri sebagai mitra perusahaan / Microsoft
Tim Microsoft bersama Bank Mandiri sebagai mitra perusahaan / Microsoft

Pernyataan Presiden keluar setelah pertemuannya dengan CEO Microsoft Satya Nadella yang datang ke Indonesia saat pagelaran Indonesia Digital Summit 2020. Presiden berjanji dalam waktu seminggu untuk merumuskan regulasi sederhana yang mendukung investasi berkaitan dengan data center.

Dalam seminggu lebih, meski di luar target, Menteri Kominfo Johnny G. Plate menerbitkan Rancangan Peraturan Menteri Kominfo (RPM) tentang Tata Kelola Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat telah selesai dan siap diserahkan ke Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM untuk proses penyusunan perundangan selanjutnya.

Aturan ini akan menjadi acuan bagi investor di bidang data dan komputasi awan. Seluruh isinya mengatur lebih teknis dari PP 71/2019 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). Dalam RPM, mengatur teknis hak dan kewajiban, mekanisme dan tata cara perizinaan, tugas, kewajiban, hak, termasuk sanksi.

Sebagai catatan, PP tersebut merupakan hasil revisi dari PP 82/2012. Salah satu pasal yang disebutkan adalah PSTE privat boleh melakukan pengelolaan, pemrosesan, dan/atau penyimpanan sistem elektronik dan data di luar negeri. Pasal kontroversial ini dianggap mencoreng semangat kedaulatan data.

“Data di sektor publik itu hanya 10 persen, berarti 90 persen data kita ada di sektor privat. Ini berarti 90 persen data kita lari ke luar Indonesia. Kalau sudah begitu bagaimana bisa melindungi dan menegakkan kedaulatan data kita ketika datanya di luar yurisdiksi,” terang Ketua Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) Alex Budiyanto.

Penolakan keras pemain lokal

Alex juga mempertanyakan kemudahan yang diberikan pemerintah untuk Microsoft dan kawan-kawan perusahaan asing, apakah karena Indonesia telah menjadi negara kapitalis.

“Kami cukup terkejut begitu mudahnya Presiden RI mengakomodasi permintaan dari Microsoft bahkan menjanjikan kurang dari seminggu regulasi yang diminta akan selesai. Kami belum pernah melihat dukungan yang sama diberikan kepada pemain lokal,” ujarnya dikutip dari CNNIndonesia.

Alex berharap seharusnya Jokowi bisa terlebih dahulu memikirkan nasib pemain di bisnis pusat data dan komputasi awan Indonesia. Seharusnya, Presiden membuat sebuah regulasi yang membuat kondisi lapangan usaha yang adil (a level playing field).

“Jangan sampai dengan hadirnya global player di Indonesia justru membuat ‘anak sendiri’ mati.”

Dalam draf RPM PSE Lingkup Privat, mendefinisikan Penyelenggara Sistem Elektronnik Lingkup Privat adalah penyelenggara Sistem Elektronik oleh orang, badan usaha, dan masyarakat.

Pendaftarannya harus memenuhi kriteria tertentu, salah satunya diatur/diawasi oleh Kementerian atau lembaga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; punya portal, situs, atau aplikasi dalam jaringan internet yang digunakan untuk menyediakan, mengelola, mengoperasikan perdagangan barang dan/atau jasa, dan fungsi lainnya.

alibaba cloud
Alibaba Cloud lancarkan kegiatan khusus untuk startup Indonesia / Alibaba Cloud

Pengajuan pendaftaran PSE Lingkup Privat dilakukan melalui Online Single Submission (OSS). Ketentuan ini juga berlaku buat PSE asing yang melakukan usaha dan/atau kegiatan di Indonesia.

Menurut draf, mereka hanya perlu menyampaikan informasi soal identitas PSE Lingkup Privat Asing, identitas pimpinan perusahaan dan/atau identitas penanggung jawab, dan surat keterangan domisili dan/atau akta pendirian perusahaan. Syarat legalnya cukup diterjemahkan dari penerjemah bersertifikat.

Draf juga tidak menyinggung pasal soal kewajiban membayar pajak untuk PSE asing sesuai dengan aturan berbisnis di Indonesia, ataupun kewajiban mencatatkan dan melaporkan pendapatan yang mereka peroleh dari Indonesia.

Dengan kata lain, isi draf ini sangat sederhana seperti yang disampaikan oleh Menteri Kominfo Johnny G Plate. Pada saat itu ia menyampaikan, Permen akan dibuat sesederhana mungkin untuk muluskan investasi perusahaan teknologi global yang ingin membangun pusat data di Indonesia.

Kendati demikian, pihak Kemenkominfo membuka konsultasi publik untuk meminta tanggapan dan masukan untuk penyempurnaan naskah hingga 26 Maret 2020.

Pada akhirnya berkolaborasi

DailySocial meminta tanggapan dari pemain sejenis dalam negeri untuk meminta tanggapannya terkait beleid ini. CEO Biznet Gio Cloud Dondy Bappedyanto enggan secara gamblang memberikan pandangannya.

Ia justru menilai dari kacamata bisnis, kehadiran pemain regional seperti Amazon, Google, dan Microsoft adalah peluang buat kolaborasi karena pasar pusat data dan komputasi awan ini punya model bisnis hyperscale.

Hyperscale mengacu pada sistem atau bisnis yang jauh melebih pesaing. Bisnis ini dikenal sebagai mekanisme pengiriman di balik sebagian besar web yang didukung cloud, yang merupakan 68% dari pasar layanan infrastruktur.

Layanan ini mencakup banyak layanan cloud yang hosted dan privat, ada IaaS dan PaaS. Mereka mengoperasikan pusat data besar, dengan masing-masing menjalankan ratusan ribu server hyperscale.

“Karena market hyperscaler dan kita itu sebenarnya beririsan. Ada yang punya irisan sendiri ada yang sharing irisan,” ujar Dondy.

Sejak tahun ini, Biznet Gio menggaet kemitraan dengan AWS dan Google Cloud. Ia mengaku hasil yang bisa diperoleh sejauh ini terbilang lumayan untuk layanan baru. “Sebenarnya lebih ke arah ekspansi market daripada survive. [Kalau] dapat market baru kenapa enggak kita berpartner saja.”

Ia melanjutkan, dengan mengambil posisi ini, Biznet Gio adalah sebagai komplementer. Bukan sebagai penantang langsung karena ia sadar ada perbedaan skala bisnis yang jauh. Sehingga dengan kemitraan, perusahaan bisa menggali lebih dalam solusi yang dibutuhkan pengguna cloud sehingga bisa memberikan solusi tepat guna.

Strategi lainnya adalah meningkatkan pelayanan agar pengguna tetap nyaman untuk memakai layanan Biznet Gio. “Penggunaan cloud pada awalnya ditujukan untuk efisiensi, bisa menjadi pemborosan bila cara menggunakannya tidak tepat. Jebakan ‘bayar jam-jam-an’ kadang menimbulkan nafsu untuk memakai teknologi atau konfigurasi yang sebenarnya tidak amat dibutuhkan.”

“Di sini, kami akan bertidak sebagai konsultan penggunaan cloud yang tepat guna untuk pelanggan, dari pengalaman yang sehari-hari kami hadapi,” pungkasnya.

AWS Investasikan 35 Triliun Rupiah untuk Pembangunan “Data Center” di Indonesia

Sepanjang tahun ini Amazon Web Service (AWS) dikabarkan akan merealisasikan pembangunan data center mereka di Indonesia. Kabar terbaru yang disampaikan Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian Harjanto menyebutkan mereka menggelontorkan dana sebesar $2,5 miliar atau setara Rp35 triliun untuk pembangunan data center di tiga lokasi yang belum dijelaskan letaknya.

Seperti dikutip dari Bisnis, Harjanto mengatakan,”Amazon sudah merealisasikannya. Nilainya $2,5 milar.”

Direktur Industri Elektronika dan Telematika Kemenperin Janu Suryanto menyampaikan bahwa Amazon sudah bertemu dengan pihaknya. Disebutkan data center itu akan dibangun di tiga lokasi di dua daerah dengan luas wilayah masing-masing mencapai 20 hektar.

“Ini tentu sangat baik untuk iklim investasi Indonesia. Ini membuktikan bahwa kondisi Indonesia, tidak jelek,” ujar Janu.

Pembangunan data center di dalam negeri memang tengah menjadi perhatian pemerintah. Para penyedia layanan seperti Google dan Facebook pun didorong untuk membangun data center-nya di Indonesia.

Sebelumnya, dalam wawancara DailySocial dengan Country Leader AWS Indonesia Gunawan Susanto, pihak AWS memiliki komitmen untuk membangun data center di Indonesia dan ditargetkan bakal rampung pada tahun 2021 atau awal tahun 2022 mendatang. Pembangunan data center di dalam negeri diharapkan bisa menepis keraguan banyak bisnis yang ragu menggunakan layanan public cloud.

“Prinsipnya kami selalu berdialog untuk comply semua peraturan di tiap negara. Jadi kami akan selalu membantu customer kami untuk comply mengenai apa pun regulasi yang berlaku di setiap negara. Toh dengan nanti AWS punya data center di Indonesia, harusnya bisa mempermudah customercustomer, terutama di Industri yang regulasinya ketat,” jelas Gunawan.

Menkominfo Dorong Google dan Facebook Buka Pusat Data di Indonesia

Menkominfo Johnny G. Plate kembali mendorong Google dan Facebook untuk membangun pusat data (data center) di Indonesia. Menurutnya, pihak perusahaan juga sudah ada rencana untuk merealisasikan hal tersebut.

“Google dan Facebook sudah punya rencana membangun pusat data di Indonesia,” jelas Johnny.

Hanya saja sejauh ini belum ada informasi detail mengenai kapan dan di mana pusat data akan dibangun. Rencana pembangunan pusat data juga masih tergantung pada UU Perlindungan Data Pribadi.

“Permasalahannya ada dua, letak data center dan flow datanya. Free flow of data baik dalam negeri maupun melewati batas negara perlu ada protokol dan dia resiprokal. Standarnya di PBB belum ada, ini yang harus dibicarakan sama-sama,” kata Johnny.

Ia juga menjelaskan bahwa setiap negara memiliki GDPR (General Data Protection Regulation), untuk Indonesia saat ini sedang diproses di DPR dan diharapkan tahun 2020 sudah dirilis.

Kehadiran pusat data di Indonesia yang terintegrasi menurutnya akan meningkatkan kemudahan komunikasi dan integrasi dari pemerintah pusat dan daerah, baik pemerintah provinsi, kabupaten dan kota hingga dinas-dinas terkait.

“Di pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten dan kota, di antara dinas-dinasnya bisa berpindah dengan baik dan cepat, sehingga penyelenggaraan tata kelola e-governance bisa berjalan dengan baik,” terang Johnny dikutip dari situs resmi Kominfo.

Sejauh ini belum ada konfirmasi resmi dari pihak Google dan Facebook mengenai rencana untuk membangun data center di Indonesia. Hanya saja Google pada November silam menyampaikan akan membangun cloud region di Indonesia, tepatnya di Jakarta.

Berbeda dengan pusat data, cloud region merupakan availability zone yang mampu meminimalkan latensi dan meningkatkan performa layanan di suatu wilayah.

Menkominfo Desak Google Bangun Pusat Data di Indonesia

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate mendesak Google untuk segera mendirikan pusat data (data center) di Indonesia demi menjaga keamanan data, sekaligus mewujudkan ambisi pemerintah yang menginginkan Indonesia memiliki pusat data yang terintegrasi.

“Saya ada permintaan untuk Google untuk menyiapkan data center di dalam teritorial Indonesia. Kita paham di era digitalisasi ini, ada ekstra teritorial, kita tahu itu. Tapi khusus Indonesia yang juga besar di dunia digital, mari bersama-sama pastikan Indonesia punya data center yang terintegrasi,” terang Johnny di acara Google for Indonesia, Rabu (20/11).

Dalam rangka menyiapkan Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, dirinya berjanji untuk berbicara para ahli dan pemangku kebijakan di negara-negara sahabat terkait penggunaan data. Dia ingin memastikan kedaulatan data yang dibangun, tidak hanya bermanfaat buat negara, tapi juga masyarakat Indonesia, dan global.

Johnny melanjutkan, ada beberapa hal yang dibutuhkan dalam era digital ini. Bukan hanya soal infrastruktur, frekuensi, dan talenta digital saja, tapi juga regulasi primer yang memadai. Saat ini, kementeriannya sedang mengkaji Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data (RUU PDP) dan masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

“Kita ingin diskusi melihat benchmarks untuk menyempurnakan RUU PDP bisa bermanfaat bagi dunia usaha, khususnya Indonesia.”

Dikonfirmasi, Head Corporate Communication Google Indonesia Jason Tedjasukmana menjelaskan Google memang tengah membangun fisik Google Cloud Region (GCP) di Indonesia, tepatnya di Jakarta.

“Tahun depan memang sudah ada cloud region dalam semester pertama di Jakarta. Itu sudah diumumkan tahun lalu,” katanya.

Kehadiran fisik cloud region ini, diakunya telah mendapat permintaan dari para klien Google Cloud di Indonesia. Pasalnya, kehadiran fisik tentunya latensi jauh lebih rendah dan kinerja yang tinggi dalam penggunaan.

Disebutkan klien Google Cloud di antaranya Gojek, Bank BRI, Traveloka, Alfamart, Tokopedia, dan lain-lain. “Setelah dengar masukan dari mereka [klien], kami akan hadirkan cloud region tahun depan.”

Sebagai catatan, cloud region itu berbeda dengan data center. Cloud Region adalah zona ketersediaan yang didesain untuk meminimalkan latensi dan meningkatkan performa layanan di suatu wilayah.

Google Cloud Region Indonesia akan jadi yang kedelapan di Asia Pasifik, setelah Mumbai, Singapura, Taiwan, Sydney, dan Tokyo. Saat ini GCP tersebar di 20 region di lebih dari 200 negara di seluruh dunia.

AWS Indonesia’s Country Leader Talks on Data Sovereignty and Investment in the Region

Digital service development should not be separated from supporting services such as cloud technology. Amazon Web Services (AWS) as one of the cloud computing service providers in Indonesia revealed to DailySocial on the landscape of cloud business in the country and its challenges.

The cloud services are getting popular since conventional business shifted to digital. However, for several reasons, Indonesia’s adoption of cloud technology is relatively slow. AWS Indonesia’s Country Leader, Gunawan Susanto said, one of the reasons is that business practitioners’ lack of understanding on the importance of public cloud technology.

Susanto said, it was seen from the way digital service providers see how cloud computing works. Some people said the cloud infrastructure requires advance payment with a minimum contract for a few years that once violated can be subject to penalties.

“Cloud computing by definition doesn’t work like that. The system used is to pay as you go,” he said.

Another challenging factor is the quality of talents that haven’t met market demands. He shows concern about the low dissemination of information technology, particularly in the cloud business, affecting the public’s understanding of how important this service is.

AWS investment for the digital ecosystem

Dealing with these various challenges, AWS invests in various kinds of forms. Some of those include the AWS Training Certification program as free digital training for IT workers, including machine learning, artificial intelligence, also big data analysis; AWS Educate as a cloud computing training in educational institutions; AWS Activate as a place of consultation for startup engineers in the country.

He also said the training was mandatory to equally adjust HR skills, especially towards cloud computing. Even so, he admitted the investment was not enough that required a longer commitment.

“Is that enough? No, we want more. We also involved in Bekraf program as speakers in developer day, providing tech materials, collaborated with ITB for training, hackathon, and partnership with local partners and communities to extend cloud skills,” he added.

In another aspect, AWS reiterated their investment commitments in building cloud computing infrastructure in Indonesia. Gunawan explained that they’re soon to have a Region in Indonesia consisting of 3 Availability Zones.

Previously, Amazon has promised $1 billion investment or around Rp14 trillion in September 2018. It was for the next 10 years, said Amazon representative while visiting President Joko Widodo.

Local data center in the late 2021

As a cloud computing service provider, the security level has become the main concern. Susanto said the company focused on building a system for user’s data to stay secure. The plan is to build a local data center by the end of 2021 or early 2022

The important role of a local data center is affecting some businesses to doubt moving to the public cloud. By having data center in the country, they’ll be less insecure due to the protection of government regulations.

“The principle is to always have conversations on all regulations in each country. Therefore, we’ll keep helping our customers to comply with the current regulation. After all, by having data center in Indonesia, AWS customers should have easier access, particularly in the highly regulated industry,” Susanto said.

Regarding this issue, the government has prepared a revision of the Government Regulation No. 82 of 2012 on the Implementation of Electronic Transactions and Systems (PSTE). The latest news said the revised version has signed by the President. There’s one article said that overseas data storage allowed in Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

PP 71/2019 tentang PTSE Sudah Berlaku, Pelaku Industri Pusat Data Lokal Khawatir

Pemerintah sudah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). Kalangan pelaku industri lokal menanggapi dingin regulasi baru tersebut. PP 71/2019 ini merupakan hasil revisi dari PP 82/2012 yang sebelumnya berlaku. Peraturan ini sejatinya sudah resmi sejak 10 Oktober lalu.

Namun sebelum melihat pandangan pelaku industri lokal, berikut adalah beberapa poin penting dalam PP 71/2019 dengan perubahan signifikan dari aturan sebelumnya.

  1. PSTE dibagi menjadi dua yakni; publik dan privat.
  2. PSTE terbebas dari tanggung jawab jika dalam keadaan terpaksa atau berasal dari kesalahan pengguna.
  3. PSTE tunduk terhadap regulasi yang berlaku di Indonesia termasuk soal konten informasi yang tak sesuai ketentuan negara.
  4. Pengakuan hak right to be erased dan right to delisting dari mesin pencari atau platform informasi elektronik lainnya.
  5. PSTE privat boleh melakukan pengelolaan, pemrosesan, dan/atau penyimpanan sistem elektronik dan data di luar negeri.

Dari sekian poin dalam aturan baru tersebut, pasal 21 ayat 1 menjadi sorotan utama bagi pelaku industri lokal. Ketua Asosiasi Cloud Computing Indonesia Alex Budiyanto mengatakan, pihaknya mengaku kaget ketika Kementerian Komunikasi dan Informatika era Menteri Rudiantara meloloskan pasal tersebut.

Alex menilai pasal 21 ayat 1 itu berlawanan dengan visi Presiden Joko Widodo yang menekankan kedaulatan data. Namun pada kenyataannya, pasal itu justru mengizinkan sektor privat memiliki pusat data di luar negeri.

“Pada prinsipnya kami kecewa karena apa yang kami harapkan dari implementasi janji Presiden Jokowi pada pidato tanggal 16 Agustus 2019 di depan MPR soal pentingnya perlindungan data, kedaulatan data, tapi ternyata hasilnya malah bertentangan,” ujar Alex.

Alex mengaku tak mempersoalkan perusahaan OTT asing. Namun ketika pemerintah justru melonggarkan peraturan pusat data lewat regulasi ini, ia menilai negara bakal kena imbas negatif terutama dari aspek kedaulatan.

“Data di sektor publik itu hanya 10 persen, berarti 90 persen data kita ada di sektor privat. Ini berarti 90 persen data kita lari ke luar Indonesia. Kalau sudah begitu bagaimana bisa melindungi dan menegakkan kedaulatan data kita ketika datanya di luar yurisdiksi,” ucap Alex penuh protes.

Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Bidang Industri 4.0 Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Teguh Prasetya. Namun dalam hal ini, Teguh lebih khawatir oleh potensi ekonomi yang hilang dengan berlakunya PP ini.

Investasi pusat data di Indonesia diperkirakan mencapai US$850 juta (sekitar Rp12 triliun) pada 2020 nanti. Teguh bahkan memperkirakan uang yang masuk dari investasi pusat data bisa sampai US$1 miliar (Rp14 triliun). Namun dengan berlakunya PP 71/2019 ini, negara kemungkinan akan kehilangan pendapatan.

“Dengan ada relaksasi ini, artinya penyedia layanan privat tidak harus ada di Indonesia, enggak harus pakai server lokal, dan berarti investasi penyedia data center lokal akan berkurang,” tutur Teguh.

Sejauh ini, pasal 21 ayat 1 menjadi sumber kontroversi dari PP 71/2019 ini. Kendati demikian, perlu diperhatikan juga dalam pasal 21 ayat 3 terdapat klausul yang mewajibkan penyelenggara layanan memberikan akses kepada pemerintah dalam rangka pengawasan dan penegakan hukum.

“Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat wajib memberikan Akses terhadap Sistem Elektronik dan Data Elektronik dalam rangka pengawasan dan penegakan hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” demikian bunyi pasal 21 ayat 3.