DOKU Secures 458 Billion Rupiah Funding from Apis Growth Fund II

DOKU announces $32 million (over 458 billion Rupiah) funding round from Apis Growth Fund II, a private equity fund managed by Apis Partners LLP, a UK-based asset manager that supports growing financial services and fintech businesses. DOKU is Apis Partners’ first portfolio in Indonesia.

DOKU is a subsidiary of PT Elang Andalan Nusantara (EAN), a joint venture owned by Emtek and Alibaba. Based on Emtek’s financial report, PT Kreatif Media Karya (KMK) holds a 55% stake in EAN’s second-tier subsidiary. Furthermore, it is sold to a third party.

The transaction resulted in KMK to lose control in EAN and subsequently stopped consolidating EAN’s financial statements to the Group’s consolidated financial statements.

DOKU will use the fresh funds to accelerate the development of some new offerings for businesses and consumers, as well as to expand the company’s geographical reach in providing access to digital payments for the Indonesian people.

“[..] We believe by supporting such company as DOKU, we will benefit from its proven experience. This collaboration with Apis Partners is a new chapter for DOKU and we are very excited to continue this partnership,” DOKU’s Co-Founder and COO, Nabilah Alsagoff said during a virtual press conference, Thursday (5/8).

In an official statement, Apis Partners Managing Partner and Co-Founder Matteo Stefanel said, “We are delighted to partner with DOKU in Apis Partners’ first investment in Indonesia, which reflects our trust in this country as an investment field. We are delighted to be working with a team that has built a market-leading organization [..],” he said.

In global realm, Apis Partners has several payment gateway startup portfolios, such as EPS (India), DPO (Africa), GHL (Malaysia), Adumo (South Africa), and Codapay (Singapore).

DOKU’s growth

DOKU was founded in 2007 as the sole digital payment player in Indonesia with the most complete payment license from fund transfer, e-wallet, and e-money to customers. The company also has a remittance license, collaborated with partners in neighboring countries to facilitate transfers between countries.

Last year alone, DOKU processed 47 million transactions with a total processed value of $2.9 billion. One of the reasons of the increase transactions was the game vouchers purchase as many people had to stay at home. Furthermore, it also comes from online transportation payments, the result of DOKU’s collaboration with Maxim.

“Game purchasing recorded an increasing number, one of which was due to stay at home policy. Moreover, we are intensifying partnerships with game publishers, such as Unipin, also Google Play, soon to live with TikTok, and Facebook for advertising purchase,” DOKU’s CMO, Himelda Renuat said.

One fascinating data is the surge in newly registered QRIS merchants with 1583% YOY and an increase of more than 30% for the retail, game, and digital content merchant categories.

DOKU’s core business is payment gateway, which contributes as much as 70% to the total service. Apart from that, DOKU’s other businesses are Collaborative Commerce (DOKU Wallet) and Transfer Service (remittance and disbursement).

Last April, the company announced a rebrand for its payment gateway business to “Jokul” with objective to create more familiar approach to users from all business circles, corporations, startups, MSMEs, to individual sellers. Jokul is a slang word in the 90s that means “to sell”. It is said that more than 5 thousand businesses have registered as organic merchants.

The large market of payment gateway

According to research by Mordor Intelligence, the global payment gateway service market has reached $17.2 billion in 2020. It is projected to grow at $42.9 billion by 2026.

In Indonesia, there are several players who provide related services, helping digital businesses to accommodate payments. Among those are Midtrans, Faspay, Xendit, and others.

The potential is there and wide, considering that consumers in Indonesia have varied options for their online payment system. According to a survey by iPrice and Jakpat last year, bank transfer still dominates, followed by e-wallet and other payments.

The role of payment gateway service is to provide simplification for developers. Instead of having to do manual integration for each payment system, they can use a ready-made service by plugging the payment gateway API into the application backend.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

DOKU Tutup Pendanaan 458 Miliar Rupiah dari Apis Growth Fund II

DOKU mengumumkan perolehan pendanaan sebesar $32 juta (lebih dari 458 miliar Rupiah) dari Apis Growth Fund II, dana ekuitas swasta yang dikelola oleh Apis Partners LLP, manajer aset berbasis Inggris yang mendukung bisnis layanan finansial dan fintech dalam tahap pertumbuhan. DOKU menjadi portofolio pertama Apis Partners di Indonesia.

DOKU merupakan salah satu anak usaha dari PT Elang Andalan Nusantara (EAN). EAN adalah perusahaan patungan yang sahamnya dimiliki Emtek dan Alibaba. Berdasarkan laporan keuangan Emtek, PT Kreatif Media Karya (KMK) memegang 55% saham atas cucu usaha EAN. Kemudian dijual ke pihak ketiga.

Transaksi tersebut menyebabkan KMK kehilangan pengendalian di EAN dan selanjutnya KMK berhenti mengkonsolidasikan laporan keuangan EAN ke laporan keuangan konsolidasian Kelompok Usaha.

Dana segar akan dimanfaatkan DOKU untuk mempercepat pengembangan sejumlah penawaran baru untuk bisnis dan konsumen, serta memperluas jangkauan geografis perusahaan dalam menyediakan akses pembayaran digital bagi masyarakat Indonesia.

“[..] Kami percaya dengan mendukung perusahaan seperti DOKU, kami akan mendapatkan manfaat dari pengalaman mereka yang telah terbukti. Kami melihat kolaborasi dengan Apis Partners sebagai babak baru bagi DOKU dan kami sangat antusias untuk melanjutkan kemitraan ini,” ucap Co-Founder dan COO DOKU Nabilah Alsagoff saat konferensi pers virtual, Kamis (5/8).

Secara terpisah dalam keterangan resmi, Managing Partner dan Co-Founder Apis Partners Matteo Stefanel mengatakan, “Kami senang dapat bermitra dengan DOKU dalam investasi pertama Apis Partners di Indonesia, yang mencerminkan kepercayaan kami terhadap negara ini sebagai lokasi investasi. Kami senang dapat bekerja sama dengan tim yang telah membangun organisasi terdepan di pasar [..],” ucapnya.

Secara global, Apis Partners memiliki sejumlah portofolio startup payment gateway, seperti EPS (India), DPO (Afrika), GHL (Malaysia), adumo (Afrika Selatan), dan Codapay (Singapura).

Kinerja DOKU

DOKU didirikan pada 2007 sebagai satu-satunya pemain pembayaran digital di Indonesia dengan lisensi pembayaran terlengkap, mulai dari transfer dana, e-wallet, dan e-money kepada pelanggan. Perusahaan juga memiliki izin remitansi, telah bekerja sama dengan mitra di negara tetangga untuk memfasilitas transfer antar negara.

Pada tahun lalu saja, DOKU telah memroses 47 juta transaksi dengan total nilai yang diproses sebesar $2,9 miliar. Kenaikan transaksi ini salah satunya disumbangkan dari pembelian voucher game karena banyak orang harus berada di rumah saja. Selanjutnya juga datang dari pembayaran transportasi online, hasil kerja sama DOKU dengan Maxim.

“Belanja game mencatatkan kenaikan yang menarik, salah satunya karena harus di rumah saja. Untuk itu kami gencarkan kemitraan dengan game publisher, seperti Unipin, ada Google Play, TikTok akan segera live, dan Facebook untuk belanja iklan,” tambah CMO DOKU Himelda Renuat.

Data menarik lainnya adalah lonjakan pada pedagang QRIS yang baru terdaftar sebesar 1583% secara YOY dan kenaikan lebih dari 30% untuk kategori pedagang ritel, game, dan konten digital.

Bisnis utama DOKU adalah payment gateway yang berkontribusi sebanyak 70% terhadap total keseluruhan layanan. Di luar itu, bisnis lainnya dari DOKU adalah Collaborative Commerce (DOKU Wallet) dan Transfer Service (remitansi dan disbursement).

Pada April kemarin, perusahaan mengumumkan rebrand untuk bisnis payment gateway-nya menjadi “Jokul” agar makin dikenal pengguna dari semua kalangan bisnis, baik itu korporasi, startup, UMKM, hingga penjual individu. Jokul adalah kata slang pada tahun 90-an yang memiliki arti “jualan”. Disebutkan ada lebih dari 5 ribu bisnis telah terdaftar sebagai merchant secara organik.

Pasar besar layanan payment gateway

Menurut riset yang dilakukan Mordor Intelligence, ukuran pasar layanan payment gateway secara global telah menyentuh angka $17,2 miliar pada tahun 2020. Diproyeksikan akan bertumbuh menjadi $42,9 miliar pada tahun 2026 mendatang.

Di Indonesia sendiri, ada beberapa pemain yang menyajikan layanan terkait, membantu bisnis digital untuk mengakomodasi pembayaran. Di antaranya Midtrans, Faspay, Xendit, dan lain-lain.

Potensinya masih sangat besar, mengingat konsumen di Indonesia memiliki pilihan yang bervariasi untuk sistem pembayaran online-nya. Menurut servei yang dilakukan iPrice dan Jakpat tahun lalu, metode transfer bank masih mendominasi, dilanjutkan e-wallet, dan pembayaran lainnya.

Peran layanan payment gateway adalah memberikan simplifikasi bagi pengembang. Alih-alih harus melakukan integrasi manual satu per satu untuk setiap sistem pembayaran, mereka bisa menggunakan layanan siap pakai dengan menyambungkan API payment gateway ke dalam backend aplikasi.

Application Information Will Show Up Here

Google Play Tambah DOKU Sebagai Opsi Pembayaran

DOKU mengumumkan kehadiran di Google Play sebagai tambahan opsi pembayaran teranyar, melengkapi pemain e-money lainnya yang sudah lebih dulu hadir, yakni Gopay dan ShopeePay. Ke depannya DOKU akan terus melengkapi jenis metode pembayaran dalam Google Play, sehingga konten digital berbayar yang ada di dalamnya dapat diperoleh dengan mudah.

“Saat ini mobile commerce dengan metode in-app payment menjadi semakin populer dan banyak dipilih konsumen karena lebih praktis dan nyaman, terutama bagi generasi muda yang kesehariannya sangat bergantung dengan smartphone mereka,” ucap Chief of International Partnership DOKU Alison Jap dalam keterangan resmi, Selasa (15/6).

Adapun cara mengaktifkan DOKU e-Wallet dalam Google Play terbilang cukup mudah. Pertama, pengguna pilih menu Payments & Subscription. Kedua, pilih menu Payment Methods. Terakhir, menambahkan DOKU sebagai metode pembayaran.

Mengutip dari sebuah riset yang dikeluarkan oleh JP Morgan ‘2020 Payment Trends Report’ untuk pasar Indonesia terungkap bahwa digital wallet adalah metode pembayaran dengan tingkat kepopuleran yang cepat melesat. Pada 2019, penggunaan digital wallet sebesar 16% dibandingkan opsi lainnya. Diprediksi pada 2023 mendatang akan meningkat hingga 23%.

Lebih lanjut, riset tersebut juga menyatakan pada 2019 mobile commerce dengan metode in-app payment lebih digemari oleh konsumen (69%) daripada pembayaran melalui browser (31%).

Sejak resmi diluncurkan pada 2013, DOKU e-Wallet fokus pada pertumbuhan organik yang konsisten dengan segmentasi profil pengguna yang lebih matang. Diklaim penggunanya saat ini sebanyak 3,7 juta orang dengan nilai rata-rata transaksi Rp300 ribu-Rp400 ribu.

Para pengguna mayoritas menggunakan fitur pembayaran tagihan, pulsa, token listrik, iuran BPJS secara autodebet, transfer dana, dan belanja online. Tak hanya itu, DOKU e-Wallet sudah dilengkapi dengan fitur scan QRIS yang mempermudah pengguna ketika melakukan pembayaran baik online maupun onsite.

Sebelumnya DOKU e-Wallet mengumumkan penambahan fitur ‘Bayar di Toko’ yang dapat digunakan di gerai Alfamart dan Indomaret pada tahun lalu.

Secara perusahaan, DOKU memiliki tiga pilar bisnis, yakni DOKU e-Wallet, remitansi & disbursement, dan payment gateway. Bisnis yang terakhir ini adalah bisnis utama DOKU yang berkontribusi sebanyak 70% secara pendapatan. Pada April kemarin, perusahaan memutuskan untuk melakukan rebranding bisnis payment gateway-nya menjadi Jokul (kata slang pada tahun 90-an yang memiliki arti “jualan”).

Application Information Will Show Up Here

Emtek is No Longer DANA’s Largest Shareholder

In the public disclosure of fourth quarter of 2020, Emtek Group (Emtek) revealed that it is no longer the controlling shareholder of PT Elang Andalan Nusantara (EAN). Currently, Emtek only owns 49% of EAN’s shares, down from 55% in the previous quarter.

PT Kreatif Media Karya (KMK), a subsidiary of Emtek, has sold 6% of EAN’s shares to an unnamed third party, on December 30, 2020 for IDR76 billion. 

Therefore, the EAN information and its subsidiaries, including DANA and Doku, will no longer be included in Emtek’s financial reports. Previously, DANA-related information is accessible for public, including DANA user funds and total assets.

EAN is a joint venture company owned by Emtek and Alibaba. Alibaba previously owned 45% of the company shares. During 2019-2020, Alibaba (via API Hong Kong) issued debt securities for EAN worth $110 million (approximately 1.6 trillion) which had been extended from 12 months to 24 months.

KMK, in February, has issued a convertible loan for EAN worth IDR154 billion.

This April, Emtek announced a new fund worth 9 trillion Rupiah, with $150 million (2.18 trillion Rupiah) of which came from Naver Korea.

Recent updates

The loss of Emtek’s main shares in the EAN also impacts in Doku (PT Nusa Satu Inti Artha) to no longer have updates. Emtek previously owned 50% of Doku’s shares through PT Pariwara Digital Media (PDM). PDM is now consolidated under EAN.

Another update is the addition of Bukalapak shares through two stages. However, the percentage of Bukalapak shares owned by Emtek is currently (34.39%) down (diluted) compared to the previous year due to the Series G funding round. Bukalapak has at least two funding announcement, led respectively by Microsoft and Standard Chartered Bank.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Emtek Tidak Lagi Jadi Pengendali Induk DANA

Dalam keterbukaannya ke publik untuk periode kuartal keempat 2020, Emtek Group (Emtek) mengungkapkan sudah tidak lagi menjadi pemegang saham pengendali untuk PT Elang Andalan Nusantara (EAN). Saat ini Emtek hanya memiliki 49% saham EAN, turun dibandingkan 55% di kuartal sebelumnya.

PT Kreatif Media Karya (KMK), anak perusahaan Emtek, telah menjual 6% saham EAN ke pihak ketiga yang tidak disebutkan namanya, pada tanggal 30 Desember 2020 senilai Rp 76 miliar.

Dengan langkah ini, informasi soal EAN dan anak perusahaannya, termasuk DANA dan Doku, tidak lagi dicantumkan di laporan keuangan Emtek. Sebelumnya publik bisa melihat informasi terkait DANA, termasuk dana pengguna DANA dan jumlah asetnya.

EAN adalah perusahaan patungan yang sahamnya dimiliki Emtek dan Alibaba. Alibaba sebelumnya memiliki 45% saham perusahaan. Sepanjang tahun 2019-2020, Alibaba (melalui API Hong Kong) telah menerbitkan surat utang untuk EAN senilai $110 juta (sekitar 1,6 triliun) yang telah diperpanjang masa berlakunya dari 12 bulan ke 24 bulan.

KMK, di bulan Februari, juga telah menerbitkan pinjaman yang dapat dikonversi untuk EAN senilai Rp154 miliar.

Emtek sendiri di bulan April ini mengumumkan perolehan dana baru senilai 9 triliun Rupiah, dengan $150 juta (2,18 triliun Rupiah) di antaranya berasal dari Naver Korea.

Pembaruan lain

Termasuk dampak dari hilangnya sifat pengendali Emtek di EAN adalah tidak lagi diinfokannya pembaruan tentang Doku (PT Nusa Satu Inti Artha). Emtek sebelumnya memiliki 50% saham Doku melalui PT Pariwara Digital Media (PDM). PDM kini dikonsolidasikan di bawah EAN.

Pembaruan lain adalah penambahan saham Bukalapak di dua tahapan. Meskipun demikian, persentase jumlah saham Bukalapak yang dimiliki Emtek saat ini (34,39%) turun (terdilusi) dibanding tahun sebelumnya akibat putaran pendanaan Seri G. Bukalapak setidaknya dua kali mengumumkan perolehan pendanaan sepanjang 2020-2021 yang masing-masing dipimpin Microsoft dan Standard Chartered Bank.

Application Information Will Show Up Here

DOKU Introduces “Jokul”, Its New Payment Gateway Business Brand

DOKU announces rebrand for the payment gateway business into “Jokul” to increase its popularity among business users. This also intends to change DOKU’s position to public as a brand for the electronic wallet application.

DOKU’s CIO Rudianto Thong explained that DOKU’s payment gateway business is the company’s first and foremost business, which contributes 70% of the total service. Apart from that, DOKU has two other pillars, Collaborative Commerce (DOKU Wallet) and Transfer Service (remittances and disbursements).

However, these two businesses has not contributed as big as payment gateways, it’s 20% and 10%, respectively. Therefore, rebranding is a must-take step for the companies. Jokul as a word is a slang in the 90s which means “selling”.

“Philosophically, in terms of payment, the payment gateway for sellers is a sales process, while it is a buying process for consumers. “The two are different, Jokul is our affirmation to take the pain point of the merchants and want to accommodate all business levels of each of our solutions,” Rudy said in a virtual press conference with the media, Wednesday (7/4).

At the same time, DOKU also introduced some digital payment solutions under Jokul for all phases of business, corporations, startups, micro businesses, and individual sellers. Rudy believes, it is not only consumer convenience that deserves attention in online transactions, but also the entrepreneurs in controlling, managing and accepting consumer payments.

Therefore, Jokul provides a solution for each segment, including a dashboard to manage online payment business activities in a more transparent manner, easy and flexible integration without being charged a fee, and connecting with various payment methods.

DOKU alone has developed various payment solutions, such as virtual accounts (bank transfers), credit cards, e-money, O2O, direct debit, VA by DOKU, and WhatsApp Link, which can be integrated according to the business phase.

In fact, for enterprise customers, there’s a Split Settlement solution to facilitate funds channeling from one transaction to be split and transferred to several accounts. This feature is suitable for marketplace business models that requires to immediately transfer funds to seller accounts on a regular basis.

“The subscription scheme in Jokul is that merchants only pay when they have received payments from consumers. They can also add features in Jokul for free, only pay for these features if they have received payments from consumers as well. ”

Through Jokul, DOKU expects that this payment gateway solution can help more businesses to go digital. Moreover, in this pandemic, digitization is absolutely must-be-done step. Rudy said, since Jokul’s soft launch on February 18, 2021, there were 5 thousand businesses registered as merchants organically.

These merchants come across Jakarta (40%), Surabaya (13%), Bandung (12%), Depok (10%), Medan (7%), and the rest are scattered in Makassar, Palembang, Tangerang, and others. The plan is that the Jokul feature development process will continue until it is officially launched in early June.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

DOKU Kenalkan “Jokul”, Merek Baru Bisnis Payment Gateway Miliknya

DOKU mengumumkan rebrand untuk bisnis payment gateway menjadi “Jokul” agar semakin dikenal para pengguna dari kalangan bisnis. Perubahan ini juga ditujukan untuk mengubah posisi brand DOKU di kacamata masyarakat selama ini sebagai brand dari aplikasi dompet elektronik.

CIO DOKU Rudianto Thong menjelaskan, bisnis payment gateway DOKU adalah bisnis pertama dan utama perusahaan yang berkontribusi sebanyak 70% terhadap total keseluruhan layanan. Di luar itu, sebenarnya DOKU memiliki dua pilar bisnis lainnya yakni Collaborative Commerce (DOKU Wallet) dan Transfer Service (remitansi dan disbursement).

Hanya saja, kontribusi dari kedua bisnis ini tidak sebesar payment gateway, yakni 20% dan 10% secara berurutan. Oleh karenanya,rebranding menjadi suatu langkah yang perlu dilakukan perusahaan. Jokul sendiri adalah kata slang pada tahun 90-an yang memiliki arti “jualan”.

“Secara filosofis dari sisi pembayaran, payment gateway bagi penjual itu adalah proses penjualan, sementara bagi konsumen adalah proses pembelian. Yang mana kedua hal itu berbeda, maka Jokul jadi penegasan kami untuk mengambil sisi pain point dari para merchant dan ingin mengakomodasi dari semua level bisnis dari setiap solusi kami,” ucap Rudy dalam konferensi pers virtual bersama sejumlah media, Rabu (7/4).

Pada saat yang bersamaan, DOKU juga memperkenalkan sejumlah solusi pembayaran digital yang berada di bawah Jokul untuk semua fase bisnis, baik itu korporasi, startup, usaha mikro, hingga penjual individu. Rudy percaya, bukan hanya kenyamanan konsumen saja yang patut diperhatikan dalam transaksi online, namun juga kenyamanan para pengusaha, dalam mengontrol, mengelola, dan menerima pembayaran konsumen.

Oleh karenanya, dari masalah tersebut Jokul menyediakan solusi untuk masing-masing segmen, di antaranya dasbor untuk mengelola aktivitas bisnis pembayaran online secara lebih transparan, integrasi mudah dan fleksibel tanpa dikenakan biaya, dan terhubung dengan berbagai metode pembayaran.

DOKU sendiri sudah mengembangkan berbagai solusi pembayaran, seperti virtual account (transfer bank), kartu kredit, e-money, O2O, direct debit, VA by DOKU, dan WhatsApp Link, yang dapat diintegrasikan sesuai fase bisnis.

Bahkan, untuk konsumen enterprise telah disediakan solusi Split Settlement untuk permudah pelimpahan dana dari satu transaksi dipecah dan ditransfer ke beberapa rekening. Sehingga fitur ini cocok untuk model bisnis marketplace yang butuh segera melimpahkan dana ke rekening seller secara rutin.

“Skema biaya di Jokul adalah merchant hanya bayar jika sudah mendapat pembayaran dari konsumen. Mereka pun dapat menambahkan fitur-fitur di dalam Jokul secara gratis, hanya bayar fitur tersebut jika sudah mendapat pembayaran dari konsumen juga.”

Lewat Jokul, DOKU berharap solusi payment gateway ini dapat membantu lebih banyak bisnis go digital. Terlebih, di masa pandemi ini beralih ke platform digital menjadi langkah mutlak yang harus dilakukan. Rudy menuturkan, sejak soft launch Jokul pada 18 Februari 2021 kemarin, tercatat ada 5 ribu bisnis telah terdaftar sebagai merchant secara organik.

Para merchant ini tersebar di Jakarta (40%), Surabaya (13%), Bandung (12%), Depok (10%), Medan (7%), dan sisanya tersebar di Makassar, Palembang, Tangerang, dan lain-lain. Rencananya, proses pengembangan fitur Jokul akan terus dilakukan hingga resmi diluncurkan pada awal Juni mendatang.

Pemain Fintech Asal Inggris PPRO Masuk ke Indonesia Lewat Integrasi Ovo dan Doku

Platform pembayaran PaaS asal Inggris PPRO melebarkan sayapnya ke Indonesia lewat integrasinya dengan penyedia jasa pembayaran dari Indonesia Ovo dan Doku. Mereka melirik Indonesia karena dipandang aktivitas dari layanan e-commerce dan sistem pembayaran punya pertumbuhan yang pesat.

Dalam keterangan resminya, integrasi ini akan memungkinkan para pengguna PPRO yang terdiri dari pemain pembayaran global dan merchant-merchant yang tergabung di bawahnya dapat mendongkrak penjualan menarik konsumen dari Indonesia untuk berbelanja.

Baik Ovo dan Doku dalam suatu riset yang mereka kutip menyebutkan bahwa keduanya adalah pemain terdepan di Indonesia. Di negara ini, penetrasi kartu kredit kurang dari 5% terhadap populasi. Untuk mendukung keragaman preferensi opsi pembayaran di Indonesia, integrasi PPRO menampilkan empat jenis pembayaran: e-wallet, internet banking, transfer bank, dan uang tunai bagi konsumen yang lebih suka membayar di ATM dan toko swalayan.

“Indonesia adalah pasar strategis bagi konsumen tier teratas kami dan merchant-merchant mereka. Indonesia juga salah satu negara dengan peraturan yang sangat kompleks di regional terkait kepatuhan, peraturan, dan preferensi konsumen. Oleh karena itu, kami dengan senang hati sekarang menawarkan metode pembayaran lokal yang populer ini,” terang Global Head of Payment Networks Kelvin Phua.

Secara terpisah, saat ditanya lebih lanjut oleh DailySocial, Kelvin menjelaskan bahwa opsi pembayaran yang populer seperti Ovo dan Doku ini memiliki banyak opsi untuk melakukan top up saldo. Maka dari itu, kemitraan perusahaan dengan kedua pemain lokal ini memungkinkan perusahaan pembayaran global dan merchant mereka dapat menangkap peluang tambahan dari pembeli di Indonesia.

“Bagi konsumen, ini juga berarti bahwa mereka akan mendapat akses lebih banyak jenis barang dan jasa global yang telah berhasil mengintegrasikan Doku dan Ovo melalui PPRO. Pengalaman pembayaran akan sangat mirip dengan apa yang telah digunakan oleh pengguna di Indonesia karena kami memprioritaskan integrasi dengan kualitas terbaik dengan mitra kami.”

Kelvin melanjutkan, kehadiran PPRO di Indonesia menjadi pencapaian terbaru perusahaan untuk kawasan Asia Pasifik. Ke depannya perusahaan ingin membantu lebih banyak penyedia pembayaran lokal bergabung dengan PPRO dan terhubung dengan pedagang global.

Layanan PPRO

PPRO menempatkan diri sebagai PaaS (platform-as-a-service) yang menghubungkan pemain pembayaran lokal (payment service provider/PSP) di berbagai negara untuk melayani merchant yang tertarik memperluas peluang pasar lintas batasnya (cross-border). Melalui API dan platform PPRO, PSP dan merchant dapat menerima metode pembayaran lokal yang di tersebar di lebih dari 175 negara.

Sejumlah mitra PSP di Asia yang telah bermitra di antaranya AliPay, WeChat Pay, DragonPay, eNets, Konbini Pay, Pay-easy, dan GrabPay.

Perusahaan asal Inggris ini sudah berdiri sejak 2006 dan memiliki kantor yang tersebar sejumlah negara, seperti di Jerman, Singapura, dan Brazil untuk pengembangan produknya. Kelvin menuturkan, saat ini pihaknya belum memiliki tim lokal untuk menyeriusi bisnisnya di Indonesia. Kendati demikian, ia membuka kemungkinan tersebut bila perkembangan bisnis semakin signifikan.

“PPRO memiliki tim yang luas di seluruh APAC dan kantor di seluruh dunia. Saat ini, PPRO tidak memiliki tim yang bekerja di Indonesia, namun PPRO memiliki rencana ekspansi yang ambisius untuk masa depan,” tutupnya.

Potensi Penerapan Teknologi Tingkat Lanjut di Startup Indonesia

Dalam sebuah percakapan dengan beberapa investor di Indonesia, disinyalir fokus kebanyakan startup teknologi di Indonesia baru sebatas implementasi produk, pemberian layanan paripurna, dan pemasaran demi mendapatkan pertumbuhan yang pesat.

Ketika membicarakan inovasi, apakah penerapan startup hanya terbatas ke kebutuhan mendasar atau mereka bakal terus berevolusi untuk menerapkan teknologi semakin dalam seperti produk-produk di pusat teknologi dunia?

Produk tepat guna, layanan yang utama

Secara umum, kegiatan dan kemampuan startup-startup di Indonesia sudah mampu untuk mendisrupsi pasar yang sudah ada. Idealnya, untuk mengembangkan produk yang tepat guna, startup harus bisa memprioritaskan teknologi yang ingin diimplementasikan. Menurut Chief Innovation Officer DOKU Rudianto, di tahap awal dari sebuah startup teknologi, hal yang paling penting adalah mendapatkan product-market fit.

“Karena itu, startup perlu memilih teknologi yang mendukung sistem pembangunan dengan kecepatan yang ekstrem. Sedangkan untuk layanan, startup harus menghapus ide memiliki fungsi lengkap, dengan membangun fungsionalisasi minimum dan fokus pada layanan hingga pengumpulan data dan tentunya mendengarkan feedback dari pengguna,” kata Rudianto.

Sementara CEO Sirclo Brian Marshal melihat, di konteks startup yang fokus pada pasar Indonesia, layanan merupakan prioritas utama.

“Menurut saya pendekatan ini sejalan dengan mindset untuk tetap agile di kondisi pasar yang begitu dinamis. Mengidentifikasi apa yang sedang dibutuhkan oleh konsumen dapat membantu bisnis untuk menghadirkan teknologi yang tepat guna,” kata Brian.

Jika startup mampu menghasilkan teknologi yang terbilang canggih dan benar-benar dibutuhkan saat ini, pastikan mereka sudah memiliki target pasar dan menyesuaikan kondisi.

“Yang menjadi perhatian adalah tidak perlu startup Indonesia bersaing dalam hal teknologi dengan startup secara global. Ciptakan inovasi yang sesuai dan terus fokus ke pertumbuhan bisnis, strategi akuisisi target pengguna, dan penguatan unit ekonomi startup,” kata Founder & Managing Partner Indogen Capital Chandra Firmanto.

Fokus ke ekosistem dasar

Sesungguhnya startup Indonesia memiliki potensi untuk menerapkan teknologi tingkat lanjut. Meskipun demikian, karena minimnya dukungan dari pemerintah dan pasar, startup lokal kebanyakan masih fokus ke ekosistem paling mendasar dan tidak banyak menawarkan teknologi baru.

Langkah strategis ini sah-sah saja selama startup memiliki target pasar yang tepat dan unit ekonomi yang kuat. Pada akhirnya, menyesuaikan kondisi dan seiring berjalannya waktu, teknologi yang relevan dan “lebih dalam” bisa dikembangkan sesuai capital yang dimiliki dan kegiatan fundraising yang terus dilakukan.

“Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga startup di negara Asia Tenggara lainnya. Keuntungan yang dimiliki startup Indonesia adalah populasi generasi muda yang besar dan pasar yang luas. Menjadi penting untuk kemudian [startup lokal] fokus kepada pasar dan pondasi unit ekonomi yang kuat,” kata Chandra.

Menurut Brian, teknologi yang langsung dirasakan oleh pengguna di Indonesia belum ada yang sifatnya “frontier“. Masih jarang ditemukan startup lokal yang mengadopsi teknologi yang belum pernah diterapkan di region lain.

“[Meskipun demikian] berbagai startup besar di Indonesia mampu menghadirkan teknologi dengan infrastruktur kuat dan sophisticated guna enabling aktivitas digital yang kompleks. Contohnya seperti enabling transaksi yang berlangsung selama flash sale Harbolnas 12.12 tanpa adanya downtime,” kata Brian.

Menurut CEO DycodeX Andri Yadi, tidak dapat dipungkiri masih sedikit investor yang tertarik menggelontorkan dana mereka ke startup yang memang fokus untuk mengembangkan teknologi. Namun, pada akhirnya, kendala tersebut tidak membuat penggiat startup patah semangat untuk terus membangun teknologi baru.

“Pada akhirnya, apakah mendapat dukungan pendanaan atau tidak, bisnis harus terus berjalan. Dan teknologi serta inovasi baru tetap harus diciptakan,” kata Andri.

Di sisi lain, para investor melihat, ketika founder berniat menggalang dana ke VC, pastikan teknologi yang diterapkan adalah nyata. Hindari melakukan sugar coating dengan harapan bisa mendapatkan pendanaan saja.

“Sebenarnya startup Indonesia memiliki potensi, namun masih belum cukup. Sulit bagi mereka untuk meyakinkan pasar jika teknologi dan inovasi baru dihadirkan. [..] Pastikan ide dan teknologi tersebut adalah jujur dan nyata,” kata VP Investment Kejora-SBI Orbit Fund Richie Wirjan.

Potensi penerapan teknologi lanjutan

Saat ini sudah ada beberapa startup yang fokus ke penerapan teknologi AI, IoT, Big Data, dan lainnya. Namun kenyataannya, lebih dari 90% kasus bisnis sebenarnya dapat dipenuhi dengan teknologi yang mendasar untuk saat ini. Kebanyakan penggiat startup masih belum melihat adanya urgensi untuk fokus ke pengembangan teknologi lanjutan.

“Standar ‘dasar’ saat ini menjadi lebih meningkat kualitasnya. Integrasi berkelanjutan juga menjadi lebih umum saat ini,” kata Rudianto.

Diharapkan ke depannya akan lebih banyak lagi startup yang menawarkan inovasi dan teknologi tingkat lanjut untuk masyarakat Indonesia.

“Agar mampu menghadirkan teknologi yang sophisticated, para stakeholder harus mengutamakan aspek riset dalam pengembangan infrastruktur yang memadai,” kata Brian.

Selain itu, cara lain untuk memancing lebih banyak inovasi baru adalah merekrut tenaga kerja profesional yang sudah memiliki pengalaman bekerja di perusahaan teknologi luar negeri, khususnya di pusat-pusat teknologi dunia.

“Sebenarnya Indonesia memiliki kumpulan diaspora yang telah bekerja di perusahaan teknologi global. Untuk merekrut orang-orang ini dengan pengetahuan teknologi tingkat dunia, misalnya PhD di Computer Vision, kita perlu memiliki cadangan keuangan yang sangat kuat. Cara lain yang lebih terjangkau adalah mengembangkan sendiri world-level people,” kata Rudianto.

The Adoption of Enterprise Communication Platform in Startup

One thing that supports the productivity of working in an office is enterprise communication platforms. In Indonesia, platforms such as Slack, Google Meet, Workplace from Facebook, and Microsoft Teams are quite familiar to startup enthusiasts. However, WhatsApp, which is not specifically aimed at corporate communication, is also very popular.

DailySocial has summarized the most popular enterprise communication platforms among startups and whether startups have a special budget for premium features. On the other hand, this also invites local players to present their products and to compete.

Essential platform

When the Covid-19 began to spread and the work-from-home system is widely applied, the use of communication platforms surged. Zoom is inevitably become the most popular platform, both globally and in Indonesia. Zoom monthly active users have reached 12.9 million in February 2020. This indicates the essential function of the communication platform to support productivity.

“The use of communication tools is clearly determined by the needs of the company and the habits or main communication channels used by each country,” AnyMind Group Indonesia’s Head of Operations, Yuwanda Fauzi said.

This communication platform helps employees break down tasks and discuss constraints and workloads. On the other hand, supervisors and managers also monitor employee performance using this platform.

“In DANA, ideas for innovation, problem-solving, and value creations must be well communicated and synergized on a daily operational scale for employees. This step needs to be done to ensure all communication among team members work well, given the many functions of each department or different divisions and individuals in a company. Message and communication are key to ensuring that different teams and individuals can work together in the same direction. The goal is for DANA to achieve its shared goals and vision in the most effective and efficient way,” DANA’s CTO Norman Sasono said.

Achieving aligned goals and ensuring collaboration work well is the main focus of startups to utilize a variety of existing communication platforms. The use of applications is also crucial when allowing employees to do other things online, such as meetings, giving presentations, and creating surveys.

“In fact, choosing an application that can safely facilitate employee activities is also important to maintain the privacy of all employees and the security of company information that is confidential,” Head of Corporate Communication Bukalapak Intan Wibisono said.

As a digital payment and financial services company, OVO is demanded to constantly develop and adapt so that OVO services can continue to be accepted and able to support the daily lives of its users. In order to stay agile, there needs to be good communication, coordination, and relations between employees, therefore, they can work together and discuss optimally.

“The platform is easy to use, fast, and practical in supporting daily activities such as discussion and coordination. Especially in a startup environment where speed and practicality are substantial in working,” OVO’s Head of PR Sinta Setyaningsih said.

Slack and WhatsApp as the most popular apps

Based on a survey conducted by DailySocial to 16 startups, most of them chose a foreign platform to support their daily activities. Although the options are quite varied, apparently the two platforms are more dominant than the other platforms.

The first platform is Slack founded by Stewart Butterfield and the second is WhatsApp founded by Brian Acton and Jan Koum. WhatsApp is now under the auspices of Facebook.

In global, Slack as of March 2020 has more than 12 million active daily users. WhatsApp, on the other hand, with wider adoption, as of February 2020 claims to have had two billion users worldwide.

Hasil survei DailySocial
DailySocial’s survey on enterprise communication platform in startup

The interesting thing is, WhatsApp and Slack are perceived differently by users.

“WhatsApp as a communication tool focuses on chat experience and its simplicity and already has a very large number of users from various industries. While Slack as a communication tool focuses on productivity supported by bots and integration tools, making it look more complex and getting large support, especially from technology-based industries,” DOKU’s Chief of Innovation Officer Rudianto said.

The attractive UI/UX display and comfortable user experience make DANA choose Slack and WhastApp as a platform to support daily activities. The company is also willing to allocate a budget to provide premium features for employees.

“There are some factors that cause the instant messaging platform to become popular, such as habits, good user experience (UI / UX), features for productivity and efficiency, and also security aspects,” Norman said.

Slack’s excellent features are to create coordinating groups openly (anyone can join to discuss) and closed (limited to a few people), make voice calls, start and finish work (clock in and clock out), create and fill out forms, and polling on the same platform. In addition, Slack can also provide reports on the results of measurements of communication effectiveness by the team on the platform.

While WhatsApp allows employees to communicate via chat, exchanging documents and photos, and conducting group conferences (in limited numbers) with guaranteed data encryption.

Most startups are willing to pay subscription fees and allocate special funds to support employee productivity.

“Working in a tech company and startup requires fast, efficient, and safe coordination with fellow employees, therefore, a communication channel to fulfill those needs, such as Slack and WhatsApp, is required,” Intan said.

Analyzing opportunities for local platforms

For local platforms in the communication sector, the challenge lies in how they can convince consumers and compete with global platforms. Although most startups in Indonesia use foreign platforms, when the local products provided are more competitive in terms of functionality and price, they are willing to try.

“Local communication tools have the potential to compete with foreign platforms, because in terms of technology, creating communication tools is not complicated. The main challenge is that local platforms must be able to answer the basic question: ‘Why should I move from WhatsApp to the local platform?’. If there is a startup capable to answer this question, it is most likely to become the next unicorn, Indonesia’s first national communication tool, as happened with WeChat, KakaoTalk, and Line in their respective countries,” Rudianto said.

Those with a unique proposition to solve user problems can also attract certain users. In addition to exciting new features, local providers must also really be very well aware of the basics of B2B services, such as UX, SLA for performance and availability and reliability and security.

“Every instant messaging instrument/platform provider can compete in the industry, if it provides a solution or product that is better than the options that are already available in the market,” Norman said.

Seeing the development and trends in this matter, began to emerge several local platforms that try to provide this enterprise communication service.

“The higher the demand for communication tools in work activities, the developers will be more creative and innovative in making products that can meet the needs of a dynamic market. We will certainly always support Indonesian developers to compete with other developers from around the world in creating tools of the highest quality,” Intan said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian