Observing Gopay’s Current Progressive Steps

Gopay’s domination in Indonesia is nothing. Quoting from various surveys, one of which is from the latest iPrice report, in the second quarter of 2020, Gopay has the highest number of monthly active users and total downloads from its closest competitors, Ovo, Dana, and LinkAja.

It was also stated that Gopay was named the first e-wallet that new users (60%) would choose when making transactions for the first time. In addition, they have the highest number of organic users (54%), even though there are no promos or cashbacks offered, users will still use Gopay as their transaction tool.

The secret of the kitchen that causes this condition is the various partners that provide payment channels, both online and offline, which Gojek formed as the parent of Gopay. This ecosystem forms a new habit for consumers to use Gopay as a daily payment method from the first time they wake up, until they go to sleep again.

When that happens, loyalty is formed. Even if Gopay does not provide discounts, it will not affect user loyalty.

Head of Corporate Communications GoPay Winny Triswandhani explained that the total number of Gopay merchants currently has reached more than 500 thousand merchants, around 95% of which are micro and small merchants. This figure is not only merchants acquired directly by Gopay, including merchants who accept Gopay as a payment tool from GoFood and Midtrans.

“Once Gopay can be accepted outside the ecosystem, we invest a lot of resources, including field labor for the acquisition of small traders. From the start it wasn’t easy, from two years ago the struggle for their education was more difficult than the tech savvy merchants, “he explained to DailySocial.

He continued, “But we know they are the ones who need cashless payments the most because from there they can build credit history, clean books, and these transactions can lead them to grow, for example when applying for KUR.”

Even during this pandemic, since March until now there has been a rapid increase in offline merchants joining, reaching more than 120 thousand new merchants. The triggering factor was a shift in consumer shopping from offline to online, which eventually led merchants to follow this trend.

In accommodating the booming needs of these offline merchants, Gojek created a Gojek with Gojek landing page. There the company combines a variety of business start-up solutions that enter its ecosystem for merchants, from starting up to being established.

Gojek prepares GoFood and GoBiz partner registration solutions, digital payment arrangements for outlets, sites / applications, social commerce, and loan capital. All these solutions certainly involve Gopay as the main umbrella.

Merchants only need to answer short questions asked about the type of business and their monthly sales turnover. Later the survey will direct the right payment solution according to the business conditions.

“For example, for merchants selling on social commerce, you can use Selly. It is a keyboard application that can accommodate answer templates, can create invoices, and has been facilitated with digital payment methods and QRIS. Now people are aware that online stalls are now mandatory and are no longer nice to have. ”

Payment through digital app

One thing that makes Gopay something of a breakthrough is its presence on Google Play as a payment option for buying apps, games, and making in-app purchases since last year. Previously, payments on Google Play could only be made by credit or debit card, Google Play Credit, and through credit deduction.

“Basically, all applications on Google Play can use Gopay for payments. We know the credit card penetration here is very low. We always see consumer behavior when transacting online [in developing innovations]. Digital payments through applications are now much the same as gaming, “said Winny.

Winny did not specify how the current transaction contribution compared to transactions at merchants. However, looking at other sources, in March, GoPay Senior Vice President Product Marketing Timothius Martin said that Gopay’s transactions on Google Play have tripled since six months. Contribution is equal from game and non-game applications.

“This year, even though it has increased threefold, it has been balanced. The contribution is 50% in games, 50% in non-games. In non-games, Gopay has lifestyle and entertainment for streaming, ”said Timo.

From Gojek’s internal data throughout March-May 2020, it shows that Gopay is widely used to purchase game coupons with a 3x increase. The Free Fire, Mobile Legends, and PUBG Mobile applications are favorite games based on the number of top-up game payments with Gopay.

The latest development that the company has made is integrated payment for subscription packages on Spotify and YouTube (Premium and Music). A number of other well-known non-game applications that are now connected to Gopay are HBO Go, WeTV, Iqiyi, Viu, Imo, Inshot, Google Drive, VSCO, LINE, Kakaopage, VivaVideo, Joox, Tinder, Catchplay, Vidio, and many more.

Not only on Google Play, Gopay is also available as a payment method for digital products on the Galaxy Store, a digital app store for Samsung devices. Regarding the plan whether it will be coming to the App Store soon, Winny only said that the company always strives to meet every user’s need, whatever the form.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Dana Masuk ke Solusi Logistik, Rilis Layanan “Delivery” Bersama Shipper

Dana memperluas fungsinya sebagai dompet digital dengan merambah layanan logistik “Dana Delivery” untuk melayani para penggunanya yang terdiri dari pengusaha online dan masyarakat umum. Dalam menyediakan layanan tersebut, perusahaan ini menggaet startup agregator logistik Shipper.

Co-Founder & CEO Dana Vincent Iswara menjelaskan, inisiasi ini adalah bentuk lanjutan komitmen perusahaan untuk mendukung masyarakat dan pelaku usaha online beradaptasi dengan kondisi tatanan baru di saat pandemi. Di satu sisi, kemitraan dengan Shipper ini memperkuat misi perusahaan untuk menjadi delivery hub bagi perusahaan logistik dalam memberikan layanan yang sifatnya B2B dan C2C.

Pengguna dapat melakukan pengiriman barang secara praktis dan terintegrasi melalui satu platform. Mereka dapat melakukan order pengiriman sesuai dengan penyedia jasa logistik maupun jenis pengiriman yang dipilih.

“Dana Delivery memberikan kemudahan bagi pelaku usaha, terutama UMKM yang belum terhubung dengan jasa ekspedisi, untuk melakukan pengiriman barang secara aman, mudah, dan terjamin. Ini selaras dengan komitmen Dana sebagai sahabat UMKM,” katanya dalam keterangan resmi.

Untuk tahap awal, layanan ini baru mencakup area Jakarta saja. Pengguna dapat memilih jenis pengiriman Instant dan Same Day. Untuk layanan Instant, pengiriman barang dengan berat maksimal 7 kg-20kg, tergantung ekspedisi yang dipilih. Sementara Same Day, berat maksimalnya antara 5 kg-7 kg.

Shipper sendiri sudah berdiri sejak 2017 dan bekerja sama dengan belasan perusahaan logistik, mulai dari JNE, SiCepat, RPX, Popbox, DHL, Aramex, Grab, Gojek, J&T Express, Wahana, Pos Indonesia, TIKI, Lalamove, dan masih banyak lagi.

Model bisnis Shipper seperti marketplace untuk logistik, pengguna dapat membuat order pengiriman melalui dasbor khusus. Lalu memilih jasa logistik yang diinginkan, dan mitra Shipper akan melakukan penjemputan untuk diserahkan ke mitra logistik yang dituju agar segera diproses pengirimannya. Pengalaman tersebut dibawa ke aplikasi Dana.

“Sesuai dengan misi Dana, kami ingin memberikan solusi yang terintegrasi. Ditambah dengan adanya masa pandemi seperti ini, kebutuhan akan jasa pengiriman semakin meningkat. Maka dari itu, Dana Delivery hadir untuk mengakomodasi kebutuhan pengguna agar semakin mudah menjalankan aktivitas maupun bisnisnya,” ujar Vincent secara terpisah kepada DailySocial.

Dia menuturkan, Dana Delivery sudah hadir pada awal September ini sebelum diperkenalkan secara resmi ke publik. Oleh karenanya, ia masih memantau jumlah pengguna dan merchant Dana yang menggunakan layanan tersebut. Sembari itu, pihaknya tetap berencana untuk memperluas area cakupannya, tidak terbatas di Jakarta saja.

“Hasil kerja sama dengan mitra saat ini batas pengirimannya masih di sejauh 40 km. Ekspansi mengenai jarak Dana Delivery tentu ada dalam rencana kami, tapi untuk saat ini kami tengah fokus untuk menyempurnakan layanan di area Jakarta dan menanti masukan dan saran dari pengguna.”

Dalam melanjutkan misinya untuk membantu pengusaha online, Dana akan terus menambah kemitraan dengan perusahaan lainnya. Vincent mengaku masih dalam tahap diskusi untuk membuka kemungkinan tersebut. “Dengan demikian, pengguna dan merchant Dana kelak akan memiliki berbagai pilihan layanan pengiriman dalam satu platform.”

Vincent juga menuturkan, meski saat ini dalam Dana Delivery belum tersedia asuransi untuk melindungi produk sampai ke konsumen dengan aman. Pengguna dapat memonitor proses pengiriman barang langsung lewat aplikasi. Selain itu, bila ada kerusakan/kehilangan barang dalam proses pengiriman, pengguna bisa mengajukan klaim tersebut ke mitra layanan ekspedisi.

Tanggung jawab penggantian klaim adalah senilai objek pengiriman berdasarkan nilai yang paling rendah antara 10 kali biaya pengiriman sampai dengan maksimal penggantian sebesar nominal tertentu. “Kami juga tidak menutup kemungkinan apabila kelak kami bisa menerapkan layanan asuransi pada fitur ini,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Permudah Gamers, Codashop Perbanyak Opsi Pembayaran Digital

Situs layanan pembelian item dan voucher game Codashop terus menyempurnakan layanannya lewat integrasi dengan beragam sistem pembayaran. Komitmen tersebut dibarengi dengan kelengkapan produk game dan non-game yang dapat dibeli.

Kepada DailySocial, Senior Marketing Manager Codashop Yolenta Winda menjelaskan, dalam enam tahun operasionalnya di Indonesia, Codashop kini menyediakan metode pembayaran mencakup potong pulsa (direct carrier billing/DCB) dan gerai offline (Alfamart, Indomaret, dan agen TrueMoney).

Namun demikian, pertumbuhan terpesat yang saat ini paling banyak dipilih konsumen adalah dompet digital. Oleh karenanya, perusahaan gencar terhubung dengan pemain yang ada saat ini, mulai dari Gopay, Ovo, Dana, LinkAja, Doku, ShopeePay, hingga Kredivo. Sayangnya, ia tidak menyertakan lebih lanjut dengan angka pendukungnya untuk melihat perbandingannya dari waktu ke waktu.

E-wallet merupakan pembayaran yang paling banyak dipilih oleh user belakangan ini, selain pembayaran melalui potong pulsa karena e-wallet dengan mudah membantu konsumen untuk melakukan pembayaran tanpa kartu kredit atau orang-orang yang tidak memiliki rekening bank,” ucapnya.

Sementara, aplikasi game yang paling banyak diburu konsumen adalah Diamonds Mobile Legends, UC PUBG, Diamonds Free Fire, Valorant Points, dan beberapa game terkenal lainnya seperti Hago, Topfun, dan masih banyak lagi.

Salah satu integrasi teranyar yang baru diumumkan perusahaan adalah bersama ShopeePay. Dalam keterangan resmi, Marketing Manager ShopeePay Indonesia Cindy Candiawan menyebutkan diterapkannya PSBB sejak lima bulan lalu, berpengaruh positif terhadap tren bermain game online.

“Seiring berkembangnya industri game online di Indonesia, ShopeePay juga ingin turut berpartisipasi dalam menciptakan ekosistem pembayaran yang mudah dan aman bagi para pengguna,” terang Cindy.

Pemain seperti Codashop sejatinya semakin banyak seiring semakin tumbuhnya para online gamers yang kini tidak hanya dinikmati oleh para amatir saja, namun juga para profesional yang menjadikannya sebagai mata pencarian utama. Diestimasi jumlah online gamers ini mencapai 60 juta orang untuk Indonesia saja.

Nama-nama pemain lainnya yang bisa dimanfaatkan para konsumen gamers adalah UniPlay, Dunia Games, Garuda Voucher Indonesia, UniPin, JuraganCash, UPoint.ID. Bahkan ada pula Itemku dengan bisnis sejenis, tapi dengan model bisnis yang sedikit berbeda karena menggunakan konsep marketplace C2C.

Tidak hanya itu, gurihnya bisnis top up kredit game ini turut dilirik oleh pemain marketplace, seperti Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee; hingga Gojek yang juga menyediakan opsi tersebut di dalam aplikasinya.

Menurut Yolenta, meski persaingannya ketat, tidak menyurutkan perusahaan untuk terus berinovasi. Kendati ia belum bersedia membeberkannya, ia menyatakan beberapa inovasi tersebut akan dipusatkan pada kenyamanan konsumen dalam melakukan transaksi, mendapatkan promosi, dan kelengkapan produk yang dimiliki Codashop untuk konsumennya.

Salah satu keunggulan Codashop daripada pemain lainnya adalah kemudahan opsi pembayaran virtual dengan banyak pilihan metode, dengan biaya lebih rendah. Terlebih itu, konsumen tidak perlu registrasi atau log in untuk bertransaksi. Kredit game akan otomatis ditambahkan ke akun game konsumen secara instan.

“Kami juga menawarkan berbagai promosi agar konsumen mendapatkan keuntungan lebih, seperti promosi cashback, diskon, atau memberikan hadiah yang menarik,” pungkasnya.

Selain Indonesia, Codashop sudah hadir secara global di 30 negara, tersebar di Afrika, Amerika, Asia, hingga Rusia, dan Mongolia.

Application Information Will Show Up Here

Fintech Business in the First Half of 2020

Financial technology (fintech) is a well-developed business landscape in Indonesia. The growth lies on both sides, from businessmen and consumers. It is recognized by the increasing categories of fintech services in Indonesia with an increasing user base. Annually, DSResearch is to release “Fintech Report”, an integrated report discussing the trends and dynamics of the related industry.

Earlier this year, in the latest published report, presented some interesting data. One of which is related to the distribution of funds by p2p lending startups. Last year, the value was up to IDR 60.4 trillion, increased by almost 3 times from the previous year. Borrower accounts registered with the OJK also increased to 14.3 million, 3 times exceeding from a total number in 2018 at 4.3 million accounts.

In conclusion, there is always an increase in business from year to year, with the most popular sub-businesses related to loans and digital wallets. Unlike this year, Covid-19 has “disrupted” various business arrangements, including fintech, therefore, many business agendas must be readjusted. However, has this pandemic really caused significant disruption to fintech in Indonesia?

This article intends to present analysis and comparison data, referring to business activities that have taken place during the first half of 2020.

Startup funding

Amid business objectives to accelerate growth, funding is an important business aspect that the founder continues to strive for. In the first half of 2020 (H1 2020), there were 8 funding involving fintech startups operating in Indonesia. Regarding transactions, the number decreased compared to H1 2019, last year there were 12 transactions. However, in terms of nominal (published), the value is much greater in H1 2020.

There are no publications of fintech funding throughout the first quarter of this year, all the news starting to be announced in April 2020. Here’s the full list:

Stage Month Startup Value
Debt Funding April KoinWorks $20 million
May KoinWorks $10 million
Pre-Series A May Pintek Undisclosed
Series A April Qoala $13.5 million
June Wallex Technologies Undisclosed
Series B March Digiasia Bios Undisclosed
Series C April Investree $23.5 million
April Modalku Undisclosed

If last year most of the funding was in the early stages, this year more funding was disbursed for further funding. Some analysts have predicted that the crisis caused by this pandemic will make investors more selective in disbursing their funds. Most chose to increase the spin in established businesses and get good traction, also in this Covid-19 period.

In addition, Cashlez made a successful IPO on the Indonesia Stock Exchange earlier this year. The company released 250 million new shares at Rp350 per share. This amount of capital includes approximately 17.5 percent of the paid-up and issued capital. Successfully booked Rp 87.5 billion from the event.

P2P lending amid pandemic

The Indonesian Joint Funding Fintech Association (AFPI) in early June 2020 published its research. It is disclosed that during the pandemic period, loans that were successfully facilitated and approved by lenders reached IDR 237 billion from 674 thousand accounts/transactions. The survey was held on 9-14 May 2020 with 143 p2p lending organizers as respondents.

In terms of consumer, the return rate is quite stable. A total of 90 platforms claim that TKB90 is stable, 34 platforms claim that TKB90 has increased, and 6 platforms claim that TKB90 has increased. TKB90 is a credit quality level on a platform. The higher and closer to level 100, the better. Based on OJK’s data as of March 2020, the TKB90 for the p2p lending industry was recorded at the level of 95.78%.

As of April 2020, the accumulated lending in the p2p lending industry was IDR 106.06 trillion, increased by 186.54% YoY. Java Island dominates the total loans of up to Rp 90.88 trillion, the remaining Rp 15.18 trillion comes from outside Java. The number of registered lenders was 647,993 and borrowers reached 24.77 million.

Product consolidation and innovation

Several new product initiatives are being rolled out by local fintech players. Last June, KoinWorks announced that they are serious about working on the investment business, they are collaborating with MMI to release a mutual fund feature through its application. Regarding investment, Indodax and Tanamduit have also expanded their business to accommodate these demands, by presenting a digital gold sell-and-buy feature.

Another collaboration formed between Dana and YesDok, for a telemedicine feature on the Dana app – previously Gojek-Halodoc and Grab-Ping An had released similar services. In the meantime, LinkAja launched a sharia feature to work on new market segments. Several business platforms outside the fintech industry also expand their business lines in the financial sector. As an effort of helping SME partners in their ecosystem, Moka and eFishery have launched the capital-loan feature this year.

This year, the banking sector also increased its penetration to present technology products. Expecting good fortune in the digital wallet ecosystem, Bank OCBC NISP has started to seriously work on ONe Wallet. Jenius also strengthened the features in the application, last May they introduced Moneytory to help users with personal financial planning. Meanwhile, Bank Mandiri also released a special application to accommodate MSME loans this year.

Remittance should be a highlight

Layanan remitansi mulai banyak diminati di tengah kebutuhan solusi transfer dana antar negara yang lebih efisien / Freepik - pch.vector
Remittance service is gaining popularity amid the demand for an efficient cross-country money transfer / Freepik – pch.vector

In the first half of 2020, two remittance-related innovations were introduced. First, Zendmoney attempts to bridge migrant workers, then the OY! Indonesia, which released a new feature entitled remittances. The demand for cheap and efficient cross-country transactions has succeeded in making players in this sub-sector capture the consumers’attention.

DailySocial had a chance to talk with two remittance players, Transfez and Topremit. Transfez’ representative said, since the Covid-19 pandemic in March 2020, the number of Transfez users has increased by more than 400%. Moreover, TopRemit claims to have successfully processed more than 280 billion Rupiah with 16 thousand users registering and within the first 6 months of 2020.

Wallex Technologies is a player in local remittance technology which is getting funding this year. During the pandemic period, they claim on average a 20% increase in business every month.

In May 2020, BRI Ventures also announced to involve in Nium funding, a Singapore-based remittance startup. Visa also participates in this round. Before changing its name, Nium has secured an investment from MDI Ventures in 2014. Then, MDI Ventures was still directed by Nicko Widjaja, who now leads BRI Ventures. In the first quarter of 2020, Nium achieved a transaction value of $2 billion.

Fintech’s future development

Unfortunately, the pandemic impact is yet to end. Even in various cities, PSBB is still running to prevent virus transmission, which indeed has an impact on the economy in the local area. Basically, fintech startups work to “accommodate” the economic (monetary) process of society, as simple as: digital wallets will only be filled when the user has money/income. Therefore, the ongoing economic slowdown can also have a negative impact related to traction.

On the other hand, people are still pursuing many opportunities. There are more activities at home, many have started to try their luck with entrepreneurship – starting food, crafts, or other services. At a time when banks are increasingly selective in applying for credit, p2p lending can be an alternative solution for capital. Nevertheless, the challenge for the platforms is an increase in risk analysis – some credit scoring players are starting to emerge to accommodate these needs.

Beyond remittances and the popular fintech business model, there are still some business opportunities with potential development. There are two, we projected to be significant are the insurtech and equity crowdfunding. Supported by a quite low insurance penetration that continues to increase, and the culture of mutual cooperation that is unique to Indonesian society.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bisnis Fintech di Paruh Pertama 2020

Financial technology (fintech) menjadi lanskap bisnis yang berkembang baik di Indonesia hingga saat ini. Pertumbuhannya di dua sisi, dari pebisnis maupun konsumen. Hal tersebut ditunjukkan dengan makin bervariasinya layanan fintech yang ada di Indonesia, dan memiliki basis pengguna yang besar. Setiap tahun, DSResearch rutin merilis “Fintech Report”, sebuah laporan terpadu membahas tren dan dinamika industri terkait.

Dalam laporan terbaru yang diluncurkan awal tahun ini, dikemukakan beberapa data menarik. Salah satunya terkait penyaluran dana oleh startup p2p lending, tahun lalu nilainya sampai Rp60,4 triliun Rupiah, naik hampir 3x lipat dari tahun sebelumnya. Akun peminjam yang tercatat di OJK juga naik menjadi 14,3 juta, meningkat 3x lipat lebih dari tahun 2018 yang hanya 4,3 akun.

Kesimpulannya, terpantau selalu ada peningkatan bisnis dari tahun ke tahun, dengan sub-bisnis yang paling populer terkait pinjaman dan dompet digital. Sayangnya tahun ini Covid-19 telah “mengganggu” berbagai tatanan bisnis, tak terkecuali fintech, sehingga banyak agenda bisnis yang harus disesuaikan ulang. Namun apakah pandemi tersebut benar-benar memberikan gangguan yang berarti kepada fintech di Indonesia?

Artikel ini akan mencoba menyajikan data ulasan dan perbandingannya, mengacu pada aktivitas bisnis yang telah berlangsung selama paruh pertama tahun 2020.

Pendanaan startup

Di tengah kebutuhan bisnis untuk mengakselerasi growth, pendanaan menjadi aspek bisnis penting yang terus diupayakan oleh founder. Di paruh pertama 2020 (H1 2020), tercatat 8 pendanaan yang melibatkan startup fintech yang beroperasi di Indonesia. Terkait transaksi, jumlahnya turun dibanding H1 2019, tahun lalu ada 12 transaksi. Namun terkait nominal (yang dipublikasikan), nilainya jauh lebih besar H1 2020.

Tidak ada publikasi pendanaan fintech sepanjang kuartal pertama tahun ini, semua pendanaan baru diumumkan mulai April 2020. Berikut daftar selengkapnya:

Tahapan Bulan Startup Nilai
Debt Funding April KoinWorks $20 juta
Mei KoinWorks $10 juta
Pre-Series A Mei Pintek Tidak dipublikasi
Series A April Qoala $13.5 juta
Juni Wallex Technologies Tidak dipublikasi
Series B Maret Digiasia Bios Tidak dipublikasi
Series C April Investree $23.5 juta
April Modalku Tidak dipublikasi

Jika tahun lalu kebanyakan adalah pendanaan di tahap awal, tahun ini pendanaan lebih banyak dikucurkan untuk pendanaan lanjutan. Beberapa analis sudah memprediksi, krisis akibat pandemi ini membuat investor menjadi lebih selektif dalam mengucurkan dananya. Sebagian besar memilih meningkatkan putaran di bisnis yang sudah mapan dan mendapatkan traksi baik, juga pada periode Covid-19 ini.

Selain itu, awal tahun ini Cashlez berhasil melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia. Perusahaan melepas 250 juta saham baru dengan harga Rp350 per lembar. Jumlah modal ini meliputi sekitar 17,5 persen dari modal disetor dan ditempatkan. Berhasil membukukan Rp87,5 miliar dari hajatan tersebut.

P2P lending selama pandemi

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) pada awal Juni 2020 lalu mengumumkan hasil risetnya. Dipaparkan, selama periode pandemi pinjaman yang berhasil difasilitasi dan disetujui lender mencapai Rp237 miliar dari 674 ribu akun/transaksi. Survei tersebut diselenggarakan pada 9-14 Mei 2020 dan diikuti oleh 143 platform penyelenggara p2p lending sebagai responden.

Dari sisi konsumen, tingkat pengembaliannya cukup stabil. Sebanyak 90 platform menyatakan TKB90 stabil, 34 platform penurunan TKB90, dan 6 platform mengaku TKB90 naik. TKB90 adalah level kualitas kredit dalam suatu platform. Semakin tinggi dan mendekati level 100, maka semakin baik. Berdasarkan data OJK per Maret 2020, TKB90 industri p2p lending tercatat di level 95,78%.

Per April 2020, akumulasi penyaluran pinjaman di industri p2p lending sebanyak Rp106,06 triliun, naik 186,54% secara yoy. Pulau Jawa mendominasi total pinjaman hingga Rp90,88 triliun, sisanya sebanyak Rp15,18 triliun datang dari luar Pulau Jawa. Jumlah lender yang tercatat ada 647.993 dan borrower mencapai 24,77 juta.

Konsolidasi dan inovasi produk

Beberapa inisiatif produk baru terus digulirkan oleh pemain fintech lokal. Juni lalu KoinWorks umumkan mulai serius menggarap bisnis investasi, mereka menggandeng MMI untuk rilis fitur reksa dana melalui aplikasinya. Soal investasi, Indodax dan Tanamduit juga melebarkan sayapnya untuk mengakomodasi kebutuhan tersebut, dengan menghadirkan fitur jual-beli emas secara digital.

Kolaborasi lain juga dijalin antara Dana dengan YesDok, menambahkan fitur telemedicine di aplikasi Dana — sebelumnya Gojek-Halodoc dan Grab-Ping An juga telah rilis layanan serupa. Di periode yang sama, LinkAja resmikan fitur syariah untuk menggarap segmen pasar baru. Beberapa platform bisnis di luar fintech juga terus upayakan perluasan lini bisnis di bidang finansial. Berdalih untuk membantu mitra UKM di dalam ekosistemnya, Moka dan eFishery tahun ini resmikan fitur permodalan.

Di sektor perbankan, tahun ini juga meningkatkan eksistensinya untuk menghadirkan produk teknologi. Mengharapkan peruntungan di ekosistem dompet digital, Bank OCBC NISP mulai serius garap ONe Wallet. Jenius pun perkuat fitur di aplikasinya, Mei lalu mereka hadirkan Moneytory untuk membantu pengguna melakukan perencanaan keuangan pribadi. Sementara Bank Mandiri tahun ini juga merilis aplikasi khusus untuk mengakomodasi kredit UMKM.

Remitansi layak menjadi perhatian

Layanan remitansi mulai banyak diminati di tengah kebutuhan solusi transfer dana antar negara yang lebih efisien / Freepik - pch.vector
Layanan remitansi mulai banyak diminati di tengah kebutuhan solusi transfer dana antar negara yang lebih efisien / Freepik – pch.vector

Paruh pertama 2020, ada dua inovasi terkait remitansi dihadirkan. Pertama kehadiran Zendmoney yang ingin membantu menjembatani pekerja migran, kemudian yang kedua aplikasi OY! Indonesia yang merilis fitur baru bertajuk remitansi. Kebutuhan transaksi antarnegara (cross-border) yang murah dan efisien secara proses berhasil membuat para pemain di sub-sektor ini mencuri perhatian konsumen.

DailySocial sempat berbincang dengan dua pemain remitansi, Transfez dan Topremit. Pihak Transfez mengatakan, sejak pandemi Covid-19 di bulan Maret 2020, jumlah pengguna Transfez telah meningkat lebih dari 400%. Pun demikian buat TopRemit, mereka mengklaim berhasil memproses lebih dari 280 miliar Rupiah dengan 16 ribu pengguna yang mendaftar dan dalam 6 bulan pertama 2020.

Wallex Technologies menjadi pemain di teknologi remitansi lokal yang tahun ini mendapatkan pendanaan. Selama periode pandemi, mereka mengklaim rata-rata dapatkan peningkatan bisnis sekitar 20% setiap bulan.

BRI Ventures pada Mei 2020 lalu juga mengumumkan turut terlibat dalam pendanaan Nium, startup Remitansi asal Singapura. Visa turut berpartisipasi pada putaran ini. Sebelum berganti nama, Nium pernah mendapat suntikan dana dari MDI Ventures di 2014. Saat itu MDI Ventures masih dipimpin oleh Nicko Widjaja yang kini telah memimpin BRI Ventures. Pada kuartal pertama 2020, Nium telah mengantongi nilai transaksi sebesar $2 miliar.

Perkembangan fintech selanjutnya

Sayangnya dampak pandemi belum berakhir sampai saat ini. Bahkan di berbagai kota masih dilakukan PSBB untuk mencegah penularan virus, yang tentu berdampak pada perekonomian di wilayah setempat. Pada dasarnya startup fintech bekerja “menampung” proses ekonomi (moneter) dari masyarakat, sesederhana: dompet digital baru akan terisi kalau penggunanya memiliki uang/penghasilan. Sehingga perlambatan ekonomi yang terus menjadi-jadi ini bisa juga memberikan dampak buruk terkait dengan traksi.

Di sisi lain, banyak peluang yang diburu oleh masyarakat. Lebih banyak aktivitas di rumah, banyak yang mulai mencoba peruntungan dengan berwirausaha – membuka jasa pesan makanan, kerajinan atau jasa lainnya. Di saat perbankan makin selektif terhadap pengajuan kredit, p2p lending bisa menjadi solusi alternatif untuk permodalan. Maka tantangannya untuk para platform adalah peningkatan analisis risiko – beberapa pemain credit scoring mulai bermunculan untuk akomodasi keperluan tersebut.

Di luar remitansi dan model bisnis fintech populer, masih ada beberapa peluang bisnis yang berpotensi dikembangkan. Dua di antaranya yang menurut kami akan menjadi sesuatu yang signifikan adalah insurtech dan equity crowdfunding. Didukung penetrasi asuransi yang masih minim dan terus meningkat; dan kultur gotong-royong yang khas di masyarakat Indonesia.

Melihat Gerak Progresif Gopay Saat Ini

Dominasi Gopay di Indonesia memang tidak perlu diragukan lagi. Mengutip dari berbagai survei, salah satunya dari laporan termutakhir iPrice, pada kuartal II 2020 menyebutkan Gopay memiliki jumlah pengguna aktif bulanan dan total unduhan terbanyak dari kompetitor terdekatnya, Ovo, Dana, dan LinkAja.

Disebutkan juga, Gopay dinobatkan sebagai e-wallet pertama yang akan dipilih pengguna baru (60%) saat pertama kali bertransaksi. Selain itu, mereka memiliki jumlah pengguna organik terbanyak (54%), walaupun sudah tidak ada promo atau cashback yang ditawarkan pengguna akan tetap menggunakan Gopay sebagai alat transaksi mereka.

Rahasia dapur yang menyebabkan kondisi demikian adalah beragam mitra yang menyediakan channel pembayaran, baik online dan offline, yang dibentuk Gojek sebagai induk dari Gopay. Ekosistem tersebut membentuk suatu kebiasaan baru bagi konsumen untuk menggunakan Gopay sebagai metode pembayaran sehari-hari dari awal mereka bangun tidur, sampai tidur lagi.

Ketika itu terjadi, maka loyalitas terbentuk. Sekalipun Gopay tidak memberikan diskon sama sekali tidak akan mempengaruhi loyalitas pengguna.

Head of Corporate Communications GoPay Winny Triswandhani menerangkan, total merchant Gopay saat ini telah mencapai lebih dari 500 ribu merchant, sekitar 95% di antaranya adalah merchant mikro dan kecil. Angka ini bukan merchant yang diakuisisi langsung oleh Gopay saja, termasuk juga merchant yang menerima Gopay sebagai alat pembayaran dari GoFood dan Midtrans.

“Begitu Gopay bisa diterima di luar ekosistem, kita banyak investasi resources termasuk tenaga kerja lapangan untuk akuisisi pedagang kecil. Dari awal itu enggak mudah, dari dua tahun lalu perjuangan untuk edukasi mereka lebih susah daripada merchant yang sudah tech savvy,” paparnya kepada DailySocial.

Dia melanjutkan, “Tapi kami tahu mereka itu yang paling butuh pembayaran cashless karena dari situ mereka bisa bangun kredit histori, pembukuan rapi, dan transaksi-transaksi ini bisa membawa mereka berkembang, misalnya saat mengajukan KUR.”

Pun selama pandemi ini sejak Maret hingga kini terjadi peningkatan pesat merchant offline yang bergabung mencapai lebih dari 120 ribu merchant baru. Faktor pemicunya karena ada pergeseran cara belanja konsumen dari offline ke online, yang akhirnya menggiring para merchant untuk mengikuti tren tersebut.

Dalam mengakomodasi membludaknya kebutuhan para merchant offline ini, Gojek membuat landing page Melaju Bersama Gojek. Di sana perusahaan menggabungkan beragam solusi memulai usaha yang masuk ke dalam ekosistemnya untuk merchant, dari skala baru memulai hingga sudah mapan.

Gojek menyiapkan solusi pendaftaran mitra GoFood dan GoBiz, pengaturan pembayaran digital untuk outlet, situs/aplikasi, social commerce, hingga modal pinjaman. Seluruh solusi tersebut tentunya melibatkan Gopay sebagai payung utamanya.

Merchant cukup menjawab pertanyaan-pertanyaan singkat yang diajukan, terkait jenis bisnis dan omzet penjualan bulanannya. Nanti survei tersebut akan mengarahkan solusi pembayaran yang tepat sesuai dengan kondisi bisnisnya.

“Misal untuk merchant yang berjualan di social commerce, bisa menggunakan Selly. Ia itu aplikasi keyboard yang bisa mengakomodasi template jawaban, bisa buat invoice, dan sudah difasilitasi dengan metode pembayan digital dan QRIS. Sekarang orang sudah sadar bahwa lapak online itu sekarang sudah wajib dan bukan nice to have lagi.”

Pembayaran di aplikasi digital

Satu hal yang membuat Gopay menjadi sesuatu yang breakthrough adalah kehadirannya di Google Play sebagai opsi pembayaran untuk membeli aplikasi, game, dan melakukan in-app purchase sejak tahun lalu. Pembayaran di Google Play sebelumnya hanya dapat dilakukan dengan kartu kredit atau debit, Google Play Credit, serta melalui pemotongan pulsa.

“Pada dasarnya semua aplikasi yang ada di Google Play sudah bisa menggunakan Gopay untuk pembayarannya. Kita tahu penetrasi kartu kredit di sini sangat rendah. Kita selalu melihat perilaku konsumen saat bertransaksi secara online [dalam mengembangkan inovasi]. Pembayaran digital lewat aplikasi kini memang jauh meningkat sama seperti gaming,” papar Winny.

Winny tidak merinci bagaimana kontribusi transaksinya saat ini dibandingkan transaksi di merchant. Namun melihat dari sumber lain, pada Maret kemarin Senior Vice President Product Marketing GoPay Timothius Martin menyebutkan transaksi Gopay di Google Play naik tiga kali lipat sejak enam bulan. Kontribusinya imbang dari aplikasi game dan non-game.

“Tahun ini walaupun sudah naik tiga kali lipat, itu sudah seimbang. Kontribusinya 50% di game, 50% lagi non-game. Non-game kan di Gopay ada lifestyle dan entertainment digunakan untuk streaming,” kata Timo.

Dari data internal Gojek sepanjang Maret-Mei 2020 memperlihatkan Gopay banyak dipakai untuk pembelian kupon games dengan kenaikan 3x lipat. Aplikasi Free Fire, Mobile Legends, dan PUBG Mobile menjadi games favorit berdasarkan jumlah pembayaran top-up games dengan Gopay.

Perkembangan terbaru yang dilakukan perusahaan adalah terintegrasi untuk pembayaran paket berlangganan di Spotify dan YouTube (Premium dan Music). Sejumlah aplikasi terkenal non game lainnya yang kini sudah terhubung dengan Gopay adalah HBO Go, WeTV, Iqiyi, Viu, Imo, Inshot, Google Drive, VSCO, LINE, Kakaopage, VivaVideo, Joox, Tinder, Catchplay, Vidio, dan masih banyak lagi.

Tak hanya di Google Play, Gopay juga sudah hadir sebagai metode pembayaran produk digital yang ada di Galaxy Store, toko aplikasi digital untuk perangkat Samsung. Terkait rencana apakah akan segera hadir di App Store, Winny hanya menuturkan bahwa perusahaan selalu berupaya memenuhi setiap kebutuhan pengguna apa pun itu bentuknya.

Application Information Will Show Up Here

Inovasi dan Peluangnya Membantu Startup Terus Bertahan

Inovasi menjadi faktor yang paling mempengaruhi keberlangsungan hidup startup. Ketika dalam posisi yang aman hingga saat krisis terjadi, inovasi bisa dipastikan membantu jalannya perusahaan. Dalam edisi #SelasaStartup kali ini, DailySocial mengundang CTO DANA Norman Sasono, membahas peluang startup menghadirkan inovasi yang relevan dan kemampuan beradaptasi demi memecahkan masalah yang bisa mempengaruhi kehidupan orang banyak.

Pantau persoalan yang ada

Salah satu kunci kesuksesan inovasi adalah berdasarkan “keen eye” yang dimiliki founder. Pantau terus masalah yang ada dan pikirkan bagaimana teknologi yang dimiliki bisa memberikan solusi yang terbaik untuk orang banyak. Misalnya yang dilakukan DANA, tim melihat adanya kebutuhan masyarakat untuk mulai melakukan pembayaran secara digital; tidak lagi hanya menggunakan uang tunai, namun pembayaran memanfaatkan QR Code dan tentunya melalui smartphone.

“Bagi platform seperti DANA, LinkAja, Gopay, dan OVO pesaing terbesar tentu saja adalah uang tunai. Untuk itu kami bersama terus memberikan edukasi kepada target pasar untuk mulai meninggalkan pembayaran secara tunai dan memanfaatkan platform pembayaran digital,” kata Norman.

Ketika masalah sudah ditemui dan solusi yang tepat sudah bisa dihadirkan, pastikan kebutuhan tersebut relevan dan tentunya bakal digunakan oleh target pasar. Pantau terus perubahan dan pastikan startup untuk terus menghadirkan inovasi lainnya.

Data-driven

Saat ini data sudah menjadi panduan wajib yang dimiliki oleh startup. Bukan hanya berfungsi sebagai rekomendasi, data yang dimiliki dan kemudian diolah juga bisa menghasilkan inovasi dan produk baru yang relevan. Menjadi ideal tentunya ketika startup sudah mulai memanfaatkan data untuk semua aktivitas dan kegiatan yang bakal dilancarkan.

“Salah satu benefit yang dihasilkan oleh data adalah, bagaimana startup bisa memanfaatkan tools terbaik dan fitur yang relevan untuk pelanggan. Bagi DANA kami melihat sebagian besar masyarakat Indonesia sudah terbiasa menggunakan internet, memanfaatkan mobile phone yang dimiliki. Namun faktanya masih banyak kalangan unbanked dan underserved di pelosok daerah. Di sinilah layanan seperti DANA menjadi ideal bagi mereka, hanya memanfaatkan mobile phone dan layanan data internet,” kata Norman.

Data juga bisa membantu perusahaan untuk menghentikan kegiatan ‘bakar uang’ dilihat dari peningkatan jumlah acitive user. Saat ini DANA mencatat sudah memiliki 40 juta pengguna aktif di seluruh Indonesia. Diharapkan ke depannya, DANA bisa menjangkau seluruh target pasar lebih banyak.

Pengetahuan dan tools yang tepat

Untuk bisa menghadirkan inovasi yang terbaik dan tepat, kemampuan untuk beradaptasi dan pemahaman yang baik terhadap teknologi dan layanan yang ditawarkan menjadi krusial. Startup juga wajib untuk bisa memanfaatkan tools yang tepat atau teknologi yang relevan untuk meningkatkan layanan. Misalnya mulai melakukan uji coba menerapkan AI, IoT, hingga machine learning. Hal ini secara langsung bisa meningkatkan kemampuan dari teknologi yang dimiliki.

“Saat pandemi berlangsung saat ini bisa menjadi potensi yang baik untuk perusahaan melakukan inovasi dan melakukan adaptasi dari perubahan yang ada. Meskipun banyak startup yang mengalami impact negatif saat krisis global saat ini, namun ada pula startup hingga perusahaan yang mendapatkan impact cukup positif saat pandemi. Salah satunya adalah layanan e-commerce. Kami sebagai platform pembayaran digital secara langsung mengalami imbasnya, dilihat dari perubahan dan kebiasaan belanja online masyarakat saat ini,” kata Norman.

Tingkatkan target

Ketika kondisi startup berada pada posisi yang aman dan target telah tercapai, idealnya tidak berpuas diri dulu. Menjadi krusial bagi startup untuk selanjutnya meningkat target OKR, KPI lebih tinggi lagi, sehingga jika nantinya ada masalah yang datang, bisa belajar dan beradaptasi menghasilkan inovasi yang baru.

“Saat proses ini berlangsung kolaborasi antar tim menjadi sangat dibutuhkan. Kebanyakan inovasi hingga ide-ide baru lahir dari proses brainstorming dan kolaborasi antardivisi. Challange terus anggota tim Anda, dengan meningkatkan target yang ada,” kata Norman.

Intinya adalah temukan masalah yang ada dan coba ciptakan solusi yang tepat berangkat dari kondisi yang ada. Jika pada akhirnya startup bisa menemukan peluang baru yang lebih niche untuk kemudian bisa dimanfaatkan oleh perusahaan, tentunya menjadi hal yang positif.

“Tentunya seiring berjalannya waktu kami tidak akan pernah berhenti untuk berinovasi dan terus memperluas kolaborasi dengan pihak terkait,” kata Norman.

Application Information Will Show Up Here

Melalui IMkas, Indosat Kembali Terjun di Peta Persaingan Uang Elektronik

Indosat Ooredoo kembali mencoba peruntungan di bisnis uang elektronik dengan merilis aplikasi IMkas, setelah vakum selama tiga tahun sejak menutup Dompetku. Restu dari Bank Indonesia telah diberikan melalui surat yang disampaikan pada 19 Februari 2020.

Kepada DailySocial, Director and Chief Strategy & Innovation Officer Indosat Ooredoo Arief Musta’ín menerangkan, pada tanggal 20 Maret 2020 perseroan meluncurkan nama baru uang elektronik IMkas untuk pengguna seluler di Indonesia. Menurutnya, IMkas adalah solusi pembayaran yang melengkapi solusi digital seluler Indosat, sekaligus mendorong adopsi pembayaran digital di Indonesia.

“Perubahan brand/merek uang elektronik Indosat Ooredoo tersebut telah mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia sesuai surat No.22/126/DKSP/Srt/B tertanggal 19 Februari 2020,” terangnya, kemarin (9/6).

Dia melanjutkan, IMkas memiliki jargon “New Way of Transaction” yakni cara bertransaksi di dalam ekosistem seluler. Nama baru ini menggantikan nama sebelumnya yakni PayPro yang telah berkiprah sejak 2017.

IMkas hadir dalam bentuk aplikasi mobile dan USSD dengan beragam fitur pembelian pulsa seluler, paket data seluler, token listrik, pembayaran, tagihan air, BPJS, P2P transfer, dan pembayaran asuransi.

Tidak dijelaskan seberapa besar optimisme Indosat untuk bersaing di ranah uang elektronik ini. Arief malah merujuk pada laporan e-Conomy SEA 2019 yang dirilis Google, Temasek, dan Bain Company; pertumbuhan rata-rata ekonomi digital di Asia Tenggara mencapai 33% sejak tahun 2015. Indonesia adalah salah satu negara yang tumbuh di atas rata-rata sebesar 49% per tahun.

“Internet ekonomi di Indonesia diperkirakan akan terus bertumbuh mencapai $130 miliar di tahun 2025,” ucap dia merujuk dari laporan tersebut.

Ditambah itu, keyakinan perseroan juga didukung oleh basis pelanggan yang jumlahnya tembus di angka 56,2 juta per kuartal pertama tahun ini. “Indosat Ooredoo sebagai leading digital company berupaya terus-menerus memberikan digital experience terlengkap bagi pelanggan seluler di Indonesia.”

Belajar dari kesalahan

Sebelum GoPay, Ovo, dan Dana hadir; pemain uang elektronik awalnya didominasi oleh perbankan dan telekomunikasi. Strategi bakar uang yang diambil pemain baru ini, tidak sejalan dengan jiwa korporasi yang harus bertanggung jawab memberikan imbal hasil untuk para pemegang saham. Terlebih dari strateginya, mereka cenderung eksklusif, pangsa pasarnya terbatas pelanggannya saja.

Pilihan sulit ini akhirnya dijawab entah dengan menutupnya atau dialihkan ke perusahaan lain yang lebih “berani”. Tutupnya Dompetku pada 2017, memberikan efek domino untuk pemain telko untuk melakukan hal serupa. XL Tunai resmi ditutup pada awal tahun ini, setelah delapan tahun beroperasi.

Telkomsel lewat T-Cash akhirnya dilebur dengan beragam uang elektronik di bawah perusahaan pelat merah di bawah brand baru LinkAja dan diresmikan pada pertengahan tahun lalu. Uangku milik Smartfren hingga kini masih bertahan dan berafiliasi dengan Traveloka sebagai salah satu metode pembayaran.

Khusus rekam jejak Indosat, perseroan pertama kali mengantongi lisensi dari Bank Indonesia lewat surat BI No. 10/14/DASP perihal Izin sebagai Penerbit Uang Elektronik yang diterbitkan pada tanggal 9 Januari 2008. Setelah Dompetku dinyatakan tutup, lisensi dialihkan ke PayPro pada tahun 2017.

Setahun setelah digunakan, lisensi Dompetku dilepas karena PayPro, di bawah grup Digiasia Bios, kini memiliki lisensi sendiri yang dipegang oleh KasPro (PT Solusi Pasti Indonesia). Artinya, kurang lebih selama dua tahun lisensi Dompetku “nganggur”.

Indosat kembali mencoba peruntungannya di ranah ini, meski IMkas ini belum menganut konsep agnostik alias hanya bisa digunakan pengguna Indosat saja. DailySocial sempat menanyakan bagaimana kiat Indosat untuk meningkatkan pamor IMkas, tapi tidak dijawab oleh Arief.

Besar kemungkinannya Indosat belajar dari kesalahan sebelumnya. Makanya, IMkas juga bisa diakses dengan USSD (Unstructured Supplementary Service Data), guna memperkuat optimisme perseroan untuk menjangkau penggunanya yang ada di pelosok yang belum memiliki smartphone.

USSD merupakan salah satu teknologi pesan singkat yang dimiliki operator jaringan GSM. Umumnya dipakai untuk pertukaran teks antara ponsel dengan aplikasi yang terdapat di jaringan milik operator.

Di samping itu, penambahan fitur yang relevan dengan kebutuhan juga perlu dilakukan agar ambisi perseroan dapat terealisasi.

Application Information Will Show Up Here

Haryati Lawidjaja: LinkAja to Focus on Daily Essential Demand

Based on the Shareholder Decree dated April 29, 2020, Haryati Lawidjaja is officially appointed as LinkAja’s President Director (CEO). Since her involvement in June 2019, she previously served as COO and Acting Officer. The current CEO replaces Danu Wicaksono who has sailed to Good Doctor Indonesia.

The task is certainly not easy amid the fierce competition in the digital e-money platform in Indonesia. In her interview with DailySocial, Haryati conveyed his vision and strategy for the company.

“I, along with the best talents of LinkAja, are to focus on encouraging financial and economic inclusion through the development of a digital financial ecosystem that serves the needs of the community & SMEs in Indonesia […] We are optimistic that in 2024 LinkAja as one of the catalysts of the Non-Cash National Movement can help the government achieved 90 percent national financial inclusion,” she said.

Tighten Collaboration

The strategy she brought to strengthen LinkAja’s position is through strategic collaboration with various parties, both banking and non-banking institutions while continuing to pursue product innovation. The collaboration involves various aspects of the national economic chain, including the government.

“We collaborate with local governments through various programs, including digitalization of 451 traditional markets throughout Indonesia, retribution in 34 cities, more than 200 thousand local merchants (UKM) development, and simple payment in 94 local transportation,” Haryati added.

She added, since the launch, the service focused on providing digital financial services for the middle class/aspirants and SMEs. This is what is claimed to distinguish LinkAja with similar platforms.

“LinkAja focuses on meeting people’s essential needs, from e-commerce, communication, travel, health, insurance, investment, donations, entertainment, fuel purchases, bill payments, to various government programs such as social rock distribution and ultra micro credit; to traditional markets,” Haryati explained.

Haryati Lawidjaja to focus on collaboration and education as business strategy / LinkAja
Haryati Lawidjaja: Collaboration and education as the main strategy / LinkAja

Business growth

Public education regarding digital financial platforms is still the homework of every fintech player in Indonesia. LinkAja is quite aware. The existence of cross-sector cooperation is expected to have a significant impact to help companies educate users.

Succesful user education, according to Haryati, has a direct impact on increasing business traction, “This has proven by a 5-fold increase in the number of transactions from operation in February 2019 to the end of 2019. As many as 83% of LinkAja users are spread outside Jakarta, with 40 % of users are outside of Java, such as cities in Sumatra and Sulawesi. ”

“To date, we have more than 45 million users spread all over Indonesia, with a predominance of ages 25-35 years (as of Q1 2020),” Haryati explained.

Previously, in December 2019, LinkAja appointed Ikhsan Ramdan as CFO. One of its focus is to raise Series B in 2020. When we tried to confirm the plan, Haryati was reluctant to comment.

Related to the cooperation plan with Facebook to bring Facebook Pay in Indonesia, he also could not convey the details. As previously known, Facebook Pay is to have maneuver in Indonesia by launching the funds transfer feature through Facebook, Messenger, and WhatsApp platforms. Facebook is said to be in the middle of negotiating with regulators, while GoPay, LinkAja, and Ovo are said to be engaged as strategic partners.

Expansion plan

This year, LinkAja is still focused on the domestic market by continuing to open opportunities for strategic cooperation with regional and global players to expand its products.

“One of the obstacles in the electronic money platform, including LinkAja, is the limited access to financial services, especially for people in remote areas. Therefore, we are currently focused on continuing to educate continuously and provide easy access to electronic payments, especially for the ultra micro-segment and mass market in remote areas. ”

On a regional scale, he continued, LinkAja is the only electronic money in Indonesia that serves remittances from Indonesian Migrant Workers (PMI) in Singapore who want to send money to families in the country.

Recently, the Sharia feature was launched and is expected to be able to acquire 1 million users. The thing that distinguishes this sharia feature from conventional services is the fund deposit institution (floating fund) using sharia bank services.

 

LinkAja sharia is launched in app: in collaboration with sharia financial institution / LinkAja
LinkAja sharia is launched in app: in collaboration with sharia financial institution / LinkAja

Future trends

After this pandemic, Haryati was confident that digital services would be well impacted on user increase. The new normal resulted in changes in people’s behavior which in turn accelerated digitalization in various industrial sectors. Thus, this will expand and accelerate the need for digital financial education and access to digital finance in the community.

“For example the digitalization of traditional markets, which is a challenge for LinkAja to continue to innovate products, as well as education as soon as possible so that they can adapt and provide meaningful solutions to these new normal conditions.”

Haryati also said that people will be increasingly accustomed to digital transactions. With the inclusion level and also the increasing public financial literacy, the need for various transactions will increase. “We are optimistic that LinkAja, which is majorly-owned by SOEs, is operated by the best national workforce, and infrastructure located in Indonesia will soon become a national champion in the field of digital financial services.”

“By delivering the best talents in the digital industry, we will continue to improve the quality of services, innovate to build and develop services and ecosystems that are relevant to the Indonesian people. Increasing the relevance of LinkAja, especially the middle class/aspirants, mass and ultra micro,” she concluded.

Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian