KoinWorks Terus Tambah Jajaran Lender Institusi, Fokuskan Layanan ke UKM

Lendable kembali menyuntikan pendanaan debt kepada KoinWorks. Jika tahun 2020 lalu dana yang diberikan senilai $10 juta (setara 149 miliar Rupiah), kini nominalnya bertambah menjadi $30 juta atau sekitar 435 miliar Rupiah. Di Indonesia, Lendable juga mengucurkan pinjaman serupa kepada Amartha pada Februari 2021 lalu dengan nominal 704 miliar Rupiah.

Sebelumnya pada April 2020, KoinWorks juga mengumumkan perolehan pendanaan debt dari dua institusi finansial asal Eropa. Ketika kala itu dihubungi, perusahaan enggan menyampaikan indentitasnya. Dalam sebuah kesempatan wawancara, Co-Founder & CEO KoinWorks Benedicto Haryono memang mengatakan bahwa kolaborasi dengan lender institusi menjadi salah satu strateginya, baik dari institusi dalam ataupun luar negeri.

Dia menjelaskan perusahaan sudah menarik lender institusi sejak awal 2018, ditandai dengan masuknya Saison Modern Finance. Lalu pada pertengahan tahun bergabung Bank Mandiri. Tahun 2019 juga bergabung Sampoerna dan CIMB Niaga.

Masih fokus ke UKM

Untuk rencana berikutnya setelah penerimaan dana segar tersebut, CFO KoinWorks Mark Bruny menyebutkan bahwa perusahaan masih akan fokus melayani pasar UKM yang memiliki potensi besar di Indonesia. Kerja sama strategis ini juga dibilang sukses berkat transparansi dan baiknya komunikasi yang terjalin antara KoinWorks dengan Lendable.

“Kami percaya UKM digital yang telah menjadi peminjam di platform kami akan dapat bertahan dan bahkan merebut kesempatan untuk berkembang dari pandemi ini. Lendable menyetujuinya dan mereka percaya pada kemampuan UKM Digital Indonesia dan kemampuan KoinWorks dalam menjalankan visi tersebut,” kata Mark kepada DailySocial.id.

Disinggung apakah ada perubahan persetujuan atau penambahan permintaan dari pihak Lendable kepada KoinWorks melalui kerja sama kedua ini, Mark menegaskan persetujuan masih sama. Melalui jumlah pinjaman yang mengalami peningkatan hingga 300% ini, diharapkan bisa mempercepat KoinWorks untuk menyalurkan dana tersebut kepada pelaku UKM di Indonesia.

Tercatat hingga saat ini KoinWorks telah menyalurkan pendanaan pada kuartal II tahun 2021 sebanyak lebih dari 1 triliun Rupiah kepada 300 ribu UKM di Indonesia dan naik tiga kali lipat dibandingkan tahun 2020. Ini menandakan perkembangan yang signifikan di pandemi ini dengan banyaknya UKM yang hadir dan pivot ke digital.

Dalam riset yang dilakukan oleh KoinWorks terungkap, bahwa UKM yang menggunakan kanal konvensional dan digital ternyata lebih mendominasi pasar dengan porsi 48% dibanding UKM yang hanya menggunakan kanal digital saja (40%) atau kanal konvensional saja (12%). Transformasi digital ini telah berhasil membantu UKM Digital tidak hanya bertahan namun mampu berkembang di masa pandemi.

Adanya transformasi ini juga menjadi faktor utama naiknya Digital SME Confidence Index ke level 2.49 dari level 2.37 di akhir tahun lalu dan mendorong semakin dekatnya kita ke level normal, yaitu pada level 3.00.

Peluang investor asing ke Indonesia

Menurut Mark besarnya minat investor asing dalam hal ini mereka yang menyediakan dana dalam bentuk debt funding seperti Lendable ke Indonesia, karena besarnya pertumbuhan bisnis di Indonesia terutama kalangan UKM. Indonesia menjadi target dari para investor, dilihat dari potensi dan investasi yang masuk.

Diluncurkan tahun 2015 lalu Lendable Inc melalui fintech telah menyalurkan banyak permodalan kepada masyarakat di dunia. Ini merupakan cara yang baik untuk dapat memberikan akses layanan keuangan kepada masyarakat. Masuknya perusahaan seperti Lendable ke Indonesia secara langsung telah memberikan efek yang multiply untuk pendanaan. Dengan memperkenalkan investor asing ke Indonesia membuka kesempatan bagi layanan fintech di Indonesia lainnya mendapatkan dana segar.

“Sebagai platform yang paling terdepan saat ini menjadi beruntung bagi kami bisa melakukan deal tersebut dan membantu ekosistem dengan memperkenalkan pemain kuat sekaligus memperkenalkan Indonesia secara global,” kata Mark.

Application Information Will Show Up Here

Kredivo Bags 1.4 Trillion Rupiah Debt Funding from Victory Park Capital

The multi-finance startup Kredivo announced additional credit from a US-based investment company, Victory Park Capital Advisors, LLC (VPC) worth of $100 million (more than 1.4 trillion Rupiah). This is the VPC’s second time to top up with the same nominal for Kredivo, the first collaboration occurred in July 2020.

In a virtual press conference with media held by the company today (22/6), Kredivo Indonesia’s CEO, Umang Rustagi said that the funds will be fully channeled to Kredivo’s consumers in Indonesia in need for credit. The company plans to expand financing products beyond just cash loans and transactions on e-commerce platforms.

Positioned as a multi-finance company, Kredivo is preparing financing products for health, education, and vehicles. “The funds provided through this collaboration will be able to accelerate our business scale in 2021 and in the following years, also help achieve our target to serve 10 million customers in Indonesia by 2025,” Rustagi said.

Currently, Kredivo claims to have more than three million users in Indonesia. This number is equivalent to 40% of credit card users totaling 8 million people, after being deducted by an estimate that one person has more than one credit card.

“Kredivo’s consumer growth and disbursement needs in Indonesia are growing rapidly. Through our research, new users have been using the paylater for the past year,” Kredivo’s VP Marketing & Communications, Indina Andamari said.

Rustagi continued, VPC’s decision to top up credit at Kredivo was due to the large potential for the unbanked group in Indonesia. In addition, the company’s ability to maintain risk management and successfully become a sustainable business in the midst of a pandemic over the past year.

Separately, in an official statement, VPC’s Partner, Gordon Watson said, “We are very impressed with Kredivo’s resilience and business growth and are certainly very pleased to continue to strengthen our collaboration with Kredivo. The company represents a unique combination of growth, scale, risk management and financial inclusion in one of the world’s most attractive emerging markets.”

In addition to VPC, Kredivo has previously partnered with a number of local banks as institutional lenders, including Bank Permata with a value of IDR 1 trillion and Partners for Growth with a value of IDR 283 billion. Both institutions entered last year.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Kredivo Kembali Peroleh Pinjaman Kredit 1,4 Triliun Rupiah dari Victory Park Capital

Startup multifinance Kredivo kembali mengumumkan tambahan kredit dari perusahaan investasi asal Amerika Serikat, Victory Park Capital Advisors, LLC (VPC) sebesar $100 juta (lebih dari 1,4 triliun Rupiah). Ini kedua kalinya VPC melakukan top up dengan nominal yang sama untuk Kredivo, kerja sama pertama kali terjadi pada Juli 2020.

Dalam konferensi pers virtual bersama sejumlah media yang digelar perusahaan hari ini (22/6), CEO Kredivo Indonesia Umang Rustagi menyampaikan, dana tersebut akan disalurkan sepenuhnya ke konsumen Kredivo di Indonesia yang membutuhkan kredit dalam memenuhi kebutuhannya. Perusahaan berencana untuk memperluas produk pembiayaan tidak hanya sekadar pinjaman cepat (cash loan) dan transaksi di platform e-commerce saja.

Dengan status sebagai multifinance, Kredivo sedang mempersiapkan produk pembiayaan untuk kesehatan, pendidikan, dan kendaraan bermotor. “Dana yang tersedia melalui kerja sama ini akan mampu mengakselerasi skala bisnis kami pada 2021 dan tahun-tahun selanjutnya, juga membantu mencapai target kami untuk melayani 10 juta pelanggan di Indonesia pada 2025,” ujar Rustagi.

Saat ini Kredivo mengklaim telah memiliki lebih dari tiga juta pengguna di Indonesia. Angka tersebut setara dengan 40% pengguna kartu kredit yang berjumlah 8 juta orang, setelah dikurangi dengan diestimasi satu orang memiliki lebih dari satu kartu kredit.

“Pertumbuhan konsumen Kredivo dan kebutuhan disbursement di Indonesia sangat cepat. Dalam riset kami disampaikan pengguna baru menggunakan paylater itu satu tahun belakangan,” tambah VP Marketing & Communications Kredivo Indina Andamari.

Rustagi melanjutkan, keputusan VPC untuk melakukan top up kredit di Kredivo tak lain karena masih besarnya potensi kelompok unbankable di Indonesia. Serta, kemampuan perusahaan dalam menjaga manajemen risiko dan berhasil menjadi bisnis yang sustain di tengah pandemi selama setahun terakhir.

Secara terpisah dalam keterangan resmi, Partner VPC Gordon Watson mengatakan, “Kami sangat terkesan dengan resiliensi dan pertumbuhan bisnis Kredivo dan tentunya sangat senang dapat terus mempererat kerja sama kami dengan Kredivo. Perusahaan ini merepresentasikan kombinasi unik antara pertumbuhan, skala bisnis, manajemen risiko, dan inklusi keuangan di salah satu pasar berkembang paling atraktif di dunia.”

Selain VPC, sebelumnya Kredivo telah bermitra dengan sejumlah bank lokal sebagai lender institusi, di antaranya Bank Permata senilai Rp1 triliun dan Partners for Growth senilai Rp283 miliar. Keduanya masuk pada tahun lalu.

Application Information Will Show Up Here

Amartha Kantongi Pendanaan 107 Miliar Rupiah, Perdalam Akses Permodalan untuk Pengusaha Perempuan

Startup p2p lending Amartha mengumumkan perolehan pendanaan senilai $7,5 juta (setara 107 miliar Rupiah) dari Norfund, dana investasi dari pemerintah Norwegia untuk negara berkembang. Dana ini akan disalurkan kembali dalam bentuk modal usaha untuk memberdayakan lebih banyak perempuan pengusaha mikro di pedesaan dan mendorong kegiatan usaha yang ramah lingkungan.

Kolaborasi ini ditandai dengan penandatanganan kerja sama antara Duta Besar Norwegia Vegard Kaale dan Founder & CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra di Kedutaan Norwegia di Jakarta, hari ini (04/6).

Investment Director Norfund & Head of Asia Regional Office Fay Chetnakarnkul menyampaikan, Norfund bekerja sama dan mendanai di institusi keuangan untuk mendukung mereka agar lebih kuat lagi dalam menyediakan akses permodalan dan layanan keuangan kepada ekonomi mikro dan segmen unbankable. “Kami sangat menghargai kerja sama ini dengan Amartha dan upaya yang mereka lakukan untuk memberdayakan perempuan pengusaha mikro di Indonesia.”

Duta Besar Norwegia Vegard Kaale menambahkan, meskipun pertumbuhan ekonomi di Indonesia sangat baik, namun inklusi keuangan masih menjadi isu yang besar di segmen masyarakat prasejahtera, terutama bagi perempuan pengusaha mikro.

“Norfund menjadi alat penting bagi Pemerintah Norwegia untuk menguatkan lembaga swasta di negara-negara berkembang, serta menurunkan angka kemiskinan. Pendanaan ini merupakan investasi pertama Norfund di institusi finansial di Indonesia dan saya harap upaya ini akan membantu pertumbuhan serta keberhasilan untuk Amartha.”

Chetnakarnkul pun sependapat dengan pernyataan Kaale. Ia menyampaikan bahwa diharapkan kerja sama dengan Amartha akan menjadi permulaan baik untuk komitmen jangka panjang Norfund di Indonesia.

Sementara Taufan menyampaikan, dukungan Norfund menandai kepercayaan mereka kepada usaha Amartha untuk kembali pulih di masa sulit selama pandemi ini. “Dengan bimbingan dari negara Norwegia sebagai pemimpin dunia dalam sektor energi terbarukan, Amartha berharap mendapatkan ilmu dan pengalaman dari yang terbaik.”

Masuknya Norfund, sebenarnya sejalan dengan inisiasi yang dimulai oleh Amartha sejak 2018 yang mulai aktif berpartisipasi dalam kegiatan ramah lingkungan dengan mempromosikan manajemen lingkungan, sosial dan korporat atau ESG dengan meluncurkan laporan tahunan dampak dan keberlanjutan. Akibatnya pada setahun berikutnya, Amartha meraih penghargaan GIIRS (Global Impact Investing Rating System) dari B-Corp dengan peringkat Platinum.

Kemudian, pada tahun lalu, perusahaan menginisiasi program Plastic Waste Womenpreneur (PWW) dengan memberikan pembiayaan kepada perempuan pengusaha mikro yang bergerak dibidang pengurangan limbah plastik di desa.

Hingga kini Amartha berhasil menyalurkan pembiayaan lebih dari Rp3,7 triliun untuk 678.502 perempuan di lebih 18.900 desa yang tersebar di pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.

Sebagai perusahaan teknologi, Amartha meluncurkan layanan keuangan dan produk-produk inovatif seperti tabungan, asuransi mikro, serta belanja borongan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat ekonomi informal. Dengan pendekatan ini, Amartha ingin menjadi pemain terdepan untuk platform keuangan digital bagi segmen desa.

Sebelumnnya pada awal bulan lalu, Amartha juga mengumumkan perolehan pendanaan sebesar $28 juta atau sekitar 450 miliar Rupiah yang dipimpin oleh Women’s World Banking (WWB) melalui WWB Capital Partners II dan MDI Ventures, serta dua investor sebelumnya, yaitu Mandiri Capital Indonesia (MCI) dan YOB Venture Management.

Application Information Will Show Up Here

Debt Funding Scheme Is Thriving, Amartha Scored 704 Billion Rupiah from Lendable

The p2p lending startup Amartha today (24/2) announced the debt funding of $50 million or the equivalent of 704.4 billion Rupiah (exchange rate USD to IDR per 14.00 WIB) from Lendable. It is to focus on providing capital and financial access to small entrepreneurs empowered by women in Indonesia, in conjunction with the “2X Challenge” initiative.

Through this collaboration, Amartha is also the first company in Indonesia to receive 2X Challenge funds. Particularly in the Asia Pacific, this funding initiative for women micro-merchants has disbursed up to $747 million.

Amartha does have further concern for women entrepreneurs. As Andi Taufan Garuda Putra said as Founder & CEO, women are the drivers of the micro economy which plays an important role in the recovery of the national economy.

The women micro-entrepreneurs segment with limited access to banking and financial institutions in Indonesia is estimated to reach more than 22 million people. By providing access to capital and entrepreneurship education for women, Amartha noticed that Mitra Amartha can increase income 2 to 7 times in one year.

“We are grateful for Lendable’s trust in realizing the 2X Challenge in Indonesia, therefore, women can increase their role in the Indonesian economy, especially in the context of post-pandemic recovery,” Taufan said.

The combination of retail and institutions

In a separate interview, Taufan said that they currently had channeled funds of up to 3.22 trillion to 616 thousand partners in Java, Sulawesi, and Sumatra. The combination of retail (community) funding and institutions also encourage the performance and penetration of Amartha’s services.

“On a year-on-year basis, the comparison is 55 percent for institutions and 45 percent for retail. For retail lenders, 68% is dominated by the millennial generation, followed by 19% by generation X, 10% by generation Z, and 3% by baby boomers. Based on the amount of funding value, 44% is dominated by generation X, then 40% by the millennial generation, 10% by baby boomers, and 3% by generation Z,” Taufan explained.

Regarding institutional partners, Amartha has also collaborated with banks and financial institutions to distribute funding with channeling schemes including Bank BRI, Bank Mandiri, Bank Jatim, Bank Permata, Bank Ganesha, Indosurya, and so on.

Targeting female micro-entrepreneurs certainly provides a higher level of risk (return). It becomes interesting to know Amartha’s strategy in increasing the percentage of TKB90 on the platform.

“Amartha has tightened monitoring of portfolios, operations, risks, and audits. This aims to screen the best quality Partners while maintaining the quality of ongoing loans. In addition, Amartha has updated the credit scoring system and combines the ability and willingness assessments, and a history of payment returns before the Covid-19 pandemic,” Taufan added.

Amartha also provides direct business assistance by the field team, including providing training on business alternatives for partners whose businesses have been affected by the pandemic, therefore, they can start new businesses or expand their businesses. It is said that these efforts are able to make the business climate in Amartha’s partner ecosystem return to the way before.

Debt funding in Indonesia

Previously last year Lendable also joined as an institutional lender for KoinWorks, channeling $10 million in funds. Apart from Lendable, there are several other institutions that also provide similar funds for fintech lending in Indonesia, such as Accial Capital for Pintek, Cash Cloud, and Investree. In addition, there are GMO Payment Gateway (Investree), Partners for Growth (Kredivo), etc.

In fact, there are two schemes widely applied to channel funds from institutions, loan channeling and venture debt. The first scheme is intended for institutions such as banks to channel their credit funds to MSMEs through fintech lending. Many local banks have started announcing entrance into the fintech ecosystem through this partnership. The latest is BCA which distributes funds through iGrow.

Meanwhile, venture debt/debt funding is actually more strategic in nature, such as to finance operations and growth – generally entered along with equity funding from venture investors. However, some have also used the funds to be distributed.

Apart from those already mentioned, other fintechs that have received debt funding are Alami, Digiasia, Kredivo, Modalku, UangTeman, Akseleran, and People’s Capital.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Skema Pendanaan Debt Terus Berkembang, Amartha Bukukan Dana 704 Miliar Rupiah dari Lendable

Startup p2p lending Amartha hari ini (24/2) mengumumkan perolehan pendanaan debt senilai $50 juta atau setara 704,4 miliar Rupiah (kurs USD ke IDR per 14.00 WIB) dari Lendable. Fokusnya untuk memberikan permodalan dan akses keuangan kepada pengusaha kecil yang diberdayakan oleh perempuan di Indonesia, bersamaan dengan inisiatif “2X Challenge”.

Melalui kerja sama ini, Amartha juga menjadi perusahaan pertama di Indonesia yang menerima dana 2X Challenge. Sejauh ini di Asia Pasifik, inisiatif pendanaan untuk pengusaha mikro perempuan itu sudah menyalurkan dana hingga $747 juta.

Amartha memang memiliki concern lebih kepada pengusaha perempuan. Disampaikan oleh Andi Taufan Garuda Putra selaku Founder & CEO, perempuan adalah penggerak ekonomi mikro yang memiliki peran penting dalam pemulihan ekonomi nasional.

Segmen perempuan pengusaha mikro yang tidak memiliki akses ke perbankan dan lembaga keuangan di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 22 juta jiwa. Dengan memberikan akses permodalan dan pendidikan kewirausahaan kepada perempuan, Amartha mencatat bahwa Mitra Amartha dapat meningkatkan pendapatan 2 hingga 7 kali lipat dalam satu tahun.

“Kami bersyukur diberikan kepercayaan dari Lendable untuk mewujudkan 2X Challenge di Indonesia agar perempuan dapat meningkatkan perannya dalam perekonomian Indonesia, terutama dalam konteks pemulihan pasca pandemi,” ujar Taufan.

Kombinasi pendana ritel dan institusi

Dalam wawancara terpisah, Taufan menyampaikan, hingga saat ini mereka telah menyalurkan dana hingga 3,22 triliun kepada 616 ribu mitra di Jawa, Sulawesi dan Sumatera. Kombinasi antara pendana ritel (masyarakat) dengan institusi turut mendorong kinerja dan penetrasi layanan Amartha.

“Secara year on year perbandingannya 55% institusi dan 45% ritel. Untuk pendana ritel, 68% didominasi oleh generasi milenial, kemudian disusul 19% oleh generasi X, 10% oleh generasi Z, dan 3% oleh baby boomers. Berdasarkan besaran nilai pendanaan, 44% didominasi oleh generasi X, kemudian 40% oleh generasi milenial, 10% baby boomers, dan 3% generasi Z,” jelas Taufan.

Terkait mitra institusi, Amartha juga telah bekerja sama dengan perbankan dan lembaga keuangan untuk menyalurkan pendanaan dengan skema channeling di antaranya Bank BRI, Bank Mandiri, Bank Jatim, Bank Permata, Bank Ganesha, Indosurya, dan lain sebagainya.

Menyasar pengusaha mikro perempuan tentu memberikan tingkat risiko (pengembalian) yang lebih tinggi. Menjadi menarik untuk mengetahui strategi Amartha dalam meningkatkan persentase TKB90 di platformnya.

“Amartha telah memperketat monitoring portofolio, operasional, risiko, dan audit. Hal ini bertujuan untuk menyaring Mitra dengan kualitas terbaik, sekaligus mempertahankan kualitas pinjaman yang sedang berjalan. Selain itu, Amartha telah memperbarui sistem credit scoring dan menggabungkan penilaian kemampuan (ability), kemauan (willingness), dan histori pengembalian pembayaran sebelum adanya pandemi Covid-19,” imbuh Taufan.

Amartha juga memberikan pendampingan usaha secara langsung oleh tim lapangan, termasuk memberikan pelatihan alternatif usaha bagi mitra yang usahanya terdampak pandemi, sehingga mereka bisa memulai usaha baru atau mengembangkan usahanya. Diklaim, upaya tersebut mampu membuat iklim bisnis di ekosistem mitra Amartha kembali normal seperti sedia kala.

Pendanaan debt di Indonesia

Sebelumnya tahun lalu Lendable juga bergabung sebagai lender institusi KoinWorks, menggelontorkan dana $10 juta. Selain Lendable, ada beberapa lembaga lainnya yang juga memberikan dana serupa bagi fintech lending di Indonesia, misalnya Accial Capital untuk Pintek, Awan Tunai, dan Investree. Selain itu ada GMO Payament Gateway (Investree), Partners for Growth (Kredivo), dll.

Sebenarnya ada dua skema yang banyak diaplikasikan untuk menyalurkan dana dari institusi, yakni loan channeling dan venture debt. Skema pertama memang ditujukan bagi institusi seperti perbankan untuk menyalurkan dana kreditnya kepada UMKM melalui fintech lending. Banyak perbankan lokal yang mulai mengumumkan masuk ke ekosistem fintech lewat kerja sama ini. Terbaru ada BCA yang salurkan dana lewat iGrow.

Sementara venture debt/pendanaan debt sebenarnya sifatnya lebih strategis seperti untuk membiayai operasional dan growth – umumnya masuk berbarengan dengan pendanaan ekuitas dari pemodal ventura. Tapi tidak sedikit yang menggunakan dana yang diberikan untuk kembali disalurkan.

Selain yang sudah disebutkan, fintech lain yang sudah menerima pendanaan debt adalah Alami, Digiasia, Kredivo, Modalku, UangTeman, Akseleran, dan Modal Rakyat.

Application Information Will Show Up Here

Alami Fintech Raised Equity and Debt Funding Worth of 283 Billion Rupiah

The sharia fintech lending startup, Alami, announced $20 million (over 283 billion Rupiah) in equity and debt funding led by AC Ventures and Golden Gate Ventures. Quona Capital is also participating in this round.

Both AC Ventures and Golden Gate Ventures were the previous investors that led Alami’s seed funding worth $1.5 million in late 2019. The arrival of Quona Capital has placed Alami in its Indonesian portfolio list after investing in KoinWorks, BukuWarung, Ula, and Julo.

“We believe that players in the Islamic finance industry have only just tapped a fraction of its potential. Social finance, for example, can be explored further,” Alami’s Founder & CEO Dima Djani said, quoting from the AC Ventures website.

Dima aims that this year Alami can increase the loan disbursement up to four times or worth more than IDR1 trillion for the health, agriculture, logistics, and food sectors. In addition, the company plans to explore opportunities for synergies with Islamic banking financial institutions such as Islamic Commercial Banks (BUS), Sharia Business Units (UUS), and Sharia Rural Banks (BPRS).

One of these plans has been successfully realized. At the same time, through an official statement on the same day, Alami launched a financial channeling partnership with BRI Syariah targeting IDR40 billion this year.

“Through this financial channeling collaboration, it is expected to accelerate the recovery process of small and medium enterprises affected by the pandemic, as well as revive the Indonesian economy,” Dima said.

BRI Syariah’s  Head of Retail Banking Division, Elvera Melladiana stated the one factor that considered the company solid in establishing partnerships with Alami was because it had a positive track record, both in terms of funding, and the potential projects in it.

“BRI Syariah has served SME customers from various levels of capital, and we are aware that in order to achieve an exponential distribution of financing targets, collaboration with fintech companies must begin. This is in order to realize easy, fast, and safe access to Islamic finance,” Elvera said.

As of December 2020, Alami claims to have distributed around Rp. 300 billion to thousands of MSMEs throughout Indonesia from around 20 thousand lenders registered on the Alami platform.

Sharia lending market

Alami is several lending startups focusing on the sharia segment. In addition, there are Ammana, Bsalam, Duha Syariah, Dana Syariah, Finteck Syariah, Qazwa, Ethis, and Investree (sharia business unit). However, its popularity is quite far behind compared to conventional services.

Referring to OJK’s data, the accumulation of fintech lending grew 113.05% YoY to Rp128.7 trillion in September 2020. The new sharia fintech donations contributed around Rp1.2 trillion of the total.

Chairman of the AFPI’s Sharia Funding Fintech Cluster, Lutfi Adhiansyah, stated that there are some factors that make conventional lending run faster than sharia. One of them is in terms of quantity, there are more conventional players and the different nature of the product and business model.

“Many sharia fintech lending targets the productive sector. Therefore, the process is more selective and takes longer to verify. It’s different from multipurpose fintech lending, where online loans are relatively fast and the nominal is quite small,” Lutfi said as quoted from Kontan.co.id.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Fintech Alami Peroleh Pendanaan Ekuitas dan Debt Senilai 283 Miliar Rupiah

Startup fintech lending syariah Alami mengumumkan pendanaan senilai $20 juta (lebih dari 283 miliar Rupiah) berbentuk ekuitas dan debt yang dipimpin AC Ventures dan Golden Gate Ventures. Quona Capital turut berpartisipasi dalam putaran ini.

Baik AC Ventures dan Golden Gate Ventures, merupakan investor sebelumnya yang memimpin pendanaan tahap awal di ALAMI senilai $1,5 juta pada akhir 2019. Masuknya Quona Capital, otomatis menempatkan ALAMI ke dalam jajaran portofolionya di Indonesia setelah berinvestasi ke KoinWorks, BukuWarung, Ula, dan Julo.

“Kami percaya bahwa pemain yang ada di industri keuangan syariah baru saja memanfaatkan sebagian kecil dari potensinya. Social finance, misalnya, dapat dieksplorasi lebih jauh,” kata Founder & CEO Alami Dima Djani, mengutip dari laman AC Ventures.

Dima menargetkan pada tahun ini Alami dapat meningkatkan nominal penyaluran pinjaman hingga empat kali lipat atau senilai lebih dari Rp1 triliun untuk sektor kesehatan, pertanian, logistik, dan makanan. Selain itu, berencana untuk mengkaji peluang sinergi dengan institusi keuangan syariah perbankan seperti Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).

Salah satu rencana tersebut ada yang berhasil terealisasi. Pada saat yang bersamaan, melalui keterangan resmi yang diumumkan pada hari yang sama, Alami meresmikan kerja sama channeling pembiayaan dengan BRI Syariah dengan target penyaluran sebesar Rp40 miliar pada tahun ini.

“Melalui kerja sama channeling pembiayaan ini, mudah-mudahan bisa mempercepat proses pemulihan usaha-usaha kecil menengah yang terkena pandemi, serta membangkitkan perekonomian Indonesia,” kata Dima.

Kepala Divisi Ritel Banking BRI Syariah Elvera Melladiana menyatakan salah satu faktor yang membuat perusahaan mantap menjalin kemitraan dengan Alami karena punya track record yang positif, baik dari sisi pendana, maupun potensi proyek-proyek yang berada di dalamnya.

“BRI Syariah telah melayani nasabah UMKM dari berbagai tingkat permodalan, dan kami menyadari, untuk bisa mencapai target penyaluran pembiayaan yang eksponensial, kolaborasi dengan perusahaan-perusahaan fintech harus mulai dilakukan. Hal ini demi mewujudkan akses pembiayaan syariah yang mudah, cepat, dan aman,” tutur Elvera.

Hingga Desember 2020, Alami mengklaim sudah menyalurkan sekitar Rp300 miliar kepada ribuan UMKM di seluruh Indonesia dari sekitar 20 ribu pendana yang terdaftar di platform Alami.

Pasar lending syariah

Alami adalah beberapa startup lending yang bermain di segmen syariah. Selain itu ada Ammana, Bsalam, Duha Syariah, Dana Syariah, Finteck Syariah, Qazwa, Ethis, dan Investree (unit bisnis syariah). Kendati demikian, pamornya masih jauh tertinggal dibandingkan layanan konvensional.

Merujuk dari data OJK akumulasi fintech lending tumbuh 113,05% yoy menjadi Rp128,7 triliun pada September 2020. Sumbangsing fintech syariah baru senilai Rp1,2 triliun dari total tersebut.

Ketua Klaster Fintech Pendanaan Syariah AFPI Lutfi Adhiansyah menyatakan ada beberapa faktor yang membuat lending konvensional lari lebih cepat dibandingkan syariah. Salah satunya dari segi kuantitas, pemain konvensional lebih banyak dan nature dari produk dan model bisnis yang berbeda.

Fintech lending syariah banyak yang menyasar sektor produktif. Jadi proses lebih selektif dan membutuhkan waktu lebih lama untuk verifikasi. Berbeda dengan fintech lending multiguna yang pinjaman online relatif prosesnya lebih cepat dan nominalnya kecil,” kata Lutfi mengutip dari Kontan.co.id.

Application Information Will Show Up Here

Accial Capital Kembali Berikan “Debt Funding” untuk Fintech Lokal, Giliran Pintek Terima 298 Miliar Rupiah

Pintek sebagai startup pengembang layanan pembiayaan khusus untuk pendidikan, hari ini (11/1) mengumumkan perolehan debt funding senilai $21 juta atau setara 298 miliar Rupiah dari Accial Capital, sebuah investor private debt asal Amerika Serikat.

Sederhananya, debt funding ini memungkinkan sebuah startup pembiayaan untuk memiliki dana pinjaman lebih guna disalurkan. Istilah lainnya, investor yang tergabung biasa disebut dengan “lender institusi”. Praktik ini cukup lumrah di lingkungan fintech lending, mengingat kebutuhan untuk mengakselerasi pertumbuhan dan ekspansi.

Accial Capital sendiri bukan investor baru di ranah tersebut, sebelumnya mereka sempat menyuntikkan dananya ke Investree senilai 213 miliar Rupiah dan Awan Tunai senilai 290 miliar Rupiah. Ketiga startup yang diinvestasi memiliki fokus berbeda; Pintek di pendidikan, Investree ke UMKM, dan Awan Tunai ke pembiayaan rantai pasokan.

Perusahaan lokal, khususnya perbankan, juga mulai banyak terlibat menjadi lender institusi. Secara pangsa pasar cakupannya beda, fintech lending banyak fokus ke kalangan unbankable yang jumlahnya masih sangat banyak di Indonesia – sehingga justru menjadi kesempatan untuk melakukan kolaborasi dengan bank.

Institutional Lender Fintech Indonesia

Pintek sendiri, menjelang akhir tahun 2020 baru saja mengumumkan pendanaan lanjutan dari Finch Capital dan Accion Venture Lab. Disampaikan total pendanaan yang sudah didapat perusahaan sejauh ini mencapai 70 miliar Rupiah. Sejak beroperasi di tahun 2018, Pintek telah menyalurkan pinjaman hingga 83,3 miliar Rupiah.

Selain Pintek, di Indonesia juga sudah ada beberapa layanan fintech serupa, menyasar akademisi dan institusi pendidikan; di antaranya Danadidik, Cicil, dan KoinPintar dari Koinworks.

“Berada dalam situasi yang penuh tantangan saat ini, lembaga pendidikan perlu mengadaptasi teknologi untuk mendukung kegiatan pembelajaran jarak jauh bagi siswa. Namun, karena kurangnya sumber daya keuangan, implementasi teknologi di sektor pendidikan  menjadi tantangan. Kami membuat produk untuk membantu ekosistem pendidikan Indonesia pada titik kritis saat ini,” ujar Co-Founder Pintek Ioann Fainsilber.

Digiasia Bukukan “Debt Funding” 711 Miliar Rupiah, Perkuat Unit P2P Lending

Setelah mengantongi pendanaan Seri B awal tahun 2020 lalu, perusahaan fintech Digiasia Bios kembali merampungkan pendanaan melalui jalur debt funding senilai $50 juta atau setara 711,8 miliar Rupiah. Tidak diinfokan lebih detail mengenai institusi mana saja yang terlibat meminjamkan/menyalurkan dana tersebut.

Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Alexander Rusli mengungkapkan, dana segar tersebut nantinya akan dimanfaatkan untuk memperkuat kanal bisnis p2p lending.

“Saat ini channel tersebut sudah berjalan sejak 1,5 tahun terakhir, dengan pendanaan ini akan ramp up rencana kita. Kita telah memberikan pinjaman kepada sekitar 11 ribu warung,” kata Alex.

Modal tambahan tersebut juga akan dimanfaatkan untuk berinvestasi kepada mitra strategis. Untuk rencana ini Alex menegaskan masih dalam tahap pengembangan dan baru saja dirilis. Pihaknya masih dalam tahap monitoring dan pengamatan terlebih dulu.

Digiasia didirikan oleh mantan petinggi Indosat Ooredoo, yakni Alexander Rusli (mantan CEO) dan Prashant Gokarn (mantan Chief Digital & Service Officer) pada 2018 lalu.

Sejumlah kemitraan Digiasia

Dari sisi partnership, Digiasia telah bermitra dengan sejumlah perusahaan transportasi untuk menyediakan kemudahan bertransaksi, seperti kerja sama KasPro (unit usaha Digiasia) dengan Damri untuk rute tertentu di Bandung. Di sisi lain, penjualan produk B2B dari Metrodata difasilitasi KreditPro (unit usaha Digiasia).

Salah satu portofolio menarik dari Digiasia adalah layanan remitansi online. Sinergi strategis dengan Mastercard dapat menjadi penguatan layanan RemitPro atau chapter baru untuk menjadikan satu ekosistem dari seluruh produk existing Digiasia.

Menurut perusahaan, RemitPro sudah tersedia di 60 negara dengan dukungan 200 agen pembayaran. RemitPro juga bekerja sama dengan PT Eka Bakti Amerta Yoga sebagai mitra penyelenggara transfer dana remitansi, yang memungkinkan pencairan dana di 4.800 kantor pos dan 10.000 cabang BRI di Indonesia.