XL Axiata Segera Tutup Layanan Uang Elektronik XL Tunai

Operator seluler XL Axiata (XL) segera menutup layanan e-money XL Tunai setelah delapan tahun beroperasi. Penutupan ini menyusul semakin sulitnya ruang untuk bertumbuh di tengah ketatnya persaingan dengan pemain dompet digital.

Mengenai penutupan layanan ini, XL sudah melakukan sosialisasi kepada pelanggannya melalui SMS. Isinya tertulis: “Pelanggan Yth, layanan XL Tunai Anda akan dihentikan pada 28/02/2020 karena saldo Anda Rp0”.

Kemudian, SMS lainnya berisi: “Pelanggan Yth, kami infokan kembali bahwa pengisian saldo/cashin-in XL Tunai telah ditutup per 12/02/2020. Saldo Anda masih bisa dipakai untuk transaksi di *808#”.

Dari informasi yang diterima DailySocial, CEO XL Axiata Dian Siswarini menyebutkan penghentian layanan dimaksud saat ini adalah penghentian untuk pengisian saldo atau cash in.

“Penghentian isi saldo ini supaya tidak ada uang beredar lagi. Kita memang berencana menutup XL Tunai, tapi tidak bisa begitu saja karena harus dapat approval dari Bank Indonesia (BI) selaku pemberi lisensi,” ujar Dian.

Belum ada rincian lebih lanjut mengenai rencana penutupan ini. Dian menambahkan bahwa pihaknya masih berdiskusi dengan BI terkait mekanisme penutupan layanannya.

XL Tunai diluncurkan pada 2012 dan saat ini memiliki 2 juta pengguna. Sama seperti layanan e-money lainnya, XL Tunai dapat digunakan untuk mengirim dan menerima dana, membayar tagihan, hingga membeli tiket.

Sulit jika tidak agnostik

Salah satu tantangan terbesar operator di bisnis e-money saat itu adalah menggeser dominasi perbankan. Semakin berat kala GoPay, OVO, dan solusi dari layanan digital makin exist.

Operator dianggap gagal mendongkrak pertumbuhan pengguna dan transaksi e-money miliknya karena kurangnya inklusivitas dan ekosistem merchant. Pangsa pasarnya hanya terbatas pada orang yang menjadi pelanggannya saja.

XL punya 56 juta pelanggan, tapi cuma 2 juta yang memakai XL Tunai. Telkomsel sendiri, dengan basis pelanggan terbesar sebanyak 167 juta, cuma mengantongi 20 juta pengguna–itupun hanya setengahnya yang aktif bertransaksi.

Sebuah langkah yang tepat ketika T-cash memutuskan untuk menjadi platform e-money yang agnostik di akhir 2018. Agnostik yang dimaksud adalah menjadi platform yang bebas dipakai oleh siapapun, tanpa perlu jadi pelanggan Telkomsel. T-cash dan layanan e-money berbasis server milik bank-bank pelat merah kini melebur menjadi LinkAja.

Berdasarkan Fintech Report 2019, saat ini GoPay menjadi digital wallet paling banyak dipakai sebesar 83,3 persen, diikuti OVO (81,4%), DANA (68,2%), dan LinkAja (53%).

Keruntuhan bisnis digital operator seluler

Sejak tahun 2018, operasional XL Tunai telah dialihkan ke induk usahanya, yaitu Axiata Digital Services. Menurut pemberitaan terakhir, pengalihan ini dilakukan agar XL bisa fokus di bisnis utamanya sebagai penyelenggara telekomunikasi.

Pengalihan ini sebetulnya adalah strategi untuk tetap efisien secara grup, terutama pasca kegagalan XL membangun bisnis patungan e-commerce Elevenia bersama SK Planet. Pada akhirnya, seluruh bisnis digital operator biru ini diserahkan sepenuhnya kepada Axiata Group.

“Kami belum berencana untuk menyubstitusi XL Tunai dengan layanan baru yang serupa. Plan baru [bisnis digital] sebetulnya masih ada, tapi sekarang ditangani secara grup oleh induk usaha,” paparnya.

Tak cuma XL yang gagal membangun bisnis digital. Indosat Ooredoo juga punya pengalaman yang sama. Perusahaan melepas bisnis Dompetku untuk dilebur menjadi PayPro di paruh 2017, lalu menutup marketplace Cipika karena tak ingin terus-terusan “bakar uang”.

Berkaca dari hal di atas, operator telekomunikasi sebetulnya punya peluang besar untuk menciptakan pendapatan baru dari bisnis digital. Operator punya basis pelanggan yang besar dan infrastruktur jaringan yang luas. Posisinya sebagai operator telekomunikasi menguntungkan karena mereka harus tetap terdepan terhadap perkembangan teknologi.

Di sisi lain, operator harus bergerak cepat dalam menghadapi persaingan dengan pemain Over-The-Top (OTT). Pertumbuhan industri telekomunikasi terus tergerus dan bisnis seluler tidak lagi selamanya diharapkan. Dengan kata lain, mereka harus menjaga profitabilitas sambil terus membangun jaringan.

Meski mulai kembali fokus ke bisnis seluler sebagai bisnis utamanya, tetap saja operator telekomunikasi perlu mempersiapkan diri 5-10 tahun mendatang dalam menghadapi era digitalisasi.

Yang perlu dicari bersama adalah bagaimana industri telekomunikasi menemukan model bisnis dan strategi yang tepat dalam menjalankan bisnis digital di masa depan, termasuk menemukan talenta yang mampu mengembangkan bisnis digital.

GoFood and GoPay Optimism for Gojek to be a Profitable Company

GoFood and GoPay are known as Gojek’s two main businesses with the most significant growth of all services. Last year, GoFood is said to gain $2 billion revenue, 50 million transactions per month and grow by 2.5 times. While GoPay contributes for $6.3 billion, not to mention the growth rate.

In one of the sessions by PE-VC Summit 2020 last week (1/15), inviting Gojek’s Chief Food Officer, Catherine Hindra and Gopay’s CEO Aldi Haryopratomo to dig more insights on how the two services play role in Gojek’s business.

Aldi said, 2019 is a good year for business growth, also the beginning of efficiency strategy. How to make the most of every penny from investor’s pocket, engineer’s time management has finally paid off. “This is one of the benefits of being a low capitalized player in this industry,” he said.

The urge of efficiency actually comes from the investors and most are private equity, among those are Northstar and Warburg Pincus. Both are encouraging founders to run Gojek’s business as prudent.

Catherine also said, all the initiatives from investors have directed Gojek to the right business model into profitability. By the time, the benchmark of Gofood’s achievement grows in terms of the transaction number, into gross transaction value (GTV), and now revenue.

We’re now on the right track, the progress is in line with our plan. That’s [the information] it,” he said.

Gofood’s significant growth is actually not in comparison to a similar industry in China. Food delivery in China has reached 13%-15% of the total consumption, while Indonesia is still a long way to go. Therefore, some of China’s innovations often become a role model.

He also highlighted the achievement of Gofood and Gopay is not simply due to its features, but also each other’s bound in one ecosystem.

“we’re not working individual, but as a company that gives the holistic solution. This is what makes us different from others.”

In fact, the company’s DNA has given the whole solution to consumers. Therefore, not only about digital payment and food delivery but the whole daily aspect.

To compare with Grab, Gojek’s funding has a big gap. Since it was founded in 2010, Gojek has secured $3 billion funding in 12 rounds. While Grab reached $9 billion in 12 rounds. Therefore, Gojek has enough cash for a tech company in ASEAN.

In order to build the regional existential, Grab performs expansion in an organic and inorganic way. In a way to make Uber an acquisition in the ASEAN market. While Gojek is just begun the expansion in late 2018.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Keyakinan GoFood dan GoPay Bawa Gojek Jadi Perusahaan “Profitable”

GoFood dan GoPay kini dikenal sebagai dua bisnis utama Gojek yang paling cepat pertumbuhannya ketimbang layanan lain. Pada tahun lalu, disebutkan GoFood mencetak revenue $2 miliar, 50 juta transaksi per bulan dan pertumbuhan naik 2,5 kali lipat. Sementara Gopay berkontribusi $6,3 miliar, meski pertumbuhannya tidak disebutkan.

Dalam salah satu sesi yang diangkat Indonesia PE-VC Summit 2020 pekan lalu (15/1), mengundang Chief Food Officer Gojek Catherine Hindra dan CEO GoPay Aldi Haryopratomo untuk membahas lebih dalam bagaimana kedua layanan ini berperan dalam bisnis Gojek.

Aldi menerangkan, 2019 adalah tahun yang baik dalam hal pertumbuhan bisnis, sekaligus dimulainya strategi efisiensi. Bagaimana memaksimalkan setiap dolar uang investor yang keluar, pembagian waktu engineer, sudah terbayar penuh. “Inilah salah satu keuntungan menjadi pemain berkapitalisasi rendah di industri ini,” ucapnya.

Dorongan efisiensi ini sebenarnya datang tak lain dari para investor yang kebanyakan adalah private equity, di antaranya Northstar dan Warburg Pincus. Keduanya mendorong para founder untuk menjalankan Gojek dengan cara yang prudent.

Catherine menambahkan, seluruh dorongan para investor membuahkan GoFood dalam model bisnis yang sesuai dengan arah profitabilitas. Dari waktu ke waktu, benchmark pencapaian GoFood berkembang dari awalnya angka transaksi, menjadi gross transaction value (GTV), dan sekarang revenue.

“Sekarang kita ada track yang benar, progresnya sesuai dengan yang kita rencanakan dari awal. Baru itu (informasi) yang bisa saya bagikan,” katanya.

Pencapaian GoFood yang pesat, sebenarnya belum seberapa dibandingkan industri serupa di Tiongkok. Industri food delivery di sana penetrasinya sudah mencapai 13%-15% dari total konsumsi, sedangkan di Indonesia masih jauh di bawah itu. Alhasil, berbagai inovasi yang diterapkan di negeri tirai bambu tersebut seringkali menjadi acuan para pemain food delivery.

Dia juga menekankan pencapaian GoFood dan GoPay sebenarnya bukan karena fitur-fitur layanan yang disediakan oleh masing-masing, melainkan keterikatannya satu sama lain di dalam satu ekosistem yang sama.

“Kami tidak bekerja secara individu, tapi sebagai grup perusahaan yang memberikan solusi secara holistik. Mungkin ini yang membedakan kami dengan yang lainnya.”

Pasalnya, DNA yang ditanamkan dalam perusahaan adalah memberikan solusi kepada konsumen secara keseluruhan. Sehingga tidak hanya menyentuh soal pembayaran digital dan food delivery saja, tapi seluruh aspek kehidupan sehari-hari.

Dibandingkan Grab, perolehan dana yang diperoleh Gojek bisa dikatakan cukup terpaut jauh. Sejak didirikan di 2010, Gojek mengantongi pendanaan $3 miliar dalam 12 putaran. Sedangkan Grab mencapai $9 miliar dalam 12 putaran. Meski demikian, nominal yang didapat Gojek tergolong cukup besar untuk perusahaan teknologi yang beroperasi di ASEAN.

Dalam memperkuat eksistensinya di regional, Grab melakukan ekspansi baik secara organik maupun anorganik. Salah satunya melalui akuisisi Uber khusus untuk operasionalnya di ASEAN. Sementara Gojek sendiri baru mulai keluar kandang menjelang akhir 2018.

Application Information Will Show Up Here

Netzme Kantongi Lisensi Uang Elektronik Bank Indonesia, Fokus Rangkul Pengguna dari Perkampungan

PT Netzme Kreasi Indonesia (Netzme) resmi mengantongi lisensi uang elektronik (e-money) dari Bank Indonesia (BI). Izin resmi ini digulirkan sejak 19 Desember 2019 dengan nomor surat 21/584/DKSP/Srt/B. Selain itu perusahaan juga mendapatkan izin sebagai Penyelenggara Transfer Dana dalam Rangka Penyediaan fitur Transfer Dana Melalui Uang Elektroik dengan nomor surat 21/585/DKSP/Srt/B.

Dengan keluarnya izin resmi dari BI, pihak Netzme lebih leluasa untuk mengoptimalkan inovasi yang ada guna menggenjot pertumbuhan bisnis dan menjangkau lebih banyak lagi pengguna.

Founder & CEO Netzme Vicky G. Saputra kepada DailySocial menceritakan bahwa izin yang mereka dapat minggu lalu diurus sejak dua tahun silam. Implikasinya tahun ini Netzme tidak banyak melakukan inovasi fitur karena fokus pada pemenuhan syarat yang diminta BI.

Vicky juga menceritakan, sejauh ini mereka sudah memiliki 2,5 juta pengguna aktif, 97% di antaranya berada di kota-kota kecil dan daerah pinggiran. Sesuai dengan target mereka yang berusaha menyediakan solusi bagi kalangan masyarakat yang sama sekali belum tersentuh layanan bank (unbankable).

Rangkaian strategi online dan offline akan terus ditingkatkan guna menjaring lebih banyak pengguna. Termasuk dengan membuat program eksklusif yang menyasar perkampungan dan pesantren. Program “1000 Kampung Digital” sendiri juga sudah dilaksanakan mulai tahun ini, menggandeng beberapa ambassador yang ditunjuk sebagai leader membantu masyarakat desa tertentu untuk lebih melek ke layanan teknologi finansial.

“Harapannya kita bisa back to kampung, pesantren seperti sebelumnya, dan comply dengan QRIS, (juga) memulai lagi proses IPO. Saya sih maunya sesegera mungkin, tapi belajar dari pengalaman kemarin yang pasti akan segera memulai prosesnya,” imbuh Vicky.

Lebih dari sekadar layanan pembayaran

Aplikasi Netzme didesain tidak hanya sebagai platform pembayaran. Di dalamnya dibubuhkan serangkaian fitur berbasis media sosial. Layaknya Facebook atau Twitter, pengguna dapat menemukan rekan baru, berkomunikasi, sampai membagikan kabar. Menariknya, jika di Facebook kita bisa memberikan Like, di Netzme pengguna bisa memberikan Like dalam bentuk nominal uang yang disebut Trulikes.

Konsep ini diyakini Netzme dapat mendukung terciptanya kreator-kreator konten andal, karena para pengikutnya dapat memberikan apresiasi lebih. Selain itu ada fitur lain seperti kuis online, game, dan berbagai kompetisi yang diadakan secara rutin.

Sebagai dasar layanan, layaknya aplikasi e-money lainnya, Netzme memungkinkan pengguna untuk melakukan berbagai pembayaran, mentransfer uang ke bank, membeli paket data/pulsa, atau melakukan pembayaran menggunakan kode QR.

Application Information Will Show Up Here

 

Tahun Depan Blanja Fokus ke Pembelian Produk Digital

Menyambut tahun 2020, Blanja akan mengalihkan fokus. Tidak lagi berat ke sisi e-commerce, perusahaan akan fokus ke melayani pembayaran produk digital dan penawaran produk edukasi bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

CEO Blanja Jemy Confido mengklaim, sepanjang tahun 2019 Blanja telah mengalami peningkatan revenue yang cukup signifikan. Dibandingkan tahun 2018, jumlahnya meningkat hingga 84%. Terjadi peningkatan EBITDA 11% dan Net Income sekitar 4%. Bagi perusahan metrik utama saat ini tidak lagi GMV, tetapi revenue.

Selain Jabodetabek, Blanja mengklaim memperleh peningkatan traffic dan jumlah pengguna di Surabaya, Medan, Bandung, dan Makassar.

“Untuk GMV sendiri kami mencatat banyak datang dari organik sekitar 85%. Dari jumlah tersebut kami melihat positioning Blanja dan brand awareness sudah cukup efektif, meskipun masih dalam kalangan tertentu.”

Untuk tahun depan, Blanja meningkatkan jumlah produk digital yang diakomodasinya, mulai dari fasilitas komunikasi, produk permainan, hiburan, hingga pembayaran BPJS Kesehatan. Blanja juga lebih agresif menghadirkan produk edukasi bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam bentuk Katalog Sektoral Pendidikan dan Sistem Informasi Pengadaan Sekolah (SIPLah).

“Produk consumer goods hingga gadget juga masih kita hadirkan, namun sekarang kami memilih untuk lebih selektif. Kemitraan dengan UKM dan BUMN juga masih terus kami lancarkan. Produk digital hingga investasi akan menjadi fokus utama kami ke depannya,” kata Jemy.

Selain pembayaran default melalui LinkAja, Blanja juga berencana menghadirkan fitur pembayaran PayLater. Fitur ini akan menggandeng LinkAja, pihak perbankan, dan institusi keuangan lainnya.

“Kita juga terus mendorong pilihan pembayaran yang masih dalam Telkom Group. Salah satunya adalah Finpay dari PT Finnet Indonesia (Finnet). Dengan skema agregasi nantinya akan ditambah pilihan pembayaran dompet digital di luar ekosistem Telkom,” kata Jemy.

Salah satu kerja sama baru Blanja adalah dengan Invisee. Pengguna bisa memilih produk investasi reksa dana yang dikelola Invisee melalui platformnya.

“Kami melihat saat ini kalangan milenial mulai banyak jumlahnya yang mengakses platform kami. Dengan pilihan investasi yang terjangkau dan proses yang mudah, diharapkan bisa lebih banyak lagi kalangan milenial yang tertarik untuk membeli produk reksa dana di Blanja,” kata Jemy.

Application Information Will Show Up Here

Pengguna TransferWise Bisa Kirim Uang dari Luar Negeri ke Akun Dana, Gopay, dan Ovo

TransferWise, startup remitansi berbasis di Eropa disebut sudah mulai memproses pembayaran internasional ke beberapa e-wallet Indonesia, Filipina, dan Bangladesh. Dikutip dari Reuters, langkah tersebut dilakukan untuk melebarkan jangkauan penerimaan pembayaran dan menjadi keseriusan perusahaan dalam memasuki pasar Asia.

Di luar itu, pertimbangan paling besar mungkin karena maraknya penggunaan aplikasi e-wallet di kawasan tersebut, sekaligus masih banyaknya kalangan unbanked di negara berkembang yang disasar.

“Ini pengakuan bahwa mungkin di masa depan kita akan melihat dompet yang sama dengan rekening bank,” terang CEO  TransferWise Kristo Käärmann.

Untuk Indonesia pengguna TransferWise bisa melakukan pengiriman uang ke Gopay, Ovo, dan Dana. Ketiganya saat ini masuk dalam jajaran pemimpin pasar untuk aplikasi pembayaran digital di Indonesia berkat integrasi dan kolaborasi yang dilakukan dengan banyak layanan.

Sementara untuk Filipina pengguna TransferWise dapat melakukan pembayaran ke layanan GCash yang juga didukung oleh Ant Financial dan PayMaya. Dan untuk Bangladesh memungkinkan penggunanya mengirimkan ke BKash.

Prosesnya masih satu arah, aplikasi e-wallet tersebut hanya bisa menerima pengiriman uang dari luar. Sementara untuk pengiriman uang belum bisa dilakukan.

Detail biaya pengiriman dan dana maksimal juga belum diinformasikan. Namun jika melihat batasan yang ada di aturan Bank Indonesia mengenai e-money, maksimal nilai yang disimpan 10 juta Rupiah, dengan transaksi per bulan maksimal 20 juta Rupiah.

Di Indonesia, layanan remitansi sendiri diatur oleh Bank Indonesia. Setiap pemain yang akan menghadirkan layanan terkait wajib untuk mendapatkan lisensi dari otoritas. Sejauh ini sudah ada beberapa pemain yang menawarkan solusi pengiriman uang ke luar negeri, salah satunya Top Remit.

Realisasi Kerja Sama dengan BCA Diundur, Alipay dan WeChat Pay Baru Bisa Hadir di Indonesia Awal 2020

BCA masih merampungkan proses kerja sama dengan Alipay dan WeChat Pay untuk kehadirannya di Indonesia. Diharapkan pada kuartal pertama tahun depan dapat segera dirilis.

Mulanya, perseroan menargetkan kerja sama ini bakal terealisasi pada September 2019. Namun terpaksa harus diundur karena harus memenuhi semua urusan teknis.

“Masih terus kami proses secara teknikal. Kami harapkan awal tahun depan mudah-mudahan kuartal pertama tahun 2020 sudah bisa kerja sama,” kata Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja, seperti dikutip dari CNN Indonesia.

Direktur Keuangan BCA Vera Eve Lim menjelaskan, dalam kerja sama ini perseroan hanya akan menjadi penyedia fasilitas (acquiring), bukan penyelenggara fasilitas (issuing).

BCA akan menyediakan mesin EDC di merchant yang banyak dikunjungi turis Tiongkok, seperti kawasan wisata, untuk bertransaksi dengan Alipay atau WeChat. “Karena mereka sudah terbiasa tidak bawa kartu kredit, hanya bawa ponsel. Jadi nanti bisa pakai mesin EDC kami,” kata Vera.

Selain BCA, kedua pemain uang elektronik raksasa asal Tiongkok ini juga menjajaki kerja sama dengan bank BUKU IV lainnya. Bank tersebut antara lain BNI, BRI, Bank Mandiri, Bank Panin, dan CIMB Niaga.

Ini sesuai dengan ketentuan BI yang menyatakan, setiap Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) harus bekerja sama dengan perusahaan domestik, jika ingin berbisnis di tanah air.

Di samping itu, PJSP asing dan lokal juga harus menyesuaikan layanannya dengan implementasi QRIS sampai akhir tahun ini. Dengan begitu, QRIS bisa diimplementasikan menyeluruh mulai awal tahun depan.

“(Saya dengar) perusahaan asing masih melakukan (pembayaran dengan kode QR). Dalam waktu sampai akhir tahun ini mereka harus ikut QRIS. Kalau ada yang melakukan di luar pakai QRIS, kami tertibkan,” terang kata Deputi Gubernur BI Sugeng.

Gandeng Alipay, Bank Mandiri Ajukan Izin “Cross Border E-Wallet” ke Bank Indonesia

Bank Mandiri diketahui sedang mengajukan izin sebagai penyelenggara dompet elektronik lintas negara (cross border e-wallet) ke Bank Indonesia. Pihaknya menggandeng Alipay yang disebut raksasa finansial digital Tiongkok Ant Financial.

“Untuk Alipay saat ini masih pembicaraan, nanti kami akan menjadi acquirer, sedangkan Alipay akan jadi issuer. Saat ini kami juga sedang mengajukan izin cross border e-wallet ke Bank Indonesia,” ucap SEVP Consumer and Transaction Bank Mandiri Jasmin seperti dikutip dari Kontan.

Menurut Jasmin, kerja sama dengan Alipay ini adalah wujud implementasi Peraturan Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia Nomor 21/18/PADG/2019 tentang Implementasi Standar Nasional Quick Response Indonesia Standard (QRIS).

Di samping itu, kerja sama ini sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang mewajibkan setiap prinsipal menggandeng Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 4 atau bank dengan modal inti minimal Rp30 triliun.

Dalam aturan ini, BI mewajibkan prinsipal asing menempatkan dana float minimal 30 persen berbentuk kas atau giro di BUKU 4 dan maksimal 70 persen dana floating pada instrumen keuangan yang diterbitkan pemerintah.

Besarnya arus kedatangan turis asal Tiongkok jadi penyebab getolnya Alipay dan WeChat Pay menghadirkan layanannya di Indonesia. Pada akhir 2018, kunjungan pelancong asal Tirai Bambu ke Indonesia tercatat sudah naik 275 persen dalam lima tahun terakhir. Tak heran jika Menteri Pariwisata Arief Yahya menargetkan tahun ini dapat menarik 3,5 juta turis Tiongkok. Pihak Bank Mandiri membenarkan kerja sama ini bertujuan mempermudah transaksi turis tersebut.

“Benar, salah satunya untuk turis,” ucap Corporate Secretary Mandiri Rohan Hafas kepada Dailysocial.

Raksasa fintech asal Tiongkok, Alipay dan WeChat Pay, diketahui sudah mengincar kerja sama dengan bank-bank besar di Indonesia sejak akhir tahun lalu. CIMB Niaga sendiri diketahui juga telah mengajukan izin bermitra dengan Alipay pada awal tahun ini.

Boku Partners with GoPay as a Payment Option at Global Services in Indonesia

Boku mobile payment platform partners with GoPay. The agreement creates an opportunity for its global partners in Indonesia to use GoPay as the digital payment option.

The company based in London, England, plays the role as a payment solution that connects 170 operators worldwide to its global partners, such as Apple, Facebook, Google, Microsoft, Netflix, Spotify, and Paypal.

“Our mission is to create seamless transactions and partnering with GoPay is a big step to achieve the goal,” Boku’s CEO, Jon Prideaux said.

GoPay is one of the leading players in the digital payment in Indonesia. Google, one of Gojek’s investors, has put GoPay as one of its payment options in late July 2019.

Aside from its own app, GoPay (with Dana) will be available through Samsung Pay.

“With Boku’s global merchants network, we can help Indonesian traditional consumers to participate in the digital economy worldwide,” Gopay’s SVP Digital Product, Timothius Martin said.

This maneuver makes sense due to Indonesia’s e-wallet market has been rapidly growing. Redseer‘s report projected the market to grow up to US$25 billion or Rp354 trillion by 2025, multiple times over US$1.5 billion equivalent to Rp21.2 trillion in 2018.

“We aim to continue the collaboration with GoPay to introduce non-cash payment to more users and more acquisitions of Indonesia’s global partner users,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Boku Gandeng GoPay untuk Opsi Pembayaran Layanan Global di Indonesia

Platform pembayaran mobile Boku menggandeng GoPay dalam sebuah kesepakatan kerja sama. Kesepakatan ini membuka pintu bagi mitra global Boku di Indonesia menggunakan GoPay sebagai opsi pembayaran digital.

Boku adalah perusahaan asal London, Inggris, yang bergerak sebagai solusi pembayaran yang menghubungkan 170 operator seluler di seluruh dunia dengan mitra global seperti Apple, Facebook, Google, Microsoft, Netflix, Spotify, hingga Paypal.

“Misi Boku adalah menciptakan transaksi lebih sederhana dan kemitraan dengan GoPay ini merupakan langkah besar mewujudkan misi itu,” ujar CEO Boku Jon Prideaux.

GoPay sendiri adalah salah satu pembayaran digital paling populer di Indonesia. Sebelumnya di akhir Juli 2019, Google, salah satu investor Gojek, telah memasukkan GoPay sebagai salah satu metode pembayaran yang didukungnya.

Tak cukup melalui aplikasinya sendiri, GoPay (bersama Dana) akan dapat digunakan melalui Samsung Pay.

“Dengan jaringan merchant global dari Boku, kami dapat segera membantu konsumen tradisional Indonesia berpartisipasi dalam ekonomi digital dunia,” ucap SVP Digital Product GoPay Timothius Martin.

Manuver Boku ini dapat dipahami karena pasar dompet elektronik di Indonesia tumbuh dengan cepat. Laporan Redseer memperkirakan pasar itu akan tumbuh hingga US$25 miliar atau Rp354 triliun pada 2025 nanti, naik berkali-kali lipat dari US$1,5 miliar atau Rp21,2 triliun pada 2018.

“Kami berharap melanjutkan kolaborasi dengan GoPay untuk menghadirkan pembayaran nontunai ke lebih banyak pengguna dan menambah akuisisi pengguna bisnis global yang beroperasi di Indonesia,” tutup Prideaux.

Application Information Will Show Up Here