Haryati Lawidjaja: LinkAja Fokus pada Pemenuhan Kebutuhan Esensial

Berdasarkan Surat Keputusan Pemegang Saham tertanggal 29 April 2020, Haryati Lawidjaja resmi ditunjuk sebagai Direktur Utama (CEO) LinkAja. Bergabung sejak Juni 2019, ia sebelumnya menjabat sebagai COO dan Plt. CEO menggantikan Danu Wicaksono yang kini berlabuh di Good Doctor Indonesia.

Tugas ini tentu tidak mudah di tengah persaingan ketat platform digital e-money di Indonesia. Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Haryati menyampaikan visi dan strateginya untuk perusahaan.

“Saya bersama talenta terbaik LinkAja fokus untuk mendorong inklusi keuangan dan ekonomi melalui pembangunan ekosistem keuangan digital yang melayani kebutuhan masyarakat & UKM di Indonesia […] Kami optimistis di tahun 2024 LinkAja sebagai salah satu katalis Gerakan Nasional Non-Tunai dapat turut serta membantu pemerintah mencapai inklusi keuangan nasional sebesar 90 persen,” ujarnya.

Kuatkan kolaborasi

Strategi yang digalakkannya untuk memperkuat posisi adalah melalui kerja sama strategis dengan berbagai pihak, baik dengan lembaga perbankan maupun non-perbankan, dengan tetap terus mengupayakan inovasi produk. Kerja sama yang dijalin melibatkan berbagai aspek dalam roda perekonomian nasional, termasuk pemerintahan.

“Kami berkolaborasi dengan pemerintah daerah melalui berbagai program, di antaranya digitalisasi 451 pasar tradisional di seluruh Indonesia, layanan retribusi di 34 kota, pengembangan lebih dari 200 ribu merchant lokal (UKM), hingga kemudahan pembayaran di 94 transportasi lokal,” imbuh Haryati.

Ia menambahkan, sejak awal diluncurkan layanannya fokus pada penyediaan layanan keuangan digital untuk kelas menengah/aspiran dan para pelaku UKM. Inilah yang diklaim membedakan LinkAja dengan platform sejenis.

“LinkAja fokus pada pemenuhan kebutuhan esensial masyarakat, mulai e-commerce, komunikasi, perjalanan, kesehatan, asuransi, investasi, donasi, hiburan, pembelian BBM, pembayaran tagihan, hingga berbagai program pemerintah seperti penyaluran batuan sosial dan kredit ultra mikro; hingga pasar tradisional,” terang Haryati.

Haryati Lawidjaja masih fokuskan kolaborasi dan edukasi pengguna jadi strategi bisnisnya / LinkAja
Haryati Lawidjaja: kolaborasi dan edukasi pengguna jadi strategi utama / LinkAja

Perkembangan bisnis

Edukasi masyarakat terkait platform keuangan digital masih menjadi pekerjaan rumah setiap pemain fintech di Indonesia. Hal yang sama dirasakan LinkAja. Adanya kerja sama lintas sektor diharapkan dapat memberikan dampak signifikan untuk membantu perusahaan dalam mengedukasi pengguna.

Keberhasilan edukasi pengguna ini, menurut Haryati, berdampak langsung pada peningkatan traksi bisnis, “Hal ini terbukti dengan meningkatnya jumlah transaksi sebanyak 5 kali lipat sejak beroperasi pada bulan Februari 2019 hingga akhir tahun 2019. Sebanyak 83% pengguna LinkAja tersebar di luar Jakarta, dengan 40% pengguna di antaranya berada di luar pulau Jawa seperti kota-kota di Sumatra dan Sulawesi.”

“Saat ini, kami telah memiliki lebih dari 45 juta pengguna yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan dominasi usia berusia 25 – 35 tahun (per Q1 2020),” terang Haryati.

Sebelumnya, pada Desember 2019 lalu, LinkAja menunjuk Ikhsan Ramdan sebagai CFO. Salah satu fokusnya untuk melakukan fundraising Seri B di tahun 2020. Ketika kami menanyakan perkembangan rencana tersebut, Haryati enggan memberikan komentar.

Kemudian terkait rencana kerja samanya dengan Facebook untuk membawa Facebook Pay di Indonesia, ia juga belum bisa menyampaikan detail. Seperti diketahui sebelumnya, Facebook Pay ingin bermanuver di Indonesia dengan menghadirkan fitur kirim dana melalui platform Facebook, Messenger, hingga WhatsApp. Pihak Facebook disebut tengah bernegosiasi dengan regulator, sedangkan GoPay, LinkAja, dan Ovo disebut digandeng jadi mitra strategis.

Rencana ekspansi

Untuk tahun ini, LinkAja masih fokus pada pasar domestik dengan tetap membuka kesempatan kerja sama strategis dengan pemain regional dan global untuk mengekspansikan produknya.

“Salah satu kendala platform uang elektronik, termasuk LinkAja, adalah akses terhadap layanan keuangan yang masih terbatas, terutama bagi masyarakat yang berada di daerah dan pelosok. Untuk itu, saat ini kami fokus untuk terus melakukan edukasi berkesinambungan dan menyediakan kemudahan akses terhadap pembayaran elektronik, terutama untuk segmen ultra mikro dan mass market di pelosok.”

Di skala regional, sambungnya, LinkAja merupakan satu-satunya uang elektronik di Indonesia yang melayani remitansi dari Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Singapura yang ingin mengirimkan uang ke keluarga di tanah air.

Belum lama ini, fitur Syariah juga diresmikan perusahaan dan diharapkan bisa merangkul 1 juta pengguna.Hal yang membedakan fitur syariah ini dengan layanan konvensional adalah institusi penyimpanan dana (floating fund) memakai jasa bank syariah.

LinkAja syariah sudah digulirkan di aplikasi; jalin kerja sama dengan institusi keuangan syariah / LinkAja
LinkAja syariah sudah digulirkan di aplikasi; jalin kerja sama dengan institusi keuangan syariah / LinkAja

Tren ke depan

Pasca pandemi ini, Haryati cukup percaya diri bahwa layanan digital akan terdampak baik pada peningkatan penggunaan layanan. Kondisi new normal mengakibatkan perubahan perilaku masyarakat yang pada akhirnya mempercepat digitalisasi di berbagai sektor industri. Dengan demikian, hal ini akan memperluas dan mempercepat kebutuhan edukasi keuangan digital dan akses keuangan digital di tengah masyarakat.

“Contohnya digitalisasi pasar tradisional, yang menjadi tantangan bagi LinkAja untuk terus melakukan inovasi produk, maupun edukasi secepat mungkin agar bisa beradaptasi dan memberi solusi berarti pada kondisi new normal ini.”

Haryati juga menyampaikan, masyarakat akan semakin terbiasa dengan transaksi digital. Dengan tingkat inklusi dan juga literasi keuangan masyarakat yang makin meningkat, kebutuhan terhadap beragam transaksi akan meningkat. “Kami optimistis bahwa LinkAja, yang dimiliki secara mayoritas oleh BUMN, dioperasikan oleh tenaga kerja nasional terbaik, serta infrastruktur yang berlokasi di Indonesia akan segera menjadi national champion di bidang layanan keuangan digital.”

“Dengan melahirkan talenta-talenta terbaik di industri digital, kami akan terus meningkatkan  kualitas pelayanan, berinovasi untuk membangun dan mengembangkan layanan dan ekosistem yang relevan bagi masyarakat Indonesia. Meningkatkan relevansi LinkAja terhadap masyarakat Indonesia terutama kalangan menengah/aspirant, massal dan ultra mikro,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Strategi Bank OCBC NISP untuk Penetrasi Produk Dompet Digital ONe Wallet

Bank OCBC NISP meramaikan percaturan layanan dompet digital dengan meluncurkan ONe Wallet. Dengan didapatnya izin dari Bank Indonesia awal Maret 2020 lalu, mereka siap bertransformasi dengan mengadopsi teknologi digital dan memanjakan para nasabahnya dengan berbagai fitur.

Pihak OCBC NISP menjelaskan kehadiran dari ONe Wallet ini sejalan dengan strategi mereka “Beyond Traditional Banking” untuk terus bertransformasi dan berinovasi.

“ONe Wallet akan kami fokuskan untuk memberi kemudahan dan kenyamanan layanan untuk nasabah payroll khususnya pada sektor riil dengan penghasilan pada kisaran UMR. Upaya ini sejalan dengan komitmen pemerintah untuk mendorong Gerakan Nasional Non Tunai dan meningkatkan inklusi keuangan Indonesia,” papar Head of Strategy and Innovation Bank OCBC NISP Ka Jit.

Ka Jit melanjutkan bahwa ada beberapa fitur atau layanan yang menjadi unggulan dari ONe Wallet ini, antara lain terintegrasi dengan fitur perbankan korporasi untuk pendistribusian gaji karyawan, fitur transaksi sehari-hari, tarik tunai di ATM Bank OCBC NISP dan selanjutnya akan terintegrasi dengan 400 ribu merchant dan aplikasi ONe Mobile.

Siasat di tengah persaingan dompet digital

Untuk informasi, di tahun 2020 hingga saat ini BI sudah mengeluarkan izin untuk 4 penyelenggara uang atau dompet elektronik. Selain ONe Wallet juga ada AstraPay, YourPay, dan Eidupay.

Daftar penyedia dompet digital dan uang elektronik ini bisa saja semakin bertambah. Tapi pilihan masyarakat tetap akan berdasarkan pada daya guna dan kemudahan askes dari layanan tersebut.

Layanan dompet digital juga mulai akrab dengan keseharian masyarakatnya. Integrasi dengan berbagai macam merchant dan sistem membuat dompet digital menjadi pilihan banyak orang. Beberapa nama yang cukup tenar saat ini adalah GoPay, Ovo, Dana, dan LinkAja.

Dompet digital seolah menjadi salah satu teknologi yang mulai jadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia. Selain karena kemudahan yang ditawarkan juga karena integrasi dan penawaran yang beragam bisa menyajikan pilihan terbaik bagi para penggunanya.

Berlomba-lomba di ranah integrasi, inovasi, dan juga penawaran untuk akuisisi pengguna tak terelakkan lagi. Mau tidak mau, sebagai salah satu pemain baru ONe Wallet harus bergegas, baik dalam hal integrasi maupun memperkaya fitur. Salah satu yang sudah masuk dalam rencana besar ONe Wallet adalah terintegrasi dengan ONe Mobile dan juga terhubung dengan produk-produk finansial lainnya dari OCBC NISP.

“Sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang, Bank OCBC NISP pun akan segera meluncurkan secara resmi dan terus mengembangkan fitur-fitur ONe Wallet, di antaranya pembayaran melalui QRIS dan penambahan variasi pembayaran tagihan yang dapat dilakukan melalui aplikasi ONe Wallet. Bank juga akan mengintegrasikan layanan ONe Wallet dengan One Mobile sehingga lebih maksimal dalam memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia,” jelas Ka Jit.

Application Information Will Show Up Here

Dana Introduces Home Shopping Feature, Adjusting to the Pandemic Situation

Dana digital payment platform has introduced a home shopping service that allows users to shop for goods, food and beverages from merchants through the application. Furthermore, the order will be delivered directly to the designated address. This service is one of the initiatives in response to physical distancing and PSBB policies that directly impact sellers or merchants.

“One of the most impacted by the pandemic is the food and beverage industry which experienced a very significant decrease in income in almost all locations in Indonesia. Affected parties are include the public as consumers, as well as business people ranging from micro-scale to large scale retail entrepreneurs,” Dana‘s Co-Founder & CEO, Vincent Iswara said.

This feature is designed to connect sellers or merchants with users through WhatsApp instant messaging services. Furthermore, consumers can directly order goods or food from merchants and continue payment transactions using the QRIS Fund.

Some available merchants in the system include Martha Tilaar Shop, Senopati Pharmacy, Bengawan Solo Coffee, Burgreens, Le Viet, Dailybox, Genki Sushi, Momoiro, Bariuma Ramen, Steak 21, Roti O, and several others. DANA also promises to continue improving the list of merchant partners available on this feature.

DANA Home Shopping
Dna Home Shopping

Adjusting to the pandemic situation

What Dana did was a form of business adjustment amid the pandemic. The home shopping feature will not only have an impact on users and merchants, but also the overall Dana service ecosystem.

In Singapore, Google Pay does the same thing. The “Menu Discovery” feature, which is present exclusively in Singapore’s Google Pay, offering a list of merchants selling food stalls available for orders to users.

The strategy of digital payment developers is said to be a realistic strategy. As one of the large-scale e-money users in Indonesia, DANA has not been integrated with the delivery service, while the other two players, Ovo and Gopay have been integrated with GrabFood and GoFood.

Ovo and Cashbac have launched similar innovation amid this pandemic. They offer options for users to do shoping from home. In fact, they didn’t launch exclusive features, only connect users with merchants through digital channels, both communication and payment.

Pandemic will have an impact on many things, including conditions that are often referred to as the new normal. Business reactions or innovations such as DANA may be one of many other forms of adjustment, the objective is to maintain the stability of the current business ecosystem.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Dana Luncurkan Fitur “Home Shopping”, Upaya Penyesuaian di Tengah Pandemi

Platform pembayaran digital Dana meluncurkan layanan home shopping, memungkinkan pengguna berbelanja barang, makanan dan minuman dari merchant melalui aplikasi. Selanjutnya pesanan akan diantarkan langsung ke alamat tujuan. Layanan ini merupakan salah satu inisiatif menanggapi kebijakan physical distancing dan PSBB yang berdampak langsung bagi para penjual atau merchant.

“Salah satu yang paling terdampak oleh pandemi adalah industri makanan dan minuman yang mengalami penurunan pendapatan sangat signifikan hampir di seluruh lokasi di Indonesia. Mereka yang terdampak adalah masyarakat sebagai konsumen, serta para pelaku usaha mulai dari skala mikro hingga pengusaha ritel berskala besar,” terang Co-Founder & CEO Dana Vincent Iswara.

Fitur ini didesain untuk bisa menghubungkan para penjual atau merchant dengan pengguna melalui layanan pesan instan WhatsApp. Selanjutnya konsumen dapat langsung memesan barang atau makanan dari merchant dan melanjutkan transaksi pembayaran menggunakan Dana QRIS.

Adapun beberapa merchant yang sudah tersedia dalam sistem antara lain Martha Tilaar Shop, Apotek Senopati, Bengawan Solo Coffee, Burgreens, Le Viet, Dailybox, Genki Sushi, Momoiro, Bariuma Ramen, Steak 21, Roti O, dan beberapa lainnya. Pihak DANA juga menjanjikan akan terus menambah daftar mitra merchant yang ada pada fitur ini.

DANA Home Shopping
DANA Home Shopping

Menyesuaikan diri menghadapi pandemi

Apa yang dilakukan Dana adalah salah satu bentuk penyesuaian bisnis di tengah pandemi. Kehadiran home shopping ini nantinya tidak hanya akan berdampak pada pengguna dan merchant, tetapi juga ekosistem layanan Dana secara keseluruhan.

Di Singapura, Google Pay melakukan hal yang serupa. Fitur “Menu Discovery” yang hadir eksklusif di Google Pay Singapura tersebut menghadirkan daftar merchant yang menjajakan warung makanan yang juga bisa dipilih atau dipesan penggunanya.

Strategi para pengembang pembayaran digital bisa dibilang jadi strategi yang realistis. Sebagai salah satu e-money yang cukup besar penggunanya di Indonesia sebelumnya hanya DANA yang belum terintegrasi dengan layanan pesan antar, sementara dua pemain lainnya, Ovo dan Gopay sudah terintegrasi dengan GrabFood dan GoFood.

Inovasi di tengah pandemi yang serupa juga dilakukan oleh Ovo dan Cashbac. Mereka menghadirkan pilihan bagi pengguna untuk berbelanja dari rumah. Bedanya keduanya tidak menghadirkan fitur eksklusif tetapi hanya menghubungkan pengguna dengan merchant melalui kanal digital, baik komunikasi maupun pembayaran.

Pandemi akan berdampak pada banyak hal, termasuk kondisi yang banyak disebut sebagai new normal. Reaksi atau inovasi bisnis seperti yang Dana ini mungkin adalah satu dari banyak bentuk penyesuaian lainnya, tujuannya tentu untuk tetap menjaga stabilitas ekosistem bisnis yang sudah dibangun selama ini.

Application Information Will Show Up Here

Menimbang Rencana Kolaborasi Facebook dan Pemain Fintech Lokal untuk Sistem Pembayaran

Berdasarkan data yang dirangkum oleh WeAreSocial per awal tahun 2020 ini, Indonesia memiliki sekitar 160 juta pengguna media sosial aktif. Sebanyak 84% dari total tersebut menggunakan WhatsApp, 82% menggunakan Facebook, 79% menggunakan Instagram, dan 50% menggunakan Messenger.

Pada November 2019, Facebook Pay diluncurkan diperkenalkan sebagai layanan pembayaran yang memungkinkan pengguna untuk mengirim dan menerima uang melalui empat aplikasi di atas. Di versi awalnya untuk penggunaan di negara asalnya, pengguna dapat memanfaatkan kartu kredit untuk diintegrasikan ke dalamnya.

Sebenarnya inisiatif ini bukan hal baru, beberapa raksasa digital lain juga meluncurkan inisiatif serupa, misalnya Google Wallet dan Apple Pay. Yang membuat jadi menarik, santer terdengar rumor bahwa layanan pembayaran perusahaan yang diinisiasi Mark Zuckerburg tersebut akan dibawa ke Indonesia. Alih-alih bekerja sama dengan bank untuk transaksi via kartu kredit, mereka menggandeng pemain fintech lokal yang bergerak di bidang pembayaran.

Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Filianingsih Hendarta kepada Reuters mengatakan, tiga pemain fintech lokal telah mulai membincangkan rencana tersebut kepada BI sekaligus memohon persetujuan. Belakangan diketahui, perusahaan yang dirangkul Facebook adalah tiga platform terbesar saat ini, yaitu GoPay, LinkAja, dan Ovo.

Ditegaskan kembali hal ini masih dalam diskusi. Belum ada proses pengajuan resmi yang dilakukan perusahaan tersebut.

Facebook Pay
Layanan Facebook Pay yang diluncurkan pada November 2019 lalu / Facebook

Konsolidasi dengan pemain fintech lebih masuk akal

Pagi ini kami mencoba menghubungi tim Facebook di Indonesia. Mereka masih enggan untuk memberikan keterangan terkait rencana tersebut. Pun demikian dengan pihak fintech lokal.

Namun demikian, menurut sumber lain yang dikutip Reuters, Facebook Inc sedang bersiap untuk mengajukan diri sebagai mobile payment yang beroperasi di Indonesia, bermitra strategis dengan tiga perusahaan fintech di atas.

Berdasarkan data Bank Indonesia, jumlah kartu kredit beredar per Februari 2020 tercatat 17,61 juta. Rasionya masih sangat kecil dibandingkan dengan total penduduk atau bahkan populasi pengguna internet di Indonesia. Sementara penetrasi digital wallet jauh melampaui pertumbuhan pengguna kartu kredit. Ambil contoh pada Desember 2019, LinkAja catatkan lebih dari 40 juta pengguna. Cukup masuk akal jika di Indonesia Facebook lebih memilih pemain fintech ketimbang bank untuk debutnya.

Jika integrasi ini berhasil dilakukan, nantinya pengguna Facebook, Instagram, Messenger, dan WhatsApp bisa berkirim uang menggunakan nominal saldo yang tersimpan di akun GoPay, LinkAja, atau Ovo yang dihubungkan dengan layanan Facebook Pay.

Apa jadi ancaman?

Sebanyak 59% dari total penduduk di Indonesia adalah pengguna media sosial. Jika diakumulasi, pengguna aplikasi dari “keluarga Facebook” akan mendominasi. Jelas ini bukan angka yang kecil untuk sebuah statistik pengguna platform digital – bahkan bisa dibilang yang terbesar, bagaikan sebuah ekosistem tersendiri yang dapat dikembangkan potensi bisnisnya.

Bagi pemain fintech lokal yang menjadi mitra, jelas ini kesempatan baik untuk meningkatkan sebaran pengguna layanan mereka. Facebook sendiri memiliki beberapa layanan bisnis yang berpotensi dapat turut melibatkan sistem pembayaran, misalnya untuk mendukung sistem marketplace, kegiatan donasi, atau pembayaran iklan.

LinkAja Officially Launches Sharia Feature

After few months of trial, Linkaja officially launched the sharia feature to public. They target to reach one million users for this service.

LinkAja first introduced the sharia features in November last year. One of the most distinguishing features of this sharia is its conventional services as an institution for the deposit (floating funds) to top up balances using the services of Islamic banks.

“LinkAja Syariah targets one million users in the first year,” Acting Director of LinkAja Haryati Lawidjaja said on Tuesday (4/14).

In order to pursue the target, LinkAja has collaborated with 1000 mosques, 11 waqf institutions, 23 zakat institutions, and 67 donation institutions. LinkAja’s ecosystem has been fairly complete, especially since the Islamic economy in Indonesia and the global economy is getting hype in recent years.

Head of Syariah Group LinkAja Channel, Widjayanto Djaenudin said, there are currently several service features that can be used widely, such as qurban, infaq, top-up balance, and zakat. He promised that soon their services could also be used to pay boarding school bills.

“We want to make LinkAja Syariah not available at non-halal merchants. Once choosing to become LinkAja sharia service users, they should already aware of the fact,” Djaenudin said.

LinkAja currently has more than 40 million users with 500 thousand merchants. Their current status positioned LinkAja as the first Sharia electronic money platform in Indonesia. It creates optimism for the company to dominate the Islamic electronic money market in Indonesia.

One of LinkAja’s fast methods to become topnotch is to partner with the Directorate General of Hajj and Umrah Management of the Ministry of Religion. “We have discussed this. I think all shareholders are very supportive to get there,” LinkAja’s President Commissioner, Heri Supriadi said.

On this occasion, Supriadi said that it was possible for their team to compete in other Muslim-majority countries such as Pakistan or Bangladesh. Moreover, Heri highlighted LinkAja’s target to be Indonesia’s number one as the largest Muslim country before expanding into other countries.

Currently, all LinkAja users can access sharia features by updating the application version on Google PlayStore.

DSResearch report of the most popular digital wallet in Indonesia
DSResearch report of the most popular digital wallet in Indonesia

In Indonesia, LinkAja has direct competition with some other digital wallet providers. Based on the DSResearch’s survey published on Fintech Report 2019, LinkAja placed in the fourth position in terms of the most used digital wallet platforms after Gopay, Ovo, and Dana. The service’s feature and integration mark an important value to win the customer’s interest, and each player is on the track to get there — to be the most complete digital wallet.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

LinkAja Resmi Luncurkan Fitur Syariah

Setelah uji coba beberapa bulan, akhirnya LinkAja meluncurkan fitur syariah mereka ke publik luas. LinkAja langsung menargetkan layanan syariah ini dapat menjangkau satu juta pengguna.

LinkAja pertama kali memperkenalkan fitur syariah pada November tahun lalu. Satu yang paling membedakan dari fitur syariah ini dengan layanan konvensional mereka adalah institusi untuk penyimpanan dana (floating fund) untuk melakukan top up saldo memakai jasa bank syariah.

“Target pengguna LinkAja Syariah pada tahun pertama adalah satu juta pengguna,” ucap Plt Direktur Utama LinkAja Haryati Lawidjaja, Selasa (14/4).

Guna mengejar target tersebut, LinkAja sudah menggandeng mitra kerja seperti 1000 masjid, 11 lembaga wakaf, 23 lembaga zakat, dan 67 lembaga donasi. Ekosistem yang dijalin LinkAja ini sudah terbilang cukup lengkap, apalagi ekonomi syariah di Indonesia dan global sedang bergeliat beberapa tahun terakhir.

Head of Group Syariah Channel LinkAja Widjayanto Djaenudin mengatakan, saat ini sudah ada beberapa fitur layanan yang sudah dapat digunakan secara luas yakni pembayaran kurban, infaq, isi ulang saldo, dan zakat. Ia menjanjikan tak lama lagi layanan mereka juga bisa dipakai untuk membayar tagihan sekolah pesantren.

“Kami inginnya pengguna tidak bisa memakai LinkAja Syariah di merchant nonhalal. Ketika memilih jadi pengguna layanan syariah LinkAja kita berharap mereka sudah punya kesadaran itu,” imbuh Widjayanto.

LinkAja sendiri saat ini sudah memiliki lebih dari 40 juta pengguna dengan 500 ribu merchant. Status mereka saat ini menjadikan LinkAja sebagai platform uang elektronik syariah pertama di Indonesia. Hal ini menjadikan mereka optimis untuk menguasai pasar uang elektronik syariah di Indonesia.

Salah satu metode kilat LinkAja untuk menjadi nomor wahid itu adalah menggandeng Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh Kementerian Agama. “Ini sudah kami diskusikan. Saya rasa semua shareholder sangat mendukung untuk ke sana,” ujar Komisaris Utama LinkAja Heri Supriadi.

Bahkan dalam kesempatan tersebut, Heri sempat mengutarakan bukan mustahil pihaknya berkompetisi di negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya seperti Pakistan atau Bangladesh. Kendati begitu Heri menggarisbawahi LinkAja ingin menjadi yang nomor satu di Indonesia sebagai negara muslim terbesar sebelum ekspansi ke negara lain.

Kini seluruh pengguna LinkAja sudah dapat mengakses fitur syariah dengan memperbarui versi aplikasi tersebut di Google PlayStore.

Laporan DSResearch tentang digital wallet paling banyak digunakan oleh responden
Laporan DSResearch tentang digital wallet paling banyak digunakan oleh responden

Di Indonesia, LinkAja bersaing langsung dengan beberapa penyedia digital wallet lainnya. Berdasarkan hasil survei DSResearch yang dipublikasikan dalam Fintech Report 2019, LinkAja berada dalam peringkat keempat dari sisi jumlah penggunaan, setelah Gopay, Ovo, dan Dana. Fitur dan integrasi layanan memang menjadi poin penting untuk memenangkan hati konsumen, dan kini masing-masing pemain terus berlomba ke arah sana — untuk menjadi digital wallet paling lengkap.

Application Information Will Show Up Here

XL Axiata to Shut Down XL Tunai E-Money Service

XL Axiata (XL) cellular operator is to shut down XL Tunai e-money service after eight years of operation. This decision was taken as the difficulty to grow amid intense competition with other digital wallet players.

Regarding the shutdown, XL has conducted socialization with its customers via SMS. The written statement: “Dear Customer, your XL Tunai service will be terminated on 28/02/2020 due to your balance at Rp 0”.

Furthermore, another SMS stated: “Dear Customer, we are to re-inform you that XL Tunai-in balance / cash-in has been closed as of 12/02/2020. Your balance can still be used for transactions through *808#”.

A familiar source told DailySocial, XL Axiata’s CEO Dian Siswarini said that the service termination referred to the termination for balance top-up or cash in.

“Termination balance top-up is to stop money circulation. We really plan to shut down XL Tunai, but it can’t just be, because we have to get approval from Bank Indonesia (BI) as the issuer,” Dian said.

There are no further details regarding this shutdown. Dian said that she was still discussing with BI regarding the mechanism of closing its services.

XL Tunai was launched in 2012 and currently has 2 million users. Just like other e-money services, XL Tunai can be used to send and receive funds, pay bills, and buy tickets.

Challenging not to be agnostic

One of the biggest challenges for operators in the e-money business today was to shift banking domination. It’s getting harder when GoPay, OVO, and solutions from digital services increasingly exist.

Operators are considered to have failed to boost the users’ growth and e-money transactions due to a lack of merchant inclusiveness and ecosystem. The market share is limited to only customers.

Of the total 56 million XL customers, only 2 million are using XL Tunai. Telkomsel, with the largest customer base of 167 million, only acquired 20 million users – only half of them are active in transactions.

It’s a strategic step when T-cash decided to become an agnostic e-money platform at the end of 2018. It’s intended to become a platform that is free to use by anyone, without having to be a Telkomsel customer. T-cash and server-based e-money services run by state-owned banks have now merged into LinkAja.

Based on the 2019 Fintech Report, GoPay is currently the most used digital wallet of 83.3 percent, followed by OVO (81.4%), DANA (68.2%), and LinkAja (53%).

The fall of cellular operator’s digital business

Since 2018, XL Tunai operations have been transferred to its parent company, Axiata Digital Services. According to the latest news, the transfer was made so that XL could focus on its main business as telecommunications provider.

This is actually a strategy to remain efficient as a group, especially after XL failed to build Elevenia as an e-commerce joint venture with SK Planet. In the end, all of the blue operators’ digital businesses were left entirely to Axiata Group.

“We do not plan to substitute XL Tunai with a similar new service. The new plan [digital business] is actually there, but now it is handled in groups by the holding company,” he explained.

XL is not the only one failed to build a digital business. Indosat Ooredoo experienced the same failure. The company launched Dompetku to be merged into PayPro in the midst of 2017, also closed the Cipika marketplace because it did not want to keep burning money.

Reflecting on the issue above, telecommunications operators actually have a great opportunity to create new revenue from digital business. Operators have a large customer base and extensive network infrastructure. Its position as a telecommunications operator is advantageous because it must stay ahead of technological developments.

On the other hand, operators should move quickly in the face of competition with Over-The-Top (OTT) players. The growth of the telecommunications industry continues to fall and the cellular business is no longer expected. In other words, they must maintain profitability while continuing to build networks.

Although starting to refocus on the cellular as its core business, telecommunications operators still need to prepare themselves for the next 5-10 years to face the digitalization era.

What should be sought together is how the telecommunications industry finds the right business models and strategies in running digital businesses in the future, including finding capable talents to develop digital businesses.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

XL Axiata Segera Tutup Layanan Uang Elektronik XL Tunai

Operator seluler XL Axiata (XL) segera menutup layanan e-money XL Tunai setelah delapan tahun beroperasi. Penutupan ini menyusul semakin sulitnya ruang untuk bertumbuh di tengah ketatnya persaingan dengan pemain dompet digital.

Mengenai penutupan layanan ini, XL sudah melakukan sosialisasi kepada pelanggannya melalui SMS. Isinya tertulis: “Pelanggan Yth, layanan XL Tunai Anda akan dihentikan pada 28/02/2020 karena saldo Anda Rp0”.

Kemudian, SMS lainnya berisi: “Pelanggan Yth, kami infokan kembali bahwa pengisian saldo/cashin-in XL Tunai telah ditutup per 12/02/2020. Saldo Anda masih bisa dipakai untuk transaksi di *808#”.

Dari informasi yang diterima DailySocial, CEO XL Axiata Dian Siswarini menyebutkan penghentian layanan dimaksud saat ini adalah penghentian untuk pengisian saldo atau cash in.

“Penghentian isi saldo ini supaya tidak ada uang beredar lagi. Kita memang berencana menutup XL Tunai, tapi tidak bisa begitu saja karena harus dapat approval dari Bank Indonesia (BI) selaku pemberi lisensi,” ujar Dian.

Belum ada rincian lebih lanjut mengenai rencana penutupan ini. Dian menambahkan bahwa pihaknya masih berdiskusi dengan BI terkait mekanisme penutupan layanannya.

XL Tunai diluncurkan pada 2012 dan saat ini memiliki 2 juta pengguna. Sama seperti layanan e-money lainnya, XL Tunai dapat digunakan untuk mengirim dan menerima dana, membayar tagihan, hingga membeli tiket.

Sulit jika tidak agnostik

Salah satu tantangan terbesar operator di bisnis e-money saat itu adalah menggeser dominasi perbankan. Semakin berat kala GoPay, OVO, dan solusi dari layanan digital makin exist.

Operator dianggap gagal mendongkrak pertumbuhan pengguna dan transaksi e-money miliknya karena kurangnya inklusivitas dan ekosistem merchant. Pangsa pasarnya hanya terbatas pada orang yang menjadi pelanggannya saja.

XL punya 56 juta pelanggan, tapi cuma 2 juta yang memakai XL Tunai. Telkomsel sendiri, dengan basis pelanggan terbesar sebanyak 167 juta, cuma mengantongi 20 juta pengguna–itupun hanya setengahnya yang aktif bertransaksi.

Sebuah langkah yang tepat ketika T-cash memutuskan untuk menjadi platform e-money yang agnostik di akhir 2018. Agnostik yang dimaksud adalah menjadi platform yang bebas dipakai oleh siapapun, tanpa perlu jadi pelanggan Telkomsel. T-cash dan layanan e-money berbasis server milik bank-bank pelat merah kini melebur menjadi LinkAja.

Berdasarkan Fintech Report 2019, saat ini GoPay menjadi digital wallet paling banyak dipakai sebesar 83,3 persen, diikuti OVO (81,4%), DANA (68,2%), dan LinkAja (53%).

Keruntuhan bisnis digital operator seluler

Sejak tahun 2018, operasional XL Tunai telah dialihkan ke induk usahanya, yaitu Axiata Digital Services. Menurut pemberitaan terakhir, pengalihan ini dilakukan agar XL bisa fokus di bisnis utamanya sebagai penyelenggara telekomunikasi.

Pengalihan ini sebetulnya adalah strategi untuk tetap efisien secara grup, terutama pasca kegagalan XL membangun bisnis patungan e-commerce Elevenia bersama SK Planet. Pada akhirnya, seluruh bisnis digital operator biru ini diserahkan sepenuhnya kepada Axiata Group.

“Kami belum berencana untuk menyubstitusi XL Tunai dengan layanan baru yang serupa. Plan baru [bisnis digital] sebetulnya masih ada, tapi sekarang ditangani secara grup oleh induk usaha,” paparnya.

Tak cuma XL yang gagal membangun bisnis digital. Indosat Ooredoo juga punya pengalaman yang sama. Perusahaan melepas bisnis Dompetku untuk dilebur menjadi PayPro di paruh 2017, lalu menutup marketplace Cipika karena tak ingin terus-terusan “bakar uang”.

Berkaca dari hal di atas, operator telekomunikasi sebetulnya punya peluang besar untuk menciptakan pendapatan baru dari bisnis digital. Operator punya basis pelanggan yang besar dan infrastruktur jaringan yang luas. Posisinya sebagai operator telekomunikasi menguntungkan karena mereka harus tetap terdepan terhadap perkembangan teknologi.

Di sisi lain, operator harus bergerak cepat dalam menghadapi persaingan dengan pemain Over-The-Top (OTT). Pertumbuhan industri telekomunikasi terus tergerus dan bisnis seluler tidak lagi selamanya diharapkan. Dengan kata lain, mereka harus menjaga profitabilitas sambil terus membangun jaringan.

Meski mulai kembali fokus ke bisnis seluler sebagai bisnis utamanya, tetap saja operator telekomunikasi perlu mempersiapkan diri 5-10 tahun mendatang dalam menghadapi era digitalisasi.

Yang perlu dicari bersama adalah bagaimana industri telekomunikasi menemukan model bisnis dan strategi yang tepat dalam menjalankan bisnis digital di masa depan, termasuk menemukan talenta yang mampu mengembangkan bisnis digital.

Fokus Raih Profit dan Bisnis Berkelanjutan, GoPay Mulai Kurangi Kegiatan “Bakar Uang”

Konsisten dengan tujuan utama untuk meraih profit dan bisnis berkelanjutan, GoPay secara perlahan mulai mengurangi kegiatan “bakar uang” dengan jumlah promo semakin kecil. Padahal, menurut Managing Director GoPay Budi Gandasoebrata, strategi bakar uang relatif lumrah dilakukan platform dompet digital saat ini.

Secara umum pemberian promo memang sangat efektif untuk mengakuisisi pengguna baru, tapi jika terus dibiarkan bisa menjadi masalah yang akan berpengaruh kepada bisnis perusahaan. Tidak dimungkiri kegiatan promo sulit untuk langsung dihentikan, namun dengan cara yang tepat didukung dengan produk yang relevan, paling tidak bisa membantu kegiatan ini lebih kecil volumenya.

“Kalau misalnya kita lihat saat ini, justru dari semua platform dompet digital yang ada, yang promonya paling kecil adalah GoPay. Tapi pengguna kita justru month-to-month jumlahnya tetap naik, hal tersebut menjadi validasi terhadap strategi yang kita terapkan bahwa promo memang tidak bisa ditinggalkan, tapi pada akhirnya produk yang menentukan,” kata Budi.

Disinggung apakah kegiatan ini mempengaruhi jumlah pengguna yang loyal dan retention, menurut Budi sejauh ini tidak terlalu berpengaruh. Selama kegiatan tersebut dilancarkan, masih banyak pengguna yang kemudian menggunakan kembali semua fitur yang ada dalam ekosistem Gojek, meskipun promo mulai berkurang jumlahnya.

“Kuncinya adalah inovasi dan juga program yang kami lakukan, yaitu promo yang lebih efisien dan targeted. Karena jika kita lihat industri perbankan misalnya seperti kartu kredit, mereka juga masih memberikan promo, tapi lebih targeted sifatnya,” kata Budi.

Persaingan positif platform dompet digital

Hasil survei tentang awareness layanan digital wallet di Indonesia dalam Fintech Report 2019
Hasil survei tentang awareness layanan digital wallet di Indonesia dalam Fintech Report 2019

Salah satu alasan mengapa kegiatan bakar uang makin sering dilakukan adalah persaingan dan pilihan yang makin banyak dari pemain serupa untuk menjangkau lebih banyak pengguna. Menurut Budi, persaingan justru disambut baik. Dengan demikian masing-masing platform berlomba-lomba untuk memberikan produk yang bisa lebih baik lagi.

Di Gojek sendiri fokus utama adalah bagaimana fitur yang ada bisa terus membantu semua pengguna memanfaatkan GoPay untuk bertransaksi di dalam ekosistem hingga di luar ekosistem.

Meskipun saat ini GoPay masih banyak digunakan untuk transaksi dengan nominal kecil dan kebanyakan bersifat mikro, tidak berarti platform ini tidak memiliki peluang mendapatkan pendapatan tambahan. Memanfaatkan kolaborasi dengan bank, merchant dan ekosistem unggulan di Gojek yaitu GoFood, GoPay mengklaim bisa memperoleh pendapatan tambahan yang lebih stabil.

Mulai banyak diterapkannya QR Code dan peluncuran QRIS dari Bank Indonesia juga dilihat oleh GoPay sebagai peluang yang makin menguntungkan untuk perusahaan, dengan demikian kesempatan untuk menjalin kemitraan dengan enterprise makin besar peluangnya yang akan memberikan dampak lebih baik kepada pemasukan bisnis.

GoFood dan GoPay kini dikenal sebagai dua bisnis utama Gojek yang paling cepat pertumbuhannya ketimbang layanan lain. Tahun lalu disebutkan GoFood mencetak revenue $2 miliar, 50 juta transaksi per bulan, dan pertumbuhan naik 2,5 kali lipat. Sementara GoPay berkontribusi $6,3 miliar, meski pertumbuhannya tidak disebutkan.

“Kami juga bersyukur memiliki investor yang banyak dari kalangan blue chip company yang sejak awal mendorong kita untuk fokus kepada profit. Apa yang sudah kami lakukan sejauh ini telah dihargai oleh mereka, karena memang dari awal fokus kita tidak pernah berubah yaitu profit dan sustainability,” kata Budi.

Application Information Will Show Up Here